Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Selasa, 29 Oktober 2013

HUBUNGAN AGAMA KRISTEN DAN BIDANG POLITIK .OLEH. OBET NEGO

AGAMA KRISTEN DAN POLITIK
Pendahuluan
       Politik berasal dari bahasa Yunani Politeia (kiat memimpin kota/Polis).
       Politik dapat berarti:
      Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan
      Segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain
      Cara bertindak atau kebijaksanaan
       Kekuasaan adalah kemampuan utk membuat gerak yang memaksa orang lain utk mematuhinya.
       Kekuasaan politik adalah kemampuan utk membuat masyarakat dan negara mematuhi keputusan yang ditetapkan.
       Sekularisasi dilihat dari sisi politik adalah pemisahan antara pemerintahan dan ideologi-ideologi keagamaan dan struktur-struktur kegerejaan, pengembangan pemerintahan utk melaksanakan peran mengatur lapangan sosio-ekonomis yang dulu dilakukan struktur-struktur keagamaan dan tranvaluasi (melihat dari sisi yang lain,berbeda,senbaliknya dari yang telah diketahui) budaya politik utk mencapai tujuan2 duniawi yang nontransenden dan cara2 yang rasional dan pragmatis.
Partisipasi Politik
       Dari kedua kalimat ini manakah kalimat yang bermakna benar sebagai partisipasi politik?
      Saya mengharapkan partisipasi masyarakat untuk memberikan pertimbangan, penilaian dan peluang keikutsertaan dlm pelaksanaan tentang rencana kenaikan bbm.
      Saya mengharapkan partisipasi masyarakat untuk menghemat bbm dan menggunakan fasilitas subsidi sesuai kebutuhan. 
       Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang utk ikut serta dlm pelaksanaan keputusan.
       Mobilisasi politik adalah upaya utk menggerakkan masyarakat utk mendukung kebijakan yg telah ditentukan oleh para wakil rakyat atau pemimpinnya.
Perspektif Kristen terhadap politik.
Pandangan Alkitab terhadap Politik
       Yeremia 29:4-7 : konteks Nabi Yeremia pada masa penjajahan Babel. Apa kata nast ini?
      Roma 13:1-7 : konteks Rasul Paulus pada masa penjajahan Romawi. Apa kata nast ini?
      Orang Kristen : konteks masa kini di Indonesia sebagai tempat sendiri?
       Umat Kristen bertanggungjawab juga utk menciptakan keadaan sosial, ekonomi, politik, budaya, dll yang sejahtera sesuai cita-cita bersama di Indonesia.
PRINSIP-PRINSIP Kristiani Dalam Kehidupan Politik
       Kasih : kpd Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan alam lingkungan.
       Kebangsaan : kita adalah bagian dari bangsa Indonesia yang senasib sepenanggungan dan terikat pada cita2 nasional menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila
       Kemerdekaan: secara positif berarti bebas utk berbicara, berkumpul, berserikat, bebas utk memilih agama dan keyakinan, bebas memilih pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan. Secara negatif berarti terhindar dari penjajahan, penindasan, ketakutan, intimidasi dari pihak manapun langsung atau tidak langsung.
       Keadilan : setiap wni berhak mendapatkan perlakuan yang adil, negara harus berlaku adil kpd semua warganya, negara harus menjamin wni mendapat keadilan.
       Kebenaran : bersumber pada kebenaran Tuhan yang bersifat abadi
       Kesetiakawanan : berempati terhadap sukses dan kegagalan orla, setia kpd sesama, terutama disaat mereka menderita
       Tulus : berani menerima kenyataan => kekalahan, perkataan sesuai dg perbuatan, tidak berniat buruk dibalik perhatian.
       Jujur : benar itu benar, salah itu salah, obyektif, berani mengakui kekurangan
       Rendah hati : tdk smbg, tdk merendahkan orla, sikap mendengar dan melayani.
       Kepeloporan : kesiapan mengambil prakarsa utk meningkatkan prestasi demi kepentingan bersama
       Kesamaan : semua manusia mempunyai martabat dan hak2 yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
       Kesetiaan : setia menjalankan tugas yang dipercayakan, setia kepada bangsa dan negara.
Partisipasi Kristen Dalam Dialog dan Kerja Sama
       Bangsa Indonesia sejak awal berdiri sudah terdiri dari berbagai komunitas; besar dan kecil. Pembangunan politik tidak ditujukan utk mengubah apalagi meniadakan hal tsb, melainkan utk melestarikan, memperkaya dan mengembangkannya.
       Tiap kelompok cenderung menganggap dirinya dan kepentingannya adalah yang paling utama, sebab itu bisa jatuh ke dalam sikap ekslusif yang mengutamakan diri dan kelompoknya
       Ekslusivitas dapat memunculkan kecurigaan dan menyulut pertikaian. Sebab itu dialog dan kerja sama yang baik perlu dibangun. Dalam kehidupan sehari-hari itu bisa dibangun secara spontan. Tidak perlu membayangkan sesuatu yang besar spt seminar dialog antar agama para kaum elite. Dimulai dari yang sederhana saja tapi dg kejujuran,ketulusan, terbuka dan konstruktif.
Tantangan dan peluang
       Kemajemukan agama di Indonesia bisa jadi bahan untuk memecah belah bangsa ini. Tidak jarang agama menjadi komoditas politik yang melayani kepentingan sesaat kelompok masyarakat, kepentingan pribadi, dan golongan.
       Politisasi agama dapat memicu konflik yang pada akhirnya dapat menimbulkan kekerasan keagamaan.
       Agama kristen juga berpotensi utk dipolitisasi.

Agama kristen juga berpotensi utk dipolitisasi.
       Apa bentuk2 tindakan politisasi agama yang mungkin muncul?
       Kehidupan sosial: pembina spp metode memberikan bimbingan tapi punya maksud lain.
       Partai politik menjanjikan beasiswa pada mahasiswa kristen kalau menang.
        
       Menurut hemat kalian bagaimana cara mengatasinya?
       Liat kemampuan kinerja pendidikan,
       Lihat kesehariannya, tidak mudah percaya, janji.
       Visi dan misi, janji.
       Membebaskan umat utk memilih secara bebas, sesuai hati nurani, melihat semua kemungkinan yang baik dan mempertimbangkannya secara pribadi.
       Apakah kalian setuju jika ada partai Kristen di Indonesia?




Rabu, 23 Oktober 2013

Belajar mengenal SURAT-SURAT AM (umum) oleh. Obet Nego

SURAT-SURAT AM


Sejak zaman Eusebius (260-340 M), surat Yakobus, Yudas, 1 dan 2 Petrus, serta ketiga surat Yohanes, sering disebut sebagai Surat-surat Am (umum), sebab surat-surat tersebut tidak dialamatkan kepada jemaat tertentu, melainkan kepada jemaat Kristen secara keseluruhan (hē katholikē ekklēsia, gereja am). Namun, penamaan ini tidak sepenuhnya tepat, sebab, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat-surat am, surat Efesus dan Ibrani juga tidak dialamatkan kepada jemaat tertentu. Sementara itu, surat 3 Yohanes dialamatkan kepada pribadi tertentu, 2 Yohanes dialamatkan kepada komunitas tertentu sekalipun tidak disebutkan dengan jelas, dan 1 Petrus dialamatkan kepada sejumlah jemaat di Asia Kecil. Walaupun ditulis dalam bentuk surat, namun ketujuh tulisan ini bukanlah surat dalam pengertian modern. Dalam dunia purba, nasihat tidak lazim disampaikan dalam bentuk surat, melainkan dalam semacam traktat edaran. Studi dewasa ini pada umumnya tidak lagi memasukkan surat-surat Yohanes ke dalam surat-surat am, karena tulisan-tulisan atas nama Yohanes dipandang sebagai rumpun karya teologis tersendiri, yang diduga berasal dari aliran Yohanes.[1]
Kecuali 1 Petrus dan 1 Yohanes, gereja purba enggan memasukkan surat-surat am ke dalam kanon PB, karena diragukan bahwa penulisnya adalah rasul-rasul yang namanya disebut di dalamnya. Umat Kristen perdana memandang PB sebagai ‘deposit’ tempat menyimpan iman rasuli; karena itu, hanya tulisan-tulisan yang mereka anggap sebagai kesaksian para rasul saja yang dimasukkan ke dalamnya. Kini dengan lebih jelas kita dapat membedakan antara kepenulisan suatu karya dengan kanonisitas karya itu. Meskipun ditulis oleh orang lain di kemudian hari dan bukan oleh para rasul yang namanya disebut sebagai penulisnya, bagaimana pun tulisan-tulisan tersebut bersaksi tentang iman rasuli dan merupakan Kitab-kitab Suci kanonik. Sejak akhir abad IV atau awal abad V, baik gereja-gereja Yunani maupun gereja-gereja Latin (namun tidak demikian dengan gereja Siria) telah mengesampingkan semua keberatan, dan ketujuh surat am ini telah diterima dan diakui sebagai tulisan-tulisan kanonik.

A. SURAT YAKOBUS

1. Pengantar

Hampir tidak mungkin bahwa penulis surat ini adalah Yakobus, salah seorang di antara keduabelas rasul Yesus (lht. Mat. 10:2-3; Mk. 3:17-18; Luk. 6:14-15), karena ia tidak disebut sebagai ‘rasul,’ melainkan hanya ‘hamba Allah dan hamba Yesus Kristus’ (Yak. 1:1). Mungkin, sapaan ini merujuk kepada Yakobus saudara Yesus, yang biasa disebut ‘saudara Tuhan’ (lht. Mat. 13:55; Mk. 6:3). Ia adalah pemimpin komunitas Yahudi Kristen di Yerusalem, yang dikenal Paulus sebagai salah seorang ‘soko guru’ jemaat (Gal. 2:9). Dalam Kisah Para Rasul, ia tampil sebagai juru bicara umat Kristen Yahudi dalam gereja mula-mula (Kis. 12:17; 15:13-21). Menurut sejarawan Yahudi, Yosephus, ia dirajam hingga mati oleh orang-orang Yahudi di bawah pimpinan imam besar Ananus II, pada 63 Masehi (Antiquities 20, 9, 1 ¶201-203).
Surat ini ditujukan untuk ‘keduabelas suku di perantauan.’ Bertolak dari penggunaannya dalam PL, istilah ‘duabelas suku’ rupanya menunjuk pada umat Israel; sedangkan ‘perantauan’ atau ‘diaspora’ dimaksudkan untuk orang-orang Yahudi non-Palestina yang tinggal di seluruh dunia Romawi-Yunani (lht. Yoh. 7:35). Karena dalam pemikiran Kristen gereja adalah Israel baru, maka, surat ini kemungkinan dialamatkan untuk umat Kristen Yahudi yang berada di Palestina, Siria atau di tempat lain. Atau mungkin dimaksudkan sebagai surat umum untuk semua komunitas Kristen. Kata ‘perantauan,’ dapat juga digunakan dalam arti kias, yaitu dunia ini sebagai ‘tempat pembuangan’ orang beriman dari tempat tinggalnya yang sejati, seperti alamat surat 1 Petrus (1Ptr. 1:1). Surat ini sangat bersifat Yahudi. Para ahli biblika menganggapnya sebagai dokumen Yahudi yang ‘dibaptiskan’ dengan beberapa sisipan Kristen. Namun pendapat ini hampir tidak dapat dipertahankan, karena terlihat demikian banyak hubungan antara surat Yakobus dengan literatur PB yang lain.
Dari bentuk sastranya, kita tidak menemukan ciri-ciri sebuah surat dalam surat Yakobus, kecuali karena alamatnya. Lebih tepat surat ini digolongkan dalam kelompok paranesis atau nasihat, yang hampir-hampir hanya berkenaan dengan perilaku etis. Karena itu, lazimnya Yakobus dianggap sebagai salah satu sastra hikmat Yahudi, sama seperti yang kita temukan dalam PL (misalnya, Amsal Salomo dan Yesus ben Sirakh) dan dalam literatur Yahudi ekstra kanonik (misalnya, Wasiat Keduabelas Tua-tua, Kitab Henokh dan Petunjuk Disiplin yang ditemukan di Qumran). Lebih khas lagi, surat ini terdiri dari bagian-bagian amsal pengajaran yang dapat dibandingkan dengan Tobit 4:5-19, dan banyak bagian dari Kitab Yesus ben Sirakh, serta perkataan-perkataan Yesus dalam Injil-injil Sinoptis, terutama dalam Khotbah di Bukit. Yakobus menampilkan tipe kekristenan perdana, yang menekankan ajaran sehat serta perliaku moral yang bertanggung jawab. Norma-norma etisnya terutama tidak berasal dari gagasan kristologi seperti yang terjadi dalam surat-surat Paulus, melainkan dari konsepsi keselamatan, yang meliputi pertobatan, baptisan, pengampunan dosa dan pengharapan akan penghakiman terakhir (Yak. 1:17; 4:12).
Secara paradoks, karya yang bersifat sangat Yahudi ini ditulis dalam gaya bahasa Yunani yang amat baik, bahkan termasuk salah satu yang terbaik dalam PB. Karena itu, diduga surat ini merupakan hasil karya seorang penulis Hellenistis yang terlatih. Mereka yang menganggap bahwa penulisnya adalah Yakobus dari Yerusalem berpendapat bahwa seorang sekretaris telah meredaksikannya, sehingga mencapai bentuknya seperti sekarang ini. Namun, dalam terang kebiasaan purba, asumsi ini tidak masuk akal. Sementara orang menganggap surat ini sebagai salah satu tulisan paling awal dalam PB, dan secara akurat isinya mencerminkan pikiran seorang pemimpin jemaat Kristen Yahudi. Lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa secara historis, tipe kekristenan Yahudi yang tercermin dalam surat ini tidak mungkin berasal dari masa sesudah kejatuhan Yerusalem pada 70 M.
Namun, sebagian orang yang lain meyakini bahwa surat Yakobus merupakan sebuah karya pseudonim dari periode kemudian. Kecuali gaya bahasa Yunaninya, mereka mencermati lebih lanjut bahwa: (a) wibawa yang diasumsikan oleh penulis menunjuk kepada reputasi legendaris Yakobus di kemudian hari; (b) pembahasan tentang pentingnya perbuatan baik (di samping iman) agaknya terjadi setelah masa hidup Paulus, sebab pada zaman Paulus, yang ditekankan adalah keselamatan karena iman; (c) gagasan moral-etis penulis tidak didasarkan pada ketentuan-ketentuan Taurat Musa; (d) surat ini tidak memuat sejarah Yakobus sendiri dan hubungan dia dengan Yesus, atau dengan persekutuan perdana di Yerusalem. Karena alasan-alasan tersebut, sangat masuk akal jika banyak penafsir mutakhir berpendapat bahwa surat ini merupakan karya pseudonim yang ditulis dalam periode 90-100 M.

2.   Gagasan-gagasan teologisnya

a.      Tentang Allah

Dengan tegas surat ini menyatakan bahwa Allah itu esa. Ketika surat Yakobus mengatakan, “Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan” (Yak. 4:12), kita seakan-akan mendengar gema Shema, inti ikrar iman Yudaisme, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul. 6:4). Penulis menyatakan bahwa Allah itu tetap, tidak berubah dalam kebaikan-Nya (bdk. 1:17). Hal ini bertentangan dengan kenyataan manusia yang labil, yang mendua hati dan hidupnya tidak tenang.

“Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran. Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita pada tingkat yang tertentu menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya” (1:18).

Allah dilukiskan sebagai ‘Bapa segala terang.’ Agaknya, gambaran ini merujuk pada cerita penciptaan, ‘Jadilah terang’ (Kej. 1:3). Yang perlu dicatat, di sini digunakan kiasan kebapaan, namun kemudian diikuti dengan kiasan keibuan yang melahirkan (tersirat dari frasa ‘menjadikan kita’). Namun penjadian kita adalah melalui firman kebenaran. Dalam surat ini, ‘firman kebenaran,’ yang dihubungan dengan penciptaan, menjadi salah satu perhatian. Secara implisit, penulis Yakobus berpegang pada keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai gambar Allah, dan sebagai gambar Allah, orang percaya diberi roh yang ditempatkan dalam dirinya (4:5), diberi firman di dalam hatinya (1:21) dan diberi kemampuan untuk berkata-kata, yaitu berkata-kata dengan integritas. “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian, kamu menipu diri sendiri” (1:22).
Bagian ini membawa kita pada inti pemahaman surat Yakobus tentang Allah, yaitu bahwa Allah adalah Pemberi. Dalam 1:5 (bdk. 3:17) dikatakan bahwa Allah adalah Pemberi hikmat. Allah adalah Pencipta yang telah menjadikan manusia menurut gambar-Nya, dan sebagai Pembuat hukum, Ia telah memberi mereka hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang (1:25 bdk. 4:12). Karena itu, barangsiapa meneliti hukum Allah dan bukan hanya mendengar tetapi juga melakukannya, pasti akan berbahagia.
Allah juga dikatakan ‘murah hati’ dan tidak ‘membangkit-bangkit’ atau mengungkit-ungkit dosa umat-Nya (1:5). Ia ‘mendekat kepada orang yang mendekat’ (4:8), ‘maha-penyayang dan penuh belas kasihan’ (5:11). Penulis Yakobus menunjukkan bahwa Allah itu mahakuasa namun berkenan didekati, karena Ia murah hati dan berbelas kasih.  

b.      Tentang hikmat

Seperti telah kita ketahui, karunia Allah yang amat penting bagi umat manusia adalah hikmat. Dalam kekristenan purba, kata ‘hikmat’ memiliki beberapa makna. Ketika surat Yakobus berbicara tentang hikmat, terdengar gema gagasan komunitas Yahudi, yang adalah asal-usul jemaat Kristen perdana. Pada saat surat ini ditulis, dalam Yudaisme sudah ada refleksi mengenai hakikat hikmat selama berabad-abad. Hal yang perlu diperhatikan, dalam surat ini hikmat diidentifikasi sebagai penyataan ilahi, yang memberi tuntunan untuk tindakan-tindakan konkret dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis menyatakan bahwa hikmat bukanlah perasaan iri hati, ambisi mementingkan diri sendiri secara kasar, dan berdusta melawan kebenaran, melainkan:

“Hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai” (3:17-18).

Hikmat itu dapat berdamai dan menginginkan rekonsiliasi – sesuatu yang penting bagi jemaat yang terancam perpecahan. Hikmat itu lemah lembut dan terbuka untuk menerima pikiran atau pendekatan orang lain, bukan kegeraman atau hujatan, bukan pula bersilat lidah. Hikmat itu murah hati, bukan penghakiman yang kejam, yang menutup pintu bagi komunikasi. Hikmat itu penuh buah kebaikan, lebih suka memberkati daripada mengutuk. Itulah yang dimaksud dengan “anak sulung di antara semua ciptaan” (1:18). Hikmat tidak bertindak diskriminatif, tidak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian  mengingkarinya. Hikmat itu konsisten, karena hikmat melahirkan integritas. Buah keadilan dan kebenaran (arti kata Yunani yang digunakan mencakup keduanya) ditunjukkan dalam perdamaian untuk mereka yang mengadakan perdamaian. Ringkasnya, hikmat menggenapi apa yang oleh surat Yakobus disebut sebagai “hukum utama,” yaitu mandat untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri.

c.  Taurat

Dalam menggunakan kata ‘hukum,’ kekristenan mewarisi Yudaisme, sebab di balik kata itu yang dimaksud adalah ‘Taurat’ dalam Kitab Suci Ibrani. Jika demikian, maka ketika surat ini berbicara tentang ‘hukum,’ secara implisit juga mencakup ‘pengajaran’ dan ‘perintah.’ Taurat adalah penyingkapan diri Allah kepada Israel, umat Allah. Bagi orang Yahudi tradisional, Taurat sebagai hukum Allah bukanlah aturan sewenang-wenang, melainkan undangan untuk masuk ke dalam relasi, undangan kepada pemenuhan janji. Penulis surat Yakobus menyebut Taurat sebagai ‘hukum yang sempurna’ dan ‘hukum yang memerdekakan,’ sebab hukum itu melepaskan umat Allah dari penjara egoisme. Taurat tidak menyiratkan pesismisme kehidupan manusia, bahwa di hadapan hukum Allah pada dasarnya manusia itu jahat dan perlu selalu diawasi. Justru sebaliknya, Taurat menimbulkan optimisme bagi umat Allah, karena kehendak Allah dapat diketahui oleh manusia, sehingga manusia dapat ambil bagian dalam kehendak ilahi. Dalam pengertian seperti ini, Taurat erat dihubungkan dengan hikmat. Karena itu, dalam literatur hikmat, Taurat juga sering disebut sebagai hikmat Allah dan surat Yakobus dapat mengatakan:

“Tetapi, barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (1:25).

”Tetapi jika kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci, ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu’ kamu berbuat baik” (2:6).

Ketika surat Yakobus melukiskan Allah sebagai Pemberi hukum, maka yang ditekankan adalah kasih karunia-Nya. Hukum itu diberikan justru karena Allah mengasihi umat-Nya. Hukum itu diberikan dalam ikatan perjanjian anugerah, jadi bukan tuntutan Allah yang sewenang-wenang atas umat-Nya.

d.  Hidup dalam persekutuan

Surat Yakobus dialamatkan kepada persekutuan jemaat berkenaan dengan perilaku orang beriman dalam kehidupan persekutuan. Tentu saja, persekutuan jemaat memiliki model-model tertentu dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan ideal yang diharapkan dalam surat ini adalah, “supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (1:4), namun kemudian disusul, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya” (1:5). Tujuan utama kehidupan jemaat adalah kesempurnaan, dan hikmat adalah bagian dari kesempurnaan.
Kata Yunani teleios yang diterjemahkan ‘kesempurnaan’ dapat pula berarti ‘kelengkapan’ atau ‘keutuhan’ atau ‘kepenuhan’ atau ‘integritas.’ Karena surat Yakobus lebih menekankan sisi praktis kehidupan Kristen, maka ketika berbicara tentang ‘integritas,’ yang dimaksudkan bukanlah integritas dalam pengertian abstrak, melain-kan integritas praktis. Perhatian difokuskan pada integritas perkataan dan perbuatan. Istilah-istilah yang digunakan dalam surat Yakobus untuk menunjukkan tindakan yang bertentangan dengan integritas praktis antara lain: ‘bimbang,’ ‘menipu diri,’ ‘berdusta,’ ‘menghujat,’ ‘sombong,’ dan ‘memandang muka.’ Sedang perkataan yang tidak memiliki integritas digambarkan sebagai ‘dosa lidah.’ Lidah yang digunakan dengan tidak benar dilukiskan sebagai sesuatu yang buas, yang tak terkuasai dan penuh racun yang mematikan (3:8). Ungkapan seperti ini lazim ditemukan dalam literatur Yunani-Romawi pada waktu itu, dan hampir dapat dipastikan tidak berasal dari bahasa para pembacanya.
Surat Yakobus menasihatkan jemaat agar hidup dalam integritas perbuatan. Orang sering berpendapat bahwa agama adalah masalah iman. Namun, surat Yakobus menyatakan bahwa perbuatan akan membawa iman kepada kesempurnaan. Sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikianlah iman tanpa perbuatan juga mati (2:26). Integritas perbuatan berkaitan erat dengan hikmat. Orang yang berhikmat antara lain berarti memiliki integritas dalam perbuatannya, yang terwujud dalam keadilan, yaitu tindakan yang tidak memihak, tindakan yang tidak diskriminatif. 
Agaknya, egalitarianisme surat Yakobus terutama ditujukan untuk melawan realitas sosial dalam kekaisaran Romawi pada abad pertama. Penulis menasihatkan agar jemaat tidak mengikuti sikap masyarakat umum, yang berpihak kepada orang-orang kaya dan mengabaikan orang-orang miskin. Hal ini tersirat dalam nasihat agar jemaat tidak mengamalkan iman dengan memandang muka (2:1). Jangan memperlakukan anggota jemaat yang kaya melebihi mereka yang miskin. Jangan berkata kepada yang berpakaian indah, “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini,” tetapi berkata kepada yang miskin, “Berdirilah di sana!” atau “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!” (2:3). Jika demikian, mereka membuat pembedaan dalam hati dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat (2:4).
Pada masa itu, sebagaimana juga terjadi dalam banyak kebudayaan, lazimnya orang-orang kaya menyumbangkan dana untuk proyek-proyek umum. Namun, dengan sumbangan itu mereka berharap mendapat perlakuan dan hak-hak istimewa. Mereka merasa penting dan ingin diterimakasihi di depan umum, serta diperlakukan sebagai orang-orang istimewa. Mereka berharap agar para penerima sumbangan menghormati dirinya sedemikian rupa, sehingga ia lebih dimuliakan daripada orang lain. Jika jemaat bertindak memandang muka, maka secara tidak langsung mereka pun dikuasai oleh kesombongan ambisius, dan bukan kasih terhadap sesama, karena mereka telah mengabaikan hak-hak orang miskin.

Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari dan seorang dari antara kamu berkata, “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!” tetapi tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati (2:15-17).

Peringatan agar jemaat “tidak bersahabat dengan dunia” dalam 4:1-10, berhubungan erat dengan peringatan terhadap orang kaya, yang memperoleh kekayaannya dengan jalan yang tidak adil (5:1-6).

Jadi sekarang hai kamu orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara yang akan menimpa kamu! Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat! Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. … Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu … dst. (5:1-6).
 
Taurat melarang majikan untuk menahan upah buruh harian hingga hari berikutnya. Sebab jika demikian, majikan tersebut telah membiarkan keluarga buruh tersebut kelaparan sepanjang malam. Dalam memperingatkan ketidakadilan seperti ini, penulis surat Yakobus menggunakan gaya nabi-nabi alkitabiah. Jika hukum utama menghendaki agar jemaat mengasihi sesama, itu berarti bahwa Allah berpihak kepada orang-orang miskin dan tertindas.

Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia? (2:5).

Ayat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa, agar berkenan kepada Allah, orang beriman harus menjadi miskin secara ekonomis. Tetapi, yang dimaksudkan adalah agar jemaat memperhatikan keadaan sesama di sekitarnya, dan ikut serta berbelarasa atas penderitaan, ketidakadilan dan kemiskinan yang mereka alami.
Surat Yakobus menolak sistem masyarakat yang mencari muka terhadap orang-orang kaya, karena hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan. Sebaliknya, jemaat harus memberi perhatian kepada semua orang dan menghormati semua orang. Sapaan ‘saudara dan saudari’ dalam surat ini bukanlah sapaan sentimental belaka, melainkan sapaan yang menempatkan semua orang pada kedudukan yang setara, sama seperti kedudukan semua anggota dalam sebuah keluarga. Sebagaimana tiap-tiap anggota keluarga memiliki posisi yang setara, satu sama lain dipertautkan dalam satu ikatan kasih dan saling menolong dalam segala hal, demikian halnya yang terjadi dengan anggota-anggota jemaat. Hubungan antaranggota jemaat seharusnya mengikuti pola hubungan antaranggota keluarga, bukan pola hubungan antara tuan dengan hamba atau antara penyumbang dana dengan penerimanya. Kesetaraan perlakuan ini dikenakan, baik kepada yang kaya, maupun kepada yang miskin.
Surat Yakobus juga menekankan perlunya sikap ramah-tamah seorang terhadap yang lain. Hal ini tersirat dari kisah Rahab yang dikutipnya.

Bukankah Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu ke dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain? (2:25).

Ketika Yosua mengutus mata-mata untuk menyelidiki kota Yerikho, Rahab menyambut mereka dengan ramah-tamah dan menerima mereka untuk menginap di rumahnya. Ia menyembunyikan mereka dari kejaran para prajurit Yerikho, kemudian menolong mereka untuk meloloskan diri melalui jalan lain. Sekalipun Rahab bukan umat Israel, ia mengakui kuasa Allah yang telah menyelamatkan Israel dari tanah Mesir. Karena perbuatannya itu, maka ketika umat Israel berhasil menaklukkan Yerikho, Rahab dan keluarganya diselamatkan (tidak ikut dibinasakan).
Mengapa penulis Yakobus menampilkan Rahab sebagai salah seorang teladan, sedangkan tegas-tegas dinyatakan bahwa ia adalah seorang pelacur? Dalam hal ini, yang hendak ditekankan penulis adalah bahwa kasih Allah berlaku untuk semua orang. Tuhan tidak memandang muka, ia mengasihi semua umat-Nya, termasuk orang-orang di luar umat pilihan-Nya. Ini adalah kabar baik. Kemungkinan besar, sebagian penerima surat Yakobus berasal dari kalangan bawah, dari lingkungan masyarakat kelas Rahab, yang tersisih dari pergaulan masyarakat umum. Jemaat disadarkan bahwa kasih Tuhan juga berlaku bagi mereka. Bagi penulis Yakobus, iman yang benar adalah iman yang terwujud dalam tindakan nyata, termasuk perhatian terhadap para janda dan anak-anak yatim, perhatian terhadap mereka yang terpinggirkan dan terabaikan dalam masyarakat.
Ringkasnya, surat ini mengajak jemaat untuk hidup bersama dalam satu persekutuan kasih, yang dicirikan oleh tindakan rohani, yaitu integritas. Integritas ini bersumber dari karunia hikmat surgawi, yang memampukan mereka berbalik dari ambisi pribadi, yang jauh dari kasih, kepada kesediaan untuk berbelarasa secara konkret terhadap mereka yang terpinggirkan, dengan jalan mewujudkan keadilan dan perdamaian.

e. Pengurapan orang sakit

Yakobus 5:14-15 sering dijadikan dasar bagi doktrin pengurapan orang sakit. Bahkan dalam Gereja Katolik Roma, tradisi pengurapan tersebut kemudian berkembang menjadi salah satu sakramen gerejawi. Sesungguhnya, pengolesan minyak atas orang sakit adalah cara pengobatan biasa, yang lazim dilakukan orang pada masa itu. Minyak olesan dibuat dari minyak zaitun, dicampur dengan bermacam rempah-rempah, yang lazimnya berasal dari tumbuh-tumbuhan. Secara imaniah, minyak obat tersebut hanyalah sarana, sedangkan Sang Penyembuh adalah Allah sendiri. Karena itu, pengolesan minyak atas seseorang yang sakit haruslah disertai dengan doa dan iman yang sungguh-sungguh.

f. Kedatangan hari Tuhan

Penulis Yakobus mengimbau jemaat agar bersabar hingga kedatangan Tuhan (5:7). Nasihat untuk bersabar di sini lebih berhubungan dengan waktu daripada dengan penderitaan yang harus mereka tanggung. Agaknya dalam pikiran penulis, hari Tuhan akan segera datang (5:8). Seakan-akan dalam pikirannya telah terlintas kehancuran Yerusalem. Ia ingin menguatkan semua angota jemaat yang lemah supaya mereka bersabar dan bertekun. Penulis mengambil ilustrasi kesabaran petani, ilustrasi yang sudah akrab bagi para pendengarnya. Jemaat dimbau untuk bersabar dan meneguhkan hati, karena hari Tuhan sudah dekat. Kata kerja Yunani yang digunakan untuk ‘mendekat’ dalam ayat ini sama dengan yang digunakan dalam Markus 1:15, yaitu ēnggiken (dari kata enggizō). Kerajaan Allah telah dekat dalam diri Yesus, namun kegenapannya masih dinantikan.
Penulis menyadari bahwa penderitaan dan kesengsaraan dapat menyebabkan putus asa. Karena itu, ia menasihatkan agar di tengah beban penderitaan, mereka tidak bersungut-sungut dan saling mepersalahkan, agar mereka jangan sampai dihukum, sebab sesung-guhnya, Sang Hakim telah berdiri di ambang pintu (5:9). Ayat ini menguatkan dugaan bahwa penulis surat Yakobus mengira hari Tuhan akan segera datang dan masa penghakiman akan segera dimulai. Jemaat diimbau agar meneladan kesabaran para nabi (5:10). Penulis berasumsi bahwa pembacanya telah akrab dengan tradisi alkitabiah, termasuk kisah penderitaan para nabi di zaman dahulu.
Ungkapan “kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun,” merupakan penghargaan yang tepat untuk para pahlawan iman, karena pada akhirnya Allah menyediakan ganjaran yang setimpal, sebagaimana secara ilustratif diterima oleh Ayub yang telah bertekun dalam menghadapi penderitaan.     

g. Menerapkan prinsip-prinsip spiritualitas

Pada bagian akhir surat Yakobus, penulis memberi nasihat tentang prinsip-prinsip spiritualitas (5:13-20). Bagian ini tidak bertentangan dengan garis utama pemikiran teologis penulis tentang perbuatan sebagai penyempurna iman. Kalaupun segala masalah harus dibawa dalam doa, tidak berarti bahwa tindakan rasional yang nyata tidak lagi diperlukan. Namun, yang hendak ditekankan adalah pentingnya spiritualitas kehidupan orang beriman, yang mencerminkan relasi personalnya dengan Allah. Baik penderitaan maupun kegembiraan, semua harus diungkapkan dalam hubungan personal dengan Allah. Itulah sebabnya, mereka yang sakit dinasihatkan agar berdoa, mereka yang bergembira dinasihatkan agar menyanyi (memuji Allah), dan satu sama lain saling mendoakan, saling mengingatkan dan saling menopang dalam kelemahan. Dengan demikian keselamatan setiap anggota jemaat akan terpelihara, dan mereka terluput dari maut. 

B. SURAT 1 PETRUS

Melacak pemikiran teologis rasul Paulus relatif lebih mudah daripada melacak pemikiran teologis rasul Petrus. Paling tidak, dalam PB kita dapat menemukan tulisan-tulisan Paulus yang asli, sehingga berdasar tulisan-tulisan tersebut kita dapat mempelajari dengan seksama pemikiran-pemikiran teologisnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan rasul Petrus. Dalam PB kita hanya menemukan dua surat yang menggunakan nama Petrus, itu pun tidak dapat dipastikan bahwa Petrus sendiri adalah penulisnya. Pada umumnya, para ahli PB sepakat bahwa surat 2 Petrus tidak berasal dari tangan rasul Petrus. Sedangkan untuk surat 1 Petrus, sebagian ahli meyakini bahwa surat tersebut ditulis oleh Petrus atas bantuan Silwanus (1Ptr. 5:12), namun sebagian yang lain meragukannya.
Dalam 1 Korintus 15:1-11, setelah mengutip tradisi Injil yang diterimanya, Paulus menyatakan, “Sebab itu, baik aku, maupun mereka, demikianlah kami mengajar dan demikianlah kamu menjadi percaya” (1Kor. 15:11). Pernyataan Paulus ini merupakan pengakuan yang cukup jelas bahwa ia dan rasul-rasul Yerusalem (yang oleh Paulus disebut ‘mereka’), termasuk rasul Petrus, yang merupakan soko guru para rasul, dipersatukan dalam pengertian yang sama mengenai fakta Yesus. Ketika mereka bersekutu di sekitar meja perjamuan di Antiokhia, Paulus menandaskan bahwa pengertiannya tentang keselamatan tidak berbeda dengan pengertian Petrus. Paulus berkata kepada Petrus, “Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab, tidak ada seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat” (Gal. 2:16).
Dari pernyataan Paulus tersebut, kita dapat menduga bahwa doktrin ‘pembenaran karena iman’ itu bukanlah penemuan Paulus, sebagaimana sering disangkakan orang, melainkan juga doktrin Petrus dan para rasul yang lain. Jika Paulus dan Petrus sepakat atas fakta utama Injil dan sepakat atas gagasan dasar tentang keselamatan, pertanyaan yang timbul adalah, mengapa dalam PB tidak kita temukan tulisan-tulisan Petrus sebanyak tulisan-tulisan Paulus? Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Persoalan akan menjadi sederhana jika kita tidak berpegang pada pendapat bahwa Surat 1 dan 2 Petrus ditulis oleh Rasul Petrus sendiri. Ada dua alasan yang mendukung. Pertama, mengingat bahwa Petrus adalah seorang penjala ikan yang sederhana, sulit dibayangkan bahwa ia mampu menyusun surat dengan pemikiran-pemikiran teologis sistematis. Kedua, nasihat tentang ‘menderita sebagai Kristen’ yang dibicarakan dalam 1 Petrus 4:16 rupanya tidak sesuai dengan konteks kekristenan perdana di Palestina, melainkan lebih cocok dengan kekristenan yang telah berkembang di dunia kafir di kemudian hari. Jadi, sulit dipahami jika surat 1 Petrus ditulis oleh Petrus sendiri. Kemungkinan surat itu ditulis oleh orang lain (mungkin murid-murid Petrus) dengan menggunakan nama Petrus. Jika dalam PB tidak terdapat tulisan-tulisan Petrus, itu wajar, karena Petrus rupanya memang tidak menuliskan Injilnya. Sekalipun demikian, pokok-pokok ajaran Injil ditransmisikan secara lisan, sehingga menjadi tradisi Injil, yang juga diterima oleh Paulus. Jadi, wajar pula jika pemikiran teologis fundamental Paulus dan surat Petrus, terutama mengenai fakta Kristus dan gagasan dasar keduanya tentang keselamatan, memiliki kesamaan. Dengan demikian, membicarakan pemikiran teologis Petrus sesungguhnya yang dimaksudkan adalah membicarakan teologi surat Petrus.

1. Pengantar

a. Kepenulisan

Penulis surat ini memperkenalkan dirinya sebagai rasul Petrus. Hal ini menimbulkan tradisi yang cukup kukuh hingga dewasa ini, bahwa penulis surat ini adalah rasul Petrus. Gereja purba sejak dini menerima kepenulisan Petrus. Yang jelas, surat ini telah disebut dalam surat 2 Petrus (3:1). Polycarpus dan Papias (sekitar tahun 110) juga telah menyebut surat ini dalam tulisannya. Namun, perlu pula dicatat bahwa 1 Petrus tidak disebut dalam Kanon Muratori. Petrus disebut secara eksplisit sebagai penulisnya dalam tulisan Irenaeus “Melawan Bidat-bidat” (4.9.2; 5.7.2; 16.5). Kebanyakan ilmuwan biblika modern meragukan kepenulisan Petrus dan berpendapat bahwa surat ini pseudonim. 

Beberapa alasan yang mendukung pseudonimitas surat ini

§  Sekalipun surat ini diatasnamakan Petrus, di dalamnya terdapat begitu banyak gagasan Paulus.
§  Paulus mengabarkan Injil di beberapa daerah dalam wilayah yang menjadi alamat surat ini. Jadi, jika Petrus mengirim suratnya ke wilayah ini, maka ia melanggar batas wilayah pelayanan Paulus.
§  Dalam 1 Petrus tidak terdapat cerita personal mengenai kehidupan Yesus, yang seharusnya ada jika surat ini benar-benar ditulis oleh Petrus. Sebagaimana dikatakan W.G. Kümmel, surat ini sama sekali tidak memuat bukti mengenai keakraban penulis dengan pribadi Yesus duniawi, kehidupan-Nya, ajaran-Nya dan kematian-Nya, tetapi hanya menyebutkan ‘penderitaan’ Kristus secara umum. Sulit dipahami bahwa Petrus tidak memiliki hubungan pribadi dengan Yesus dan dalam suratnya sama sekali tidak menunjukkan teladan Yesus.[2]
§  Gaya bahasa Yunani yang digunakan dalam 1 Petrus jauh melampaui kemampuan seorang nelayan untuk menulis. Paul J. Achtemeier berkomentar bahwa gaya bahasa Yunani surat ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penulisnya cukup memadai, entah ia dilahirkan sebagai orang Yunani atau bukan. Jika tidak berpendidikan tinggi dalam ilmu retorika (ilmu berpidato) atau filsafat, paling tidak penulis berpendidikan menengah, yang meliputi geometri, aritmetika dan musik, mirip-mirip dengan Homer. Gaya bahasa Yunani surat ini tentu tidak mungkin ditulis oleh seorang nelayan Palestina yang kurang berpendidikan. Jadi agaknya, bahasa seperti itu bukanlah bahasa Petrus.[3]  
§  Penganiayaan yang dibicarakan dalam 1 Petrus tidak mungkin terjadi sebelum periode pasca kematian Petrus, sebab, pengani-ayaan yang terjadi dalam masa kehidupan Petrus lebih bersifat individual, bukan penganiayaan terhadap jemaat secara umum.
§  Penulis menyebut dirinya sebagai sumpresbuteros (teman penatua), suatu jabatan yang muncul dalam perkembangan eklesiologi gereja di kemudian hari. Udo Schnelle berkomentar, dalam 1 Petrus 1:1 penulis menyebut dirinya sebagai apostolos (rasul), namun dalam 1 Petrus 5:1 ia menyebut diri sebagai sumpresbuteros (teman penatua). Salah seorang rasul, yang adalah anggota lingkaran duabelas murid Yesus, dan yang kepadanya Yesus yang telah bangkit itu menampakkan diri, tentu tidak mungkin menyebut diri sebagai ‘teman penatua.’ Apa lagi jabatan ‘penatua’ merupakan jabatan gerejawi yang baru muncul dalam eklesiologi di kemudian hari.[4]

Tanggapan terhadap pseudonimitas 1 Petrus

Terhadap beberapa alasan yang mendukung pseudonimitas surat 1 Petrus, ada beberapa tanggapan:

§  Dalam banyak hal, teologi Petrus memang sangat dekat dengan teologi Paulus.
§  Meskipun Paulus mungkin telah mengadakan pekabaran Injil di beberapa bagian dari wilayah yang menjadi alamat surat ini, Petrus juga melakukan pekabaran Injil di daerah-daerah itu.
§  Kemungkinan Petrus merasa tidak perlu memasukkan cerita pribadi kehidupan Yesus dalam suratnya karena berbagai alasan. Salah satu kemungkinan alasan adalah bahwa ia telah menceritakan banyak informasi tentang kehidupan Yesus kepada Markus, yang di kemudian hari menulis Injil atas namanya (Injil Markus). Seperti komentar Guthrie, benar bahwa tulisan seorang penulis rasuli seperti Petrus seharusnya mengingatkan kita akan hubungan pribadinya dengan gurunya; namun, karena hubungan pribadi itu tercermin dalam surat 2 Petrus, keberatan ini tidak dapat dianggap sebagai alasan serius untuk menolak kepenulisan Petrus atas surat ini. Lagi pula, tidak ada kritik kanonik yang meyakinkan, yang dapat mendukung validitas pendapat bahwa 1 Petrus adalah karya pseudonim.[5] 
§  Sangat mungkin bahwa selama perjalanannya, Petrus telah giat belajar gaya bahasa Yunani. Terlebih lagi, pada awal hidupnya ia tinggal di kota Betsaida, yang statusnya merupakan hadiah dari prokurator (tetrach) Filipus. Filipus dikenal sebagai seorang Hellenis dan rupanya sebagian besar penduduk Betsaida berba-hasa Yunani.
§  Sangat mungkin Petrus membicarakan penganiayaan dalam skala lokal yang terjadi di wilayah yang menjadi alamat suratnya. Kemungkinan ia merujuk pada penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Neronian, yang pada akhirnya juga membunuh Petrus sendiri.
§  Petrus tidak perlu memperkenalkan diri sebagai rasul. Argumen mengenai pernyataan penulis dalam 1 Petrus 5:1 bahwa dirinya adalah ‘teman penatua’ bukanlah argumen konklusif. Sebab, dalam kenyataan, istilah ‘penatua’ telah digunakan sebagai sebutan untuk para rasul sejak zaman Papias (tahun 60-135).

Para ahli biblika tetap berbeda pendapat mengenai masalah ini. Mereka yang menolak kepenulisan Petrus berpendapat bahwa salah seorang murid Petruslah yang menulis surat ini atas nama gurunya. Kemungkinan besar ia menulis berdasarkan ingatannya sendiri atas perkataan-perkataan Petrus, atau mungkin berdasarkan beberapa sumber tertulis sebagai bahannya. Mereka yang mendukung kepenulisan Petrus tentu saja tidak memiliki teori seperti ini.

Tempat dan waktu penulisan

Di samping perbedaan pendapat mengenai penulis surat 1 Petrus, ada pula kesepakatan di antara para ahli biblika mengenai tempat penulisannya. Karena adanya petunjuk internal ‘Babilonia’ dalam 1 Petrus 5:13 (aspazetai humas hē en Babulōni suneklektē), kebanyakan ahli sepakat bahwa surat ini ditulis dari Roma. Memang ada pula yang berpendapat bahwa surat ini ditulis dari Babilonia dalam arti harfiah. Ada lagi yang berpendapat bahwa ‘Babilonia’ merupakan kiasan untuk ‘pembuangan rohani.’ Namun, pada umumnya para ahli sepakat bahwa ‘Babilonia’ adalah kata sandi untuk Roma. 
Menentukan waktu penulisan surat 1 Petrus merupakan tugas ilmuwan yang cukup sulit. Salah satu kesulitan utama adalah menentukan ranah penganiayaan yang dimaksud oleh penulis: penganiayaan lokal di Asia Kecil atau penganiayaan yang lebih luas, yang mencakup seluruh wilayah kekaisaran? Seringkali orang menentukan waktu penulisan surat ini berdasar siapa yang dianggap sebagai penulisnya.
Mereka yang berpendapat bahwa Petrus adalah penulisnya, memperkirakan surat ini ditulis beberapa waktu menjelang kematian Petrus sebagai martir pada tahun 68. Mereka memperkirakan waktu penulisannya sekitar tahun 63-64, dengan alasan: disebutnya nama Silwanus di bagian akhir surat mengisyaratkan bahwa surat ini ditulis segera setelah kedatangan Paulus di Roma. Meskipun demikian, hal ini tidak dapat dipastikan.
Mereka yang berpendapat bahwa surat ini pseudonim memper-kirakan waktu penulisannya adalah antara tahun 57-96, bahkan ada yang berpendapat bahwa surat ini ditulis antara tahun 72-92, dengan alasan sebagai berikut:

Ø  Setelah pekabaran Injil Paulus, penyebaran kekristenan tentu saja membutuhkan waktu cukup lama.
Ø  Batas-batas provinsi yang disebutkan dalam 1 Petrus 1:1 ditentukan oleh Kaisar Vespasianus pada 72.
Ø  Diperkirakan ada tenggang waktu tertentu antara penulisan surat ini dengan periode Paulus, sebab dalam surat ini tidak terdapat perdebatan mengenai hukum Musa dan tidak tercermin adanya perjuangan untuk menjadi Kristen.

b. Penerima aslinya

Penerima asli surat ini hidup di Asia Kecil, terutama di wilayah timur dan tengah, yang berbatasan dengan Laut Hitam. Beberapa ilmuwan biblika meyakini bahwa penerima asli surat ini adalah orang-orang Yahudi, karena mereka menganggap diri sebagai umat pilihan Allah. Namun, kebanyakan ilmuwan sepakat bahwa penerima aslinya cukup luas, tidak eksklusif hanya untuk orang-orang Yahudi, melainkan termasuk pula orang-orang Kristen Yunani. Kemungkinan, surat ini merupakan surat edaran yang dikirim pertama-tama kepada jemaat yang berada dalam urutan pertama dalam daftar yang ada, kemudian salinannya dikirim ke jemaat-jemaat berikutnya. Terlepas dari semua itu, tampak bahwa penerimanya sedang berada dalam penganiayaan, yang menyebabkan mereka meninggalkan ‘Jalan Kebenaran’ dan kembali ke cara hidup mereka sebelumnya.
 
2.  Pemikiran-pemikiran teologisnya

Petunjuk 1 Petrus 1:1 memberi dasar hermeneutis atas surat ini secara keseluruhan. Dengan menyebut jemaat sebagai “eklektoi parepidēmoi diasporas” (secara harfiah berarti “orang-orang pilihan yang terbuang sebagai diaspora,” LAI menerjemahkannya dengan “orang-orang pendatang”), penulis menjelaskan pengertiannya tentang keberadaan umat Kristen, bahwa dunia bukanlah “tempat tinggalnya” dan di dalamnya mereka tidak akan menemukan rasa aman serta damai. Istilah parepidēmos (orang buangan) dalam PB hanya kita temukan tiga kali, yaitu dalam 1 Petrus 1:1; 2:11 dan Ibrani 11:13. Di dunia ini, umat Kristen seakan-akan hidup sebagai komunitas yang terserak di tanah asing, bahkan juga di tempat mereka dilahirkan dan bertumbuh. Pengertian ini tidak hanya merupakan contoh sikap benci terhadap dunia, yang terdapat dalam kebudayaan purba di berbagai tempat, melainkan benar-benar berdasarkan realitas, bahwa di dunia ini umat Kristen sekan berada dalam diaspora. Mereka asing bagi dunia, karena melalui kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati (1:3), telah dilahirkan kembali ke dalam kehidupan yang penuh harapan. Kebangkitan Yesus telah melepaskan orang beriman dari keberadaan manusiawinya yang ditentukan oleh kesia-siaan dunia ini (1:18), menyembuhkannya (2:14) dan menyelamatkannya (4:18). Orang-orang beriman telah ditempatkan dalam situasi kehidupan baru, yang ditentukan oleh sukacita pengharapan akan datangnya parousia.
Pusat peristiwa revolusioner itu adalah baptisan (bdk. 1:3, 18, 23; 3:21). Baptisan itulah yang menjadi titik balik kehidupan umat Kristen dan menempatkannya di antara Paskah dan parousia. Baptisan tidak membebaskan orang beriman dari dunia dan kesulitannya, melainkan memampukan mereka menghadapinya. Jadi, kehidupan baru umat Kristen tidak dibuktikan dengan kategori-kategori duniawi (1:3b; 5:10). Namun, serentak dengan itu, penulis 1 Petrus juga tidak mempertentangkan antara realitas kehidupan baru dengan dampak yang ditimbulkannya. Kehidupan baru umat Kristen mendapatkan bentuknya yang kasat mata dalam kekudusan hidup (1:14-15; 2:1-2) dan kasih satu sama lain sebagai keluarga Allah (1:22). Mereka menjaga diri dari nafsu kedagingan (2:11-12) menghindari perbuatan jahat (4:3) dan hidup dalam kebenaran (4:1-2). Karena cara hidup yang baru ini, umat Kristen sering difitnah dan harus memberi jawab kepada para penuduhnya dengan lemah lembut dan hormat (3:15-17). Lebih dari itu, umat Kristen dipangil untuk ikut menderita. Sekalipun umat Kristen telah hidup dengan adil dan benar, namun mereka masih harus menderita akibat relasinya dengan Allah. Seluruh gagasan teologis dalam surat 1 Petrus diwarnai oleh pemikiran dasar ini.    

a. Hubungan antara Allah dengan ciptaan-Nya

Dalam surat 1 Petrus, secara khusus Allah disebut sebagai “Pencipta yang setia” (4:19). Sang Pencipta itu tidak hanya menjadikan manusia, tetapi juga memperhatikan segala urusan hidupnya. Oleh sebab itu, surat ini juga menyatakan kehendak Allah yang menyangkut berbagai segi kehidupan manusia: (a) tentang sikap orang percaya dalam menghadapi penderitaan (3:17; 4:19); (b) tentang hidup kekristenan pada umumnya (4:2); dan (c) tentang kehidupan sosial orang beriman (2:15). Sebagai catatan, dalam surat 2 Petrus, penciptaan dihubungkan dengan Firman Allah (2Ptr. 3:4 dst.). Dalam 1 Petrus, tanggapan terhadap asal mula bumi ini langsung dihubungkan dengan pembinasaan terakhir langit dan bumi, yang akan terjadi pada hari Tuhan (3:10, 12). Dengan kata lain, awal dan akhir penciptaan secara material ditentukan oleh Allah, di bawah kendali Allah dan seturut dengan rencana-Nya.

b. Tentang manusia

Surat 1 Petrus memberi perhatian pada tingkah laku manusia secara praktis, bukan sekadar pada spekulasi-spekulasi tentang keadaan manusia. Salah satu yang cukup mencolok adalah pernyataannya mengenai keinginan-keinginan daging (sarks) yang berjuang melawan jiwa (psukhē, 2:11). Pernyataan ini sejajar dengan perkataan Paulus yang mempertentangkan antara daging (sarks) dengan roh (pneuma). Namun, dalam surat Petrus, pertentangan tersebut tidak terlalu ditonjolkan. Jika kita perhatikan apa yang terjadi atas diri Yesus, “Dia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia (= daging, sarks), tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh (pneuma)” (3:18), terkesan bahwa seakan-akan sarks yang fana dipertentangkan dengan pneuma yang hidup (bdk. 4:6). Namun harus diperhatikan bahwa sarks dan pneuma dalam ayat ini tidak menunjuk pada dua unsur tubuh Kristus, melainkan pada dua karakter yang berlainan. Jika dikatakan bahwa keselamatan berhubungan dengan jiwa (1:9), itu tidak berarti bahwa penulis memiliki pemikiran dualistik mengenai manusia, karena, yang dimaksud dengan ‘jiwa’ adalah manusia seutuhnya. Maka dikatakan bahwa ‘jiwa’ dapat disucikan (1:22); Allah adalah gembala dan pemelihara ‘jiwa’ (2:25), karena itu, mereka yang menderita didorong agar menyerahkan diri kepada penciptanya (4:19). Dari contoh-contoh di atas, ‘jiwa’ berarti pribadi manusia secara utuh. Kata psukhē dalam 1 Petrus 3:20 (LAI menerjemahkan kata Yunani oktō psukhai dengan ‘delapan orang’) digunakan dengan arti yang jelas berbeda dengan roh.
Dalam surat 1 Petrus, kata suneidēsis muncul sebanyak tiga kali, yaitu dalam 1 Petrus 2:19; 3:16 dan 3:21. Donald Guthrie cenderung tidak mengartikan suneidēsis dalam 1 Petrus 2:19 sebagai ‘hati nurani,’ karena kata itu diikuti dengan bentuk genetif ‘theou’ (dia suneidēsin theou). Guthrie lebih suka menerjemahkannya dengan ‘sadar akan kehendak Allah,’ seperti terjemahan LAI. Dalam 1 Petrus 3:16, suneidēsis agathē (diterjemahkan LAI dengan ‘hati nurani yang murni’) digunakan dalam arti “usaha untuk menghindarkan diri secara sadar dari perbuatan dosa,” dengan demikian mencegah orang-orang yang tidak beriman untuk memfitnah, yang dapat menghalangi pertum-buhan iman. Ungkapan ‘suneidēsis agathē’ dalam 1 Petrus 3:21 agak sulit dipahami. “Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan – maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik (suneidēseōs agathēs) kepada Allah – oleh kebangkitan Kristus Yesus.” Lazimnya, suneidēsis, sebagaimana penggunaannya dalam PB pada umumnya, selalu berarti “kesadaran moral mengenai hal yang baik.” Namun dalam ayat ini dikatakan bahwa menjadi Kristen hendaknya diikuti dengan perubahan hati nurani sedemikian rupa, sehingga menjadikannya berbeda dengan orang yang tidak beriman. Seakan-akan sebelum bertobat, seseorang memiliki hati nurani yang jahat (suneidēsis ponēra, bdk. Ibr. 10:22) dan setelah bertobat digantikan dengan hati nurani yang baik (suneidēsis agathē), yang terbebas dari perasaan bersalah terhadap dosa-dosa pada masa silam.

c. Kerygma Rasuli

Jemaat perdana percaya bahwa Injil sekaligus merupakan berita baru dan lama. Injil merupakan berita baru, karena fakta Kristus memang merupakan peristiwa yang baru, namun sekaligus juga merupakan berita lama, karena fakta Kristus itu telah dinubuatkan oleh para nabi (fakta Kristus merupakan penggenapan nubuat para nabi, yang telah dikenal akrab bagi kehidupan keagamaan umat Yahudi). Inti yang dibicarakan dalam 1 Petrus 1:10-12; 24-25 adalah bahwa: (1) fakta Kristus menggenapi ilham surgawi yang telah diterima oleh para nabi, dan (2) Injil sesungguhnya adalah firman Allah yang hidup dan kekal, seperti yang telah diterima oleh Yesaya.
Pemberitaan 1 Petrus tentang Yesus, memiliki kesamaan dengan isi kerygma rasuli pada umumnya. Secara garis besar, inti beritanya adalah sebagai berikut: Yesus Kristus yang telah dipilih sebelum dunia dijadikan, pada zaman akhir telah dinyatakan (1:20). Namun, Mesias tersebut mengambil rupa seorang ‘hamba Allah’ yang memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (2:22-24). Seperti domba Paskah yang tak bercacat dan tak bernoda, Ia telah menebus kita melalui pengorbanan-Nya (1:18-19); Ia telah mati untuk dosa-dosa kita, “orang yang benar untuk orang-orang yang tidak benar,” supaya membawa kita kepada Allah (3:18). Demi kita, Ia telah turun ke neraka (3:19, bdk. Kis. 2:27, 31), namun Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mengaruniakan kepada-Nya kemuliaan (1:3, 21, bdk. Kis. 3:13), sehingga kini, Dia adalah Tuhan (2:3; 3:15, bdk. Kis. 2:36). Roh Kudus telah diutus dari surga ke atas para rasul (1:12) dan kini, Israel baru telah mewarisi gelar dan kedudukan Israel lama untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar (2:9-10) sambil menantikan saat ketika Kristus dinyatakan dalam kemuliaan-Nya (1:7, 13; 4:13; 5:1, 4). Inilah pokok-pokok pemberitaan rasuli (kerygma) yang paling awal.
Pemahaman surat 1 Petrus tentang keselamatan bertolak dari fakta Kristus tersebut. Kehidupan Kristen digambarkan sebagai kelahiran baru yang diberikan Allah melalui firman-Nya (1:23). Dengan kelahiran baru itu Allah memanggil orang beriman keluar dari dalam kegelapan ke dalam terang-Nya yang ajaib (2:9), dan berbalik dari kesesatan untuk kembali kepada Allah selaku gembala dan pemelihara jiwanya (2:25). Tanda dari keselamatan itu adalah baptisan, yang maknanya bukan hanya pembersihan dari kenajisan jasmaniah, melainkan permohonan hati nurani yang baik kepada Allah (3:21).
Iman dalam surat 1 Petrus adalah iman kepada Allah melalui Kristus sebagai perantara (1:21). Iman tersebut pada hakikatnya adalah kasih dan kepercayaan kepada Dia, sekalipun sekarang kita tidak melihat-Nya (1:8). Kehidupan orang Kristen sekarang adalah kehidupan dalam karunia, karena berasal dari Allah, yang adalah sumber segala kasih dan karunia (5:10). Orang beriman dikuduskan oleh Roh Kudus yang diam dalam dirinya (1:2; 4:14), karena itu, seperti bayi yang baru lahir, mereka harus bertumbuh dan beroleh keselamatan (2:2-4). Dengan demikian, iman Kristen adalah anastrophē (jalan hidup). Kematian Yesus bertujuan agar kita hidup untuk kebenaran (2:24), sehingga kita disebut anak-anak yang taat, yang tidak lagi menuruti hawa nafsu (1:14), melainkan hidup kudus (2:11) dan rendah hati (5:6). Puncak karunia Allah adalah kemuliaan yang akan kita peroleh tatkala Yesus dinyatakan dalam kemuliaan-Nya (1:7, 13; 4:13; 5:1, 4) dan Bapa mengadili semua manusia (1:17; 4:5).
Surat 1 Petrus kaya akan kiasan mengenai karya penebusan Kristus. Dalam surat ini, pemilihan orang beriman secara individual dilihat sebagai hasil percikan darah Kristus (1:2); ketaatan dan ketakutannya akan Allah diilhami oleh korban anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat, yang telah dipilih sebelum dunia dijadikan (1:17-20). Yang menarik adalah cara penulis memperhadapkan dan menghubungkan kebenaran-kebenaran yang mahamulia tersebut dengan para pembacanya. Misalnya, nasihat untuk para budak agar tunduk kepada tuannya mungkin merupakan penafsiran singkat dan komprehensif atas penderitaan Kristus bagi orang lain (perhatikan 2:18-25, terutama dua ayat yang terakhir; bandingkan juga dalam konteks tersebut pasal 3:18-22).

d. Tentang kebangkitan Kristus

Kesaksian surat 1 Petrus mengenai kebangkitan Kristus sangat berharga. Hal ini bukan karena posisi Petrus sebagai rasul (jika benar rasul Petrus adalah penulis surat ini), melainkan karena ia adalah saksi mata atas fakta Kristus. Penulis menerima gagasan yang semula dianggap mustahil, yaitu mengenai Mesias yang harus mengalami penderitaan, mati dan bangkit kembali. Penulis meyakini bahwa kehidupan baru atau kelahiran baru yang dialami oleh orang beriman hanya akan terjadi karena kebangkitan Yesus dari antara orang mati (1:3). Keyakinan kepada karya penebusan yang dikerjakan Yesus tidak dapat dilepaskan dari keyakinan kepada “Allah yang telah membangkitkan Kristus dari antara orang mati dan memuliakan-Nya” (1:21). Dikatakan pula bahwa kebangkitan merupakan suatu pendahuluan sebelum Kristus kembali kepada kemuliaan-Nya (3:21-22). Gagasan utama dalam surat 1 Petrus adalah bahwa penderitaan yang terjadi akan digantikan dengan kemuliaan, sebagaimana telah terjadi pada diri Kristus yang telah bangkit itu (4:11 dst.; 5:10 dst.). Kebangkitan sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi merupakan dasar mutlak bagi pengharapan orang-orang Kristen untuk masa yang akan datang. 

e. Tentang kehidupan di masa yang akan datang

Di samping karya penebusan Kristus, ajaran 1 Petrus mengenai kehidupan di masa yang akan datang penting untuk diperhatikan. Orang beriman telah dilahirkan kembali kepada suatu “hidup yang penuh pengharapan” (1:3); yang merupakan warisan yang tersimpan di surga (1:4); dan dihubungkan dengan puji-pujian dan kemuliaan serta kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya (pada saat kedatangan-Nya yang kedua kali, 1 Ptr. 1:7, 13; 4:13; 5:4, 10; bdk. 2Ptr. 1:11, 16; 3:13, dsb.). Pengharapan ke masa depan ini menarik kehidupan orang beriman kearahnya. ‘Harapan’ atau ‘warisan’ ini benar-benar nyata dan berharga, sehingga:
-      menggembirakan orang beriman, sekalipun berada dalam duka-cita dan pencobaan (1Ptr. 1:6)
-      mendorong kepada kehidupan kudus (1Ptr. 1:13-16)
-      menimbulkan kesabaran dalam penganiayaan (1Ptr. 4:12-13)
-      menumbuhkan kesetiaan dalam pelayanan (1Ptr. 5:1-4)
-      menumbuhkan ketabahan dalam menghadapi pencobaan (1Ptr. 5:8-10).
Pemikiran penulis mengenai penderitaan masa kini, yang dilihat dalam terang kemuliaan masa depan, merupakan sesuatu yang pelik. Penulis surat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa penderitaan adalah jatah untuk masa kini dan kemuliaan adalah jatah untuk masa depan, di mana keduanya tidak saling berhubungan, melainkan yang satu dilihat sebagai kejadian yang menentukan bagi yang lain (bdk. 1:7, 11; 4:13; 5:1). Itulah sebabnya (dengan anggapan bahwa Petrus adalah penulis surat ini) Petrus sering disebut rasul pengharapan, sedangkan Paulus disebut sebagai rasul iman dan Yohanes sebagai rasul kasih.

f. Tentang dosa

Dalam surat-surat Petrus kita menemukan kata hamartia (dosa), baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Antara lain dikatakan bahwa Kristus telah mati bagi segala dosa kita (3:18) dan orang-orang beriman diingatkan bahwa dosa mereka yang dahulu telah dihapuskan (2Ptr. 1:9). Bentuk tunggal dari kata hamartia kita temukan dalam 1 Petrus 2:22; 4:1; dan 2 Petrus 2:14. Setiap orang yang telah menerima Kristus seharusnya menyamakan diri dengan kehidupan Kristus, sehingga dengan sadar meninggalkan kehidupan yang lama, yang dikuasai oleh dosa. Seperti penulis-penulis PB yang lain, penulis surat Petrus yakin bahwa kondisi dosa melingkupi manusia secara universal. Satu-satunya jalan keluar dari kondisi itu adalah melalui Kristus, karena di dalam Dia tidak ada dosa (2:22).
Di samping kata ‘dosa,’ dalam surat 1 Petrus kita temukan juga kata ‘jahat’ atau ‘kejahatan’ (kakos). “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan” (3:9), “ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat” (3:10), “ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik” (3:11), “wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat” (3:12). Agaknya surat ini mengidentikkan kejahatan dengan dosa, atau paling tidak, menganggap kejahatan sebagai salah satu aspek dosa.
Surat-surat Petrus mengartikan dosa sebagai ‘lawan kebenaran’ (catatan: pertentangan antara dosa dan kebenaran dipaparkan dalam 2:24). Perwujudan dosa secara karakteristik dikemukakan dalam 2 Petrus 2. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa manusia tidak pernah jemu berbuat dosa (2Ptr. 2:14). Orang-orang yang demikian disebut sebagai ‘hamba-hamba kebinasaan’ (2Ptr. 2:19). Dosa juga berarti penyimpangan dari kebenaran Allah, sehingga disebut ‘berbalik dari perintah kudus’ (2Ptr. 2:21).

g. Kedudukan dan tanggung jawab gereja

Kata ekklēsia tidak pernah digunakan dalam surat-surat Petrus. Konsep yang paling penting untuk menggambarkan persekutuan orang percaya terkandung dalam istilah yang digunakan, yaitu: ‘bangsa yang terpilih’ (yang memiliki kesamaan arti dengan ‘Israel baru’), ‘imamat yang rajawi,’ ‘bangsa yang kudus,’ dan ‘umat kepunyaan Allah sendiri’ (2:9-10). Ayat-ayat tersebut diambil dari konsep PL (lht. Kel. 19:5-6), yang biasanya dikenakan kepada Israel dan kini dikenakan kepada persekutuan orang beriman. Kini gereja, umat Allah yang baru, yang adalah persekutuan orang beriman, memiliki status sebagai ‘bangsa yang terpilih’ dan ‘imamat yang rajawi.’ Sebagai ‘bangsa yang terpilih,’ gereja terpanggil untuk hidup kudus sesuai dengan kekudusan Allah. Sebagai ‘imamat yang rajawi,’ gereja mengemban tugas untuk menjadi perantara bagi orang lain agar mengenal Allah. Karena itu dikatakan bahwa gereja mengemban tugas “memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar.” Tugas ini merupakan konsekuensi logis perubahan posisi gereja, yang telah dialihkan dari kegelapan kepada terang Allah yang ajaib. Karena telah berada dalam terang kebenaran Allah, maka mau tidak mau gereja harus memancarkan kebenaran itu melalui seluruh kehidupannya. Dengan demikian, seluruh keberadaan gereja adalah pemberitaan.
Di samping gambaran-gambaran di atas, penulis 1 Petrus juga menggunakan gambaran-gambaran lain yang berasal dari Kristus sendiri, yaitu: gereja sebagai kawanan domba Allah, dengan Kristus sebagai gembalanya (2:25), dan gereja sebagai rumah tangga Allah (4:17). Kiasan ‘kawanan domba’ pada satu sisi mengandung pengertian kelemahan dan ketidakberdayaan; pada sisi lain, ketaatan dan kemenurutan. Maksudnya, di hadapan Allah sesungguhnya manusia tidak berdaya, tidak mampu mencukupkan kehidupannya sendiri, tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Hidup manusia sepenuhnya bergantung kepada Allah. Pada sisi lain, persekutuan orang beriman adalah himpunan manusia yang taat dan penurut terhadap kehendak Allah, dengan selalu mengikuti jejak serta arahan gembalanya. Sedangkan kiasan ‘rumah tangga’ menggambarkan kesatuan kasih dan pranata tertentu yang menjadi pengikatnya. Persekutuan orang beriman telah dipersatukan oleh dan dalam kasih Allah, sehingga tiap individu bukan lagi ‘orang asing,’ melainkan anggota keluarga. Tentu saja, keutuhan rumah tangga tersebut akan terjaga jika pranata Allah ditepati dan ditaati.

h. Tugas apologis

Sebagai ‘bangsa yang terpilih’ dan ‘imamat yang rajawi,’ gereja ditempatkan dalam posisi aktif, bukan pasif. Gereja harus bergerak, harus memberi jawab atau mempertanggungjawabkan imannya kepada orang lain. Dalam 1 Petrus 3:15-16 dikatakan:

“Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap oang yang meminta pertanggungjawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.”

Dari kedua ayat tersebut ada beberapa hal yang dapat kita catat. Pertama, secara aktif umat Allah harus “menguduskan Kristus dalam hati sebagai Tuhan.” Dalam hal ini, yang dimaksudkan bukan hanya memikirkan kekudusan Kristus saja, melainkan menempatkan Kristus sebagai ‘Master’ (Tuan) di dalam hati dan mewujudkan kekudusan-Nya dalam kehidupan umat Allah. Hati dapat digambarkan sebagai mata air, sedangkan perbuatan merupakan alirannya. Dari mata air yang kudus akan mengalir sikap dan perbuatan yang kudus. Jadi, menguduskan Kristus di dalam hati harus terealisasi dalam seluruh sikap hidup dan perbuatan orang beriman.
Kedua, umat Allah harus siap sedia mempertanggungjawabkan pengharapannya di setiap waktu. Kata Yunani yang digunakan untuk ‘pertanggungjawaban’ dalam ayat 15 adalah apologia (hetoimoi aei pros apologian panti tō(i) aitounti). Secara literer, apologia berarti ‘pembelaan diri,’ ‘pemberian jawab,’ atau ‘usaha mempertahankan kebenaran.’ Rupanya, arti yang terakhir lebih tepat untuk ayat ini, sehingga akan berbunyi “hendaklah kamu berusaha mempertahankan kebenaran pengharapanmu jika orang menuntutnya.” Pengharapan yang manakah yang harus dipertahankan? Tentu saja pengharapan akan kesempurnaan keselamatan yang akan diterima orang percaya karena imannya kepada Kristus.
Ketiga, cara untuk membela atau mempertahankan kebenaran pengharapan Kristen haruslah dengan “lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni (suneidēsis agathē).” Penulis mengingatkan bahwa ciri khas kehidupan orang beriman adalah kesalehan hidupnya. Motivasi tindakannya bukanlah untuk mencari pujian, melainkan ketulusan hati untuk taat kepada Tuhannya.

i. Tentang penderitaan Kristen

Dalam memahami penderitaan yang harus dihadapi oleh umat Kristen dan untuk memberi topangan kepada jemaat yang sedang teraniaya, penulis surat 1 Petrus mengemukakan beberapa hal:

a)      Ditekankan bahwa Kristus sendiri menderita sesuai dengan nubuat para nabi dalam PL (lht. 1:10-11, dengan latar belakang Kitab Yesaya mengenai Hamba Tuhan yang harus menderita demi umat-Nya).
b)      Tidak mengherankan jika orang-orang yang hidup benar akan mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh perlawanan ‘dunia’ yang penuh dosa ini (2:19).
c)      Orang yang menderita karena kekristenannya seharusnya menerima penderitaan itu sebagai kebahagiaan, karena dirinya dilayakkan ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus. Namun penulis surat Petrus juga memberi peringatan agar orang tidak merasa bahagia jika menderita karena kebodohannya sendiri. Kristus meninggalkan teladan penderitaan, karena itu, berbaha-gialah jika karena kebenaran, umat Kristen harus menderita (3:14).
d)     Penderitaan Kristen juga harus dipahami sebagai alat penguji iman orang percaya (1:6; 5:10). Hal ini berfungsi untuk memperkukuh iman, agar menjadi lebih berharga.
e)      Penderitaan hendaknya dipahami sebagai jalan menuju kemuliaan, sama seperti penderitaan Kristus telah menghantar-Nya kepada kemuliaan.

Dengan pemahaman seperti itu, maka penderitaan harus dihadapi dengan tegar, dan tidak boleh menggoyahkan iman umat Kristen.

j. Pekabaran Injil kepada orang mati

Uraian dalam 1 Petrus 3:18-4:6 agak membingungkan, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dan penafsiran. Kesulitan pertama adalah mengenai “pemberitaan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara” (3:19); dan kesulitan kedua adalah mengenai “pemberitaan Injil kepada orang-orang mati” (4:6). Kedua ayat ini sering digunakan sebagai dasar pembenaran terhadap pandangan bahwa sesudah kematian fisik masih ada peluang bagi manusia untuk bertobat. Ada beberapa penjelasan yang dapat diajukan untuk memecahkan persoalan ini:

a)      Istilah yang diterjemahkan dengan ‘memberitakan Injil’ dalam 3:19 (kerussō) lebih tepat diterjemahkan dengan ‘memproklamasi-kan sesuatu,’ entah hal yang menggembirakan atau hal yang menyusahkan. Dari 3:18 dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok proklamasi Yesus di sini adalah kerelaan-Nya menderita demi keselamatan manusia dan kebangkitan-Nya oleh kuasa Allah. Hal ini merupakan teladan kesediaan menderita demi ketaatan kepada Allah yang akhirnya berbuahkan kemuliaan.
b)      Ungkapan ‘roh-roh yang ada dalam penjara’ (3:19-20) sebaiknya dipahami bertolak dari penggunaannya dalam PL. Jika yang dimaksud adalah manusia, istilah ‘roh’ (Ibr. ruah, Yun. pneuma) dalam PL tidak pernah dipakai tanpa keterangan lain (mis. Im. 19:31, ‘roh peramal;’ 2Raj. 2:15, ‘roh Elia;’ Ams. 20:27, ‘roh manusia’ dsb). Karena itu, yang dimaksud ‘roh-roh’ (pneumata) dalam perikop ini kemungkinan bukanlah manusia, melainkan roh-roh jahat. Jadi, 1 Petrus 3:18-19 dapat ditafsirkan demikian: kebangkitan Kristus, yang membuktikan kemenangan-Nya atas kuasa-kuasa jahat, telah diproklamasikan kepada semua makhluk, termasuk roh-roh jahat.
c)      Istilah nekroi (bentuk jamak dari nekros) dalam 4:6 (eis touto gar kai nekrois euēnggelisthē, “Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati”) digunakan dalam arti figuratif dengan makna ‘orang-orang yang tidak mengenal Allah’ atau ‘orang-orang yang tidak berada dalam relasi yang benar dengan Allah.’ Dalam hal ini, istilah ‘mati’ tidak berkonotasi kematian fisik semata-mata, melainkan keterpisahan dari relasi dengan Allah secara benar. Dengan kata lain, arti ‘kematian’ di sini adalah ‘kondisi tanpa relasi dengan Allah secara benar.’ Jadi, yang dimaksud dengan pemberitaan Injil kepada orang-orang mati adalah pemberitaan Injil kepada mereka yang tidak berada dalam relasi dengan Allah secara benar, atau mereka yang belum mengenal Allah; bukan mereka yang telah mati secara fisik.

Dengan pemecahan di atas, kita akan terhindar dari spekulasi bahwa pekabaran Injil juga dilaksanakan untuk roh-roh orang yang sudah mati (secara fisik) dan mengandaikan bahwa mereka masih mempunyai kesempatan untuk bertobat. Lantaran pemahaman yang keliru, maka orang masih sering mendoakan arwah orang-orang yang sudah mati (secara fisik) untuk memohonkan pengampunan kepada Allah.


C.  SURAT YUDAS

1.      Pengantar

a. Penulisnya

Di kalangan para ahli PB terdapat perbedaan pendapat mengenai siapakah penulis yang sebenarnya. Ada empat kemungkinan yang diajukan: (1) Yudas saudara Yesus (bdk. Mat. 13:55; Mk. 6:3); (2) Yudas salah seorang di antara keduabelas rasul (bdk. Luk. 6:16; Kis. 1:13); (3) Yudas Barsabas yang disebutkan dalam Kisah 15:22, 27, 32; dan (4) penulis yang tidak diketahui dan menganggap Yudas tulisan sebagai pseudonim. Secara harfiah, penulis menyebut dirinya sebagai Yudas, hamba Yesus Kristus dan saudara Yakobus. Aktivitas pekabaran Injil saudara Yesus dicatat dalam 1 Korintus 9:5, dan Yudas kemungkinan adalah saksi mata pelayanan Yesus. Orang-orang Kristen Yahudi pada umumnya mendukung pendapat bahwa Yudas yang dimaksud adalah Yudas saudara Yesus. Namun ada beberapa keberatan terhadap pendapat itu:

1)      Seandainya benar bahwa Yudas saudara Yesus adalah penulisnya, mengapa penulis tidak secara langsung menyebut diri sebagai saudara Yesus, melainkan saudara Yakobus?
2)      Istilah adelfos (saudara laki-laki) bermakna ambigu. Dalam PB istilah ini sering digunakan dengan arti ‘kawan sekerja’ (lht. Kol. 1:1), tidak selalu ‘saudara kandung.’
3)      Konsep tradisi dalam Yudas 20, pertentangan antara ortodoksi dengan bidat serta kedatangan guru-guru palsu sebagai tanda-tanda akhir zaman (bdk. 1 Tim. 4:1-3; 2 Tim. 4:3-4; 1 Yoh. 2:18; 4:1-3) menunjuk pada periode post-rasuli.
4)      Dalam Yudas 17-18, tersirat bahwa penulis berasal dari periode akhir kekristenan perdana, yang mengingat zaman para rasul sebagai periode peletakan dasar iman.

Dengan mempertimbangkan keberatan-keberatan itu, para ahli biblika modern sepakat bahwa Yudas adalah tulisan pseudopigraf, yang kemungkinan ditulis oleh seorang Yahudi Kristen atas nama Yudas, saudara Tuhan.[6] Diperkirakan surat ini ditulis antara tahun 80-100, yang merupakan periode berkembangnya sastra pseudopigraf dalam PB dan diterimanya secara luas gagasan-gagasan apokalyptis.[7]   

b. Maksud penulisan dan penerimanya

Surat ini ditulis untuk jemaat atau kelompok jemaat yang tidak diketahui dalam rangka melawan bahaya yang ditimbulkan oleh guru-guru kharismatik tertentu, karena mereka mengajarkan praktik moral libertinisme. Penulis menyebut guru-guru ini sebagai para bidat, yang kebinasaannya sudah dinubuatkan (ayat 5), dan mendorong jemaat agar tetap mempertahankan Injil rasuli dengan hidup menurut tuntutan moralnya. Guru-guru palsu ini tetap berpartisipasi dalam perjamuan kasih jemaat, sekalipun, menurut penulis surat ini, hanya demi kepentingan diri mereka sendiri; karena itu, mereka disebut sebagai noda dalam jemaat (ayat 12). Kemungkinan, bidat-bidat ini adalah orang-orang Gnostik, sebab dalam ayat 19, mereka disebut sebagai psukhikoi (manusia duniawi), suatu istilah teknis yang digunakan oleh orang-orang Gnostik.[8]
Ajaran guru-guru palsu itu bertentangan dengan pola hidup jemaat, yang dicirikan oleh kekudusan dan kehidupan yang tak bernoda. Agaknya jemaat hidup dalam antusiasme pengharapan eskhatologis, yang secara implisit tercermin dalam penolakan eskhatologis terhadap ajaran sesat (ayat 4, 11, 13, 15). Jemaat memahami keselamatan mereka dalam perspektif pengharapan menuju kehidupan kekal (ayat 21). Kesadaran seperti ini terdapat dalam komunitas Kristen Yahudi, yang di dalamnya tradisi Henokh dan spekulasi apokalyptis tetap hidup.[9] Jadi, penerima surat ini agaknya adalah komunitas Kristen Yahudi. Melihat kecocokan doktrinnya tentang malaikat dengan surat Kolose dan kesamaan-kesamaannya dengan surat-surat Pastoral, diperkirakan surat ini ditulis di Asia Kecil.

c. Asal-usul guru-guru palsu

Jika kita cermati, guru-guru palsu itu berasal dari dalam jemaat sendiri. Mereka masih ikut ambil bagian dalam perjamuan kasih. Pada saat itu, gagasan teologis jemaat sebenarnya terbagi dalam dua arus utama, yaitu: kekristenan Yahudi Palestina dan kekristenan Gnostik awal. Karena itu, juga ada dua kemungkinan mengenai aliran kekristenan yang menjadi asal guru-guru palsu itu.
Penjelasan pertama bertolak dari pendapat bahwa guru-guru palsu itu merupakan penganjur Gnostikisme libertinistis awal. Alasan-alasan yang dikemukakan untuk mendukungnya antara lain:

a.      Menurut Yudas 4, para pelawan itu menyangkal ketuhanan Yesus Kristus dan menurunkan-Nya hanya sebagai sosok perantara surgawi.
b.      Yudas 12 mencatat sikap guru-guru palsu yang sangat individualistik serta pendekatan sakramental atas keselamatan.
c.       Hujatan mereka terhadap makhluk surgawi (malaikat) dalam Yudas 8 dan 10, memiliki latar belakang Gnostik.
d.      Dalam Yudas 19 kita temukan ciri khas pembedaan gnostis antara psukhikos (orang yang hidup dengan naluri duniawi) dengan pneumatikos (orang yang hidup oleh Roh). Antitesis keduanya belum muncul sebelum tulisan Paulus (bdk. 1Kor. 2:14; 15:44, 46).
e.       Guru-guru palsu itu menunjukkan kesadaran akan kebebasan mereka secara ekstrem (ayat 4, 7, 8, 10, 13).  

Penjelasan kedua berpegang pada pendapat bahwa guru-guru palsu itu, sama seperti penulis sendiri, berasal dari salah satu spektrum pewaris teologi Paulus. Alasan-alasan yang dikemukakan untuk mendukung pendapat ini antara lain:

1)      Hujatan terhadap makhluk surgawi sebagai salah satu tuduhan pokok terhadap guru-guru palsu (ayat 8) merujuk pada 1 Korintus 6:3; 13:1 dan Kolose 2:18-19. Rupanya dalam jemaat pemujaan malaikat diterima apa adanya. Dalam periode post-Paulus, secara jelas terjadi perdebatan mengenai legitimasi pemujaan malaikat. Kolose 2:18-19 dan surat Yudas merupakan dua dokumen identik yang berkenaan, pada satu pihak, dengan ketentuan-ketentuan hukum dan pemujaan malaikat, dan pada pihak lain, dengan antinomianisme serta hujatan terhadap malaikat.
2)      Antitesis psukhikos-pneumatikos dalam Yudas 19 bersumber dari 1 Korintus 2:14 (juga 15:44, 46), yang dalam PB hanya kita temukan dalam dua surat ini. Penulis menyebut guru-guru palsu itu hanya ‘mengikuti naluri duniawi,’ sekalipun secara implisit mereka merasa memiliki kedudukan tinggi sebagai manusia rohani.
3)      Yudas 5 dan 1 Korintus 10:1-3 memperingatkan guru-guru palsu yang merasa lebih tinggi ketimbang anggota jemaat yang lain, dengan mengedepankan contoh pembinasaan sebagian besar umat pilihan di padang gurun akibat kesalahan mereka.
4)      Yudas 4 menuduh guru-guru palsu itu telah menyalahgunakan karunia (kharis) Allah untuk melampiaskan hawa nafsu (aselgeia) mereka. Di sini kita temukan gema terminologi Paulus mengenai pembenaran (bdk. Rm. 3:23-24; Ef. 2:7-9), dengan latar belakang gagasan antinomianisme, sebagai akibat kesalahmengertian terha-dap kharis theou (anugerah Allah, Rm 3:8).
5)      Sama seperti dalam surat-surat deutero Paulin, prinsip-prinsip tradisi (bdk. ayat 3, 17, 20) dipergunakan untuk mempertahankan diri dalam melawan guru-guru palsu.
6)      Surat 2 Petrus, berdasar surat Yudas, mencatat perdebatan mengenai kebenaran pengertian Paulus (2Ptr. 3:15-16).

2.      Pemikiran teologisnya

a. Melawan guru-guru palsu

Seperti dikemukakan dalam ayat 3-4, surat ini memiliki dua tema utama yang saling berhubungan. Tema pertama adalah imbauan bagi jemaat agar berjuang demi iman (ayat 3). Hal ini dijabarkan dalam ayat 20-23. Tema kedua mengemukakan alasan mengapa perjuangan ini penting, yaitu karena jemaat berada dalam bahaya penyesatan oleh guru-guru palsu (ayat 4). Mereka adalah orang-orang fasik yang telah ditentukan Allah untuk dihukum. Hal ini lebih lanjut diuraikan dalam ayat 5-19. Namun sebenarnya penulis lebih mengutamakan nasihat yang diberikan dalam ayat 20-23 daripada berpolemik melawan guru-guru palsu ini.
Bentuk bagian eksegetis dalam ayat 5-19 memerlukan penjelasan lebih lanjut. Menurut Richard J. Bauckham, bagian ini tidak hanya berupa celaan terhadap ketidakdisiplinan, melainkan juga komentar yang disusun secara hati-hati untuk menjelaskan pernyataan ayat 4 tentang hukuman bagi guru-guru palsu yang telah lama dinubuatkan. Anggapan bahwa Kitab Suci bersifat profetis dan metode eksegetis yang digunakan untuk menjelaskannya mengingatkan kita pada cara penafsiran yang digunakan dalam teks-teks gulungan Laut Mati.
Yudas mengutip empat teks pokok, yaitu dalam ayat 5-7, 11, 14-15 dan 17-18 dengan komentarnya dalam ayat 8-10, 12-13, 16 dan 19. Dua kutipan pertama merujuk pada sosok alkitabiah yang disebut orang fasik di akhir zaman. Kutipan ketiga merupakan nubuat yang diambil dari kitab Henokh 1:9, dan kutipan keempat merupakan prediksi rasuli. Jelas bahwa surat Yudas sangat menghargai kitab Henokh, yang dikutip dalam ayat 14-15 dan bergema dalam ayat-ayat lain (seperti ayat 6, 12-13). Ayat 9 merujuk pada naskah apokrif yang tidak lagi ada, mungkin merupakan bagian akhir Wasiat Musa. Penggunaan tulisan-tulisan seperti itu mendukung dugaan bahwa surat ini ditulis untuk konteks kekristenan Yahudi Palestina. Hal ini diperkuat dengan metode eksegetisnya, yang lebih bergantung pada Kitab Suci Ibrani ketimbang terjemahannya (Septuaginta).

b. Berjuang demi iman

Menghadapi ajaran guru-guru palsu, penulis surat ini menyampaikan beberapa nasihat. Pertama, bahwa keselamatan itu tidak otomatis, sekali diperoleh untuk selama-lamanya. Benar bahwa Allah telah menyelamatkan orang percaya, namun, jika keselamatan tersebut tidak dijaga dan dipelihara, bisa juga hilang. Hal ini sama seperti peristiwa keluaran Israel dari Mesir. Benar bahwa Allah telah membebaskan umat-Nya dari Mesir. Namun, jika tidak setia, mereka tidak akan sampai di tanah Kanaan, tanah perjanjian, melainkan akan mati di padang gurun (ayat 5). Demikian halnya yang terjadi dengan malaikat-malaikat yang memberontak dan nasib orang-orang Sodom dan Gomora akibat dosa-dosa mereka (ayat 6-7). Kedua, jemaat diingatkan tentang jalan hidup guru-guru palsu yang salah, yang dianggap penulis seperti jalan yang ditempuh Kain (ayat 11 bdk. Kej. 4), Bileam (Bil. 22-24) dan Korah (Bil. 16:1-11). Ketiga, jemaat diingatkan akan nubuat yang merupakan kutipan kitab Henokh, yaitu tentang hukuman bagi orang-orang fasik, baik karena kefasikan mereka, maupun karena kata-kata nista yang mereka ucapkan terhadap Tuhan. Keempat, jemaat diimbau agar tetap berpegang pada ajaran para rasul, sekaligus menandaskan bahwa menjelang akhir zaman, kefasikan itu pasti akan datang (ayat 17-18).[10]
Jika diperhatikan, gagasan Yahudi tentang kekudusan sangat mewarnai ajaran etikanya (bdk. ayat 8, 12, 23). Karena itu, lebih lanjut penulis surat ini mendorong jemaat agar membangun diri atas dasar iman yang suci, dengan berdoa dalam Roh Kudus (ayat 20). Mereka harus berjuang demi iman dan memelihara diri dalam kasih Allah sambil menantikan kepenuhan rahmat Tuhan, yaitu kehidupan yang kekal (ayat 21). Dalam perjuangan iman tersebut, jemaat harus berbelas kasih kepada orang lain, terutama mereka yang bimbang imannya, agar mereka pun terselamatkan (ayat 22-23). Di samping itu, jemaat harus menjaga diri dari kecemaran dan menjauhi keinginan-keinginan dosa. Namun, di tengah maraknya kefasikan, mereka harus berlaku bijak, tidak gegabah dan penuh perhitungan, dengan menya-dari bahaya yang dihadapi akibat imannya (ayat 23).


c. Kristologinya

Kristologi Yudas dilatarbelakangi oleh pengharapan akan kedatangan Hari Tuhan, yaitu suatu masa ketika Tuhan menampakkan diri bersama para malaikat untuk menghakimi dunia ini (ayat 14-15). Kristus akan menyatakan diri sebagai Tuhan yang penuh rahmat kepada persekutuan orang-orang beriman (ayat 21), namun para pelawan akan dihukumkan oleh karena perbuatan fasik mereka. Di sini Kristus dipuji sebagai hakim akhir zaman yang akan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik.
Sekalipun Kristus dihormati begitu tinggi sebagai hakim akhir zaman, namun Kristologi surat Yudas sama sekali tidak menggeser prinsip keyakinan monoteistis. Hal ini tampak jelas pada bagian penutup, yang menyatakan bahwa Allah sendirilah Juruselamat jemaat, yang bekerja melalui Yesus Kristus, Tuhan jemaat. Rupanya seperti Paulus, penulis Yudas dengan hati-hati membedakan antara Allah dengan Yesus yang disebut sebagai Tuhan (ayat 25 bdk. 1Kor. 8:6). Dalam ayat terakhir, yang merupakan doksologi ini, pada akhirnya Allah sendirilah yang dimuliakan, yang kebesaran, kekuatan dan kuasa-Nya diagungkan dari kekal hingga kekal.

d. Eklesiologinya

Kita hanya dapat mengetahui gagasan penulis surat ini tentang gereja secara implisit, terutama dari sapaan untuk jemaat yang menjadi alamatnya dalam ayat 1. Ada tiga hal yang penting dicatat, yaitu, jemaat disebut sebagai: (1) ‘mereka yang terpanggil,’ (2) ‘yang dikasihi dalam Allah Bapa’ dan (3) ‘yang dipelihara untuk Yesus Kristus.’ Dari sapaan tersebut tersirat pemahaman penulis mengenai hakikat gereja.
Pertama, pada satu pihak, gereja dipahami sebagai persekutuan yang terpanggil ke dalam pengalaman rohani untuk suatu maksud ilahi, yaitu untuk pekerjaan tertentu dan untuk melayani Allah melalui seluruh aspek kehidupannya. Dengan demikian, setiap orang beriman sebagai unsur pembangun gereja adalah hamba Kristus yang dipanggil untuk melayani kehendak dan pekerjaan Allah. Sekalipun dalam surat ini tidak eksplisit dinyatakan, namun kita dapat menyimpulkan berdasar teks-teks PB yang lain bahwa untuk panggilan itu Allah akan memperlengkapi tiap orang percaya dengan kuasa dan pimpinan-Nya sendiri melalui Roh Kudus. Pada pihak lain, panggilan itu mengandaikan bahwa inisiatifnya datang dari pihak Allah. Artinya, keberadaan gereja sebagai persekutuan hamba-hamba Allah bukanlah hasil pekerjaan manusia, melainkan karena inisiatif Allah sendiri. Dalam hal ini, gereja adalah persekutuan orang-orang yang memberikan tanggapan positif atas inisiatif Allah.
Kedua, gereja disebut sebagai ‘mereka yang dikasihi dalam Allah Bapa.’ Ada dua versi teks Yunani untuk bagian ini. Versi pertama adalah seperti yang digunakan dalam terjemahan baru LAI yang berbunyi tois en Theō(i) patri ēgapēmenois. Versi kedua berbunyi tois en Theō(i) patri hēgiasmenois yang diterjemahkan “mereka yang dikuduskan dalam Allah Bapa.” Jika versi kedua yang digunakan, maka gereja dipahami sebagai persekutuan orang-orang yang dikuduskan oleh Allah. Gereja bukan semata-mata dipilih dan dikhususkan sebagai umat Allah, melainkan seluruh kehidupannya harus disesuaikan dengan kekudusan Allah dan sepenuhnya didedikasikan bagi pekerjaan Allah. Untuk itu setiap orang percaya harus dibersihkan dari dosa dan disesuaikan dengan pola kehidupan Yesus.
Ketiga, gereja adalah persekutuan orang beriman yang dipelihara untuk Yesus Kristus. Allah tidak membiarkan gereja terlantar, melainkan memelihara dan menuntunnya. Untuk itu diperlukan kepasrahan, penyerahan diri dan ketaatan gereja kepada Allah, sehingga tetap terpelihara kekudusannya hingga parousia.    
Hal lain yang perlu dicatat, surat Yudas banyak menggunakan teks-teks apokalyptis. Selama periode PB, gagasan apokalyptis merebak, baik dalam lingkungan Yudaisme, maupun dalam lingkungan kekristenan. Dalam surat ini kita temukan mitos tentang kejatuhan malaikat yang terdapat dalam gagasan apokalyptis Yahudi pada umumnya. Ia mengenal mitos penguburan Musa yang terdapat dalam apokalyptis Yahudi-Kristen, bahwa ketika Mikhael, menggali kuburan untuk Musa, setan muncul untuk merebut tubuh Musa, namun gagal. Penulis juga mengenal kitab Henokh, salah satu karya apokalyptis utama, dengan baik, bahkan mengutip Henokh 1:9. Surat ini menunjukkan bahwa dalam periode pertumbuhan gereja waktu itu, gagasan apokalyptis masih hidup dengan kuat.


D.  SURAT 2 PETRUS

1. Pengantar

Dalam PB, surat 2 Petrus dan surat-surat Pastoral merupakan representasi seksama mengenai pandangan lembaga kekristenan yang sedang bertumbuh. Berdasar isinya, agaknya surat ini didasarkan pada surat Yudas. Bahkan dapat dikatakan bahwa surat ini mengam-bil alih hampir seluruh isi surat Yudas. Penulisnya mengenal cerita Injil-injil Sinoptis tentang peristiwa transfigurasi (1:17-18) dan kumpulan surat-surat Paulus sebagai bagian Kitab Suci (3:15-17). Kemungkinan surat ini adalah naskah PB yang ditulis paling akhir. 

a. Penulisnya

Surat ini diawali dengan menyebut penulisnya sebagai “Simon Petrus, hamba dan rasul Yesus Kristus” (1:1). Di tempat lain, penulis dengan jelas menyebut diri sebagai rasul Petrus, dan menyatakan bahwa Tuhan telah memberitahukan kepadanya bahwa saat kematiannya sudah dekat (1:14), bahwa ia adalah saksi mata peristiwa transfigurasi (1:16-18), bahwa sebelumnya ia telah menulis surat yang lain untuk pendengar yang sama (2Ptr. 3:1; bdk. surat 1 Petrus), dan menyebut rasul Paulus sebagai ‘saudara kita yang kekasih’ (3:15).
Meskipun secara internal 2 Petrus menyebutkan bahwa surat ini karya rasul Petrus, kebanyakan ahli biblika berpendapat bahwa rasul Petrus bukanlah penulisnya dan menganggap surat ini sebagai pseudopigraf. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah:
-      gaya bahasanya berbeda dengan surat 1 Petrus
-      penulis agaknya menggunakan surat Yudas sebagai sumbernya
-      isinya mengingatkan kita pada Gnostikisme abad kedua
-      merupakan nasihat untuk meguatkan jemaat, karena menyadari keterlambatan datangnya parousia
-      kurang adanya dukungan sumber-sumber eksternal.[11]
-      lebih dari itu, perikop-perikop tertentu memberi petunjuk lebih lanjut bahwa tulisan ini adalah pseudopigraf, misalnya: asumsi penulis bahwa para pendengarnya telah akrab dengan surat-surat Paulus (3:15-16), implikasinya bahwa generasi apostolik sudah tiada (3:4) dan pembedaan dirinya dengan ‘rasul-rasul Tuhan dan Juruselamat’ (3:2). 

Hanya sedikit ahli biblika yang menolak pendapat di atas dan mengajukan beberapa alasan yang mendukung bahwa rasul Petruslah penulis surat 2 Petrus. Mereka berpendapat bahwa surat ini tidak menunjukkan pola khas tulisan pseudopigraf, dengan alasan:
1)      Penulisnya tidak menggunakan narasi orang pertama, yang disebut Donald Guthrie sebagai salah satu ciri tulisan-tulisan pseudopigraf.[12]
2)      Bagian-bagian tertentu dari cerita transfigurasi berbeda dengan cerita yang terdapat dalam Injil-injil Sinoptis dan tidak mengandung tambahan-tambahan, yang menurut E.M.B. Green merupakan hal yang lazim dalam kitab-kitab apokrif.[13]
3)      Sebutan yang tidak lazim ‘saudara kita yang kekasih’ dikenakan kepada Paulus, sedangkan literatur di kemudian hari mengguna-kan sebutan lain.[14]
4)      Penulis 2 Petrus mengatakan bahwa surat-surat Paulus sulit dipahami (3:15-16). Menurut Donald Guthrie, hal ini tidak sesuai dengan kecenderungan tulisan pseudopigraf, yang lazimnya berusaha meninggikan seseorang, yang namanya disebut sebagai penulisnya.[15]

Para ahli biblika yang menerima bahwa Petrus adalah penulisnya mengajukan beberapa penjelasan mengenai hubungan antara 2 Petrus dengan Yudas.
1)      Kemungkinan, Yudas justru menggunakan 2 Petrus sebagai sumbernya.[16]
2)      Seandainya pun 2 Petrus menggunakan Yudas, hal itu tidak menghapus kemungkinan bahwa Petrus adalah penulisnya.[17]
3)      Ben Witherington III berpendapat bahwa teks 2 Petrus yang ada pada kita dewasa ini merupakan campuran beberapa pokok yang diambil dari surat Yudas dan fragmen-fragmen tulisan Petrus yang asli, misalnya 2 Petrus 1:12-21.[18]
4)      Mengenai perbedaan gaya bahasa dengan surat 1 Petrus, hal ini disebabkan karena Petrus menggunakan sekretaris yang berbeda untuk kedua suratnya, atau, seandainya Petrus menulis sendiri surat 2 Petrus, maka surat 1 Petrus ditulis oleh Silwanus (Silas) sebagai sekretarisnya.

Namun, sebagian besar ahli biblika sepakat bahwa Petrus bukanlah penulis surat ini.[19] Daniel Wallace, misalnya, mengatakan dalam kritik tekstualnya bahwa masalah kepenulisan 2 Petrus sudah selesai; paling tidak, secara negatif, Petrus bukanlah penulis surat ini dan bahwa sebagian besar ahli PB menerima pandangan ini.[20] Setuju dengan pendapat ini, Werner G. Kümmel mengatakan bahwa 2 Petrus tentu tidak berasal dari tangan Petrus, dan secara luas hal ini diakui.[21] Hal yang sama dikemukakan oleh Stephen L. Harris.[22] Sejarawan evangelis D.A. Carson dan Douglas J. Moo mengatakan bahwa kebanyakan sarjana modern berpendapat bahwa Petrus bukanlah penulis surat 2 Petrus. Tidak ada surat-surat PB lainnya yang disepakati sedemikian rupa seperti 2 Petrus, bahwa penulisnya bukanlah nama yang disebutkan.[23] Udo Schnelle berpendapat bahwa penulisnya kemungkinan adalah seorang Yahudi Hellenis yang terpelajar, yang ingin menolong jemaat untuk mengatasi problema keterlambatan parousia.[24] 

b. Waktu penulisan

Persoalan penulis dan waktu penulisan saling berhubungan erat. Seandainya benar bahwa rasul Petrus adalah penulisnya, maka surat ini pasti ditulis sebelum kematiannya di antara tahun 65-67. Surat ini merujuk pada surat-surat Paulus, jadi pasti ditulis setelah surat-surat Paulus. Tanpa mempersoalkan siapa penulisnya, dapat diperkirakan bahwa surat ini tidak mungkin ditulis sebelum tahun 60. Para ahli biblika pada umumnya memperkirakan surat ini ditulis di antara tahun 100-150,[25] dan merupakan tulisan pseudopigraf. Mengenai pendapat bahwa surat ini ditulis jauh di kemudian hari, lihat tulisan Harris.[26] Udo Schnelle berpendapat bahwa surat ini ditulis di Mesir pada 135. Sekalipun demikian, ia mengakui bahwa tempat penulisan tetap tidak jelas dan mengatakan bahwa dalam pembahasan mutakhir ada dugaan bahwa surat ini ditulis di Roma atau di Mesir.[27] Pendapat lain mengatakan bahwa surat ini kemungkinan besar ditulis sekitar tahun 80-90.[28] Ada pula ahli-ahli biblika yang berpendapat bahwa 2 Petrus ditulis lebih awal dan bahwa penulis surat ini adalah rasul Petrus. Tentang hal ini dapat dilihat dalam karya Kruger,[29] Zahn,[30] Spitta,[31] Bigg[32] dan Green.[33] Dengan mempertimbangkan kemungkinan rentang waktu penulisannya, Jeremy Duff berpendapat bahwa surat ini ditulis di antara tahun 60-130, dengan kemungkinan paling besar sekitar tahun 80-90.[34]

c. Alamat dan maksud penulisan

Dari bagian pendahuluan terdapat indikasi bahwa penerima surat ini sama dengan penerima surat 1 Petrus, yaitu jemaat-jemaat di Asia Kecil (bdk. 1Ptr. 1:1), yang merupakan jemaat-jemaat Kristen kafir dengan unsur-unsur Yahudi dan konsep-konsep Hellenisme yang cukup signifikan di dalamnya.
Surat ini memiliki tujuan ganda, yaitu: mengingatkan kembali harapan tentang parousia, dalam rangka melawan berkembangnya skeptisisme terhadapnya, dan untuk melawan ajaran sesat yang berkembang dalam jemaat. Rupanya, ajaran sesat tersebut berasal dari guru-guru palsu, yang adalah orang-orang Kristen Gnostik. Mereka menekankan pengetahuan tentang keselamatan masa kini dan realisasinya kelak di alam surgawi. Mereka memandang rendah dunia dan tubuh, dan karena itu, tidak mempunyai perhatian terhadap parousia di masa depan. Terus tertundanya parousia mempertajam polemik mereka melawan harapan Kristen tradisional.[35]

2. Pemikiran teologisnya

Dapat dikatakan bahwa teologi 2 Petrus merupakan kombinasi bahasa keagamaan Hellenistis dengan gagasan serta gambaran apokalyptis Yahudi. Sebagai contoh, kita dapat mencermati 2 Petrus 1:3-11. Dalam perikop ini, penulis meringkaskan ajaran etisnya dalam terminologi, yang mungkin paling Hellenistis dalam PB. Namun pada sisi lain, terutama dalam 2 Petrus 3:3-13, penulis secara akurat dan efektif juga menampilkan gagasan-gagasan apokalyptis Yahudi. Kombinasi gaya teologis ini dimaksudkan untuk memahami dan mempertahankan pesan rasuli bagi situasi kultural masa post-rasuli. Pada satu pihak, penulis berusaha mendasarkan tulisannya pada sumber-sumber dan gagasan-gagasan yang dekat dengan pemikiran apokalyptis jemaat perdana, termasuk surat Yudas. Namun pada pihak lain, untuk menyampaikan pesan Injil, ia juga menggunakan bahasa Hellenistis. Dapat dikatakan bahwa surat ini merupakan saksi yang berharga tentang pergulatan transisional kekristenan dari lingkungan Yahudi ke lingkungan Hellenisme.[36]   

a. Mengenai manusia

Pada dasarnya, gagasan surat 2 Petrus tentang manusia tidak jauh berbeda dengan gagasan surat 1 Petrus. ‘Jiwa’ diartikan sebagai manusia seutuhnya, dan bukan sekadar sisi rohani kehidupan manusia. Dalam 2 Petrus 2:8 dikatakan bahwa Lot, ‘jiwanya yang benar,’ tersiksa; sedangkan dalam 2 Petrus 2:14 dikatakan bahwa nabi-nabi palsu “memikat ‘orang-orang yang lemah’ (psukhas astēriktous).” Namun, agaknya juga terjadi perkembangan penggunaan kata psukhē, yang di dalamnya tercakup pula ‘akal budi’ (mind, nous).
Sementara orang menilai gambaran tentang manusia dalam 2 Petrus 1:4 sebagai sangat Hellenistis, sehingga tidak sesuai dengan gagasan tentang manusia dalam teks-teks PB yang lain. Kesulitan timbul karena adanya anak kalimat “supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi.” Secara implisit, anak kalimat tersebut mengandaikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kodrat ilahi. Hanya saja, untuk sementara waktu, mereka terpisah dari Allah, sehingga harus kembali kepada Allah. Dengan ungkapan itu, penulis 2 Petrus dinilai telah menggunakan terminologi Hellenis, sebagaimana digunakan oleh Philo dan Yosephus.
Tetapi, kita dapat memahaminya dari sisi lain. Dalam ayat ini, penulis ‘meminjam’ bahasa Gnostikisme, namun tidak bermaksud mengungkapkan gagasan Hellenis tentang manusia, bahwa untuk mencapai keselamatan, manusia harus melepaskan diri dari dunia kebendaan (materi), melainkan menekankan bahwa orang beriman seharusnya melepaskan diri dari ‘hawa nafsu duniawi.’ Di dalamnya tidak ada pemikiran bahwa pada dasarnya dunia memang jahat dan harus dihindari. ‘Hawa nafsu duniawi’ (epithumia) merupakan istilah yang berarti ‘nafsu jahat.’ Ungkapan “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” berarti “mengambil bagian dalam ‘sifat hakiki Allah’ (the natural character of the godhead),” yang adalah kekudusan dan kebenaran. Hidup kudus dan benar merupakan tanggung jawab, sekaligus merupakan konsekuensi logis kehidupan Kristen. Hal ini hanya mungkin terjadi karena Allah sendiri telah memprakarsainya. Gagasan ini menghindarkan pendewaan manusia, sebagaimana terdapat dalam agama-agama misteri, bahwa manusia, dengan kekuatannya sendiri, dapat melepaskan diri dari ikatan dunia dan kembali menyatu dengan yang ilahi.

b. Iman yang berharga

Penulis 2 Petrus mengawali suratnya dengan ucapan salam kepada jemaat, yang digambarkan sebagai “orang-orang yang telah memperoleh iman” oleh keadilan Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus (2Ptr. 1:1). Artinya, jemaat telah memiliki iman kepada Injil, sebagaimana penulis mengimaninya. Tentu saja, iman terhadap Injil adalah sesuatu yang sangat berharga. Iman yang sangat berharga ini hanya diperoleh jemaat karena kedatangan Yesus sebagai penyata kebenaran dan keadilan Allah. Tempat kata ‘kita’ dalam ayat ini sesungguhnya memiliki dua kemungkinan, dapat di belakang kata ‘Allah,’ atau dapat pula di belakang ‘Juruselamat,’ seperti terjemahan LAI. Jadi, anak kalimat “... en dikaiosunē(i) tou Theou hēmōn kai sōtērios Iēsou Khristou” dapat diterjemahkan “... dalam keadilan Allah kita dan Juruselamat, Yesus Kristus” atau “... dalam keadilan Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Agaknya lebih tepat terjemahan pertama, karena, untuk para pembacanya, yang adalah orang-orang Yahudi, penulis ingin menekankan bahwa Allah yang disembah, baik oleh penulis maupun oleh jemaat, adalah Allah yang sama dengan Allah Israel. Jadi, ‘Allah kita’ dalam ayat ini berarti ‘Allah Israel,’ Allah nenek-moyang mereka, bukan Allah yang lain. Allah Israel itulah, yang dalam rangka menggenapi janji-Nya kepada nenek-moyang sejak purbakala, kini menyatakan diri dalam Yesus Kristus. Karena itu, melalui Dia, mereka dapat memperoleh iman. Pada hakikatnya, iman merupakan pengenalan akan Allah secara benar. Tentu saja, iman terhadap Allah yang telah memenuhi janji-Nya itu merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Kata Yunani dikaiosunē dalam makna agamawi lebih tepat diterjemahkan ‘kebenaran’ (righteousness) daripada ‘keadilan.’ Kata depan (preposisi) en, yang diikuti dengan kata benda dalam bentuk datif, memiliki arti yang sangat beragam, tergantung pada konteks pemakaiannya. Dalam ayat ini, en agaknya lebih tepat dipahami dalam pengertian “kondisi yang di dalamnya suatu peristiwa terjadi.” Jadi, jika dikatakan bahwa mereka memperoleh iman “en dikaiosunē(i) Theou hēmōn,” maka maksudnya adalah “mereka memperoleh iman dalam kebenaran Allah.” Sekali lagi, hal ini menunjukkan betapa berharganya iman itu, karena diperoleh dalam kebenaran Allah.

c. Ajaran ortodoks dan kejahatan guru-guru palsu

Tujuan utama 2 Petrus adalah untuk melawan ajaran sesat. Siapakah guru-guru palsu yang dilawan oleh surat ini tetap menjadi perdebatan. Namun yang jelas, mereka membela diri dengan dasar  penafsiran Kitab Suci (1:20-21), karena itu, disebut sebagai guru-guru palsu. Mereka menolak unsur-unsur pokok ajaran eskhatologi tradisional mengenai malaikat, parousia, penghakiman terakhir dan akhir dunia ini. Mereka juga menyangkal Tuhan dan menghina kebenaran kuasa ilahi. Dengan sikap yang sombong mengajarkan doktrin kebebasan yang keliru, senang berfoya-foya, serakah dan mabuk hawa nafsu. Ada dugaan bahwa guru-guru palsu ini berasal dari salah satu kelompok Gnostikisme.[37]
Usaha untuk melawan guru-guru palsu dipaparkan dalam 2 Petrus 2:1-22. Hal ini didasarkan pada Yudas 4-16. Perikop ini menggambarkan guru-guru palsu yang dipaparkan dalam surat Yudas dan menggunakan beberapa contohnya. Merupakan hal yang menarik bahwa 2 Petrus secara hati-hati membersihkan Yudas dari segala rujukan di luar Kitab Suci kanonik, karena pada saat itu, kanon Yahudi telah ditetapkan. Dalam surat Yudas kita temukan rujukan pada mitos mengenai kuburan Musa, gambaran dalam kitab Henokh berdasar petunjuk perputaran bintang dan kutipan dari Henokh 1:9. Dalam 2 Petrus, ketiga hal itu dihilangkan. Namun, tidak berarti bahwa penulis 2 Petrus keberatan terhadap gagasan apokalyptis, melainkan keberatan atas penggunaan dokumen-dokumen yang dikhawatirkan tidak akan diterima dalam proses kanonisasi yang dilakukan oleh umat Kristen.[38]  
Penulis surat ini menempatkan diri sebagai penyambung lidah jemaat ortodoks, yang mengklaim memiliki penafsiran yang benar atas Kitab Suci. Penulis mengklaim memiliki profētikos logos yang berarti ‘firman profetis,’ ‘firman kenabian’ (prophetic word, LAI menerjemahkannya “firman yang telah disampaikan oleh para nabi,” 1:19), sehingga mampu menjamin kepastian akan datangnya Hari Tuhan. Janji tentang parousia didasarkan pada nubuat alkitabiah. Artinya, kebenaran janji itu dijamin oleh Kitab Suci, yang dipahami oleh penulis sebagai nubuat yang disampaikan oleh orang-orang yang berbicara atas nama Allah karena dorongan Roh Kudus (1:20-21). Kita melihat bahwa dalam batas tertentu, 2 Petrus merupakan saksi paling awal perkembangan kanon Kitab Suci Kristen.
Dalam rangka memberikan tekanan yang seimbang terhadap harapan yang tak tergoyahkan akan datangnya parousia dengan kesia-siaan untuk memperhitungkan waktu kedatangannya, penulis menggunakan gambaran tipologis antara hukuman Allah atas bumi ini melalui air bah dengan hukuman eskhatologis yang kelak akan terjadi (3:5-7). Namun, manusia tidak mungkin memperhitungkan kedatangannya, sebab bagi Tuhan, sehari adalah seperti seribu tahun dan seribu tahun seperti sehari (3:8, bdk. Mzm. 90:4) dan kedatangannya bak pencuri di malam hari (3:10, bdk. 1Tes. 5:2; Mat. 24:29-31, 43; Why. 3:3; 16:15).
Penulis 2 Petrus ingin mengajak jemaat kembali pada pengetahuan yang benar tentang Yesus Kristus, Juruselamat (bdk. 1:1-2), bahwa Dialah penyataan diri Allah (1:17). Dialah sekarang Tuhan sejarah (bdk. 3:8-10, 15a, 18). Melalui Dialah orang beriman dapat ambil bagian dalam ‘kodrat ilahi’ (theias fusis, 1:4). Kata Yunani fusis berarti natural character (sifat dasar atau sifat hakiki), sedangkan theia berarti ‘keallahan’ atau ‘ketuhanan’ (Godhead). “Theias fusis” berarti “the natural character of the godhead and everything that belongs to it” (sifat hakiki ketuhanan dan segala sesuatu yang terlekat padanya).[39] Jadi, jika dikatakan bahwa melalui Yesus orang beriman dapat ambil bagian dalam ‘kodrat ilahi,’ maka maksudnya adalah: melalui Yesus, orang beriman boleh ambil bagian dalam sifat hakiki ketuhanan, yaitu kekudusan dan kebenaran yang melekat padanya.
Kebajikan yang dipaparkan dalam 2 Petrus 1:5-6, merupakan pengkristenan sejumlah kebajikan populer dalam dunia Hellenistis. “Kamu harus berusaha sungguh-sungguh menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan.” Sedangkan ayat 7, yaitu kasih kepada saudara-saudara dan kasih kepada semua orang, sepenuhnya merupakan pola kehidupan Kristen yang diajarkan oleh Yesus.
Dalam pasal 2, lebih lanjut penulis memperingatkan jemaat agar menjaga diri terhadap guru-guru palsu yang akan membawa mereka kepada pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan menyangkal Penguasa, penebus mereka (2:1). Peringatan untuk melawan guru-guru palsu ini didasarkan pada Yudas 4-16, bahkan menggunakan banyak contoh yang diambil dari surat Yudas. Hanya saja, secara hati-hati penulis Petrus berusaha membuang referensi di luar Kitab Suci kanonik (seperti telah dikatakan, saat itu proses kanonisasi Yahudi sedang berlangsung).
Sesungguhnya, guru-guru palsu itu hanya mencari untung dengan ‘menjual’ cerita-cerita isapan jempol. Memang, banyak orang tergiur untuk mengikuti cara hidup mereka yang dikuasai hawa nafsu, sehingga meninggalkan ‘Jalan Kebenaran’ (2:2). Dua kejahatan guru-guru palsu itu, yaitu mencemarkan diri dan menghina pemerintahan Allah, selalu diikuti dengan keberanian dan keangkuhan untuk menghujat kemuliaan Allah (2:10). Rupanya sikap-sikap itu merupakan rangkaian sebab-akibat yang satu sama lain tak terpisahkan. Mencemarkan diri dan menghina pemerintahan Allah selalu berarti menghujat kemuliaan Allah pula.
Kontras antara ayat 11 dan 12 dalam 2 Petrus 2 sangat mencolok. Guru-guru palsu itu hanyalah manusia. Malaikat yang lebih kuat dan lebih berkuasa daripada manusia saja tidak pernah menghujat, tetapi dengan angkuh guru-guru palsu itu menghujat kemuliaan Allah. Karena alasan itulah maka penulis menyebut mereka tidak berakal, sama seperti binatang yang hanya dilahirkan untuk ditangkap dan dimusnahkan. Mereka menghujat apa yang tidak mereka ketahui, sehingga mereka akan dibinasakan seperti binatang liar. Betapa buruknya perilaku mereka digambarkan dalam 2:13-14. Dalam ayat 15 dikatakan bahwa guru-guru palsu itu telah meninggalkan Jalan Kebenaran dan tersesat mengikuti jalan Bileam bin Beor, yang menjual karunia profetisnya demi uang. Secara keseluruhan, 2 Petrus 2:12-16 mengingatkan kita pada Yudas 8-12.

d. Mengenai hari Tuhan

Dalam 1 Petrus kita mendapat kesan bahwa penulis mengharapkan parousia akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, dalam 2 Petrus, penulis menyadari bahwa harapan tersebut tidak akan segera terjadi (3:4). Mengenai keterlambatan parousia ini, penulis memberi beberapa alternatif jawaban, antara lain seperti dikemukakannya dalam 3:8, bahwa ukuran waktu bagi Tuhan berbeda dengan ukuran waktu bagi kita (bdk. Mzm. 90:4). Artinya, Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak harus sama dengan waktu kita. Dalam 3:11, penulis memberikan alternatif lain, bahwa Tuhan tidak mungkin lalai akan janji-Nya. Kalaupun parousia belum terjadi, hal itu harus dipahami sebagai kesabaran Tuhan dalam memberi kesempatan seluas-luasnya kepada manusia untuk bertobat. Alasan lamanya waktu penantian bukanlah kelambanan, melainkan penderitaan yang amat panjang. Kedatangan Kristus yang kedua akan berarti deraan dahsyat dalam penghakiman. Meskipun harus terjadi, hal ini tidaklah menyenangkan hati Allah. Ia tidak menginginkan seorang pun binasa, melainkan agar semua orang bertobat. Jadi, kini alternatifnya cukup jelas: bertobat atau binasa.
Dalam 3:10, penulis memberi penjelasan bahwa hari Tuhan akan datang seperti pencuri di malam hari, waktunya tidak diketahui dan bukan kewenangan manusia untuk meramalkan atau memperhi-tungkannya (3:1-10). Ketika waktu itu tiba, penghakiman akan menimpa. Tuhan akan datang ketika manusia tidak mengharapkan-Nya, sama seperti kedatangan pencuri di malam hari. Karena itu harus selalu siaga untuk menyambut hari-Nya. Sebagaimana ditunjukkan Alkitab, ‘hari’ Tuhan itu bisa saja terdiri dari ribuan tahun. Hari Tuhan itu akan dimulai dengan kedatangan-Nya dan tidak akan diakhiri sebelum langit dan bumi ini berlalu, dihancurkan dengan api. Hari Tuhan adalah suatu periode yang ditandai oleh peninggian Kristus sebagai Tuhan dan pelaksana kehendak Allah, ketika orang-orang benar ikut memerintah bersama Dia.
Peringatan akan datangnya hari Tuhan yang akan diikuti dengan lenyapnya bumi dengan segala isinya, harus disongsong dengan persiapan, yaitu dengan kekudusan hidup orang percaya, sambil menantikan langit baru dan bumi baru, yang di dalamnya hanya ada kebenaran (3:10-13). Semua yang akan terjadi dinyatakan dalam kata-kata profetis (3:14-18). Tertundanya parousia justru harus dipahami sebagai kesabaran Allah, supaya manusia medapat kesempatan untuk bertobat dan memperoleh keselamatan (3:15). Sesungguhnya Allah menghendaki agar semua orang menggunakan kesempatan itu untuk bertobat dan memperoleh hidup.

e. Kebenaran nubuat

Tampaknya, dalam 3:2-7, secara tiba-tiba penulis kembali pada masalah kebenaran nubuat. Ia memaparkan antagonisme yang akan terjadi antara orang-orang beriman dengan musuh-musuhnya. Hal itu sudah dinubuatkan oleh para nabi, karena itu, jemaat diingatkan agar mengingatnya, mengingat nubuat yang telah diucapkan nabi-nabi dan mengingat perintah Juruselamat yang telah disampaikan oleh para rasul. Di samping itu, mereka harus pula mengetahui kebenaran nubuat para nabi, bahwa pada zaman akhir akan tampil pengejek-pengejek, yaitu orang-orang yang menuruti hawa nafsunya. Mereka menertawakan jemaat dengan ejekan-ejekannya, bahwa penantian jemaat akan datangnya parousia merupakan hal yang sia-sia. Dengan sinis mereka bertanya, “Bukankah sejak bapa-bapa leluhur meninggal hingga saat ini keadaan sama saja?” Artinya, setelah ditunggu sekian lama, Kristus toh tidak datang-datang juga (3:4). Mereka sengaja tidak mau tahu tindakan Allah, yang melalui firman-Nya telah menghu-kum bumi dengan air bah (3:4-5). Namun dengan firman itu pula Allah memelihara langit dan bumi dari dulu hingga datangnya Hari Penghakiman, yang merupakan hari kebinasaan orang-orang fasik (3:7). Dalam 3:9-10, penulis menegaskan bahwa hari Tuhan yang mereka harapkan itu pasti datang, sekalipun waktunya tak dapat diperhitungkan.
Dengan menandaskan bahwa nubuat para nabi itu benar adanya, penulis bukan hanya menghibur dan menguatkan jemaat, melainkan juga mengingatkan mereka agar mempersiapkan diri untuk menyongsong kedatangan Hari Penghakiman itu. Jemaat dipanggil untuk hidup tidak bercacat dan tidak bernoda di hadapan Allah dan tetap berada dalam perdamaian dengan Dia (3:14). Kebenaran nubuat para nabi secara keseluruhan mendatangkan sukacita bagi orang beriman. Dengan gambaran-gambaran yang diberikan ini, tampak jelas bahwa penulis 2 Petrus berada dalam garis pemikiran apokalyptis Yahudi. Ia berpegang pada keyakinan bahwa sebelum datangnya Hari Penghakiman, akan tampil para antikris dan jemaat harus menghadapinya dengan keteguhan iman.
Hal yang menarik, dalam bagian penutup ini penulis merujuk kepada surat-surat Paulus. Dalam 3:15-17, jelas terlihat bahwa surat-surat Paulus sudah dikenal sebagai suatu kumpulan yang dianggap sebagai bagian ’Kitab Suci’ Kristen [paling tidak meliputi: Injil-injil Sinoptis (lht. 1:17), 1 Petrus (lht. 3:1) dan kumpulan surat-surat Paulus, yang dikatakan Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutar-balikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain” (lht. 3:16)]. Ayat 16 ini menyiratkan bahwa guru-guru palsu itu telah menggunakan surat-surat Paulus untuk membenarkan diri, sekalipun diputarbalikkan dan disalahmengerti.  



[1] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm. 383; Perrin & Duling, The New Testament, hlm. 371.
[2] W.G. Kümmel, Introduction to the New Testament, hlm. 424.
[3] Paul J. Achtemeier, “1 Peter: A Commentary on First Peter” dalam Eldon Jay Epp (ed.), Hermenia: A Critical and Historical Commentary on the Bible (Minneapolis: Fortress, 1996), hlm. 4-5.
[4] Udo Schnelle, The History and Theology of the New Testament Writings (London: SCM Press, 1998), hlm. 400.
[5] Donald Guthrie, New Testament Introduction, hlm. 504 dbr.
[6] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm. 417.
[7] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm. 418.
[8] Perrin & Dulling, The New Testament, hlm. 379.
[9] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm. 419.
[10]Richard J. Bauckham, “Jude” dalam Metzger dan Coogan, The Oxford Companion to the Bible, hlm.396-397.
[12] Donald Guthrie, Introduction to the New Testament, 4th ed. (Leicester: Apollos, 1990), hlm. 820.
[13] E. M. B. Green, 2 Peter Reconsidered, p. 27.
[14] Yaitu “Paulus yang diberkati”, “Paulus yang mulia dan diberkati”, dan “Paulus yang disucikan dan diberkati,” dikutip dalam J. B. Major, The Epistle of St Jude and the Second Epistle of St Peter (1907), hlm. 166; Donald Guthrie, Introduction to the New Testament, hlm. 826; referensi kutipan kuno adalah 1 Clement 47:1 dan Polycarpus, Ad Phil. 11;  Ad Phil. 3; Ignatius, Ad Eph. 12:2.
[15] Guthrie, Introduction to the New Testament, hlm. 827.
[16] S. Theodor Zahn, Introduction to the New Testament II, hlm. 250; Charles A. Bigg, ‘The Epistles of St Peter and St Jude’, dalam International Critical Commentary (1901).
[17] E. M. B. Green, 2 Peter Reconsidered (1961), hlm. 10-11; ibid., ‘The Second Epistle General of Peter and the General Epistle of Jude’, dalam Tyndale New Testament Commentary (1987).
[18] Ben Witherington III, “A Petrine Source in 2 Peter”, Society of Biblical Literature Seminar Papers (1985), hlm. 187-192.
[19] Bahwa mayoritas ahli biblika menganggap 2 Petrus sebagai pseudopigraf tampak dari catatan-catatan untuk setiap paragraph seperti dalam komentar Daniel Wallace, Werner G. Kümmel, Stephen Harris, Douglas Moo dan Donald Alan Carson.
[21] W. G. Kümmel, 2 Peter
[22] Stephen L. Harris, Understanding the Bible: a reader's introduction, 2nd ed. (Palo Alto: Mayfield. 1985), hlm. 354.
[23] Donald Alan Carson dan Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament (Zondervan, Canada: HarperCollins, 2nd ed, 2005), hlm. 659.
[24] Schnelle, The History of the New Testament Writings, hlm. 425-426.
[25] A. Chester & R.P. Martin, The Theology of the letters of James, Peter & Jude (CUP, 1994), hlm. 144
[26] Harris, Understanding the Bible, hlm. 354
[27] Schnelle, The History of the New Testament Writings, hlm. 426-427.
[28] Richard J. Bauckham (1983), World Bible Commentary, Vol.50, Jude-2 Peter, Waco, hlm. 158.
[29] M.J. Kruger (1999), “The Authenticity of 2 Peter,” Journal of the Evangelical Theological Society 42.4, hlm. 645-671.
[30] S. T. Zahn, Introduction to the New Testament II, hlm. 250
[31] F. Spitta, Der Zweite Brief des Petrus und der Brief des Judas (1885)
[32] C. Bigg, ‘The Epistles of St Peter and St Jude’, in International Critical Commentary.
[33] E. M. B. Green, 2 Peter Reconsidered (1961) dan karya-karyanya yang lain.
[34] Jeremy Duff, "2 Peter" dalam Oxford Bible Commentary (Oxford: Oxford University Press, 2001).
[35] Perrin dan Dulling, The New Testament: An Introduction, hlm. 381.
[36] Richard J. Bauckham, “2 Peter” dalam Bruce M. Metzger dan Michael D. Coogan (eds.), The Oxford Companion to the Bible (New York: Oxford University Press, 1993), hlm. 588.
[37] Schnelle, The History of the New Testament Writings, hlm.
[38] Perrin and Dulling, The New Testament, hlm. 383.
[39] William F. Arndt and F. Wilbur Gingrich, A Greek-English Lexicon of the New Testament and other Early Christian Literature (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1958), hlm. 353.