Pemikiran Timur sebagai Filsafat
Kalau kita berpikir
bahwa filsafat adalah pemikiran yang harus memenuhi kriteria yang digunakan
dalam filsafat barat, maka sulit diterima untuk menggolongkan pemikiran timur
sebagai filsafat. Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran Timur tidak
menampilkan sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat, seperti
pembagian bidang kajian filsafat menjadi metafisika, epistemologi, dan
axiologi.
Selain itu pemikiran
Timur seringkali diterima begitu saja oleh penganutnya tanpa suatu kajian
kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir filsafat yang mengklaim
pemikiran Timur sebagai agama. Beberapa kajian terhadap pemikiran Timur juga
menunjukkan kurangnya telaah kritis terhadap pemikiran timur yang dilakukan
oleh mereka yang mendalaminya. Mereka sering menafsirkan, berusaha memahaminya,
kemudian mengamalkannya. Dari sini terkesan pemikiran Timur hanya seperangkat
tuntutan praktis untuk menjalani hidup atau sebagai serangkaian aturan
bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Itu semua bukanlah patokan yang menentukan
apakah pemikiran timur dapat digolongkan sebagai filsafat atau tidak.
Sampai di sini
terlihat bahwa alasan pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak memiliki
sistematika yang harus dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur
bisa jadi merupakan suatu bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang
ditampilkan filsafat Barat.
Dalam mempertanyakan
kriteria barat dalam penilaian kualitas sebuah pemikiran filosofis, Foucault
mengajukan tesis yang menarik tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan.
Foucault melihat bahwa suatu patokan keilmuan atau filosofis tertentu sangat
dipengaruhi (kalau tidak bisa disebut ‘ditentukan’) oleh kekuasaan yang
dimiliki pihak-pihak penyampai patokan-patokan itu. Tesis Foucault ini dapat
membantu kita memahami mengapa barat cenderung menolak filsafat Timur. Dalam
penentuan apakah pemikiran Timur merupakan filsafat atau bukan filsafat, selama
ini Barat-lah yang berperan secara dominan. Kita tahu bahwa dominasi Barat dan
Timur sangat besar, apalagi dalam ilmu dan filsafat. Penentuan pemikiran Timur
sebagai ‘bukan filsafat’ tak lepas dari pengaruh kekuasaan Barat yang memaksaka
kriteria-kriteria mereka kepada pemikiran Timur. Memang secara etimologis
(asal-usul kata) istilah filsafat muncul di Barat, namun filsafat bukanlah
monopoli Barat. Timur juga punya begitu banyak pemikiran yang tak kalah dalam,
dan bahkan beberapa lebih mendalam, lebih analitis dan kritis daripada
pemikiran Barat.
Fu Yu Lan menunjukkan
bahwa pengertian filsafat tidak selalu seperti pengertian yang digunakan oleh
filsafat Barat. Mengingat asal kata filsafat (philosophy) adalah philos dan
sophis, dengan arti ‘cinta akan kebenaran’, maka filsafat Timur dapat
dikategorikan sebagai filsafat. Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia
untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran.
Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan
didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat. Pendapat Fung
Yu Lan ini jauh-jauh hari sudah dikemukakan oleh Socrates yang kemudian dikutip
oleh Plato dalam Phaedrus.
Orang-orang yang
gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat
mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat, patut disebut filsuf. Mereka
adalah pecinta kebijaksanaan atau wisdom. Dengan dasar ini pemikiran-pemikir
Timur seperti Confucius, Lao Tze, dan Sidharta Gautama layak disebut filsuf.
Dengan demikian buah pikirannya dapat digolongkan sebagai pemikiran filosofis.
Batasan yang dikemukakan
Fung Yu Lan yang sejalan dengan Socrates dan Plato ini sering dianggap masih
terlalu umum. Pengertian kebenaran atau kebijaksanaan di sini masih belum
jelas. Pengertian kebijaksanaan atau wisdom perlu kita perjelas di sini.
Kata wisdom, yang
kadang diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan kadang sebagai kebenaran,
menurut Brand Blanshard dalam The Encyclopedia of Philosophy (vol. 8, hal
322-324) diartikan sebagai, “... a
practical knowledge based on reflection and judgment concerned with the art of
living.”
Wisdom sebagai
pengetahuan praktis yang didasari oleh refleksi dan penilaian disertai dengan
kepedulian terhadap seni kehidupan tampil pula dalam pemikiran para pemikir
Timur seperti Sidharta Gautama dan sangat luas dan umum. Blanshard menilai banyak
filsuf modern mengabaikan pencapaian kebijaksanaan dengan dua kemungkinan
alasan: pertama karena merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan
sebagai kebijaksanaan lebih didasari oleh perasaan (feelings) dan
keinginan/nafsu/gairah (desires atau passion) ketimbang pengetahuan. Kedua,
penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi
logis.
Namun, menurut
Sanderson Beck penggunaan perasaan, gairah dan intuisi dalam proses memahami
sesuatu bukanlah hal yang buruk. Perasaan, gairah, dan intuisi merupakan
sesuatu yang manusiawi. Manusia diperkaya oleh kemampuan-kemampuan non-rasional
itu untuk menjalani hidupnya. Justru manusia akan jadi timpang jika hanya
menggunakan rasio saja. Intuisi, informasi-informasi yang diperoleh lewat
perasaan dan gairah merupakan modal awal manusia untuk memahami lingkungannya.
Rasio kemudian membantu memperjelas dan mempertajam pemahaman itu. Beck
menunjukkan hal itu dengan percobaannya menemukan pengertian wisdom secara
intuitif, kemudian mengkajinya secara rasional.
Beck berpendapat,
“Wisdom is the knowledge of and action for the highest good of all concerned.”
Bagi Beck, kebijaksanaan atau wisdom adalah pengetahuna tentang dan tindakan
untuk mencapai kebaikan tertinggi dalam segala aspek. Ada dua kondisi yang
niscaya (necessary conditions) yang harus ada dalam pengertian kebijaksanaan
dan keduanya tak bisa berdiri sendiri:
1)
Pengetahuan
tentang kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good); dan
2)
Tindakan
untuk mencapai kebaikan tertinggi (action for the highest good)
Mengetahui apa yang
benar dan apa yang tidak benar saja bukanlah kebijaksanaan. Begitu pula
mengerjakan sesuatu yang benar tanpa tahu bahwa itu benar. Untuk dapat menilai
seseorang sebagai orang bijaksana, keduanya harus tampil sekaligus pada diri
orang itu. Perolehan pengetahuna tentang kebaikan tertinggi dan tindakan untuk
mencapainya melibatkan keseluruhan diri manusia, bukan hanya rasio. Keseluruhan
sistem psikofisik manusia terlibat di sini. Perlibatan keseluruhan diri manusia
inilah yang terlihat dalam pemikiran-pemikiran timur.
Seringkali dua
kondisi niscaya yang terkandung dalam kebijaksanaan inilah yang kemungkinan
luput dari pemahaman para pengikut pemikir Timur. Mereka mengamalkan saja
ajaran-ajaran para pemikir Timur seperti Confucius dan Sidharta Gautama, dalam
tindakan tanpa mengetahui secara mendasar kebaikan tertinggi, tidak akan
mencapai mencapai kebijaksanaan. Pembahasan yang hanya membicarakan pengetahuan
tertinggi tanpa menjalankannya dalam tindakan juga tidak akan membawa kepada
kebijaksanaan. Untuk mencapai kebijaksanaan, mereka harus melibatkan
keseluruhan dirinya. Pikiran dan perbuatan perlu terlibat secara intensif dalam
pencapaian kebijaksanaan. Inilah filsafat dalam pengertian para pemikir Timur
seperti Lao Tze, Confucius, Sidharta Gautama, para filsuf Hindu dan Islam.
Selain batasan yang
dikemukakan Fung Yu Lan, kriteria-kriteria yang tercakup dalam pengertian
filsafat sebagai upaya memahami segala sesuatu secara kritis, sistematis, dan
radikal tetap perlu dipenuhi oleh pemikiran Timur agar pemikiran Timur terbuka
pada pengembangan yang lebih luas lagi. Dengan begitu juga dapat dihindari
terjadinya pembekuan pemikiran Timur menjadi ajaran dogmatis. Hanya batasan
pengertiannya perlu diklarifikasi dan dilepaskan dari ‘wacana’ filsafat Barat.
Di sisi lain pemikiran Timur sendiri perlu mawas diri dan membuka diri pada
berbagai modifikasi. Pendapat Iqbal dapat dijadikan bahan instrospeksi diri
bagi pemikiran Timur. Iqbal mengajak orang-orang Timur untuk menilai secara
obyektif isi dari pemikiran Barat, menilai baik-buruk pemikiran itu berdasarkan
kualitas isinya, bukan berdasarkan siapa yang menyampaikannya. Iqbal secara
kritis menilai pemikiran Barat memiliki banyak keunggulan dan di sisi lain
menentang pengagungan rasinalisme Barat dengan argumentasi-argumentasi tajam
dan masuk akal. Apa yang dilakukan Iqbal perlu dilakukan oleh para pengembang
pemikiran Timur.
Sifat radikal dalam
arti mendalam sampai ke akar-akarnya pada filsafat Timur sudah tampak sejak
para pemikir Timur mengemukakan buah pikirannya. Apa yang dilakukan Sidharta
Gautama adalah sesuatu yang sangat radikal bagi masanya. Ia mencoba menggali
hakikat hidup sampai sedalam-dalamnya. Ia bahkan mencabut akar-akar kehidupan
yang lama di India waktu itu dan mengembangkan sistem pemikiran baru yang kini
kita kenal dengan Budhisme. Sifat radikal dari pemikiran Timur mungkin tidak
banyak ditampilkan oleh para pengikut pemikir-pemikir besar seperti Budha dan
Confucius sehingga terkesan dogmatis dan tidak mendalam. Tetapi di akhir abad
ke-20, pengkajian Budhisme dan Confucianisme sudah menampilkan sifat-sifat
radikal. Budhisme dan Confucianisme siap untuk membedah dan dibedah
habis-habisan, terbuka kepada berbagai kemungkinan modifikasi sampai ke
akar-akarnya.
Pengertian ketiga
kriteria yang diajukan di atas menjadi dasar kategorisasi terhadap pemikiran
Timur. Pengertian-pengertian itu memungkinkan berbagai pemikiran lain di luar
pemikiran filsafat Barat masuk dalam kategori filsafat. Dengan mendasarkan pada
pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur, seperti Hinduisme, Budhisme,
Daoisme, Budhisme Chan, dan pemikiran Islam dapat disebut sebagai filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar