Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Senin, 20 Mei 2013

Dari Filsafat Barat Kuno sampai ke Filsafat Modern


Dari Filsafat Barat Kuno sampai ke Filsafat Modern


Secara ringkas kita bisa membuat suatu pembagian Sejarah Filsafat Barat. Filsafat barat berangkat dari kehidupan bangsa Yunani kuno. Adapun, sejarah filsafat Barat hingga jaman Filsafat Modern bisa dibagi menjadi empat jaman;
1.      Filsafat Kuno
2.      Filsafat Abad Pertengahan
3.      Filsafat Modern
4.      Filsafat Abad ke 19 dan 20
Pembicaraan tentang filsafat Kuno mengacu pada kisaran waktu kurang lebih 10 abad. Mulai dari abad 6 SM, hingga awal abad pertengahan. Zaman yang panjang ini meliputi suatu perkembangan pemikiran yang dapat dibagi lagi menjadi empat periode:
1.      Periode filsafat Pra Socrates
2.      Periode Sokrates, Plato dan Aristoteles
3.      Periode Helenis-Romawi
4.      Periode filsafat Patristik

Periode Filsafat Kuno
Dalam arti yang luas seluruh zaman ini mewujudkan asal muasal dari filsafat yang ada sekarang, sekalipun dalam arti yang lebih sempit awal zaman ini, yaitu zaman pra Socrateslah yang menjadi awal mula filsafat modern sekarang ini.
Pemikiran pada zaman ini hampir seluruhnya adalah hasil roh Yunani, sebab pengaruh pemikiran Timur pada zaman Helenis-Romawi tidak dapat dipastikan, sedang sumbangan pemikiran Romawi hanya sedikit sekali. Memang, pada zaman ini telah timbul suatu unsur baru yang dimasukkan oleh agama Kristen, namun pada asasnya filsafat zaman ini adalah filsafat Yunani.
Periode Yunani Kuno ini ditandai oleh pergeseran dari mitos ke logos. Penjelasan-penjelasan mitologis tidak lagi memuaskan pemikiran manusia. Ada pergeseran dari penjelasan-penjelasan mitologis berdasarkan kepercayaan irrasional tentang gejala-gejala alam bergeser pada penjelasan logis berdasarkan rasio. Filsuf-filsuf alam mulai mencari penjelasan rasional atas prinsip dasar yang melandasi gejala-gejala alam. Mereka mulai menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan tentang asal pertama (arkhe) dan prinsip yang mengatur alam semesta.
Setelah para filsuf alam memusatkan perhatian dan pikiran mereka pada alam semesta, kemudian muncullah para filsuf yang mengkonsentrasikan minat mereka pada permasalahan manusia. Mereka itu adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran berkaitan dengan bagaimana hidup bermasyarakat yang baik. Obyek pemikiran mereka beralih dari alam semesta kepada manusia itu sendiri. 

Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan, yang disebut juga zaman skolastik. Filsafat di jaman Skolastik ini mewujudkan suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan filsafat kuno yang mendahuluinya. Hal ini disebabkan karena rumpun bangsa yang berfilsafat sudah berbeda sekali dengan rumpun bangsa pada zaman filsafat kuno.
Perpindahan bangsa-bangsa yang terjadi secara besar-besaran pada zaman ini telah menimbulkan huru-hura di Eropa, yang mengakibatkan runtuhnya kekaisaran Romawi bagian barat serta runtuhnya peradaban Kristen, yang pada waktu berkembang di Eropa selatan dan di Afrika utara. Mulai sekarang suatu rumpun bangsa yang baru, yaitu bangsa Eropa barat, mengembangkan pikirannya, sekalipun pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filsafat kuna. Sifat filsafat pada zaman ini adalah demikian, bahwa orang mencoba mempersatukan secara harmonis apa yang diketahui dari akal budi dengan apa yang diketahui dari wahyu. Dengan demikian timbullah suatu sistem pandangan dunia kristiani yang rangkap, di mana iman dan ilmu pengetahuan mendapatkan tempatnya masing-masing.
Filsafat modern, yang adalah filsafat barat dalam arti yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena baru pada jaman setelah abad pertengahanlah muncul di segala bidang hidup syarat-syarat yang diperlukan bagi perkembangan suatu pemikiran yang bebas.
Filsafat abad pertengahan masih bergerak dalam belenggu kekuasaan teologia dan iman Kristen. Pemikiran filosofis pada abad ini (300 – 1300 M) kehilangan otonominya. Pemikiran abad pertengahan  bercorak teosentris (berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan). Para filsuf-rohaniawan seperti Thomas Aquinas dan St. Bonaventura adalah rohaniwan-rohaniwan yang hendak merekonsiliasi akal dan wahyu. Kebenaran wahyu mereka buktikan tidak berbeda dengan kebenaran yang dihasilkan dengan akal. Meskipun Thomas Aquinas bersifat netral terhadap dikotomi/akal, atmosfer yang meliputi hampir seluruh pemikiran di abad pertengahan memperlakukan akal sekadar hamba perempuan dari teologi (ancilla teologia). Dalam mencapai kebenaran, St. Agustinus (1354-1430), bahkan tidak percaya pada kekuatan akal semata. Kebenaran utama adalah kebenaran teologis yang termaktub dalam wahyu Tuhan. Manusia tidak mampu mencapai pengetahuan sejati tanpa iluminasi kebenaran Ilahi. Singkatnya, rasionalitas mengalami deotonomisasi dari posisinya yang independen pada masa filsuf-filsuf  Yunani. Filsafat menjadi hamba dari teologi di mana ia digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu. Upaya para filsuf-rohaniwan untuk merekonsiliasi iman dan akal juga tidak banyak membawa hasil. Di masa ini pertentangan antara wahyu dan akal bahkan semakin menajam dan cenderung mengeras. Banyak sekali ilmuwan-ilmuwan yang dieksekusi karena mewartakan kebenaran ilmiah yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu. Ilmu pengetahuan pun menjadi sedikit terhambat perkembangannya.

Filsafat Modern
Lebih kurang selama sepuluh abad lamanya, pemikiran filosofis dan ilmu pengetahuan ditekan dan dikuasai oleh kebenaran teologis yang berdasarkan iman. Kecenderungan semacam ini sering disebut dengan Fideisme – ketaatan buta pada iman. Baru pada zaman setelah abad pertengahan itulah filsafat barat menjadi suatu kekuatan rohani yang berdiri sendiri dengan wataknya sendiri. Hal ini disebabkan karena timbulnya Renaissance[1], di mana orang lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia sendiri, bukan kepada Allah, kepada hidup sekarang ini, bukan kepada hidup di akhirat. Renaissance kemudian disusul oleh Pencerahan (aufklarung), yang menjadikan manusia merasa menjadi dewasa, makin percaya kepada diri sendiri dan berusaha membebaskan diri dari segala kuasa yang mengikatnya, yaitu tradisi gerejani. Demikianlah sejak timbulnya Renaissance manusia berusaha menegakkan suatu pandangan dunia secara sistematis serta mengembangkannya secara metodis, sehingga menjadi suatu bangunan pandangan dunia yang lengkap.
Renaissance yang kemudian diikuti oleh masa pencerahan menjadi titik tolak modernisme di mana ilmu pengetahuan, filsafat, dan ideologi berkembang sedemikian pesat. Otonomi manusia (antroposentris) menjadi roh zaman modern. Kebangkitan kembali  rasio yang mewarnai zaman modern tidak bisa dilepaskan dari pemikiran filsuf Perancis Rene Descartes yang berjasa mengembalikan peranan sentral akal budi yang sekian lama dijadikan hamba sahaya dari keimanan. Pikirannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (Saya berpikir, maka saya ada). Akal budi adalah satu-satunya sumber bagi pengetahuan, kesan-kesan inderawi dianggap sebagai ilusi yang hanya bisa diatasi oleh kemampuan yang dimiliki rasio. Pemikiran Descartes mendapat tanggapan keras dari para filsuf yang lain. Misalnya para filsuf Inggris seperti David Hume, John Locke, dan George Berkeley, yang menganut aliran empirisme. Mereka berpikiran bahwa pengetahuan hanya diperoleh dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan pemikiran di antara para filsuf berlangsung terus hingga filsuf Jerman Immanuel Kant yang berhasil mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme. Dia berpendapat bahwa kedua aliran tersebut terlalu ekstrim dalam memahami sumber pengetahuan. Menurut Kant, baik rasio maupun pengalaman empiris merupakan sumber-sumber pengetahuan di mana kesan-kesan dan empiri dibangun oleh rasio manusia melalui kategori-kategori menjadi pengetahuan.
Sekalipun para pemikir pada zaman ini berbeda-beda keadaannya, dan penyelidikan fisalfati mereka mengarah kepada jurusan yang berbeda-beda juga, namun semua itu mewujudkan suatu kesatuan juga. Kesatuan itu ada karena semuanya itu telah membantu dibentuknya kebudayaan Barat. Zaman ini menjadikan orang tahu dengan jelas segala apa yang hidup di dalam kesadaran manusia, segala apa yang dicari manusia pada suatu zaman tertentu dan segala apa yang telah menggerakkan hati nurani manusia yang terdalam itu. Jawaban mereka memang bermacam-macam, akan tetapi sekarang orang tahu bahwa filsafat diperlukan sekali.


Filsafat Abad-19 dan abad 20
Memasuki abad ke-19 filsafat menjadi terpecah-pecah: ada filsafat Jerman, filsafat Perancis, filsafat Inggris, Amerika, dan Rusia. Para bangsa mengikuti jalannya sendiri-sendiri dan masing-masing membentuk kepribadiannya sendiri, dengan cara dan pengertian dasar sendiri-sendiri. Demikianlah para bangsa di Eropa tidak lagi mencerminkan satu roh, roh Eropa. Sekalipun masih ada kesamaan juga. Pemikiran yang bermacam-macam itu sebenarnya menampakkan aspek yang bermacam-macam dari suatu kebudayaan.
Sudah barang tentu tidak mungkin dibicarakan semua filsafat yang telah pernah ada atau yang masih ada secara terperinci. Harus dibatasi dan dipilih, terlebih berkaitan dengan filsafat abad 19 dan 20.
a.       Positivisme
Aliran ini dimulai oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Dialah sosiolog pertama yang mengatakan bahwa pemikiran manusia, pemikiran setiap ilmu, dan pemikiran suku bangsa manusia pada umumnya melewati tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif-ilmiah. Manusia yang masih muda, atau suku-suku primitif, membutuhkan dewa-dewa untuk menerangkan gejala-gejala. Para remaja atau suku-suku yang sudah mulai dewasa, memakai prinsip-prinsip abstrak-metafisis untuk menerangkan kenyataan. Orang dewasa, manusia masa kini, hanya memakai metode-metode positif ilmiah.
Positivisme (lawan dari khayalan metafisis) menjadi sangat populer di Inggris pada filsuf-filsuf seperti J. Stuart Mill (1806-1873) dan H. Spencer (1820-1903). Dalam abad ke-20 positivisme diperbaharui dalam neo-positivisme, suatu aliran yang mempunyai asalnya di Wina. Oleh karena itu, filsuf-filsuf dari aliran ini disebut anggota-anggota dari lingkaran Wina.

b.      Marxisme
Aliran ini mengajarkan, sebagai materialisme dialektis, bahwa kenyataan kita akhirnya hanya terdiri dari materi, yang berkembang melalui suatu proses dialektis (yaitu ritme tesis-antitesis-sintesis). Tokoh-tokoh materialisme dialektis terutama K. Marx (1818-1883) dan F. Engels (1820-1895).
c.       Eksitensialisme
d.      Fenomenologi
e.       Pragmatisme
f.       Neo-Kantianisme dan Neo-tomisme
g.      Aliran-aliran paling  baru


[1][1][1] Istilah Rennaisance berarti kelahiran kembali pemikiran filsafat yang otonom dengan mempelajari kembali karya-karya klasik filsuf-filsuf Yunani Kuno, yang selama ini “disembunyikan” dan dimonopoli kalangan elit Gereja. 

2 komentar:

  1. artikel yang manarik,,, jangan lupa mampir di blog sya ya..http://duniapendidikan33.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. anda tidak membicarakan pengaruh para pemikir islam yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran abad pertengahan.. dalam etika ilmu ini disebut menyembunyikan kebenaran karena anda membicarakan perkembangan ilmu pengetahuan bukan sejarah teologi pemikiran agama

    BalasHapus