KANONISASI PERJANJIAN BARU
Injil
Sebelum Kanonisasi
Mungkin sangat mengejutkan bagi
sebagian besar kaum Kristen jika menyadari bahwa tulisan-tulisan Kristen awal
hanya memberi sedikit perhatian kepada kata-kata dan perbuatan-perbuatan Yesus.
Misalnya, surat-surat Paulus
(Saulus dari Tarsus )
hanya memberikan kiasan-kiasan sangat sederhana mengenai Yesus dalam sejarah (historical Jesus). Begitu
sederhana, dalam gereja Kristen awal yang menghasilkan literatur Kristen
pertama yang dipelihara, yaitu aspek dari gereja awal yang biasanya
diidentifikasi sebagai Paulus atau non-Yahudi, Yesus dalam sejarah diidentikkan
dengan apa yang diyakini sebagai proses pengilhaman dan pewahyuan yang terus
berjalan. Oleh karenanya, apa yang dikatakan, dilakukan, atau diwahyukan oleh
Yesus dalam sejarah sama sekali berlebihan. Yang penting adalah bahwa setiap
individu bisa mengklaim otoritas ilahi bagi pernyataan-pernyataan dan
tulisan-tulisannya, dengan menyeru pada pengilhaman dan pewahyuan yang terus
berjalan melalui Yesus yang konon "dibangkitkan-kembali".
Kenyataannya, seluruh klaim Paulus terhadap otoritas apostolik (rasuli)
didasarkan pada penegasan yang membesarkan diri-sendiri.[1] Dengan demikian, injil-injil yang diakui
berkaitan dengan kehidupan, sejarah, dan perkataan-perkataan Yesus sebenarnya
merupakan perkembangan yang relatif belakangan dalam literatur Kristen awal.[2]
Biasanya selalu dinyatakan oleh para sarjana alkitabiah bahwa pada awalnya, injil-injil tersebut berupa seni sastra selama perempat terakhir abad pertama Masehi.[3] Lebih jauh, hingga kira-kira tahun 130 M, salah seorang Bapa Rasuli, yaitu, Papias, uskup Hierapolis, belum benar-benar menyebut injil sebagai nama.[4] Selain itu, bahkan setelah injil-injil itu mulai tampil sebagai satu bentuk karya sastra, injil-injil tersebut tidak sering dikutip sebagai teks otoritatif oleh para pendeta gereja awal. Kenyataannya, selama pertengahan pertama abad ke-2 M, kata-kata yang dianggap berasal dari Yesus sebagaimana dicatat dalam pelbagai macam injil jarang sekali dianggap sebagai teks otoritatif. Baru menjelang akhir perempat ketiga abad ke-2 M, injil-injil tersebut mulai memiliki peran sebagai kitab suci yang otoritatif dalam gereja-gereja Kristen awal.[5] Namun, tulisan injil kemudian mulai mengambil bentuk seni sastra, dan ini akhirnya mengarah pada munculnya injil yang sangat banyak. Berikut ini daftar injil-injil yang berhasil diidentifikasi.
1. Injil
Markus
2. Injil Matius 3. Injil Lukas 4. Injil Yohanes 5. Dialog Sang Juru Selamat 6. Injil Andreas 7. Injil Apelles 8. Injil Bardesanes 9. Injil Barnabas 10. Injil Bartelomeus 11. Injil Basilides 12. Injil Kelahiran Maria 13. Injil Cerinthus 14. Injil Hawa 15. Injil Ebionit 16. Injil Orang-orang Mesir 17. Injil Encratites 18. Injil Empat Wilayah Surgawi 19. Injil Orang-orang Ibrani 20. Injil Hesychius 21. Injil Masa Kecil Yesus Kristus 22. Injil Judas Iskariot 23. Injil Jude 24. Injil Marcion 25. Injil Mani |
26. Injil
Maria
27. Injil Matthias 28. Injil Merinthus 29. Injil Menurut Kaum Nazaret 30. Injil Nikomedus 31. Injil Kesempurnaan 32. Injil Petrus 33. Injil Philipus 34. Injil Pseudo-Matius 35. Injil Scythianus 36. Injil Tujuh Puluh 37. Injil Thaddaeus 38. Injil Tomas 39. Injil Titan 40. Injil Kebenaran 41. Injil Dua Belas Rasul 42. Injil Valentinus 43. Protevangelion James 44. Injil Rahasia Markus 45. Injil Tomas tentang Masa Kecil Yesus Kristus. |
Injil Setelah Kanonisasi
Dua puluh tujuh kitab yang disebut Perjanjian Baru dalam Alkitab merupakan Kitab Suci umat Kristen. PB terdiri dari satu kitab apokaliptis yang disebut Wahyu kepada Yohanes, satu sejarah gereja awal (Kisah Para Rasul), 21 berupa surat-surat (atas nama Paulus atau yang lain), dan empat disebut Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes). Sangatlah tidak mungkin bahwa ke-27 kitab ini ditulis oleh setiap orang yang memiliki hubungan langsung dengan Yesus,[7] meskipun masing-masing dari keempat injil itu memuat sejarah ajaran dan kenabian Yesus.
Sangat mungkin bahwa kanon Perjanjian Baru berkembang secara bertahap selama beberapa abad. Pada awalnya, selama tiga abad pertama dari apa yang disebut era Kristen, tidak ada konsep mengenai kanon yang resmi dan tertutup berkenaan dengan kitab suci Perjanjian Baru. Beragam kitab dipandang sebagai kitab suci bergantung pada kekuatan klaimnya yang menyatakan sendiri bahwa kitab tersebut diwahyukan dari Tuhan. Peredaran dan popularitasnya di berbagai gereja Kristen menentukan kekuatan klaim itu. Akibatnya, apa yang dulunya dianggap sebagai kitab suci di satu tempat tidak lagi selalu dianggap demikian di tempat lain.
Namun demikian, pada awal abad ke-4 M, situasi tersebut mulai berubah. Dalam bukunya Ecclesiastical History, Eusebius Pamphili, uskup Kaisarea pada abad ke-4 M, mengusulkan sebuah kanon kitab suci Perjanjian Baru di mana ia mengabaikan banyak kitab yang sekarang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Pada tahun 367 M, Athanasius, uskup Aleksandria, mengedarkan sepucuk surat Orang Timur, yang memasukkan daftar pertama kitab suci Perjanjian Baru yang sesuai dengan Perjanjian Baru sekarang, meskipun hanya beberapa tahun sebelumnya ia telah memperjuangkan Gembala Hermas (The Shepherd of Hermas) sebagai kitab suci yang akurat dan kanonik. Kitab suci Perjanjian Baru kemudian diratifikasi oleh Dewan Hippo tahun 393 M, Sinode Chartage tahun 397 M, dan Dewan Carthagina tahun 419 M. Namun demikian, tidak seluruh gereja Timur sepakat dengan kanon yang diusulkan ini hingga saat ketika terjemahan dalam bahasa Suriah yang kira-kira muncul pada tahun 508 M akhirnya sesuai dengan kanon ini.[8]
Dengan demikian, memerlukan waktu
tiga hingga lima
abad untuk mengikuti selesainya kenabian Yesus sebelum gereja-gereja Kristen
awal merumuskan kanon akhir yang terdiri atas 27 kitab, yang kini merupakan
Perjanjian Baru. Di antara ke-27 kitab ini, Al-Qur'an hanya merujuk pada Injil
Yesus; empat injil kanonik agama Kristen pasti bukan merupakan kitab wahyu ini,
meskipun mereka memasukkan bagian-bagian dari kitab ini dalam pelbagai catatan
mereka mengenai "sabda-sabda" yang konon berasal dari
Yesus.
Rujukan:
- Asimov I (1968): Asimov's Guide to the Bible: Volume II. The New Testament.New York , Avon Books.
- Baird W (1971): The gospel according to Luke. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.Nashville , Abingdon Press, 1971.
- Cameron R (1982): The Other Gospels: Non-Canonical Gospel Texts.Philadelphia , The Westminster Press.
- Davies JN (1929a): Mark. Dalam Eiselen FC, Lewis E,Downey DG (1929): The Abingdon Bible
Commentary. New York ,
Abingdon-Cokesbury Press.
-Duncan GB
(1971): Chronology. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume
Commentary on the Bible. Nashville ,
Abingdon Press, 1971.
- Fenton JC (1973): Saint Matthew.Baltimore ,
Penguin Books.
- Hennecke E, Schneemelcher W,Wilson
RM (1963): New Testament Apocrypha. Volume
I. Gospels and Related Writings. Philadelphia , The Westminster Press.
- Jerald F.Dirks (2001): The Cross and The Crescent.Maryland , Amana Publications.
- Kee HC (1971): The gospel according to Matthew. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.Nashville , Abingdon Press, 1971.
- Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Comentary on the Bible.Nashville , Abingdon
Press, 1971.
- Leon Dufour X (1983): Dictionary of the New Testament.San Francisco , Harper & Row.
- Mack BL (1996): Who Wrote The New Testament?: The Making of the Christian Myth.San Francisco , Harper.
- Moffat J (1929): The formation of the New Testament. Dalam Eiselen FC, Lewis E,Downey DG
(1929): The Abingdon Bible Commentary. New
York , Abingdon-Cokesbury Press.
- Nineham DE (1973): Saint Mark.Baltimore ,
Penguin Books.
- Pagels E (1979): The Gnostic Gospels.New
York , Random House.
- Pherigo LP (1971): The gospel according to Mark. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.Nashville , Abingdon Press, 1971.
- Platt RH, Brett JA (eds): The Lost Books of the Bible and The Forgotten Books of Eden.New York ,
The World Publishing Co.
- Robinson JM (1990): The Nag Hamadi Library in English.San Francisco , Harper. Nag Hamadi, sebuah wilayah di Mesir, adalah tempat
ditemukannya berbagai kitab apokrif dan dokumen-dokumen lainnya yang
berhubungan erat dengan gereja Kristen awal (penggalian tahun 1945).
- Shepherd MH (1971): The gospel according to John. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.Nashville , Abingdon Press, 1971.
- Sundberg AC (1971): The making of the New Testament canon. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.Nashville , Abingdon Press, 1971.
- Asimov I (1968): Asimov's Guide to the Bible: Volume II. The New Testament.
- Baird W (1971): The gospel according to Luke. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.
- Cameron R (1982): The Other Gospels: Non-Canonical Gospel Texts.
- Davies JN (1929a): Mark. Dalam Eiselen FC, Lewis E,
-
- Fenton JC (1973): Saint Matthew.
- Hennecke E, Schneemelcher W,
- Jerald F.Dirks (2001): The Cross and The Crescent.
- Kee HC (1971): The gospel according to Matthew. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.
- Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Comentary on the Bible.
- Leon Dufour X (1983): Dictionary of the New Testament.
- Mack BL (1996): Who Wrote The New Testament?: The Making of the Christian Myth.
- Moffat J (1929): The formation of the New Testament. Dalam Eiselen FC, Lewis E,
- Nineham DE (1973): Saint Mark.
- Pagels E (1979): The Gnostic Gospels.
- Pherigo LP (1971): The gospel according to Mark. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.
- Platt RH, Brett JA (eds): The Lost Books of the Bible and The Forgotten Books of Eden.
- Robinson JM (1990): The Nag Hamadi Library in English.
- Shepherd MH (1971): The gospel according to John. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.
- Sundberg AC (1971): The making of the New Testament canon. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible.
Sejarah
Orang-orang Yahudi telah
membakukan bahwa kitab-kitab yang kita sebut Perjanjian
Lama diilhami Allah, sedangkan yang lain tidak. Ketika orang-orang Kristen
berhadapan dengan berbagai ajaran sesat, mereka mulai merasakan pentingnya
membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami Allah dan yang tidak.
Dua kriteria penting yang dipakai gereja untuk
mengenal kanon
(istilah Yunani yang artinya "standar") adalah yang
berasal dari para rasul dan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja.
Dalam mempertimbangkan tulisan rasuli, gereja
menganggap Paulus
sebagai salah seorang rasul. Meskipun Paulus tidak berjalan bersama-sama dengan
Kristus, Paulus bertemu dengan Kristus dalam perjalanannya ke Damaskus.
Aktivitas penginjilannya yang tersebar luas – yang dibenarkan dalam Kisah
Para Rasul – menjadikannya model seorang rasul.
Setiap
Injil harus dihubungkan dengan seorang rasul. Dengan demikian, Injil Markus yang dihubungkan dengan Petrus dan Injil Lukas yang dihubungkan dengan Paulus, mendapat tempat dalam kanon. Setelah para rasul wafat, orang-orang
Kristen sangat menghargai kesaksian yang ada dalam Injil tersebut, meskipun
Injil tersebut tidak mengungkapkan nama rasul yang terkait.
Tentang
penggunaan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja, petunjuknya ialah,
"Jika banyak gereja memakai tulisan tersebut dan jika tulisan tersebut
dapat terus-menerus meningkatkan moral mereka, maka tulisan tersebut
diilhami". Meskipun standar ini menunjukkan pendekatan yang agak pragmatis, namun ada
juga logikanya di balik itu. Sesuatu yang diilhami Allah akan mengilhami juga
para penyembah-Nya; tulisan yang tidak diilhami pada akhirnya akan lenyap juga.
Namun,
standar-standar tersebut saja tidak cukup untuk menentukan sebuah kitab sebagai
kanon. Banyak tulisan ajaran sesat membawa-bawa nama rasul. Di samping itu, ada
gereja-gereja yang memakai tulisan tersebut sedangkan yang lainnya tidak.
Menjelang
akhir abad kedua, keempat Injil, Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus sangat dihargai hampir di
semua pelosok. Meskipun tidak pernah ada daftar "resmi",
gereja-gereja cenderung berpaling pada tulisan-tulisan ini karena dianggap
memiliki otoritas spiritual. Para uskup yang berpengaruh seperti Ignasius, Clemens dari Roma dan
Polikarpus telah menjadikan tulisan-tulisan ini mendapat
pengakuan yang luas. Namun perdebatan masih berlangsung terhadap Ibrani, Yakobus, 2
Petrus, 2 dan 3
Yohanes, Yudas serta Wahyu.
Daftar
ortodoks mula-mula, yang disusun sekitar tahun 200, adalah Kanon Muratori Gereja
Roma. Daftar ini meliputi sebagian besar Perjanjian Baru seperti yang kita ketahui masa kini, dan
menambahkan Wahyu Petrus dan Kebijaksanaan Salomo. Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah
menghapuskan satu buku dan membiarkan yang lain, namun semuanya itu tetap
mirip. Karya-karya seperti Gembala Hermas, Didache dan Surat Barnabas sangat
disanjung, meskipun banyak orang enggan mengakui buku itu sebagai tulisan yang
diiihami.
Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria
yang ortodoks dan berpengaruh itu, menulis "Surat Paskah" yang
beredar cukup luas. Di dalamnya ia menyebut kedua puluh tujuh buku yang
sekarang kita kenal dengan nama Perjanjian
Baru. Dengan harapan mencegah jemaatnya dari kesalahan, Athanasius
menyatakan bahwa tiada buku lain dapat dianggap sebagai Injil Kristen, meskipun
ia longgarkan beberapa, seperti Didache, yang menurutnya, akan berguna bagi ibadah pribadi.
Kanon yang dibuat Athanasius tidak menyelesaikan
masalah. Pada tahun 397,
Konsili Kartago mensahkan
daftar kanon tersebut, tetapi gereja-gereja wilayah Barat agak lamban
menyelesaikan kanon. Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang dipertanyakan,
meskipun pada akhirnya semua pihak menerima Kitab Wahyu.
Pada akhirnya, daftar kanon yang dibuat
Athanasius mendapat pengakuan umum, dan sejak itu gereja-gereja di seluruh
dunia tidak pernah menyimpang dari kebijakannya.
Kanonisasi
Kata 'Kanon' merupakan sebuah kata yang berasal
dari bahasa
Ibrani qāneh, yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan “ukuran”
atau “tali pengukur” dan kemudian dalam bahasa yunani berubah
menjadi kanōn dan mendapat makna yang lebih penting: Pada abad ke-2 M kata
kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah untuk Aturan atau Tata Gereja. Sejak abad ke-4 kata kanōn berarti
‘ukuran’ bagi iman Kristen. Jika istilah ini dipakai bagi Alkitab, maka Alkitab
dipercayai sebagai ‘ukuran’ bagi Iman dan Hidup orang Kristen.
Kanonisasi
Alkitab
Kanonisasi Perjanjian Baru
Kanonisasi Perjanjian Baru
memiliki latar belakang yang jauh berbeda. Sejak gereja perdana, Kristus yang
bangkit menjadi “ukuran iman” (rule of faith, regulum fidei). Iman pada Kristus
itu diturunalihkan dari satu generasi ke generasi lain, baik melalui tradisi
oral (kisah kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus) maupun melalui
surat-surat dari para rasul kepada jemaat-jemaat.
Namun, masalahnya kemudian, ketika Injil tersebar
dan bersentuhan dengan banyak budaya, filsafat dan agama, “Kristus yang
bangkit” sebagai regulum fidei itu kemudian diinterpretasi secara berbeda dan
bahkan berlawanan satu dengan yang lain, yg muncul lewat banyak tulisan, injil
dan surat .
Banyak dari ajaran-ajaran tersebut di kemudian hari dicap sebagai unorthodox
atau heretic.
Kebutuhan menjawab ajaran-ajaran yang unorthodox
ini dibarengi dengan kesadaran bahwa tradisi oral yang mengandalkan memori
tidaklah dapat bertahan lama, selain juga bahwa saksi-saksi pertama (para
rasul) tidak akan tinggal bersama jemaat selamanya. Karena itulah injil-injil
mulai ditulis, menambah koleksi surat-surat rasuli lainnya, yang sudah terlebih
dahulu beredar dan diperbanyak di antara jemaat-jemaat.
Dengan makin menguatnya ajaran-ajaran sesat dan
makin meluasnya perkembangan Injil, maka muncul dua kebutuhan mendasar:
ditetapkannya kanon baru (untuk mendampingi kanon PL) dan dirumuskan
kredo-kredo yang menjadi intisari pengajaran rasuli. Kanonisasi PB berlangsung
melalui proses yang panjang, sampai akhirnya diputuskan dalam Konsili Carthage
(419). Daftar yang muncul di konsili itulah yang kita miliki hingga sekarang,
yang diakui oleh seluruh gereja Kristen.
100 CE
|
200 CE
|
250 CE
|
300 CE
|
400 CE
|
Bagian-bagian yang
berbeda dari PB ditulis pada masa ini namun belum terkoleksi dan
didefinisikan sebagai “Kitab Suci.”
Surat-surat
Paulus dikumpulkan pada akhir abad pertama. Matius, Markus dan Lukas dikumpulkan bersama-sama
sekitar tahun 150 CE. |
PB di gereja Roma (“Muratorian Canon”)
|
PB yang dipakai oleh Origenes
|
PB yang dipakai oleh Eusebius
|
Konsili Kartage
(419)
|
Empat injil
Kisah Surat-surat Paulus: Roma 1&2 Korintus Efesus Filipi Kolose 1&2 Tesalonika 1&2 Timotius Titus Filemon Yakobus 1&2 Yohanes Yudas Wahyu Yohanes Wahyu Petrus Kebijaksanaan Salomo |
Empat injil
Kisah Surat-surat Paulus: Roma 1&2 Korintus Efesus Filipi Kolose 1&2 Tesalonika 1&2 Timotius Titus Filemon 1 Petrus 1 Yohanes Wahyu Yohanes |
Empat injil
Kisah Surat-surat Paulus: Roma 1&2 Korintus Efesus Filipi Kolose 1&2 Tesalonika 1&2 Timotius Titus Filemon 1 Petrus 1 Yohanes Wahyu Yohanes (kepengarangan diragukan) |
Empat injil
Kisah Surat-surat Paulus: Roma 1&2 Korintus Galatia Efesus Filipi Kolose 1&2 Tesalonika 1&2 Timotius Titus Filemon Ibrani Yakobus 1&2 Petrus 1,2&3 Yohanes Yudas Wahyu Yohanes |
|
Dipakai untuk
pribadi namun tidak untuk ibadah umum
|
Diperdebatkan
|
Diperdebatkan namun
dikenal secara baik
|
Dikeluarkan
|
|
Gembala Hermas
|
Yakobus
2 Petrus 2&3 Yohanes Yudas Gembala Hermas Pengajaran 12 Rasul Injil Ibrani |
Yakobus
2 Petrus 2&3 Yohanes Yudas |
Gembala Hermas
Injil Ibrani Wahyu Petrus Kisah Petrus Didache |
Kerasulan. Sebuah kitab diterima sejauh terbukti meneruskan tradisi rasuli, yaitu para murid Yesus.
Ortodoksi. Sekalipun harus diakui bahwa masing-masing kitab memiliki keunikan masing-masing yang membuat keseluruhan Alkitab berwujud sebuah “diversity”, namun diakui pula bahwa masing-masing Alkitab memiliki kesatuan (unity) yang berporos pada iman yang sama pada Kristus yang bangkit dan dimuliakan.
Antiquity. Yang diakui adalah kitab-kitab yang lebih kuno atau yang paling dekat dengan peristiwa Yesus.
Pemakaian dalam Komunitas. Hanya kitab-kitab yang dipakai secara meluas oleh jemaat yang dimasukkan ke dalam kanon. Joas Adiprasetya
Buku-buku yang
palsu dan tulisan-tulisan yang palsu bukannya jarang didapatkan. Buku-buku itu
selalu ada dan merupakan suatu ancaman, karena itu sangat penting bagi umat
Allah untuk dengan sangat hati-hati memilih buku-buku pilihannya yang kudus.
a. Dua Kategori
Dari Tulisan Yang Suci. Tulisan-tulisan yang suci harus diperiksa dengan dua
kategori ini :
1.
Buku-buku yang
hanya dapat diterima oleh beberapa orang beriman, tapi tidak oleh orang beriman
yang lain; dan
2. Tulisan-tulisan yang pernah
diterima tetapi yang kemudian diragukan.
(Dalam abad-abad
yang terdahulu, buku itu dikira merupakan inspirasi dari Allah atau merupakan
wahyu dari Allah, tetapi sekarang dipertanyakan/diragukan)
Tulisan-tulisan dengan kedua kategori ini
diperiksa oleh majelis gereja untuk dipastikan (diteguhkan) apakah mereka itu
termasuk bagian dari Alkitab atau tidak.
b. Lima
Kriteria Dasar.
1. Mempunyai Kekuasaan Otoritas.
Apakah buku ini mempunyai kekuasaan otoritas? Apakah buku itu dapat dikatakan
merupakan buku yang berasal dari Allah?
2. Mengandung Nubuatan. Apakah
mengandung nubuatan? Apakah ditulis oleh hamba
Allah?
3. Otentik. Apakah buku itu
otentik? Apakah buku itu menceritakan kebenaran
tentang Allah, manusia dan sebagainya?
4. Dinamis. Apakah buku ini
dinamis? Artinya mempunyai kuasa mengubahkan
hidup?
5.
Diterima. Apakah buku ini dapat diterima oleh orang-orang yang pada mereka
buku itu pertama kali ditulisnya? Apakah buku
itu dapat dikatakan berasal dari Allah?
2. Lima
Kriteria Dasar Secara Terperinci.
a. Kuasa
Otoritas Dari Sebuah Buku. Setiap buku di dalam
Alkitab dapat dikatakan mempunyai otoritas yang kudus. Sering kali pernyataan
"Demikianlah Firman Tuhan" tertulis di sana. Kadang-kadang nada dan
peringatan-peringatan menunjukkan bahwa kitab itu murni dan bersifat ilahi.
Dalam kepustakaan atau kitab-kitab yang mengandung pengajaran ada
pernyataan-pernyataan yang kudus mengajarkan apa yang harus dilakukan oleh
orang-orang beriman.
Dalam
buku-buku sejarah peringatan-peringatan itu lebih disinggung dan
pernyataan-pernyataan yang mempunyai kuasa otoritas lebih menyatakan tentang
apa yang Allah lakukan dalam sejarah umatNya. Apabila sebuah buku kurang
menceritakan tentang otoritas Allah, maka buku itu dapat dikatakan tidak murni
dan ditolak menjadi buku yang termasuk dalam Alkitab.
Marilah kita
menggambarkan prinsip dari otoritas sebagaimana hubungannya dengan kemurnian.
Di dalam buku-buku dari para nabi, kita dengan mudah dapat melihat adanya
prinsip otoritas ini.
Kata-kata
yang sering diulang adalah "Dan Tuhan berkata kepadaku" atau Firman
Tuhan datang kepadaku". Seringnya kata-kata ini diulang, memberikan bukti
yang begitu nyata bahwa kata-kata ini berasal dari wewenang yang kudus.
Beberapa buku
tidak mempunyai kata-kata yang dapat dianggap suci dan karena itu ditolak serta
dinyatakan sebagai buku yang tidak murni.
Mungkin
inilah yang terjadi dengan buku dari "Yaser" dan buku
"Peperangan dari Tuhan". Masih ada lagi buku-buku lain yang diragukan
dan dipertanyakan tentang kemurnian otoritasnya tetapi yang akhirnya dapat
diterima sebagai buku yang murni seperti halnya dengan Kitab Ester.
Kitab Ester
ini disetujui dan dimasukkan sebagai buku yang murni dari orang Yahudi, karena
di dalamnya jelas diceritakan tentang perlindungan dan kemudian pernyataan dari
Allah atas umatNya sebagai suatu fakta yang tidak dapat dibantah lagi. Sungguh,
fakta-fakta yang menunjukkan bahwa buku-buku yang suci harus lebih dulu
dipertanyakan, menunjukkan bahwa orang-orang beriman itu selalu memilih-milih
yang terbaik atau menyaring buku-buku yang baik. Apabila mereka tidak
benar-benar diyakinkan bahwa buku itu mempunyai otoritas yang suci, maka buku
itu ditolak.
b. Buku
Yang Mempunyai Kuasa Nubuatan. Buku-buku yang
mengandung wahyu ditulis hanya karena gerakan Roh Kudus oleh orang-orang yang
dikenal sebagai nabi-nabi (2 Ptr 1:20-21). Firman Allah diberikan kepada
umatNya hanya melalui nabi-nabiNya. Setiap pengarang buku alkitabiah mempunyai
karunia nubuatan atau fungsi nubuatan, sekalipun pekerjaan mereka bukan sebagai
seorang nabi (Ibr 1:1).
Di dalam
kitab Galatia, rasul Paulus membantah bahwa tulisan dan pengajarannya harus
diterima karena ia adalah seorang rasul, "bukan karena manusia juga
bukan oleh manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah Bapa" (Gal
1:1). Bukunya harus diterima karena buku bersifat pengajaran kerasulan, yaitu
berasal dari seorang pembicara atau seorang nabi yang ditentukan oleh Allah.
Buku-buku
harus ditolak apabila buku-buku tersebut tidak berasal dari nabi-nabi Allah
yang secara jelas diperingatkan oleh rasul Paulus, untuk tidak menerima buku
dari seseorang yang dengan palsu menegaskan dirinya sebagai seorang rasul (2
Tes 2:2) dan juga diperingatkan oleh rasul Paulus pada sidang di Korintus
tentang rasul-rasul yang palsu (2 Kor 11:13).
Peringatan
Yohanes tentang Mesias palsu dan untuk menguji roh juga menyatakan kategori
yang sama (1 Yoh 2:18, 19; 4:1-3).
Karena
prinsip perbuatan inilah maka surat 2 Petrus suatu saat pernah juga disisihkan
oleh beberapa orang pada zaman Gereja pertama. Buku ini sempat tidak dimasukkan
ke dalam buku-buku yang permanen dari buku suci orang Kristen, sehingga nenek
moyang kita atau bapak-bapak dari zaman dahulu benar-benar diyakinkan bahwa
buku ini bukanlah suatu pemalsuan, tetapi benar-benar ditulis oleh rasul Petrus
seperti disebutkan dalam 2 Petrus 1:1.
c.
Otentiknya Sebuah Buku. Tanda kemurnian yang
lain dari suatu inspirasi atau suatu wahyu adalah otentiknya buku itu. Buku
apapun yang mempunyai kesalahan fakta atau kesalahan doktrin (dapat dinilai
dari wahyu-wahyu sebelumnya) tidak mungkin merupakan inspirasi dari Allah.
Allah tidak dapat berdusta; FirmanNya pasti benar dan konsisten.
Berdasarkan
pada prinsip-prinsip itu, maka orang-orang Berea menerima pengajaran rasul
Paulus dan menyelidikinya dalam Alkitab untuk melihat apakah yang diajarkan
oleh Paulus itu benar-benar sesuai dengan wahyu Allah dalam Perjanjian Lama
(Kis 17:11). Suatu Pengajaran yang tampaknya cocok dengan wahyu sebelumnya,
belum dapat dipastikan bahwa pengajaran itu merupakan wahyu yang benar, jelas
menunjukkan bahwa suatu pengajaran itu bukan merupakan wahyu yang benar.
Banyak dari
buku-buku yang dinyatakan bukan merupakan ilham roh (Apocrypha) ditolak karena
prinsip otentik ini. Keganjilan-keganjilan yang terjadi dalam sejarah dan
pengajaran agama mereka yang salah, buku-buku tersebut tidak mungkin diterima
sebagai sesuatu yang dari Allah walaupun format dari tulisan itu tampaknya
mempunyai kuasa. Tulisan itu tidak mungkin berasal dari Allah dan sekaligus
tulisan itu mengandung banyak kesalahan.
Beberapa
buku-buku yang murni juga diperiksa dengan dasar dan prinsip yang sama.
Dapatkah surat dari Yakobus merupakan inspirasi apabila berlawanan dengan
pelajaran Paulus tentang pembenaran oleh iman dan tidak oleh pekerjaan? Sebelum
tampak persesuaian yang penting itu, maka buku Yohanes masih diragukan oleh
beberapa orang.
Orang-orang
lain mempertanyakan buku Yudas karena beberapa kutipannya dari buku-buku yang
tidak otentik (lihat ayat-ayat 9 dan 14). Namun kemudian dapat dimengerti bahwa
kutipan-kutipan dari Yudas itu tidak lagi menyatakan kebenaran dari buku-buku
itu dan bahkan Paulus pun mengutip dari karangan yang bukan Kristen (lihat juga
Kis 17:18 dan Tit 1: 12), kemudian tak ada lagi alasan untuk menolak surat
Yudas.
d. Keadaan
Alamiah Yang Dinamis Dari Sebuah Buku. Penguji ke
empat untuk kemurnian tak sejelas tiga yang lainnya. Ujian keempat adalah
kemampuan (dinamika) dari tulisan itu untuk mengubah satu kehidupan.
"Sebab
firman Allah hidup dan kuat" (Ibr 4:12).
Sebagai hasilnya tulisan itu dapat dipakai untuk "mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran" (2 Tim 3:16-17).
Rasul Paulus
menyatakan bahwa kemampuan mengubah kehidupan dari karya tulis itu menentukan
semua tulisan-tulisan untuk dapat diterima atau tidak. 2 Timotius 3:16,17
menunjukkan hal ini.
Paulus menulis
surat pada Timotius, "Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah
mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau
kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus" (ayat 15 kjv).
Petrus pun dalam suratnya mengatakan tentang pembangunan dan pemberitaan
kekuasaan dari Firman (1 Ptr 1:23 ; 2:2).
Berita-berita dan
buku-buku yang lain ditolak karena mereka mengemukakan harapan palsu (1 Raj
22:6-8) atau membunyikan sebuah tanda bahaya yang salah (2 Tes 2:2). Karena
itu, karya-karya tulis tersebut tak dapat membangun orang beriman dalam
kebenaran dari Kristus. Yesus berkata : "Dan kamu akan mengetahui
kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yoh 8:32).
Pengajaran yang palsu tak dapat memerdekakan; hanya kebenaranlah mempunyai
kekuatan untuk beremansipasi.
Beberapa buku
Alkitabiah seperti Kidung Agung dan Pengkhotbah dulunya diragukan karena
beberapa orang menilai buku-buku tersebut kurang mempunyai kuasa membangun yang
dinamis.
Sekali mereka
diyakinkan bahwa Kidung Agung itu bukan hanya sensasi, tapi benar-benar rohani
dan bahwa buku Pengkhotbah bukannya skeptis atau pesimis, tetapi positif dan
membangun (umpamanya 12:9,10); maka kemurniannya tidak lagi begitu diragukan.
e. Penerimaan
Dari Sebuah Buku. Tanda pengesahan yang
terakhir dari tulisan yang penuh kuasa adalah pengakuan dari umat Allah yang
sudah sejak semula ditentukan oleh Tuhan.
Firman Allah
diberikan melalui nabiNya dan harus dapat diakui umatNya dengan kebenaran. Generasi-generasi orang beriman yang berikutnya berusaha untuk mendapat
kepastian akan hal ini.
Karena bilamana
buku itu diterima, dikumpulkan dan dipakai sebagai Firman Allah oleh mereka
yang aslinya wahyu itu ditujukan, maka kemurnian buku itu dapat diteguhkan.
Karena sulitnya
komunikasi dan transportasi pada zaman dahulu maka diperlukan cukup banyak
waktu dan usaha dari bapak-bapak Gereja zaman dahulu untuk menetapkannya. Untuk
alasan inilah pengakuan yang penuh dan yang terakhir akan kemurnian dari ke
enam puluh enam buku itu oleh seluruh Gereja, memerlukan berabad-abad lamanya.
Buku-buku dari Musa
secara langsung diterima oleh umat Allah. Buku-buku itu telah dikumpulkan,
dikutip, disimpan dan bahkan diamankan bagi generasi-generasi yang akan datang.
Surat-surat Paulus
juga dengan segera dapat diterima oleh gereja-gereja yang dituju (1 Tes 2:13)
dan bahkan juga oleh rasul-rasul yang lain (2 Ptr 3:16).
Beberapa tulisan
dengan segera ditolak oleh umat Allah karena kurangnya otoritas rohani (2 Tes
2:2). Nabi-nabi palsu (Mat 7:21-23) dan roh-roh penipu juga telah diuji dan
ditolak (1 Yoh 4:1-3) dimana contoh-contohnya telah banyak ditulis dalam
Alkitab itu sendiri (Yer 5:2 ; 14: 14).
Prinsip tentang
penerimaan buku-buku ini, telah membuat buku-buku seperti 2 dan 3 Yohanes masih
dipertanyakan (dipertimbangkan).
Karena bentuk
tulisan yang bersifat pribadi itu dan karena surat itu tidak begitu tersebar
(hanya terbatas pada kalangan kecil saja), maka dapatlah dimengerti jika dapatnya
diterima buku ini agak diragukan. Tetapi setelah mereka diyakinkan bahwa
buku-buku tersebut telah diterima dalam abad pertama oleh umat Allah yang
menerimanya langsung dari rasul Yohanes, maka kedua buku-buku itu akhirnya
diterima.
Hampir tidak perlu
seorangpun menambahkan sesuatu pada berita seorang nabi. Allah membenarkan
nabi-nabiNya dan melawan mereka yang menolak nabi-nabi tersebut (contohnya, 1
Raj 22:1-8) dan apabila ditantang, Allah benar-benar akan menghancurkan
(merendahkan) umat tersebut. Ketika otoritas Musa ditantang oleh Korah dan
lain-lainnya, bumi terbelah dan menelan mereka hidup-hidup (Bil 16).
Peranan utama Allah
sangat menentukan pengakuan Firman Allah ini. Allah menetapkan otoritas dari
buku-buku yang murni itu, tetapi umat Allah dipanggil untuk menemukan buku-buku
yang mana yang mengandung otoritas dan mana yang tidak. Untuk membantu mereka
mengadakan penemuan ini ada lima uji coba kemurnian seperti yang digariskan di
atas.
3. Proses
Menemukan Kemurnian
Kita tak usah
membayangkan adanya sebuah panitia dari bapak-bapak Gereja dengan tumpukan
buku-buku dan lima pinsip bimbingan ini berada di hadapan mereka, apabila kita
berbicara tentang proses pemurnian itu prosesnya jauh lebih alamiah dan
dinamis.
Beberapa prinsip
hanyalah melengkapi proses tersebut.
Sekalipun ke lima
ciri-ciri tersebut ada dalam semua tulisan yang diwahyukan, tak semua
syarat-syarat pengakuan itu tampak dalam tiap keputusan terhadap masing-masing
buku yang dianggap murni. Umat Allah pada zaman dahulu tidak dapat selalu
melihat dengan segera dan jelas bahwa buku-buku yang bersejarah itu punya
"kekuatan dinamik" atau punya "kuasa otoritas". Bagi mereka
yang lebih jelas adalah fakta dari beberapa buku yang bersifat
"nubuatan" dan "diterima".
Seseorang dapat
dengan mudah melihat bagaimana kata-kata "Demikianlah firman Tuhan"
telah memainkan peranan yang paling menyolok dalam penemuan kemurnian buku-buku
yang menyatakan seluruh rencana keselamatan Allah.
Sebaliknya,
kadang-kadang benar bahwa kuasa dan otoritas dari buku itu lebih nyata
dibanding dengan penulisnya (umpamanya kitab Ibrani).
Dalam hal apapun,
kelima ciri-ciri itu terlibat dalam menemukan kemurnian sebuah buku walaupun
beberapa ciri itu hanya dipakai sebagai pelengkap saja.
Alasannya sederhana
saja, karena buku yang diterima di suatu tempat oleh beberapa orang beriman
itu, wahyunya sulit dibuktikan. Penerimaan yang pertama kali oleh umat Allah
yang merupakan penguji yang terbaik dari otoritas buku tersebut, sangat penting
dan dibutuhkan.
Untuk mendapatkan
keterangan yang lengkap tentang keadaan (situasi) saat wahyu itu diturunkan
dari tiap-tiap lapisan generasi yang satu ke generasi yang lain, memerlukan
waktu yang cukup lama. Begitulah, penerimaan sebuah buku itu penting; tetapi
harus ada dukungan dari keadaan alamiah di sekitarnya.
Dasar yang paling
penting dapat mengganti semua dasar yang lainnya. Di bawah semua proses
pengakuan sebuah buku itu terletak sebuah prinsip dasar ialah keadaan alamiah
dari buku yang bersifat nubuatan itu.
Apabila sebuah buku
ditulis oleh seorang nabi Allah yang sudah diakui, yang sudah mengklaim bahwa
ia telah menerima otoritas dari Allah untuk menyampaikan berita itu, maka buku
itu tidak lagi perlu dipertanyakan.
Pertanyaan apakah tidak
otentiknya sebuah buku itu dapat melemahkan kedudukan sebuah buku nubuatan
adalah benar-benar diragukan. Tak sebuah bukupun yang diberikan oleh Allah
dapat keliru. Apabila sebuah buku yang dikatakan mempunyai kuasa nubuatan itu
tampaknya mengandung kepalsuan, maka kebenaran nubuatan-nubuatan itu harus diperiksa
kembali. Allah tidak mungkin berdusta, dengan jalan ini ke empat prinsip yang
lain itu merupakan penguji ciri-ciri nubuatan yang ada dalam sebuah buku yang
dianggap murni.
[1] Galatia 1:11-12
[2] Sundberg
AC, “The Making of the New Testament Canon” dalam Laymon CM (1971), The Interpreter's One-Volume Commentary on
the Bible (Nashville, Abingdon Press, 1971).
[3] Duncan
GB (1971), “Chronology” dalam Laymon CM (1971), The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible (Nashville,
Abingdon Press, 1971); Davies JN, “Mark” dalam Eiselen FC, Lewis E, Downey DG, The Abingdon Bible Commentary (New York,
Abingdon-Cokesbury Press, 1929); Moffat J, “The formation of the New Testament”
dalam Eiselen FC, Lewis E, Downey DG, The
Abingdon Bible Commentary, dll.
[4] Merujuk
kepada Markus, yang kepengarangannya dihubungkan dengan seorang penerjemah
Petrus, salah seorang murid Yesus. Penting dinyatakan bahwa Papias dengan jelas
menyatakan bahwa pengarang Markus tidak pernah bertemu dengan Yesus dan bukan
salah seorang pengikut Yesus. Lebih jauh, Papias menyatakan bahwa ia lebih
menyukai tradisi-tradisi lisan daripada Injil-injil tertulis yang akrab
dengannya. Jerald F.Dirks, The Cross and
The Crescent (Maryland :
Amana Publications, 2001).
[5] Sundberg
AC, “The Making of the New Testament Canon”
[6] Platt
RH, Brett JA (eds), The Lost Books of the
Bible and The Forgotten Books of Eden (New York: The World Publishing Co); Cameron
R, The Other Gospels: Non-Canonical
Gospel Texts (Philadelphia, The Westminster Press, 1982); Robinson JM, The Nag Hamadi Library in English (San
Francisco: Harper & Row, 1990).
[7] Laymon
CM, The Interpreter's One-Volume
Comentary on the Bible (Nashville: Abingdon Press, 1971)
[8] Sundberg
AC, “The Making of the New Testament Canon”
THANK'S
BalasHapus