Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Rabu, 29 Mei 2013

proses Kanonisasi di dalam Perjanjian Baru dalam Alkitab

KANONISASI PERJANJIAN BARU
Injil Sebelum Kanonisasi

Mungkin sangat mengejutkan bagi sebagian besar kaum Kristen jika menyadari bahwa tulisan-tulisan Kristen awal hanya memberi sedikit perhatian kepada kata-kata dan perbuatan-perbuatan Yesus. Misalnya, surat-surat Paulus (Saulus dari Tarsus) hanya memberikan kiasan-kiasan sangat sederhana mengenai Yesus dalam sejarah (historical Jesus). Begitu sederhana, dalam gereja Kristen awal yang menghasilkan literatur Kristen pertama yang dipelihara, yaitu aspek dari gereja awal yang biasanya diidentifikasi sebagai Paulus atau non-Yahudi, Yesus dalam sejarah diidentikkan dengan apa yang diyakini sebagai proses pengilhaman dan pewahyuan yang terus berjalan. Oleh karenanya, apa yang dikatakan, dilakukan, atau diwahyukan oleh Yesus dalam sejarah sama sekali berlebihan. Yang penting adalah bahwa setiap individu bisa mengklaim otoritas ilahi bagi pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisannya, dengan menyeru pada pengilhaman dan pewahyuan yang terus berjalan melalui Yesus yang konon "dibangkitkan-kembali". Kenyataannya, seluruh klaim Paulus terhadap otoritas apostolik (rasuli) didasarkan pada penegasan yang membesarkan diri-sendiri.[1] Dengan demikian, injil-injil yang diakui berkaitan dengan kehidupan, sejarah, dan perkataan-perkataan Yesus sebenarnya merupakan perkembangan yang relatif belakangan dalam literatur Kristen awal.[2]

Biasanya selalu dinyatakan oleh para sarjana alkitabiah bahwa pada awalnya, injil-injil tersebut berupa seni sastra selama perempat terakhir abad pertama Masehi.[3] Lebih jauh, hingga kira-kira tahun 130 M, salah seorang Bapa Rasuli, yaitu, Papias, uskup Hierapolis, belum benar-benar menyebut injil sebagai nama.[4] Selain itu, bahkan setelah injil-injil itu mulai tampil sebagai satu bentuk karya sastra, injil-injil tersebut tidak sering dikutip sebagai teks otoritatif oleh para pendeta gereja awal. Kenyataannya, selama pertengahan pertama abad ke-2 M, kata-kata yang dianggap berasal dari Yesus sebagaimana dicatat dalam pelbagai macam injil jarang sekali dianggap sebagai teks otoritatif. Baru menjelang akhir perempat ketiga abad ke-2 M, injil-injil tersebut mulai memiliki peran sebagai kitab suci yang otoritatif dalam gereja-gereja Kristen awal.[5] Namun, tulisan injil kemudian mulai mengambil bentuk seni sastra, dan ini akhirnya mengarah pada munculnya injil yang sangat banyak. Berikut ini daftar injil-injil yang berhasil diidentifikasi.





   
 DAFTAR INJIL-INJIL SEBELUM KANONISASI[6]

1. Injil Markus
2. Injil Matius
3. Injil Lukas
4. Injil Yohanes  
5. Dialog Sang Juru Selamat
6. Injil Andreas
7. Injil Apelles
8. Injil Bardesanes  
9. Injil Barnabas  
10. Injil Bartelomeus
11. Injil Basilides 
12. Injil Kelahiran Maria 
13. Injil Cerinthus 
14. Injil Hawa
15. Injil Ebionit  
16. Injil Orang-orang Mesir
17. Injil Encratites
18. Injil Empat Wilayah Surgawi
19.
Injil Orang-orang Ibrani
20. Injil Hesychius
21. Injil Masa Kecil Yesus Kristus
22.
Injil Judas Iskariot
23. Injil Jude
24. Injil Marcion
25. Injil Mani            
 
26. Injil Maria
27. Injil Matthias
28. Injil Merinthus
29.
Injil Menurut Kaum Nazaret
30. Injil Nikomedus
31. Injil Kesempurnaan
32. Injil Petrus
33. Injil Philipus
34. Injil Pseudo-Matius
35. Injil Scythianus
36. Injil Tujuh Puluh
37. Injil Thaddaeus
38. Injil Tomas
39. Injil Titan
40. Injil Kebenaran 
41. Injil Dua Belas Rasul
42. Injil Valentinus
43. Protevangelion James
44. Injil Rahasia Markus
45. Injil Tomas tentang Masa Kecil Yesus Kristus. 





 
 
Injil Setelah Kanonisasi

Dua puluh tujuh kitab yang disebut Perjanjian Baru dalam Alkitab merupakan Kitab Suci umat Kristen. PB terdiri dari satu kitab apokaliptis yang disebut Wahyu kepada Yohanes, satu sejarah gereja awal (Kisah Para Rasul), 21 berupa surat-surat (atas nama Paulus atau yang lain), dan empat disebut Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes). Sangatlah tidak mungkin bahwa ke-27 kitab ini ditulis oleh setiap orang yang memiliki hubungan langsung dengan Yesus,[7] meskipun masing-masing dari keempat injil itu memuat sejarah ajaran dan kenabian Yesus.

Sangat mungkin bahwa kanon Perjanjian Baru berkembang secara bertahap selama beberapa abad. Pada awalnya, selama tiga abad pertama dari apa yang disebut era Kristen, tidak ada konsep mengenai kanon yang resmi dan tertutup berkenaan dengan kitab suci Perjanjian Baru. Beragam kitab dipandang sebagai kitab suci bergantung pada kekuatan klaimnya yang menyatakan sendiri bahwa kitab tersebut diwahyukan dari Tuhan. Peredaran dan popularitasnya di berbagai gereja Kristen menentukan kekuatan klaim itu. Akibatnya, apa yang dulunya dianggap sebagai kitab suci di satu tempat tidak lagi selalu dianggap demikian di tempat lain. 

Namun demikian, pada awal abad ke-4 M, situasi tersebut mulai berubah. Dalam bukunya Ecclesiastical History, Eusebius Pamphili, uskup Kaisarea pada abad ke-4 M, mengusulkan sebuah kanon kitab suci Perjanjian Baru di mana ia mengabaikan banyak kitab yang sekarang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Pada tahun 367 M, Athanasius, uskup Aleksandria, mengedarkan sepucuk surat Orang Timur, yang memasukkan daftar pertama kitab suci Perjanjian Baru yang sesuai dengan Perjanjian Baru sekarang, meskipun hanya beberapa tahun sebelumnya ia telah memperjuangkan Gembala Hermas (The Shepherd of Hermas) sebagai kitab suci yang akurat dan kanonik. Kitab suci Perjanjian Baru kemudian diratifikasi oleh Dewan Hippo tahun 393 M, Sinode Chartage tahun 397 M, dan Dewan Carthagina tahun 419 M. Namun demikian, tidak seluruh gereja Timur sepakat dengan kanon yang diusulkan ini hingga saat ketika terjemahan dalam bahasa Suriah yang kira-kira muncul pada tahun 508 M akhirnya sesuai dengan kanon ini.[8]

Dengan demikian, memerlukan waktu tiga hingga lima abad untuk mengikuti selesainya kenabian Yesus sebelum gereja-gereja Kristen awal merumuskan kanon akhir yang terdiri atas 27 kitab, yang kini merupakan Perjanjian Baru. Di antara ke-27 kitab ini, Al-Qur'an hanya merujuk pada Injil Yesus; empat injil kanonik agama Kristen pasti bukan merupakan kitab wahyu ini, meskipun mereka memasukkan bagian-bagian dari kitab ini dalam pelbagai catatan mereka mengenai "sabda-sabda" yang konon berasal dari Yesus.  
Rujukan:

- Asimov I (1968): Asimov's Guide to the Bible: Volume II. The New Testament. New York, Avon Books.
- Baird W (1971): The gospel according to Luke. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible. Nashville, Abingdon Press, 1971.
- Cameron R (1982): The Other Gospels: Non-Canonical Gospel Texts. Philadelphia, The Westminster Press. 
- Davies JN (1929a): Mark. Dalam Eiselen FC, Lewis E, Downey DG (1929): The Abingdon Bible Commentary. New York, Abingdon-Cokesbury Press. 
- Duncan GB (1971): Chronology. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible. Nashville, Abingdon Press, 1971. 
- Fenton JC (1973): Saint Matthew. Baltimore, Penguin Books. 
- Hennecke E, Schneemelcher W, Wilson RM (1963): New Testament Apocrypha. Volume I. Gospels and Related Writings. Philadelphia, The Westminster Press. 
- Jerald F.Dirks (2001): The Cross and The Crescent. Maryland, Amana Publications. 
- Kee HC (1971): The gospel according to Matthew. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible. Nashville, Abingdon Press, 1971. 
- Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Comentary on the Bible. Nashville, Abingdon Press, 1971.
- Leon Dufour X (1983): Dictionary of the New Testament. San Francisco, Harper & Row. 
- Mack BL (1996): Who Wrote The New Testament?: The Making of the Christian Myth. San Francisco, Harper. 
- Moffat J (1929): The formation of the New Testament. Dalam Eiselen FC, Lewis E, Downey DG (1929): The Abingdon Bible Commentary. New York, Abingdon-Cokesbury Press. 
- Nineham DE (1973): Saint Mark. Baltimore, Penguin Books. 
- Pagels E (1979): The Gnostic Gospels. New York, Random House. 
- Pherigo LP (1971): The gospel according to Mark. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible. Nashville, Abingdon Press, 1971. 
- Platt RH, Brett JA (eds): The Lost Books of the Bible and The Forgotten Books of Eden. New York, The World Publishing Co. 
- Robinson JM (1990): The Nag Hamadi Library in English. San Francisco, Harper. Nag Hamadi, sebuah wilayah di Mesir, adalah tempat ditemukannya berbagai kitab apokrif dan dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan erat dengan gereja Kristen awal (penggalian tahun 1945).
- Shepherd MH (1971): The gospel according to John. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible. Nashville, Abingdon Press, 1971. 
- Sundberg AC (1971): The making of the New Testament canon. Dalam Laymon CM (1971b): The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible. Nashville, Abingdon Press, 1971.

Sejarah

Orang-orang Yahudi telah membakukan bahwa kitab-kitab yang kita sebut Perjanjian Lama diilhami Allah, sedangkan yang lain tidak. Ketika orang-orang Kristen berhadapan dengan berbagai ajaran sesat, mereka mulai merasakan pentingnya membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami Allah dan yang tidak.
Dua kriteria penting yang dipakai gereja untuk mengenal kanon (istilah Yunani yang artinya "standar") adalah yang berasal dari para rasul dan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja.
Dalam mempertimbangkan tulisan rasuli, gereja menganggap Paulus sebagai salah seorang rasul. Meskipun Paulus tidak berjalan bersama-sama dengan Kristus, Paulus bertemu dengan Kristus dalam perjalanannya ke Damaskus. Aktivitas penginjilannya yang tersebar luas – yang dibenarkan dalam Kisah Para Rasul – menjadikannya model seorang rasul.
Setiap Injil harus dihubungkan dengan seorang rasul. Dengan demikian, Injil Markus yang dihubungkan dengan Petrus dan Injil Lukas yang dihubungkan dengan Paulus, mendapat tempat dalam kanon. Setelah para rasul wafat, orang-orang Kristen sangat menghargai kesaksian yang ada dalam Injil tersebut, meskipun Injil tersebut tidak mengungkapkan nama rasul yang terkait.
Tentang penggunaan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja, petunjuknya ialah, "Jika banyak gereja memakai tulisan tersebut dan jika tulisan tersebut dapat terus-menerus meningkatkan moral mereka, maka tulisan tersebut diilhami". Meskipun standar ini menunjukkan pendekatan yang agak pragmatis, namun ada juga logikanya di balik itu. Sesuatu yang diilhami Allah akan mengilhami juga para penyembah-Nya; tulisan yang tidak diilhami pada akhirnya akan lenyap juga.
Namun, standar-standar tersebut saja tidak cukup untuk menentukan sebuah kitab sebagai kanon. Banyak tulisan ajaran sesat membawa-bawa nama rasul. Di samping itu, ada gereja-gereja yang memakai tulisan tersebut sedangkan yang lainnya tidak.
Menjelang akhir abad kedua, keempat Injil, Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus sangat dihargai hampir di semua pelosok. Meskipun tidak pernah ada daftar "resmi", gereja-gereja cenderung berpaling pada tulisan-tulisan ini karena dianggap memiliki otoritas spiritual. Para uskup yang berpengaruh seperti Ignasius, Clemens dari Roma dan Polikarpus telah menjadikan tulisan-tulisan ini mendapat pengakuan yang luas. Namun perdebatan masih berlangsung terhadap Ibrani, Yakobus, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas serta Wahyu.
Daftar ortodoks mula-mula, yang disusun sekitar tahun 200, adalah Kanon Muratori Gereja Roma. Daftar ini meliputi sebagian besar Perjanjian Baru seperti yang kita ketahui masa kini, dan menambahkan Wahyu Petrus dan Kebijaksanaan Salomo. Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah menghapuskan satu buku dan membiarkan yang lain, namun semuanya itu tetap mirip. Karya-karya seperti Gembala Hermas, Didache dan Surat Barnabas sangat disanjung, meskipun banyak orang enggan mengakui buku itu sebagai tulisan yang diiihami.
Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria yang ortodoks dan berpengaruh itu, menulis "Surat Paskah" yang beredar cukup luas. Di dalamnya ia menyebut kedua puluh tujuh buku yang sekarang kita kenal dengan nama Perjanjian Baru. Dengan harapan mencegah jemaatnya dari kesalahan, Athanasius menyatakan bahwa tiada buku lain dapat dianggap sebagai Injil Kristen, meskipun ia longgarkan beberapa, seperti Didache, yang menurutnya, akan berguna bagi ibadah pribadi.
Kanon yang dibuat Athanasius tidak menyelesaikan masalah. Pada tahun 397, Konsili Kartago mensahkan daftar kanon tersebut, tetapi gereja-gereja wilayah Barat agak lamban menyelesaikan kanon. Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang dipertanyakan, meskipun pada akhirnya semua pihak menerima Kitab Wahyu.
Pada akhirnya, daftar kanon yang dibuat Athanasius mendapat pengakuan umum, dan sejak itu gereja-gereja di seluruh dunia tidak pernah menyimpang dari kebijakannya.

Kanonisasi

Kata 'Kanon' merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Ibrani qāneh, yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan “ukuran” atau “tali pengukur” dan kemudian dalam bahasa yunani berubah menjadi kanōn dan mendapat makna yang lebih penting: Pada abad ke-2 M kata kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah untuk Aturan atau Tata Gereja. Sejak abad ke-4 kata kanōn berarti ‘ukuran’ bagi iman Kristen. Jika istilah ini dipakai bagi Alkitab, maka Alkitab dipercayai sebagai ‘ukuran’ bagi Iman dan Hidup orang Kristen.
Kanonisasi Alkitab
Kanonisasi Perjanjian Baru
Kanonisasi Perjanjian Baru memiliki latar belakang yang jauh berbeda. Sejak gereja perdana, Kristus yang bangkit menjadi “ukuran iman” (rule of faith, regulum fidei). Iman pada Kristus itu diturunalihkan dari satu generasi ke generasi lain, baik melalui tradisi oral (kisah kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus) maupun melalui surat-surat dari para rasul kepada jemaat-jemaat.
Namun, masalahnya kemudian, ketika Injil tersebar dan bersentuhan dengan banyak budaya, filsafat dan agama, “Kristus yang bangkit” sebagai regulum fidei itu kemudian diinterpretasi secara berbeda dan bahkan berlawanan satu dengan yang lain, yg muncul lewat banyak tulisan, injil dan surat. Banyak dari ajaran-ajaran tersebut di kemudian hari dicap sebagai unorthodox atau heretic.
Kebutuhan menjawab ajaran-ajaran yang unorthodox ini dibarengi dengan kesadaran bahwa tradisi oral yang mengandalkan memori tidaklah dapat bertahan lama, selain juga bahwa saksi-saksi pertama (para rasul) tidak akan tinggal bersama jemaat selamanya. Karena itulah injil-injil mulai ditulis, menambah koleksi surat-surat rasuli lainnya, yang sudah terlebih dahulu beredar dan diperbanyak di antara jemaat-jemaat.
Dengan makin menguatnya ajaran-ajaran sesat dan makin meluasnya perkembangan Injil, maka muncul dua kebutuhan mendasar: ditetapkannya kanon baru (untuk mendampingi kanon PL) dan dirumuskan kredo-kredo yang menjadi intisari pengajaran rasuli. Kanonisasi PB berlangsung melalui proses yang panjang, sampai akhirnya diputuskan dalam Konsili Carthage (419). Daftar yang muncul di konsili itulah yang kita miliki hingga sekarang, yang diakui oleh seluruh gereja Kristen.
100 CE
200 CE
250 CE
300 CE
400 CE
Bagian-bagian yang berbeda dari PB ditulis pada masa ini namun belum terkoleksi dan didefinisikan sebagai “Kitab Suci.” Para bapa gereja (Polikarpus, Ignatius, dll) mengutip dari Injil-injili dan surat-surat Paulus, selain dari tulisan lain dan sumber-sumber oral.
Surat-surat Paulus dikumpulkan pada akhir abad pertama. Matius, Markus dan Lukas dikumpulkan bersama-sama sekitar tahun 150 CE.
PB di gereja Roma (“Muratorian Canon”)
PB yang dipakai oleh Origenes
PB yang dipakai oleh Eusebius
Konsili Kartage (419)
Empat injil
Kisah
Surat-surat Paulus:
Roma
1&2 Korintus
Galatia
Efesus
Filipi
Kolose
1&2 Tesalonika
1&2 Timotius
Titus
Filemon
Yakobus
1&2 Yohanes
Yudas
Wahyu Yohanes
Wahyu Petrus
Kebijaksanaan Salomo
Empat injil
Kisah
Surat-surat Paulus:
Roma
1&2 Korintus
Galatia
Efesus
Filipi
Kolose
1&2 Tesalonika
1&2 Timotius
Titus
Filemon
1 Petrus
1 Yohanes
Wahyu Yohanes
Empat injil
Kisah
Surat-surat Paulus:
Roma
1&2 Korintus
Galatia
Efesus
Filipi
Kolose
1&2 Tesalonika
1&2 Timotius
Titus
Filemon
1 Petrus
1 Yohanes
Wahyu Yohanes
(kepengarangan diragukan)
Empat injil
Kisah
Surat-surat Paulus:
Roma
1&2 Korintus
Galatia
Efesus
Filipi
Kolose
1&2 Tesalonika
1&2 Timotius
Titus
Filemon
Ibrani
Yakobus
1&2 Petrus
1,2&3 Yohanes
Yudas
Wahyu Yohanes
Dipakai untuk pribadi namun tidak untuk ibadah umum
Diperdebatkan
Diperdebatkan namun dikenal secara baik
Dikeluarkan
Gembala Hermas
Yakobus
2 Petrus
2&3 Yohanes
Yudas
Gembala Hermas
Surat Barnabas
Pengajaran 12 Rasul
Injil Ibrani
Yakobus
2 Petrus
2&3 Yohanes
Yudas
Gembala Hermas
Surat Barnabas
Injil Ibrani
Wahyu Petrus
Kisah Petrus
Didache
Apakah kriteria yang dipakai untuk menentukan diterima tidaknya sebuah kitab? Setidaknya ada empat kriteria dasar:
Kerasulan. Sebuah kitab diterima sejauh terbukti meneruskan tradisi rasuli, yaitu para murid Yesus.
Ortodoksi. Sekalipun harus diakui bahwa masing-masing kitab memiliki keunikan masing-masing yang membuat keseluruhan Alkitab berwujud sebuah “diversity”, namun diakui pula bahwa masing-masing Alkitab memiliki kesatuan (unity) yang berporos pada iman yang sama pada Kristus yang bangkit dan dimuliakan.
Antiquity. Yang diakui adalah kitab-kitab yang lebih kuno atau yang paling dekat dengan peristiwa Yesus.
Pemakaian dalam Komunitas. Hanya kitab-kitab yang dipakai secara meluas oleh jemaat yang dimasukkan ke dalam kanon. Joas Adiprasetya
Buku-buku yang palsu dan tulisan-tulisan yang palsu bukannya jarang didapatkan. Buku-buku itu selalu ada dan merupakan suatu ancaman, karena itu sangat penting bagi umat Allah untuk dengan sangat hati-hati memilih buku-buku pilihannya yang kudus.
a. Dua Kategori Dari Tulisan Yang Suci. Tulisan-tulisan yang suci harus diperiksa dengan dua kategori ini :
1.      Buku-buku yang hanya dapat diterima oleh beberapa orang beriman, tapi tidak oleh orang beriman yang lain; dan
2.      Tulisan-tulisan yang pernah diterima tetapi yang kemudian diragukan.
(Dalam abad-abad yang terdahulu, buku itu dikira merupakan inspirasi dari Allah atau merupakan wahyu dari Allah, tetapi sekarang dipertanyakan/diragukan)
Tulisan-tulisan dengan kedua kategori ini diperiksa oleh majelis gereja untuk dipastikan (diteguhkan) apakah mereka itu termasuk bagian dari Alkitab atau tidak.
b. Lima Kriteria Dasar.
1.      Mempunyai Kekuasaan Otoritas. Apakah buku ini mempunyai kekuasaan otoritas? Apakah buku itu dapat dikatakan merupakan buku yang berasal dari Allah?
2.      Mengandung Nubuatan. Apakah mengandung nubuatan? Apakah ditulis oleh hamba Allah?
3.      Otentik. Apakah buku itu otentik? Apakah buku itu menceritakan kebenaran tentang Allah, manusia dan sebagainya?
4.      Dinamis. Apakah buku ini dinamis? Artinya mempunyai kuasa mengubahkan hidup?
5.      Diterima. Apakah buku ini dapat diterima oleh orang-orang yang pada mereka buku itu pertama kali ditulisnya? Apakah buku itu dapat dikatakan berasal dari Allah?
2. Lima Kriteria Dasar Secara Terperinci.
a. Kuasa Otoritas Dari Sebuah Buku. Setiap buku di dalam Alkitab dapat dikatakan mempunyai otoritas yang kudus. Sering kali pernyataan "Demikianlah Firman Tuhan" tertulis di sana. Kadang-kadang nada dan peringatan-peringatan menunjukkan bahwa kitab itu murni dan bersifat ilahi. Dalam kepustakaan atau kitab-kitab yang mengandung pengajaran ada pernyataan-pernyataan yang kudus mengajarkan apa yang harus dilakukan oleh orang-orang beriman.
Dalam buku-buku sejarah peringatan-peringatan itu lebih disinggung dan pernyataan-pernyataan yang mempunyai kuasa otoritas lebih menyatakan tentang apa yang Allah lakukan dalam sejarah umatNya. Apabila sebuah buku kurang menceritakan tentang otoritas Allah, maka buku itu dapat dikatakan tidak murni dan ditolak menjadi buku yang termasuk dalam Alkitab.
Marilah kita menggambarkan prinsip dari otoritas sebagaimana hubungannya dengan kemurnian. Di dalam buku-buku dari para nabi, kita dengan mudah dapat melihat adanya prinsip otoritas ini.
Kata-kata yang sering diulang adalah "Dan Tuhan berkata kepadaku" atau Firman Tuhan datang kepadaku". Seringnya kata-kata ini diulang, memberikan bukti yang begitu nyata bahwa kata-kata ini berasal dari wewenang yang kudus.
Beberapa buku tidak mempunyai kata-kata yang dapat dianggap suci dan karena itu ditolak serta dinyatakan sebagai buku yang tidak murni.
Mungkin inilah yang terjadi dengan buku dari "Yaser" dan buku "Peperangan dari Tuhan". Masih ada lagi buku-buku lain yang diragukan dan dipertanyakan tentang kemurnian otoritasnya tetapi yang akhirnya dapat diterima sebagai buku yang murni seperti halnya dengan Kitab Ester.
Kitab Ester ini disetujui dan dimasukkan sebagai buku yang murni dari orang Yahudi, karena di dalamnya jelas diceritakan tentang perlindungan dan kemudian pernyataan dari Allah atas umatNya sebagai suatu fakta yang tidak dapat dibantah lagi. Sungguh, fakta-fakta yang menunjukkan bahwa buku-buku yang suci harus lebih dulu dipertanyakan, menunjukkan bahwa orang-orang beriman itu selalu memilih-milih yang terbaik atau menyaring buku-buku yang baik. Apabila mereka tidak benar-benar diyakinkan bahwa buku itu mempunyai otoritas yang suci, maka buku itu ditolak.
b. Buku Yang Mempunyai Kuasa Nubuatan. Buku-buku yang mengandung wahyu ditulis hanya karena gerakan Roh Kudus oleh orang-orang yang dikenal sebagai nabi-nabi (2 Ptr 1:20-21). Firman Allah diberikan kepada umatNya hanya melalui nabi-nabiNya. Setiap pengarang buku alkitabiah mempunyai karunia nubuatan atau fungsi nubuatan, sekalipun pekerjaan mereka bukan sebagai seorang nabi (Ibr 1:1).
Di dalam kitab Galatia, rasul Paulus membantah bahwa tulisan dan pengajarannya harus diterima karena ia adalah seorang rasul, "bukan karena manusia juga bukan oleh manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah Bapa" (Gal 1:1). Bukunya harus diterima karena buku bersifat pengajaran kerasulan, yaitu berasal dari seorang pembicara atau seorang nabi yang ditentukan oleh Allah.
Buku-buku harus ditolak apabila buku-buku tersebut tidak berasal dari nabi-nabi Allah yang secara jelas diperingatkan oleh rasul Paulus, untuk tidak menerima buku dari seseorang yang dengan palsu menegaskan dirinya sebagai seorang rasul (2 Tes 2:2) dan juga diperingatkan oleh rasul Paulus pada sidang di Korintus tentang rasul-rasul yang palsu (2 Kor 11:13).
Peringatan Yohanes tentang Mesias palsu dan untuk menguji roh juga menyatakan kategori yang sama (1 Yoh 2:18, 19; 4:1-3).
Karena prinsip perbuatan inilah maka surat 2 Petrus suatu saat pernah juga disisihkan oleh beberapa orang pada zaman Gereja pertama. Buku ini sempat tidak dimasukkan ke dalam buku-buku yang permanen dari buku suci orang Kristen, sehingga nenek moyang kita atau bapak-bapak dari zaman dahulu benar-benar diyakinkan bahwa buku ini bukanlah suatu pemalsuan, tetapi benar-benar ditulis oleh rasul Petrus seperti disebutkan dalam 2 Petrus 1:1.
c. Otentiknya Sebuah Buku. Tanda kemurnian yang lain dari suatu inspirasi atau suatu wahyu adalah otentiknya buku itu. Buku apapun yang mempunyai kesalahan fakta atau kesalahan doktrin (dapat dinilai dari wahyu-wahyu sebelumnya) tidak mungkin merupakan inspirasi dari Allah. Allah tidak dapat berdusta; FirmanNya pasti benar dan konsisten.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip itu, maka orang-orang Berea menerima pengajaran rasul Paulus dan menyelidikinya dalam Alkitab untuk melihat apakah yang diajarkan oleh Paulus itu benar-benar sesuai dengan wahyu Allah dalam Perjanjian Lama (Kis 17:11). Suatu Pengajaran yang tampaknya cocok dengan wahyu sebelumnya, belum dapat dipastikan bahwa pengajaran itu merupakan wahyu yang benar, jelas menunjukkan bahwa suatu pengajaran itu bukan merupakan wahyu yang benar.
Banyak dari buku-buku yang dinyatakan bukan merupakan ilham roh (Apocrypha) ditolak karena prinsip otentik ini. Keganjilan-keganjilan yang terjadi dalam sejarah dan pengajaran agama mereka yang salah, buku-buku tersebut tidak mungkin diterima sebagai sesuatu yang dari Allah walaupun format dari tulisan itu tampaknya mempunyai kuasa. Tulisan itu tidak mungkin berasal dari Allah dan sekaligus tulisan itu mengandung banyak kesalahan.
Beberapa buku-buku yang murni juga diperiksa dengan dasar dan prinsip yang sama. Dapatkah surat dari Yakobus merupakan inspirasi apabila berlawanan dengan pelajaran Paulus tentang pembenaran oleh iman dan tidak oleh pekerjaan? Sebelum tampak persesuaian yang penting itu, maka buku Yohanes masih diragukan oleh beberapa orang.
Orang-orang lain mempertanyakan buku Yudas karena beberapa kutipannya dari buku-buku yang tidak otentik (lihat ayat-ayat 9 dan 14). Namun kemudian dapat dimengerti bahwa kutipan-kutipan dari Yudas itu tidak lagi menyatakan kebenaran dari buku-buku itu dan bahkan Paulus pun mengutip dari karangan yang bukan Kristen (lihat juga Kis 17:18 dan Tit 1: 12), kemudian tak ada lagi alasan untuk menolak surat Yudas.
d. Keadaan Alamiah Yang Dinamis Dari Sebuah Buku. Penguji ke empat untuk kemurnian tak sejelas tiga yang lainnya. Ujian keempat adalah kemampuan (dinamika) dari tulisan itu untuk mengubah satu kehidupan.
"Sebab firman Allah hidup dan kuat" (Ibr 4:12). Sebagai hasilnya tulisan itu dapat dipakai untuk "mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2 Tim 3:16-17).
Rasul Paulus menyatakan bahwa kemampuan mengubah kehidupan dari karya tulis itu menentukan semua tulisan-tulisan untuk dapat diterima atau tidak. 2 Timotius 3:16,17 menunjukkan hal ini.
Paulus menulis surat pada Timotius, "Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus" (ayat 15 kjv). Petrus pun dalam suratnya mengatakan tentang pembangunan dan pemberitaan kekuasaan dari Firman (1 Ptr 1:23 ; 2:2).
Berita-berita dan buku-buku yang lain ditolak karena mereka mengemukakan harapan palsu (1 Raj 22:6-8) atau membunyikan sebuah tanda bahaya yang salah (2 Tes 2:2). Karena itu, karya-karya tulis tersebut tak dapat membangun orang beriman dalam kebenaran dari Kristus. Yesus berkata : "Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yoh 8:32). Pengajaran yang palsu tak dapat memerdekakan; hanya kebenaranlah mempunyai kekuatan untuk beremansipasi.
Beberapa buku Alkitabiah seperti Kidung Agung dan Pengkhotbah dulunya diragukan karena beberapa orang menilai buku-buku tersebut kurang mempunyai kuasa membangun yang dinamis.
Sekali mereka diyakinkan bahwa Kidung Agung itu bukan hanya sensasi, tapi benar-benar rohani dan bahwa buku Pengkhotbah bukannya skeptis atau pesimis, tetapi positif dan membangun (umpamanya 12:9,10); maka kemurniannya tidak lagi begitu diragukan.
e. Penerimaan Dari Sebuah Buku. Tanda pengesahan yang terakhir dari tulisan yang penuh kuasa adalah pengakuan dari umat Allah yang sudah sejak semula ditentukan oleh Tuhan.
Firman Allah diberikan melalui nabiNya dan harus dapat diakui umatNya dengan kebenaran. Generasi-generasi orang beriman yang berikutnya berusaha untuk mendapat kepastian akan hal ini.
Karena bilamana buku itu diterima, dikumpulkan dan dipakai sebagai Firman Allah oleh mereka yang aslinya wahyu itu ditujukan, maka kemurnian buku itu dapat diteguhkan.
Karena sulitnya komunikasi dan transportasi pada zaman dahulu maka diperlukan cukup banyak waktu dan usaha dari bapak-bapak Gereja zaman dahulu untuk menetapkannya. Untuk alasan inilah pengakuan yang penuh dan yang terakhir akan kemurnian dari ke enam puluh enam buku itu oleh seluruh Gereja, memerlukan berabad-abad lamanya.
Buku-buku dari Musa secara langsung diterima oleh umat Allah. Buku-buku itu telah dikumpulkan, dikutip, disimpan dan bahkan diamankan bagi generasi-generasi yang akan datang.
Surat-surat Paulus juga dengan segera dapat diterima oleh gereja-gereja yang dituju (1 Tes 2:13) dan bahkan juga oleh rasul-rasul yang lain (2 Ptr 3:16).
Beberapa tulisan dengan segera ditolak oleh umat Allah karena kurangnya otoritas rohani (2 Tes 2:2). Nabi-nabi palsu (Mat 7:21-23) dan roh-roh penipu juga telah diuji dan ditolak (1 Yoh 4:1-3) dimana contoh-contohnya telah banyak ditulis dalam Alkitab itu sendiri (Yer 5:2 ; 14: 14).
Prinsip tentang penerimaan buku-buku ini, telah membuat buku-buku seperti 2 dan 3 Yohanes masih dipertanyakan (dipertimbangkan).
Karena bentuk tulisan yang bersifat pribadi itu dan karena surat itu tidak begitu tersebar (hanya terbatas pada kalangan kecil saja), maka dapatlah dimengerti jika dapatnya diterima buku ini agak diragukan. Tetapi setelah mereka diyakinkan bahwa buku-buku tersebut telah diterima dalam abad pertama oleh umat Allah yang menerimanya langsung dari rasul Yohanes, maka kedua buku-buku itu akhirnya diterima.
Hampir tidak perlu seorangpun menambahkan sesuatu pada berita seorang nabi. Allah membenarkan nabi-nabiNya dan melawan mereka yang menolak nabi-nabi tersebut (contohnya, 1 Raj 22:1-8) dan apabila ditantang, Allah benar-benar akan menghancurkan (merendahkan) umat tersebut. Ketika otoritas Musa ditantang oleh Korah dan lain-lainnya, bumi terbelah dan menelan mereka hidup-hidup (Bil 16).
Peranan utama Allah sangat menentukan pengakuan Firman Allah ini. Allah menetapkan otoritas dari buku-buku yang murni itu, tetapi umat Allah dipanggil untuk menemukan buku-buku yang mana yang mengandung otoritas dan mana yang tidak. Untuk membantu mereka mengadakan penemuan ini ada lima uji coba kemurnian seperti yang digariskan di atas.
3. Proses Menemukan Kemurnian
Kita tak usah membayangkan adanya sebuah panitia dari bapak-bapak Gereja dengan tumpukan buku-buku dan lima pinsip bimbingan ini berada di hadapan mereka, apabila kita berbicara tentang proses pemurnian itu prosesnya jauh lebih alamiah dan dinamis.
Beberapa prinsip hanyalah melengkapi proses tersebut.
Sekalipun ke lima ciri-ciri tersebut ada dalam semua tulisan yang diwahyukan, tak semua syarat-syarat pengakuan itu tampak dalam tiap keputusan terhadap masing-masing buku yang dianggap murni. Umat Allah pada zaman dahulu tidak dapat selalu melihat dengan segera dan jelas bahwa buku-buku yang bersejarah itu punya "kekuatan dinamik" atau punya "kuasa otoritas". Bagi mereka yang lebih jelas adalah fakta dari beberapa buku yang bersifat "nubuatan" dan "diterima".
Seseorang dapat dengan mudah melihat bagaimana kata-kata "Demikianlah firman Tuhan" telah memainkan peranan yang paling menyolok dalam penemuan kemurnian buku-buku yang menyatakan seluruh rencana keselamatan Allah.
Sebaliknya, kadang-kadang benar bahwa kuasa dan otoritas dari buku itu lebih nyata dibanding dengan penulisnya (umpamanya kitab Ibrani).
Dalam hal apapun, kelima ciri-ciri itu terlibat dalam menemukan kemurnian sebuah buku walaupun beberapa ciri itu hanya dipakai sebagai pelengkap saja.
Alasannya sederhana saja, karena buku yang diterima di suatu tempat oleh beberapa orang beriman itu, wahyunya sulit dibuktikan. Penerimaan yang pertama kali oleh umat Allah yang merupakan penguji yang terbaik dari otoritas buku tersebut, sangat penting dan dibutuhkan.
Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap tentang keadaan (situasi) saat wahyu itu diturunkan dari tiap-tiap lapisan generasi yang satu ke generasi yang lain, memerlukan waktu yang cukup lama. Begitulah, penerimaan sebuah buku itu penting; tetapi harus ada dukungan dari keadaan alamiah di sekitarnya.
Dasar yang paling penting dapat mengganti semua dasar yang lainnya. Di bawah semua proses pengakuan sebuah buku itu terletak sebuah prinsip dasar ialah keadaan alamiah dari buku yang bersifat nubuatan itu.
Apabila sebuah buku ditulis oleh seorang nabi Allah yang sudah diakui, yang sudah mengklaim bahwa ia telah menerima otoritas dari Allah untuk menyampaikan berita itu, maka buku itu tidak lagi perlu dipertanyakan.
Pertanyaan apakah tidak otentiknya sebuah buku itu dapat melemahkan kedudukan sebuah buku nubuatan adalah benar-benar diragukan. Tak sebuah bukupun yang diberikan oleh Allah dapat keliru. Apabila sebuah buku yang dikatakan mempunyai kuasa nubuatan itu tampaknya mengandung kepalsuan, maka kebenaran nubuatan-nubuatan itu harus diperiksa kembali. Allah tidak mungkin berdusta, dengan jalan ini ke empat prinsip yang lain itu merupakan penguji ciri-ciri nubuatan yang ada dalam sebuah buku yang dianggap murni.




[1] Galatia 1:11-12
[2] Sundberg AC, “The Making of the New Testament Canon” dalam Laymon CM (1971), The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible (Nashville, Abingdon Press, 1971).
[3] Duncan GB (1971), “Chronology” dalam Laymon CM (1971), The Interpreter's One-Volume Commentary on the Bible (Nashville, Abingdon Press, 1971); Davies JN, “Mark” dalam Eiselen FC, Lewis E, Downey DG, The Abingdon Bible Commentary (New York, Abingdon-Cokesbury Press, 1929); Moffat J, “The formation of the New Testament” dalam Eiselen FC, Lewis E, Downey DG, The Abingdon Bible Commentary, dll. 
[4] Merujuk kepada Markus, yang kepengarangannya dihubungkan dengan seorang penerjemah Petrus, salah seorang murid Yesus. Penting dinyatakan bahwa Papias dengan jelas menyatakan bahwa pengarang Markus tidak pernah bertemu dengan Yesus dan bukan salah seorang pengikut Yesus. Lebih jauh, Papias menyatakan bahwa ia lebih menyukai tradisi-tradisi lisan daripada Injil-injil tertulis yang akrab dengannya. Jerald F.Dirks, The Cross and The Crescent (Maryland: Amana Publications, 2001). 
[5] Sundberg AC, “The Making of the New Testament Canon”
[6] Platt RH, Brett JA (eds), The Lost Books of the Bible and The Forgotten Books of Eden (New York: The World Publishing Co); Cameron R, The Other Gospels: Non-Canonical Gospel Texts (Philadelphia, The Westminster Press, 1982); Robinson JM, The Nag Hamadi Library in English (San Francisco: Harper & Row, 1990).
[7] Laymon CM, The Interpreter's One-Volume Comentary on the Bible (Nashville: Abingdon Press, 1971)
[8] Sundberg AC, “The Making of the New Testament Canon”

1 komentar: