Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Sabtu, 25 Mei 2013

Keadaran Etis manusia itu bertumbuh menurut Lawrence Kohlberg ada enam jenjang.

KESADARAN ETIS ITU BERTUMBUH

Lawrence Kohlberg menjadi terkenal, oleh karena temuannya bahwa kesadaran etis manusia itu bertumbuh menurut enam jenjang.
Moralitas Pra Konvensional: Kekanak-kanakan
Hidup bermasyarakat adalah hidup yang diatur oleh kesepakatan-kesepakatan umum mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Di dalam tahapan moral konvensional, biasanya pada orang-orang dewasa, orang mematuhi kesepakatan-kesepakatan itu dengan rela dan sadar. Artinya, karena orang menyadari bahwa kesepakatan-kesepakatan itu benar dan baik.
Tetapi tidak begitu pada tahapan moral pra-konvensional. Mereka belum mempunyai kesadaran tentang benar dan salah, tentang baik dan jahat.

Jenjang Pertama.
kesadaran yang berorientasi kepada "hukuman". persoalannya bukanlah apakah "mencuri" itu baik atau jahat. Persoalannya ialah: apa hukumannya? Pada anak-anak, dilakukan - tidak secara sadar.
Orang dewasa yang hidup penuh dengan tabu-tabu juga termasuk ke dalam jenjang ini. Apakah karena tindakan-tindakan itu salah atau jahat? Bukan. Tapi takut hukumannya, akibatnya.

Jenjang kedua.
Pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi sudah lebih rasionaL Tidak terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang sudah mulai menghitung-hitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang kedua ini, adalah: bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya.
Tindakan moral seseorang adalah "alat" atau "instrumen" untuk mencapai tujuan di atas. Saya melakukan sesuatu, supaya saya mendapat sesuatu. Sudah ada rasa keadilan di sini. Tapi keadilan yang berdasarkan perhitungan. Rasa takut dihukum masih merupakan faktor, tapi bukan tanpa perhitungan.
Toh jenjang ini masih pra-konvensional. Sebab pertimbangan pokok bukanlah apa yang benar dan apa yang baik secara obyektif. Tetapi masih amat subyektif: berpangkal pada untung rugi secara pribadi dan sebab-akibat yang amat pragmatis. Keadilan diperjuangkan bukan karena keadilan itu sendiri. Tapi karena kuehnya lebih besar daripada kuehku. Bagaimana bila kuehku yang lebih besar? Dapat kita duga, si Ani pasti akan diam saja. Orang lain sudah mulai diperhitungkan. Tapi diperhitungkan sebagai obyek dan alat. Alat untuk mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kesakitan.
Kesadaran beragama pada tahap ini juga telah berkembang. Orang tidak lagi secara membabi-buta hidup dalam tabu-tabu. Tuhan bukan lagi tokoh pemberang yang ditakuti. Tapi "alat" untuk dimanipulasi. "Tuhan, saya berjanji untuk rajin ke gereja, kalau Engkau mau menyembuhkan saya." Doa dan ibadah adalah alat untuk mencapai kenikmatan atau menghindarkan kesakitan.

Moralitas Konvensional: Orang Tua
Pada moralitas yang konvensional, titik pusatnya adalah diri sendiri. Pada moralitas yang konvensional, cakrawala pemikiran seseorang sudah jauh lebih luas. Orang sudah benar-benar memperhitungkan orang-orang lain. Berusaha sedapat-dapatnya untuk memenuhi harapan masyarakat di sekitarnya. Dan berusaha sedapat-dapatnya untuk tidak melakukan apa yang dilarang. Pada jenjang inilah, orang berusaha misalnya untuk menjadi warga masyarakat yang baik, warga gereja yang baik, warga negara yang baik, orangtua yang baik. Dan sebagainya. Caranya? Dengan memenuhi harapan kelompoknya. Ya, meskipun itu berarti yang bersangkutan tidak dapat lagi mencapai kenikmatan diri yang sebanyak-banyaknya. Kalau perlu malah bersedia menahan diri.

Jenjang Ketiga.
Jenjang ketiga ini jelaslah terarah kepada bagaimana menyenangkan orang lain. Orang tidak lagi diperbudak oleh dirinya sendiri. Ia mulai bebas ke luar. Tidak lagi diliputi oleh ketakutan-ketakutan. Yang ada ialah, melakukan yang "benar" dan yang "baik" (walaupun tidak menyenangkan!). Dengan menjadi anggota kelompok yang baik.
Apa yang "benar" dan "baik" itu ditetapkan oleh orang lain. Saya tidak menetapkannya. Saya hanya tinggal mematuhinya. Tapi saya membutuhkannya, Sebab saya harus hidup bersama mereka. Saya membutuhkan kesetujuan mereka supaya saya dapat diterima oleh mereka. Yang paling celaka adalah kalau saya sampai diasingkan oleh mereka.
Cinta tidak lagi bersifat manipulatif. Saya mencintai ibu, bukan sekedar karena masakannya yang enak. Tapi karena ia adalah ibu saya. Titik. Saya berterima kasih kepadanya. Saya pantas untuk setia kepadanya. Bukan karena itu menguntungkan, tapi karena itu pantas, benar, baik. Dan kita pun akan dicintai, selama kita menjadi "anak baik-baik".
Tuhan bukanlah "alat". Bukan Tuhan yang harus memenuhi keinginan saya. Tapi sayalah yang harus mematuhi kehendakNya. Bukan Tuhan yang membutuhkan saya. Tapi sayalah yang membutuhkan Dia.
Tetapi moralitas seperti ini bukannya tanpa masalah. Masalah yang terbesar ialah, bila terjadi perbenturan atau pertentangan loyalitas.
Harapan-harapan yang ada pada setiap kelompok bukan saja berbeda-beda, tapi sangat boleh jadi malah bertentangan satu dengan yang lain.
Semua itu menjadi persoalan, oleh karena pada jenjang ini nilai-nilai moral yang dipegang masih bersifat parokhial. Artinya: setempat-setempat. Kelompok yang menjadi titik tumpu dari moralitas ini biasanya juga kelompok-kelompok yang amat terbatas. Kelompok-kelompok yang paling dekat dengan saya: keluarga, tetangga, teman, klub, kantor, jemaat. Dan sebagainya. Karena masing-masing kelompok menetapkan harapan-harapannya sendiri bagi anggota-anggota kelompoknya, konflik loyalitas tak dapat dipecahkan.

Jenjang Keempat.
Apabila terjadi konflik loyalitas seperti yang disebutkan di atas, apakah yang harus kita jadikan dasar untuk memilih dan mengambil keputusan? Jawaban yang sederhana ialah, kita harus merujuk kepada suatu prinsip atau hukum yang lebih tinggi. Yaitu hukum obyektif yang tidak hanya berlaku untuk satu-satu kelompok saja, tetapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih berdimensi universal.
Inilah orientasi dari moralitas pada jenjang keempat. Pada jenjang ini, seseorang sudah berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk menengok dan berpegang pada yang lebih luas lagi. Manakah yang harus saya pilih: korupsi atau tidak? Masalahnya bukanlah memilih pada mana yang lebih memberi jaminan identitas dan sekuritas (seperti cara barpikir jenjang ketiga), tetapi apa hukumnya? Apakah secara hukum, korupsi itu diperkenankan?
Oleh karena hukum itu berlaku secara lebih universal, maka orang yang bersangkutan akan menghargai dan memperhitungkan hak serta kepentingan bukan saja orang-orang yang ada di kelompoknya, tetapi juga orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Kata kunci di sini adalah "kewajiban".
Kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, bukan hanya agar kita diterima oleh orang lain, tetapi oleh karena kita sadar bahwa itu adalah kewajiban" kita. Dengan melaksanakan "kewajiban" itu, dapat saja kita akan tersingkir dari kelompok kita. Tetapi itu tak lagi menjadi pertimbangan yang terpenting. Persoalan saya bukan lagi apakah kita akan disukai atau tidak disukai oleh orang lain, tetapi apakah kita menaati hukum yang berlaku atau tidak. Ketaatan kepada hukum obyektif itu membebaskan saya dari kungkungan pengkotakan kelompok yang sempit. Kita malah bisa menilai dan menghakimi apakah ketetapan-ketetapan yang ada pada kelompok-kelompok itu benar atau salah, baik atau jahat.
Kasih lalu menjadi kurang sentimental. Ia menjadi lebih rasional. Kita tidak lagi terlalu dikuasai oleh perasaan takut tentang apa kira-kira penerimaan orang terhadap kita, selama saya memenuhi kewajiban saya yaitu menaati hukum yang berlaku. Kasih berarti berjuang untuk yang terbaik bagi sesama, menghormati hak-hak orang lain-sesuai dengan yang ditetapkan oleh hukum.
Allah bukan saja Allah yang berkehendak, tetapi Allah yang menyatakan kehendakNya itu melalui hukum-hukum. Menaati hukum Allah adalah kewajiban. Melanggarnya bukan saja salah, tetapi dosa. Bila korupsi itu dilarang menurut hukum Allah, maka melakukannya berarti bukan saja melanggar hukum dunia, tetapi melanggar hukum Allah sendiri. Bukan sekedar perbuatan kriminal tetapi perbuatan dosa.

Moralitas Purna-Konvensional: Dewasa
Moralitas purna-konvensional atau moralitas yang dewasa artinya: moralitas yang tidak lagi tergantung kepada faktor dari luar. Bukan orang lain atau kelompoklah yang harus mengambil keputusan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh saya lakukan. Melainkan saya sendirilah yang harus mengambil keputusan itu.
Itu berarti fokus kembali pada diri sendiri. Tetapi tidak dalam arti kembali kepada tahap pra-konvensional. Sebab sekalipun diri sendirilah yang harus mengambil keputusan, keputusan-keputusan yang diambilnya itu tidak berpusat pada kepentingan diri sendiri. Berpusat pada kepentingan kelompok pun tidak. Tetapi kepada sesuatu yang universal.

Jenjang Kelima.
Pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri tidak dipertanyakan. Mempertanyakan malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang yang kelima, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada sebenarnya tidak lain adalah kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh sebab itu, kesepakatan antar manusia pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta merta dianggap kudus yang tidak dapat diubah.
Bila hukum tak lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah. Kita harus menciptakan hukum yang lebih benar dan lebih baik. Dari mana kita mengetahui bahwa hukum tak lagi berfungsi? Dari mana kita mengetahui hukum apa yang lebih benar dan lebih baik? Jawabnya ialah: melalui akal. Akal manusia mempunyai fungsi kritis: ia menilai yang salah dan yang jahat. Akal manusia mempunyai pula fungsi kreatif: ia menciptakan yang lebih benar dan lebih baik. Pada jenjang kelima, akal mempunyai fungsi yang sentral.
Hukum adalah untuk ditaati. Hanya saja ia tidak dianggap suci: Ia boleh dan dapaf diubah. Dan yang mengubahnya adalah yang menetapkan hukum itu pada mulanya. Hukum itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Berdasar kesepakatan pula hukum itu diubah.
Bagaimana mencapai kesepakatan itu? Yang jelas ialah, saya tak dapat hanya memaksakan apa yang saya anggap benar dan baik. Saya harus bersedia untuk mendengar dan menerima dari orang lain. Saya harus toleran.
Jadi, ada dua hal yang utama pada penilaian moral di jenjang ke lima ini. Yang pertama ialah akal. Apabila menurut akal sehat kita, apa yang ditetapkan oleh masyarakat itu tidak bermoral, maka kita harus berusaha mengubahnya. Tetapi tidak mengubahnya dengan sembarangan. Perubahan itu harus dilakukan melalui kesepakatan bersama dengan orang-orang lain. Oleh karena itu, saya harus terbuka untuk menerima pemikiran orang lain yang lebih baik. Toleransi adalah prinsip kedua.
Di dalam kehidupan beragama, itu tidak berarti bukan tradisi atau dogma gereja yang paling penting. Tetapi iman. Iman selalu menilai apakah tradisi dan dogma yang resmi itu masih benar dan baik untuk diikuti.
Kasih tidak lagi terbatas pada kelompok terdekat. Ia menjadi kasih yang universal. Yang berfikir dan berupaya untuk kebaikan seluruh umat manusia. Demi untuk yang terakhir ini, maka bukan tidak mungkin kita berada dalam situasi konflik dengan keluarga saya, suku saya, bangsa saya, bahkan agama saya.

Jenjang Keenam.
Perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai puncaknya. Yaitu moralitas yang pantang mengkhianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. tidak takut menantang arus. berani dalam kesendirian dan kesunyian memikul salib. lebih rela menerima mati daripada menipu diri. mempunyai visi dan misi yang jelas mengenai kehidupan ini. rela membayar lunas harga yang dituntut untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Tapi bukan sekedar untuk kepuasan atau kepentingan diri pribadi. Visi dan misi itu adalah demi tegaknya harkat dan martabat seluruh umat manusia. Visi dan misi yang universal.
Untuk semua itu, orang-orang ini melakukan tindakan-tindakan yang seringkali tidak tercerna oleh akal sehat orang-orang biasa. Moralitas mereka bukan irasional, tetapi melampaui rasio. Moralitas yang trans-rasional. Gandhi dan Martin Luther King Jr, Yesus!

Refleksi.
Dalam penilaian moral kita. Bahkan dalam penilaian iman. Kita harus menilai secara proporsional! Masing-masing menurut tingkat dan jenjang pertumbuhannya. Teori Kohlberg justru amat bermanfaat untuk kita dapat menilai diri kita sendiri. Saya dapat lebih mengenal diri saya sendiri. Pada jenjang mana saya berada. Hanya apabila saya mengetahui di mana saya berada, saya mempunyai kemungkinan yang maksimal untuk memperkembangkan diri.
Secara tidak langsung, Kohlberg berbicara tentang sebuah sikap etis yang amat penting, tapi yang sering terlupakan. Yaitu pertama, kita harus terlebih dahulu berusaha memahami sesuatu sedalam-dalamnya, sebelum menilai. Dan kedua, prinsip-prinsip etis yang kita yakini itu pertama-tama harus berlaku untuk kita, sebelum kita terapkan kepada orang lain. "Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi, dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu" (Matius 7:2).
Di dalam masyarakat kita, justru berkembang kecenderungan yang sebalIknya. Kita mengukur orang lain dengan ukuran kita. Bukan mengukur diri klta sendiri berdasarkan ukuran yang kita kenakan kepada orang lain.

Supaya kita dapat memahami diri sendiri dan orang lain dengan lebih wajar, ada hal yang harus kita catat dari teori Kohlberg ini. Yaitu, bahwa memang benar kesadaran moral seseorang itu bertumbuh. Tetapi pertumbuhan itu tidak selalu berlaku merata dan sekaligus bagi seluruh sektor kehidupan manusia.Bisa jadi soal seksual tabu, soal bisnis moderat.
Ini filsafat tentang kehidupan pribadi. Kohlberg pun tidak terkecuali.
Dengan mengatakan bahwa puncak perkembangan moral seseorang adalah ketika individualitas, rasionalitas dan universalitas seseorang itu berkembang sampai pada batasnya yang paling akhir, kita dapat meraba filsafat Kohlberg tentang manusia itu. Yaitu pandangan bahwa semakin individual, semakin rasional dan semakin universal seseorang, ia semakin manusiawi.
Dan di sinilah justru kritik saya terhadap pandangan Kohlberg itu. Di dalam konteks barat, di mana Kohlberg memperkembangkan teorinya itu, filsafat manusia seperti itu memang dapat kita pahami. Tapi ini tidak berlaku universal!
ia agak berat sebelah. Individualitas manusia tentu amat penting - salah satu ciri pokok kedewasaan manusia. Tetapi bagaimana dengan kolektivitas? Apakah kesadaran manusia tentang kebersamaannya dengan orang-orang lain, membuat ia kurang manusiawi? Tidak. Dan jawab Alkitab juga: tidak! Manusia memang diciptakan Allah sebagai individu, sebagai pribadi. Tetapi serentak dengan itu, Allah juga mengatakan: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kejadian 2:18).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar