Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Selasa, 22 Oktober 2013

Kebijaksanaan Hinduisme dalam Dharma dan Kehidupan Moral oleh. Obet Nego

Kebijaksanaan Hinduisme dalam Dharma dan Kehidupan Moral
Kata dharma berasal dari akar kata dhr, yang berarti “memegang, bertahan, memasang, mendukung, membuat kencang”. Prof. Zaehner membandingkannya dengan kata Latin, firmus darimana dibentuk kata forma. Dharma dalam pemahaman ini adalah sesuatu yang memberi bentuk, yang membuatnya tetap dan tidak berubah. Menuruh M. Dhavamony, bersama kata dhaman – dhaman sendiri dari akar kata dha yang berarti “menaruh, menetapkan” – dharma boleh diartikan sebagai sesuatu yang “menetapkan sebagai miliknya”, “yang menguasai atau menjalankan”; bisa dibandingkan dengan kata Yunani thronos yang berarti “kedudukan, pemerintahan”.
Sebetulnya kata dharma sudah digunakan juga baik dalam Veda maupun Brahman, tetapi sangat terbatas. Dalam Rig-Veda, dharma ditunjukkan sebagai aturan berkenaan dengan upacara korban, misalnya cara menyalakan api sesuai dengan kebiasaan lama atau aturan yang harus ditaati agar pemujaan kepada dewa dilakukan dengan benar, sedang dalam kitab-kitab Brahmana dharma praktis menduduki fungsi “kewajiban” berkaitan dengan upacara korban.
Chandogya Upanishad rupanya merumuskan seluruh pengartian dharma dalam ajaran Veda sebagai berikut:
“Ada tiga macam pokok (dharma). Yang pertama adalah korban, pelajaran Veda dan pemberian dana. Yang kedua adalah tapa. Yang ketiga adalah tinggal sebagai murid untuk pengetahuan suci di rumah seorang guru dan berlaku dengan sangat rendah hati di rumahnya. Semuanya ini mendatangkan dunia yang disediakan bagi orang-orang utama (sebagai upah mereka). Dia yang tetap teguh dalam Brahman mencapai imortalitas.”
Memang dalam Upanishad pengertian dharma secara moral belum terlalu nampak. Akan tetapi petunjuk-petunjuk awal sudah bisa dilihat misalnya dalam teks Katha Upanishad:
“Bukan orang yang tak hentinya berbuat kesalahan, bukan pula yang tak kenal damai dan yang tak bisa memusatkan diri, bukan pula orang yang pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan, yang dapat meresapkan dia (tuhan), biar pun dia bijak maupun pandai.”
Orang-orang yang tak pernah bersih akan selalu menjadi korban reinkarnasi dan gagal mencapai tujuan akhir:
“Orang yang tak tahu membeda-bedakan, tak punya pikiran, tak pernah bersih, dia tak mencapai keadaan (mulia) itu, kembali ke perputaran kelahiran dan kematian yang tak pernah ada akhirnya ini.”
Di sini Tuhan dipikirkan sebagai yang murni, yang bebas dari kejahatan dan dharma digunakan sebagai ciri dan hakekat dari Tuhan. Sementara dalam fase sebelumnya tuntutan lebih diletakkan pada aturan ritual, untuk memberikan persembahan pada upacara korban, sekarang Upanishad memandang tuntutan religius terletak pada tapa, matiraga, kemurahan dan kelurusan hati, dharma, tidak membuat cedera dan menjalankan kebenaran. Dalam semua sifat ini, manusia mengambil Tuhan sebagai modelnya.
Dengan demikian dharma yang semula berkaitan dengan upacara korban itu selanjutnya berkembang. Dharma bisa diartikan sebagai hukum yang mengatur kelangsungan alam semesta maupun kehidupan manusia. Dalam arti pertama, para dewa pun terkena dharma, sebab mereka termasuk dalam kehidupan kosmis. Tradisi beranggapan bahwa kehidupan para dewa pada hakekatnya berupa permainan, namun mereka tidak sewenang-wenang dalam bermain, sebab dharma merupakan peraturan permainan yang mengikat atau yang harus ditaati. Pada manusia dharma menjadi kewajiban moral yang harus ditaati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar