Pendefinisian Khotbah Ekspositori
Apa yang dialami oleh Pendeta Onesimus
merupakan pengalaman kita bersama. Kita telah mendengar istilah khotbah
ekspositori, mungkin, jauh sebelum kita menjadi pengkhotbah. Bahkan kita
mungkin juga telah mengikuti pelatihan-pelatihan tentang khotbah ini. Tetapi
bila kita diminta untuk
mendefinisikan apakah khotbah ekspositori itu, maka mungkin akan
ada keraguan dalam diri kita. Salah satu sebabnya adalah karena khotbah
ekspositori oleh para ahli homiletik telah didefinisikan dengan beragam cara
menurut sudut pandang dan kriteria masing-masing sehingga tidak jelas definisi
mana yang benar. Hal ini juga diamati oleh Harold T. Bryson, seorang profesor
khotbah dan direktur dari Institute of Christian Ministry di
Mississippi College di Amerika. Namun kemudian, dia dengan cermat
mengklasifikasi definisi-definisi yang ada dalam tiga macam pendekatan, yaitu
berdasarkan etimologi, morfologi, dan substansi.[1]
Berdasarkan Etimologi.[2] Menurut
Bryson, kata ekspositori mempunyai akar kata expose yang
berasal dari kata exposen (Inggris), exposer (Perancis),
atau exponere (Latin). Dalam bahasa Latin yang lebih modern
(180- 600 M.), pengertian dari exponere berarti “menafsirkan
atau menjelaskan.” Berdasarkan pendekatan ini, maka dalam khotbah ekspositori
faktor yang dominan adalah penjelasan, sedangkan faktor-faktor lain, seperti
pendahuluan, ilustrasi, aplikasi, dan penutup khotbah hanya berfungsi sebagai
penopang penjelasan. Pada abad ke-16, John Calvin memahami khotbah ekspositori
dengan pengertian ini. Itu sebabnya, pola khotbah Calvin diawali dengan
menjelaskan pengertian suatu teks dari ayat ke ayat
kemudian menerapkannya ke dalam kehidupan pendengarnya.[3]
Berdasarkan Morfologi.[4] Pendekatan ini lebih menekankan definisi
khotbah ekspositori berdasarkan bentuk khotbahnya. Menurut Bryson, pendekatan
morfologi menghasilkan paling tidak empat macam
pendefinisian, yaitu khotbah ekspositori yang didefinisikan
berdasarkan:
(1) Panjang-pendeknya teks yang dikhotbahkan.
Dalam pendekatan ini khotbah diklasifikasikan sebagai khotbah topikal,
tekstual, dan ekspositori. Salah satu tokohnya adalah Andrew W. Blackwood.
Dalam bukunyaExpository Preaching for Today, ia mengartikan khotbah
ekspositori sebagai khotbah dari teks Alkitab yang panjangnya lebih dari dua
atau tiga ayat yang berurutan.[5] Pendapat
ini tampaknya dilatarbelakangi oleh usaha Blackwood untuk membedakan khotbah
ekspositori dari khotbah tekstual yang hanya bertumpu pada satu atau dua ayat
berurutan dan dari khotbah topikal yang bertumpu pada banyak ayat dari berbagai
tempat.
(2) Pengambilan teks secara seri atau
berurutan dari satu kitab sebagai dasar khotbah. Beberapa ahli homiletik,
seperti William M. Taylor dan F. B. Meyer, memahami khotbah ekspositori sebagai
khotbah yang mengkhotbahkan teks-teks Alkitab dalam satu kitab secara berurutan
setiap minggunya.
(3) Perlakuan terhadap teks. Ahli homiletik
lainnya, seperti Charles W dan Nolan Howington, berpendapat bahwa khotbah
ekspositori adalah khotbah yang berpusat pada teks dan setiap poin dan sub-poin
dalam kerangkanya diperoleh dari teks yang sedang dikhotbahkan.
(4) Tafsiran yang berjalan. Sebagian ahli
homiletik memahami khotbah ekspositori sebagai khotbah yang mempunyai format
seperti sebuah buku tafsiran di mana khotbah berjalan dari kata ke kata dan
ayat ke ayat tanpa menghiraukan kesatuan amanat, kerangka, dan dorongan
persuasif yang ada di dalam teks tersebut. Di dalam sejarah khotbah, beberapa
pengkhotbah yang sangat luar biasa, seperti John Chrysostom, Martin Luther,
Ulrich Zwingli, dan John Calvin, menggunakan pendekatan ini.[6]
Berdasarkan Substansi. Menurut pendekatan ini bukan etimologi atau morfologi yang
penting, melainkan substansi. Substansi dalam khotbah ekpositori adalah bahwa
berita khotbah harus bersumber dari amanat teks Alkitab sebagaimana yang
dimaksudkan oleh penulisnya.[7] John
A. Broadus, yang termasuk dalam kelompok ini, mendefinisikan khotbah
ekspositori
sebagai:
Khotbah yang terutama diisi atau didominasi dengan eksposisi
Alkitab. . . . Teks yang diambil bisa berupa perikop yang panjang, atau yang
sangat pendek, bahkan bisa hanya sebagian kalimat. Selain itu bisa juga teks
yang diambil berupa satu seri, atau satu bagian yang berdiri sendiri.[8]
Merrill F. Unger dalam bukunya Principles
of Expository Preaching mendukung pendekatan substansi. Bagi Unger,
kriteria yang menentukan sebuah khotbah dapat digolongkan dalam
khotbah ekspositori bukanpanjang-pendeknya teks, melainkan cara pengkhotbah
menafsirkan teks tersebut. Bila pengkhotbah menafsirkannya
sedemikian rupa sehingga ia dapat menemukan makna yang sesungguhnya
sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya dan mengaplikasikannya
dalam kehidupan pendengar masa
kini, maka khotbah tersebut dapat digolongkan sebagai khotbah
ekspositori.[9]
John W. R. Stott juga berpandangan yang sama.
Dalam bukunya yang klasik, Between Two World, ia menyatakan bahwa
dalam khotbah ekspositori,
teks yang dikhotbahkan bisa saja hanya satu ayat, atau satu
kalimat, atau bahkan hanya satu kata. Itu tak berbeda dengan satu paragraf,
atau satu pasal, atau satu kitab penuh. Panjang-pendeknya teks tidak penting,
sejauh teks itu adalah teks Alkitab. Yang penting adalah apa yang kita lakukan
dengan teks itu. Entah teks itu panjang atau pendek, tanggung jawab kita
sebagai ekspositor adalah mengungkapkannya sedemikian rupa sehingga amanatnya[10] berbicara
dengan jelas, apa adanya, akurat, relevan, tanpa tambahan, pengurangan atau
perubahan.[11]
Haddon Robinson, dalam bukunya yang sangat
populer, yakni Biblical Preaching yang terbit pertama kali
pada tahun 1980, berada pada jalur pemikiran yang sama dengan Unger
dan Stott. Ia sama sekali tidak melihat khotbah ekspositori dari
sudut bentuk (morfologi). Baginya, “khotbah
ekspositori pada hakikatnya adalah lebih berupa suatu filsafat
daripada suatu metode.”[12] Karena
itu, ia mendefinisikan khotbah ekspositori sebagai:
Khotbah yang “mengkomunikasikan suatu konsep alkitabiah, yang
diperoleh dari dan disampaikan melalui penyelidikan historis,
gramatikal, dan kesusastraan suatu teks di dalam konteksnya, di mana
Roh Kudus pertama-tama menerapkannya kepada kepribadian dan pengalaman
pengkhotbah, kemudian melalui pengkhotbah, menerapkannya kepada para
pendengar.”[13]
Pada dasarnya, definisi khotbah ekspositori
Robinson, demikian juga Unger dan Stott, menekankan pada cara penafsiran teks
yang mengutamakan penemuan amanat yang sebenarnya dari penulis teks. Namun, ia
melangkah lebih maju dengan memberi penambahan pada unsur peranan Roh Kudus dan
pengkhotbah sebagai pribadi yang pertama-tama harus taat pada kebenaran firman
yang ia akan sampaikan dan juga sebagai komunikator yang harus mempersiapkan
aplikasi-aplikasi yang sesuai dan mengena kepada para pendengarnya. Belakangan
ini, para pakar homiletik lebih cenderung mengakui
pengertian khotbah ekspositori berdasarkan substansi; substansi
jauh lebih penting daripada etimologi dan morfologi. Khotbah ekspositori dapat
mengambil bentuk yang bermacam-macam, tetapi substansinya tidak boleh berubah.
1.
Tekstual/Berdasarkan Teks
Gaya ini
biasanya didasarkan pada suatu ayat Alkitab yang relatif pendek. Pada
kenyataannya, sesuai dengan judulnya, biasanya khotbah ini didasarkan pada satu
"teks" Kitab Suci.
Hal ini
melibatkan pemilihan pernyataan yang tepat dari Kitab Suci. Kemudian anda
menyelidikinya, menganalisanya dan menemukan semua kebenaran yang terkandung di
dalamnya.
Kemudian
anda menyajikan materi itu dengan susunan rapi dan progresip hingga memudahkan
pendengar untuk mengerti.
2.
Topikal/Berdasarkan Topik
Di sini
tujuan pengkhotbah adalah untuk menyajikan sebuah topik yang khusus pada
jemaat.
Sebagai
contoh, mungkin ia mengambil sebuah pokok bahasan mengenai
"pembenaran" lalu pertama-tama ia akan mencari segala sesuatu yang
dikatakan Alkitab atas pokok persoalan yang memikat ini.
Kemudian
dia akan menyusun semua referensi dari Alkitab dan buah-buah pikiran yang
didapatkannya ke dalam sebuah format yang tersusun rapi. Kemudian dia
mengembangkan temanya dengan sepenuh dan setepat mungkin. Tujuannya adalah
menceritakan kepada pendengarnya segala sesuatu yang harus mereka ketahui
mengenai pokok bahasan yang penting ini.
Tentu
saja, dia tidak mungkin dapat melakukannya dalam satu kali mengajar saja; maka
dengan ini dia akan menyiapkan satu seri khotbah atau pengajaran mengenai pokok
bahasan yang sama. Hal ini akan memberikan pengupasan yang lebih lengkap
terhadap topik tersebut.
Konkordansi
topik seperti di dalam buku The Shepherd's Staff sangat diperlukan untuk
mempersiapkan khotbah semacam ini. Di dalam buku itu orang akan dengan cepat
dapat menemukan referensi Alkitab mengenai topik yang bersangkutan.
Alkitab
referensi yang baik juga akan sangat menolong. Hal ini juga akan membantu anda
menyelami tema yang anda dapatkan di seluruh Alkitab.
3.
Tipikal/Berdasarkan Tipe
Ini
adalah seni mengupas, menggali dan mengkomunikasikan kebenaran yang tersembunyi
dibalik "tipe-tipe" yang ada di dalam Alkitab.
"Tipe"
bisa berarti satu pribadi, obyek atau kejadian yang merupakan simbul dari
seseorang atau sesuatu yang dinubuatkan akan terjadi. Ada kesamaan karakter dengan
orang atau kejadian yang dinubuatkan.
Dalam
penerapannya di dalam Alkitab, hal ini mengarah pada tokoh Alkitab atau
kejadian yang mewakili hal-hal yang akan terjadi di masa depan.
Contohnya,
Domba Paskah di kitab Keluaran adalah tipe dari Kristus. Setiap detail dari
Domba Paskah bernubuat tentang peran Kristus sebagai penebus yang akan
digenapkan sebagai"Anak
Domba Allah" (Yoh
1:29). Setiap simbol yang berbentuk nubuatan digenapkan pada waktu
Kristus mati bagi dosa dunia.
Tipe-tipe
Alkitabiah sering menunjukkan pada "bayangan sesuatu yang akan
datang" (Ibr
8:5; 10:1). Orang-orang dan kejadian-kejadian semacam ini adalah seperti
seorang yang berjalan dan matahari berada dibelakangnya. Tubuh mereka membuat
bayangan ke depan. Bayangan di depan mereka menggambarkan sesuatu yang akan
datang.
Hukum
Taurat Allah adalah bayangan dari segala sesuatu yang baik di masa mendatang.
Hal ini melambangkan bayangan akan keadaan yang lebih baik di dalam Kristus (Ibr
10:1).
"Hari-hari
kudus" di perjanjian lama juga merupakan bayang-bayang dari hal yang akan
datang (Kol
2:17). Hari-hari kudus itu sendiri tidak mempunyai arti yang lengkap.
Sebagian penggenapan bertujuan untuk memperjelas nubuatan tentang keadaan yang
akan datang.
Tafsiran
dan penjelasan terperinci tentang tipe-tipe di dalam Alkitab adalah tugas
khusus; ini perlu kecakapan dan kedewasaan pengetahuan pokok Alkitab.
Mereka
yang baru bertobat hendaknya menghindari cara berkhotbah yang terlalu dalam,
sebab tafsiran yang tidak tepat dapat merugikan dan menyebabkan kesalahan.
Pengetahuan
akan seluruh Alkitab perlu bagi para pengajar. Mereka harus dilengkapi dan
didasari isi Alkitab secara menyeluruh.
a.
Prinsip Penggunaan. Jika
pertama kali anda mengajar tipe-tipe Alkitab, hendaknya mengingat dasar berikut
ini dan mengikutinya.
1)
Gunakan Tipe yang Lebih Sederhana. Mulailah
dengan tipe yang sederhana, yang bisa dimengerti dengan jelas.
2)
Usahakan Tetap Pada Interpretasi yang Umum. Jangan
sekali-kali mencoba untuk menafsirkan setiap detil, tetaplah pada garis besar
kebenaran secara umum.
3)
Jangan Terpaku Pada Ajaran Tertentu. Jangan
hanya terpaku pada ajaran tertentu saja.
4)
Ilustrasi dari Doktrin Jangan
mengajarkan ajaran berdasarkan doktrin anda. Tipe pelajaran hendaknya menjadi
ilustrasi bagi doktrin.
5) Terbukalah
untuk Dikoreksi Terimalah
dengan besar hati jika ada koreksi dari mereka yang lebih matang daripada anda.
4.
Secara Ekspositori
Dengan
metode ini, kita berusaha untuk menguraikan secara terperinci makna dan
kebenaran yang terkandung dalam bacaan tertentu dalam Kitab Suci. Kita mencoba
untuk menunjukkan kebenaran yang sering tersembunyi di antara kata-kata pada
halaman tertentu. Ini merupakan metode yang baik sekali untuk mengajarkan
seluruh nasehat Allah (Kis 20:27).
Anda
dapat mengambil sebuah topik dari Alkitab, dan menjelaskan maknanya pasal demi
pasal. Mungkin anda dapat mengambil satu pasal setiap minggu - dan terus masuk
ayat demi ayat, menjelaskan kebenaran dan artinya yang penting. Dapat juga
dikembangkan menjadi satu seri pelajaran Alkitab yang lengkap, dibutuhkan waktu
berbulan-bulan atau berminggu-minggu.
Maka
selang beberapa tahun, sidang jemaat akan terbiasa dengan setiap bagian dalam Alkitab,
yang didalamnya Allah ingin menyampaikan seluruh kebenaranNya agar umatNya
diperkaya dan dilengkapi secara rohani.
Khotbah ekspositori adalah khotbah yang ditentukan oleh
panjang-pendeknya teks
Pendapat Andrew W. Blackwood, yang mengartikan
khotbah ekspositori sebagai khotbah dari teks Alkitab yang panjangnya lebih
dari dua atau tiga ayat yang berurutan,[17] telah
banyak ditolak oleh para ahli homiletik yang lebih modern. Bagi mereka esensi
yang terpenting dalam khotbah ekspositori bukanlah panjang-pendeknya teks,
melainkan apakah teks yang dijadikan dasar khotbah itu telah ditafsirkan dengan
baik dan akurat oleh pengkhotbah sehingga amanat teks yang sesungguhnya,
sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulisnya, ditemukan oleh pengkhotbah.
Menurut Chapell, bisa jadi seorang pengkhotbah berpikir bahwa satu unit
ekspositori itu adalah sama dengan satu atau dua paragraf, atau hanya satu
perikop Alkitab. Padahal, satu unit ekspositori itu bisa saja terdiri atas
beberapa perikop, beberapa pasal, bahkan keseluruhan kitab, sejauh teks
tersebut menyampaikan sebuah kebenaran rohani tunggal sebagaimana yang dimaksud
oleh penulisnya.[18] Jadi,
panjang pendeknya teks yang dipilih
Khotbah Ekspositori :
“Bergantung Kepada TUHAN”
Pendahuluan :
Perjanjian adalah suatu pertalian antara Allah dengan manusia. Perjanjian itu diberikan secara berdaulat dan kewajiban timbul di pihak manusia. Mengingat bahwa perjanjian itu mempererat suatu pertalian. Perjanjian itu sudah diadakan sebelumnya (Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, dst). Janji-janji dan berkat-berkat menuntut pengudusan dalam diri si penerima. Oleh karena sumber janji itu adalah kudus adanya. Apa yang digantungkan pada ketaatan ialah penikmatan berkat-berkatnya. Tuhan selalu setia akan janji-janjiNya. Bahkan Tuhan tidak pernah melanggar janji-janjiNya, melainkan IA menepati janji-janjiNya. Tetapi janji Tuhan selalu melibatkan daya dan usaha manusia. Tinggal bagaimana cara kita menghadapi kehidupan ini, dalam suatu persekutuan, tentu didalamnya ada suatu masalah-masalah baik itu dari pribadi maupun persekutuan, yang juga teringat akan janji Tuhan. Mari kita bersama-sama belajar mengenai pengalaman bangsa Israel dalam Keluaran 15:22-27.
Kitab Keluaran adalah salah satu kitab yang di tulis oleh Musa berdasarkan tradisi Ibrani. Kitab Keluaran lebih banyak membicarakan “Karya Pembebasan” terdiri dari 40 pasal dan banyak berbicara tentang karya Allah dan pembebasan bangsa Israel dan merupakan penggenapan Injil Allah kepada Abraham. Kitab ini merupakan kesinambungan dari Kitab Kejadian. Peristiwa pembebasan merupakan inti dan sangat menentukan bagi sejarah bangsa Israel dan sejarah keselamatan manusia. Menurut kesaksian Perjanjian Lama. Pembebasan itu merupakan mujizat yang penting dalam sejarah bangsa Israel. Kitab Keluaran banyak menekankan asal mula Israel sebagai bangsa.
Inilah suatu cerita tentang keluhan-keluhan yang penuh dosa. Di Mara jeritan orang Israel ‘Apakah yang kami minum?’; di padang gurun Sin mereka berkata, ‘Apakah yang akan kami makan?’; sekalipun diberikan perbekalan yang sesuai secara mujizat dalam kedua tempat itu dan pemberian air selanjutnya di Rafidim, mereka masih bertanya, ‘Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?’.
Kembali kepada teks yang kita baca dalam Kel. 15:22-27 ini,
“Bergantung Kepada TUHAN”
Pendahuluan :
Perjanjian adalah suatu pertalian antara Allah dengan manusia. Perjanjian itu diberikan secara berdaulat dan kewajiban timbul di pihak manusia. Mengingat bahwa perjanjian itu mempererat suatu pertalian. Perjanjian itu sudah diadakan sebelumnya (Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, dst). Janji-janji dan berkat-berkat menuntut pengudusan dalam diri si penerima. Oleh karena sumber janji itu adalah kudus adanya. Apa yang digantungkan pada ketaatan ialah penikmatan berkat-berkatnya. Tuhan selalu setia akan janji-janjiNya. Bahkan Tuhan tidak pernah melanggar janji-janjiNya, melainkan IA menepati janji-janjiNya. Tetapi janji Tuhan selalu melibatkan daya dan usaha manusia. Tinggal bagaimana cara kita menghadapi kehidupan ini, dalam suatu persekutuan, tentu didalamnya ada suatu masalah-masalah baik itu dari pribadi maupun persekutuan, yang juga teringat akan janji Tuhan. Mari kita bersama-sama belajar mengenai pengalaman bangsa Israel dalam Keluaran 15:22-27.
Kitab Keluaran adalah salah satu kitab yang di tulis oleh Musa berdasarkan tradisi Ibrani. Kitab Keluaran lebih banyak membicarakan “Karya Pembebasan” terdiri dari 40 pasal dan banyak berbicara tentang karya Allah dan pembebasan bangsa Israel dan merupakan penggenapan Injil Allah kepada Abraham. Kitab ini merupakan kesinambungan dari Kitab Kejadian. Peristiwa pembebasan merupakan inti dan sangat menentukan bagi sejarah bangsa Israel dan sejarah keselamatan manusia. Menurut kesaksian Perjanjian Lama. Pembebasan itu merupakan mujizat yang penting dalam sejarah bangsa Israel. Kitab Keluaran banyak menekankan asal mula Israel sebagai bangsa.
Inilah suatu cerita tentang keluhan-keluhan yang penuh dosa. Di Mara jeritan orang Israel ‘Apakah yang kami minum?’; di padang gurun Sin mereka berkata, ‘Apakah yang akan kami makan?’; sekalipun diberikan perbekalan yang sesuai secara mujizat dalam kedua tempat itu dan pemberian air selanjutnya di Rafidim, mereka masih bertanya, ‘Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?’.
Kembali kepada teks yang kita baca dalam Kel. 15:22-27 ini,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar