BAB 1. Pengantar Filsafat
Manusia adalah satu-satunya mahkluk yang mampu
bertanya. Ia mempertanyakan
dirinya, keberadaannya, dan dunia sekitarnya. Kendati masih bersifat sederhana,
kegiatan ini sudah diperlihatkan sejak dini. Kegiatan seperti ini dimulai sejak
seseorang masih kecil hingga menginjak masa dewasa. Sesuatu yang berlangsung
terus menerus.
Ada dua tingkatan pertanyaan, yakni: pertanyaan sederhana dan pertanyaan yang bersifat teoritis.
Pertanyaan sederhana berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, berhubungan dengan
cara-cara untuk mencapai sesuatu. Misalnya, bagaimana kita bisa berbahasa Banjar? Bagaimana kita
bisa mengendarai mobil? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini selalu
berhubungan dengan hal-hal yang praktis. Misalnya saja, agar kita bisa
berbahasa Banjar, kita harus mengikuti kursus bahasa Banjar, demikian halnya agar bisa mengendarai
mobil kita harus latihan mengemudi. Singkatnya pertanyaan sederhana lebih
banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat teknik. Sifatnya aplikatif.
Pertanyaan
bersifat
mendasar atau teoritis disebut sebagai pertanyaan
filosofis. Pertanyaan ini bersentuhan dengan makna dan nilai hidup manusia.
Pertanyaan-pertanyaan yang termasuk dalam tingkatan ini antara lain: siapakah
diri kita? Ke mana tujuan hidup? Apa yang paling berharga bagi kehidupan ini?
Apakah hidup kita bersifat abadi? Semua pertanyaan ini disebut mendasar, karena
menyentuh hal-hal yang hakiki tentang manusia. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar
dicari dengan permenungan yang mendalam. Permenungan itu dilakukan dengan
berbagai tahapan, yakni menyadari adanya masalah, meragukan dan menguji secara
rasional anggapan-anggapan yang terkait dengan pertanyaan, memeriksa, dan
mempertimbangkan penyelesaian-penyelesaian yang telah diajukan mengenai
masalah, menarik hipotesa, menguji konsekuensi-konsekuensi dari hipotesa,
akhirnya menarik kesimpulan yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu benar juga bahwa manusia disebut homo viator, seorang peziarah/musafir. Hidupnya dipenuhi dengan
sejumlah pertanyaan. Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan timbul.
Manusia ingin tahu tentang asal
dan tujuan, tentang diri sendiri, tentang nasibnya, tentang kebebasannya dan
kemungkinan-kemungkinannya. Sikap ini sudah menghasilkan pengetahuan yang
sangat luas, yang secara metodis dan sistematis dibagi atas banyak jenis ilmu.
Namun, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sejumlah pertanyaan manusia masih
tetap terbuka dan sama aktualnya seperti pada ribuan tahun yang lalu, seperti
diungkapkan dalam sajak yang kuno ini:
Aku datang – entah dari mana,
aku ini – entah siapa,
aku pergi – entah ke mana,
aku akan mati – entah kapan,
aku heran bahwa aku bergembira …
Pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan
kematian, tentang hakikat manusia tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan.
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh
filsafat. Filsafat dapat menjawab kebanyakan, tetapi tidak semua, dari
pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, filsafat adalah tempat di mana
pertanyaan-pertanyaan ini dikumpulkan, diterangkan, dan diteruskan. Filsafat
adalah suatu ilmu tanpa batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu segi dari
kenyataan saja, melainkan apa-apa saja yang menarik perhatian manusia. Di
universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut “fakultas sentral”
atau “inter-fakultas”, karena semua fakultas lain – yang selalu menyelidiki
salah satu segi dari kenyataan – menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang
membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka, misalnya
pertanyaan tentang batas-batas pengetahuan kita, tentang asal bahasa, tentang
hakikat hidup, tentang hubungan badan dan jiwa, tentang hakikat materi, tentang
moral dasar.
Perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi jelas kalau kita
membandingkan definisi ilmu pengetahuan dengan definisi filsafat.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren
(bertalian) tentang suatu bidang tertentu
dari kenyataan.
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan.
Filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam penyelidikan ini.
Hasil dari ilmu-ilmu khusus luar biasa. Dibandingkan dengan itu, hasil dari
filsafat kelihatannya kurang konkret dan kurang berguna. Namun demikian,
filsafat masih tetap dibutuhkan sebagai suatu “forum”, suatu tempat di mana
dibicarakan soal-soal yang datang sebelum dan sesudah semua ilmu lain.
Apa Itu Filsafat?
Kata “filsafat”
berasal dari bahasa Yunani, yakni philein,
artinya mencintai dan sophia, artinya
kebijaksanaan. Dari dua kata ini secara harafiah filsafat diartikan dengan
cinta akan kebijaksaan. Kata sophia
dalam pandangan filsafat lebih dari sekedar “wisdom” dalam bahasa Inggris. Sophia mengandung banyak makna. Beberapa
filsuf yunani seperti Herodotus (484-425 sM), Pythagoras (560-480 sM) dan Plato
(427-347 sM) menunjukkan keanekaan pengertian itu. Herodotus menggunakan kata philosophein dalam upaya “untuk
menemukan” sesuatu. Dalam pengertian ini filsafat diberi arti rasa cinta
manusia untuk mengetahui dan memuaskan aspek kognitifnya. Sementara Pythagoras
mengkaitkan sophia dengan
kontemplasi. Sophia bagi Pythagoras
adalah “pengetahuan hasil kontemplasi”. Dengan pengertian itu murid Plato ini
ingin membedakan antara “pengetahuan hasil kontemplasi” dengan “pengetahuan
yang bersifat teknis dan instrumentalistik” yang dimiliki oleh pelaku bisnis
dan para atlet.
Kata philosophos diciptakan untuk menekankan
sesuatu. Pemikir-pemikir Yunani Pythagoras (582-496 SM) dan Plato (428-348 SM)
mengejek para sofis (sophistes) yang berpendapat bahwa mereka tahu jawaban
untuk semua pertanyaan. Kata Pythagoras: hanya Tuhan mempunyai hikmat yang
sungguh-sungguh. Manusia harus puas dengan tugasnya di dunia ini, yaitu
“mencari hikmat”, “mencintai pengetahuan”.
Plato menunjukan hakikat filsafat sebagai hasil kontemplasi dalam lima
karakter berikut. Pertama, dapat bertahan terhadap diskusi kritis.
Artinya, kegiatan utama dari filsafat adalah mengkaji secara kritis segala hal.
Dengan kajian itu diharapkan terjadi pertanggungjawaban rasional. Dalam
pengertian ini kata “kebijaksanaan” tidak lagi menjadi makna dari filsafat.
Kedua, menggunakan metode dialektis. Dengan metode ini, filsafat bergerak
secara bertahap, yakni mengkritik pandangan-pandangan yang ada, setelah itu
membangun pandangan baru yang didukung dengan argumen-argumen yang lebih kuat.
Ketiga, berusaha mencapai realitas yang terdalam. Filsafat menganalisa
hal-hal terdalam dari kenyataan. Ia tidak berhenti pada fakta empiris, melainkan
berusaha untuk menemukan kebenaran yang terdalam. Filsafat mencari pengetahuan
yang sejati, serta hal yang hakiki dari realitas. Karena itulah filsafat
bersifat metaempiris.
Keempat, filsafat bertujuan untuk menangkap tujuan ideal realitas. Bagi Plato,
memahami kebenaran misalnya berarti juga memahami IDEA tentang kebenaran yang
dicari oleh manusia. IDEA tentang kebenaran dilihat sebagai realitas tertinggi
bagi manusia. Ini menurut Plato dibela oleh filsuf. Socrates sendiri selama
hidupnya telah membuktikan hal ini. Ia berani mati karena ingin mempertahankan
kebenaran yang diyakininya harus dibela.
Kelima, mengetahui bagaimana harus hidup sebagai manusia. Dalam butir ini
filsafat dikaitkan dengan suatu pengetahuan yang benar tentang cara hidup sebagai
manusia. Artinya, seorang filsuf mempertanggungjawabkan kedudukannya dengan
mempertahankan prinsip yang ideal baginya sebagai seorang manusia. Dengan ini
filsafat dimaksudkan membentuk kualitas pribadi, yakni menjadi manusia yang
bermutu dalam kehidupan sehari-hari.
Dari berbagai
karakter di atas, filsafat bisa didefinisikan dalam tiga hal. Pertama, filsafat sebagai hasil perenungan. Dalam pengertian ini filsafat
merupakan permenungan terhadap hasil permenungan atau ide-ide yang ada.
Perenungan ini ialah sejenis percakapan yang dilakukan dengan diri sendiri atau
dengan orang lain. Kedua, sebagai kritik.
Dalam pengertian ini filsafat berusaha mengerti, membedakan dan mengambil
keputusan. Ketiga, filsafat sebagai ilmu yang berusaha mencari
kebenaran secara metodis, sistematis, rasional dan radikal melampaui kebenaran
dan pertanggungjawaban. Sebagai ilmu, filsafat selalu berusaha untuk
bertanya dan mempertanyakan. Tujuannya untuk menemukan kebenaran dan sebab
musabab terdalam dari segala hal.
Sarana utama yang digunakan oleh
filsafat adalah akal budi. Karena
itu segala hal dikaji menurut daya akal budi. Dengan kata lain, dengan rasio
filsafat berusaha untul membongkar dan menguji pandangan-pandangan atau
asumsi-asumsi yang mendasari realitas. Tentu tidak semua aktivitas rasional,
yaitu aktivitas khas pada manusia, boleh disebut sebagai filsafat. Namun
apabila terdapat sejumlah aktivitas dan pemikiran rasional yang mempertanyakan
makna hidup, menguji kebenaran nilai dan secara kritis merefleksikan
keyakinan-keyakinan yang diajarkan dalam masyarakat, maka pastilah semua ini
termasuk dalam kegiatan berfilsafat.
Asal Filsafat
Filsafat muncul di dalam kehidupan masyarakat Yunani. Pada suatu ketika
orang-orang Yunani itu mulai berpikir bahwa dunia dibuat dari air atau udara,
yang mendahului mereka yang sangat terkenal Socrates, Plato, dan Aristoteles;
bahwa Socrates dan Plato begitu pandai, tetapi bahwa itu Aristoteles-lah yang
menyumbangkan secara signifikan dalam bidang-bidang berikut: etika, logica, metafisik,
seni, literartur, psikologi, biologi, politik, dan bahwa ketika dia meninggal
pada 332 Seb Masehi dia telah memberikan kepada dunia begitu banyak, tetapi
suku yang paling baik datang 16 abad kemudian, ketika pada abad 13, dia
ditemukan kembali dan filsafatnya diletakkan dalam kerangka Kristiani oleh
Thomas Aquinas, “doctor angelicus”, filsuf terbesar dari abad Pertengahan.
Ada tigal hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat: Keheranan,
kesangsian, dan kesadaran keterbatasan.
Keheranan. Banyak filsuf menunjuk rasa heran (Yunani: thaumasia) sebagai asal
filsafat. Plato, misalnya, mengatakan: “Mata kita memberi pengamatan
bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk
menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat.” Pada kuburan Immanuel
Kant (1724-1804) tertulis “Coelum stellatum supra me, lex moralis intra me.”
Kedua gejala yang paling mengherankan, menurut Kant, adalah “langit berbintang
di atas diriku” dan “hukum moral di dalam diriku”.
Kesangsian, Filsuf-filsuf lain, seperti Augustinus (354-430) dan Descartes
(1596-1650), menunjuk kesangsian sebagai sumber utama pemikiran. Manusia heran,
tetapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh pancainderanya kalau
ia heran? Apakah kita tidak hanya melihat yang ingin kita lihat? Di mana dapat
ditemukan kepastian, karena dunia ini penuh dengan macam-macam pendapat,
keyakinan, dan interpretasi? Sikap ini, sikap skeptis (Yunani: skepsis ‘penyelidikan’), sangat berguna
untuk menemukan suatu titik pangkal yang tidak teragukan lagi. Titik pangkal
ini dapat berfungsi sebagai dasar untuk semua pengetahuan lebih lanjut.
Kesadaran akan keterbatasan. Filsuf-filsuf lainnya lagi mengatakan bahwa manusia mulai berfilsafat
ketika ia menyadari betapa kecil dan lemah dirinya bila dibandingkan dengan
alam semesta sekelilingnya. (Sikap ini diungkapkan dengan bagus dalam Mazmur
8.) Semakin manusia terpukau oleh ketakterhingaan sekelilingnya, semakin ia
heran akan eksistensinya. Dan kalau dunia saya dan hidup saya kelihatan tidak
berarti dalam keadaan-keadaan tertentu – misalnya kalau saya harus menghadapi
kematian seseorang yang tercinta, kalau saya bersalah, kalau saya menderita
atau sama sekali gagal – saya merasa terdorong untuk menarik kesimpulan bahwa
harus ada sesuatu yang mengatasi semua keterbatasan dan kegagalan. Semakin
jelas saya sendiri atau sesuatu di luar saya kelihatan makin terbatas, semakin
jelas juga bahwa harus ada sesuatu yang tak terbatas, ketakterhinggaan yang
“membatasi” segala sesuatu yang lain.
Tiga Jenis Abstraksi
Keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan mendorong
manusia untuk berpikir. Akan tetapi, pemikiran ini segera menjadi “metodis”.
Manusia berkecenderungan untuk menggunakan suatu jalan tertentu untuk berpikir,
yaitu dari hal-hal yang lebih konkret ke prinsip-prinsip induk yang abstrak.
Jalan ini diterangkan oleh Aristoteles (384-322 SM). Menurut Aristoteles, pemikiran
kita melewati tiga jenis abstraksi (Latin: abstrahere “menjauhkan diri”,
“mengambil dari”). Setiap jenis abstraksi menghasilkan salah satu jenis
pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, pengetahuan matematis, dan pengetahuan
teologis. Semua jenis pengetahuan ini, menurut Aristoteles, masih termasuk
filsafat karena belum dibedakan antara teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
Ketiga jenis abstraksi sebagaimana dibedakan oleh Aristoteles masih tetap
berguna untuk menerangkan hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Tahap pertama: fisika. Kita mulai berpikir kalau kita mengamati sesuatu. Keheranan,
kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan baru dapat timbul kalau sesuatu
diamati lebih dahulu. Akal kita “melepaskan” (mengabstrahir) dari pengamatan inderawi
segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (Aristoteles menamainya
hylè aistètè). Akal budi
menghasilkan, bersama materi yang abstrak ini, pengetahuan yang disebut fisika
(Yunani: physos ‘alam’).
Tahap kedua: matesis. Kita masih dapat melepaskan, “mengabstrahir” lebih banyak lagi. Kita
dapat melepaskan materi yang kelihatan dari semua perubahan. Itu terjadi kalau
akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (hylè noètè). Berkat abstraksi ini, kita
dapat menghitung dan mengukur, karena menghitung dan mengukur itu mungkin lepas
dari semua gejala dan semua perubahan, dengan mata tertutup. Pengetahuan yang
dihasilkan oleh jenis abstraksi ini disebut “matesis” (matematika). Kata Yunani
mathesis berarti ‘pengetahuan’, ‘ilmu’.
Tahap ketiga: teologi atau
‘filsafat pertama’. Akhirnya, kita juga dapat
mengabstrahir dari semua materi, baik materi yang dapat diamati maupun materi
yang dapat diketahui. Kalau kita berpikir tentang keseluruhan kenyataan,
tentang asal dan tujuannya, tentang jiwa manusia, tentang kenyataan yang paling
luhur, tentang Tuhan, maka lalu tidak hanya bidang fisika, melainkan juga
bidang matesis yang ditinggalkan. Semua jenis pengamatan tidak berguna lagi di
sini. Jenis berpikir ini disebut teologi atau “filsafat pertama” oleh
Aristoteles.
Pengetahuan dari jenis ketiga ini dalam tradisi setelah Aristoteles
disebut metafisika, bidang yang
datang setelah (= meta) fisika. Bagi
Aristoteles, baik bidang metafisika, bidang matematika, maupun bidang fisika
masih merupakan kesatuan, yang seluruhnya disebut “filsafat”. Yang dewasa ini
masih disebut “filsafat” itu sebetulnya lebih-lebih “filsafat pertama” atau
metafisika.
Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan. “Sebelumnya”
karena semua ilmu khusus telah mulai sebagai bagian dari filsafat yang kemudian
menjadi dewasa, seperti masih kelihatan pada Aristoteles. “Sesudahnya” karena
semua ilmu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mengatasi batas-batas
spesialisasi mereka. Oleh karena itu, banyak ilmuwan yang sekaligus juga filsuf
kenamaan, seperti Aristoteles, Descartes, Leibniz, Pascal, Kant, Whitehead, dan
Einstein.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar