PERIODISASI FILSAFAT INDIA
Hasil
pemikiran filsafat India sangat nampak berciri anthropo-cosmosentris, religius
dan etis. Menurut Rabindranath Tagore (1861-1941) filsafat India berpangkal
pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, kesatuan
harmoni antara individu dan kosmos. Harmoni ini harus disadari supaya dunia
tidak dialami sebagai tempat keterasingan ataupun sebagai penjara. Orang India
harus belajar untuk dekat dengan semua benda, dengan dunia sekelilingnya. Ia
harus menyambut air yang mengalir di
sungai, tanah subur yang memberi makanan dan matahari yang terbit. Mereka tidak
belajar untuk “menguasai” dunia, melainkan untuk “berteman” dengan dunia.
Sejarah
filsafat India dapat dibagi menjadi empat periode sebagai berikut:
2.1.
Periode Weda (1500 – 600 SM)
Periode
ini ditandai dengan kedatangan bangsa Arya dan penyebarannya di India. Bangsa
Arya pada periode ini mulai menanamkan kekuasaannya di India, demikian juga
kebudayaan Arya mulai berkembang dan berpengaruh. Pada periode Weda ini
tercatat berdiri beberapa perguruan di hutan-hutan tempat idealisme yang tinggi
dari India mulai berkembang. Muncul berbagai aliran pikiran susul menyusul dan
mudah dikenal karena mantra-mantranya, para Brahmana, serta Upanisad. Beragam
pendapat yang dilontarkan pada periode ini memang belum dapat disebut
filosofis, tetapi asas-asas filsafat sudah terdapat pada Brahmana dan Upanisad
walaupun belum sistematis. Sesungguhnya secara teknis zaman ini belum dapat
disebut sebagai zaman filsafat dalam arti yang sebenarnya. Periode ini adalah
suatu periode di mana orang masih meraba-raba dan mencari-cari, pikiran dan
tahayul saling susul silih berganti.
Berbagai
konsep religi masih boleh dikatakan bersifat mitologis. Tetapi untuk memenuhi
ketertiban dan urut-urutan dalam menguraikan pokok-pokok pembicaraan ini, maka
perlulah kiranya bagian ini mulai dengan membahas berbagai pendapat yang
termuat di dalam ragam nyanyian dan pujian di dalam Weda, serta membicarakan
tentang sudut pandang dan berbagai konsep yang terdapat di dalam
Upanisad-Upanisad. Dapat juga disebut di sini beberapa kitab Weda yang dibagi
menjadi empat bagian, yaitu: Rig-Veda, Sama-Veda, Atharva-Veda, dan Yajur-Veda.
Perlu disampaikan di sini bahwa tema yang menonjol dalam Upanisad adalah ajaran
tentang hubungan antara Atman dan Brahman. Atman adalah segi subyektif dari
kenyataan “diri” manusia, sedangkan Brahman adalah segi obyektif “makrokosmos”,
alam semesta. Upanisad mengajar bahwa Atman dan Brahman memang sama dan bahwa
manusia mencapai keselamatan (“moksa”, “mukti”) kalau mau menyadari identitas
Atman dan Brahman.
2.2.
Periode Wiracarita (600 SM – 200 M)
Lasiyo
dan Yuwono sering menyebut periode ini dengan periode epic, atau periode
Hikayat cerita-cerita kepahlawanan. Periode ini meliputi berkembangnya
Upanisad-Upanisad yang tertua dan sistem-sistem filsafat (Darsyana). Hikayat
Ramayana dan Mahabarata menjadi pemancar amanat baru yang datang dari hubungan
antara sifat kepahlawanan dan sifat ke-Tuhan-an di dalam diri manusia.
Dalam
periode ini juga dijumpai “pendemokrasian” secara massive berbagai Upanisad ke
dalam Budhisme dan ke dalam Bhagavadgita. Berbagai sistem dari Budhisme,
Jainisme, Syivaism, dan Vishnuism termasuk periode ini. Perkembangan
pikiran-pikiran abstrak, yang mencapai puncaknya pada berbagai aliran atau
mazhab filsafat India dalam bentuk darsyana juga termasuk dalam periode ini.
Dalam pada itu Radhakrishnan mengungkapkan bahwa kebanyakan di antara berbagai
sistem itu mulai timbul bersamaan dengan ajaran Budhisme yang semakin meluas,
dan berkembang dari abad ke abad secara berdampingan. Hanya saja memang harus
diakui bahwa buah karya yang disusun secara sistematis oleh aliran-aliran
tersebut baru tampak selesai dan baru dapat disaksikan pada periode berikutnya.
2.3.
Periode Sutra-sutra (200 Masehi – sekarang)
Pada
jaman Wiracarita orang sudah mulai merasa bahwa untuk menerangkan mantra-mantra
daripada kitab-kitab Weda yang kuno, formula-formula serta peraturan-peraturan
itu, diperlutkan alat-alat pengetahuan, misalnya ilmu fonetik, tatabahasa dan
lain-lainnya. Demikianlah timbul kitab-kitab yang disebut Wedangga. Pengetahuan
Wedangga ini mula-mula diuraikan dalam bentuk sutra-sutra, yaitu uraian prosa
yang disusun dengan singkat, dengan maksud supaya mudah dihafalkan dan mudah
dipergunakaan sebagai buku pegangan.
Mula-mula
upacara korbanlah yang diuraikan secara sistematis, sehingga timbullah
sutra-sutra yang mengenai hal ini, yang disebut Kalpasutra. Kemudian timbullah
apa yang disebut Dharmasutra, yaitu sutra-sutra yang menguraikan tentang
Dharma, yaitu tugas kewajiban manusia seperti yang dituntut oleh Weda di dalam
keadaan yang bermacam-macam itu.
Di
samping itu timbullah juga sutra-sutra yang menampakkan corak yang bertentangan
dengan ajaran Weda, dan sutra-sutra yang menjadi sumber filsafat yang timbul
pada jaman ini. Masing-masing dari sistem filsafat ini dapat dikatakan memiliki
sutra-sutranya sendiri.
Pada
periode ini berbagai konsep pemikiran menjadi sedemikian banyak, hingga sukar
sekali untuk disederhanakan, untuk itu perlu dibuat semacam rangkuman atau
skema kefilsafatan yang pendek dan ringkas. Ikhtisar ini dibuat dalam bentuk
sutra-sutra yang sulit dimengerti kalau tidak ada komentar-komentarnya. Tidak
mengherankan jika komentarnya menjadi lebih penting daripada sutranya sendiri.
Di dalam perkembangan periode ini sudah tercapai suatu sikap kritis di lapangan
filsafat, karena dalam periode sebelumnya sudah sering dijumpai diskusi-diskusi
kefilsafatan di mana akal tidak begitu saja menerima apa yang menjadi pendapat
orang hingga terdapat suatu permainan yang mengitari pokok persoalannya, dengan
mengajukan keberatan dan jawaban atas persoalan itu. Dengan jalan intuisi, para
ahli pikir pada periode ini dapat sampai pada prinsip-prinsip umum yang bagi
mereka dapat menerangkan segala aspek alam semesta. Namun demikian, sekalipun
di dalam periode ini berbagai sintesi kefilsafatan sudah mendalam dan cermat,
akan tetapi keadaannya boleh dikata “menderita terus menerus” karena terutama
tidak ada sikap “kritis”. Tanpa kritik terlebih dahulu apakah manusia mampu
untuk memecahkan beragam persoalan filosofis, mereka mengerahkan pandangannya
kepada dunia dan berpikir sampai tercapai konklusi. Usaha pertama yang diadakan
untuk memahami dan menerangkan dunia, belum dapat disebut “sungguh-sungguh
filosofis”. Oleh karena mereka belum “diganggu oleh suara-suara” yang
menanyakan sampai seberapa jauh kekuasaan manusia di dalam hal ini, dan apakah
sudah tepat alat-alat atau pun kriterium-kriterium yang digunakan, karena akal
manusia sedemikian sibuk, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengawasi dirinya
sendiri.
Setelah
sampai pada sutra-sutra barulah berbagai pikiran dan renungan itu dilakukan
dengan penuh kesadaran, seksama dan cermat. Beragam pikiran dan renungan itu
tidak lagi semata-mata menggambarkan kebebasan yang masih dipengaruhi oleh
agama. Mengenai sistem-sistemnya sendiri tidak dapat dikatakan dengan tepat,
mana yang lahir lebih dulu dan mana yang datang kemudian. Berbagai aliran pun
saling menunjuk yang satu menerima pandangan dari yang lainnya. Yoga menerima
pandangan Sankhya, dan Waisesika mengakui kebenaran pandangan Nyaya maupun
Sankhya, Nyaya menunjuk baik pada Wedanta maupun Sankhya. Hanya Mimamsa yang
secara langsung atau tidak langsung mengakui bahwa aliran lainnya telah muncul
lebih dahulu dari padanya. Demikian juga pendapat aliran Wedanta. Tetapi
menurut Radhakrishnan dengan mengikuti pendapat Prof. Garbe, aliran yang tertua
adalah Sankhya kemudian muncul Yoga, lalu Waisesika dan terakhir adalah Nyaya.
Periode Sutra tidak dapat dibedakan dengan tegas dari periode Skolastik. Kedua
periode tersebut boleh dikata masih berlangsung sampai kini.
Sistim-sistem
filsafat India terdiri dari dua golongan, yaitu golongan Astika (ortodox) dan
Nastika (Heterodox). Jika dikenakan pada sistem filsafat, maka kata astika
diartikan yang percaya kepada kedaulatan Weda. Adapun yang termasuk golongan
astika ialah apa yang disebut Sad Darsana atau enam sistem filsafat, yaitu:
a) Nyaya (tentang Logika)
diajarkan oleh Gotama (Akshapada) dalam lima pelajaran
b) Waisesika diajarkan oleh
Kanada (Kanabhuj, Kanabhakshaka atau Uluka) dalam enam padartha (highest sense
of word): dravya (substansi, yang sama), visesha, (differencia), samavaya
(inseparable inherence: bagian dan keseluruhan, sebab dan akibat dsb),
ditambahkan abhava (negasi). Keenam padartha dapat disamakan dengan kategori,
karena dapat diprediksikan dengan sesuatu hal/sifat
c) Sankya diajarkan oleh Kapila
dalam enam pelajaran membedakan antara prakrti dan purusha
d) Yoga diajarkan oleh Patanjali
(Sesha, atau Phanin), terdiri dari empat bagian.
e) Mimamsa, terdiri dari dua
aliran besar, masing-masing dengan penulis bukunya:
-
Purwa-Mimamsa – Sutras oleh Jaimini
-
Uttara Mimamsa Sutras oleh Badarayana
f)
Wedanta (= Uttara Mimamsa) terdiri dari berbagai aliran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar