Hubungan antara Filsafat, Ilmu
Pengetahuan dan Agama
Seseorang
tidak harus menjadi seorang Filsuf yang lebih baik dengan cara lebih banyak
mengetahui fakta-fakta ilmiah. Asas-asas, metode-metode serta
pengertian-pengertian umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu, jika ia
tertarik kepada filsafat.
(Bertrand
Russell)[1]
Melalui pernyataan Russell di atas, kita lihat
bahwa seorang filsuf akan menjadi kalau ia tidak mampu mengetahui asas-asas,
metode-metode atau pengertian-pengertian yang bersifat umum dari ilmu. Filsafat merupakan sebuah refleksi yang
dibuat secara terus menerus tentang dunia, manusia dan yang ilahi, termasuk
pelbagai ilmu yang berbicara mengenai pokok-pokok ini. Ia menelusuri
perkembangan pelbagai macam ilmu sehingga ia mampu menyusun suatu pandangan
dunia yang sistematis. Seorang filsuf juga harus memperhatikan agar semua
analisis dan permenungannya sungguh didasari penemuan-penemuan sehingga hasil
karya ilmu tidak bertentangan satu dengan yang lain. Filsafat harus selalu
berdialog dengan ilmu-ilmu melalui penelitian atas bidang-bidang yang digeluti oleh
ilmu pengetahuan.
I.
Hubungan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Pendekatan
Kendati filsafat dipandang sebagai ilmu tetapi
filsafat harus dibedakan dari ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya. Perbedaan-perbedaan
ini dapat dilihat melalui metode atau pendekatan, sistematika, obyek utama bahasan dan tujuan akhir dari
masing-masing ilmu itu. Setiap ilmu memiliki metodenya sendiri untuk mencapai
obyeknya yang juga amat khusus. Karena itu metode dan cara-cara kerja ilmu alam
sangat berbeda dengan metode dan cara-cara kerja ilmu-ilmu sosial kemanusiaan
(humaniora)
Filsafat menguraikan dan merumuskan hakikat
realitas secara sistematis-metodis, maka ia juga dipelajari sebagai ilmu.
Kekuatan filsafat ialah mensistematisasi semua pandangan hidup. Filsafat terlibat
dalam pelbagai praktik ilmu.
1.
Pengertian ilmu
Auguste Rodin (1840-1917) pernah memahat
sebuah patung manusia yang sedang merenung (homo sapiens) sebagai lambang
kemanusiaan kita. Dengan berpikir, manusia menjadi manusia, makhluk yang paling
unggul. Berpikir merupakan hakikat adanya
sebagai manusia, maka setiap saat orang berpikir. Dengan kata lain berpikir
sebagai actus humanus bersifat esensial bagi manusia karena itu kendati seorang
manusia tidak dalam keadaan sadar (tidur atau mati suri), dia tetap dilihat
sebagai makhluk yang berpikir. Namun berpikir sebagai suatu karya sadar dari
akal yang aktif berarti secara sadar mengkonfrontasikan diri dengan realitas
hidup. Melalui berpikir manusia dapat memiliki banyak pengetahuan tentang realitas
yang maha luas ini.[2]
Apa yang ada dalam pikiran kita (sebagai
konsep) tidak pernah akan terwujud tanpa adanya simbol yang bisa
mengungkapkannya agar dapat dimengerti oleh manusia lain. Kata atau bahasa
menjadi penting sebagai sarana komunikasi antar manusia. Filsafat adalah suatu
cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas
segala sesuatu secara mendalam.
Dalam kaitan antara filsafat dan ilmu dapat dikatakan
bahwa setiap ilmu memiliki obyek tersendiri dan metode pendekatan yang khusus sesuai
dengan ciri ilmu dan tujuan yang mau dicapainya. Karena obyek ilmu itu amat
beragam maka sistematisasi dan pendekatannya pun amat berbeda. Ilmu yang satu
berbeda dengan ilmu yang lain.
Setiap ilmu cenderung memaksa obyek untuk
dapat menjawab maksud dan tujuannya sendiri. Apabila tujuan dari suatu ilmu
sudah tercapai, maka ilmu berhenti di sana. Dalam perjalanan sejarah, suatu
ilmu bisa bertabrakan dengan ilmu lain yang berdekatan karena obyeknya mirip
atau memiliki ciri-ciri yang saling bersentuhan. Sedang Filsafat memiliki
totalitas sebagai obyeknya. Oleh karena itu, filsafat tidak memiliki obyek yang
tertutup seperti ilmu-ilmu lain, melainkan terbuka total dan radikal terhadap
realitas. Filsafat akan terus menerus bertanya sampai akhir, bahkan akan
bertanya mengapa ilmu-ilmu hanya bisa sampai pada titik di mana tujuannya sudah
tercapai. Ingatlah bahwa hakikat filsafat adalah usaha mencari terus menerus
dan dengan demikian kita senantiasa memperdalam ketidaktahuan kita.[3]
Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan dan filsafat dalam satu arti memiliki obyek yang sama yakni segala
sesuatu yang dapat diketahui. Juga filsafat sebagai ilmu dan ilmu pengetahuan
bersama-sama berarah kepada kebenaran. Perbedaan terletak dalam tujuan yakni
filsafat terarah kepada totalitas sedangkan ilmu-ilmu menyelidiki bagian-bagian
tertentu dari totalitas sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu bersangkutan. Di
sini diberikan contoh perbedaan antara filsafat sebagai ilmu dan ilmu
pengetahuan pada umumnya.
Bayangkan anda sedang berhadapan dengan pohon
kelapa yang hijau menghiasi bukit-bukit sekitar kita. Pelbagai unsur atau
bagian pohon kelapa ini memiliki daya tarik tersendiri bagi setiap ilmuwan.
Seorang ahli ekonomi atau seorang prokurator (orang yang mendapat kuasa mengurusi
hak milik orang lain) akan lebih melihat pohon kelapa dari perspektif ekonomis,
seperti buahnya dapat dijadikan kopra untuk dijual, dapat dikonsumsi secara
langsung daging buah atau juga sirupnya; batang dan daun dapat dijual atau
digunakan sebagai bahan bangunan. Seorang dokter atau ahli kimia lebih melihat
daging buah atau air buah kelapa sebagai bahan dasar obat, pembersih atau
penghalau racun dalam tubuh dan lain-lain. Seorang seniman akan menggunakan
daun yang muda sebagai bahan hiasan atau dekorasi. Seorang filsuf akan
memandang dan membuat refleksi tentang pohon kelapa dari pelbagai aspek di
atas. Dia lebih melihat penggunaan kelapa itu secara umum demi kepentingan
manusia. Jadi kalau ilmu secara parsial melihat manfaat pohon kelapa, filsafat
melihatnya secara umum dan utuh pohon kelapa itu.
2.
Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Filsafat sering disebut sebagai induk dari
semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu
pengetahuan berasal dan berkembang dari filsafat. Sebelum ilmu pengetahuan
lahir, filsafat telah memberikan landasannya yang kuat. Para filsuf Yunani
Klasik seperti Demokritos sampai tiga serangkai guru dan murid yang sangat
terkenal yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles telah berbicara tentang atom,
naluri, emosi, bilangan dan ilmu hitung (matematika), demokrasi, sistem
pemerintahan dan kemasyarakatan, yang kemudian dikembangkan oleh fisika,
biologi, kedokteran, matematika, biologi, ilmu budaya, psikologi, sosiologi,
dan ilmu politik.
Lalu, setelah ilmu-ilmu pengetahuan melepaskan
diri dari filsafat dan dengan tegas menyatakan kemandiriannya, bagaimana bentuk
hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan? Bagaimana dengan kedudukan dan
kegunaan filsafat selanjutnya? Kedudukan filsafat dan hubungannya dengan ilmu
pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut.
1.
Tujuan filsafat untuk memahami
hakikat dari sesuatu obyek yang menjadi kajiannya tetap dipertahankan, tetapi
informasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus bisa dipertanggungjawabkan bukan hanya secara rasional (logis), tetapi
juga secara faktual (dialami langsung dalam kehidupan kita). Oleh sebab itu,
filsafat (harus) mengadakan kontak dengan ilmu pengetahuan, mengambil banyak
informasi atau teori-teori terbaru darinya, dan mengembangkannya secara filosofis.
Inilah yang telah dilakukan misalnya oleh Bergson, Cassirer, Husserl, Foucault,
dan para filsul modern serta kontemporer lainnya. Pemikiran filsafati yang
dikembangkan oleh mereka sangat kaya dengan ilustrasi-ilustrasi yang berasal
dari temuan-temuan ilmiah yang berkembang pada zamannya.
2.
Tujuan filsafat untuk
mempersoalkan nilai dari suatu obyek tetap dipertahankan. Hal ini pun dilakukan
filsafat terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya, temuan-temuan ilmiah yang
dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan (dan juga ketuhanan),
diberi kritik atau dikoreksi. Ingat misalnya, masalah kloning dan euthanasia.
Filsafat memberikan evaluasi dan kritik terhadap dampak moral dan
kemanusiaan kedua masalah tersebut bagi
hidup manusia.
3.
Filsafat pun melakukan kajian dan
kritik terhadap persoalan-persoalan metodologi ilmu pengetahuan. Ini misalnya
dilakukan dalam filsafat ilmu pengetahuan. Kritik filsafat atas cara kerja dan
metodologi ilmu pengetahuan pada prinsipnya menguntungkan, karena dapat
menjernihkan dan menyempurnakan ilmu pengetahuan. Kajian positivisme Auguste
Comte (1798-1857), neo-positivisme (positivisme logis), falsifikasionisme Karl
Popper (1902-1994), dan bahkan fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) tentang
ilmu pengetahuan, tetapi juga memperkaya khazanah ilmu, khususnya ilmu
pengetahuan sosial dan kemanusiaan (humaniora). Kritik-kritik mereka terhadap
ilmu-ilmu sosial dan humaniora melahirkan paradigma-paradigma baru dalam ilmu
sosial yakni yang bersifat humanistik dan kritis, di samping positivistik.
3.
Beda antara Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Filsafat bukan ilmu pengetahuan. Ia berbeda
dari ilmu pengetahuan dalam beberapa hal berikut ini: Pertanyaan inti, ruang
lingkup masalah yang didekati, metode, fokus kajian, dan tentu saja hasil
(teori). Lihat tabel berikut ini.
Perbedaan antara Filsafat dengan Ilmu
Pengetahuan
|
FILSAFAT
|
ILMU PENGETAHUAN
|
PERTANYAAN INTI
|
-
Apa? (hakikat)
-
Mengapa? (Sebab-akibat yang
bersifat ultimate) dari mana (asal-usul) dan ke mana (apa yang terjadi
berikutnya)?
|
-
Mengapa? (sebab akibat)
-
Bagaimana? (dinamika)
-
Berapa banyak? (kuantifikasi,
persentase, frekuensi)
|
RUANG LINGKUP MASALAH
|
-
Luas, mencakup semua hal yang
memungkinkan untuk dipikirkan
|
-
Terbatas pada gejala atau
aspek-aspek tertentu, sejauh yang dapat diukur secara empiris
|
METODE
|
-
Logis-rasional
|
-
Ilmiah, mencakup rasional,
empiris, dan terukur
|
FOKUS KAJIAN
|
- Fakta (das Sein) dan nilai (das Sollen)
|
-
Fakta (das Sein), terutama dalam pure science
|
HASIL (TEORI)
|
-
intensif (dalam),
-
Ekstensif (luas),
-
Kritis (karena berkaitan dengan
nilai)
|
-
Khususnya dalam IPS: Terbatas
pada populasi dan “kelas” obyek yang diteliti
|
Dari tabel di atas tampak jelas bahwa ada
perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dalam hal pertanyaan-pertanyaan
dasar yang diajukan oleh kedua disiplin ini. Filsafat mengajukan pertanyaan
yang intinya dimaksudkan untuk mengetahui “apa” (essensi atau sifat dasar) dari
suatu masalah, kejadian atau obyek, sedangkan ilmu pengetahuan menjawab
pertanyaan “bagaimana” (dinamika atau proses) dari suatu masalah atau obyek itu
berjalan. Ilmu pengetahuan mengajukan pertanyaan mengenai kuantitas, baik dari
jumlah obyek (frekuensi) maupun signifikasi pengaruh atau hubungan (taraf
signifikansi). Meski sama-sama mengajukan pertanyaan mengenai “mengapa”, kedua
disiplin itu berbeda sama sekali kedalamannya. Jawaban yang dituntut dalam ilmu
pengetahuan untuk pertanyaan “mengapa” terbatas pada sejumlah variabel yang
terukur, sehingga dapat dijawab melalui metode-metode empiris seperti eksperimen.
Sedangkan, pertanyaan filsafat berkaitan dengan sebab-musabab yang terdalam
(ultimate causation), sehingga jawabannya tidak dapat ditemukan melalui
penggunaan metode-metode empiris. Misalnya, mengapa ada kehidupan jika pada
akhirnya mendatangkan penderitaan? Mengapa yang ada itu ada? Mengapa saya hidup
di dunia ini saat ini, bukan di kehidupan di abad-abad yang akan datang?
Mengapa manusia memerlukan moralitas?
Ruang lingkup masalah kedua disiplin ilmu itu
pun berbeda. Filsafat tidak membatasi diri pada obyek-obyek atau
masalah-masalah yang dapat dialami atau dibuktikan secara empiris, tetapi pada
obyek-obyek atau masalah-masalah sejauh dapat dipikirkan secara rasional. Maka,
ruang lingkup masalah filsafat bisa sangat luas, misalnya mengenai keberadaan Tuhan,
jiwa, moralitas, dan lain-lain. Ini berbeda dengan ilmu pengetahuan. Obyek atau
masalah ilmu pengetahuan adalah gejala-gejala yang dapat diobservasi dan
dialami secara empiris, bahkan terukur secara kuantitatif.
Fokus kajian filsafat bukan hanya pada fakta
sebagaimana adanya tapi juga nilai, yaitu sesuatu yang seharusnya ada atau
melekat pada fakta tersebut. Oleh sebab itu, banyak filsuf yang merasa tidak
puas hanya dengan menggambarkan suatu obyek, keadaan, atau masalah apa adanya,
melainkan secara kritis menjelaskan bagaimana seharusnya atau idealnya obyek,
keadaan atau masalah tersebut. Atas dasar itu dapat dipahami kenapa sebagian
filsuf bukan hanya memiliki keberpihakan pada nilai kebenaran, tetapi juga pada
nilai kemanusiaan (humanisme); pada kelompok masyarakat tertindas (Marxisme dan
teori kritis); dan lain-lain. Bagaimana dengan ilmu pengetahuan? Ilmu
pengetahuan kurang memperma-salahkan nilai, karena fokusnya pada deskripsi dan
penjelasan serta prediksi fakta atau gejala.
Karena berbeda dalam pertanyaannya, ruang
lingkup dan fokus kajian-kajiannya, maka metode kedua disiplin itu pun
masing-masing memiliki perbedaan. Dalam filsafat tidak ada penelitian
eksperimental atau studi korelasional, misalnya. Filsafat tidak mengukur dan
membuktikan hubungan antarvariabel. Meski ada beragam metode dalam filsafat,
tetapi ciri utamanya adalah rasional dan kritis. Sebaliknya, ilmu pengetahuan
menggunakan metode ilmiah, yang bukan hanya rasional, tetapi juga empiris,
mengukur fakta-fakta dan saling hubungan antara fakta atau variabel yang satu
dengan fakta atau variabel yang lain.
Hasil atau produk filsafat dan ilmu
pengetahuan berbeda karena metode dan area masalahnya pun berbeda. Hasil
pemikiran filsafat berupa pemikiran-pemikiran filsafat yang isinya atau ruang
lingkupnya berupa pemikiran-pemikiran filsafat yang isinya atau ruang
lingkupnya relatif luas, kritis, intensif atau dalam. Sebaliknya, hasil ilmu
pengetahuan adalah berupa teori-teori ilmu pengetahuan yang isinya relatif
lebih detil dibandingkan pemikiran filsafat, tetapi relatif terbatas pada
fakta-fakta empiris, atau gejala-gejala yang dianggap termasuk ke dalam
populasi obyek yang diteliti oleh ilmu pengetahuan.
II.
Hubungan Filsafat dengan Agama
1.
Pengertian Agama
Pengertian agama yang paling umum dipahami
adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sanskerta berasal dari kata a dan gama. A berati ‘tidak’ dan gama berarti 'kacau'. Jadi, kata agama
diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.
Pengertian agama menunjuk kepada jalan atau
cara yang ditempuh untuk mencari rahmat dan kasih Tuhan. Dalam agama itu ada
sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada,
yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam beserta isinya. Asal dari segala
sesuatu. Pengasal yang tidak berasal. Penggerak yang tidak digerakkan.
Agama bisa dibedakan antara agama wahyu dan
agama bukan wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada keesaan Tuhan, ada nabi
yang bertugas menyampaikan ajaran kepada manusia dan ada kitab suci yang
dijadikan rujukan dan tuntunan tentang baik dan buruk. Sedangkan pada agama
yang bukan wahyu tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan, dan tidak ada nabi.
2.
Hubungan Filsafat dengan Agama
Ada beberapa asumsi berkaitan dengan jalinan
filsafat dengan agama. Asumsi itu didasarkan pada anggapan manusia sebagai
makhluk budaya. Asumsi pertama, sebagai makhluk budaya manusia mampu
berspekulasi dan berteori filsafat yang akan menentukan kebudayaannya, bahkan
sampai sadar dan jujur mengakui kenyataan Tuhan dan ajaran agama.
Asumsi kedua dinyatakan oleh Dewey dengan
pikiran meliorisme-nya. Maksud pemikirannya adalah: dunia ini diciptakan oleh
Tuhan sebagai suatu potensi yang dapat diperbaiki, diperindah dan diperkaya,
sehingga hidup dan penghidupan ini bisa lebih ditingkatkan nilai harganya untuk
dihidupi dan dinikmati. Secara ringkas bisa dijelaskan hubungan agama dengan
filsafat sebagai berikut:
1)
agama adalah unsur mutlak dan sumber kebudayaan, sedangkan filsafat adalah
salah satu unsur kebudayaan;
2) agama adalah ciptanya Tuhan, sedangkan
filsafat hasil spekulasi manusia;
3) agama adalah sumber-sumber asumsi dari
filsafat dan ilmu pengetahuan (science), dengan filsafat menguji asumsi-asumsi
science;
4) agama mendahulukan kepercayaan daripada
pemikiran, sedangkan filsafat mempercayakan sepenuhnya kekuatan daya pemikiran;
5) agama mempercayai akan adanya kebenaran dan
kenyataan dogma-dogma agama, sedangkan filsafat tidak mengakui dogma-dogma
sebagai kenyataan tentang kebenaran.
Dengan memperhatikan
spesifikasi dan sifat-sifat di atas, tampak jelas bahwa peran agama terhadap
filsafat ialah meluruskan filsafat yang spekulatif kepada kebenaran mutlak yang
ada pada agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama ialah membantu
keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan pemikiran yang kritis
dan logis. Hal ini didukung pernyataan yang menyatakan bahwa filsafat yang
sejati haruslah berdasarkan agama, malahan filsafat yang sejati itu adalah
terkandung dalam agama (Hamzah Abbas, 1981: 29).
Perbandingan
Jalinan Agama dan Filsafat
AGAMA
|
FILSAFAT
|
a.
Agama adalah unsur mutlak dan
sumber kebudayaan
b.
Agama adalah ciptaan Tuhan
c.
Agama adalah sumber-sumber
asumsi dari filsafat dan ilmu pengetahuan (science)
d.
Agama mendahulukan kepercayaan
daripada pemikiran
e.
Agama mempercayai akan adanya
kebenaran dan khayalan dogma-dogma agama
|
a.
Filsafat adalah salah satu unsur
kebudayaan
b.
Filsafat adalah hasil spekulasi
manusia
c.
Filsafat menguji asumsi-asumsi
science, dan science mulai dari asumsi
d.
Filsafat mempercayakan
sepenuhnya kekuatan daya pemikiran
e.
Filsafat tidak mengakui
dogma-dogma agama sebagai kenyataan tentang kebenaran
|
III.
Jalinan Filsafat, Agama, dan Ilmu
Sejarah umat manusia sesungguhnya tidak pernah
lepas dari usaha pencarian Tuhan. Umat manusia melakukan pencarian demi
pencarian Tuhan yang sebenarnya. Bagi sebagian orang, agama memang menjadi
jawaban. Namun demikian, sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam, dunia
telah diramaikan oleh para filsuf yang selalu terlibat dalam pembicaraan
ketuhanan (teologi), bahkan dalam wacana tentang asal-usul alam semesta
(ontologi) dan ilmu pengetahuan (epistemologi).
Manusia menjalani liku-liku perjalanan dalam
upaya mencari Tuhan. Sebagian besar dari mereka benar-benar menemukan Tuhan.
Akan tetapi, sebagian lainnya terlena dalam impian yang tak jelas ketika
mencoba memaksakan diri untuk menjangkau hakekat Tuhan yang sesungguhnya.
Mereka terlalu jauh mengembara di belantara metafisisme, sehingga tak sedikit
yang masuk ke dalam perangkap skeptisisme, bahkan ateisme. Dalam konteks agama
sikap ini tentu saja kontraproduktif, sekaligus kontraproduktif dengan semangat
keagamaan yang selalu memerintahkan manusia untuk memikirkan hal-hal yang
indrawi dan rasional ketika berbicara tentang eksistensi, bukan esensi Tuhan
sebagai Pencipta.
Namun demikian, konstribusi filsafat dan ilmu
dalam mengantarkan keimanan kepada Tuhan bukannya tidak ada. Dalam batas-batas
tertentu, filsafat dan ilmu bisa mendukung berbagai bukti kebenaran eksistensi
dan kekuasaan Tuhan yang telah banyak diungkap oleh agama.
1.
Titik Persamaan
Baik ilmu, filsafat, maupun agama bertujuan
sekurang-kurangnya sama-sama mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan
metodenya sendiri, mencari kebenaran tentang alam, termasuk tentang manusia.
Filsafat dengan wataknya sendiri pula, menghampiri kebenaran, baik tentang alam
maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan, yang belum atau tidak dapat
dijawab oleh ilmu, karena di luar atau di atas jangkauannya. Agama dengan
karakteristiknya sendiri pula memberikan jawaban atas segala persoalan mendasar
yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, tentang manusia maupun tentang
Tuhan.
2.
Titik Perbedaan
Baik ilmu maupun filsafat, keduanya merupakan hasil
dari akal budi atau rasio manusia. Sedangkan agama bersumberkan dari wahyu Allah.
Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan
jalan penyelidikan (riset), pengalaman (empiris), dan percobaan (eksperimen)
sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menulangkan
(mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar), integral
(menyeluruh) dan universal (alami atau mengalam) tidak merasa terikat oleh
ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Filsafat
itu ialah rekaman petualangan jiwa dalam kosmos.
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan
dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) pelbagai
masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk
manusia di atas planet bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran
positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran
spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan
eksperimen). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat, keduanya nisbi
(relatif). Sedangkan
kebenaran agama bersifat mutlak (absolut),
karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh yang Maha Benar, Maha Mutlak,
dan Maha Sempurna. Baik ilmu maupun filsafat, keduanya berangkat dari sikap
sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama mulai dengan sikap percaya atau beriman.
3.
Titik Singgung
Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia
dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu terbatas,
terutama oleh subyeknya (sang penyelidik), oleh obyeknya (baik obyek material
maupun obyek formalnya) dan juga oleh metodologinya.
Tidak semua masalah yang tidak atau belum
terjawab oleh ilmu, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat.
Jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan juga alternatif tentang suatu masalah
asasi yang sama terdapat pelbagai jawaban filsafat (para filosof) sesuai dan
sejalan dengan titik tolak sang ahli filsafat itu.
Agama memberi jawaban tentang banyak
(pelbagai) soal asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu yang
dipertanyakan, namun tidak terjawab secara bulat oleh filsafat.
Pada prinsipnya antara ilmu,
filsafat, dan agama mempunyai hubungan yang erat dan saling terkait antara satu
dan lainnya. Di mana ketiganya memiliki kekuatan daya gerak dan refleksi yang
berasal dari manusia. Dalam diri manusia terdapat daya yang menggerakkan ilmu,
filsafat, dan agama yaitu melalui akal pikir, rasa, dan keyakinan.
Akal pikiran manusia sebagai
daya gerak dan berkembangnya ilmu dan filsafat. Sedangkan keyakinan menjadi
daya gerak agama. Ilmu diperoleh melalui akal pikiran manusia dari pengalaman
(empiris) dan indera (riset). Filsafat mendasarkan pada otoritas akal murni
secara bebas, sedangkan agama mendasarkan diri pada otoritas wahyu.
Hubungan lain adalah bahwa filsafat identik
dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana juga filsuf identik dengan ilmuwan. Obyek
materi ilmu adalah alam dan manusia, dan obyek material filsafat adalah alam,
manusia, dan Tuhan. Sedangkan obyek kajian agama adalah Tuhan.
Selain itu, masih dalam kaitan antara ilmu,
filsafat, dan agama, bahwa filsafat mengkaji tentang kebijaksanaan. Manusia
berusaha untuk mencari kebijaksanaan, mencari dengan cara yang ilmiah tentang
kebenaran. Akan tetapi, manusia tidak akan sampai pada derajat bijaksana,
karena hanya Tuhan sajalah yang bersifat bijaksana. Manusia hanya berusaha
untuk mencari kebijaksanaan, mencari kebenaran, dengan cara yang ilmiah. Selain
itu, segala aktivitas manusia yang berkenaan dengan pemahaman terhadap dunia
secara keseluruhan dengan jiwa dan pikirannya merupakan bagian dari kajian
filsafat. Filsafat identik dengan agama, sama-sama mengkaji tentang kebajikan,
tentang Tuhan, baik dan buruk, dan lain-lain. Itulah sebabnya maka filsafat
mempunyai hubungan yang erat dengan agama di satu sisi dan ilmu pengetahuan di
sisi lain.
Hubungan yang lebih dekat lagi, dapat
disaksikan bahwa hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal budi (filsafat) akan
terjawab melalui wahyu atau agama. Begitu juga dengan filsafat, membahas
persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, antara ilmu, filsafat, dan
agama dapat saling mengisi dan saling melengkapi. Sehingga menjadi lengkaplah
sudah kebutuhan manusia untuk memahami keberadaan alam, manusia, dan Tuhan.
4.
Persamaan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama
Yang paling pokok persamaan dari ketiga bagian
ini adalah sama-sama bertujuan mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan melalui
metode ilmiahnya berupaya untuk mencari kebenaran. Metode ilmiah yang digunakan
dengan cara melakukan penyelidikan atau riset untuk membuktikan atau mencari
kebenaran tersebut. Filsafat dengan caranya tersendiri berusaha menemukan
hakikat sesuatu baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Sementara
agama, dengan karakteristiknya tersendiri memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi tentang alam, manusia, dan Tuhan.
5.
Perbedaan antara Ilmu, Filsafat,
dan Agama
Terdapat perbedaan yang mencolok antara ketiga
aspek tersebut, di mana ilmu dan filsafat bersumber dari akal budi atau rasio
manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Tuhan.
Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dangan cara
penyelidikan (riset), pengalaman (empiri), dan percobaan (eksperimen). Filsafat
menemukan kebenaran atau kebijakan dengan cara penggunaan akal budi atau rasio
yang dilakukan secara mendalam, menyeluruh, dan universal. Kebenaran yang
diperoleh atau ditemukan oleh filsafat adalah murni hasil pemikiran (logika)
manusia, dengan cara perenungan (berpikir) yang mendalam (radikal) tentang
hakikat segala sesuatu (metafisika). Sedangkan agama mengajarkan kebenaran atau
memberi jawaban tentang berbagai masalah asasi melalui wahyu atau kitab suci
yang berupa firman Tuhan.
Kebenaran yang diperoleh melalui ilmu
pengetahuan dengan cara penyelidikan tersebut adalah kebenaran positif, yaitu
kebenaran yang masih berlaku sampai dengan ditemukan kebenaran atau teori yang
lebih kuat dalilnya atau alasannya. Kebenaran filsafat adalah kebenaran
spekulatif, berupa dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset,
dan eksperimen. Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat, keduanya nisbi
(relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena ajaran
agama adalah wahyu yang diturunkan oleh yang maha benar, yang maha mutlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar