Dari Filsafat Barat Kuno
sampai ke Filsafat Modern
Secara
ringkas kita bisa membuat suatu pembagian Sejarah Filsafat Barat. Filsafat
barat berangkat dari kehidupan bangsa Yunani kuno. Adapun, sejarah filsafat
Barat hingga jaman Filsafat Modern bisa dibagi menjadi empat jaman;
1.
Filsafat Kuno
2.
Filsafat Abad Pertengahan
3.
Filsafat Modern
4.
Filsafat Abad ke 19 dan 20
Pembicaraan
tentang filsafat Kuno mengacu pada kisaran waktu kurang lebih 10 abad. Mulai
dari abad 6 SM, hingga awal abad pertengahan. Zaman yang panjang ini meliputi
suatu perkembangan pemikiran yang dapat dibagi lagi menjadi empat periode:
1.
Periode filsafat Pra Socrates
2.
Periode Sokrates, Plato dan
Aristoteles
3.
Periode Helenis-Romawi
4.
Periode filsafat Patristik
Periode Filsafat Kuno
Dalam arti yang luas
seluruh zaman ini mewujudkan asal muasal dari filsafat yang ada sekarang,
sekalipun dalam arti yang lebih sempit awal zaman ini, yaitu zaman pra
Socrateslah yang menjadi awal mula filsafat modern sekarang ini.
Pemikiran pada zaman
ini hampir seluruhnya adalah hasil roh Yunani, sebab pengaruh pemikiran Timur
pada zaman Helenis-Romawi tidak dapat dipastikan, sedang sumbangan pemikiran
Romawi hanya sedikit sekali. Memang, pada zaman ini telah timbul suatu unsur
baru yang dimasukkan oleh agama Kristen, namun pada asasnya filsafat zaman ini
adalah filsafat Yunani.
Periode Yunani Kuno ini
ditandai oleh pergeseran dari mitos ke logos. Penjelasan-penjelasan mitologis
tidak lagi memuaskan pemikiran manusia. Ada pergeseran dari
penjelasan-penjelasan mitologis berdasarkan kepercayaan irrasional tentang
gejala-gejala alam bergeser pada penjelasan logis berdasarkan rasio.
Filsuf-filsuf alam mulai mencari penjelasan rasional atas prinsip dasar yang
melandasi gejala-gejala alam. Mereka mulai menyibukkan diri dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang asal pertama (arkhe) dan prinsip yang mengatur
alam semesta.
Setelah para filsuf
alam memusatkan perhatian dan pikiran mereka pada alam semesta, kemudian
muncullah para filsuf yang mengkonsentrasikan minat mereka pada permasalahan
manusia. Mereka itu adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka banyak
menghasilkan pemikiran-pemikiran berkaitan dengan bagaimana hidup bermasyarakat
yang baik. Obyek pemikiran mereka beralih dari alam semesta kepada manusia itu
sendiri.
Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat abad
pertengahan, yang disebut juga zaman skolastik. Filsafat di jaman Skolastik ini
mewujudkan suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan filsafat kuno yang
mendahuluinya. Hal ini disebabkan karena rumpun bangsa yang berfilsafat sudah
berbeda sekali dengan rumpun bangsa pada zaman filsafat kuno.
Perpindahan
bangsa-bangsa yang terjadi secara besar-besaran pada zaman ini telah
menimbulkan huru-hura di Eropa, yang mengakibatkan runtuhnya kekaisaran Romawi
bagian barat serta runtuhnya peradaban Kristen, yang pada waktu berkembang di
Eropa selatan dan di Afrika utara. Mulai sekarang suatu rumpun bangsa yang
baru, yaitu bangsa Eropa barat, mengembangkan pikirannya, sekalipun
pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran filsafat kuna. Sifat
filsafat pada zaman ini adalah demikian, bahwa orang mencoba mempersatukan
secara harmonis apa yang diketahui dari akal budi dengan apa yang diketahui
dari wahyu. Dengan demikian timbullah suatu sistem pandangan dunia kristiani
yang rangkap, di mana iman dan ilmu pengetahuan mendapatkan tempatnya masing-masing.
Filsafat modern, yang adalah filsafat
barat dalam arti yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena baru pada jaman
setelah abad pertengahanlah muncul di segala bidang hidup syarat-syarat yang
diperlukan bagi perkembangan suatu pemikiran yang bebas.
Filsafat abad pertengahan masih
bergerak dalam belenggu kekuasaan teologia dan iman Kristen. Pemikiran
filosofis pada abad ini (300 – 1300 M) kehilangan otonominya. Pemikiran abad pertengahan bercorak teosentris
(berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan). Para filsuf-rohaniawan seperti Thomas
Aquinas dan St. Bonaventura adalah rohaniwan-rohaniwan yang hendak
merekonsiliasi akal dan wahyu. Kebenaran wahyu mereka buktikan tidak berbeda
dengan kebenaran yang dihasilkan dengan akal. Meskipun Thomas Aquinas bersifat
netral terhadap dikotomi/akal, atmosfer yang meliputi hampir seluruh pemikiran
di abad pertengahan memperlakukan akal sekadar hamba perempuan dari teologi
(ancilla teologia). Dalam mencapai kebenaran, St. Agustinus (1354-1430), bahkan
tidak percaya pada kekuatan akal semata. Kebenaran utama adalah kebenaran
teologis yang termaktub dalam wahyu Tuhan. Manusia tidak mampu mencapai
pengetahuan sejati tanpa iluminasi kebenaran Ilahi. Singkatnya, rasionalitas
mengalami deotonomisasi dari posisinya yang independen pada masa filsuf-filsuf Yunani. Filsafat menjadi hamba dari teologi di
mana ia digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu. Upaya para filsuf-rohaniwan
untuk merekonsiliasi iman dan akal juga tidak banyak membawa hasil. Di masa ini
pertentangan antara wahyu dan akal bahkan semakin menajam dan cenderung
mengeras. Banyak sekali ilmuwan-ilmuwan yang dieksekusi karena mewartakan
kebenaran ilmiah yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu. Ilmu pengetahuan pun
menjadi sedikit terhambat perkembangannya.
Filsafat Modern
Lebih kurang selama
sepuluh abad lamanya, pemikiran filosofis dan ilmu pengetahuan ditekan dan
dikuasai oleh kebenaran teologis yang berdasarkan iman. Kecenderungan semacam
ini sering disebut dengan Fideisme –
ketaatan buta pada iman. Baru pada zaman setelah abad pertengahan itulah
filsafat barat menjadi suatu kekuatan rohani yang berdiri sendiri
dengan wataknya sendiri. Hal ini disebabkan karena timbulnya Renaissance[1], di mana orang lebih
memusatkan perhatiannya kepada manusia sendiri, bukan kepada Allah, kepada
hidup sekarang ini, bukan kepada hidup di akhirat. Renaissance kemudian disusul
oleh Pencerahan (aufklarung), yang
menjadikan manusia merasa menjadi dewasa, makin percaya kepada diri sendiri dan
berusaha membebaskan diri dari segala kuasa yang mengikatnya, yaitu tradisi
gerejani. Demikianlah sejak timbulnya Renaissance manusia berusaha menegakkan
suatu pandangan dunia secara sistematis serta mengembangkannya secara metodis,
sehingga menjadi suatu bangunan pandangan dunia yang lengkap.
Renaissance yang
kemudian diikuti oleh masa pencerahan menjadi titik tolak modernisme di mana
ilmu pengetahuan, filsafat, dan ideologi berkembang sedemikian pesat. Otonomi
manusia (antroposentris) menjadi roh zaman modern. Kebangkitan kembali rasio yang mewarnai zaman modern tidak bisa
dilepaskan dari pemikiran filsuf Perancis Rene Descartes yang berjasa
mengembalikan peranan sentral akal budi yang sekian lama dijadikan hamba sahaya
dari keimanan. Pikirannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (Saya
berpikir, maka saya ada). Akal budi adalah satu-satunya sumber bagi
pengetahuan, kesan-kesan inderawi dianggap sebagai ilusi yang hanya bisa
diatasi oleh kemampuan yang dimiliki rasio. Pemikiran Descartes mendapat
tanggapan keras dari para filsuf yang lain. Misalnya para filsuf Inggris
seperti David Hume, John Locke, dan George Berkeley, yang menganut aliran
empirisme. Mereka berpikiran bahwa pengetahuan hanya diperoleh dari pengalaman
lewat pengamatan empiris. Pertentangan pemikiran di antara para filsuf
berlangsung terus hingga filsuf Jerman Immanuel Kant yang berhasil
mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme. Dia berpendapat bahwa kedua
aliran tersebut terlalu ekstrim dalam memahami sumber pengetahuan. Menurut
Kant, baik rasio maupun pengalaman empiris merupakan sumber-sumber pengetahuan
di mana kesan-kesan dan empiri dibangun oleh rasio manusia melalui
kategori-kategori menjadi pengetahuan.
Sekalipun para
pemikir pada zaman ini berbeda-beda keadaannya, dan penyelidikan fisalfati
mereka mengarah kepada jurusan yang berbeda-beda juga, namun semua itu
mewujudkan suatu kesatuan juga. Kesatuan itu ada karena semuanya itu telah
membantu dibentuknya kebudayaan Barat. Zaman ini menjadikan orang tahu dengan
jelas segala apa yang hidup di dalam kesadaran manusia, segala apa yang dicari
manusia pada suatu zaman tertentu dan segala apa yang telah menggerakkan hati
nurani manusia yang terdalam itu. Jawaban mereka memang bermacam-macam, akan
tetapi sekarang orang tahu bahwa filsafat diperlukan sekali.
Filsafat Abad-19 dan abad 20
Memasuki abad ke-19
filsafat menjadi terpecah-pecah: ada filsafat Jerman, filsafat Perancis,
filsafat Inggris, Amerika, dan Rusia. Para bangsa mengikuti jalannya
sendiri-sendiri dan masing-masing membentuk kepribadiannya sendiri, dengan cara
dan pengertian dasar sendiri-sendiri. Demikianlah para bangsa di Eropa tidak
lagi mencerminkan satu roh, roh Eropa. Sekalipun masih ada kesamaan juga. Pemikiran
yang bermacam-macam itu sebenarnya menampakkan aspek yang bermacam-macam dari
suatu kebudayaan.
Sudah barang tentu
tidak mungkin dibicarakan semua filsafat yang telah pernah ada atau yang masih
ada secara terperinci. Harus dibatasi dan dipilih, terlebih berkaitan dengan
filsafat abad 19 dan 20.
a.
Positivisme
Aliran
ini dimulai oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Dialah sosiolog pertama yang
mengatakan bahwa pemikiran manusia, pemikiran setiap ilmu, dan pemikiran suku
bangsa manusia pada umumnya melewati tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap
metafisis, dan tahap positif-ilmiah. Manusia yang masih muda, atau suku-suku
primitif, membutuhkan dewa-dewa untuk menerangkan gejala-gejala. Para remaja
atau suku-suku yang sudah mulai dewasa, memakai prinsip-prinsip
abstrak-metafisis untuk menerangkan kenyataan. Orang dewasa, manusia masa kini,
hanya memakai metode-metode positif ilmiah.
Positivisme
(lawan dari khayalan metafisis) menjadi sangat populer di Inggris pada
filsuf-filsuf seperti J. Stuart Mill (1806-1873) dan H. Spencer (1820-1903).
Dalam abad ke-20 positivisme diperbaharui dalam neo-positivisme, suatu aliran
yang mempunyai asalnya di Wina. Oleh karena itu, filsuf-filsuf dari aliran ini
disebut anggota-anggota dari lingkaran Wina.
b.
Marxisme
Aliran
ini mengajarkan, sebagai materialisme dialektis, bahwa kenyataan kita akhirnya
hanya terdiri dari materi, yang berkembang melalui suatu proses dialektis
(yaitu ritme tesis-antitesis-sintesis). Tokoh-tokoh materialisme dialektis
terutama K. Marx (1818-1883) dan F. Engels (1820-1895).
c.
Eksitensialisme
d.
Fenomenologi
e.
Pragmatisme
f.
Neo-Kantianisme dan Neo-tomisme
g.
Aliran-aliran paling baru
[1][1][1] Istilah
Rennaisance berarti kelahiran kembali pemikiran filsafat yang otonom dengan
mempelajari kembali karya-karya klasik filsuf-filsuf Yunani Kuno, yang selama
ini “disembunyikan” dan dimonopoli kalangan elit Gereja.
artikel yang manarik,,, jangan lupa mampir di blog sya ya..http://duniapendidikan33.blogspot.com/
BalasHapusanda tidak membicarakan pengaruh para pemikir islam yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran abad pertengahan.. dalam etika ilmu ini disebut menyembunyikan kebenaran karena anda membicarakan perkembangan ilmu pengetahuan bukan sejarah teologi pemikiran agama
BalasHapus