PENGANTAR
KE DALAM INJIL-INJIL SINOPTIK
1) Injil Matius
a) Waktu
penulisan
Waktu penulisan
Injil Matius tidak diketahui dengan pasti. Mayoritas ahli biblika memperkirakan
waktu penulisannya di antara tahun 70 – 100.[1] Tulisan-tulisan Ignatius, yang mengenal dengan baik tulisan-tulisan Paulus
dan Injil Matius, memberi petunjuk bahwa Injil ini ditulis sebelum 110.[2] Penulis Didakhe (tahun
100) kemungkinan besar juga telah mengenal Injil Matius.[3] Lantaran Yesus menunjuk pada penghancuran Yerusalem (Mat. 22:7), maka ada
pula yang berpendapat bahwa Injil ini telah ditulis sebelum pengepungan dan
penghancuran Yerusalem oleh pasukan Romawi pada 70.[4]
Para sarjana konservatif mendukung pendapat bahwa Injil ini ditulis sebelum
70 dan menganggap bahwa Injil ini ditulis oleh rasul Matius.[5] Pada bulan Desember 1994,
Carsten Peter Thiede berdasar penelitian paleografis (ilmu yang mempelajari
tulisan-tulisan kuno)[6] berpendapat bahwa papirus Magdalen, yang berbahasa Yunani dan memuat
fragmen Injil Matius, ditulis pada akhir abad pertama. Meskipun demikian,
penanggalan ulang Thiede ditanggapi dengan skeptis oleh para ahli biblika yang
sudah mapan.[7] John Wenham, pendukung gigih hipotesis Agustinian,
mempertahankan pendapat bahwa Injil Matius ditulis lebih awal.
b) Penulisnya
Tradisi Kristen
awal menganggap Injil ini ditulis oleh rasul Matius, salah seorang murid Yesus.
Tradisi ini didasarkan pada tulisan Papias pada paruh pertama abad II Masehi.[8] Namun, sejak abad XVIII,
para ahli biblika mulai meragukan bahwa Matius adalah penulisnya.[9]
Kebanyakan ahli biblika mutakhir berpendapat bahwa penulisnya adalah
seorang Kristen anonim, yang menulis Injil ini menjelang akhir abad pertama.[10] Menurut Howard Clark Kee, rupanya ajaran-ajaran Yesus pertama-tama
ditransmisikan secara lisan, hingga pada akhirnya ditulis. Teori ini antara
lain didasarkan pada kenyataan bahwa tulisan-tulisan Kristen lain di kemudian
hari memuat perkataan-perkataan yang dianggap berasal dari Yesus, yang mirip,
namun tidak tepat sama, dengan perkataan-perkataan Yesus yang terdapat dalam
Injil-injil.[11]
2) Injil Markus
a) Waktu
penulisan
Ada perbedaan
pendapat mengenai waktu penulisan Injil Markus. Kebanyakan ahli biblika setuju
dengan hipotesis dua-sumber yang
berpendapat bahwa Markus merupakan salah satu sumber dari kedua Injil Sinoptik
yang lain. Menurut teori ini, waktu penulisan Markus tergantung pada waktu
penulisan Matius dan Lukas. Salah satu papirus yang ditemukan di antara
gulungan Laut Mati, yang ditulis sebelum 68, diidentifikasi sebagai fragmen
dari Injil ini. Namun, pendapat ini tidak diterima secara luas. Umumnya, para
ahli biblika dewasa ini meyakini bahwa Markus ditulis segera setelah kejatuhan
Yerusalem dan keruntuhan Bait Allah yang kedua pada 70.[12]
Dua orang papirolog, Fr. Josep O’Callaghan dan Carsten Peter Thiede,
mengemukakan bahwa huruf-huruf pada fragmen papirus sebesar perangko yang
ditemukan dalam sebuah gua di Qumran (7Q5), adalah fragmen Inijil Markus
(6:52-53). Karena itu mereka berpendapat bahwa Markus telah ditulis
dan beredar sebelum 68. Analisis komputer menunjukkan bahwa 20 huruf dalam lima
baris pada fragmen papirus tersebut hanya cocok dengan fragmen Injil Markus
dalam manuskrip-manuskrip berbahasa Yunani yang pernah ditemukan.[13] Namun, berdasar beberapa
alasan, mayoritas papirolog meragukan kebenaran identifikasi Callaghan dan
Thiede.[14] Alasan itu antara lain, manuskrip Injil-injil perdana lazimnya disalin
dalam bentuk lembaran.[15] Salinan dalam
bentuk gulungan belum digunakan dalam perpustakaan Qumran. Di samping itu,
tidak ada teks dalam bahasa Yunani yang lain, demikian pula fragmen Markus,
yang cocok dengan kata-kata dalam 7Q5, kecuali jika frasa ‘epi tēn gēn’ (secara harfiah dapat diterjemahkan ‘ke daratan,’ LAI
menerjemahkannya ‘di seberang’), yang terdapat dalam semua manuskrip Markus
yang masih ada, dihilangkan dari 6:52-53.
John Robinson dalam karyanya “Redating
the New Testament” bahkan berpendapat bahwa Injil ini ditulis lebih awal,
yaitu tidak lebih dari tahun 62. Ia setuju dengan pendapat bahwa Markus ditulis
sebelum Lukas dan Kisah Para Rasul dan memperkirakan bahwa Injil ini ditulis
sekitar pertengahan 50-an.
Pendapat bahwa Injil ini ditulis dalam waktu dekat setelah tahun 70
didasarkan pada petunjuk tentang penghancuran Bait Allah di Yerusalem. Jika
Injil ini ditulis sebelum keruntuhan Bait Allah, pasti para pembacanya tidak
akan mengerti maksudnya.
Markus 13:14-23, yang dikenal sebagai ‘wahyu kecil’ merupakan perikop kunci
untuk menentukan waktu penulisannya. Dengan menggunakan metode kritisisme untuk
menganalisis teks-teks alkitabiah dan menemukan kerangka historis penulisannya,
para ahli biblika melihat keterhubungan antara perikop ini dengan huru-hara
pemberontakan Yahudi pertama pada 66-70.[16] Perikop ini meramalkan
bahwa Bait Herodes akan diluluhlantakkan sama sekali. Hal ini terjadi melalui
tangan Titus, seorang jendral Romawi, pada 70. Para sarjana menunjukkan bahwa
ayat terakhir perumpamaan penggarap kebun anggur yang jahat (12:9) menyinggung
tentang pembantaian dan pembuangan orang-orang Yahudi dari Yerusalem oleh
penguasa Romawi setelah tahun 70.[17] Menurut para sejarawan,
pengusiran orang-orang Yahudi dari Yerusalem baru terjadi setelah pemberontakan
Bar Kokhba.[18]
Ada pula yang berpendapat bahwa Markus 14:58-59 yang berkenaan dengan tuduhan
palsu bahwa Yesus mengancam untuk menghancurkan Bait Allah dan akan
membangunnya kembali dalam tiga hari merupakan petunjuk yang lain mengenai
penghancuran Bait Allah pada 70.[19]
b) Penulisnya
Injil Markus
sendiri sebenarnya anonim. Namun, sejak zaman Papias pada abad kedua, naskah
ini dianggap ditulis oleh Markus, saudara sepupu Barnabas,[20] yang dikatakan telah
mencatat pidato rasul Tuhan. Papias mendasarkan otoritasnya pada Yohanes
Tua-tua. Naskah Papias itu tidak ada lagi, namun kita dapat membacanya dari
kutipan Eusebius dari Kaesaria:
Inilah yang dikatakan Yohanes Tua-tua, “Markus, yang menjadi penerjemah
Petrus itu, dengan hati-hati telah menulis, sekalipun tidak urut, semua
perkataan dan pekerjaan Tuhan yang diingatnya. Ia sendiri belum pernah
mendengar perkataan Tuhan atau menjadi pengikut-Nya. Namun di kemudian hari,
seperti aku katakan, ia menjadi pengikut Petrus. Petrus biasa menyadur
ajaran-ajaran Tuhan tanpa menyusun perkataan-perkataan Tuhan secara sistematis;
sehingga dapat dimengerti jika Markus hanya menulis hal-hal yang dapat
diingatnya. Baginya hanya ada satu tujuan – tidak melewatkan hal-hal yang
didengarnya dan tidak salah dalam menuturkannya.”[21]
Pendapat Irenaeus sejalan dengan tradisi ini,[22] demikian juga pendapat
Origenes dan Tertullianus.[23] Clemens Aleksandria, yang
menulis pada akhir abad II, melaporkan tradisi purba bahwa Markus didesak oleh
para pendengar khotbah Petrus di Roma agar ia menulis apa yang dikatakan oleh
rasul Petrus itu.[24] Mengikuti tradisi ini,
pada umumnya para sarjana biblika berpendapat bahwa Injil ini ditulis di Roma.
Sebagaimana telah dibicarakan, dalam Injil ini ada nuansa penganiayaan. Hal
ini memberi petunjuk bahwa Injil ini ditulis dengan tujuan untuk memperkukuh
iman persekutuan orang beriman di tengah penganiayaan yang mereka alami.
Penganiayaan berat atas umat Kristen di Roma di bawah pemerintahan Nero
dianggap sebagai petunjuk yang menguatkan pendapat bahwa Injil ini ditulis di
Roma.[25] Digunakannya banyak
kosakata Latin dalam Injil Markus juga menunjukkan bahwa Injil ini ditulis di Roma.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir ini, teori Roma-Petrus mulai
diragukan. Beberapa ahli biblika yakin bahwa dalam Injil Markus terdapat
kesalahan letak geografis dan adat-istiadat Galilea.[26] Hal ini menunjukkan bahwa
penulis, atau paling tidak sumber yang digunakannya, tidak akrab dengan letak
geografis dan adat-istiadat Galilea, tidak seperti Petrus historis.[27] Sementara ahli juga
meragu-kan bahwa Injil ini berkaitan dengan penganiayaan Nero, sebab
penganiayaan terhadap umat Kristen pada waktu itu terjadi secara luas, bahkan
secara sporadis terjadi pula di luar kota Roma.[28]
Para ahli biblika mutakhir pada umumnya sepakat bahwa Injil Markus adalah Injil kanonik yang ditulis
pertama kali, sedangkan pandangan tradisional, yang populer di kalangan bapa-bapa
gereja (terutama Agustinus dari Hippo), menganggapnya sebagai Injil kanonik
yang ditulis pada urutan kedua, setelah Injil Matius. Pendapat bahwa Injil Markus ditulis lebih dulu
daripada Injil Matius didasarkan pada hipotesis dua sumber dan hipotesis sumber
Q (hal ini dibicarakan oleh para ahli biblika secara panjang lebar dalam
problema sinoptik).
3) Injil Lukas
a) Penulisnya
Penulis Injil
Lukas kemungkinan adalah seorang Kristen non-Yahudi.[29] Tradisi menganggap bahwa
penulisnya adalah Lukas, kawan sekerja Paulus. Namun pendapat mutakhir tentang
hal ini bermacam-macam.[30]
Tradisi awal, sebagaimana disaksikan oleh kanon Muratori (+200),
Irenaeus (+170), Clemens Aleksandria, Origenes, dan Tertullianus,
berpegang pada pendapat bahwa Injil Lukas dan Kisah Para Rasul keduanya ditulis
oleh Lukas, kawan sekerja Paulus.[31] Manuskrip tertua Injil
ini (kira-kira tahun 200) telah berjudul “Injil Lukas.” Bahwa penulis Injil
Lukas dan Kisah Para Rasul adalah orang yang sama, tersirat dalam pendahuluan
kedua kitab itu. Keduanya ditujukan untuk Teofilus, dan dalam Kisah, penulis
secara langsung mengatakan “dalam bukuku yang pertama” tentang kehidupan Yesus.
Di samping itu, dalam kedua kitab tersebut terdapat kesamaan linguistik dan
teologis, yang menunjukkan bahwa keduanya berasal dari seorang penulis. Kedua
kitab itu juga berisi pokok pembicaraan yang sama.[32] Namun, secara internal,
naskah Injil ini anonim.
Bukti internal dalam Kisah, terutama dari penggunaan kata ganti orang
pertama jamak dalam narasinya, menunjukkan bahwa penulisnya adalah kawan
sekerja Paulus.[33]
Bukti lain kita temukan dalam surat-surat Paulus, di mana Paulus menyebut Lukas
sebagai ‘tabib terkasih.’ Sementara ahli PB memang melihat penggunaan
terminologi-terminologi medis dalam kedua kitab itu.[34]
Pandangan tradisional bahwa Lukas adalah penulis Injil ketiga diterima
secara luas di kalangan ahli-ahli PB.[35] Namun, di antara
ahli-ahli biblika mutakhir tidak ada kesepakatan mengenai siapakah penulis
Injil Lukas yang sebenarnya.[36]
b) Waktu
penulisan
Beberapa ahli
PB berpendapat bahwa Injil ini ditulis di antara 80-90.[37] Menurut Donald Guthrie,
Injil ini telah dikenal sebelum akhir abad pertama dan diakui sejak awal abad
kedua.[38] Sedangkan Helmut Koester
menyatakan bahwa kecuali dari Marcion, tidak ada bukti yang pasti bahwa Injil
ini telah dikenal sebelum 150.[39]
Banyak ahli biblika dewasa ini berpendapat bahwa Lukas menggunakan Markus
sebagai salah satu sumbernya.[40] Jika benar bahwa Markus
ditulis di sekitar keruntuhan Bait Allah di Yerusalem, maka Lukas pasti tidak
mungkin ditulis sebelum 70. Pandangan ini juga meyakini bahwa prediksi Lukas
mengenai keruntuhan Bait Allah bukanlah akibat ramalan ajaib Yesus tentang apa
yang akan terjadi di masa depan, melainkan ditulis berdasar pengetahuan setelah
fakta itu terjadi. Mereka meyakini bahwa pembicaraan dalam Lukas 21:5-30 hanya mungkin terjadi jika Injil ini ditulis
setelah 70.[41]
Para ahli yang mendukung pendapat ini mengusulkan bahwa waktu penulisan Injil
Lukas adalah di antara 75–100. Marcion (144) telah menggunakan Injil ini, namun
ia menyebutnya sebagai “Injil Tuhan.”[42]
Beberapa ahli PB mengusulkan waktu penulisan yang lebih awal, yaitu sekitar
37-61.[43] Hal ini didasarkan pada
alasan bahwa Injil ini ditujukan untuk ‘Teofilus yang mulia,’ yang rupanya
menunjuk pada Teofilus ben Ananus, Imam Besar Israel pilihan pemerintah Romawi
antara tahun 37–41. Seandainya pendapat ini benar, maka Injil ini ditulis
sekitar 4-8 tahun setelah kematian Yesus.
Beberapa ahli PB yang lain berpendapat bahwa Lukas mengumpulkan bahan-bahan
tulisannya yang unik selama pemenjaraan Paulus di Kaesaria, ketika Lukas
mengunjunginya.[44]
Paulus mengatakan bahwa Lukas beberapa kali mengadakan perjalanan bersamanya.
Namun, Guthrie memberi catatan, bahwa kebanyakan bukti-bukti untuk menentukan
waktu penulisan Injil ini hanyalah didasarkan pada perkiraan.
b. Kesamaan-kesamaan di antara Injil-injil Sinoptik
Injil-injil Sinoptik
semua menceritakan sosok Yesus dan memproklamasikan Dia sebagai Anak Allah,
Anak Manusia, Mesias dan hakim akhir zaman. Penceritaannya bermula entah dari
kelahiran Yesus atau dari peristiwa pembaptisan-Nya dan berakhir dengan cerita
tentang kubur yang kosong serta penampakan diri Yesus setelah kebangkitan-Nya
(meskipun teks Markus hanya berakhir dengan cerita kubur yang kosong saja; lht.
Mk. 16). Dalam Injil-injil ini diceritakan bagaimana Yesus menyembuhkan orang
sakit, mengusir setan, mengampuni dosa, dan menunjukkan kuasa-Nya atas alam.
Selintas, ketiga Injil ini seakan-akan menunjukkan kemahatahuan dan
kemahahadiran Yesus, sehingga Yesus digambarkan sebagai inkarnasi Allah di
bumi, yang mengetahui rahasia pikiran Allah, serta berbicara dengan kuasa
Allah. Yesus menyebut Allah sebagai Bapa-Nya dan mengatakan bahwa segala
sesuatu telah diserahkan oleh Bapa kepada-Nya.
Di samping itu, tema utama yang diberitakan dalam ketiga Injil ini sama,
yaitu kedatangan Kerajaan Allah. Dalam hal ini, Matius lebih suka menggunakan
istilah ‘Kerajaan Surga’ (Matius menggunakan istilah ini 35 kali) daripada
‘Kerajaan Allah’ (yang hanya digunakan 6 kali); sedangkan Markus dan Lukas
lebih suka menggunakan istilah ‘Kerajaan Allah,’ dan tidak menggunakan istilah
‘Kerajaan Surga.’ Namun dalam Injil-injil Sinoptik, kedua istilah tersebut
digunakan dengan makna yang sama.
1.
Gagasan-gagasan teologisnya
a. Tentang Kerajaan Allah
1) Kedatangan
Kerajaan Allah
Tema utama
pemberitaan Injil-injil Sinoptik adalah kedatangan Kerajaan Allah, yang
dibicarakan dalam hubungannya dengan pribadi Yesus dan seluruh peristiwa yang
menyekitarinya; mulai dari kelahiran, pembaptisan, pelayanan, mujizat-mujizat
yang dilakukan, pengajaran, sampai dengan kematian, kebangkitan dan
kenaikan-Nya ke surga (dalam Injil Matius, Yesus lebih banyak berbicara
mengenai Kerajaan Surga ketimbang tentang diri-Nya sendiri).[45]
Dalam Injil-injil Sinoptik disaksikan bagaimana Allah melakukan intervensi
dalam sejarah manusia melalui dan di dalam pribadi Kristus Yesus. Di mata para
murid Yesus dan orang-orang sezaman-Nya, Yesus adalah seorang nabi, seorang
guru yang berkelana untuk memberitakan Kerajaan Allah, namun ditolak oleh para
pemuka agama dan kemudian dibunuh. Kalaupun ada perbedaan dengan nabi-nabi PL,
maka perbedaannya adalah: nabi-nabi PL menubuatkan kedatangan Kerajaan Allah
dengan segala kemuliaannya, sedangkan
Yesus menggenapi nubuat itu. Dengan kata lain, di dalam dan melalui diri
Yesus, Kerajaan Allah itu sesungguhnya telah hadir. Hal ini antara lain dapat
kita lihat dari kesaksian Injil-injil Sinoptik berikut ini:
1) Menurut kesaksian Injil Markus, peristiwa pembaptisan Yesus (Mk. 1:9-11)
disertai dengan turunnya Roh Allah dan adanya suara dari langit, “Inilah Anak
yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.” Ungkapan ini merupakan kutipan dari
Mazmur 2:7 yang digabungkan dengan Yesaya 42:1. Dengan rumusan ini, penulis
Injil bermaksud menunjukkan bahwa pengharapan akan kedatangan Kerajaan Allah
dengan segala kemuliaannya telah digenapi dalam diri Yesus, yang melalui
peristiwa pembaptisan itu telah diteguhkan menjadi Raja Mesias, Hamba TUHAN.
Mazmur 2:7 termasuk dalam Mazmur Raja, yang formulasinya selalu digunakan oleh
umat Israel ketika mereka meneguhkan seorang raja, karena raja diyakini sebagai
orang yang dikenan Allah untuk melaksanakan pemerintahan atas nama Allah. Pada
saat peneguhan seorang raja, Imam Besar akan mengucapkan, “Anak-Ku engkau!
Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Kini rumusan tersebut dikenakan
kepada Yesus, dan ditambahkan dengan kutipan Yesaya 42:1, “Kepada-Nya Aku
berkenan.” Kejadian luar biasa yang lain dalam peristiwa pembaptisan Yesus
adalah turunnya Roh Kudus. Hal ini menggenapi apa yang diutarakan dalam ayat
tersebut selanjutnya, “Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya.” Hal ini
mencerminkan keyakinan penginjil bahwa Yesus telah diurapi dan dilantik sebagai
Raja Mesias dan hamba TUHAN (bdk. Luk. 4:18, yang mengutip Yes. 61:1).[46]
2) Setelah melewati pencobaan di padang gurun, Yesus mengawali pelayanan-Nya
di Galilea dengan suatu proklamasi, “Waktunya sudah genap, Kerajaan Allah sudah
dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mk. 1:15). Kairos (‘waktu’ atau ‘saat’) merupakan
konsep teologis yang akrab bagi umat Yahudi, yaitu sebagai datangnya zaman
rahmat, yang di dalamnya Allah menampakkan kemuliaan-Nya, sekaligus merupakan
zaman pembebasan dan pemulihan kejayaan Israel. Waktu atau saat yang mereka
tunggu itu, kini telah dekat (di dalam Kristus). Kata Yunani enggizō yang diterjemahkan mendekat dapat berarti mendekat secara
waktuwi, atau mendekat secara spasial (dalam arti tempat). Secara waktuwi,
Yesus memproklamasikan bahwa Kerajaan Allah sudah hampir tiba, yaitu melalui
seluruh pelayanan-Nya yang berpuncak pada kematian-Nya di kayu salib. Itulah
sebabnya penulis Injil Markus menamai seluruh karangannya sebagai ‘Injil.’
Sedangkan secara spasial, proklamasi Yesus itu menyatakan bahwa Kerajaan Allah
sudah menjadi realitas, sudah dan sedang hadir di tengah-tengah kehidupan
manusia, sudah dan sedang mewujudnyatakan keberadaannya di tengah-tengah
sejarah, melalui kehadiran Yesus dengan seluruh pelayanan-Nya. Proklamasi Yesus
tentang kehadiran Kerajaan Allah adalah untuk “menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, memberi
penglihatan kepada orang-orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas,
dan memberitakan tahun rahmat Tuhan” (Luk. 4:18-19). Awal pekerjaan Yesus di
Galilea sekaligus merupakan maklumat peperangan melawan kuasa Iblis. Karena
itu, setiap orang kini terpanggil untuk mengambil keputusan: berpihak kepada
Kristus, atau berpihak kepada Iblis (bdk. Luk. 11:14-22). Seruan untuk bertobat
merupakan panggilan untuk berbalik arah dan berpihak kepada Allah, yang telah
berkarya di dalam dan melalui diri Yesus. Hal ini merupakan kabar baik yang
harus diterima dengan iman.
3) Di Kaesaria Filipi, sesudah Yesus memberi makan 5000 orang, orang banyak
ingin menjadikan Dia raja. Tetapi Yesus mengundurkan diri dari mereka. Kemudian
Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Petrus menjawab, “Mesias dari Allah” (Mk. 8:29; Luk.
9:20). Dalam konsepsi Yahudi, Mesias selalu dihubungkan dengan Kerajaan Allah
dengan segala kemuliaannya. Namun Yesus menjawab, bahwa Anak Manusia harus
menderita sengsara (Mk. 8:31; Luk. 9:22). Yesus tidak menyangkal pengakuan
Petrus, namun Ia menambahkan unsur baru, karena Ia mengidentikkan diri-Nya
dengan ‘Anak Manusia’ (Luk. 9:22), sebagai penggenapan Daniel 7:13-14. Meskipun
demikian, tidak seperti gambaran dalam kitab Daniel, Anak Manusia dalam
Injil-injil Sinoptik tidak hadir dengan segala kemuliaan-Nya, melainkan dengan
penderitaan yang harus dialami-Nya. Jadi, melalui jawaban-Nya itu, secara tidak
langsung Yesus menggabungkan gagasan tentang Raja Mesias dengan gagasan tentang
Hamba TUHAN yang menderita. Setelah peristiwa itu, enam hari kemudian Petrus
dibawa ke puncak bukit untuk menyaksikan peristiwa transfigurasi. Rangkaian ini
menunjukkan bahwa puncak kehadiran Kerajaan Allah harus dicapai melalui
penderitaan Mesias, Hamba TUHAN.
Dari beberapa
fakta di atas, para penginjil ingin menunjukkan bahwa Kerajaan Allah, yang
dinantikan oleh umat Yahudi, sesungguhnya sudah hadir di dalam dan melalui diri
Yesus. Sementara orang berpendapat bahwa Kerajaan Allah adalah Firdaus, yang
akan dibangun oleh manusia di atas bumi, dengan bertumpu pada pekerjaan Yesus
yang bersifat etis. Pendapat lain mengatakan bahwa Kerajaan Allah merupakan
puncak proses evolusi dalam dunia ini. Kesadaran etis manusia makin lama
menjadi semakin tinggi, sehingga tingkah-lakunya menjadi semakin baik. Pada
saatnya nanti, manusia akan dapat hidup tenang dalam kebersamaan dengan
sesamanya. Ada pula yang berpendapat bahwa Kerajaan Allah identik dengan
pertumbuhan gereja; atau dengan kata lain, gereja adalah wujud nyata dari
Kerajaan Allah. Itulah sebabnya Allah disebut sebagai Raja Gereja. Benarkah
Kerajaan Allah di bumi itu sama dengan gereja? Pendapat ini perlu ditinjau
ulang dengan seksama.
Agaknya, lebih dapat dipertanggungjawabkan jika Kerajaan Allah dipahami
bertolak dari pewartaan Injil-injil Sinoptik sendiri. Dalam terang pewartaan
Injil-injil Sinoptik, Kerajaan Allah dapat dipahami sebagai berlakunya
pemerintahan Allah yang dinamis dan eskhatologis di tengah sejarah manusia.
Dinamis karena tindakan Allah itu terwujud secara nyata dalam sejarah manusia.
Eskhatologis karena Kerajaan Allah berhubungan dengan tindakan Allah di akhir
zaman (eskhaton), yaitu zaman rahmat.
Dalam gagasan Yahudi, eskhaton
memiliki kesamaan arti dengan zaman Mesias; karena Mesiaslah yang menghadirkan
Kerajaan Allah. Dalam pengertian ini, wibawa Allah selaku Raja bukan saja
diakui, melainkan juga diberkakukan, dan kehendak-Nya ditaati dalam kehidupan
manusia. Dengan demikian, Kerajaan Allah bukan kerajaan dalam arti kewilayahan,
melainkan pemerintahan Allah selaku raja. Dalam diri Yesus dan pelayanan-Nya,
pengharapan eskhatologis itu sudah terealisasi. Karena itu, pada saat ini,
setiap orang yang menerima Dia sudah berada dalam zaman eskhatologi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Charles Harold Dodd yang mengartikan kata ēnggiken (bentuk aorist aktif untuk orang ketiga tunggal dari kata enggizō) sebagai ‘sudah datang.’
Beberapa pernyataan yang mendukung pendapat bahwa, menurut Injil-injil Sinoptik,
Kerajaan Allah sudah datang:
·
Tidak ada gunanya
Yesus mengatakan ‘waktunya sudah genap’ jika Kerajaan Allah tidak hadir dalam
diri-Nya.
·
Pengusiran setan yang
dilakukan Yesus merupakan tanda mulai berlakunya Kerajaan Allah (Luk. 11:20).
·
Lukas 17:21, “Kerajaan
Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, sebab Kerajaan Allah ada di antara
kamu.”
·
Pernyataan dalam
Matius 21:31, “Sebenarnya para pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal
lebih dahulu masuk Kerajaan Allah ...” menunjukkan bahwa Kerajaan Allah telah
hadir dalam diri Yesus, yang memberitakan pengampunan Allah kepada mereka.
·
Secara tidak langsung,
mujizat-mujizat yang dilakukan oleh Yesus merupakan tanda-tanda kedatangan
Kerajaan Allah.
·
Dengan menggunakan
perumpamaan-perumpamaan, Yesus memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di
dunia ini (misalnya, Mk. 4:20-24 tentang biji sesawi; Mat. 13:23, tentang
Kerajaan Allah seperti ragi; Mk. 4:26-29, tentang benih yang tumbuh).
Perumpamaan-perumpamaan tersebut menggambarkan Kerajaan Allah sebagai sesuatu
yang telah ada, hidup dan bergerak secara dinamis menuju puncak kesempurnaannya
kelak.
2) Hubungan
Kerajaan Allah dengan Allah sebagai Bapa
Dalam Lukas
11:2; 12:22 dan 32, Yesus memperkenalkan Allah sebagai Bapa-Nya. Hal ini
merupakan pengajaran dasar yang menjelaskan hubungan antara orang percaya
dengan Allah, yang dimungkinkan oleh karya Allah sendiri melalui diri Yesus.
Sebelum itu tidak ada orang Yahudi yang berani menggunakan sebutan ‘Abba’ bagi
Yahwe. Apa yang diungkapkan Yesus tidak bermaksud mengatakan bahwa setiap orang
boleh menyebut Allah sebagai Bapa, melainkan hanya orang-orang percaya yang
telah menerima segala karya Allah dengan iman. Orang-orang percaya boleh
menyebut Allah sebagai Bapa hanya oleh karya penyelamatan-Nya yang dikerjakan
dalam diri Yesus. Sebutan Bapa melukiskan relasi yang akrab, bukan mengandaikan
nisbah genealogis-biologis. Sebagaimana gagasan Aramik, Bapa mempunyai makna
asal-usul dari segala keberadaan, sekaligus menjadi sumber pertolongan,
pengharapan dan pemeliharaan. Kerajaan Allah sudah hadir di tengah kehidupan
manusia, dan melalui Yesus, Allah telah menyatakan diri sebagai pemelihara
umat-Nya dengan sifat kebapaan-Nya.
3) Hubungan
Kerajaan Allah dengan gereja
Kebanyakan ahli
biblika berpendapat bahwa kedatangan Yesus tidak bermaksud mendirikan gereja
atau agama baru, sebagaimana pelayanan yang dilakukan-Nya pun tetap dalam
lingkup kehidupan keagamaan umat Israel. Yesus datang untuk memberitakan
Kerajaan Allah agar dapat diterima secara pribadi oleh umat manusia. Namun
tidak berarti bahwa Kerajaan Allah bersifat individual dan tidak memiliki aspek
persekutuan. Hal ini terdukung oleh fakta:
·
Dalam pengertian
tentang Kerajaan Allah terkandung pula gagasan keumatan, karena Raja pasti
memiliki umat yang dirajai. Persekutuan umat yang menerima dan memberlakukan
wibawa Allah selaku rajanya itulah umat Kerajaan Allah. Mereka dipersekutukan
dalam satu ikatan ketaatan kepada Allah selaku rajanya.
·
Jika Yesus menyetujui
jawaban Petrus bahwa Dia adalah Mesias, maka secara tidak langsung, di dalamnya
terkandung pula gagasan keumatan, sebab, dalam PL, gelar Hamba Allah dan Anak
Manusia digunakan dalam konteks fungsionalnya di tengah umat Allah. Anak
Manusia dalam Daniel 7 mewakili orang-orang suci yang menjadi milik Yang
Mahatinggi. Hamba TUHAN dalam Yesaya 53 memberikan nyawanya untuk umatnya. Jadi
dalam kedua gelar tersebut secara implisit terkandung pula gagasan keumatan.
Perkataan Yesus, “Akulah gembala yang baik ...” itu pun mengungkapkan bahwa
kehadiran-Nya adalah demi umat yang digembalakan-Nya.
·
Jika kita melihat
pelayanan Yesus, sekalipun Ia tidak bermaksud membentuk gereja, namun dengan
pemanggilan para murid, yang kemudian diikuti oleh banyak orang yang menjadi
percaya, maka wajar jika sebagai akibatnya terbentuk suatu persekutuan umat.
Sekalipun gereja tidak identik dengan Kerajaan Allah itu sendiri, namun tidak
dapat diingkari bahwa gereja berada dalam lingkup Kerajaan Allah itu.
Seharusnya gereja mampu menunjukkan kehadiran Allah di tengahnya melalui
segenap kehidupannya.
4) Hubungan
antara etika Kristen dengan Kerajaan Allah
Albert Schweitzer
keberatan jika Yesus disamakan dengan Raja Mesias yang menghadirkan Kerajaan
Allah. Ia lebih menekankan aspek eskhatologis Kerajaan Allah. Menurutnya, Yesus
adalah seperti nabi biasa yang mengharapkan kedatangan Kerajaan Allah dalam
waktu dekat. Sehubungan dengan itu, etika Kristen dinilai sebagai “an ethic for the interim” (etika
untuk sementara). Namun A.M. Hunter menyanggahnya. Menurut Hunter, sampai saat
ini etika Kristen merupakan etika yang paling tinggi tuntutannya. Karena itu,
mustahil jika etika Kristen hanya menjadi etika sementara. Etika yang dibawa
oleh Yesus bukan hanya sebagai Taurat baru yang memiliki kedudukan sama dengan
Taurat yang diberikan kepada Musa, karena etika Yesus itu memenuhi pengharapan
orang-orang yang mengambil bagian dalam Kerajaan Allah. Hidup dalam lingkup
Kerajaan Allah ditandai dengan pola hidup yang beralas pengajaran Kristus, yang
ukurannya berbeda dengan ukuran dunia.[47]
Khotbah di Bukit menunjukkan bahwa eskhatologi bergandeng tangan dengan
moralitas dan etika. Khotbah Yesus itu sekaligus bersifat eskhatologis dan
mesianis. Melaluinya nubuat nabi-nabi digenapi dan kaidah Kerajaan Allah
dinyatakan. Seluruh pengajaran etis dalam khotbah tersebut didasarkan pada
karunia Bapa yang telah menyatakan kerajaan-Nya. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa etika Khotbah di Bukit adalah ‘etika anugerah,’ yang sangat antitetis
terhadap hukum Taurat, yang selama ini ditekankan oleh para pemimpin agama
Israel secara harfiah. Setelah delapan ucapan bahagia (Mat. 5:3-12), Yesus
mengajarkan penerapan hukum Taurat yang benar sebagai etika anugerah:
§ Kamu telah mendengar firman: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus
dihukum. Tetapi aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah kepada saudaranya
harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke
Mahkamah Agama, dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka
yang menyala-nyala (Mat. 5:21-22).
§ Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah
dengan dia di dalam hatinya (Mat. 5:27-28).
§ Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi
surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang
menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah;
dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah (Mat.
5:31-32).
§ Kamu telah mendengar firman: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah
sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali
bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah tahta Allah, maupun demi
bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena
Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah engkau bersumpah demi kepalamu,
karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun.
Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak
(Mat. 5:33-37).
§ Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi
Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,
melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini
bajumu, serahkan juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan
sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang
yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu
(Mat. 5:38-42).
§ Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah
musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi
mereka yang menganiaya kamu (Mat. 5:43-44).
Itulah moral
ideal manusia Kerajaan Allah, yang seharusnya menjadi pola kehidupan bagi
setiap orang beriman. Tuntutan ini tentu saja merupakan panggilan, atau lebih
tepatnya, konsekuensi logis, yang tidak ringan bagi manusia Kerajaan Allah.
Apakah moral ideal itu merupakan syarat keselamatan? Tentu saja bukan,
melainkan sebagai konsekuensi logis hidup dalam keselamatan. Seakan-akan hal
ini merupakan ideal utopis, namun itulah rancang-bangun Kerajaan Allah yang
harus menjadi arah pandang etis bagi setiap orang beriman. Jika etika itu
diringkaskan, maka intinya adalah kasih. Kasih merupakan kunci utama moralitas
Kerajaan Allah.
Ketaatan terhadap moralitas ideal ini jauh melampaui ketaatan legalistik
terhadap hukum Taurat. Pendorong untuk melakukannya bukanlah ketaatan lahiriah,
melainkan kesadaran diri atau suara hati, yang ditimbulkan oleh adanya relasi
kasih, baik dengan Allah maupun dengan sesama. Ketaatan tersebut dilakukan
dengan kerelaan dan bukan dengan keterpaksaan, sehingga tuntutan moral ideal
tersebut tidak dianggap sebagai beban, melainkan kewajaran semestinya.
Tidak seperti ketaatan legalistik yang menitikberatkan sisi lahiriah suatu
perbuatan, ketaatan terhadap moralitas ideal yang didasarkan pada suara hati
mencakup pula motif terdalam dari suatu perbuatan. Dengan demikian rancangan
dan pikiran pun tercakup dalam ranah penilaiannya. Oleh sebab itu, moralitas
ideal manusia Kerajaan Allah sesungguhnya mencakup totalitas kemanusiaan kita.
b. Kristologinya
1) Kristologi
Injil Markus
Dalam Injil
Markus, kristologi merupakan unsur penting – kalau tidak terpenting. Markus
menunjukkan hal ini dalam pembukaan Injilnya, “Inilah permulaan Injil tentang
Yesus Kristus, Anak Allah” (Mk. 1:1). Yesus Kristus sendirilah Injil (Kabar
Baik) itu. Penulis Injil ini bermaksud mempertemukan para pembaca atau
pendengarnya dengan Yesus, sehingga mereka dapat memahami misteri tentang
siapakah diri-Nya.
Studi kritis, terutama analisis redaksional, menunjukkan bahwa Injil Markus
disusun secara cermat sebagai tulisan teologis dalam bentuk narasi sastrawi.
Injil ini bukan semata-mata karya historis dan biografis dalam pengertian modern,
tetapi lebih merupakan proklamasi teologis yang dimaksudkan untuk membawa
pembacanya ke dalam relasi dengan Kristus secara real. Sebagaimana dikatakan
Martin Kelber, Markus 1:1 bukanlah permulaan Injil yang ditulis secara
kebetulan, melainkan benar-benar dimaksudkan sebagai pengantar kepada Yesus
Kristus. Melalui proklamasi Markus itu pembaca dipertemukan dengan Yesus dan
berelasi dengan-Nya. Memang, relasi tersebut harus diperdalam dengan cara
menapakkan kaki di jalan-Nya, yaitu jalan penderitaan dan jalan salib. Mengikut
Yesus berarti meneladan kesediaan-Nya menderita karena ketaatan-Nya kepada
Bapa. Mengikut Yesus berarti meneladan kebenaran-Nya. Sehubungan dengan itu,
Markus bukan saja menunjukkan identitas Yesus, melainkan juga identitas
kemuridan yang sesungguhnya.[48]
Markus mengawali dan mengakhiri cerita pelayanan duniawi Yesus dengan gelar
kristologis yang dilekatkan kepada Yesus, yaitu ‘Anak Allah.’ Isi gelar
kristologis tersebut dijelaskan dalam 1:1 hingga 15:39. Perrin berpendapat
bahwa Markus berusaha mengajar umat Kristen waktu itu mengenai kristologi yang
benar.[49] Pada prinsipnya, Kelber
sepakat dengan gurunya (Perrin), demikian pula Weeden,[50] bahwa kristologi sesat
agaknya telah berkembang pada masa hidup penulis Injil Markus. Menurut Kelber, kristologi
jemaat perdana di Yerusalem sudah berkembang, namun kemudian dihancurkan oleh
kekuasaan Romawi pada 70. Sedangkan yang dimaksud kristologi sesat adalah
kristologi Hellenistis, yang berpendapat bahwa Kristus adalah ‘manusia-ilahi.’
Ajaran sesat ini kemungkinan sama dengan ajaran sesat yang dihadapi oleh Paulus
di Korintus. Mereka melihat Yesus sebagai Juruselamat adikodrati, yang
diberkati dengan kuasa untuk berbuat mujizat serta pengetahuan supranatural,
yang kemudian diajarkan kepada para pengikut-Nya. Jadi, kelompok yang dilawan
oleh penulis Markus adalah salah satu bentuk kekristenan elitis, yang
membanggakan pengetahuan esoteris, kuasa untuk membuat mujizat, dan bersikap
sombong karena merasa sebagai orang-orang yang terpilih.
Bagi penulis Injil Markus, gelar ‘Anak Allah’ bagi Yesus harus dimengerti
dalam terang gelar yang lain, yaitu ‘Anak Manusia.’ Sekalipun Yesus sendiri
kemungkinan tidak pernah menyebut diri-Nya ‘Anak Manusia,’ namun dalam Injil
Markus seakan-akan gelar tersebut dikatakan oleh Yesus. Lebih dari itu, Yesus
menurut Injil Markus menggunakan gelar ini secara khusus sebagai koreksi atas
pemahaman umum terhadap gelar ‘Anak Allah.’ Misalnya, dalam 8:27-38, Yesus
menanggapi pengakuan Petrus bahwa Dia adalah Mesias dengan mengatakan bahwa
Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua,
imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga
hari. Sama halnya, ketika Imam Besar bertanya kepada-Nya, “Apakah Engkau
Mesias, Anak dari Yang Terpuji?” (14:61), maka Yesus menjawab, “Akulah Dia,”
namun segera disusul dengan penjelasan “dan kamu akan melihat Anak Manusia
duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di
langit” (14:62).
Tekanan Markus adalah bahwa kita tidak dapat memahami Yesus, karena itu
harus menjadi murid-murid-Nya, hingga kita menyadari bahwa hal yang paling
penting adalah penderitaan Yesus karena pelayanan-Nya dan bahwa hal itu harus
terjadi pada diri kita. Yesus bukanlah Mesias dengan kemuliaan duniawi, tetapi
Mesias yang menderita karena kasih-Nya kepada Allah dan manusia. Dalam paruh
pertama Injilnya, dengan cara lembut penulis Markus mempersiapkan pembacanya
akan kenyataan ini. Bagian ini hampir seluruhnya merupakan kisah tentang
‘manusia-ilahi,’ yang terpusat pada ‘pekerjaan-pekerjaan Yesus yang besar’ dan
penanaman informasi esoteris kepada para murid-Nya. Hardikan Yesus atas Petrus
dalam 8:33, menunjukkan bahwa pandangan Petrus terhadap diri-Nya sebagai Mesias
dengan segala kemuliaannya, bukan saja tidak tepat, melainkan juga demonis.
Jelas bahwa penulis Markus ingin meluruskan pengertian para pembacanya. Jika
selama ini mereka merasa bahwa pengertian mereka terhadap Yesus sudah benar,
maka sekarang penulis Markus justru menyatakan bahwa Yesus sendiri
mempersalahkan mereka.
Jika kita cermati, penulis Injil Markus bukannya tidak mempersiapkan para
pembacanya untuk sampai pada pengertian sebagaimana dikehendaki Yesus dalam
8:33. Dalam seluruh paruh pertama Injil Markus, Yesus mengidentifikasi diri
dengan mereka yang menderita: mereka yang miskin, sakit dan lapar, orang-orang
berdosa dan orang-orang yang terbuang. Ia menjembatani jurang pemisah antara
orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi. Dalam bab 4 dipaparkan ketidakmampuan para
murid, sama seperti orang-orang banyak yang lain, memahami pengajaran Yesus
tentang ‘rahasia Kerajaan Allah’ yang disampaikan dengan berbagai perumpamaan.
Dengan cara lembut dan kreatif, penulis Injil ini memulai Injilnya dengan
menunjukkan kekeliruan orang-orang non-Kristen yang bersikap elitis dan
triumfalis. Dari 8:33 dan seterusnya, kesalahan-kesalahan itu dikritik dan
dikoreksi oleh Yesus.
Orang sering menganggap pengakuan Petrus sebagai puncak Injil ini. Namun
sesungguhnya, klimaks pemberitaan Markus adalah pengakuan kepala pasukan Romawi
di kaki salib Yesus, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah” (15:39). Di sini,
kristologi Markus dan implikasinya diejawantahkan dalam gaya naratif penulis
yang sangat dramatis dalam menyampikan pemikiran teologisnya. Disalahmengerti
dan akhirnya ditinggalkan oleh para murid-Nya, bahkan rupanya juga ditinggalkan
oleh Allah, Yesus mati dalam penderitaan yang mendalam, baik secara fisik
maupun rohani. Dari atas salib, Ia mengucapkan kata-kata sedih. Ia hanya dapat
berseru kepada Allah dengan suara lantang atas penderitaan-Nya yang berat,
seruan yang tak terucapkan. Dan karena itulah seorang manusia, yang dibenci
oleh para penindas kafir dan para penyembah berhala, dapat disebut ‘Anak
Allah.’
Jadi, inti kristologi Injil Markus adalah: ‘Anak Allah’ = ‘Anak Manusia
yang menderita.’ Konsepsi Markus tentang Yesus pasti termasuk pula kuasa dan
otoritas-Nya yang tersirat dalam gelar ‘Anak Allah’ (seperti kuasa untuk
melakukan mujizat dan mengusir setan, kuasa untuk mengesampingkan hari Sabat dan
kuasa untuk menghakimi). Namun bagi Markus, kuasa dan otoritas itu tetap
tersembunyi dalam diri Yesus hingga dinyatakan nanti pada saat parousia, ketika Yesus kembali dengan
kemuliaan-Nya. Dalam masa selang ini, kita belum berada dalam kemuliaan masa depan
Yesus, sebaliknya, kita dipanggil untuk mengikuti jalan salib-Nya. Gnōsis yang ditinggalkan bagi kita
bukanlah gnōsis esoteris, bukan
pengetahuan yang dianugerahkan kepada orang-orang yang terpilih untuk
diselamatkan, melainkan rahasia Kerajaan yang tersembunyi, yang terlahir dalam
kelemahan; Kerajaan yang harus bertumbuh melalui penderitaan dan perlawanan,
hingga kehendak Allah digenapi. Bukan orang-orang yang memegahkan
keselamatannya atau mereka yang melakukan banyak mujizat akan diselamatkan, melainkan
mereka “yang bertahan sampai akhir” dengan “melakukan kehendak Bapa-Ku,”
kehendak seperti yang diterima Yesus di taman Getsemani. Yesus, “hamba Allah
yang menderita,” bukan hanya Juruselamat kita, melainkan juga harus menjadi
model kita. Kita tidak dapat ikut ambil bagian dalam kebangkitan-Nya, jika
tidak ikut ambil bagian dalam pelayanan kasih-Nya yang rela menderita. Inilah
pesan Markus kepada umat Kristen pada zamannya, yang hingga hari ini masih
harus kita dengar dan kita perhatikan.
2) Kristologi
Injil Matius
Kristologi
Matius, yang ditujukan bagi para pendengar Yahudi, sangat menekankan keyahudian
Yesus. Raison d’etre (alasan
keberadaan) kristologi Matius adalah upaya untuk menggambarkan Yesus sebagai
sosok yang memenuhi standar Yudaisme pada zaman-Nya, bahkan memenuhi tradisi
Yudais kuno, yaitu PL. Sekalipun dalam pemberitaan Matius terdapat sejumlah
gelar eksklusif, seperti ‘Anak Allah,’ yang dikenakan kepada Yesus,
sesungguhnya penulis hanya menyisipkannya sebagai pelengkap bagi tema-tema utamanya,
yaitu Yesus sebagai Mesias yang memenuhi harapan umat Yahudi, Yesus sebagai
guru (rabbi) Yahudi dan Yesus sebagai
inaugurator Kerajaan Allah.
Matius adalah Injil semitis yang ditulis untuk menguatkan umat Kristen
Yahudi dan sebagai apologi bagi orang-orang Yahudi yang belum percaya. Sejak
awal, Matius mengidentifikasi Yesus sebagai keturunan raja Daud dan Abraham.
Dalam alur pemikiran tradisi Yudais, Matius mengidentifikasi Yesus sebagai
sosok Imanuel dalam Yesaya 7:14 (bdk. Mat. 1:23). Motif keyahudian Injil ini
terutama tampak dalam penggambaran peran Yesus sebagai penggenapan harapan
mesianis PL (Mat. 2:4; 2:6). Dengan derajat yang berbeda-beda, hal ini terlihat
dalam seluruh teks Injil Matius.
Matius menunjukkan bahwa peran dan pelayanan Yesus merupakan penggenapan
nubuat Yesaya, terutama mengenai Hamba Tuhan yang menderita (lht. Mat. 3:17,
bdk, Yes. 42:1). Dalam seluruh Injil ini terdapat enam rujukan langsung kepada
Yesaya 53. Hal ini menunjukkan bahwa Matius memang mengidentifikasi Yesus dengan
harapan mesianis Israel (lht. Mat. 20:20-28 dan terutama 26:26-30). Harapan
tentang penebusan dalam Yesaya 53 dipandang telah digenapi melalui penyaliban
Yesus. Di samping itu, Matius juga menampilkan Yesus sebagai penggenapan hukum
Taurat atau hukum Musa yang baru. Seperti Musa, Yesus memimpin keluaran baru
dan Israel baru. Lebih eksplisit lagi, melalui banyak kutipan PL, Matius
menggambarkan Yesus sebagai satu-satunya sosok yang menggenapi hukum Taurat dan
nubuat PL (Mat. 3:15; 5:17-48;12:17-21; 13:35; 21:5, 16, 42; 22:44; 23:39;
26:31; 27:9, 35, 46).
Sebagai agama, Yudaisme sangat menekankan peran rabbi atau guru dengan murid-murid di sekitarnya (bdk. Elia dan
Elisa, 1Raj. 19:19-21). Dalam Yudaisme waktu itu, hubungan murid-guru seperti
ini merupakan hal yang lazim. Karena itu, sekalipun gelar rabbi jarang digunakan dalam Injil ini, wajar jika Matius
menggambarkan Yesus sebagai guru dengan kelompok murid-murid-Nya sendiri.
Memang, dalam Injil ini, Yesus dinyatakan sebagai Mesias dengan lebih jelas dan
lebih eksplisit ketimbang dalam dua Injil Sinoptik yang lain. Sekalipun
demikian, Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai seorang rabbi (Mat. 3:15; 5:17-48; 11:27; 13:10-17; 23:8) dan orang lain
juga mengenal Dia sama seperti guru-guru yang lain, sehingga menyebut-Nya
‘guru’ (Mat. 8:19; 9:11; 12:38; 17:24; 19:16; 22:16, 24, 36). Sebagai guru,
Yesus digambarkan sebagai penyata kehendak Allah dan guru Israel yang benar.
Salah satu motif penulis Injil ini adalah menjawab penolakan Israel atas
ajaran-Nya (bdk. Mat. 11:1-12:50). Sama seperti yang terjadi atas nabi-nabi PL,
ajaran Yesus pun ditolak oleh Israel (Mat. 5:10-12; 24:14). Lebih dari itu,
pengajaran Yesus dengan perumpamaan – yang oleh Matius sangat ditekankan –
merupakan model pengajaran rabbinik waktu itu. Peran Yesus sebagai guru sangat
menonjol dalam Khotbah di Bukit. Matius menggambarkan Yesus sebagai ‘duplikat’
Musa, terutama dalam penekanannya pada ajaran etis. Lokasi tempat Ia mengajar
mengingatkan kita kepada gunung Sinai, tempat Musa menyampaikan hukum Taurat (lht. Mat. 5:21, 31,
33, 38, 43). Hal ini bertentangan dengan berita Lukas (Luk. 6:27-35). Hal yang
perlu dicatat, penggambaran Yesus sebagai ‘duplikat’ Musa adalah untuk
menegaskan otentisitas misi Yesus kepada para pendengar semitis-Nya.
Salah satu kekhasan ajaran Yesus sebagai Mesias adalah penerapannya pada
diri sendiri dan bukan sekadar mengajarkannya kepada orang lain. Inilah prinsip
dasar Matius dalam menampilkan Yesus ketika Ia mengajar tentang Kerajaan Allah.
Pengharapan Yahudi akan Kerajaan Allah terutama bersifat teologis. Kerajaan
Allah adalah harapan apokaliptis. Ciri khas pelayanan Yesus adalah eskhatologi
yang sudah direalisasi, yaitu realitas kekinian Kerajaan Allah secara waktuwi.
Ringkasan pesan Yesus terdapat dalam 4:17, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga
sudah dekat.” Dengan bekata demikian, Yesus menekankan betapa penting pelayanan
yang dilakukan-Nya, karena melalui pelayanan tersebut Ia menghadirkan Kerajaan
Allah yang dinantikan oleh umat Yahudi.
Dalam Injil Matius, imanensi Kerajaan Allah, yang digambarkan dengan
berbagai perumpamaan, sangat mencolok jika dibandingkan dengan Injil-injil yang
lain. Dalam perumpamaan-perumpamaan tersebut, Yesus menekankan bahwa sekalipun
Kerajaan Allah saat ini belum terwujud secara sempurna, namun Kerajaan tersebut
telah hadir dan berkembang dalam diri pada murid-Nya. Hal ini terlihat dengan
jelas dalam perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi. Perlu dicatat bahwa dalam
hal ini Yesus tidak hanya dilukiskan sebagai utusan Kerajaan Allah, melainkan penghadir
Kerajaan itu. Bahkan Yesus diperlihatkan sebagai Raja Kerajaan itu. Ia adalah
Anak Daud dan Anak Manusia yang diharapkan oleh umat Yahudi.
Jadi, ringkasnya, tema utama kristologi Matius adalah: pertama, bahwa Yesus merupakan pelanjut tradisi Yahudi dan tradisi
Kitab Suci. Yesus diperlihatkan sebagai penggenapan hukum Musa dan sosok
mesianis dalam kitab para nabi. Ia menggenapi nyanyian Yesaya tentang Hamba
Tuhan yang menderita, terutama dalam Yesaya 53. Kedua, Yesus diperlihatkan sebagai seorang guru, yang menaati
adat-kebiasaan rabbinik konvensional. Sebagai guru, Yesus diperlihatkan sebagai
‘duplikat’ Musa, terutama melalui Khotbah di Bukit, guru yang belum pernah
diterima oleh umat Israel. Ketiga,
misi Yesus yang ditunjukkan dalam 4:17 adalah meresmikan kehadiran Kerajaan
Allah di bumi, dan dengan demikian menggenapi harapan eskhatologis Yahudi.
Dalam semua itu, Matius menggambarkan Yesus sebagai Mesias yang dinantikan oleh
umat Israel. Namun, sama seperti nabi-nabi alkitabiah yang lain, Ia ditolak
oleh umat-Nya.
3) Kristologi
Injil Lukas
a) Yesus sebagai
nabi
Dalam Lukas
9:18-19 (bdk. Mk. 8:27-28) penulis menunjukkan dengan jelas bahwa selama masa
pelayanan-Nya, Yesus dipahami sebagai seorang nabi. Orang banyak mengira Dia
adalah Yohanes Pembaptis, Elia atau salah seorang di antara para nabi zaman
dulu. Apakah penulis Lukas juga memahami Yesus sebagai nabi? Dalam Injil Lukas
dan Kisah Para Rasul, kata profētēs
seringkali digunakan. Dalam Injil Lukas kita temukan kata ini 27 kali.
4:24 Ketika Yesus masuk rumah
ibadat (synagoge) di Nazaret dan
membaca gulungan kitab, ia dilukiskan sebagai seorang nabi sesuai dengan
tradisi Yesaya. Merupakan hal yang penting bahwa ketika mengawali pelayanan
publik-Nya Yesus tampil sebagai seorang nabi. Ketika orang banyak mulai
berpaling dari pada-Nya, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesung-guhnya
tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” Kemudian Ia memberi contoh
pengalaman Elia dan Elisa.
7:16 Suatu waktu, Yesus mengadakan perjalanan ke Nain dan membangkitkan anak
seorang janda di sana. Cerita ini jelas mengingatkan kita pada sosok Elia
(1Raj. 17). Orang banyak memuliakan Allah dan bernyanyi, “Seorang nabi besar
telah muncul di tengah-tengah kita.”
7:39 Yesus makan malam di rumah seorang Farisi dan di sana seorang wanita
pendosa mengurapi-Nya dengan minyak urapan. Melihat hal ini, orang Farisi itu
berkata dalam hati, “Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu siapakah dan orang apakah
perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu bahwa perempuan itu adalah
seorang berdosa.”
9:8,19 Telah
dikatakan bahwa dalam satu dan lain hal, pada umumnya orang banyak memahami
Yesus sebagai seorang nabi. Herodes mendengar bahwa Yesus mungkin adalah
Yohanes Pembaptis atau Elia, atau salah seorang nabi zaman dulu yang telah
bangkit kembali (Luk. 9:7-8). Segera setelah itu, Yesus bertanya kepada para
murid-Nya mengenai siapakah Dia menurut orang banyak. Murid-murid itu menjawab,
“Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan,
bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit” (Luk. 9:18-19).
13:33 Selama
perjalanan-Nya, beberapa orang Farisi mengingatkan Yesus bahwa Herodes ingin
membunuh-Nya. Yesus menyatakan rencana-Nya, bahwa hal itu harus terjadi di
Yerusalem, seperti dikatakan-Nya, “sebab tidaklah semestinya seorang nabi
dibunuh kalau tidak di Yerusalem. Yerusalem, Yerusalem, engkau membunuh
nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu!”
24:19 Pernyataan yang
paling tegas bahwa Yesus adalah seorang nabi diucapkan oleh salah seorang
murid-Nya setelah kebangkitan-Nya. Ketika sedang berada dalam perjalanan menuju
Emaus, salah seorang murid Yesus tanpa disadari menyatakan kepada Yesus
sendiri, “Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi,
yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan
seluruh bangsa kami.”
Menurut Lukas,
sebutan ‘nabi’ berasal dari Yesus sendiri dan kemudian diikuti oleh orang lain.
Dari ayat-ayat di atas, secara eksplisit ditunjukkan bahwa Yesus adalah seorang
nabi (profētēs). Pembangkitan anak
janda Nain, celaan orang Farisi, pernyataan tentang para nabi yang dibunuh di
Yerusalem dan perikop tentang perjalanan ke Emaus, semua adalah bahan Lukas
sendiri (lazim diberi symbol ‘L’). Bahkan kisah penolakan terhadap Yesus di
Nazaret itu pun khas Lukas, meskipun sebagian didasarkan pada paralelismenya
dalam Injil Markus. Dari semua itu dapat dikatakan bahwa gambaran Lukas tentang
Yesus sebagai nabi sama sekali berbeda dengan gambaran dalam kedua Injil Sinoptik
yang lain, yang tidak begitu menekankan peran kenabian Yesus. Dalam Injil
Lukas, pernyataan-pernyataan mengenai kenabian Yesus selalu ditempatkan secara
tepat pada bagian-bagian pelayanan-Nya:
pada awal pelayanan-Nya di Galilea, dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem dan
di Yerusalem setelah kebangkitan-Nya. Kemudian dalam Kisah dengan jelas
ditunjukkan bahwa Yesus adalah seorang nabi menurut tradisi Musa (Kis. 3:22-23;
7:37).
Namun perlu diingat, jika kristologi hanya bergantung pada gelar-gelar yang
dikenakan kepada Yesus, maka gambaran Lukas tentang diri Yesus sebagai seorang
nabi tentu kurang memadai. Gelar-gelar tersebut tidak cukup mencerminkan
teologi Lukas tentang Yesus. Conzelmann mengatakan bahwa unsur-unsur khas
kristologi Lukas tidak dapat disimpulkan hanya berdasar analisis statistik atas
gelar-gelar yang dikenakan kepada Yesus.[51]
Di atas telah disinggung secara singkat, salah satu unsur utama gambaran
Lukas tentang Yesus sebagai seorang nabi adalah dalam rangka menghubungkan Dia
dengan nabi-nabi PL. Ia membaca gulungan kitab Yesaya, membuat mujizat
sebagaimana dilakukan oleh Elia dan Elisa, menghubungkan diri-Nya dengan Yunus
dan hadir dalam roh Musa. Ketika para murid mencoba bertindak sebagai nabi
dengan menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan orang-orang Samaria
sebagaimana dilakukan Elia, Yesus justru menegur mereka (Luk. 9:54-55).
Roh Allah diam dalam diri seorang nabi merupakan motif penting dalam PL
(Yeh. 2:2; Mi. 3:8 dsb.), dan menurut Lukas, pada diri Yesus pun terjadi
demikian. Dalam beberapa ayat jelas dikatakan bahwa Roh Allah diam dalam
diri-Nya (Luk. 2:27; 3:16, 22; 4:1, 14). Yesus juga menggunakan bahasa
kenabian. Ia mengutuk kota-kota (Luk. 10:13-16), mencela para pemimpin agama
(Luk. 11:37—12:3), memba-wa pemisahan (12:49-53), dan dengan lantang
memproklamasikan Kerajaan Allah.
Ciri khas Injil Lukas lainnya, yang menggambarkan Yesus sebagai seorang
nabi, tampak dari pengulangan motif penolakan.[52] Kisah hidup para nabi biasanya berakhir
dengan ketidakberuntungan, dan Lukas sangat sadar akan hal ini. Ia membeberkan
tindakan para leluhur Israel yang telah menganiaya dan membunuh para nabi.
Bahkan kota besar Sion dikenal bukan karena menerima para nabi, melainkan
karena menjadi tempat kematian mereka (13:34). Ketika Yesus ditangkap, diadili
dan dieksekusi, Ia menggenapi peran puncak para nabi yang perkataannya jarang
sekali menyenangkan hati para pendengarnya.
Benar bahwa Lukas menampilkan Yesus sebagai seorang nabi. Namun, memusatkan
perhatian hanya pada peran Yesus sebagai seorang nabi akan kehilangan
aspek-aspek lain dari kristologi Lukas yang demikian kaya. Dalam Injil ini,
Yesus tidak hanya digambarkan sebagai seorang nabi, melainkan juga sebagai Anak
Allah, Anak Manusia, Kristus dan Tuhan (kurios).
b) Anak Allah dan
Anak Manusia
Injil Lukas
menggunakan sejumlah gelar bagi Yesus yang juga kita temukan dalam Injil Matius
dan Markus. Kadang-kadang penulis Injil ini menyebut Yesus ‘Anak Allah.’ Bahkan
gelar ini diperkenalkan sejak awal. Gabriel memberitahukan kepada Maria bahwa
ia akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamai-Nya ‘Yesus.’
Selanjutnya, malaikat ini menyatakan, “Ia akan menjadi besar dan akan disebut
Anak Allah Yang Mahatinggi” (Luk. 1:31-32). Dalam 1:35, Gabriel memberi
penjelasan, “Roh Kudus akan turun ke atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi
akan menaungi engkau; sebab itu, anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut
kudus, Anak Allah.” Menjadi jelas bahwa Yesus disebut sebagai Anak Allah karena
lahir oleh kuasa Allah.
Selanjutnya, bagi penulis Injil ini, gelar Anak Allah bagi Yesus lebih
menunjuk pada hubungan Yesus dengan Allah Bapa yang unik. Bercermin pada
hubungan antara Yesus dengan Bapa yang unik ini, dalam hubungannya dengan Allah
para murid Yesus pun dapat disebut ‘anak-anak Allah Yang Mahatinggi’ (6:35).
Namun demikian, sesuai dengan pernyataan Gabriel, keanakallahan Yesus tetap
istimewa, sebab bukan hanya terkait dengan hubungan erat-Nya dengan Bapa,
melainkan terkait pula dengan kuasa Allah yang menjadi penyebab kelahiran-Nya.
Tentang cerita pencobaan di padang gurun, kita temukan kisah serupa seperti
yang terdapat dalam Matius (Luk. 4:3, 9; bdk. Mat. 4:3, 6). Namun, dalam cerita
transfigurasi kita temukan perbedaan mengenai suara dari surga. Dalam Injil
Lukas dikatakan, “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia” (9:35).
Sedangkan dalam Injil Matius dinyatakan, “Inilah Anak yang Kukasihi,
kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Mat. 17:5) dan dalam Markus
dikatakan, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” (Mk. 9:7). Di samping
kesamaan dengan kedua Injil Sinoptik yang lain, dalam Injil Lukas kita temukan
pula dua penggunaan gelar ‘Anak Allah’ yang khas Lukas, yaitu dalam ucapan
setan-setan ketika Yesus menyembuhkan orang-orang sakit, “Engkaulah Anak Allah”
(4:41) dan dalam pertanyaan Sanhedrin kepada Yesus, “Kalau begitu, Engkau ini
Anak Allah?” (22:70).
Pertanyaannya, apakah dengan menggunakan gelar ‘Anak Allah’ bagi Yesus,
Lukas bermaksud membicarakan hakikat keilahian Yesus? Jika dicermati dari
setiap konteksnya, agaknya penulis Injil Lukas lebih bermaksud menandaskan
kedudukan dan peran Yesus dalam rangkaian karya dan penyataan diri Allah
daripada membicarakan hakikat ontologis-Nya. Penginjil ingin menunjukkan kepada
pembaca, khususnya Teofilus, atau bahkan para pembaca yang lain, bahwa melalui
diri Yesus, Allah sendirilah yang sedang berkarya, menya-takan diri dan
kehendak-Nya.
Dalam pemberitahuan malaikat Gabriel kepada Maria, jelas bahwa yang hendak
ditekankan oleh penginjil adalah kuasa ajaib Allah yang akan terjadi pada Maria,
berkenaan dengan kelahiran Yesus. Dalam peristiwa transfigurasi, penulis ingin
menekankan bahwa Yesus adalah Raja Mesias, Hamba Tuhan, yang telah ditentukan
Allah. Karena itu, digunakanlah formulasi peneguhan raja yang diambil dari
Mazmur raja (Mzm. 2:7) dan digabungkan dengan nyanyian Hamba Tuhan dalam Yesaya
42:1. Ucapan setan-setan yang keluar dari tubuh orang-orang sakit yang
disembuhkan oleh Yesus tentu tidak terlepas dari pengertian tentang kuasa Allah
yang bekerja melalui Yesus. Tiap orang yang dikenan Allah dan kepadanya diberi
kuasa untuk melakukan mujizat dalam rangka mendemonstrasikan kuasa Allah dapat
disebut sebagai anak Allah. Dalam hal ini, sekali lagi, yang dipermasalahkan
bukanlah hakikat ontologis Yesus, melainkan kuasa Allah yang sedang bekerja
melalui-Nya. Pemaknaan gelar ‘Anak Allah’ dalam pertanyaan Sanhedrin tentu
tidak terlepas dari pengertian populer atas gelar tersebut di lingkungan
orang-orang Yahudi waktu itu. Tiap orang saleh yang taat kepada Allah, begitu
pula raja Israel sebagai simbol pemerintahan teokratis Allah, lazim disebut
anak Allah. Penolakan Sanhedrin terhadap pengakuan Yesus terutama bukan karena
Dia dianggap telah menciderai iman monoteis mereka, melainkan karena Yesus
dituduh telah mengaku sebagai Raja Mesias yang ditetapkan Allah. Realitas yang
terjadi pada diri Yesus berbeda dengan harapan mereka mengenai sosok Raja
Mesias. Bagi mereka, Raja Mesias adalah raja dari garis keturunan Daud, yang
akan memulihkan kejayaan Israel atas bangsa-bangsa. Sedang dalam diri Yesus,
mereka mendapatkan kesederhanaan, bahkan kelemahan.
Di samping gelar ‘Anak Allah,’ penginjil juga mengenakan gelar ‘Anak
Manusia’ kepada Yesus, sama seperti kedua Injil Sinoptik yang lain. Injil-injil
Sinoptik mengenakan gelar ini kepada Yesus dalam pelayanan-Nya di depan umum,
dalam penderitaan-Nya dan dalam kedatangan-Nya kembali dengan kemuliaan (lihat
Luk. 6:22, bdk. Mat. 5:11; Luk. 12:8, bdk. Mat. 10:32; Luk. 22:48, bdk. Mat.
26:49; Mk. 14:45). Di samping itu, dalam Injil Lukas kita temukan pula beberapa
penggunaan gelar ini secara khas, yang tidak terdapat dalam kedua Injil Sinoptik
yang lain. Kita dapat melihat penggunaan tersebut, misalnya dalam 17:22; 18:8;
19:10; 21:36 dan 24:7. Kita tidak dapat memastikan sumber serta makna gelar ini
dalam Injil Lukas. Namun secara sederhana, penginjil agaknya menyamakan gelar
ini dengan Mesias. Kita ambil contoh Lukas 17:22, “Akan datang waktunya kamu
ingin melihat satu dari pada hari-hari Anak Manusia itu dan kamu tidak akan
melihatnya.” Ada beberapa penafsiran atas ucapan Yesus ini.[53]
Mungkin yang dimaksud ‘waktu’ dalam ayat ini adalah waktu Mesias, sekalipun
cara pengungkapan seperti ini tidak begitu lazim. Kemungkinan lain, yang
dimaksud adalah saat ketika kerajaan Mesias tiba, atau saat ketika para murid
Yesus berkumpul bersama-Nya di surga. Mana pun penafsiran yang diterima,
semuanya berkenaan dengan kehadiran Mesias. Tidak mengada-ada jika kita menduga
bahwa pemakaian gelar ini dilatarbelakangi oleh gagasan ‘Anak Manusia’ dalam
Daniel 7, sosok penyata Allah yang penuh kuasa dan kemuliaan, yang sudah
menjadi harapan populer umat Yahudi.
c) Anak Daud
Dalam Injil
Matius, gelar ‘Anak Daud’ memiliki makna yang amat penting, yaitu untuk
menunjukkan bahwa Yesus benar-benar Raja Mesias, yang lahir dari garis
keturunan Daud. Dalam Injil Lukas kita hanya dapat menemukan penggunaan gelar
ini tiga kali, dua kali dalam permohonan Bartimeus agar matanya dicelikkan
(18:38-39) dan dalam pertanyaan Yesus kepada ahli-ahli Taurat, “Bagaimana orang
dapat mengatakan, bahwa Mesias adalah Anak Daud? Sebab Daud sendiri berkata
dalam kitab Mazmur: Tuhan telah berfirman kepada Tuanku, ‘Duduklah di sebelah
kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu.’ Jadi Daud
menyebut Dia tuannya, bagaimana mungkin Ia anaknya pula?” (20:41-44).
Namun dari 1:32, 69; 2:4; 3:31, jelas bahwa penginjil melihat Yesus sebagai
keturunan Daud. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, dalam sebutan Yesus
sebagai ‘Anak Daud’ terkandung pengertian bahwa Yesus dipahami sebagai Raja
Mesias dari garis keturunan Daud, sebagaimana dinubuatkan oleh nabi-nabi.
Dengan kata lain, penginjil ingin menunjukkan bahwa Yesus sesungguhnya adalah
Mesias yang dinantikan oleh umat Israel.
d) Kristus
Sekalipun gelar
‘Kristus’ bagi Yesus relatif jarang digunakan dalam Injil Lukas, namun gelar
ini memiliki makna sangat penting. Sebutan ‘Kristen’ bagi orang-orang beriman –
yang secara tidak langsung berkenaan dengan Kristus – dalam Injil Lukas kita
temukan 12 kali (sedangkan dalam Kisah kita temukan 24 kali). Dalam 2:11,
penginjil menuturkan kepada para pembaca bahwa malaikat berkata kepada para
gembala, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di
kota Daud” (terjemahan LAI). Dalam bahasa Yunani, kata Khristos Kurios tidak menggunakan kata sandang (article), sehingga secara harfiah dapat
diterjemahkan ‘Kristus Tuhan,’ dan memiliki dua kemungkinan interpretasi. Khristos Kurios dapat diartikan ‘Tuhan
yang diurapi,’ tetapi dapat juga berarti ‘Kristus dari Tuhan,’ (Lord’s Christ) di mana kata ‘Tuhan’
menunjuk kepada Allah sendiri. Agaknya alternatif kedua lebih tepat. Dengan
ungkapan Khristos Kurios (‘Kristus
Tuhan’ atau ‘Mesias Allah’) penginjil bermaksud menunjukkan bahwa Yesus adalah
Kristus yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Pemaknaan ini sejajar dengan nazar
Simeon bahwa ia tidak akan mati sebelum melihat ton Khriston Kuriou, ‘Mesias Tuhan,’ yang oleh LAI diterjemahkan
‘Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan’ (2:26).
Dalam khotbah-Nya di rumah ibadah (synagoge) di Nazaret (yang hanya
terdapat dalam Injil Lukas). Yesus mengawalinya dengan membaca ayat-ayat dari
kitab Yesaya, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan pengli-hatan bagi
orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun Rahmat Tuhan telah datang” (4:18-19; bdk. Yes. 61:1).
Pengurapan yang dimaksud di sini adalah pengaruniaan Roh Kudus. Menjadi
‘Kristus’ berarti masuk ke dalam relasi istimewa dengan Allah dan juga dengan
Roh Kudus (yang adalah Allah sendiri dalam kuasa dinamis-Nya).
Menarik untuk diperhatikan bahwa ketiga Injil Sinoptik memiliki versi
pengakuan Petrus di Kaesaria Filipi yang berbeda-beda. Dalam Injil Matius,
Petrus mengatakan, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat. 16:16).
Dalam Injil Markus kita temukan jawaban Petrus secara singkat, “Engkau adalah
Mesias” (Mk. 8:29) dan dalam Injil Lukas, Petrus menjawab, “Mesias dari Allah”
(Luk. 9:20). Pemahaman Injil Lukas terhadap Yesus sangat khas, yaitu bahwa Dia
adalah Kristus dari Allah (bdk. 2: 26). Allah telah mengutus dan mengaruniakan
kuasa kepada-Nya melalui Roh Kudus. Bagi Lukas, Mesias adalah seseorang yang
dipanggil oleh Allah, diperlengkapi oleh Allah dan diutus oleh Allah. Ia
bukanlah sosok independen, melainkan kepunyaan Allah.[54]
Keistimewaan Injil Lukas yang lain adalah bahwa bagi penginjil, Mesias itu
harus menderita. Penderitaan merupakan bagian integral dari kemesiasan. Dalam
hal ini, penginjil tidak memulai pemberita-annya dengan melihat Kitab Suci dan
kemudian mencocokkannya dengan kehidupan Yesus, melainkan sebaliknya, ia
memulai pemberitaannya dari diri Yesus dan penderitaan-Nya, baru kemudian
menemukan bahwa Kitab Suci sudah menubuatkannya lebih dulu. Dengan demikian,
standar pemberitaan penginjil adalah Yesus sendiri, bukan pengetahuannya
sendiri mengenai Kitab Suci. Bahwa Mesias harus menderita, hal ini menuntut
tanggapan: yakni iman kepada-Nya! Dalam penderitaan Mesias itu penginjil
melihat bahwa Allah sendiri sedang bertindak, melaksanakan karya
penyelamatan-Nya bagi umat manusia. Tentu saja, hal ini tidak harus dipahami
sebagai anugerah yang murah, sebab beriman kepada Mesias yang mendeita berarti
pula panggilan untuk mengikuti jejak-Nya.
e) Tuhan
Gelar untuk
Yesus yang paling populer dalam Injil Lukas adalah ‘Tuhan’ (dalam Injil Lukas
gelar ini kita temukan 103 kali).[55] Sapaan ‘Tuhan’ (kurios) lazim digunakan dalam masyarakat
waktu itu dengan bermacam-macam arti, seperti: pemilik sesuatu (misalnya
keledai, 19:33; kebun anggur, 29:13), sebutan sopan dari seorang hamba kepada
tuannya (13:8; 14:22), atau sapaan hormat bagi seseorang yang pantas untuk
dihormati. Namun istilah ini dapat juga dikenakan kepada dewa-dewa. Dalam
Septuaginta, kata ini digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani Yahwe. Lukas
berkali-kali menggunakan sapaan ini bagi Allah (misalnya, 1:6, 9). Menyebut
Yesus ‘Tuhan’ berarti memberi gelar yang amat penting. Namun yang jelas, dalam
mengenakan gelar ini kepada Yesus, penginjil sama sekali tidak bermaksud
membicarakan hakikat Yesus secara ontologis, melainkan menempatkan Yesus dalam
posisi yang amat tinggi dan terhormat di samping Allah sendiri.[56] Kesulitannya, di samping
dikenakan kepada Yesus, sapaan ini juga dikenakan bagi Allah sendiri. Jadi,
untuk mengetahui siapakah yang dirujuk oleh gelar ini harus dilihat dari
konteksnya.
c. Konsep Injil-injil Sinoptik tentang manusia
Injil-injil Sinoptik
memandang Yesus sebagai citra manusia sejati yang utuh dan sempurna. Hal yang
menonjol dalam kemanusiaan Yesus adalah pengaruh-Nya yang kuat atas orang lain,
perhatian dan kasih-Nya kepada mereka yang membutuhkan pertolongan, kebaikan
hati-Nya, sikap yang tidak mementingkan diri sendiri dan kerelaan-Nya untuk
berkorban, serta penilaian-Nya yang lebih bersifat rohani daripada kebendaan.
Injil-injil Sinoptik ingin memberi gambaran tentang manusia sempurna
sebagaimana ditampilkan oleh Yesus.
1) Dinyatakan
bahwa manusia lebih unggul daripada binatang. Pada waktu Yesus berkata, “Kamu
lebih berharga daripada banyak burung pipit” (Mat. 10:31), secara implisit Ia
memperlihatkan perbandingan yang tak perlu dipersoalkan. Hal senada kita
temukan dalam kecaman Yesus kepada orang-orang yang menentang-Nya ketika Ia
menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, sedangkan mereka sendiri
menyelamatkan hewan mereka yang terjatuh ke dalam jurang, sekalipun pada hari
Sabat.
2) Manusia
dipandang bernilai di hadapan Allah. Dalam konteks yang sama seperti ketika
Yesus membandingkan manusia dengan burung pipit, Dia mengatakan bahwa sehelai
rambut manusia pun diperhatikan Allah (Mat. 10:30). Ini merupakan cara radikal
untuk menunjukkan betapa berharganya manusia di hadapan Allah. Namun lebih jauh
Yesus juga memberi batasan mengenai siapa yang berharga di hadapan Allah.
Mereka adalah yang disebut ‘anak-anak Allah,’ yaitu orang-orang yang
menunjukkan iman dan pertobatan. Di samping keberhargaan manusia di hadapan
Allah, Injil-injil Sinoptik juga mewartakan keterbatasan manusia apabila mereka
hidup di luar Allah. Manusia tidak memiliki kedaulatan mutlak, sehingga tidak
dapat berbuat sesuka hatinya di luar kuasa Allah. Nilai manusia lebih tinggi
daripada kemampuan dan prestasi yang dimilikinya. Nilai-nilai rohani manusia
secara utuh lebih berharga daripada kenyataan lahiriahnya. Ini jelas dari
perkataan Yesus, bahwa lebih baik seseorang kehilangan anggota badannya
daripada kehilangan nyawanya (Mk. 9:43-47).
3) Dalam
Injil-injil Sinoptik tidak terdapat pandangan dualistis mengenai jasmani dan
rohani seperti dalam pemikiran Gnostik. Injil-injil Sinoptik tidak memandang
jahat hal-hal yang bersifat jasmaniah. Yesus juga tidak memberi tekanan pada
kehidupan asketis yang anti perkara duniawi, bahkan Ia dikecam karena sikap-Nya
ini (Mat. 11:19). Hal yang menajiskan orang adalah apa yang keluar dari
hatinya, dan bukan apa yang masuk ke dalam perutnya (Mk. 7:14 dst.). Kenajisan
berasal dari pikiran manusia dan bukan dari dagingnya. Namun daging itu
berfungsi untuk melayani pikiran manusia (Mat. 26:41; Mk. 14:38). Seringkali
kata ‘darah dan daging’ dipakai dalam pengertian ‘manusia’ (seutuhnya).
4) Melalui
teladan serta ajaran-Nya, jelas bahwa Yesus tidak menghendaki agar manusia
hidup secara individual, tanpa memperhatikan orang lain di luar dirinya. Yesus
setuju dengan pandangan PL bahwa manusia berada dalam solidaritas dengan
sesamanya, termasuk dalam pemerataan tanggung jawab. Yesus merasa prihatin atas
orang-orang yang tersingkir dan dipandang rendah dalam masyarakat, prihatin
atas orang-orang miskin dan menderita, dan juga atas orang-orang cacat. Dia
bergaul dengan orang-orang yang dianggap bercela, seperti pemungut cukai dan
orang-orang berdosa (Mat. 11:19); Ia berusaha membawa mereka masuk ke dalam
Kerajaan Allah (Mat. 21:31). Khotbah di Bukit berisi pola ajaran yang
menempatkan manusia dalam jalinan dengan sesamanya. Ajaran itu tidak akan
berarti jika manusia hidup secara individual terlepas dari sesamanya. Perhatian
terhadap sesama manusia dipertegas lagi dalam hukum kasih (Mat. 22:39) dan
perintah untuk berbela rasa dengan mereka yang menderita (Mat. 25:34-40).
Mengasihi orang lain juga berarti terbuka untuk mengampuni kesalahan mereka
(Mat. 18:21-22; Luk. 17:3-4).
5) Manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah diharapkan mampu mematuhi peraturan-peraturan
Allah (Mat. 5:18-19; Luk. 16:17). Manusia dikehendaki agar patuh kepada Allah
dan tidak diberi kewenangan untuk menentukan kebenarannya sendiri. Aliran
filsafat humanisme dan eksistensialisme modern tidak mengakui hal ini. Bahkan
ajaran Yesus dianggap mengganggu kebebasan manusia untuk menentukan keputusan.
Namun penolakan seperti ini telah ada sejak zaman Yesus sendiri. Pandangan
Yesus tentang manusia menuntut tanggung jawab total di hadapan Allah. Hidup
yang mementingkan diri sendiri tentu tidak mungkin memenuhi tanggung jawab ini.
Ketaatan yang dikehendaki Allah bukanlah pembatas bagi kebebasan manusia, sebab
kebebasan yang sejati justru ditemukan dalam penyerahan diri kepada kehendak
Allah yang sempurna. Hal ini sesuai dengan citra manusia yang diciptakan
sebagai gambar Allah. Sehubungan dengan itu, Yesus adalah teladan manusia
sempurna. Dialah gambar Allah sejati, yang sepenuhnya taat kepada kehendak
Allah. Menurut ajaran Yesus, manusia akan menemukan jati dirinya yang sejati
jika ia taat dan bergantung kepada Allah.
6) Manusia
diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan (Mat. 19:4). Keduanya ditempatkan
dalam kedudukan setara dan merupakan dasar pembentukan rumah tangga (Mat.
19:5-6). Dalam hal ini, Yesus merujuk kembali pada peristiwa penciptaan manusia
dalam Kejadian 1:26-27 dan 2:18-24. Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki
dan perempuan dan menempatkan dalam peran masing-masing sedemikian rupa untuk
saling menolong dan melengkapi sebagai teman sepadan. Bahkan dalam kehidupan
rumah tangga, dikatakan bahwa hubungan mereka telah menjadi ‘satu daging,’
suatu ungkapan yang melukiskan kesatuan utuh suami-isteri yang tak
terpisah-pisahkan. Yesus mengritik dengan keras praktik yang terjadi dalam
masyarakat Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, hampir segala hal didominasi oleh
laki-laki, sedangkan perempuan tidak mendapat tempat yang setara dengan
laki-laki. Dalam hampir segala aspek, perempuan tidak diberi tempat untuk
bergabung dengan laki-laki dalam kedudukan yang sejajar (termasuk dalam
pendidikan agama dan perannya dalam peribadahan). Dalam kehidupan Israel purba,
kedudukan dan kebebasan perempuan sangat dibatasi oleh hukum dan adat-istiadat
Yahudi:
a) Peran perempuan sangat
dibatasi, dan sangat sedikit atau bahkan tidak memiliki kewenangan apa pun
dalam kehidupan rumah tangga dan sosial.
b) Sebagian besar perempuan
dikurung di rumah ayah atau suaminya.
c) Mereka dianggap rendah
(inferior) terhadap laki-laki dan berada di bawah kekuasaan laki-laki, entah
ayahnya (sebelum menikah) atau suaminya (setelah menikah).
d) Sejak periode Bait Allah kedua,
perempuan dilarang memberi kesaksian dalam pengadilan. Mereka tidak boleh
keluar di depan umum atau bercakap-cakap dengan orang asing. Ketika berada di
luar rumah, mereka harus mengenakan kerudung rangkap. Mereka telah menjadi
orang Yahudi kelas dua, yang disisihkan dari peribadahan dan pengajaran agama,
dengan status sedikit lebih tinggi daripada budak. Kedudukan mereka di tengah
masyarakat sudah ditetapkan dalam Kitab Suci Ibrani dan penafsiran atasnya.
Kedudukan mereka tidak jauh berbeda dengan perempuan Afganistan selama
kekuasaan diktator Taliban dewasa ini. Hal seperti ini juga terjadi dalam
kehidupan bangsa-bangsa bukan Yahudi waktu itu.
d. Perlakuan Yesus yang radikal terhadap
perempuan
Dalam beberapa
bagian Injil-injil Sinoptik, Yesus berupaya untuk lebih memanusiakan perempuan.
Matius dan Lukas banyak membicarakan hal ini. Berita tentang kelahiran Yesus
pun berpusat pada peran seorang anak dara, dengan menempatkan perempuan dalam
kedudukan yang sangat terhormat. Bahkan dalam Injil Lukas, kisah itu didominasi
oleh peran Elizabet dan Maria. Pada saat Yesus menyembuhkan orang-orang sakit,
Ia tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan (Mat. 4:23-25; 9:35-38;
14:13-21; Mk. 1:32-34). Bahkan dalam beberapa bagian diceritakan secara khusus
bagaimana Yesus menyembuhkan perempuan. Walaupun rasul-rasul yang dipilih Yesus
semuanya laki-laki, namun di antara orang banyak yang mengikuti-Nya ada pula
para perempuan. Dasar pernikahan sebagaimana dipaparkan dalam Markus 10:6 dst.
dan Matius 19:4 dst. menandaskan kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan.
Ketika Yesus dibawa ke Golgota, di antara sekian banyak orang yang
mengikuti-Nya, hanya beberapa perempuanlah yang benar-benar mengasihi Dia (Luk.
23:27); kaum perempuanlah yang selalu berjaga di kaki salib (Luk. 23:49);
merekalah yang memperhatikan kubur Yesus dan meminyaki serta menaruh
rempah-rempah untuk-Nya (Luk. 23:56); mereka pula yang berada di kubur Yesus
sewaktu pertama kali menyaksikan kebangkitan-Nya (Luk. 24:1). Dengan fakta
tersebut, agaknya Yesus tidak sependapat dengan pandangan Yudaisme, yang
menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Cara pandang Yesus
terhadap perempuan memang sangat revolusioner bagi zamannya.
Kristus telah merobohkan tradisi dan hukum Yahudi yang berlaku selama
berabad-abad. Secara konsisten Ia memperlakukan laki-laki dan perempuan sebagai
makhluk setara. Ia merombak sejumlah aturan PL yang memberlakukan
ketidaksetaraan gender. Ia menolak untuk mengikuti aturan tingkahlaku yang
ditetapkan oleh tiga kelompok keagamaan Yahudi utama waktu itu, yaitu kaum
Esseni, orang-orang Farisi dan orang-orang Saduki. Karena itu, tindakan Yesus terhadap perempuan
benar-benar revolusioner. Misalnya:
o
Ia mengabaikan hukum ritual tentang kenajisan. Markus 5:25-34 menguraikan tindakan Yesus menyembuhkan seorang perempuan
yang menderita pendarahan selama 12 tahun. Dalam masyarakat Yudea waktu itu,
merupakan pelanggaran berat jika seorang laki-laki bercakap-cakap dengan
perempuan yang bukan isteri atau anaknya.
o
Ia berbicara dengan seorang perempuan asing. Dari sumber di luar Injil-injil Sinoptik, kita membaca bahwa Yesus
berdialog dengan perempuan asing. Yohanes 4:7-5:30 mengisahkan percakapan Yesus
dengan seorang perempuan Samaria. Secara ritual, perempuan itu dobel najis,
karena, ia adalah seorang perempuan, dan lagi pula ia seorang asing. Laki-laki
dilarang berbicara dengan perempuan, kecuali perempuan itu adalah keluarganya
sendiri. Dalam Matius 15:22-28, Yesus juga menolong seorang perempuan Kanaan,
seorang asing yang lain. Meskipun Ia menggambarkan orang-orang non-Yahudi
sebagai ‘anjing,’ Ia bersedia berbicara dengannya, dan menyembuhkan anak
perempuannya yang dikuasai Iblis.
o
Ia mengajar murid-murid perempuan. Dalam tradisi
Yahudi waktu itu, perempuan tidak boleh diajar. Pada abad pertama Masehi, rabbi
Eliezer menulis, “Perkataan Taurat lebih baik dibakar daripada dipercayakan
kepada perempuan … Orang yang mengajarkan Taurat kepada anak perempuannya sama
seperti orang yang mengajarkan percabulan kepadanya.” Yesus telah
merobohkan tradisi yang telah berabad-abad ini. Dalam Lukas 10:38-42, Ia
mengajar Maria, saudara Marta.
o
Ia menggunakan terminologi yang menyetarakan perempuan dengan laki-laki.
-
Lukas 13:16 menceritakan
bagaimana Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang dikuasai Iblis. Ia menyebut
perempuan itu keturunan Abraham, yang menyiratkan bahwa ia dipandang setara
dengan para laki-laki keturunan Abraham. Ungkapan ‘anak Abraham’ lazimnya
digunakan untuk menyebut seorang laki-laki Yahudi, sedangkan ungkapan
‘keturunan Abraham’ untuk menyebut seorang perempuan, tidak pernah kita temukan
di tempat lain. Agaknya sebutan ini merupakan kreasi Yesus sendiri.
-
Lukas 7:35-8:50
menguraikan bagaimana Yesus mengampuni dosa perempuan. Ia menyebut perempuan
dan laki-laki (yaitu semua orang) sebagai anak-anak hikmat.
o
Ia menerima perempuan dalam lingkaran orang-orang dekat-Nya. Lukas 8:1-3 menggambarkan para pengikut Yesus yang termasuk orang-orang
dekat-Nya, yaitu 12 orang laki-laki dan sejumlah murid perempuan (Maria
Magdalena, Johana, Susana dan "banyak yang lain"). Agaknya
sekitar separuh pengikut terdekat-Nya adalah para wanita.
o
Setelah bangkit, Yesus pertama kali menampakkan diri kepada para wanita. Matius 28:9-10 menguraikan bagaimana Maria Magdalena dan Maria yang lain
adalah pengikut Yesus yang pertama kali bertemu dengan-Nya setelah
kebangkitan-Nya. (Namun cerita ini bertentangan dengan perikop Lukas 24:13-35,
yang menyatakan bahwa orang yang pertama kali melihat Yesus adalah Kleopas,
Petrus atau para murid semuanya).
o
Para wanita ikut hadir ketika Yesus dieksekusi. Matius 27:55-56 dan Markus 15:40-41 mengisahkan banyak wanita dari Galilea
yang mengikuti Yesus dan hadir dalam penyaliban-Nya, sekalipun mereka hanya
melihat dari jauh, sedangkan para pria, termasuk Petrus (Mat. 26:69-72),
melarikan diri dari arena. (Yoh. 19:25-27 memberitakan hal yang berbeda.
Penulis Yohanes menceritakan bahwa pada waktu itu Yohanes ikut hadir bersama
para wanita).
o
Dalam berbagai episode Injil-injil Sinoptik, diceritakan bahwa Yesus
memperlakukan perempuan dan laki-laki secara yang sejajar. Penulis Injil Lukas dan Kisah Para Rasul menceritakan banyak episode
secara parallel, sekali waktu berkenaan dengan wanita, dan dalam kesempatan
lain berkenaan dengan pria. Misalnya:
-
Simeon dan Hana dalam
Lukas 2:25-38
-
Janda di Sarfat dan
Naaman dalam Lukas 4:25-38
-
Penyembuhan seorang
laki-laki yang dirasuk setan dan penyembuhan ibu mertua Petrus yang dimulai
dari Lukas 4:31
-
Perempuan berdosa dan
Simon, mulai dari Lukas 7:36
-
Ananias dan Safira
dalam Kisah 5:1-11
-
Dionisius dan Damaris
dalam Kisah 17:34
- Lidia dan pertobatan seorang narapidana dalam Kisah 16:14-34
Ben Witherington III, dalam bukunya “Women in the Earliest Churches,”
mendaftar sejumlah kesetaraan laki-laki dan perem-puan; dan mengutip H.
Flender, ia menyimpulkan:
"Dengan caranya sendiri Lukas mengungkapkan bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai kesamaan kedudukan di hadapan Allah. Keduanya setara dalam
kehormatan dan anugerah; keduanya dikaruniai dengan karunia-karunia yang sama
dan memiliki tanggung jawab yang sama."
o
Yesus memberi perhatian kepada para janda: dalam seluruh pelayanan-Nya, berulang kali Yesus menunjukkan betapa
penting mendukung para janda. Injil Lukas sendiri memuat enam referensi
mengenai para janda (Luk. 2:36, 4:26, 7:11, 18:1, 20:47 dan 21:1).
o
Tentang perceraian: pada zaman Yesus,
seorang laki-laki boleh menceraikan isterinya, namun seorang isteri tidak
mempunyai hak untuk menceraikan suaminya. Praktik ini didukung tujuh referensi
dalam Kitab Suci Ibrani (PL), di mana seorang suami secara sepihak boleh
memberikan surat cerai kepada isterinya. Namun tidak kita temukan satu pun
petunjuk tentang adanya seorang isteri yang memberikan surat cerai seperti itu
kepada suaminya. Dalam Markus 10:11-12 dan Matius 19:1-12, Yesus membuang
tradisi ini dan menyatakan bahwa tidak ada suami atau isteri yang boleh
menceraikan pasangannya. Kalaupun Musa mengizinkan perceraian, itu bukan karena
perceraian dikehendaki Allah, melainkan karena kedegilan hati umat Israel.
Dalam kedua perikop Injil Sinoptik tersebut dengan jelas Yesus memperlakukan
suami dan isteri dengan setara.
[1] Raymond E. Brown, Introduction to the New Testament (1997), hlm. 172
[2] Foster, P. "The
Epistles of Ignatius of Antioch and the Writings that later formed the
NT," dalam Gregory & Tuckett, (2005), The Reception of the NT in
the Apostolic Fathers OUP, hlm. 186
[3] F.L. Cross, “Matthew
Gospel” dalam The Oxford Dictionary of
the Christian Church (New York: Oxford University Press, 2005).
[4] D. Moody Smith, Matthew
the Evangelist, Encyclopedia of Religion, vol. 9, hlm. 5780
[5] Brown, Introduction, hlm. 216-217.
[6] Carsten Peter Thiede,
“Papirus Magdalen Greek 17 (Gregory-Aland P64). A Reapprisal”
[7] Misalnya Philip Comfort
dan David Barret (2001), Text of the Earliest NT Greek Manuscripts.
[8] Bart Ehrman, Jesus:
Apocalyptic Prophet of the New Millennium (New York: Oxford University
Press), hlm. 44.
[9] Ehrman, Jesus: Apocalyptic Prophet, hlm. 92.
[10] Amy-Jill Levine, The Oxford History of the Biblical Words
(New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 372-373.
[11] Howard Clark Kee, The Cambridge Companion to the Bible
(New York: Oxford University Press, 1997), hlm. 447.
[12] Paul J. Achtemeier,
"The Gospel of Mark," dalam The Anchor Bible Dictonary,
Vol. 4 (New York: Doubleday, 1991), hlm. 545; John P. Meier, A
Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus, Vol. 2 (New York: Doubleday,
1991), hlm. 955–956; Randel Helms, Who Wrote the Gospels?
(Altadena, California: Millennium Press, 1997), hlm. 8.
[13] Brown, Introduction, hlm. 164.
[14] A. R. Millard, Reading and Writing in the Time of Jesus
(New York: New York University Press, 2000), hlm. 56.
[16] A.H. McNeile, An Introduction to the Study of the New
Testament (Oxford: Oxford University Press, 1927), Bab II bagian 2, “The
Synoptic Gospels.”
[17] Joel Marcus, The Way of the Lord: Christological Exegesis
of the Old Testament in the Gospel of Mark (Continuum International
Publishing Group, 2004), hlm. 115.
[18] H.H. Ben-Sasson, A
History of the Jewish People (Harvard: Harvard University Press, 1976),
hlm. 334.
[19] M. Goguel, Introduction au Nouveau Testament
(Paris: Ernst Leroux, 1925), hlm. 373-374.
[20] Bernd Kollmann, Joseph
Barnabas (Liturgical Press, 2004), hlm. 30.
[21] Papias, dikutip dalam
Eusebius, History of the Church, terjemahan G.A. Williamson (London:
Penguin Books Ltd., 1965), hlm. 103–104.
[22] Irenaeus, Melawan Bidat-bidat, 3:1, juga 10:6.
[23] Tertullianus, Melawan Marcion 4:5.
[24] Eusebius, History of
the Church, 6:14.
[25] Brown, Introduction, hlm. 596-597.
[26] Bart Ehrman, The New Testament: A Historical Introduction
to the Early Christian Writings, hlm. 74
[27] Misalnya, 7:31, Tirus itu
terletak di sebelah selatan Sidon, jadi agak aneh jika dari Tirus menuju
Galilea harus melalui Sidon. Lazimnya dari Tirus akan melalui Dekapolis (Luk.
5:20). Dalam Lukas 5:1 dst., Lukas mengoreksi hal ini.
[28] Ben-Sasson, A History
of the Jewish People, hlm. 254-256.
[29] Stephen L. Harris, Understanding the Bible (Palo Alto:
Mayfield, 1985), hlm. 266-268
[30] Brown, Introduction, hlm. 267-268; Donald
Guthrie, New Testament Introduction (Leicester, England: Apollos, 1990),
hlm. 119.
[31] Guthrie, New Testament, hlm. 37-40.
[32] F. F. Bruce, The Acts
of the Apostles, hlm. 2.
[33] Lihat Guthrie, New Testament, hlm. 117.
[34] Misalnya W. K. Hobart, The
Medical Language of St. Luke (1882) dan A. Harnack, Lukas der Arzt
(1906).
[35] Misalnya: Guthrie, New Testament, hlm. 119; . H. Marshall, Acts
(1980), hlm. 44-45; F. F. Bruce, The Acts of the Apostles (1952), hlm.
1-6; C. S. C. Williams, The Acts of the Apostles, in Black’s New
Testament Commentary (1957); dan masih banyak lagi.
[36] Brown, Introduction, hlm. 267-268.
[37] Brown, Introduction, hlm. 226; John P. Meier, A Marginal Jew, hlm. 43.
[38] Guthrie, New Testament, hlm. 125.
[39] Helmut Koester, Ancient
Christian Gospels (Harrisburg, Pennsylvania: Trinity Press International,
1999), hlm. 334.
[40] Koester, Ancient
Christian Gospels, hlm. 336.
[41] “Matthew” dalam F.L.
Cross (ed.), The Oxford dictionary of the Christian Church (New York: Oxford
University Press, 2005); Schuyler Brown, The origins of Christianity: a
Historical Introduction to the New Testament (New York: Oxford University
Press, 1993), hlm. 24.
[42] “Marcion” dalam Encyclopedia Britannica.
[43] Adof von Harnack, The
Date of Acts and the Synoptic Gospels, hlm. 90; I. H. Marshall, Luke,
hlm. 35
[44] Guthrie, New Testament, hlm. 131.
[45] Levine, The Oxford History of the Biblical Words,
hlm. 373
[46] Lht. A.M. Hunter, Introducing New Testament Theology
(London: SCM Press, Cet. V, 1973), hlm. 15.
[47] Hunter, Introducing New Testament Theology, hlm.
37.
[48] Werner Kelber, Mark's
Story of Jesus (Philadelphia: Fortress Press, 1979).
[49] Norman Perrin, A
Modern Pilgrimage in New Testament Christology (Philadelphia: Fortress
Press, 1974).
[50] Theodore J. Weeden, Mark
:Tradition in Conflict (Philadelphia: Fortress Press, 1971).
[51] Hans Conzelmann, The
Theology of St. Luke (terjemahan Geoffrey Buswell; Philadelphia: Fortress
Press, 1982), hlm. 170.
[52] Robert Tannehill, The
Narrative Unity of Luke Acts, Vol. 1 (Philadelphia: Fortress Press, 1986),
hlm. 97-98.
[53] Morris, New Testament Theology, hlm. 159-160.
[54] Morris, New Testament Theology, hlm. 164.
[55] Morris, New Testament Theology, hlm. 166.
[56] Bdk. Rudolf Bultmann, Theology of the New Testament, Vol. I
(London: SCM Press, 1967), hlm. 203.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar