Oleh: Prof. Dr. Richard W. Haskin
Pengantar
Sekarang sudah
diketahui (akibat penyelidikan dan penemuan yang terjadi terutama pada abad
ini) bahwa, dalam kurun waktu dari pertengahan abad ke-1 M sampai akhir abad
ke-2 M orang-orang yang memandang dirinya selaku orang Kristen (bagaimanapun
penilaian terhadap mereka oleh gereja-gereja kemudian hari!) telah menghasilkan
lebih dari seratus tulisan yang mengandung apa yang mereka mau tekankan
sehubungan dengan iman dan cara hidup Kristiani. Namun, sejak abad ke-5 M
hampir setiap orang Kristen, di mana saja di dunia ini, berpegang pada
Perjanjian Baru sebagai suatu kumpulan tulisan yang terdiri dari dua puluh
tujuh kitab. Apa yang terjadi dalam sejarah sehingga inilah kenyataan sekarang
ini? Pertanyaan inilah yang mendasari pokok kanonisasi PB.
Arti Kanon
Istilah
"kanon" berupa pengalihan secara hurufiah dari kata Yunani kanon
yang berasal dari istilah bahasa-bahasa Semit yang berarti "buluh" (qaneh
dalam bahasa Ibrani). Secara hurufiah, kata ini dipakai untuk mistar atau
penggaris, seperti diperlukan tukang kayu atau jurutulis. Tetapi, kata
ini juga dipakai dalam arti kiasan, antara lain, "patokan" dalam
ajaran akhlak, filosofis, atau keagamaan dan "daftar" atau
"katalogus". Di dalam 2Kor. 10:13, 15, 16, kata ini dipakai dengan
artian "batas", dan di dalam Gal. 6:16, dalam arti
"patokan" sehubungan dengan cara hidup. Dalam pemakaian kegerejaan,
mula-mula kata ini digunakan untuk menunjuk akan patokan dalam ajaran atau doktrin
Kristiani (terlihat misalnya di dalam I Klemens 7:2 atau di dalam
tulisan-tulisan uskup Irenaeus; karena dalam bahasa Latin kata yang sepadan
ialah regula, maka ungkapan regula fidel dipakai untuk
menunjukkan patokan yang hendaknya dipegangi orang-orang Kristen dalam
kepercayaan mereka). Eusebius (awal abad 4) memakai kata ini (dalam bentuk
jamak) untuk daftar-daftar ayat-ayat yang sejajar di dalam kitab-kitab Injil.
Juga dalam bentuk jamak, keputusan-keputusan dari Konsili Nikea dinamai kanon
(jelas dengan artian yang lebih dekat pada "patokan"). Baru dengan
uskup Athanasius, di dalam surat edaran untuk perayaan Paskah pada tahun 367,
kata ini dipakai untuk kitab-kitab PB.
- Dekat dengan tradisi kerasulan
- Diterima secara umum di kalangan jemaat (katolisitas)
- Bergantung pada ortodoksi
Pembagian Menurut Athanasius
Athanasius
membedakan antara "buku-buku yang termasuk kanon dan yang telah
diturunalihkan serta sebagai ilahi" dengan "buku-buku yang disebut
apokryfa" yang katanya, para orang sesat mencampuradukkan dengan
tulisan-tulisan suci yang berasal dari pengilhaman ilahi. Pemakaian kata kanon
oleh Athanasius ini memperlihatkan pemakaian kegerejaan sejak abad keempat itu.
Buku-buku digolongkan sebagai tulisan-tulisan suci apabila dinilai sebagai sesuai
dengan patokan mengenai ajaran Kristiani yang benar sehubungan dengan
kepercayaan dan cara hidup (akhlak) Kristiani. Tulisan-tulisan yang
demikian dapat dicap "ilahi" atau disebut sebagai yang berasal dari
pengilhaman ilahi, tetapi sebutan semacam ini julukan saja. Maksudnya: tiada
pembuktian bahwa tulisan-tulisan berasal dari pengilhaman ilahi kecuali
persetujuan bahwa tulisan-tulisan tersebut memang sesuai dengan patokan (kanon)
mengenai kepercayaan dan cara hidup Kristiani. Tetapi, "persetujuan"
pada siapakah? Menjawab pertanyaan ini tidak terlalu sulit jika diperhatikan
pengacuan Athanasius kepada orang-orang sesat (bidat) dan jika diingat peranan
Athanasius selaku pembesar dalam lembaga kegerejaan yang sedang bermunculan
pada waktunya sebagai gereja Katolik purba, yang dimaksud dengan ungkapan
"gereja Katolik purba" ialah bukan satu lembaga dengan satu pemimpin
tertinggi (seperti, misalnya gereja Roma Katolik dengan Paus kemudian hari),
melainkan gereja-gereja yang berada di sekitar Laut Tengah (terutama di dalam
wilayah kekaisaran Roma) yang semakin seragam dalam kredo (pengakuan iman)
moralitas (akhlak) dan sistim pemerintahan (keuskupan) dan yang mencakup dalam
keanggotaannya sebagian besar (mayoritas) orang Kristen di wilayah tersebut.
Oleh gereja-gereja ini, dengan pemimpin-pemimpinnya seperti uskup Athanasius,
orang-orang Kristen yang berbeda dalam kredo, akhlak, dan sistim pemerintahan
dicap dan ditentang selaku orang-orang sesat. Apalagi, demi kepentingan
kesatuan kekaisaran Roma, sejak Kaisar Konstantinus (awal abad keempat),
ada kecenderungan dari pemerintah kekaisaran untuk memihak pada gereja-gerja
mayoritas ini serta mendukung kepemimpinannya, antara lain, dalam menindak
gereja-gereja minoritas (yang dicap sesat atau bidat!).
Athanasius
mencatat di dalam suratnya bahwa tulisan-tulisan suci Perjanjian Baru
adalah: "empat kitab Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes,
sesudah itu Kisah Para Rasul dan tujuh tulisan yang biasa disebut surat-surat
Katolik dari rasul-rasul, yaitu, satu dari Yakobus, dua dari Petrus, lantas
tiga dari Yohanes dan sesudah ini satu dari Yudas. Di samping ini ada empat
belas surat dari rasul Paulus yang ditulis dalam urutan berikut: yang pertama
kepada orang-orang
Roma, lantas dua kepada orang-orang Korintus dan yang sesudah ini satu kepada orang-orang Galatia, menyusul satu kepada orang-orang Efesus, kemudian yang satu kepada orang-orang Filipi dan satu kepada orang-orang Kolose dan dua kepada orang-orang Tesalonika dan surat kepada orang-orang Ibrani dan langsung dua kepada Timotius, satu kepada Titus dan terakhir kepada Filemon. Lantas lagi ada Wahyu dari Yohanes." Jumlah ini (dua puluh tujuh) dan sebutannya (nama-nama) sama dengan sekarang ini dalam kebanyakan gereja-gerja Kristen, walaupun urutannya sedikit berbeda. Jelaslah bahwa tulisan-tulisan Kristen, bagaimanapun dinilai mutunya, kalau tidak tercantum pada daftar ini (kanon), dianggap oleh athanasius sebagai yang tidak sesuai dengan patokan (kanon) kredo dan akhlak Kristiani, walaupun tidak ada catatan-catatan dari Athanasius mengenai yang mana, di luar dua puluh tujuh ini, mau digolongkannya sebagai sungguh-sunggu sesat dan yang mana hanya tidak jadi masuk daftar ini, kendatipun isinya tidak betul-betul sesat.
Roma, lantas dua kepada orang-orang Korintus dan yang sesudah ini satu kepada orang-orang Galatia, menyusul satu kepada orang-orang Efesus, kemudian yang satu kepada orang-orang Filipi dan satu kepada orang-orang Kolose dan dua kepada orang-orang Tesalonika dan surat kepada orang-orang Ibrani dan langsung dua kepada Timotius, satu kepada Titus dan terakhir kepada Filemon. Lantas lagi ada Wahyu dari Yohanes." Jumlah ini (dua puluh tujuh) dan sebutannya (nama-nama) sama dengan sekarang ini dalam kebanyakan gereja-gerja Kristen, walaupun urutannya sedikit berbeda. Jelaslah bahwa tulisan-tulisan Kristen, bagaimanapun dinilai mutunya, kalau tidak tercantum pada daftar ini (kanon), dianggap oleh athanasius sebagai yang tidak sesuai dengan patokan (kanon) kredo dan akhlak Kristiani, walaupun tidak ada catatan-catatan dari Athanasius mengenai yang mana, di luar dua puluh tujuh ini, mau digolongkannya sebagai sungguh-sunggu sesat dan yang mana hanya tidak jadi masuk daftar ini, kendatipun isinya tidak betul-betul sesat.
Tiga Kelompok Tulisan Kristen Kuno
Sebelum Athanasius, Eusebius sudah membagi tulisan-tulisan Kristen kuno ke
dalam tiga kelompok: (1) yang diterima tanpa dipersoalkan oleh semua; (2) yang
dipersoalkan atau diperdebatkan dan (3) yang jelas palsu (artinya, tidak sejati
Kristiani, sesat). Sebetulnya, sejak awal abad ketiga, sudah ada
kecenderungan untuk membuat pengelompokan semacam itu (misalnya, oleh Klemens
dan Origenes dari Alexandria). Bagi gereja-gereja, yang diwakili macam
Athanasius, kelompok (1) akhir-akhirnya terdiri dari dua puluh tujuh
kitab yang seperti tercantum di dalam daftar Athanasius. Tetapi, sempai waktu
Athanasius, bahkan lewatnya, ada kitab-kitab seperti Yakobus, Yudas, II Petrus,
II dan III Yohanes, Ibrani, dan Wahyu yang dipersoalkan. Yang juga diperdebatkan
ialah tulisan-tulisan seperti Didakhe (Ajaran keduabelas rasul), I Klemens, dan
Gembala Hermas. Tiga tulisan ini, ditambah dengan II Klemens, surat-surat
Ignatius, surat Policarpus, surat Barnabas, surat Diognetus, walaupun
akhirnya tidak dimasukkan ke dalam kelompok (1), namun cukup tinggi dihargai
oleh gereja-gereja mayoritas, dan, sejak abad ketujuhbelas dianggap sebagai
satu kumpulan dan disebut "bapak-bapak rasuli". Semua tulisan lain,
yang mungkin berjumlah sekitar tujuhpuluh buah (seperti telah disinggung di
dalam alinea pertama makalah ini), oleh gereja-gereja mayoritas dimasukkan ke
dalam kelompok (3). Tetapi, tulisan-tulisan tersebut bercorak pengungkapan iman
dan akhlak Kristiani yang rupanya dipegangi dengan ikhlas oleh orang-orang yang
mengaku diri orang Kristen, walaupun dengan perbedaan-perbedaan tertentu
dibandingkan dengan orang-orang Kristen mayoritas. Jika diharapkan suatu
pemahaman yang lebih lengkap tentang iman dan cara hidup Kristiani pada tahapan
awal persekutuan Kristen, maka tulisan-tulisan perlu dipelajari juga tanpa
prasangka bahwa isinya melulu ajaran sesat dari orang-orang penyesat!
Kitab Suci Umat Yahudi
Pada waktu
persekutuan Kristen mulai ada, kanon, sebagai patokan iman dan akhlak
serta daftar tulisan-tulisan yang sesuai dengan patokan itu, belum ada pada
orang-orang Yahudi. Memang, kumpulan kitab-kitab hukum (Torah) sudah
dianggap tertutup oleh mereka, dan demikian pula dengan kumpulan kitab-kitab
para nabi. Di samping kedua kumpulan tertutup itu, ada cukup banyak tulisan
yang dihargai oleh mereka sebagai yang bermutu sebagai keagamaan. Terutama di
kalangan orang Yahudi di perantauan (Diaspora), yang bergantung pada
bahasa Yunani, ada kitab-kitab yang dihargai yang kemudian hari tidak ada di
dalam kitab suci Yahudi tetapi pada waktu dahulu ada di dalam Septuaginta,
terjemahan Yunani dari Torah, nabi-nabi, dan sejumlah tulisan lain lagi,
sebagian yang ditulis semula dalam bahasa Yunani. Orang-orang Kristen pertama
pasti membaca dan menggemari juga tulisan-tulisan macam itu, seperti terlihat
dalam acuan kepada Kenaikan Musa dalam Yudas 9 dan acuan kepada kitab I Henokh
dalam Yudas 14-15. Jadi, persekutuan Kristen mewarisi tulisan-tulisan suci dari
umat Yahudi, yaitu Torah dan nabi-nabi, tetapi tidak mewarisi sebuah kanon,
ataupun dorongan untuk menetapkan sebuah kanon untuk persekutuan Kristen
sendiri. Demikian pula tidak ada pemimpin ataupun sidang yang memerintahkan
bahwa persekutuan Kristen harus memiliki suatu kanon kitab suci sendiri.
Perkembangan ke arah penetapan kanon bermunculan dalam kehidupan persekutuan
Kristen sepanjang lebih dari duaratus tahun sehubungan dengan
keperluan-keperluan seperti keperluan akan bahan untuk ibadah, pewartaan dan
katekisasi, dan sehubungan dengan perkembangan-perkembangan, antara lain
kesadaran bahwa persekutuan Kristen berbeda dari persekutuan Yahudi, kesimpulan
bahwa Kristus tidak akan segera kembali, penindasan dari pejabat-pejabat
pemerintah, dan perpecahan serta pertentangan di antara orang Kristen sendiri.
Ucapan Yesus
Jadi, selama
seratus tahun pertama, tidak ada dorongan yang berarti untuk menetapkan sebuah
kanon dalam persekutuan Kristen. Tetapi, selama kurun waktu yang sama,
tampaklah perkembangan yang memberikan kedudukan istimewa kepada bahan-bahan
tertentu, entah bahan tersebut dalam bentuk lisan atau tertulis. Jelas
yang pertama di sini ialah perkataan-perkataan Yesus (logika Yosua).
Rasul Paulus, pada dasawarsa kelima abad pertama, beberapa kali mengacu kepada
suatu logos Tuhan (= Yesus) untuk membenarkan atau mendukung sesuatu
pendapat yang Paulus mau sampaikan kepada jemaat-jemaat asuhannya (mis. 1Tes.
4:15; 1Kor. 7:10; tetapi pengacuan macam ini tidak banyak, dan kenyataan ini
tentu menimbulkan pertanyaan "mengapakah?". "Q", sumber
perkataan-perkataan Yesus yang dipakai oleh Matius dan Lukas, tersusun pada
dasawarsa keempat abad pertama, serta kumpulan logia Yesou yang sekarang
dikenal sebagai "Injil Thomas" tersusun tidak lama sesudah
"Q". Kedudukan istimewa mulai diberikan kepada surat-surat Paulus
sendiri (entah berapa banyak!) dari akhir abad pertama, sebagaimana terdapat
dalam acuan-acuan di dalam I Klemens dan di dalam surat-surat uskup
Ignatius.
Tulisan Rasuli dan Non-Rasuli
Pada akhir abad
pertama dan awal abad kedua, ada acuan-acuan kepada bahan yang mungkin sudah
dikenal pada waktu tersebut sebagai bahan yang termuat di dalam tulisan-tulisan
yang tidak lama kemudian biasa disebut kitab-kitab Injil (misalnya acuan-acuan
yang terdapat di dalam Didakhe, Hermas, dan surat-surat Ignatius). Tetapi kepastian
dalam hal ini cukup sulit, karena acuan-acuan ini bisa saja berkenaan dengan
tradisi-tradisi lisan mengenai perkataan dan perbuatan Yesus, tradisi-tradisi
yang masih dihargai paling sedikit sampai pertengahan abad kedua (misalnya
Papuas, uskup kota Hierapolis di Asia Kecil, di sekitar tahun 130, menyatakan
bahwa ia lebih suka "suara hidup itu", maksudnya tradisi lisan). Pada
pihak lain, ada kemungkinan besar bahwa, pada parohan pertama abad kedua, sudah
ada tulisan-tulisan yang berbentuk seperti kitab Injil, kitab kisah, atau kitab
wahyu dan yang berasal dari kelompok-kelompok Kristen yang sedikit atau banyak
berbeda dalam iman dan akhlak dengan mereka dari gereja-gereja mayoritas
(maka, kelompok-kelompok ini suka dicap bidat atau sesat oleh mereka dari
gereja-gereja mayoritas; sebutan yang jauh kemudian hari biasa dipakai untuk
kelompok-kelompok yang berbeda ini ialah "gnostik", walaupun
mereka cukup pelbagai). Tulisan-tulisan macam ini biasanya dikaitkan dengan
nama seorang rasul; maka ada "Injil Thomas" dan "Kisah
Thomas", ada "Apokryfon Yohanes" dan "kisah Yohanes",
dan ada "Injil Petrus" serta "Wahyu (Apokalypse) Petrus".
Perkembangan ini agaknya mempengaruhi pemimpin-pemimpin dari gereja-gereja
mayoritas untuk mengaitkan dengan nama seorang rasul tulisan-tulisan yang
mereka nilai lebih sesuai dengan iman dan akhlak yang Kristiani sejati. Ini
tercermin dalam catatan uskup Papias yang menghubungkan Injil Markus (yang
rupanya sudah mulai disebut "menurut Markus", walaupun tulisan itu
sendiri tidak mengandung nama pengarang!) dengan rasul Petrus; dan Injil
Matius, Papias tunjukan sebagai tulisan rasul Matius sendiri (kendatipun
Papias tidak menulis "Kitab Injil" melainkan ia menulis bahwa Matius
"mengumpulkan logia [Yesou] dalam bahasa Ibrani dan setiap orang
mengartikannya semampu-mampunya). Pokoknya, pada kedua belah pihak, minoritas
dan mayoritas, sudah mulai cara untuk menunjuk akan tulisan-tulisan yang
dipegangi sebagai yang mengandung ajaran Kristiani yang benar, yaitu memakai
wibawa dari nama seorang rasul, karena prapaham yang dianut semua pihak bahwa
ajaran dari rasul-rasul pasti benar. Dengan demikian, sudah mulai kebiasaan
untuk mempersoalkan apakah suatu tulisan rasuli (apostolic) atau tidak dan
untuk menggunakan corak ini sebagai semacam tolok ukur juga.
Kanon Marcion
Yang
sungguh-sungguh menjadi dorongan kuat untuk menetapkan kanon (dalam artian yang
sudah diterangkan di atas) ialah tindakan dari seorang penatua (Presbyteros)
di gereja Roma pada pertengahan abad kedua. Orang yang bernama Marcion ini
berasal dari daerah Asia Kecil, tetapi sudah pindah dan bergiat di Roma.
Menjelang tahun 140, ia dikucilkan dari gereja di Roma, rupanya karena ia
dinilai radikal dan sebagai orang yang menyimpang dari ajaran benar Kristiani
menurut gereja Roma. Sayang, karangan-karangannya dibinasakan oleh
gereja-gereja mayoritas, sehingga sulit mengetahui seluk-beluk teologinya.
Rupa-rupanya, Marcion menolak tulisan-tulisan suci Yahudi sebagai tulisan suci
untuk orang Kristen karena, menurut dia, ilah yang disaksikan di dalam
tulisan-tulisan Yahudi adalah ilah yang memerintah dunia ini, tetapi ilah itu
bukanlah bapak Yesus Kristus dan sumber keselamatan. Bapak Yesus Kristus adalah
ilah yang "asing" bagi jagad raya ini. Secara sepintas, pikiran ini
kelihatan berdekatan dengan pemikiran yang biasa dijuluki gnostik, akan tetapi
tidak mungkin seorang gnostik bisa menerima tulisan-tulisan suci Yahudi karena
mereka menafsirkan tulisan-tulisan tersebut secara alegoristis, padahal Marcion
menolak cara penafsiran yang sedemikian. Bagaimanapun juga, yang pokok ialah
bahwa, menurut Marcion, orang Kristen salah kalau lagi berpegang pada kitab
suci Yahudi. Orang Kristen harus berpegang pada suatu kitab suci yang khas
Kristiani. Mengingat bahwa kitab suci Yahudi berpusat pada Torah dan
nabi-nabi, maka Marcion menganjurkan supaya orang Kristen berpegang pada Injil
dan rasul, yaitu kitab Injil Lukas serta surat-surat rasul Paulus.
Tetapi, Marcion
berkeyakinan bahwa tulisan-tulisan tersebut tidak disimpan dan diturunalihkan
dengan isi yang asli. Oleh karena itu, Marcion membuat semacam edisi kritis
atas Injil Lukas dan surat-surat Paulus (10 buah: Gal., 1 dan 2Kor., Rm., 1 dan
2Tes., Laodicea [rupanya Ef.), Kol., Flp., dan Flm.) untuk menghilangkan
bagian-bagian yang menurut dia, berupa tambahan dan penyisipan yang tidak asli,
yaitu semua bahan yang mencerminkan atau berdekatan dengan tulisan-tulisan suci
Yahudi. Yang sungguh-sungguh baru dalam tindakan Marcion ini ialah: (1)
tulisan-tulisan Kristen tertentu kepada kedudukan sebagai Kitab Suci
Kristen, yaitu kanon, dan sekaligus (2) penolakan tulisan-tulisan suci Yahudi
(kurang lebih apa yang kemudian hari biasa disebut Perjanjian Lama oleh orang
Kristen) sebagai Kitab Suci Kristen Marcion sendiri berkeyakinan bahwa, dalam
tindakan ini, ia taat pada asas pandangan teologis Paulus: pembenaran
berdasarkan hanya iman serta berakhirnya hukum Taurat seharusnya membuat
persekutuan Kristen, selaku ciptaan baru, meninggalkan tulisan-tulisan Yahudi
yang lama (PL) dan berpegang pada suatu Kitab yang khas Kristiani.
Pertentangan Terhadap Marcion
Pihak yang
berhasil mengucilkan Marcion, pihak yang berusaha dengan kuat untuk menegaskan
perbatasan di antara orang Kristen mayoritas dengan macam-macam kelompok
minoritas, dalam menanggapi karya Marcion, melakukan hal-hal yang cukup aneh.
Yustinus Martyrus (mati syahid kira-kira 165) merupakan contoh utama di sini,
mengingat ia yang menulis karangan yang pertama yang dimaksud untuk
menentang Marcion (tetapi sayang, karangan tersebut tidak jadi disimpan
kemudian hari). Yustinus memakai kitab Injil Matius dan Lukas (mungkin juga
Markus) tetapi dalam bentuk suatu edisi yang dibuatnya sendiri, edisi yang
bercorak harmonisasi (bahan dirangkaikan sehingga tampak sebagai satu saja) kitab-kitab
Injil tersebut, dan rupanya Yustinus tidak memandang tindakan ini sebagai mirip
dengan apa yang dilakukan Marcion terhadap Injil Lukas. Surat-surat Paulus -
bagian paling penting dalam "kanon" Marcion - sama sekali tidak
dikutip atau diacu oleh Yustinus. Apakah ini mungkin terjadi karena Yustinus
tidak mengenal surat-surat itu? Sulit mengambil kesimpulan yang begitu,
mengingat bahwa Yustinus hidup dan berkarya di Roma di sekitar pertengahan abad
kedua. Ataukah Yustinus mau menghindari surat-surat Paulus justru karena
tulisan-tulisan itu begitu penting bagi Marcion? Bahan di dalam
karangan-karangan Yustinus yang terasa sejajar dengan bahan di dalam kitab
Injil Yohanes ternyata tidak diambil dari kitab Yohanes sendiri melainkan dari
tradisi-tradisi kuno yang melatarbelakangi kitab Yohanes dan masih beredar pada
waktu Yustinus. Apakah Yustinus menghindari kitab Injil Yohanes karena
itulah kitab Injil yang paling disukai para pemikir dan penulis
Kristen-Gnostik? Pada pihak lain, julukan Yustinus untuk kitab-kitab Injil
("kenang-kenangan para rasul") serta cara Yustinus mendekatkan
kitab-kitab Injil kepada kewibawaan tulisan-tulisan suci bisa saja terjadi
karena dampak karya dan kegiatan Marcion atas Yustinus sendiri.
Tindakan-tindakan
Yustinus membuktikan bahwa gereja-gereja mayoritas pada waktu itu, akibat karya
dan kegiatan Marcion, mulai merasa perlu penetapan kanon kitab suci khas
Kristen, tapi mereka tetap bingung bagaimana sebaiknya melakukan penetapan
macam itu. Dengan penekanan atas kewibawaan tulisan-tulisan suci Yahudi,
pemakaian Septuaginta, penyuntingan atas kitab-kitab Injil, serta pengelakan
surat-surat Paulus, Yustinus kelihatannya hanya berupaya untuk mempertahankan
dan memperkuat apa yang sudah biasa dalam lingkungan gereja-gereja mayoritas
sebelum Marcion. Baru satu angkatan sesudah Yustinus, Irenaeus merintis jalan
yang akan memungkinkan gereja-gereja mayoritas keluar dari kebingungan
disebabkan Marcion.
Pengaruh Irenaeus
Irenaeus melayani selaku uskup
kota Lyons di Gaulia (= Perancis sekarang), menjelang akhir abad kedua, tetapi,
selaku pemikir teologi, ia berdiri pada garis tradisi jemaat-jemaat Asia Kecil,
daerah ia lahir dan dibesarkan. Dari daerah itu juga berkenan dengan
tulisan-tulisan yang sudah dihubungkan dengan nama rasul Yohanes (termasuk
kitab Wahyu yang nama penulisnya Yohanes - waktu Irenaeus sudah disamakan
dengan nama rasul Yohanes). Dan, waktu masih muda, Irenaeus sempat bergurau
pada Polycarpus, uskup Smyrna di Asia Kecil. Jadi, kendatipun Irenaeus berperan
selaku uskup di gereja barat, melalui tulisan-tulisannya dalam bahasa Yunani,
ia lebih mewakili (lebih daripada, misalnya, pemimpin-pemimpin di Roma) dari
tradisi kegerejaan, yang masih sangat menghargai surat-surat Paulus sebagai
yang termasuk warisan rasuli, biarpun surat-surat Paulus itu amat disenangi
orang-orang dalam lingkungan Marcion dan lingkungan gnostik (dan biarpun ada
peringatan-peringatan mengenai surat-surat Paulus seperti yang terkandung di
dalam II Petrus 3:15-16). Sekaligus, Irenaeus dapat mengacu kepada
tulisan-tulisan yang telah dihubungkan (di Asia Kecil) dengan nama rasul
Yohanes.
Apa yang dipegangi Irenaeus ini
makin lama makin dimufakati gereja-gereja mayoritas sebagaii bagian terbesar di
dalam kitab suci Kristen, bersama dengan tulisan-tulisan suci Yahudi yang
Irenaeus pertahankan bagi umat Kristen dengan cara menfasirkan tulisan-tulisan
suciYahudi secara typologis. Dasar untuk kitab suci yang sedemikian memang jauh
lebih luas daripada pilihan Marcion. Unsur "rasul" dalam pilihan
Irenaeus diperluas untuk mendekati "keduabelas rasul" sebagai ruang
lingkupnya, karena di samping empat kitab Injil dan tigabelas surat Paulus,
Irenaeus menerima dengan baik I Petrus, I dan II Yohanes, Wahyu (sebagai
karangan rasul Yohanes), dan kitab Kisah, (menarik bahwa Irenaeus juga menerima
Hermas!) Cukup berpengaruh kemudian hari bahwa Irenaeus tidak berusaha untuk
menghasilkan satu kitab Injil, melalui cara harmonisasi, melainkan ia menerima
empat kitab Injil yang sendiri-sendiri. Namun, Irenaeus mencerminkan adanya
suatu keyakinan yang rupanya dianut luas pada waktu itu, yaitu keyakinan bahwa
seharusnya ada hanya satu kitab Injil karena Injil Kristen sendiri memang satu,
karena Irenaeus merasa perlu ia membenarkan adanya empat kitab Injil dengan
menunjuk kepada kenyataan bahwa ada pula empat penjuru dunia! Luasnya (corak
inklusif) pandangan Irenaeus mengenai kitab suci Kristen menjadi penting sekali
selanjutnya. Sebetulnya, menurut pandangan ini, semua tulisan yang semula
dipakai oleh jemaat-jemaat yang berdiri pada garis "pergantian
rasuli", yaitu gereja-gereja mayoritas, sebaiknya diterima dalam kitab
suci yang khas Kristen. Karena itu, tulisan-tulisan tertentu diterima,
kendatipun diketahui bahwa penulisnya bukanlah seorang rasul (misalnya, kitab
Markus dan kitab Lukas). Memang, kalau arti "rasul" dibatasi pada
mereka yang pernah menjadi murid Yesus, maka Paulus sendiri tidak memenuhi
syarat! Pada pihak lain, tulisan-tulisan tertentu tidak diterima juga diketahui
bahwa tulisan-tulisan tersebut belum lama ditulis, kendatipun tulisan-tulisan
tersebut sudah biasa dipakai dalam jemaat-jemaat tertentu. Dan hal pengilhaman
(inspirasi) tidak diberi peranan sebagai tolok ukur karena adanya keyakinan
bahwa semua orang Kristen diilhami Roh Kudus sejak baptisan mereka!
Tulisan-tulisan yang diterima secara demikian dalam gereja-gereja mayoritas
disebut "rasuli", dengan pengertian tulisan-tulisan ditulis oleh
seorang rasul atau orang dekat pada rasul (dan Paulus tergolongkan selaku
rasul). Tetapi, cap "rasuli" sebenarnya hanya merupakan pernyataan
bahwa tulisan yang bersangkutan telah diterima oleh gereja-gereja mayoritas
yang memandang dirinya selaku berdiri pada garis "pergantian rasuli".
(Inilah sebabnya ada yang mengatakan bahwa kanon kitab suci Kristen berakar
dalam "politik kegerejaan" pada waktu itu!)
Kanon Muratori
Mungkin
daftar paling kuno yang menyebutkan tulisan-tulisan yang mulai disepakati
sesuai dengan tolok ukur Irenaeus ialah daftar yang telah dinamai "kanon
Muratori", karena naskah salinan dari abad 8 yang memuat daftar ini
ditemukan oleh: L.S. Muratori, seorang juru perpustakaan di Italia pada abad
18. Dalam daftar ini ada empat kitab Injil dan kitab Kisah; tigabelas surat
Paulus (tanpa Ibrani); Wahyu Yohanes dan Wahyu Petrus; Yudas; I dan II Yohanes;
I Petrus; dan kebijaksanaan Salomo. Ada juga catatan mengenai tulisan-tulisan
yang ditolak: surat-surat Paulus ke Laudicea dan Alexandria; tulisan-tulisan
para penyesat seperti Valentinus, Marcion, dan lain-lain. Sebagian besar para
pakar berkesimpulan bahwa daftar ini dibuat di sekitar tahun 200. Kalau tepat
kesimpulan ini, berarti bahwa, pada waktu cukup awal dalam sejarah
gereja-gereja mayoritas, semua tulisan utama sudah diterima ke dalam kanon
kitab suci Kristen dan ada keterbukaan untuk menerima yang lain lagi, seperti
"surat-surat Katolik" dan beberapa kitab Wahyu.
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Pada waktu
yang sama, kurang lebih tahun 200, Klemens Alexandrinus di wilayah
gereja-gereja Timur dan Tertullianus di wilayah gereja-gereja Barat serentak
mengembangkan pikiran bahwa tulisan-tulisan suci khas Kristen merupakan suatu
"perjanjian baru", sedangkan tulisan-tulisan suci yang telah diwarisi
dari Israel tepat dipegangi oleh masyarakat Kristen sebagai "perjanjian
lama". Sejarah perkembangan perjanjian baru ini, sesudah tahun 200,
ditandai dengan perdebatan mengenai beberapa kitab saja. Dari yang
diperdebatkan tetapi akhirnya diterima dalam PB, kitab Injil Yohanes cukup lama
dipersoalkan di gereja-gereja Barat karena perasaan bahwa isinya terlalu
berwarna gnostik; sedangkan Wahyu Yohanes disangsikan di gereja-gereja Timur
justru karena corak apokalyptik. Juga, banyak pemikir dan pemimpin
kegerejaan tampak bingung mengenai kitab Ibrani; ada yang mau menolaknya
karena ajaran di dalamnya bahwa tidak ada pengampunan untuk dosa yang dilakukan
sesudah baptisan; ada, seperti Origenes, yang membela Ibrani, kendatipun
Origenes mengaku bahwa "hanya Allah" yang tahu siapa yang menulis
kitab itu; namun, akhirnya Ibrani diterima sebagai yang berasal dari Paulus,
tetapi ditempatkan paling akhir di dalam kumpulan tulisan yang diasalkan kepada
Paulus.
Tulisan-tulisan
yang diperdebatkan tetapi akhirnya tidak diterima cukup banyak jumlahnya. Yang
sering termuat di dalam daftar-daftar ialah macam Hermas, Barnabas, Didakhe,
dan I dan II Klemens. Tetapi ada juga macam kisah Paulus, Wahyu Petrus
dan Injil menurut orang-orang Ibrani. Bahkan, kebijaksanaan Salomo dan
kebijaksanaan Bin Sirakh, dua tulisan dari kalangan Yahudi, kadang-kadang juga
terdapat pada daftar-daftar Kristiani.
Namun demikian,
gereja-gereja yang berbahasa Yunani dan Latin tampaknya, dalam abad keempat
sesudah mencapai semacam mufakat mengenai dua puluh tujuh tulisan yang termuat
di dalam surat edaran uskup Athanasius pada tahun 367 (yang sudah disinggung
lebih dahulu dalam makalah ini). Gereja-gereja Siria, Mesir, dan Etiophia
memang lama berbeda sedikit atau banyak, entah dengan jumlah 22 ataupun 35
tulisan! Tetapi, sekarang (akhir abad ke-20!), boleh dikatakan bahwa hampir
setiap orang Kristen, di seluruh dunia, bagaimanapun hubungannya dengan lembaga
kegerejaan, berpegang pada Perjanjian Baru yang terdiri dari 27 tulisan yang
sama.
Kanon Perjanjian Baru Ditentukan Melalui
Pemakaian
Meninjau sejarah
perkembangan kanon Perjanjian Baru yang telah diringkaskan di atas, ada
beberapa pikiran yang bermunculan. Penetapan kanon Perjanjian Baru merupakan
suatu perkembangan yang berlangsung sehubungan dengan sejarah dunia ini dan
teristimewa dengan sejarah persekutuan Kristen di dunia ini. Mula-mula, membuat
tulisan saja (kecuali surat-surat) tidak terasa perlu karena keyakinan bahwa
sejarah dunia ini akan segera berakhir. Dengan penantian eskhatologis itu
berkurang menjelang akhir abad pertama, tulisan-tulisan Kristiani semakin
banyak dihasilkan, antara lain karena semakin lebih banyak kelompok dan aliran
Kristen dengan masing-masing pemahamannya mengenai iman serta moralitas
Kristiani dan mengenai sistem organisasi dan pemerintahan yang sebaiknya untuk
gereja-gereja. Sementara abad kedua, mayoritas orang Kristen semakin seragam
mengenai pengakuan iman, cara hidup Kristiani, dan tata gereja yang mereka
nilai benar atau baik untuk dipegangi dan dijalankan. Sekaligus semakin
meningkat kepada mereka keyakinan bahwa tulisan-tulisan yang sesuai dengan
iman, moral, dan tata arus/gereja tersebut dibedakan dan dipisahkan dari
tulisan-tulisan yang menurut mereka, tidak sesuai. Tetapi, keputusan dalam hal
ini tidak diambil dengan mengadakan sidang sinode ataupun menyerahkannya kepada
kebijaksanaan pemimpin-pemimpin tertentu. Keputusan dalam hal ini terjadi
melalui pemakaian dalam peribadahan, pengajaran, dan pewartaan, dari
tulisan-tulisan yang terasa cocok oleh mayoritas Kristen itu, serta penolakan
atau penghindaran tulisan-tulisan yang mereka rasakan sebagai tidak cocok. Bisa
dikatakan, dengan kata lain, bahwa mayoritas Kristen lama-kelamaan mencapai
mufakat dalam hal ini.
Kemudian hari,
sampai masa kini, ada orang Kristen yang merasa alangkah lebih baik kalau,
misalkan, Yudas dan II Petrus tidak diterima ke dalam kanon Perjanjian Baru,
dan I Klemens dan surat-surat Ignatius diterima. Penilaian semacam ini tentu
selalu bisa terjadi. Namun, kalau tulisan-tulisan utama yang diterima ke dalam
Perjanjian Baru dibandingkan dengan puluhan-puluhan tulisan yang ada pada waktu
itu dan tidak diterima, tampaknya kebanyakan orang (yang non-Kristen pun!)
sependapat bahwa, dinilai dari berbagai pertimbangan, yang diterima mengungguli
yang tidak diterima. Dan, melihat ini, tidak sedikit orang Kristen yang condong
pada kesimpulan bahwa pemilihan yang terjadi pasti disebabkan bimbingan Roh
Kudus!
Jadi, kanonisasi
Perjanjian Baru termasuk fenomena sejarah; bisa dipahami mengapa terjadi
dan bisa disyukuri bahwa hasilnya begitu baik, dibandingkan dengan
alternatif-alternatif yang rupanya ada pada waktu itu, akan tetapi, dari sudut
teologi Kristen, adanya kanon kitab suci menjadi masalah. Semua orang Kristen
percaya bahwa Allah adalah Allah yang hidup, dan ini berarti, antara lain,
bahwa Allah tetap menyatakan diri kepada manusia. Tetapi, kentara sekali
kecenderungan pada orang Kristen untuk menilai sebagai hasil pewahyuan dari
Allah - sebagai "firman Allah" - hanya tulisan-tulisan yang termuat
di dalam kitab suci (PL dan PB). Memang, terhadap pertanyaan "tidakkah ada
wahyu Allah sejak Perjanjian Baru?", orang Kristen menjawab ya",
tetapi dalam pengertian entah (1) pendalaman atas "firman
Allah" melalui penafsiran yang lebih tepat (pandangan Protestan) entah (2)
bimbingan Roh Kudus kepada pimpinan gereja (pandangan Roma Katolik), ternyata
masalah teologis yang dimunculkan oleh adanya kanon kitab suci belum
terselesaikan.
Bagaimanapun juga,
yang tak dapat disangkal ialah kenyataan bahwa Perjanjian Baru tidak mungkin
digantikan dengan tulisan-tulisan lain. Pada tingkat empiris dan historis
(dibandingkan dengan, katakanlah, tingkat rohani), hanya tulisan-tulisan
Perjanjian Baru yang memungkinkan orang kemudian hari dapat berjalan surut
(mundur) dalam sejarah sehingga menghampiri Yesus dan sejumlah orang Kristen
pertama sebagaimana mereka ada secara nyata pada tempat dan waktu tertentu di
dunia ini. Sampai sekarang, tidak ada kitab Injil yang menyediakan jumlah
informasi tentang pewartaan dan perbuatan Yesus seperti yang disediakan sastra
umum dari zaman Yesus atau tidak lama kemudian sedikit sekali jumlahnya serta
remeh sifatnya. Demikian juga halnya mengenai rasul Paulus. Apalagi, apa yang
tertera di dalam Perjanjian Baru mewakili pengalaman serta perenungan dari
cukup banyak orang Kristen, pada angkatan-angkatan awal, yang maknanya tidak
diketahui. Makanya, tepat dikatakan bahwa tiada sastra yang setara dengan
Perjanjian Baru dan manusia umumnya, tidak hanya kaum Kristen, berterimakasih
bahwa tulisan-tulisannya ditetapkan sebagai kanon Kristen, sehingga terpelihara
sampai sekarang.
PUSTAKA ACUAN
1. Brown,
/Raymond E. dan Collins, Raymond F. 1990. "Canonicity", di dalam
The
New Jerome
Biblical Commentary. Englewood cliffs. New Jersey: Prentice
Hall,
hal. 1034-1054.
2. Koester,
Helmut. History and Literature of Early Christianity. Volume Two. Introduction
to the New Testament. (Philadelphia: Fortress Press, 1982), hal. 5-13.
3. Perrin, Norman
dan Duling, Dennis C., The New Testament An Introduction. (New York: Harcourt
Brace Jovanovich. Inc., 1982), hal. 435-446.
4. Sanders, J.N.,
"The Literature and Canon of the New Testament", di dalam Peake's
Commentary of the Bible. (Sunbury-on-Thames, Middlesex: Thomas Nelson and Sons
Ltd., 1976), hal. 676-682.
5. Sunberg, A.C.,
Jr., "Canon of the NT", di dalam The Interpreter's Dictionary of the
Bible, Supplementary Volume. (Nashbille:Abingdon, 1976), hal. 136-140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar