Kebijaksanaan Hinduisme dalam Dharma
dan Kehidupan Moral
Kata
dharma berasal dari akar kata dhr,
yang berarti “memegang, bertahan, memasang, mendukung, membuat kencang”. Prof.
Zaehner membandingkannya dengan kata Latin, firmus darimana dibentuk kata forma.
Dharma dalam pemahaman ini adalah sesuatu yang memberi bentuk, yang membuatnya
tetap dan tidak berubah. Menuruh M. Dhavamony, bersama kata dhaman – dhaman
sendiri dari akar kata dha yang berarti “menaruh, menetapkan” – dharma boleh
diartikan sebagai sesuatu yang “menetapkan sebagai miliknya”, “yang menguasai
atau menjalankan”; bisa dibandingkan dengan kata Yunani thronos yang berarti
“kedudukan, pemerintahan”.
Sebetulnya
kata dharma sudah digunakan juga baik dalam Veda maupun Brahman, tetapi sangat
terbatas. Dalam Rig-Veda, dharma ditunjukkan sebagai aturan berkenaan dengan
upacara korban, misalnya cara menyalakan api sesuai dengan kebiasaan lama atau
aturan yang harus ditaati agar pemujaan kepada dewa dilakukan dengan benar,
sedang dalam kitab-kitab Brahmana dharma praktis menduduki fungsi “kewajiban”
berkaitan dengan upacara korban.
Chandogya
Upanishad rupanya merumuskan seluruh pengartian dharma dalam ajaran Veda
sebagai berikut:
“Ada tiga macam pokok (dharma). Yang
pertama adalah korban, pelajaran Veda dan pemberian dana. Yang kedua adalah
tapa. Yang ketiga adalah tinggal sebagai murid untuk pengetahuan suci di rumah
seorang guru dan berlaku dengan sangat rendah hati di rumahnya. Semuanya ini mendatangkan
dunia yang disediakan bagi orang-orang utama (sebagai upah mereka). Dia yang
tetap teguh dalam Brahman mencapai imortalitas.”
Memang
dalam Upanishad pengertian dharma secara moral belum terlalu nampak. Akan
tetapi petunjuk-petunjuk awal sudah bisa dilihat misalnya dalam teks Katha
Upanishad:
“Bukan
orang yang tak hentinya berbuat kesalahan, bukan pula yang tak kenal damai dan
yang tak bisa memusatkan diri, bukan pula orang yang pikirannya dipenuhi dengan
kegelisahan, yang dapat meresapkan dia (tuhan), biar pun dia bijak maupun
pandai.”
Orang-orang
yang tak pernah bersih akan selalu menjadi korban reinkarnasi dan gagal
mencapai tujuan akhir:
“Orang
yang tak tahu membeda-bedakan, tak punya pikiran, tak pernah bersih, dia tak
mencapai keadaan (mulia) itu, kembali ke perputaran kelahiran dan kematian yang
tak pernah ada akhirnya ini.”
Di
sini Tuhan dipikirkan sebagai yang murni, yang bebas dari kejahatan dan dharma
digunakan sebagai ciri dan hakekat dari Tuhan. Sementara dalam fase sebelumnya
tuntutan lebih diletakkan pada aturan ritual, untuk memberikan persembahan pada
upacara korban, sekarang Upanishad memandang tuntutan religius terletak pada
tapa, matiraga, kemurahan dan kelurusan hati, dharma, tidak membuat cedera dan
menjalankan kebenaran. Dalam semua sifat ini, manusia mengambil Tuhan sebagai
modelnya.
Dengan
demikian dharma yang semula berkaitan dengan upacara korban itu selanjutnya
berkembang. Dharma bisa diartikan sebagai hukum yang mengatur kelangsungan alam
semesta maupun kehidupan manusia. Dalam arti pertama, para dewa pun terkena
dharma, sebab mereka termasuk dalam kehidupan kosmis. Tradisi beranggapan bahwa
kehidupan para dewa pada hakekatnya berupa permainan, namun mereka tidak
sewenang-wenang dalam bermain, sebab dharma merupakan peraturan permainan yang
mengikat atau yang harus ditaati. Pada manusia dharma menjadi kewajiban moral
yang harus ditaati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar