Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Minggu, 21 April 2013

mengenal manusia berdasarkan Ilmu Etika


Nama lengkap              : Obet Nego
NIM                             : 11.16.23
Tugas mata kuliah        : ETIKA
Dosen pengampu         : Pdt. Idrus Sasiarais, M.Th

Bab pertama
PERKENALAN MANUSIA
Manusia adalah mahluk yang bertanya. Bertanya artinya, manusia tidak mau menerima secara pasif begitu saja, baik keadaan dirinya maupun lingkungannya. Ia ingin tahu segala sesuatu. Bila yang diketahuinya itu tidak sesuai dengan keinginannya, ia akan berusaha keras mengubahnya. Dan kalau itu ternyata tidak mungkin, ialah yang mengubah dirinya sendiri. Ia menyesuaikan  diri.
Inilah kunci peradapan manusia. Peradaban manusia adalah hasil tranformasi dan adaptasi. Peradaban adalah hasil proses perubahan dan penyesuaian diri. Sekali lagi manusia adalah mahluk yang bertanya. Begitulah ia, sejak ia lahir. Ia bertanya dengan matanya. Kemudian dengan tangannya. Baru terakhir dengan mulutnya. Pertanyaan yang paling awal, ialah what?what is? Tentu kita masih ingat, betapa seringnya kita tidak sabar menjawab pertanyaan itu. Yang tak henti-hentinya dari anak-anak atau adik kita pada usia dini mereka. Mereka ingin tahu apapun benda yang ada disekitar mereka dan tentang dirinya. Manusia tidak betah hidup dalam setiap rahasia. Sebab itu kita ingat akan semboyan arif filsuf: gnothi seaton!artinya kenalilah dirimu sendiri. Dan sebab itu lah kita tidak perlu heran.
Ilmu selalu berusaha untuk mencari dan merumuskan hukum-hukum yang berlaku yang ada dibalik peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan tertentu. Toh dipihak lain manusia menyadari bahwa akalnya tak sesalu berhasil menyingkap semua rahasia dan menjawab semua pertanyaan. Namun walaupun begitu, manusia harus mempunyai jawaban. Disini kita menjumpai dengan dimensi supra-rasional dalam kehidupan manusia. Ketika manusia sampai pada batas kemampuan rasionalnya, ia terbuka untuk hal-hal yang supra-rasional, yang transenden. Manusia membutuhkan yang lain untuk menjawab berberapa pertanyaan yang tidak rasional, yang lain itu adalah agama. Untuk menjawab pertanyaan manusia memerlukan 2 hal yaitu akal dan iman. Selama orang masih membutuhkan makna bagi hidupnya, selama itu pula ia akan membutuhkan agama.yang di maksudkan makna adalah segala sesuatu yang memberikan titik-tolak, isi arah bagi hidup manusia. Kesadaran di dalam diri manusia tentang apa yang benar dan apa yang salah, tentang apa yang baik dan apa yang jahat, tentang apa yang tepat dan apa yang tidak tepat, inilah yang disebut dengan kesadaran etis. Ia merupakan bagian yang intrisinsik di dalam hakekat kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan kesadaran etis adalah kesadaran tentang norma-norma yang ada pada diri manusia. Norma-norma inilah yang mengendalikan tingkah laku manusia. Yang membuatnya tidak sekedar mengikuti desakkan dan dorongan naluri alamiahnya. Yaitu norma-norma atau ukuran-ukuran tentang apa yang seharusnya. Norma-norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang tepat dan apa yang tidak tepat. Manusia akan berusaha untuk melakukan apa yang ia anggap benar, baik dan tepat. Dan sebaliknya, sedapat mungkin tidak melakukan apa yang menurut pendapatnya salah, jahat dan tidak tepat.

Toh kesadaran etis belum dapat disebut sebagai etika. setiap orang dan semua oarang mempunyai kesadaran etis. Tapi itu tidak berarti bahwa setiap orang dan semua orang mengetahui apa-apa tentang etika. Kesadaran etis sering muncul secara spontan tanpa disadari sepenuhnya oleh sang pemiliknya sendiri. Kebanyakan ia ada dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan yang sudah tertanam dalam-dalam di alam bawah sadar si pelaku, hasil dari proses pewarisan dari generasi ke generasi. Ia mempertanyakan, tapi hampir tidak pernah dipertanyakan. Etika tidak.
Etika selalu merupakan tindakan yang sadar dan sengaja. Ketika kesadaran etis itu dimunculkan ke permukaan untuk dirumuskan secara eksplisit, dibahas secara sadar, dan disusun secara teratur, pada waktu itulah kita berhadapan dengan etika. Sebab itu, etika adalah ilmu, melakukan etika adalah suatu tindakan ilmiah. Etika adalah ilmu atau  studi mengenai norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa etika itu berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, tetapi apa yang benar, baik dan tepat.
Etika membahas, menganalisa, dan kemudian merumuskan obyek studinya itu secara rasional dan masuk akal. Ia menempuh prosedur dan memakai metode yang ilmiah. Itulah sebabnya kita katakan, bahwa etika itu adalah ilmu. Pada hakekatnya, “etika” mempunyai makna yang sama dengan “moral”. Yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedangkan yang belakang berasal dari bahasa latin. Cicero menterjemahkan “ethikos” dengan “moralitas”. Apa yang di kalangan protestan disebut “etika”, dikalangan Roma Katolik disebut “diciplina moralis”. Etika adalah prinsip-prinsip moral. Dengan mengatakan bahwa prinsip-prinsip etis itu relatif bersifat langeng dan universal, tidak berarti bahwa etika lalu merupakan ilmu yang statis. Etika adalah ilmu yang dinamis. Sebab ia membicarakan tingkah laku manusia yang selalu berinteraksi dalam dan dengan ruang dan waktu.
Bab kedua
PERSOALAN KITA
Harus, bila. Etika berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Etika berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Tetapi tidak semua yang harus dilakukan oleh manusia itu adalah persoalan etika. Contoh: jangan berhubungan dengan pelacur murahan, bila anda tidak mau terserang penyakit kelamin! Tapi, bila itu saja alasanya, maka kita dapat bertanya: bagaimana kalau saya segera pergi ke dokter, sehingga saya tidak mungkin terserang penyakit itu? Atau, bagaimana bila saya tidak peduli akan bahaya penyakit kelamin? Maka dalam hal ini, jawabnya adalah: anda tidak perlu memperhatikan larangan itu, kalau begitu. Sebab larangan itu hanya berlaku, bila....
Disini kita berhadapan dengan apa yang seharusnya ,ya, bila… harus bila… . Disini kita berhadapan dengan apa yang wajib kita lakukan, tetapi itu tergantung.  Keseharusan ini disebut yang hipotetis. Dan yang terpenting ialah, bahwa etika tidak-sekali lagi tidak lagi tidak-berbicara tentang keharusan yang hipotetis. Harus, titik. Keharusan yang hipotetis adalah keharusan yang bersifat kondisional. Artinya, ia hanya berlaku untuk memenuhi kondisi-kondisi atau syarat-syarat tertentu. Atau, disebabkan oleh karena kondisi-kondisi tertentu. Tidak berlaku setiap saat. Tidak berlaku untuk semua kondisi. Oleh karena itu, ia tidak merupakan persoalan etis. Keharusan etis adalah keharusan yang tidak kondisional. Bukan “harus, bila” tetapi “harus, titik “. Ia bersifat mutlak, ia harus begitu dalam kondisi apapun juga. Keharusan seperti ini disebut keharusan kategoris. Di dalam etika ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar kondisi atau kenyataan. yaitu makna kehidupan kita sebagai manuia. Cara berpikir deontologis yaitu cara berpikir etis yang mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip, hukum norma objektif yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan dalam kondisi apapun juga. Etika deontologis, karenanya berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah. Dan dengan tegasnya.
Didalam etika Kristen, cara berfikir deontologis adalah cara melakukan penilaian etis yang meletakkan Hukum Allah sebagai satu-satunya norma yang tidak dapat ditawar-tawar. Suatu tindakan adalah, benar apabila sesuai dengan Hukum Allah itu. Dan salah, apabila bertentangan dengannya. Allah berkata, “jangan membunuh”. Itu berarti, di dalam situasi dan kondisi apapun membunuh adalah salah. Cara berpikir Teleologis yaitu tidak berpikir benar atau salah tetapi menurut kategori bertujuan baik atau bertujuan jahat. Betapapun salahnya, tetapi kalau bertujuan dan berakibat baik ia baik. Dan betapapun benarnya kalau dilakukan dengan jahat maka ia jahat.
James Gustafson, dalam bukunya yang indah THE PROTESTANT AND ROMAN CATHOLIC ETIHICS, mengemukakan suatu pengamatan yang menarik untuk kita simak. Ia mengatakan suatu pengalaman yang menarik untuk disimak. Ia mengatakan, bahwa pada hakekatnya Etika Protestan adalah deontologis. Etika Protestan bertolak pada hukum, perintah dan kehendak Allah. Allah dikenal sebagai pemberita Hukum. Di samping Dasa Tintah, maka Hukum Kasih adalah Hukum yang paling utama. Sedangkan Etika Roma Katolik, menurut Gustafson, adalah teleologis. Dijiwai oleh pemikiran teolog raksasaThomas Aquinas, gereja Roma Katolik memahami Allah terutama sebagai “tujuan” dari pada segala sesuatu. Bahwa segala sesuatu yang tertuju kepada Allah adalah baik. Segala sesuatu yang tertuju kepada yang lain dari pada Allah adalah jahat.
Tetapi menurut Gustafson, di dalam praktek, keadaannya menjadi terbalik. Etika protestan yang pada hakekatnya deontologis, di dalam prakteknya lebih bersifat teleologis. Di dalam kenyataan menjadi deontologis. Sebaliknya Etika Roma Katolik yang pada prinsipnya teleologis, didalam kenyataan menjadi deontologis. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Etika Kristen bertitik tolak pada hukum kasih. Tetapi bagaimana menjabarkan “Kasih”  itu di dalam setiap situasi? Kasih tidak bisa dijabarkan secara tuntas dalam bentuk hukum-hukum positif untuk diberlakukan dalam setiap situasi. Etika Roma Katolik yang teleologis itu, berusaha untuk menjabarkan dan merumuskan apa yang “baik” dan apa yang “jahat” itu di dalam bentuk norma-norma dan hukum-hukum yang jelas. Yang baik adalah yang tertuju kepada Allah. Harus ada kriteria yang jelas. Dan dengan begitu, etika yang hakekatnya teteologis, di dalam kenyataannya  berubah menjadi deontologis. menilaikan berdasarkan norma-norma yang dirumuskan secara jelas dan berdasarakan masuk akal.

Pada prinsipnya, etika yang deontologis maupun teleologis tidak terlampau memperhitungkan situasi dan kondisi. Kita dapat mengatakan bahwa keduanya bersifat universal. Hukum atau prinsip atau norma yang diperkenalkan oleh Kant adalah universal. Artinya berlaku dimana saja dan kapan saja. Hukum Allah juga begitu. Dalil teleologis yang dikemukakan oleh Mill, “kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”, juga harus begitu dalam situasi dan kondisi apapun juga. Menurut Aristoteles, di manapun dan kapanpun juga akan mencari kebahagiaan. Inilah yang saya maksudkan, ketika saya mengatakan bahwa etika yang deontologis maupun teleologis pada prinsipnya bersifat universal. Ketika  mempertimbangkan keputusan pokok dalam menentukan keputusan etis, maka  itu disebut dengan berfikir etis yang kontektual.
Richard H. Niebuhr, dalam bukunya THE RESPONSIBLE SELF memberi nama yang lain, yaitu: etika tanggung-jawab. Di sini, yang paling penting untuk kita tanyakan sebelum kita melakukan sesuatu, bukanlah apa yang secara universal “benar”, ataupun apa yang secara universal “baik”, tetapi apa yang secara kontekstual paling “bertanggung jawab”. Etika yang baik adalah etia yang oprasional. Etika yang menolong orang mengambil keputusan dalam situasi konteks tertentu. Sebab Fungsi etika adalah untuk memberikan pegangan kepada manusia mengenai apa yang seharusnya. Ketika etika tidak lagi mempunyai prinsip-prinsip yang jelas, ketika semuanya menjadi serba relatif, tergantung kepada situasi dan kondisi, pegangan apa yang diberikan. Yang tejadi ialah kecendrungan kepada apa yang disebut nihilisme yaitu keadaan tanpa nilai. Menurut Martin Luther, orang percaya adalah orang yang sekaligus dibenrkan dan sekaligus orang berdosa; simul et peccator. Jadi keputusan apapun yang kita lakukan tidak sempurna. Ia harus melakukan dengan penuh kerendahan hati, bahkan dengan pengakuan dosa. Itu tidak mengurangi tugas dan tanggung jawab untuk kita sedapat-dapatnya dengan segala kemampuan kita, mengambil keputusan yang paling benar, paling baik, dan paling tepat. Pasti tak mungkin sempurna. Namun itu yang memaksimalkan dapat kita lakukan. Bahkan itu pula yang minimal kita harus dilakukan.
Bab Ketiga
NILAI-NILAI ETIS
Manusiawi. Etika berbicara tentang apa yang seharusnya. Tentang apa yang “benar”, “baik” dan “tepat”. Tapi supaya anda tidak bingung dikemudian hari, baiklah dari semula anda ketahui, bahwa tidak semua yang “benar”, “baik” dan “tepat”, mempunyai sangkut-paut dengan etika. Filsafat Hidup. Mengapa untuk hidup orang memerlikan filsafat hidup? Mengapa ilmu-ilmu yang ada tidak cukup? secara umum dan sederhana  itu dapat di jawab. Karena ilmu-ilmu itu kita perlukan untuk menjelaskan kenyataan. Mereka menjawab pertanyaan: apa? What is? Oleh karena itu, mereka amat berguna. Apalagi, bukan hanya itu. Ilmu-ilmu itu secara ilmiah juga menjelaskan pertanyaan: mengapa? Why? Menjelaskan hukum-hukum alam tentang sebab-akibatnya sesuatu gejala. Nilai-nilai. Etika adalah tentang nilai-nilai. Ia menyangkut keyakinan tentang yang benar, yang baik dan yang tepat. Setiap orang mempunyai nilai-nilai yang dipeganginya. Tapi tak semua orang tak tahu persis apa itu.
Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai selalu menyangkut tindakan. Nilai diukur melalui tindakan. Itulah sebabnya etika menyangkut nilai. Menurut Steeman, nilai adalah yang memberi makna kepada hidup ini titik-tolak, isi dan tujuan. Seorang psikolog dalm bukunya VALUE AND TEACHING, menulis bahwa ada 7 hal yang membuat sesuatu itu nilai dalam arti yang sebenarnya. Yaitu yang pertama nilai adalah sesuatu yang kita hargai dan jujung tinggi, kedua bahwa kita bersedia mengakui dan menyatakan didepan orang lain, ketiga nilai itu dipilih secara bebas bukan dengan terpaksa, keempat nilai yang dipilih setelah mempertimbangannya dengan cara sadar. Kelima nilai dipilih dengan bebas dan sadar dari banyaknya pilihan yang ada. Enam dan ketujuh nilai itu nyatakan melalui tindakan kita. Dan bukan tindakan yang sekali-kali saja tetapi secara berulang-ulang dan terus menerus.
Fungsional dan Ideal. Apa yang maksimal dapat kita lakukan itu adalah nilai-nilai fungsional. Nilai-nilai yang fungsional adalah nilai-nilai yang telah kita kompromikan dengan keadaan. Tetapi kita juga tahu bahwa ada orang-orang yang tidak bersedia untuk berkompromi. Orang-orang ini hanya bersedia untuk hidup dengan nilai-nilai mereka yang murni, apapun konsekwensinya. Nilai-nilai ini di sebut nilai-nilai yang ideal. Persoalan etis adalah persoalan bagaimana meneliti jalan di antara yang fungsional dan ideal itu. Bagaimana kita tetap realitas, tetapi tanpa jatuh menjadi konformis (ikit-ikutan). Bagaimana kita tetap idealis, tanpa menjadi naif dan fanatik. Bagaimana kita dapat menjadi fungsional didalam tindakan tetapi tetap ideal dan bersemangat. Bagaimana kita tetap realistis, tetapi sekaligus tetap memelihara ideal kita selalu menyala. Filsuf Amerika yang besar, John Dewey menunjukan jalan. Ia mengatakan bahwa fungsi ritual atau upacara-upacara yang terjadi dalam hidup kita adalah untuk itu. Apa yang kita tidak dapat laksanakan didalam praktek kehidupan kita laksanakan dalam ritual. Yang jelas ini. Didalam kehidupan etis kita, kita tak dapat hanya memilih salah satu: yang ideal atau yang fungsional. Kehidupan etis adalah pergumulan yang dinamis dan kreatif yang berjalan setiap saat terus-menerus untuk menjembatani keduanya. Agar kita tidak menjadi idealis-idealis yang picik, atau kompromis-kompromis yang murahan. Etika berbicara tentang nilai-nilai etis. Secara singkat sebuah tindakan yang disebut etis apabila berakar pada totalitas dari apa arti menjadi manusia yang penuh itu. Etis bila ia setia pada kemanusian tetapi tidak etis apabila ia bertentangan dengan kemanusian. Itu yang menjadi tolak ukur kita.



Bab Keempat
KESADARAN ETIS ITU BERTUMBUH
Diatas telah dikemukakan, bahwa ilmu tidak dapat menjawab semua perkara persoalan etis, tetapi bukan tidak bermanfaat. Etika juga harus memanfaatkan temuan-temuan dari ilmu-ilmu lain. Salah seorang psikolog yang cukup termashur yaitu Lawrence Kohlberg menjadi terkenal oleh karena temuannya bahwa kesadaran etis manusia itu bertumbuh menurur enam jenjang. Dari satu jenjang ke jenjang lain, Kohlberg melihat sikap manusia yang semakin terbuka kepada sekitarnya. Semakin dewasa pertumbuhan kesadaran etis seseorang, semakin terbuka ia kepada orang-orang lain. Analisa Kohlberg ini menarik, oleh karena ia dapat kita pakai untuk mengetahui jenjang kesadaran etis berada. Kohlberg membagi jenjang kesadaran etis (ia mengunakan istilah moral) seseorang kedalam tiga tahapan besar. Yang pertama ialah tahapan moralitas pra-konvesional. Dan yang kedua ialah tahapan konvensional. Dan yang ketiga ialah tahapan purna-konversional. Setiap tahapan  dibagi menjadi dua jenjang. Sehingga seluruhnya kita memperoleh enam jenjang. 
·         Moralitas Pra Konvensional: kekanak-kanakan
Pertama, mengenai istilah konvensional. Hidup bermasyarakat adalah hidup yang diatur oleh kesepakatan-kesepakatan umum mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Didalam tahapan moral konvensional, biasanya pada orang-orang dewasa, orang mematuhi kesepakatan-kesepakatan itu dengan rela dan sadar. Artinya, karena orang menyadari bahwa kesepakatan-kesepakatan itu benar dan baik. Tetapi tidak begitu pada tahapan moral pra-konvensional. Mereka belum mempunyai kesadaran tentang benar dan salah, tentang yang baik dan jahat.
Jenjang pertama. Kohlberg menamakan jenjang yang paling awal dari kesadaran etis seseorang, sebagai kesadaran yang berorientasi kepada “hukuman”. Contoh: mengapa si Ujang tidak mencuri kueh?oleh karena takut hukuman oleh ibu. Itu sebabnya ia patuh. Jadi persoalannya bukanlah apakah mencuri itu baik atau buruk. Persoalannya ialah pada hukumannya? Pada anak-anak, pertimbangan ini tentu saja dilakukan secara mekanis artinya tidak secara sadar.
Jenjang kedua. Pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi sudah lebih rasional. Tidak terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang-orang sudah menghitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang kedua ini, adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Tindakan moral seseorang adalah alat atau instrument untuk mencapai tujuan diatas. Kohlberg mengatakan bahwa nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat instrumental. Artinya sebagai alat untuk mencapai kenikmatan yang sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya.


·         Moralitas konvensional: Orang tua
Pada moralitas yang konvensional, titik pusat adalah diri sendiri. Pada moralitas yang konvensional, cakrawala pemikiran seseorang sudah jauh lebih luas. Orang sudah benar-benar memperhitungkan orang-orang lain. Berusaha sedapat-dapatnya untuk memenuhi harapan masyarakat sekitarnya. Dan sedapat-dapat untuk tidak melakukan apa yang dilarang.
Jenjang ketiga. Anak-anak telah bertumbuh. Dengan sadar, mereka berusaha untuk menjadi anak-anak yang “baik” atau menurut istilah yang lebih lazim: “anak baik-baik”. Mereka berusaha untuk melakukan apa yang dikatakan kepada mereka. Menjadi anak yang taat dan patuh. “menguyah dengan tutup mulut”,”cuci tangan sebelum makan”,” berdoa sebelum tidur”,” bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua. Jenjang ketiga ini jelas terarah kepada bagaimana menyenangkan orang lain. Orang tidak lagi diperbudak oleh dirinya. Ia mulai bebas ke luar, tidak lagi diliputi oleh ketakuatan-ketakutan, yang ada ialah, melakukan yang “benar” dan yang “baik” (walaupun tidak menyenangkan). Dengan menjadi anggota kelompok yang baik. Dalam hubungan inilah Kohlberg melihat bahwa jenjang selanjutnya merupakan perkembangan yang berati. 
Jenjang keempat. Apabila terjadi  konflik loyalitas. Yang dijadikan dasar untuk memilih dan mengambil keputusan, adalah kita harus merujuk kepada suatu prinsip atau hukum tertinggi. Yaitu hukum objektif yang tidak berlaku untuk satu kelompok saja. Tetapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih berdimensi universal. Inilah orentasi dari moral pada jenjang keempat. Pada jenjang ini, seseorang sudah berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk menengok dan berpegang pada yang lebih luas lagi.
·         Moralitas Purna-Konvensional: Dewasa
Menurut Kholberg, jenjang keempat belumlah merupakan puncak perkembangan moral manusia. Memang dibandingkan dengan moralitas prakonvensional yang berpusat pada diri sendiri, moralitas konvensional mempunyai cakrawala yang jauh lebih luas. Bahkan pada jenjang yang keempat, cakrawla tidak lagi terbatas pada kelompok yang parokhial, tetapi lebih universal.
Tetapi tetap belum universal dalam arti sesungguhnya. Ketetapan-ketetapan yang ada bagaimanapun hanya berlaku dalam batas-batas kelompok tertentu. Moralitas Purna-konvensional atau moralitas yang dewasa artinya: moralitas yang tidak lagi tergantung kepada faktor dari luar. Bukan orang lain atau kelompoklah yang harus mengambil keputusan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Melainkan saya sendirilah yang harus mengambil keputusan itu. Ini berarti fokus kembali pada dari sendiri, tetapi tidak dalam arti kembali pada tahap pra-konvesional. Sebab sekalipun diri sendirilah yang harus mengambil keputusan, keputusan-keputusan yang diambilnya itu tidak berpusat pada kepentingan diri sendiri. Berpusat pada kepentingan kelompok pun tidak. Tetapi kepada sesuatu yang universal. Itulah yang akan di jelaskan di bawah ini.
Jenjang kelima. pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri tidak dipertanyakan. Mempertanyakan malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang kelima ini, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada sebenarnya tidak lain adalah kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antara manusia yang melahirkan hukum. Oleh sebab itu kesepakatan antar manusia pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta merta dianggap kudus yang tidak dapat diubah. Bila hukum tak lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah. Kita harus menciptakan hukum yang lebih benar dan lebih baik. Manusia memiliki akal yang mempunyai fungsi kritis, mempunyai akal yang kreatif. Pada jenjang kelima akal mampunyai fungsi yang sentral.
Jenjang keenam. Pada jenjang keenam inilah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai puncaknya. Yaitu moralitas yang pantang menghianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan baik. Manusia melakukan tindakan-tindakan yang seringkali tidak tercena akal sehat menusia biasa. Moralitas manusia bukan irasional tetapi melampaui di luar rasio. Moralitas yang trans-rasional. Teori Kohlberg justru sangat bermanfaat untuk kita menilai diri kita sendiri. Kohlberg berbicara tentang sebuah sikap etis yang amat penting, tapi yang sering terlupakan. Yaitu pertama, kita harus terlebih dahulu berusaha memahami sesuatu sedalam-dalamnya, sebelum menilai. Dan kedua prinsip-prinsip etis yang kita yakini itu pertama-tama harus berlaku untuk kita, sebelum kita terapkan kepada orang lain. Kesadaran moral seseorang itu bertumbuh tetapi pertumbuhan tidak selalu berlaku merata dan sekaligus bagi seluruh sektor kehidupan manusia.
Bab Kelima
ETIKA ITU PENJARA
Kohlberg di dalam bab terdahulu ingin mengatakan bahwa moralitas yang dewasa adalah moralitas yang di dalamnya manusia mengambil keputusan-keputusan sendiri sebebas-bebasnya. Persoalannya ialah: bebaskanlah manusia itu? Atau sebenarnya, ia terpenjara? Itulah pokok masalah yang akan dibicarakan di dalam bagian ini.
Penjara sosial. “seluruh dunia adalah panggung sandiwara” begitu kata William Shakespeare, sang pujangga setiap kita adalah pelakon-pelakonnya. Tetapi tidak ada seorangpun yang menceritakan naskahnya sendiri. Naskah skenarionya sudah ada. Kemudian kita tinggal melakoninya bahkan kita bisa berimprovisasi. Tapi kita tidak bisa melawan naskah. “manusia itu dilahirkan bebas.tapi dimanapun ia berbelenggu. Ia berpikir bahwa ia adalah tuan atas yang lain. Sesungguhnyalah, ia lebih budak dari mereka”. Yang mengatakan ini Jean Jacques Rousseau, pemikir Prancis yang yang sangat besar. Ia benar. Kita dipenjara oleh nilai-nilai etis kita sendiri. Kadang-kadang kita menyadarinya. Lebih sering kita tidak menginsyafinya. Bagaikan budak yang merasa bebas. Kata-kata arif pujanga Jawa, Ronggo Warsito. Ia mengatakan, bahwa sebaik-baiknya orang yang tidak sadar, masih lebih baik dari orang eling, orang yang sadar. Sebab itu marilah kita menyadari penjara-penjara kita. Marilah kita menyadari penjara-penjara sosial kita. Bahwa masyarakat kita hidup sebenarnya terbelengu. Edward Stevens, dalam bukunya THE MORALIS GAME, mengatakan bahwa setiap orang termakan oleh propaganda masyarakat di mana mereka hidup. Tapi propaganda yang baik adalah yang diterima tanpa tahu bahwa itu adalah propaganda. Sebab itu, orang jarang menyadari penjara sosialnya. Menganggap dengan sepenug hati bahwa apa yang biasa dilakukannya itu adalah satu-satunua yang baik dan benar. Menjadikkannya ukuran untuk menilai yang lain. Penjara Ekonomi. Yang pertama-tama dengan amat jelas dan terperinci menunjukkan betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi itu atas seluruh segi kehidupan manusia, adalah Karl Marx. Ia mengatakan bahwa siapa yang menguasai ekonomi, ialah yang menguasai manusia. Seluruh tindak-tanduk manusia dikendalikan oleh motif-motif ekonomi. Di dalam masyarakat, ekonomi adalah struktur-bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada struktur-atas. Oleh karena itu ajaran agama, sistem politik, corak budaya bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tak lain adalah pencerminan belaka dari sistim ekonomi yang ada di baliknya. Tidak ada satu peristiwa sejarah sejarahpun di dalam dunia inin yang tidak dapat dijelaskan dengan karegori-kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan, bahkan penjajahan selalu mempunyai motif-motif ekonomi.
Agama pun tak terlepas dari ekonomi. Menurut Marx, agama adalah alat legitimasi (alat untuk mengesahkan) dari kelas ekonomi tertentu. Mengapa kekristenan yang pada awalnya bersifat revolusioner, kemudian berubah corak menjadi anti revolusi? Menurut Marx, karena agama kristen telah dikuasai oleh kelas kapitalis dan borjuis. Ajaran “kasih” yang mula-mula bersifat revolusioner, sebab mengangkat harkat dan martabat kelas bawah, telah berkembang menjadi anti revolusioner, sebab diartikan sebagai larangan untuk membrontak bagi golongan yang tertindas. Mengapa gologan elit cenderung untuk bersikap konservatif dan anti perubahan? Sebab perubahan berarti membahayakan privilese-privilese(hak-hak istimewa)yang menguntungkan ekonominya. Ekonomi kita  kadang-kadang menentukan nilai-nilai etis kita. Ekonomi memenjarakan nilai-nilai etis kita.
Keterpenjaraan manusia oleh struktur-struktur yang ada di dalam masyarakat dijelaskan lebih lanjut oleh Mary Douglas di dalam bukunya NATURAL SYMBOLS. Douglas mengatakan bahwa masyarakat manusia itu pada hakekatnya dapat dibagi menjadi empat tipe. Tipe-tipe itu tetgantung dari struktur atau susunannya. Dan susunan suatu masyarakat itu dapat dijelaskan berdasarkan dua faktor utama. Faktor yang pertama adalah kelompok. Sedangkan faktor yang kedua adalah faktor individu. Struktur suatu masyarakat ditentukan oleh bentuk hubungan antara kedua faktor utama tadi. Dan ini pula yang menentukan nilai-nilai etis seseorang, nilai-nila etis seseorang ditentukan oleh tipe masyarakat dimana ia hidup. Begitulah menurut Douglas. Marilah kita mengikuti teorinya dalam bentuk yang sudah disederhanakan. Demikian.  
Tipe yang pertama, adalah tipe bagi masyarakat yang amat menonjolkan faktor kelompok. Kelompok adalah segala-galanya. Tanpa kelompok, individu tidak mempunyai arti apa-apa. Sebab itu yang paling terpenting bagi individu di dalam masyarakat itu adalah,  bagaimana untuk tetap berada di dalam kelompok. Ada batasan yang jelas antara “orang dalam” dan “orang luar”. Dikeluarkan dari kelompok, atau dijadikan “orang luar”, adalah nasif yang lebih buruk dari pada  mati. Ia tidak mempunyai arti apa-apa lagi.
Tipe yang kedua adalah yang sepenuhnya bertolak belakang dari tipe yang pertama. Di sini faktor individu amat ditonjolkan, apa yang dikutuk pada tipe pertama, justru disanjung pada tipe kedua. Si pendosa pada tipe pertama, menjadi orang suci pada tipe yang kedua. Yang penting adalah bagaimana kita hidup. Tentang nilai etis apa yang lahir dari tipe masyarakat seperti ini, juga tidak sulit kita bayangkan. Kerja keras dan prestasi adalah nomor satu, sukses pribadi sangat terpuji. Gagal atau tak mampu berkembang adalah cela terbesar, kemalasan dan kebidohan merupakan dosa tak berampun. Tipe yang ketiga menurut Douglas adalah, tipe masyarakat dimana baik faktor kelompok maupun faktor individu sama-sama mendapat penekanan. Pada satu pihak kelompok penting. Sebagai kelompok, ia tersusun rapi. Apa yang diharapkan dan ditetapkan oleh kelompok amat jelas dan terperinci. Yang penting kita tetap dalam kelompok. Sebab itu siapa orang dalam dan orang yang diluar juga jelas batas-batasnya. Tapi pada pihak lain, prestasi, kerja keras dan prakasa pribadi juga sama pentingnya. Tiap-tiap individu mempunya fungsinya sendiri-sendiri. Hanya saja apa bila individu melaksanakan fungsinya sekreatif mungkin dan semaksimal mungkin, kelompok dapat berjalan baik. Sebab itu kelompok memberi kesempatan dan dorongan kepada individu-individu untuk berfungsi sebaik mungkin. Pada tipe yang ketiga ini, ketidaksetiaan kepada kelompok dan ketidak disiplinan melaksanakan tugas merupakan cela. Prakarsa pribadi memang didorong tetapi tidak ditekankan. Yang penting adalah disiplin dan efisiensi melaksanakan fungsi masing-masing.
Akhirnya ada tipe yang keempat, yaitu tipe masyarakat yang tidak menekankan baik faktor kelompok maupun faktor individu. Sebagai contoh baiklah kita ambil kelompok-kelompok heppie yang ramai pada tahun enam puluhan. Disini keanggotaan dalam kelompok tidak penting. Siapa di dalam dan siapa di luar juga tidaklah penting. Tidak diperdulikan. Tidak ada syarat-syarat keanggotaan yang ketat. Sebagai pribadi juga, tidak ada semacam kewajiban yang dipenuhi. masing-masing bebas melakukan apa yang ia kehendaki dan senangi. Nilai-nilai etis yang terpenting didalam tipe keempat ini adalah kesungguhan otentisitas pribadi dan kejujuran pada diri sendiri. Dosa yang paling tercela adalah: kemunafikan, keewenang-wenagan terhadap orang lain, dan membiarkan diri dalam mandeg dan frustasi. Setiap orang berada dalam penjara sosial-ekonomi-budayanya masing-masing. Disadari maupun tidak disadari. Reihold Niebuhr, dalam bukunya THE RESPONSIBLE MAN IN THE IRRESPONSIBLE SOCIETY(manusia bertanggung jawab didalam masyarakat yang tidak bertanggung jawab). Masyarakat yang mulanya diciptakan oleh manusia, kini menjadi suatu kenyataan yang objektif yang berada diluar kendali si penciptanya. Bila masyarakat adalah penjara , maka penjara itu memang pada awalnya di ciptakan sendiri.   
Bab Keenam
ETIKA ADALAH PERAN
Ini adalah wilayah ketiga. Dan ketika berbicaran tentang kebebasan kita akan teringat yag dikatakan oleh Jean-Paul Sarte, filsuf eksistensialisme yang besar di Prancis.ia berkata” manusia dikutuk untuk merdeka, memikul beban seluruh dunia di atas pundaknya; untuk di pertanggung jawabkan sendiri.  Bebas. Gambaran sebuah panggung pertunjukan tentu amat berbeda dengan sebuah penjara. Penjara membuat kita merasa sumpek dan pengap. Panggung pertunjukan membawa rasa kebebasan. Etika penjara melihat hidup ini serius dan tidak dapat diubah. Hidup yang keras dan berat. Di sana orang hidup dalam penindasan determinisme masyarakat atau ekonomi. Etika panggung pertunjukan samasekali berbeda. Di atas panggung itu saya adalah pemain. Tapi juga penulis lakon, dan sutradara sekaligus pengharapan serta kebebasan menggantikan keputusasaan dan keterbelengguan. Tom Stoppard menulis begini” pasti ada suatu ketika, pada awal sekali, takkalanya kita dapat mengatakan tidak! Namun itu biar kita lewat”. Bila hidup di pandang atau digambarkan sebagai penjara, ia memang akan merasa tidak berdaya. Dan oleh sebab itu tidak berupaya apa-apa. Tapi bayangkanlah, bila ia yakin dapat menulis lakon hidupnya dan memilih perannya sendiri dengan bebas. Ia akan berusaha, mungkin gagal, pasti amat sulit. Tapi bisa saja berhasil. Seorang psikiater Amerika Thomas Szasz, mengatakan bahwa keberhasilan untuk mengatasi ketergantungan atau kecendrungan sesuatu, amat tergantung kepada pandangan hidup orang yang bersangkutan. Bila kita melihat hidup ini sebagai sepenjara ia akan gagal. Bila ia melihat hidup ini pilihan yang perannya bebas, ada kemungkinan ia akan berhasil. Demikianlah, hidup ini mungkin memang sebuah penjara. Tetapi kalaupun ia benar-benar sebuah penjara, maka penjara itu adalah ciptaan kita sendiri. Kitalah sendiri yang memutuskan untuk berada di dalamnya. Atau paling sedikit, kitalah yang memutuskan untuk tidak mau keluar dari situ. Kita tidak mau mengganti peran kita.
Memilih. Kebebasan bukanlah cita-cita. Kebebasan adalah kenyataan yang ada pada setiap kita. Bila kemungkinan kita tidak bebas, itu adalah karena di dalam kebebasan kita, kita memilih untuk tidak bebas. Juga ketidakbebasan adalah tanda kebebasan manusia. Kebebasan itu bukanlah sebuah konsep abstrak yang ada di luar manusia. Ia merupakan kenyataan yang ada di dalam diri setiap orang, tidak diluarnya. Kebebasan itu begitu kongkret, begitu nyata sebab kebebasan itu adalah tindakan manusia atau lebih tepat, tindakan manusia itu adalah bentuk kebebasan manusia. Allen Wheelis, dalam bukunya HOW PEOPLE CHANGE, pada pokoknya mengatakan dua hal. Pertama, siapa kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan dan kedua, kita bebas memilih apa yang kita lakukan.  
Tindakan kita=kita kita, ini bukan sesuatu yang baru. Tindakan itu berbicara lebih keras dari pada kata-kata. Seorang dapat mengatakan bahwa ia adalah seorang kristen yang taat. Contohnya:Saya mempercayainya. Tapi hanya sampai saya melihatnya sendiri tindakan-tindakanya.
Tindakan kita, pilihan kita. Saya sudah berusaha untuk tidak merokok. Tapi saya gagal. Saya tidak melakukuan apa-apa tanpa rokok. Rupanya saya akhirnya harus menyerah kepada kenyataan, bahwa saya ini memang perokok. Apa boleh buat hidup kita tidak ditentukan oleh nasib. Bila tindakan yang melahirkan sebab, maka tindakan pula yang dapat memperbaiki akibat. Bukan keputusan dewa-dewi manapun juga. Tetapi siapa kita sekarang ini adalah buah dari tindakan-tindakan yang kita ambil secara bebas pada waktu lalu. Tindakan itulah yang menentukan identitas kita sekarang. Memang sulit diubah, tapi bukan tidak mungkin untuk kita ubah. Yang perlu dilakukan hanyalah kemauan dan keberanian untuk merubah arah. perubahan acap kali berjalan terambat lambat, menyakitkan dan sangat sulit. Ya, namun bila terjadi, hasilnyapun akan mantap dan dapat bertahan lama. Inilah kekuatan manusia.
Mengubah satu dimensi kita dengan ulet dan tekun. Maka seluruh diri kita akan di ubahkan. Pola tindakan kita menentukan diri kita. Harus, sudah barang tentu, ada hal-hal yang tak dapat kita ubah. Kita misalnya tidak dapat mengubah hukum gaya berat atau tinggi badan kita atau cuaca di sekitar kita. Tapi jangan katakan bahwa tak ada dapat kita ubah. Kita sering memenjarakan diri kita sendiri. Sering kita telah menyerah kalah sebelum bertempur. Apa yang kita katakan tentang diri kita sendiri itulah yang membelenggu kita, sehingga kita tidak berdaya. Ketidakberdayaan kita itu tidak ditentukan oleh tegarnya kenyataan yang ada diluar kita. Tapi oleh sikap kita sendiri yang membutakan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tersedia. Apa yang mungkin kita anggap tidak mungkin.
Memang ada dua pilihan bagi kita, yang pertama ialah kita selalu mengatakan harus. Saya harus bangun pukul 5.00 pagi, walaupun sebenarnya saya masih ingin tidur lebih lama. Harus, golongan kedua pantang mengatakan harus. Saya melakukan sesuatu, bukan karena saya harus, tetapi karena saya mau. Saya memang mau bangun pukul 5.00 pagi, karena saya tidak mau terlambat. Saya memang mau makan dengan teratur, karena saya tidak mau diganggu oleh penyakit. Tetapi bukan harus. Saya bisa berbuat lain, kalau memang saya mau, dan itu risiko saya. Keadaan kadang-kadang membatasi kemungkinan kita untuk memilih.
Sartre. Berbicara tentang kebebasan, tidak mungkin kita lakukan dengan menyinggung filsuf besar Prancis, Jean-Paul Sartre. Terlepas dari setuju  atau tidak setuju. Menurut Sartre, seperti halnya Wheelis, ada sebuah dimensi di dalam kehidupan manusia, di mana seseorang sekedar adalah obyek permainan keadaan disekitarnya, tanpa dapat berbuat apa-apa. Dimana orang di perhadapkan kepada suatu keharusan yang hanya harus diterima. Suatu “faktualitas” begitu Sartre menyebutnya. Manusia hadir dan lahir dulu. Eksis dulu barulah kemudian didalam kehadiran itu menciptakan esensinya. Maka hidupnya siapa dia yang sebenarnya. Sartre memahami manusia sebagai kebebasan. Sartre akan mengatakan, sikap etis yang terburuk adalah menggantungkan diri kepada norma-norma etis kita yang sudah di tentukan. Buruk dan jahat, sebab itu berarti manusia menyangkal dan mengkianati hakekatnya sendiri. Menurur Sartre tidak ada norma-norma etis yang sudah jadi dan tinggal kita ikuti. Tidak seorangpun dapat dan berhak untuk mengambil keputusan atau nama dan untuk kita. Kitalah yang harus mengambil keputusan sendiri, dan karena itu seluruh resiko atas keputusan itu adalah tanggungjawab kita sendiri.
Manusia tidak mungkin mengelakkan diri dari kebebasannya untuk mengambil keputusan. Bahkan ketika ia tidak mau memutuskan apa-apa, inipun adalah keputusannya. Kita dikutuk mereka. Pandangan etis bukanlah hal “semau gue/sembarangan”Suatu tindakan dapat disebut tindakan etis, bukan hanya oleh karena tindakan itu sendiri, tetapi juga oleh apa yang mendorong dan menjadi motivasi tindakan tersebut. Bukankah inti dari etika Yesus di dalam khotbah di bukit (Matius 5 dan 6) adalah bahwakita tidak bersalah bukan hanya karena kita tidak melakukan apa-apa yang terlarang? Bahwa apa yang ada di dala pikiran dan hati kita, sekalipun belum terungkap di dalam tindakan, dapat membuat kita bersalah? Bahwa orang-orang farisi dikecam oleh Yesus, bukan karena ajaran atau kesalehan mereka, tetapi oleh karena cara berpikir mereka. Sartre benar, keputusan yang otentik itu amatlah menentukan di dalam etika. Seperti yang dikatakan oleh Dietrich Bonhoeffer: kebebasan tanpa ketaatan adalah perbudakan hawa nafsu, sedangkan ketaatan tanpa kebebasan adalah penindasan. Tanggungjawab adalah kedua-duanya. Ketaatan di dalam kebebasan, dan kebebasan di dalam ketaatan. Itulah manusia yang sebenarnya.
Bab Ketujuh
ETIKA ADALAH RASA
Rasa. Ada orang yang membagi manusia menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, adalah mereka yang lebih memakai rasio. Kelompok kedua, adalah mereka yang lebih mengutamakan rasa, yang satu dikendalikan oleh otak. Yang lain dikendalikan oleh hati. Etikapun demikian, kelompok yang pertama cenderung kepada etika yang kognitif. Kelompok kedua terarah kepada etika yang emotif, yang satu mengatakan, segala sesuatu mesti masuk akal. Yang lain mengatakan, percayailah perasaanmu. “le coeur a ses raisons que la rasion ne connait point,” kata Blaise Pascal, artinya: hati mempunyai rasionya sendiri, yang rasio tak dapat mengerti. Bab ini akan membahas tentang pemikiran (atau,perasaan ?) etis yang emotif.     
Kasih itu cukup. Inilah sikap etis yang menggemparkan yang pernah di perkenalkan oleh Joseph Fletcher, dengan apa yang di sebutnya Etika Situasi. Pada dasarnya pemikiran Fletcher ini tidak berbeda dari Sartre. Bagi Sartre dan juga Fletcher, tidak ada norma-norma etis yang bersifat obyektif dan berlaku universal. Setiap keputusan etis selalu unik. Artinya, tak pernah dan tak akan mungkin diulang . sebab setiap keputasan etis harus diambil di dalam situasi tertentu, dan satu situasi hanya ada untuk sekali. Pemahaman seperti ini diberi julukan antinomian. Paham yang tidak mengakui bahwa ada hukum di luar manusia yang secara sah dapat mengendalikan tingkah laku manusia. Fletcher menolak julukan antinomian untuk pemahaman etikanya. Sebab ia mengakui bahwa ada satu(dan satu-satunya) hukum yang berlaku universal yaitu hukum kasih. Dan justru karena hukum kasih ini bersifat universal, maka setiap keputusan etis adalah situasional.
Flecher tidak mengatakan (seperti Sertre), bahwa setiap orang dapat secara bebas mengambil keputusan dan menentukan pilihan etis. Manusia tidak bebas tanpa batas. Suatu keputusan dapat disebut etis hanya apabila ia dapat mempertanggung jawabkan di dalam terang satu hukum itu, yaitu hukum kasih. Kasih adalah nilai etis yang utama dan pokok, bahkan satu-satunya norma etis. Setiap tindakan, dan itu berarti tindakan apapun, yamg lahir dari kasih, adalah benar dan baik dan tepat. Seperti kata Augustinus. “milikilah kasih, dan anda boleh berbuat apa saja.” Toh yang dimaksudkan Fletcher bukanlah kasih sembarang kasih. Bahasa Yunani mempunyai tiga ungkapan untuk kasih. Yamg pertama, adalah philia. Philia adalah kasih persahabatan. Yang kedua, adalah kasih eros. Eros adalah kasih asmara. Yang ketiga adalah kasih agape. Agape adalah kasih yang sejati, yang universal.
Kasih philia. Mengasihi, supaya. Memberi dan menerima. Take dan give. Kasih persahabatan. Mutualis. Bukan kasih yang dimaksudkan oleh Flecher. Kasih eros. Kasih. Karena, kasih karena menerima. Romantis, sentimental, emosioanal. Bila philia selalu mutualis, sebab persahabatan selalu bersifat timbal-balik, eros tidak. Kasih eros bisa satu arah saja. Seperti eros, agape juga bisa satu arah. Tapi dalam arah yang berlawanan. Eros ingin menerima. Agape ingin memberi, agape hanya menginginkan yang terbaik bagi yang dikasihi. Berbeda pula dengan eros, agape tidak romantis, tidak sentimental, tidak emosional. Bila eros dan philia selalu bersifat terbatas, hanya mengenai satu orang atau beberapa orang tertentu, agape bersifat universal. Ia menyangkut semua orang lain. Ia tertuju baik untuk mengasihi maupun yang membenci, ia tertuju baik untuk yang mengasihi maupun yang membenci. Ia terarah bagi yang pantas maupun yang tidak pantas untuk dikasihi. Ia tidak mengajukan syarat. Mengasihi, meskipun. . .  kasih dalam arti agape inilah yang dimaksudkan oleh Fletcher.
Moralitas baru. Pandangan Joseph Fletcher juga dikenal orang dengan sebutan moralitas baru. Disebut baru, oleh karena berbeda dengan moralitas yang lama, ia tidak menggantungkan diri kepada hukum-hukum yang eksternal dan obyektif. Disebut baru, oleh karena berbeda deng moralitas yang lama, ia tidak secara hantam kromo mau menerapkan satu norma untuk manusia situasi. Kasih itulah yang menuntut agar setiap situasi dihormati keunikannya. Apa yang di sebut kasih pada situasi, bisa saja bukan kasih pada situasi yang lain. Yang ingin di tekankan oleh Flectcher adalah, bahwa setiap tindakan manusia hendaknya selalu berorientasi pada kasih terhadap sesama di dalam situasi yang unik dari orang yang kita kasihi itu. Nilai etis tidak terletak pada suatu tindakan obyektif tetapi pada kasih yang subjektif yang diterjemahkan melalui tindakan tertentu. Tindakan apapun saja bisa dibenarkan sebgai tindakan etis, asal saja di lakukan oleh karena kasih. Tidak ada larangan atau perintah yang bersifat mutlak. Segala sesuatu itu tergantung kepada situasi dan kepada motivasi.
Kasih itu irasional? Benarkah bahwa Fletcher mengatakan kasih itu buta? Benarkah bahwa pandangan etika Flecther adalah sepenuhnya irasional? Apakah ia ingin mengatakn, seperti  Sartre, bahwa hidup ini begitu absutdnya sehingga tidak ada petunjuk-petunjuk obyektif yang dapat menuntun kita? Jawabnya adalah: tidak mungkin Flecther, kasih itu tidak buta. Kasih yang benar selalu menuntut perhitungan-perhitungan rasional. Orang harus memikirkan secara seksama konsekwensi-konsekwensi setiap tindakkanya. Situasi itulah yang menuntun orang untuk sampai pada pengertian tentang apa kasih itu.
Kasih saja tidak cukup. Fletcher tidak seluruhnya salah, melalui etika situasinya, ia memberi peringatan yang amat penting kepada kita. Yaitu bahwa hendaknya kita tidak tergesa-gesa dan dengan semena-mena menghakimi tindakan orang lain hanya berdasarkan hukum-hukum yang obyektif. Yaitu, bahwa hendaknya kita dengan penuh pengertian menilai seorang tanpa terlepas dari situasi yang unik di mana orang itu berada.
Etika Emotif, suatu pendekatan filsafati yang disebut analisa lunguistik. Yang dipelopori kedua tokohnya, yaitu masing-masing A.J.Ayer dengan bukunya LANGUAGE, TRUTH AND LOGIC, serta Charles Stevenson dengan karangan karyanya ETHNICS AND LANGUAGE. Ini penting untuk kita ketahui, sebab tanpa sadar tentang apa sebabnya banyak orang tiba pada kesimpulan yang dengan Ayer dan Stevenson. Menurut para pemikir analisa linguistic, pertengkaran yang tanpa akhir tentang persoalan-persoalan etis, sesungguhnya berpangkal pada kesalahkaprahan bahasa. Orang mengunakan bahasa yang salah. Ibarat orang memasuki lapangan golf dengan perlengkapan untuk bermain bola, dan mencari dimana letak gawang. Terjadi kekacauan di sini.
Soal keyakinan? Muara dari pandangan etis seperti yang dikemukakan di atas, adalah kita tidak dapat mengatakan apakah suatu pandangan eis tertentu itu benar atau salah. Persoalan di dalam etika, bukanlah soal benar atau salah. Tetapi, persoalan cita rasa siapa yang menang. Sebab itu, tanpa kita sadari, pernyataan-pernyataan etis yang sering kita ucapkan itulah yang benar. Para filsuf profesional hanya mengenal dua kebenaran, yang pertama ialah kebenaran yang dihasilkan oleh hukum-hukum logika. Lalu yang kedua, ialah kebenaran yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian ilmiah. Namun orang-orang biasa tahu lebih banyak dan lebih baik dari mereka. Mereka tahu bahwa keyakinan etis adalah masalah kebenaran dan bukan sekedar soal cita rasa. Tentu keyakinan ini tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara matematis atau secara ilmiah di laboratorium. Tetapi bukan berarti tidak benar. Etika adalah soal sikap(yang lahir dari perasaan)tetapi juga soal keyakinan(tentang yang benar dan yan salah). Etika adalah sikap dan keyakinan yang jalin-menjalin menjadi satu. Sikap mempengaruhi keyakinan. Ini membentuk dimensi emotif dan irasional etika.
Bab Kedelapan
ETIKA ADALAH AKAL
Pertama-tama, etika harus belajar dari ilmu psikologi. Lawrence Kohlberg mengingatkan bahwa etika bukanlah sesuatu yang statis. Bahwa kesadaran moral itu berkembang dan bertumbuh. Bahwa yang benar dan yang baik itu relatif. Relatif dalam arti dan hubungan dengan jenjang perkembangan moral seseorang. Namun demikian, Kohlberg sebenarnya juga hendak mengatakan, bahwa kesadaran moral seseorang itu mencapai puncak perkembangannya, ketika seseorang berani dengan dirinya sendiri dan mengambil keputusan sebebas-bebasnya. Ketika orang yang benar mandiri dalam arti seluas-luasnya.Tapi yang kedua etika juga mesti belajar dari ilmu sosiologi. Maksudnya ialah, agar kita tidak terlalu cepat bermimpi seolah-olah mengambil keputusan etis dengan bebas adalh pekara gampang. Peter Berger, misalnya dengan tepatnya mengingatkan bahwa norma-norma tentang apa yang benar dan baik itu hampir-hampir tidak pernah terlepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Bahwa pada hakekatnya tak ada seorangpun yang sungguh-sungguh bebas dari penjara sosialnya. Faktor-faktor ekonomi juga sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mengambil keputusan-keputusan etis. Dan kemungkinan Mary Dounglas menambahkan, bahwa tipe masyarakat di mana seseorang hidup akan amat menentukan norma-norma  tentang apa yang benar dan yang baik.
Manusia itu sesungguhnya bebas, kata Sartre. Tapi kebebasan itu sering terasa sebagai beban dan kutuk. Sadar atau tidak sadar, manusia tidak mau dan tidak berani bebas. Ia menciptakan penjaranya sendiri untuk memperoleh rasa aman. Inilah kendala mental yang pertama-tama harus di pecahkan. Tanpa ini, tak mungkin terjadi pengambilan keputusan etis dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Joseph Flecher, dengan etika situasai yang sempat menghebohkan, mengatakan bahwa patokan universal itu ada, yaitu hukum kasih. Tapi justru oleh karena kasih merupakan patokan etis universal yang satu-satunya, maka selain kasih tidak ada lagi patokan-patokan etis yang lain bersifat mutlak dan universal. Tindakan etis mempunyai satu arti saja: melakukan tindakan kasih, apa tindakan kasih itu, sepenuhnya tergantung dari situasi. Setiap orang harus mengambil keputusan tentang bagaimana menerjemahkan kasih itu di dalam situasi tertentu. Dan ini harus dilakukan setiap kali, berdasarkan  apa?berdasarkan“rasa” artinya, berdasarkan apa pertimbangan-pertimbangan subyektifnya. Sebab hanya dialah dan tak seorangpun yang lain yang berada di dalam situasi itu. Dia sendirilah yang harus mengambil keputusan, dan dia sendirilah satu-satunya yang dapat memberi penilaian etis mengenai keputusan itu.
Kognitif bukan emotif. Mengambil penilaian etis, adalah tindakan kognitif bukan emotif. Menyangkut otak bukan hati. Apa yang benar dan apa yang baik adalah apa yang serasi dan tidak bertentangan dengan hukum kodrat. Yang dilakukan oleh akal ialah: menyingkapkannya, mengenalkanya, merumuskannya.
Hukum kodrat. Alam semesta mempunyai hukum-hukumya. Ini dapat diketahui melalui akal. Tidak secara sekaligus tetapi lambat-lambat laun secara akumulatif. Tugas etika adalah merumuskan kaidah-kaidah bagi tindakan agar sesuai dengan tata kodrati yang berlaku.
Objektivisme. Secara sadar hanya memilih akal. Akal memilih manusia untuk memilih niali-nilai. Nilai-nilai mana yang kemungkinannya untuk bertahan hidup. Dan nilai-nilai mana yang akan membuat kita lenyap. Tugas yang paling mulia dari manusia ialah berpikir.berpikir bertindak dan memilih nilai-nilai yang diperlukanuntuk bertahan hidup”survive”
Pragmatisme. “perubahan” adalah kata kunci untuk pragmatism, seperti “survival” adalah kata kunci yang objektivisme.”pragma”didalam bahasa Yunani, artinya ialah: tindakan. Sebab itu pragmatime adalah filsafat yang menekankan tindakan. Tindakan etis adalah tindakan yang menfaatkan akal semaksimal-semaksimalnya agar dapat mengatasi lingkungan yang terus berubah.
Kemajuan tidak dapat diukur oleh tingkat teknologi. Kemajuan manusia diukur apakah hidupnya lebih damai, lebih adil,dan seluruh alam semesta lebih sejahtera.
Bab Sembilan
ETIKA KRISTEN
Etika Kristen, pertama-tama adalah etika. Ia tidak unik. Ia bukan semacam bintang langka yang aneh dan ajaib. Ia biasa-biasa saja. Sama seperti etika-etika yang lain pada umumnya. Salah satu bukan satu-satunya, dari etika yang ada dari sejarah umat manusia. Jelas bukan yang tertua. Etika Aristoteles dan Etika Konfusius jauh lebih tertua dari pada Etika Kriten. Oleh karena etika Kristen itu salah satu saja, dan bukan satu-satunya dari etika yang ada. Maka kita hanya dapat memahami Etika Kristen setelah kita memahami apa sebenarnya etika itu secara umum. Ada persamaan-persamaan hakiki antara Etika Kristen dan yang lain-lain yang menyebut diri mereka etika. Sama seperti soto. Ada soto bandung, ada soto Madura, atau makasar. Satu dengan yang lain ada perbedaannya,tentu. Tetapi jauh lebih banyak persamaannya. Bila sebab terlalu banyak perbedaannya itu tidak di sebut soto. Itulah sebabnya kita terlabih dahulu apa itu etika. Baru pada tahap yang terakhir kita belajar tentang kekhasan Etika Kristen. Perjalanan wisata kita secara tersirat mau mengajarkan kepada kita apa yang harus kita lakukan bila kita mau berbicara dan melakukan Etika Kristen. Yaitu, harus ada kerendahaan hati. Harus ada ketebukaan. Harus ada kesediaan belajar dari orang lain. Memanfaatkan apa yang dapat di manfaakan.
Etika hanya memberikan kepada kita pertimbangan-pertimbangan pokok sebagai bahan bagi kita mengambil keputusan. Etika tidak menyajikan keputusan-keputusan. Etika memberikan pertimbangan-pertimbangan untuk mengambilkan keputusan. Etika Kristen , oleh karena ia pertama-tama etika, harus merupakan sesuatu yang terbuka dan dinamis bergerak di dalam ruangan dan waktu. Analisa etis harus merupakan antar interaksi yang disiplin ilmu, dengan konteks budaya sekitar, bereontasi pada masalah-masalah kongkret. Dan peka tehadap perkembangan serta kencendurungan-kecendrungan mutahir. Ini harus kita lakukan bila mau belajar Etika Kristen. Etika adalah ilmu yang membahas mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu. Persoalannya sekarang adalah apakah yang seharusnya itu? mengapa dan dari sudut apa orang dapat mengatakan bahwa ini adalah yang seharusnya dan bukan itu ? langkah yang pertama dalam metode etis, seperti yang telah dikemukakan diatas, adalah untuk mendapatkan fakta dan objektif selengkapnya(what is). Tapi data dan fakta hanya mengungkapkan apa yang ada dan bukan seharusnya. Apa yang ada itu harus kita nilai menurut apa yang seharusnya. Apa yang seharusnya itu mempunyai asumsi dasar untuk menilai apa yang ada. Etika Kristen juga menilai apa yang ada berdasarkan kepercayaan pokok iman kristiani. Yang membedakan Etika Kristen dengan etika lain ialah iman kristiani yang dipakai untuk menjadi asumsi dasar didalam melakukan penilaiaan etis.
Gustafson mengatakan bahwa Etika Kristen itu tidak hanya boleh hanya asal mengutip ayat-ayat Alkitab lalu beranggapan bahwa dengan berbuat itu secara otomatis telah menjadi Etika Kristen .”Kristen” barangkali ya tetapi apakah pantas di sebut “Etika”, belum tentu. Kasih terhadap sesama. Ia menjadi prinsip di dalam Etika Kristen bukan oleh karena ia merupakan prinsip yang universal, prinsip yang pada hakekatnya dapat secara rasional di terima oleh semua orang yang waras. Yang terpenting ketika kita berbicara Etika Kristen bukanlah bahwa ia begitu berbeda dengan etika-etika yang lainnya tetapi justru sumbangan khas apa yang diberikan bagi semua orang. Etika Kristen tidak mengandung kebenaran yang hanya berlaku dapat diketahui kelompok orang saja, untuk dapat disebut”Etika”, ia harus mengandung kebenaraan yang berlaku bagi setiap orang, yang dapat di terima semua orang. Ia dapat diterima oleh semua orang, bukan terutama kebenaran yang universal yang dapat dipahami secara rasional oleh semua orang. Etika Kristen  ternyata bukanlah etika untuk orang Kristen. Etika oleh orng Kristen ,ya. Sebab ia di pahami oleh asumsi-asumsi dasar iman Kristen. Tapi ia untuk semua orang(universal). Etika Kristen harus bertitik tolak pertama-tama kebaikan dan keistimewaan manusia sebai gambar Allah. Setiap keputusan dan penilaian etis secara kristiani harus bersifat manghargai dan menghormati hakekat manusia yang istimewa ini. Implikasi Etis. Apakah artinya secara etis bila kita memahami manusia sebagai mahluk ciptaan bahkan sebagai gambar dan rupa Allah yan baik, tetapi yang jatuh kedalam dosa, yang telah dibenarkan di dalam diri Yesus Kristus dan dikuduskan melalui karya Roh Kudus?
Pertama mengatakan bahwa manusia adalah mahluk ciptaan gambar Allah yang baik berarti, bahwa kebaikan eksistensi manusia bahkan seluruh alam ciptaan harus menjadi asumsi dasar positif dalam setiap pertimbangan dan penilaian etis kita. Asumsi dasar positif haruslah mengandung pengertian-pengertian pokok iman yang digali dari iman Kristiani dan dapat menjadi penuntun di dalam pertimbangan dan penilaian kita mengenai apa yang seharusnya kita lakukan didalam dunia kebeberadaan kita. Ia bersifat afirmatif dan imperative. Afimative artinya, ia menegaskan apa yang dapat menjadi kenyataan asasi dibalik semua kenyataan(the really real). Dan imperative artinya, ia kita sebagai kenyataan yang harus dan wajib yang menuntun tindakan kita. Setiap tindakan etis haruslah dimulai dengan asumsi dasar positif ini. Asumsi dasar positif inilah yang harus kita wujudkan di dalam setiap keputusan kita. Kedua mengatakan bahwa manusia adalah mahluk ciptaan yang teah jatuh kedalam dosa berarti, bahwa kedosaan manusia dan rusaknya seluruh alam semesta harus menjadi asumsi dasar negatif dalam setiap pertimbangan etis kita. Asumsi dasar menunjukan keterbatasaan manusia dan alam ciptaan yang membuat asumsi dasar positif acap kali tidak mungkin terwujud sepenuhnya dan seutuhnya.
Sekiranya pertimbangan dan penilaian etis kita hanya memperhitungkan asums dasar yang positif saja, maka yang terjad ialah kita mamperjuangkn nilai-nilai yang indah tetapi yang tidak pernah mungkin terwujud didalam kenyataan. Etika yang dipakai adalah etika yang idealistis yang kehilangan relevansinya, oleh karena tidak memperhitungkan kenyataan keterbataan manusia. Etika seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya akan menghasilkan pemimpi-pemimpi yang hidup di awan-awan. Atau orang-orang yang sinis dan frustasi oleh karena tak sanggup menerima sepenuhnya baik keterbatasan dirinya maupu  kerasnya hidup ini. Asumsi dasar negative inilah yang membawa kita mendarat di bumi. Pihak lain kalau kita memperhitugkan asumsi dasar yang negatif saja, dan mengabaikan asumsi dasar yang positif, maka yang terjadi ialah kita akan hanya terbenam dan tengelam didalam apa yang ada(what this), tanpa berdaya apa-apa untuk memperjuangkan apa yang seharusnya(what ought).ini bukan sikap etis. Setiap pertimbangan keputusan etis seharusnyalah merupakan proses pergumulan yang intens dan sungguh-sungguh untuk secara dinamis dan kreatif mengkonfrontasikan antara yang ideal dan yang fungsional. Sehingga kita tetap setia kepada idealism kita, tanpa terhanyut-hanyut impian. Kemudian yang ketiga. Mengatakan bahwa manusia yang pendosa itu telah dibenarkan dan dikuduskan berarti, bahwa pergumulan etis kita selalu bergerak diantar kemungkinan dan keterbatasaan.
Bab sepuluh
ASUMSI DASAR POSITIF
 Setiap orang boleh menentukan asumsi dasar positifnya sendiri-sendiri. Bahkan bukan saja boleh tetapi perlu dan harus. Sebab inilah langkah pokok yang pertama, sebelum seseorang dapat melakukan penilaian etis. Asumsi dasar positif ini janganlah dia anggap sesuatu yang subjektif saja, yang setiap orang dengan sesuka hati dapat menentukannya. Iaharus memenuhi kriteria yang objektif. Pertama, asumsi dasar positif harus dapat dipertangung jawabka secara teologis alkitabiah. Ia merupakan kritaslisasi dari asumsi-asumsi teologis yang paling pokok, dan digali dari kesaksian Alkitab secara menyeluruh. Yang terkhir ini artinya: ia tidak mewakili secara fragmentaris beberapa ayat yang secara acak di ambil dari Alkitab. Melainkan harus konsisten dengan berita Alkitab secara menyeluruh, dengan inti kesaksian Alkitab sebagai salah satu kesatuan. Kedua asumsi dasar positif ini harus dapat dipertanggung jawabkan menurut penalaran yang umum, sehingga paling sedikit secara hipotetis ia dapat dipahami dan diterima secara universal. Asumsi dasar positif tidak boleh merupakan konsep-konsep yang parochial, yang hanya berlaku dan dapat dipahami sebagai kelompok kecil orang. Benar, asumsi dasar positif lahir dari rahim iman Kristiani. Tetapi kebenarannya tidak hanya terbatas orang Kristen saja. Menentukan asumsi dasar positif merupakan salah satu langkah penting dalam etika. Sebab inilah yang menjadi tolak ukur segal sesuatu.
Di dalam bahasa Inggris, beban untuk mempertanggung jawabkan tindakan yang berlawanan dengan asumsi dasar positif itu disebut”burden of proof”. Ada 4 hal sebagai unsur sebagai Asumsi Dasar Positif :
1.      Eksistensi semua ciptaan itu baik. Banyak hal yang telah dikemukakan mengenai asumsi dasar positif yang pertama ini. bahwa Allah yang Maha Baik adalah Pencipta segala sesuatu. Oleh karena itu, semua diciptakanNya pada hakekatnya baik. Dan seluruh tujuannya dari penciptaan Allah tersebut adalah untuk kebaikan ciptaanNya.
2.      Hidup setiap individu harus dihormati. Mengapa kita mengatakan bahwa hidup setiap individu itu harus dihormati?bukan terutama dan pertama-tama oleh karena setiap indvidu itu sendiri, setiap orang pasti mempunyai kekurangan dan kelemahan. Seorang lebih layak untuk dihormati dari pada yang lain. Tentu merupakan sesuatu yang tidak masuk akal apabila kita hormati sama besarnya dengan seseorang yang justru berjuang keras dengan penuh pengorbanan diri untuk membela hidup sesamanya. Ya. Titik tolak dari asumsi dasar positif kita yang kedua ini, memang sekali lagi tidak terletak pada individu yang bersangkutan itu sendiri. Melaikan pada nilai hakiki setiap manusia di tinjau dari sudut hubungannya dengan Allah. Yaitu hubungan yang diciptakan dan anugerah oleh Allah sendiri.
3.      Seluruh umat manusia itu satu. Mengatakan bahwa kehidupan individual itu harus dihormati, sama sekali tidak berarti bahwa manusia hidup dalam isolasi. Manusia diciptaan sebagai pribadi.  Namun demikian , segera setelah itu adalah Allah sendiri yang mengatakan” tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. . .”(Kej 2:18), hubungan pribadi antara seseorang dengan penciptannya, sebenarnya adalah dasar bagi hubungannya dengan sesame, di dalam satu keluarga besat umat manusia. Nasionalisme hanya dapat dibenarkan secara etis, selama ia bermanfaat untuk meruntuhkan tembok-tembok penghalang kesatuan manusia, dan bukan sebaliknya mengukuhkannya.
4.      Semua orang itu sederajat.Tentu saja, tidak semua itu sama. Ada orang yang berbakat, adapula orang yang kurang berbakat. Ada secara fisik lengkap, ada pula yang cacat tubuh. Tetapi didalam rangka hubungan dengan Allah, seperti apa yang pernah di uraikan , kita harus mengatakan bahwa semua orang itu sederajat. Bahwa melampaui semua perbedaan-perbedaan individual itu, setiap orang dan semua orang diciptakan dan dikasihi Allah. Kesederajatan semua orang juga dapat kita simpulkan dari asumsi dasar positif kita tentang kesatuan seluruh umat. Sebab tidak ada kesatuan dan persekutuan dalam arti yang sesungguhnya, tanpa ada kesamaan dan kesederajatan semua orang. Kesatuan antara atasan dan bawahan bukanlah kesatuan yang sebenarnya.

Bab sebelas
ASUMSI DASAR NEGATIF
Implikasi etis. pertama-tama ia mengpertanyakan bahkan mengugat semua tindakan dan kebijaksanaan manusia. Yang sadar maupun tidak disadarkan ats sesuatu asumsi seolah-olah ada orang atau orang-orang yang bebas kemungkinan berbuat salah. Sebaliknya setiap tindakan dan kebijaksaanan harus berdasarkan asumsi bahwa semua orang dan setiap orang bisa berbuat salah. Bukan saja bisa, tetapi selalu cenderung untuk berbuat salah, sebab semua orang mahluk yang fana dan berdosa belaka. Kebebasan untuk berbeda pendapat bukan saja harus dilindungi tetapi juga harus dirangsang dan didorong, oleh karena dari kekayaan pendapat itulah setiap kali seluruh manusia memperoleh kemungkinan untuk mencari dan menemukan yang ebih benar dan tepat. Bahkan suara dan pendapat mayoritas tidak pernah boleh di anggap sebagai kebenaraan mutlak. Koreksi dari kelompok kecil bagaimanapun selalu cukup berharga untuk mencari kebenaran dan kebaikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, perdebatan umum tidak boleh semerta-merta di anggap negatif. Demokrasi selalu mendorong dialog nasional untuk setiap kebijakan yang akan di ambil. Sebab melalui inilah setiap keputusan diambil secara partisipatif, artinya dengan mengikut sertakan sebanyak mungkin orang.
Memperhitungkan asumsi dasar negative tidak berarti mengurangi kadar etis dari keputusan kita. Ia tidak akan menjadi keputusan yang kurang etis. Potensi manusia pada mencari yang paling benar dan paling baik. Tetapi kefanaan dan kedosaannya yang sering kali menghalangi manusia untuk mewujudkan potensi itu sepenuh-penuhnya, memperhadapkan kita kepada masalah”necessary evil”. Yaitu ketika kenyataan manusia memaksa manusia untuk memilih antara yang jahat dan yang jahat. Ia terpaksa memilih yang jahat-tetapi apa boleh buat.
Bab keduabelas
JAHAT-TETAPI-APA-BOLEH-BUAT
Masalah keharusan untuk menerima pengecualian etis dan kebutuhan untuk berkompromi dengan yang jahat dan yang salah, tenyata bukanlah cumin masalah modern saja. ia hadir sejak awal sejarah manusia. Orang Kristen juga tidak bebas dari dilema ini. peperangan. Menurut Agustinus. Adalah kejahatan yang teragis. Kita harus mengindarkannya seberapa mungkin. Tetapi oleh kejatuhan manusia ke dosa, ia kadang-kadang dibutuhkan untuk menghindarkan manusia jatuh dari kejahatan yang lebih besar. Pemikir-pemikir kemudian, termasuk Thomas Aquinas dan Martin Luther. Leo Tolstoy, dalam bukunya MY REGION, misalnnya mengatakan bahwa lebih baik kita menderita oleh karena dosa, dari pada berusaha melawannya tetapi dengan akibat kita terpaksa berkompromi dengannya. Menurut pendapatnya, inilah ingin yang di ajarkan Yesus melalui khotbah di bukit. Bukunya yang lain, terutama THE KINGDOM OF GOD IS WITHIN YOU, ia menulis bahwa justru oleh karena apa kita untuk melawan kejahatan itulah, maka kita semakin tergantung kepada tentara, polisi dan penjara. Prinsip kasih adalah prinsip yang tidak menyerah tetapi juga tidak melawan(non-resistance).
Kasih adalah aktif. Kasih adalah memilih. Menurut Luther, kasih malah berarti membenci dan melawan. Yaitu membenci dan melawan segala sesuatu yang bertentangan dengan kasih. Kita tidak menyangkal bahwa melawan kejahatan kadang-kadang justru berakibat pada kejahatan. Tetapi membiarkan kejahatan adalah juga kejahatan. Jucques Ellul, bukunya VIOLENCE: REFLECTIONS FROM A CHRISTIAN PERSPECTIVE,mengekaui bahwa didalam hidup yang tidak bebas dari kuasa dosa, kekerasan sulit bahkan mustahil dihindarkan.prinsip tanpa kekerasan(non-violence) tidak akan merupakan pendekatan yang efektif untuk melawan kejahatan.kekerasan sering kali hanya dapat dipatahkan oleh kekerasan pula.Ellul mengatakan bahwa kekerasan tidak pernah menghasilkan kebaikan.dari perspektif Kristen,tidak berbuat kekerasan  selalu lebih baik dari pada berbuat kekerasan sebab menurut pendapatnya satu tindak kekerasan akan merupakan awal dari suatu lingkaran setan yang hanya melahirkan kekerasan-kekerasan lain tanpa akhir. Etika fungsional dan oprasioanal harus mempunyai ruang perbatasan manusia. Betapapun ia mau, ia tak pernah mampu untuk melakukan yang benar, yang baik dan yang tepat.