Gambaran Umum Cabang-cabang Filsafat
Hakekat yang sangat mendasar dalam filsafat adalah bahwa manusia
mencari arti dari dirinya sendiri dan dunianya. Ini dapat secara benar
dikatakan bahwa filsafat dilahirkan ketika manusia pada awalnya memulai
kekaguman pada apa yang dia lihat di sekeliling dia.
Pada mulanya bagi orang-orang Yunani, filsafat adalah primadonna
tentang suatu subyek. Mereka melihat dengan minat “ … pada suatu gambaran dunia
yang menyeluruh, dalam kesatuan dari semua kebenaran – apakah mereka adalah
ilmiah, etika, agama, atau estetis. Filsafat Yunani dicermati bukan hanya
dengan tipe pengetahuan yang khusus, tetapi untuk semua tipe.”
Filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan, tetapi selalu salah satu
segi dari kenyataan itu yang menjadi titik fokus penyelidikan. Filsafat selalu
bersifat ‘filsafat tentang’ sesuatu yang tertentu: filsafat tentang manusia,
filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat
bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan, dan seterusnya.
Semua jenis ‘filsafat tentang’ suatu obyek tertentu dapat dikembalikan kepada
sepuluh cabang filsafat, dan sepuluh cabang ini masih dapat dikembalikan lagi
kepada empat bidang induk, seperti terlihat dalam skema ini:
Filsafat
tentang Pengetahuan
|
Epistemologi
Logika
Kritik
Ilmu-ilmu
|
Filsafat
tentang keseluruhan kenyataan
|
Metafisika
umum (Ontologi)
Metafisika
Khusus:
è Teologi Metafisik
è Antropologi
è Kosmologi
|
Filsafat
tentang tindakan
|
Etika
Estetika
|
Sejarah Filsafat
|
|
Filsafat dapat dibagi atas empat kelompok: (a) filsafat tentang
pengetahuan, yang terdiri dari epistemologi, logika dan kritik ilmu-ilmu; (b) filsafat
tentang keseluruhan kenyataan, yang terdiri dari metafisika umum (ontologi) dan
metafisika khusus (teologi metafisik, antropologi, kosmologi); (c) filsafat
tentang tindakan, yang terdiri dari etika dan estetika; (d) sejarah filsafat.
Epistemologi merupakan ‘pengetahuan tentang pengetahuan’. Logika
menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara berpikir sehat.
Kritik ilmu-ilmu menyelidiki titik pangkal, metode, dan objek dari ilmu-ilmu.
Ontologi merupakan pengetahuan tentang ‘semua pengada sejauh mereka ada’.
Teologi metafisik (juga disebut teodicea atau filsafat ketuhanan) berbicara
tentang pertanyaan apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama ilahi. Antropologi
berbicara tentang manusia. Kosmologi (juga disebut filsafat alam) berbicara
tentang alam, kosmos. Etika (juga disebut filsafat moral) berbicara tentang
tindakan manusia. Estetika (juga disebut filsafat seni) mencoba untuk
menyelidiki mengapa sesuatu dialami sebagai indah. Sejarah filsafat mengajarkan
apa jawaban pemikir-pemikir sepanjang jaman atas pertanyaan-pertanyaan manusia.
Tidak semua filsuf setuju dengan pembagian seperti diuraikan di sini.
Misalnya saja, ada filsuf-filsuf yang menyangkal kemungkinan ontologi atau
kemungkinan seluruh metafisika. Namun pembagian seperti di atas ini merupakan
skema yang paling klasik dan paling umum diterima. Berikut ini semua cabang
dibicarakan secara singkat.
4.1. Epistemologi
Semua cabang filsafat terdiri dari pengetahuan. Apa itu pengetahuan?
Sesuatu yang berasal dari pengamatan? Dari akal budi? Atau justru dari
interaksi pancaindera dan akal budi? Ataukah pengetahuan lebih bersifat
intuitif? Apakah kita dapat mencapai kepastian bahwa pengetahuan kita b enar?
Apakah semua pengetahuan tidak bersifat hipotesis?
Pertanyaan-pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan,
tentang batas-batas pengetahuan, tentang asal dan jenis-jenis pengetahuan,
dibicarakan dalam epistemologi. Kata ‘epistemologi’ berarti ‘pengetahuan
(Yunani: logia) tentang pengetahuan (episteme)’. Dalam sejarah filsafat
kelihatan suatu gerakan gelombang dari periode-periode perkembangan dan
jaman-jaman skeptisis. Setelah setiap kali tercapai suatu puncak dalam
pemikiran, orang mulai ragu-ragu. Orang bertanya, apakah kita di dunia ini
memang pernah akan mampu untuk mencapai kepastian tentang kebenaran pengetahuan
kita.
Skeptisisme merupakan sesuatu yang ditemukan sepanjang sejarah, tetapi
skeptisisme memang sudah lama diatasi. Pemikir-pemikir seperti Augustinus dan
Descartes telah memperlihatkan bahwa skeptisisme tidak dapat dipertahankan
secara konsekuen. Skeptisis-skeptisis menyangsikan apa-apa saja, tetapi
sekurang-kurangnya satu hal tidak
diragukan. Kelihatannya setiap manusia juga seorang skeptisis, menerima bahwa
sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang pasti.
Mengenai unsur-unsur yang mengambil peranan dalam proses pengetahuan,
terdapat banyak pendapat. Ada dua aliran falsafat yang berperan besar dalam
diskusi tentang proses pengetahuan, yaitu rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme (latin: ratio = akal budi) mengajarkan bahwa akal budi merupakan
sumber utama pengetahuan. Rasionalisme mempunyai akar-akar yang sangat tua,
tetapi dalam zaman modern (setelah sekitar 1600) rasionalisme mendapat tekanan
baru pada filsuf-filsuf seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz. Lawan
rasionalisme, empirisme (Yunani: empeiria ‘pengalaman’), mengajarkan bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi, bukannya dari akal budi karena
akal budi diisi dengan kesan-kesan yang berasal dari pengamatan. Baru kemudian
kesan-kesan ini oleh akal budi dihubungkan, sehingga terjadi ide-ide majemuk.
Empirisme merupakan suatu aliran yang terutama ditemukan di Inggris.
Tokoh-tokoh empirisme itu antara lain Bacon, Hobbes, Locke dan Hume.
Empirisme dan rasionalisme didamaikan oleh Immanuel Kant, yang
memperlihatkan bagaimana peranan pancaindera dan akal budi, dalam suatu
analisis raksasa dari seluruh proses pengetahuan, dengan semua unsurnya yang
main peranan. Setelah Kant, epistemologi merupakan cabang filsafat yang sangat
berkembang. Banyak filsuf masa kini lebih-lebih terkenal dengan epistemolog.
4.2. Logika
Logika (Yunani: logikos ‘berhubungan dengan pengetahuan’, ‘berhubungan
dengan bahasa’) merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara
berpikir, aturan-aturan mana yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan itu
benar dan lurus. Logika tidak mengajarkan apa pun tentang manusia atau dunia.
Logika hanya merupakan suatu teknik atau seni yang mementingkan segi formal,
bentuk dari pengetahuan.
Suatu argumentasi betul kalau semua langkah dari argumentasi itu betul.
Langkah-langkah ini terdiri dari kalimat-kalimat (proposisi-proposisi), dan
setiap kalimat terdiri dari suatu subyek dan sebuah predikat. Mari kita ambil
contoh ini:
(A)
Kalau semua orang Jogja senang
makan ayam
(B)
Saudara M seorang penduduk Jogja
(C)
Maka Saudara M senang makan ayam
Argumentasi ini terdiri dari tiga kalimat. Kalimat A dan B disebut
premis-premis, dan kalimat C disebut konklusi. Setiap kalimat terdiri dari
subjek (yaitu ‘semua orang jogja’ dan ‘saudara M’) dan predikat (yaitu ‘senang
makan ayam’ dan ‘penduduk dari jogja’). Nah, logika menyelidiki syarat-syarat
yang harus dipenuhi supaya kesimpulan yang ditarik dari premis-premis dapat
disebut lurus dan benar. Usaha ini kelihatannya sederhana, tetapi soal-soal
yang dibicarakan dalam logika memang sangat kompleks.
Setiap kalimat terdiri dari term-term (yaitu subjek dan predikat).
Term-term ini dapat bersifat tunggal (misalnya ‘binatang’) atau majemuk
(‘binatang bersayap’), tertentu (‘manusia’) atau tak tertentu (‘bukan
manusia’), konkret (‘udara lembab’) atau abstrak (‘kelembaban’), positif
(‘hidup’) atau negatif (‘tidak hidup’). Semua distingsi ini penting karena
sifat-sifat dari suatu term membawa syarat-syarat tertentu untuk pemakaiannya.
Juga penting pembedaan proposisi, misalnya proposisi konjungtif (‘A dan B pergi
ke Jakarta’), proposisi disjungtif (‘A dan B pergi ke Jakarta’), proposisi
alternatif (“Selalu atau A atau B yang pergi ke Jakarta”), proposisi hipotetis
(‘Kalau ..., maka ....’), dan seterusnya. Semua jenis kalimat ini mempunyai
aturan-aturan pemakaian tersendiri.
Logika dalam bentuk ini disebut Logika klasik. Logika klasik berkembang
pada Aristoteles (348-322 SM) dan pada banyak filsuf dari Abad Pertengahan.
Sekarang dibedakan suatu jenis logika baru – di samping logika klasik – yaitu
logika matematis yang juga disebut logika formal atau logistik. Logika
matematis dikembangkan antara lain oleh Frege, Whitehead, dan Russell.
4.3. Metafisika
a. Metafisika Umum
Filsafat menyelidiki seluruh kenyataan. Tetapi kalau manusia ingin
berbicara tentang “segala sesuatu sekaligus”, lalu jelas bahwa ia menghadapi
kesukaran-kesukaran yang agak besar. Dalam logika diajarkan suatu prinsip yang
mengatakan: “makin besar esktensi suatu istilah atau pernyataan, makin kecil
komprehensi istilah atau pernyataan itu”. Artinya, isi (komprehensi) suatu kata
atau kalimat menjadi sangat kecil kalau luasnya (ekstensi) kata atau kalimat
itu sangat besar, dan sebaliknya.
Dalam perkataan-perkataan tentang kenyataan pada umumnya, ekstensi
begitu besar sehingga komprehensi hampir tidak berarti lagi. Metafisika umum
(atau ontologi) berbicara tentang
segala sesuatu sekaligus. Lalu itu hanya mungkin kalau komprehensi
perkataan-perkataannya kecil sekali. Metafisika umum hanya berbicara tentang
segala sesuatu sejauh itu ‘ada’. “Adanya” segala sesuatu merupakan suatu segi
dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan
mahkluk-mahkluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu. Semua benda,
tumbuh-tumbuhan, binatang, dan orang merupakan suatu “pengada”. Kata Yunani
untuk “pengada” adalah on (genetif: ontos). Oleh karena itu, pengetahuan
tentang pengada-pengada, sejauh mereka ada, disebut ontologi.
Pertanyaan-pertanyaan dari ontologi itu misalnya “Apakah kenyataan merupakan
kesatuan atau tidak?”, “Apakah alam raya adalah peredaran abadi di mana semua
gejala selalu kembali, seperti dalam siklus musim-musim, atau justru suatu
proses perkembangan?” Kemungkinan dan manfaat dari metafisika umum seringkali
disangsikan.
Dari lain pihak, metafisika umum juga sering dipandang sebagai puncak
dari filsafat, karena pertanyaan-pertanyaan dari ontologi langsung berhubungan
dengan sikap manusia terhadap pertanyaan paling dasar, yaitu pertanyaan tentang
adanya Transendensi atau Allah. Salah satu hasil dari ontologi adalah suatu
nama untuk Allah yang sangat abstrak, tetapi yang sekaligus sangat cocok, yaitu
nama “mengada” (Inggris: Letting-be, Latin: Esse). Sumber dari segala sesuatu – sejauh itu ada – pencipta dari
seluruh ciptaan, adalah Tuhan.
Jenis ontologi ini, dari satu pihak, menarik karena di sini ditemukan
kemungkinan untuk menterjemahkan istilah-istilah falsafi. Dari lain pihak,
jenis ontologi ini juga dikritik karena di depan Allah sebagai “Mengada”
manusia tidak dapat berlutut, dan kepada Letting-be ia tidak dapat berdoa.
Jawaban-jawaban yang diberikan atau pertanyaan-pertanyaan yang
dirumuskan dalam ontologi mengungkapkan suatu kepercayaan. Sampai sekarang
dibedakan empat jenis kepercayaan ontologis, yaitu ateisme, agnostisisme,
panteisme, dan teisme.
Ateisme (Yunani: a – bukan; theos ‘Allah’)
mengajarkan bahwa Allah tidak ada, bahwa manusia sendirian dalam kosmos,
sendirian di bawah surga yang kosong.
Agnostisisme (Yunani: a- bukan, gnosis
‘pengetahuan’) mengajarkan bahwa tidak dapat diketahui apakah Allah ada atau
tidak, sehingga pertanyaan tentang Allah selalu terbuka.
Panteisme (Yunani: pan ‘segala sesuatu’,
theos ‘Allah’) mengajarkan bahwa seluruh kosmos sama dengan Allah, sehingga
tidak ada perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Allah dan alam itu “sama
saja”, sehingga panteisme juga dapat disebut teo-panteisme.
Teisme mengajarkan bahwa Allah itu ada,
bahwa terdapat perbedaan antara Pencipta dan ciptaan dan bahwa Allah boleh
disebut ‘Engkau’ dan ‘penyelenggaraan’.
Ontologi atau metafisika umum merupakan cabang filsafat yang sekarang
ini sangat problematis. Menurut banyak filsuf masa kini, cabang ini tidak
mungkin karena manusia di sini melewati batas-batas kemungkinan-kemungkinan
akal budinya.
b. Metafisika Khusus
Metafisika khusus terdiri dari teologi metafisik, antropologi, dan
kosmologi. Teologi metafisik berhubungan erat dengan ontologi. Dalam teologi
metafisik diselidiki apa yang dapat dikatakan tentang adanya Allah, lepas dari
agama, lepas dari wahyu. Teologi metafisik tradisional biasanya terdiri dari
dua bagian: bagian pertama berbicara tentang bukti-bukti untuk adanya Allah,
bagian kedua berbicara tentang nama-nama ilahi. Kedua tema ini masih tetap
penting, tetapi sekarang dalam teologi metafisik diberikan banyak perhatian kepada
‘bahasa’ tentang Allah, bahasa religius, bahasa teologis, bahasa Kitab Suci,
dan bahasa doa. Oleh karena itu, teologi metafisik (atau teologi falsafi) juga
disebut meta-teologi karena diadakan suatu refleksi tentang bahasa teologi,
sesuatu yang datang ‘sesudah’ teologi sendiri, seperti halnya metafisika datang
sesudah fisika dan meta-etika datang sesudah etika.
Yang dapat dikatakan tentang Allah, lepas dari agama, tentu saja
sedikit sekali. Teologi metafisik hanya menghasilkan suatu kepercayaan yang sangat
sederhana dan cukup miskin serta abstrak. Namun, yang sedikit ini sangat
berguna dalam dialog dengan agama-agama lain, dengan agnostisisme, panteisme,
dan ateisme. Orang yang mempunyai pendapat lain dari pada kita tentang Allah
tidak akan menerima argumen-argumen yang berasal dari teologi yang terikat pada
suatu ‘wahyu’ khusus, tetapi mereka akan menerima argumen-argumen yang hanya
berdasarkan pemakaian akal budi karena akal budi merupakan milik umum.
Iman falsafi yang dicapai dalam teologi metafisik tidak cukup. Iman ini
dalam tradisi sering disebut prae-ambulum
fidei, ‘langkah sebelum iman’ atau ‘ambang pintu dan persiapan untuk iman’.
Teologi metafisik juga disebut teodise. Nama ini kurang cocok karena
teodise memang hanya bagian kecil dari teologi metafisik. Teodise (Yunani:
theos ‘Allah’, dike ‘pembenaran’ atau ‘pengadilan’) mencoba menerangkan bahwa
kepercayaan kepada Allah tidak bertentangan dengan kenyataan kejahatan.
Kenyataan kejahatan merupakan sebab terpenting bahwa banyak orang tidak dapat percaya
akan Allah, atau, bahwa mereka tidak dapat percaya bahwa Allah Mahabaik dan
Mahakuasa. Peranan teodise dalam teologi metafisik dahulu begitu penting
sehingga sering seluruh cabang filsafat ini disebut teodise.
Teologi metafisik sekarang ini masih tetap merupakan usaha untuk
menciptakan ruang untuk dialog antara iman dan akal budi. Dialog ini sekarang
lebih-lebih bersifat dialog dengan ateisme.
4.4. Etika
Etika atau filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang
praksis manusiawi, tentang tindakan. Kata ‘Etika’ berasal dari kata Yunani
ethos yang berarti ‘adat’, ‘cara bertindak’, ‘tempat tinggal’, ‘kebiasaan’.
Kata ‘moral’ berasal dari kata Latin mos (geneti moris) yang mempunyai arti
yang sama. Etika dibedakan dari semua cabang filsafat lain karena tidak
mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana ia harus bertindak.
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma (latin: norma
‘siku’). Norma-norma dapat dibagi atas norma sopan santun, norma hukum, dan
norma moral. Norma yang paling penting untuk tindakan manusia, norma moral,
datang dari ‘suara batin’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar