Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Selasa, 22 Oktober 2013

PERIODISASI FILSAFAT INDIA. Oleh. Obet Nego

 PERIODISASI FILSAFAT INDIA
Hasil pemikiran filsafat India sangat nampak berciri anthropo-cosmosentris, religius dan etis. Menurut Rabindranath Tagore (1861-1941) filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa ada kesatuan fundamental antara manusia dan alam, kesatuan harmoni antara individu dan kosmos. Harmoni ini harus disadari supaya dunia tidak dialami sebagai tempat keterasingan ataupun sebagai penjara. Orang India harus belajar untuk dekat dengan semua benda, dengan dunia sekelilingnya. Ia harus menyambut  air yang mengalir di sungai, tanah subur yang memberi makanan dan matahari yang terbit. Mereka tidak belajar untuk “menguasai” dunia, melainkan untuk “berteman” dengan dunia.
Sejarah filsafat India dapat dibagi menjadi empat periode sebagai berikut:
2.1. Periode Weda (1500 – 600 SM)
Periode ini ditandai dengan kedatangan bangsa Arya dan penyebarannya di India. Bangsa Arya pada periode ini mulai menanamkan kekuasaannya di India, demikian juga kebudayaan Arya mulai berkembang dan berpengaruh. Pada periode Weda ini tercatat berdiri beberapa perguruan di hutan-hutan tempat idealisme yang tinggi dari India mulai berkembang. Muncul berbagai aliran pikiran susul menyusul dan mudah dikenal karena mantra-mantranya, para Brahmana, serta Upanisad. Beragam pendapat yang dilontarkan pada periode ini memang belum dapat disebut filosofis, tetapi asas-asas filsafat sudah terdapat pada Brahmana dan Upanisad walaupun belum sistematis. Sesungguhnya secara teknis zaman ini belum dapat disebut sebagai zaman filsafat dalam arti yang sebenarnya. Periode ini adalah suatu periode di mana orang masih meraba-raba dan mencari-cari, pikiran dan tahayul saling susul silih berganti.
Berbagai konsep religi masih boleh dikatakan bersifat mitologis. Tetapi untuk memenuhi ketertiban dan urut-urutan dalam menguraikan pokok-pokok pembicaraan ini, maka perlulah kiranya bagian ini mulai dengan membahas berbagai pendapat yang termuat di dalam ragam nyanyian dan pujian di dalam Weda, serta membicarakan tentang sudut pandang dan berbagai konsep yang terdapat di dalam Upanisad-Upanisad. Dapat juga disebut di sini beberapa kitab Weda yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu: Rig-Veda, Sama-Veda, Atharva-Veda, dan Yajur-Veda. Perlu disampaikan di sini bahwa tema yang menonjol dalam Upanisad adalah ajaran tentang hubungan antara Atman dan Brahman. Atman adalah segi subyektif dari kenyataan “diri” manusia, sedangkan Brahman adalah segi obyektif “makrokosmos”, alam semesta. Upanisad mengajar bahwa Atman dan Brahman memang sama dan bahwa manusia mencapai keselamatan (“moksa”, “mukti”) kalau mau menyadari identitas Atman dan Brahman.
2.2. Periode Wiracarita (600 SM – 200 M)
Lasiyo dan Yuwono sering menyebut periode ini dengan periode epic, atau periode Hikayat cerita-cerita kepahlawanan. Periode ini meliputi berkembangnya Upanisad-Upanisad yang tertua dan sistem-sistem filsafat (Darsyana). Hikayat Ramayana dan Mahabarata menjadi pemancar amanat baru yang datang dari hubungan antara sifat kepahlawanan dan sifat ke-Tuhan-an di dalam diri manusia.
Dalam periode ini juga dijumpai “pendemokrasian” secara massive berbagai Upanisad ke dalam Budhisme dan ke dalam Bhagavadgita. Berbagai sistem dari Budhisme, Jainisme, Syivaism, dan Vishnuism termasuk periode ini. Perkembangan pikiran-pikiran abstrak, yang mencapai puncaknya pada berbagai aliran atau mazhab filsafat India dalam bentuk darsyana juga termasuk dalam periode ini. Dalam pada itu Radhakrishnan mengungkapkan bahwa kebanyakan di antara berbagai sistem itu mulai timbul bersamaan dengan ajaran Budhisme yang semakin meluas, dan berkembang dari abad ke abad secara berdampingan. Hanya saja memang harus diakui bahwa buah karya yang disusun secara sistematis oleh aliran-aliran tersebut baru tampak selesai dan baru dapat disaksikan pada periode berikutnya.
2.3. Periode Sutra-sutra (200 Masehi – sekarang)
Pada jaman Wiracarita orang sudah mulai merasa bahwa untuk menerangkan mantra-mantra daripada kitab-kitab Weda yang kuno, formula-formula serta peraturan-peraturan itu, diperlutkan alat-alat pengetahuan, misalnya ilmu fonetik, tatabahasa dan lain-lainnya. Demikianlah timbul kitab-kitab yang disebut Wedangga. Pengetahuan Wedangga ini mula-mula diuraikan dalam bentuk sutra-sutra, yaitu uraian prosa yang disusun dengan singkat, dengan maksud supaya mudah dihafalkan dan mudah dipergunakaan sebagai buku pegangan.
Mula-mula upacara korbanlah yang diuraikan secara sistematis, sehingga timbullah sutra-sutra yang mengenai hal ini, yang disebut Kalpasutra. Kemudian timbullah apa yang disebut Dharmasutra, yaitu sutra-sutra yang menguraikan tentang Dharma, yaitu tugas kewajiban manusia seperti yang dituntut oleh Weda di dalam keadaan yang bermacam-macam itu.
Di samping itu timbullah juga sutra-sutra yang menampakkan corak yang bertentangan dengan ajaran Weda, dan sutra-sutra yang menjadi sumber filsafat yang timbul pada jaman ini. Masing-masing dari sistem filsafat ini dapat dikatakan memiliki sutra-sutranya sendiri.
Pada periode ini berbagai konsep pemikiran menjadi sedemikian banyak, hingga sukar sekali untuk disederhanakan, untuk itu perlu dibuat semacam rangkuman atau skema kefilsafatan yang pendek dan ringkas. Ikhtisar ini dibuat dalam bentuk sutra-sutra yang sulit dimengerti kalau tidak ada komentar-komentarnya. Tidak mengherankan jika komentarnya menjadi lebih penting daripada sutranya sendiri. Di dalam perkembangan periode ini sudah tercapai suatu sikap kritis di lapangan filsafat, karena dalam periode sebelumnya sudah sering dijumpai diskusi-diskusi kefilsafatan di mana akal tidak begitu saja menerima apa yang menjadi pendapat orang hingga terdapat suatu permainan yang mengitari pokok persoalannya, dengan mengajukan keberatan dan jawaban atas persoalan itu. Dengan jalan intuisi, para ahli pikir pada periode ini dapat sampai pada prinsip-prinsip umum yang bagi mereka dapat menerangkan segala aspek alam semesta. Namun demikian, sekalipun di dalam periode ini berbagai sintesi kefilsafatan sudah mendalam dan cermat, akan tetapi keadaannya boleh dikata “menderita terus menerus” karena terutama tidak ada sikap “kritis”. Tanpa kritik terlebih dahulu apakah manusia mampu untuk memecahkan beragam persoalan filosofis, mereka mengerahkan pandangannya kepada dunia dan berpikir sampai tercapai konklusi. Usaha pertama yang diadakan untuk memahami dan menerangkan dunia, belum dapat disebut “sungguh-sungguh filosofis”. Oleh karena mereka belum “diganggu oleh suara-suara” yang menanyakan sampai seberapa jauh kekuasaan manusia di dalam hal ini, dan apakah sudah tepat alat-alat atau pun kriterium-kriterium yang digunakan, karena akal manusia sedemikian sibuk, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengawasi dirinya sendiri.
Setelah sampai pada sutra-sutra barulah berbagai pikiran dan renungan itu dilakukan dengan penuh kesadaran, seksama dan cermat. Beragam pikiran dan renungan itu tidak lagi semata-mata menggambarkan kebebasan yang masih dipengaruhi oleh agama. Mengenai sistem-sistemnya sendiri tidak dapat dikatakan dengan tepat, mana yang lahir lebih dulu dan mana yang datang kemudian. Berbagai aliran pun saling menunjuk yang satu menerima pandangan dari yang lainnya. Yoga menerima pandangan Sankhya, dan Waisesika mengakui kebenaran pandangan Nyaya maupun Sankhya, Nyaya menunjuk baik pada Wedanta maupun Sankhya. Hanya Mimamsa yang secara langsung atau tidak langsung mengakui bahwa aliran lainnya telah muncul lebih dahulu dari padanya. Demikian juga pendapat aliran Wedanta. Tetapi menurut Radhakrishnan dengan mengikuti pendapat Prof. Garbe, aliran yang tertua adalah Sankhya kemudian muncul Yoga, lalu Waisesika dan terakhir adalah Nyaya. Periode Sutra tidak dapat dibedakan dengan tegas dari periode Skolastik. Kedua periode tersebut boleh dikata masih berlangsung sampai kini.
Sistim-sistem filsafat India terdiri dari dua golongan, yaitu golongan Astika (ortodox) dan Nastika (Heterodox). Jika dikenakan pada sistem filsafat, maka kata astika diartikan yang percaya kepada kedaulatan Weda. Adapun yang termasuk golongan astika ialah apa yang disebut Sad Darsana atau enam sistem filsafat, yaitu:
a)      Nyaya (tentang Logika) diajarkan oleh Gotama (Akshapada) dalam lima pelajaran
b)      Waisesika diajarkan oleh Kanada (Kanabhuj, Kanabhakshaka atau Uluka) dalam enam padartha (highest sense of word): dravya (substansi, yang sama), visesha, (differencia), samavaya (inseparable inherence: bagian dan keseluruhan, sebab dan akibat dsb), ditambahkan abhava (negasi). Keenam padartha dapat disamakan dengan kategori, karena dapat diprediksikan dengan sesuatu hal/sifat
c)      Sankya diajarkan oleh Kapila dalam enam pelajaran membedakan antara prakrti dan purusha
d)      Yoga diajarkan oleh Patanjali (Sesha, atau Phanin), terdiri dari empat bagian.
e)      Mimamsa, terdiri dari dua aliran besar, masing-masing dengan penulis bukunya:
-         Purwa-Mimamsa – Sutras oleh Jaimini
-         Uttara Mimamsa Sutras oleh Badarayana
f)        Wedanta (= Uttara Mimamsa) terdiri dari berbagai aliran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar