SURAT-SURAT AM
Sejak zaman
Eusebius (260-340 M), surat Yakobus, Yudas, 1 dan 2 Petrus, serta ketiga surat
Yohanes, sering disebut sebagai Surat-surat Am (umum), sebab surat-surat
tersebut tidak dialamatkan kepada jemaat tertentu, melainkan kepada jemaat Kristen
secara keseluruhan (hē katholikē ekklēsia,
gereja am). Namun, penamaan ini tidak sepenuhnya tepat, sebab, sekalipun tidak
dimasukkan dalam surat-surat am, surat Efesus dan Ibrani juga tidak dialamatkan
kepada jemaat tertentu. Sementara itu, surat 3 Yohanes dialamatkan kepada pribadi
tertentu, 2 Yohanes dialamatkan kepada komunitas tertentu sekalipun tidak
disebutkan dengan jelas, dan 1 Petrus dialamatkan kepada sejumlah jemaat di
Asia Kecil. Walaupun ditulis dalam bentuk surat, namun ketujuh tulisan ini
bukanlah surat dalam pengertian modern. Dalam dunia purba, nasihat tidak lazim
disampaikan dalam bentuk surat, melainkan dalam semacam traktat edaran. Studi
dewasa ini pada umumnya tidak lagi memasukkan surat-surat Yohanes ke dalam
surat-surat am, karena tulisan-tulisan atas nama Yohanes dipandang sebagai
rumpun karya teologis tersendiri, yang diduga berasal dari aliran Yohanes.[1]
Kecuali 1 Petrus dan 1 Yohanes, gereja purba enggan memasukkan surat-surat
am ke dalam kanon PB, karena diragukan bahwa penulisnya adalah rasul-rasul yang
namanya disebut di dalamnya. Umat Kristen perdana memandang PB sebagai
‘deposit’ tempat menyimpan iman rasuli; karena itu, hanya tulisan-tulisan yang
mereka anggap sebagai kesaksian para rasul saja yang dimasukkan ke dalamnya.
Kini dengan lebih jelas kita dapat membedakan antara kepenulisan suatu karya
dengan kanonisitas karya itu. Meskipun ditulis oleh orang lain di kemudian hari
dan bukan oleh para rasul yang namanya disebut sebagai penulisnya, bagaimana
pun tulisan-tulisan tersebut bersaksi tentang iman rasuli dan merupakan
Kitab-kitab Suci kanonik. Sejak akhir abad IV atau awal abad V, baik
gereja-gereja Yunani maupun gereja-gereja Latin (namun tidak demikian dengan
gereja Siria) telah mengesampingkan semua keberatan, dan ketujuh surat am ini
telah diterima dan diakui sebagai tulisan-tulisan kanonik.
A. SURAT YAKOBUS
1. Pengantar
Hampir tidak
mungkin bahwa penulis surat ini adalah Yakobus, salah seorang di antara
keduabelas rasul Yesus (lht. Mat. 10:2-3; Mk. 3:17-18; Luk. 6:14-15), karena ia
tidak disebut sebagai ‘rasul,’ melainkan hanya ‘hamba Allah dan hamba Yesus
Kristus’ (Yak. 1:1). Mungkin, sapaan ini merujuk kepada Yakobus saudara Yesus,
yang biasa disebut ‘saudara Tuhan’ (lht. Mat. 13:55; Mk. 6:3). Ia adalah
pemimpin komunitas Yahudi Kristen di Yerusalem, yang dikenal Paulus sebagai
salah seorang ‘soko guru’ jemaat (Gal. 2:9). Dalam Kisah Para Rasul, ia tampil
sebagai juru bicara umat Kristen Yahudi dalam gereja mula-mula (Kis. 12:17;
15:13-21). Menurut sejarawan Yahudi, Yosephus, ia dirajam hingga mati oleh
orang-orang Yahudi di bawah pimpinan imam besar Ananus II, pada 63 Masehi (Antiquities 20, 9, 1 ¶201-203).
Surat ini ditujukan untuk ‘keduabelas suku di perantauan.’ Bertolak dari
penggunaannya dalam PL, istilah ‘duabelas suku’ rupanya menunjuk pada umat
Israel; sedangkan ‘perantauan’ atau ‘diaspora’ dimaksudkan untuk orang-orang
Yahudi non-Palestina yang tinggal di seluruh dunia Romawi-Yunani (lht. Yoh.
7:35). Karena dalam pemikiran Kristen gereja adalah Israel baru, maka, surat
ini kemungkinan dialamatkan untuk umat Kristen Yahudi yang berada di Palestina,
Siria atau di tempat lain. Atau mungkin dimaksudkan sebagai surat umum untuk
semua komunitas Kristen. Kata ‘perantauan,’ dapat juga digunakan dalam arti kias,
yaitu dunia ini sebagai ‘tempat pembuangan’ orang beriman dari tempat
tinggalnya yang sejati, seperti alamat surat 1 Petrus (1Ptr. 1:1). Surat ini
sangat bersifat Yahudi. Para ahli biblika menganggapnya sebagai dokumen Yahudi
yang ‘dibaptiskan’ dengan beberapa sisipan Kristen. Namun pendapat ini hampir
tidak dapat dipertahankan, karena terlihat demikian banyak hubungan antara
surat Yakobus dengan literatur PB yang lain.
Dari bentuk sastranya, kita tidak menemukan ciri-ciri sebuah surat dalam surat
Yakobus, kecuali karena alamatnya. Lebih tepat surat ini digolongkan dalam
kelompok paranesis atau nasihat, yang
hampir-hampir hanya berkenaan dengan perilaku etis. Karena itu, lazimnya Yakobus
dianggap sebagai salah satu sastra hikmat Yahudi, sama seperti yang kita
temukan dalam PL (misalnya, Amsal Salomo dan Yesus ben Sirakh) dan dalam
literatur Yahudi ekstra kanonik (misalnya, Wasiat Keduabelas Tua-tua, Kitab Henokh
dan Petunjuk Disiplin yang ditemukan di Qumran). Lebih khas lagi, surat ini
terdiri dari bagian-bagian amsal pengajaran yang dapat dibandingkan dengan
Tobit 4:5-19, dan banyak bagian dari Kitab Yesus ben Sirakh, serta
perkataan-perkataan Yesus dalam Injil-injil Sinoptis, terutama dalam Khotbah di
Bukit. Yakobus menampilkan tipe kekristenan perdana, yang menekankan ajaran
sehat serta perliaku moral yang bertanggung jawab. Norma-norma etisnya terutama
tidak berasal dari gagasan kristologi seperti yang terjadi dalam surat-surat
Paulus, melainkan dari konsepsi keselamatan, yang meliputi pertobatan,
baptisan, pengampunan dosa dan pengharapan akan penghakiman terakhir (Yak.
1:17; 4:12).
Secara paradoks, karya yang bersifat sangat Yahudi ini ditulis dalam gaya
bahasa Yunani yang amat baik, bahkan termasuk salah satu yang terbaik dalam PB.
Karena itu, diduga surat ini merupakan hasil karya seorang penulis Hellenistis
yang terlatih. Mereka yang menganggap bahwa penulisnya adalah Yakobus dari
Yerusalem berpendapat bahwa seorang sekretaris telah meredaksikannya, sehingga
mencapai bentuknya seperti sekarang ini. Namun, dalam terang kebiasaan purba,
asumsi ini tidak masuk akal. Sementara orang menganggap surat ini sebagai salah
satu tulisan paling awal dalam PB, dan secara akurat isinya mencerminkan
pikiran seorang pemimpin jemaat Kristen Yahudi. Lebih dari itu, mereka
mengatakan bahwa secara historis, tipe kekristenan Yahudi yang tercermin dalam
surat ini tidak mungkin berasal dari masa sesudah kejatuhan Yerusalem pada 70
M.
Namun, sebagian orang yang lain meyakini bahwa surat Yakobus merupakan
sebuah karya pseudonim dari periode kemudian. Kecuali gaya bahasa Yunaninya,
mereka mencermati lebih lanjut bahwa: (a) wibawa yang diasumsikan oleh penulis
menunjuk kepada reputasi legendaris Yakobus di kemudian hari; (b) pembahasan
tentang pentingnya perbuatan baik (di samping iman) agaknya terjadi setelah
masa hidup Paulus, sebab pada zaman Paulus, yang ditekankan adalah keselamatan
karena iman; (c) gagasan moral-etis penulis tidak didasarkan pada
ketentuan-ketentuan Taurat Musa; (d) surat ini tidak memuat sejarah Yakobus
sendiri dan hubungan dia dengan Yesus, atau dengan persekutuan perdana di
Yerusalem. Karena alasan-alasan tersebut, sangat masuk akal jika banyak
penafsir mutakhir berpendapat bahwa surat ini merupakan karya pseudonim yang
ditulis dalam periode 90-100 M.
2. Gagasan-gagasan teologisnya
a.
Tentang Allah
Dengan tegas
surat ini menyatakan bahwa Allah itu esa. Ketika surat Yakobus mengatakan,
“Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan
dan membinasakan” (Yak. 4:12), kita seakan-akan mendengar gema Shema, inti ikrar iman Yudaisme,
“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul. 6:4).
Penulis menyatakan bahwa Allah itu tetap, tidak berubah dalam kebaikan-Nya
(bdk. 1:17). Hal ini bertentangan dengan kenyataan manusia yang labil, yang mendua
hati dan hidupnya tidak tenang.
“Setiap pemberian yang
baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari
Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena
pertukaran. Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman
kebenaran, supaya kita pada tingkat yang tertentu menjadi anak sulung di antara
semua ciptaan-Nya” (1:18).
Allah
dilukiskan sebagai ‘Bapa segala terang.’ Agaknya, gambaran ini merujuk pada
cerita penciptaan, ‘Jadilah terang’ (Kej. 1:3). Yang perlu dicatat, di sini
digunakan kiasan kebapaan, namun kemudian diikuti dengan kiasan keibuan yang
melahirkan (tersirat dari frasa ‘menjadikan kita’). Namun penjadian kita adalah
melalui firman kebenaran. Dalam surat ini, ‘firman kebenaran,’ yang dihubungan
dengan penciptaan, menjadi salah satu perhatian. Secara implisit, penulis
Yakobus berpegang pada keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai gambar Allah,
dan sebagai gambar Allah, orang percaya diberi roh yang ditempatkan dalam
dirinya (4:5), diberi firman di dalam hatinya (1:21) dan diberi kemampuan untuk
berkata-kata, yaitu berkata-kata dengan integritas. “Tetapi hendaklah kamu
menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak
demikian, kamu menipu diri sendiri” (1:22).
Bagian ini membawa kita pada inti pemahaman surat Yakobus tentang Allah,
yaitu bahwa Allah adalah Pemberi. Dalam 1:5 (bdk. 3:17) dikatakan bahwa Allah
adalah Pemberi hikmat. Allah adalah Pencipta yang telah menjadikan manusia
menurut gambar-Nya, dan sebagai Pembuat hukum, Ia telah memberi mereka hukum yang
sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang (1:25 bdk. 4:12). Karena itu,
barangsiapa meneliti hukum Allah dan bukan hanya mendengar tetapi juga
melakukannya, pasti akan berbahagia.
Allah juga dikatakan ‘murah hati’ dan tidak ‘membangkit-bangkit’ atau
mengungkit-ungkit dosa umat-Nya (1:5). Ia ‘mendekat kepada orang yang mendekat’
(4:8), ‘maha-penyayang dan penuh belas kasihan’ (5:11). Penulis Yakobus
menunjukkan bahwa Allah itu mahakuasa namun berkenan didekati, karena Ia murah
hati dan berbelas kasih.
b.
Tentang hikmat
Seperti telah
kita ketahui, karunia Allah yang amat penting bagi umat manusia adalah hikmat.
Dalam kekristenan purba, kata ‘hikmat’ memiliki beberapa makna. Ketika surat
Yakobus berbicara tentang hikmat, terdengar gema gagasan komunitas Yahudi, yang
adalah asal-usul jemaat Kristen perdana. Pada saat surat ini ditulis, dalam
Yudaisme sudah ada refleksi mengenai hakikat hikmat selama berabad-abad. Hal yang
perlu diperhatikan, dalam surat ini hikmat diidentifikasi sebagai penyataan
ilahi, yang memberi tuntunan untuk tindakan-tindakan konkret dalam kehidupan
sehari-hari.
Penulis menyatakan bahwa hikmat bukanlah perasaan iri hati, ambisi
mementingkan diri sendiri secara kasar, dan berdusta melawan kebenaran,
melainkan:
“Hikmat yang dari atas
adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas
kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Dan buah yang
terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan
damai” (3:17-18).
Hikmat itu
dapat berdamai dan menginginkan rekonsiliasi – sesuatu yang penting bagi jemaat
yang terancam perpecahan. Hikmat itu lemah lembut dan terbuka untuk menerima
pikiran atau pendekatan orang lain, bukan kegeraman atau hujatan, bukan pula
bersilat lidah. Hikmat itu murah hati, bukan penghakiman yang kejam, yang
menutup pintu bagi komunikasi. Hikmat itu penuh buah kebaikan, lebih suka
memberkati daripada mengutuk. Itulah yang dimaksud dengan “anak sulung di
antara semua ciptaan” (1:18). Hikmat tidak bertindak diskriminatif, tidak mengatakan
sesuatu, tetapi kemudian mengingkarinya.
Hikmat itu konsisten, karena hikmat melahirkan integritas. Buah keadilan dan
kebenaran (arti kata Yunani yang digunakan mencakup keduanya) ditunjukkan dalam
perdamaian untuk mereka yang mengadakan perdamaian. Ringkasnya, hikmat
menggenapi apa yang oleh surat Yakobus disebut sebagai “hukum utama,” yaitu
mandat untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri.
c. Taurat
Dalam
menggunakan kata ‘hukum,’ kekristenan mewarisi Yudaisme, sebab di balik kata
itu yang dimaksud adalah ‘Taurat’ dalam Kitab Suci Ibrani. Jika demikian, maka
ketika surat ini berbicara tentang ‘hukum,’ secara implisit juga mencakup ‘pengajaran’
dan ‘perintah.’ Taurat adalah penyingkapan diri Allah kepada Israel, umat
Allah. Bagi orang Yahudi tradisional, Taurat sebagai hukum Allah bukanlah
aturan sewenang-wenang, melainkan undangan untuk masuk ke dalam relasi,
undangan kepada pemenuhan janji. Penulis surat Yakobus menyebut Taurat sebagai ‘hukum
yang sempurna’ dan ‘hukum yang memerdekakan,’ sebab hukum itu melepaskan umat
Allah dari penjara egoisme. Taurat tidak menyiratkan pesismisme kehidupan
manusia, bahwa di hadapan hukum Allah pada dasarnya manusia itu jahat dan perlu
selalu diawasi. Justru sebaliknya, Taurat menimbulkan optimisme bagi umat
Allah, karena kehendak Allah dapat diketahui oleh manusia, sehingga manusia
dapat ambil bagian dalam kehendak ilahi. Dalam pengertian seperti ini, Taurat
erat dihubungkan dengan hikmat. Karena itu, dalam literatur hikmat, Taurat juga
sering disebut sebagai hikmat Allah dan surat Yakobus dapat mengatakan:
“Tetapi, barangsiapa
meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia
bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi
sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (1:25).
”Tetapi jika kamu
menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci, ‘Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu’ kamu berbuat baik” (2:6).
Ketika surat Yakobus
melukiskan Allah sebagai Pemberi hukum, maka yang ditekankan adalah kasih
karunia-Nya. Hukum itu diberikan justru karena Allah mengasihi umat-Nya. Hukum
itu diberikan dalam ikatan perjanjian anugerah, jadi bukan tuntutan Allah yang
sewenang-wenang atas umat-Nya.
d. Hidup dalam persekutuan
Surat Yakobus
dialamatkan kepada persekutuan jemaat berkenaan dengan perilaku orang beriman dalam
kehidupan persekutuan. Tentu saja, persekutuan jemaat memiliki model-model tertentu
dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan ideal yang diharapkan dalam surat
ini adalah, “supaya kamu menjadi sempurna
dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (1:4), namun kemudian disusul, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang
kekurangan hikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah, yang memberikan kepada
semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu
akan diberikan kepadanya” (1:5). Tujuan utama kehidupan jemaat adalah
kesempurnaan, dan hikmat adalah bagian dari kesempurnaan.
Kata Yunani teleios yang
diterjemahkan ‘kesempurnaan’ dapat pula berarti ‘kelengkapan’ atau ‘keutuhan’
atau ‘kepenuhan’ atau ‘integritas.’ Karena surat Yakobus lebih menekankan sisi
praktis kehidupan Kristen, maka ketika berbicara tentang ‘integritas,’ yang
dimaksudkan bukanlah integritas dalam pengertian abstrak, melain-kan integritas
praktis. Perhatian difokuskan pada integritas perkataan dan perbuatan.
Istilah-istilah yang digunakan dalam surat Yakobus untuk menunjukkan tindakan
yang bertentangan dengan integritas praktis antara lain: ‘bimbang,’ ‘menipu
diri,’ ‘berdusta,’ ‘menghujat,’ ‘sombong,’ dan ‘memandang muka.’ Sedang perkataan
yang tidak memiliki integritas digambarkan sebagai ‘dosa lidah.’ Lidah yang
digunakan dengan tidak benar dilukiskan sebagai sesuatu yang buas, yang tak
terkuasai dan penuh racun yang mematikan (3:8). Ungkapan seperti ini lazim
ditemukan dalam literatur Yunani-Romawi pada waktu itu, dan hampir dapat
dipastikan tidak berasal dari bahasa para pembacanya.
Surat Yakobus menasihatkan jemaat agar hidup dalam integritas perbuatan.
Orang sering berpendapat bahwa agama adalah masalah iman. Namun, surat Yakobus
menyatakan bahwa perbuatan akan membawa iman kepada kesempurnaan. Sama seperti
tubuh tanpa roh adalah mati, demikianlah iman tanpa perbuatan juga mati (2:26).
Integritas perbuatan berkaitan erat dengan hikmat. Orang yang berhikmat antara
lain berarti memiliki integritas dalam perbuatannya, yang terwujud dalam
keadilan, yaitu tindakan yang tidak memihak, tindakan yang tidak diskriminatif.
Agaknya, egalitarianisme surat Yakobus terutama ditujukan untuk melawan
realitas sosial dalam kekaisaran Romawi pada abad pertama. Penulis menasihatkan
agar jemaat tidak mengikuti sikap masyarakat umum, yang berpihak kepada orang-orang
kaya dan mengabaikan orang-orang miskin. Hal ini tersirat dalam nasihat agar
jemaat tidak mengamalkan iman dengan memandang muka (2:1). Jangan memperlakukan
anggota jemaat yang kaya melebihi mereka yang miskin. Jangan berkata kepada
yang berpakaian indah, “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini,” tetapi berkata
kepada yang miskin, “Berdirilah di sana!” atau “Duduklah di lantai ini dekat
tumpuan kakiku!” (2:3). Jika demikian, mereka membuat pembedaan dalam hati dan
bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat (2:4).
Pada masa itu, sebagaimana juga terjadi dalam banyak kebudayaan, lazimnya orang-orang
kaya menyumbangkan dana untuk proyek-proyek umum. Namun, dengan sumbangan itu
mereka berharap mendapat perlakuan dan hak-hak istimewa. Mereka merasa penting
dan ingin diterimakasihi di depan umum, serta diperlakukan sebagai orang-orang
istimewa. Mereka berharap agar para penerima sumbangan menghormati dirinya
sedemikian rupa, sehingga ia lebih dimuliakan daripada orang lain. Jika jemaat
bertindak memandang muka, maka secara tidak langsung mereka pun dikuasai oleh kesombongan
ambisius, dan bukan kasih terhadap sesama, karena mereka telah mengabaikan
hak-hak orang miskin.
Jika seorang saudara
atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari dan
seorang dari antara kamu berkata, “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan
makanlah sampai kenyang!” tetapi tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi
tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu
tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati (2:15-17).
Peringatan agar
jemaat “tidak bersahabat dengan dunia” dalam 4:1-10, berhubungan erat dengan
peringatan terhadap orang kaya, yang memperoleh kekayaannya dengan jalan yang
tidak adil (5:1-6).
Jadi sekarang hai kamu
orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara yang akan menimpa
kamu! Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat! Emas dan
perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan
akan memakan dagingmu seperti api. … Sesungguhnya telah terdengar teriakan
besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu,
dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu
… dst. (5:1-6).
Taurat melarang
majikan untuk menahan upah buruh harian hingga hari berikutnya. Sebab jika
demikian, majikan tersebut telah membiarkan keluarga buruh tersebut kelaparan
sepanjang malam. Dalam memperingatkan ketidakadilan seperti ini, penulis surat Yakobus
menggunakan gaya nabi-nabi alkitabiah. Jika hukum utama menghendaki agar jemaat
mengasihi sesama, itu berarti bahwa Allah berpihak kepada orang-orang miskin
dan tertindas.
Dengarkanlah, hai
saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap
miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris
Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia? (2:5).
Ayat ini tidak
bermaksud mengatakan bahwa, agar berkenan kepada Allah, orang beriman harus
menjadi miskin secara ekonomis. Tetapi, yang dimaksudkan adalah agar jemaat
memperhatikan keadaan sesama di sekitarnya, dan ikut serta berbelarasa atas penderitaan,
ketidakadilan dan kemiskinan yang mereka alami.
Surat Yakobus menolak sistem masyarakat yang mencari muka terhadap
orang-orang kaya, karena hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan.
Sebaliknya, jemaat harus memberi perhatian kepada semua orang dan menghormati
semua orang. Sapaan ‘saudara dan saudari’ dalam surat ini bukanlah sapaan
sentimental belaka, melainkan sapaan yang menempatkan semua orang pada
kedudukan yang setara, sama seperti kedudukan semua anggota dalam sebuah
keluarga. Sebagaimana tiap-tiap anggota keluarga memiliki posisi yang setara,
satu sama lain dipertautkan dalam satu ikatan kasih dan saling menolong dalam
segala hal, demikian halnya yang terjadi dengan anggota-anggota jemaat.
Hubungan antaranggota jemaat seharusnya mengikuti pola hubungan antaranggota
keluarga, bukan pola hubungan antara tuan dengan hamba atau antara penyumbang
dana dengan penerimanya. Kesetaraan perlakuan ini dikenakan, baik kepada yang
kaya, maupun kepada yang miskin.
Surat Yakobus juga menekankan perlunya sikap ramah-tamah seorang terhadap
yang lain. Hal ini tersirat dari kisah Rahab yang dikutipnya.
Bukankah Rahab,
pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan
orang-orang yang disuruh itu ke dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos
melalui jalan yang lain? (2:25).
Ketika Yosua mengutus
mata-mata untuk menyelidiki kota Yerikho, Rahab menyambut mereka dengan
ramah-tamah dan menerima mereka untuk menginap di rumahnya. Ia menyembunyikan
mereka dari kejaran para prajurit Yerikho, kemudian menolong mereka untuk meloloskan
diri melalui jalan lain. Sekalipun Rahab bukan umat Israel, ia mengakui kuasa
Allah yang telah menyelamatkan Israel dari tanah Mesir. Karena perbuatannya
itu, maka ketika umat Israel berhasil menaklukkan Yerikho, Rahab dan
keluarganya diselamatkan (tidak ikut dibinasakan).
Mengapa penulis Yakobus menampilkan Rahab sebagai salah seorang teladan,
sedangkan tegas-tegas dinyatakan bahwa ia adalah seorang pelacur? Dalam hal
ini, yang hendak ditekankan penulis adalah bahwa kasih Allah berlaku untuk
semua orang. Tuhan tidak memandang muka, ia mengasihi semua umat-Nya, termasuk orang-orang
di luar umat pilihan-Nya. Ini adalah kabar baik. Kemungkinan besar, sebagian penerima
surat Yakobus berasal dari kalangan bawah, dari lingkungan masyarakat kelas
Rahab, yang tersisih dari pergaulan masyarakat umum. Jemaat disadarkan bahwa
kasih Tuhan juga berlaku bagi mereka. Bagi penulis Yakobus, iman yang benar
adalah iman yang terwujud dalam tindakan nyata, termasuk perhatian terhadap
para janda dan anak-anak yatim, perhatian terhadap mereka yang terpinggirkan
dan terabaikan dalam masyarakat.
Ringkasnya, surat ini mengajak jemaat untuk hidup bersama dalam satu
persekutuan kasih, yang dicirikan oleh tindakan rohani, yaitu integritas.
Integritas ini bersumber dari karunia hikmat surgawi, yang memampukan mereka
berbalik dari ambisi pribadi, yang jauh dari kasih, kepada kesediaan untuk
berbelarasa secara konkret terhadap mereka yang terpinggirkan, dengan jalan
mewujudkan keadilan dan perdamaian.
e. Pengurapan orang sakit
Yakobus 5:14-15
sering dijadikan dasar bagi doktrin pengurapan orang sakit. Bahkan dalam Gereja
Katolik Roma, tradisi pengurapan tersebut kemudian berkembang menjadi salah
satu sakramen gerejawi. Sesungguhnya, pengolesan minyak atas orang sakit adalah
cara pengobatan biasa, yang lazim dilakukan orang pada masa itu. Minyak olesan
dibuat dari minyak zaitun, dicampur dengan bermacam rempah-rempah, yang
lazimnya berasal dari tumbuh-tumbuhan. Secara imaniah, minyak obat tersebut
hanyalah sarana, sedangkan Sang Penyembuh adalah Allah sendiri. Karena itu,
pengolesan minyak atas seseorang yang sakit haruslah disertai dengan doa dan
iman yang sungguh-sungguh.
f. Kedatangan hari Tuhan
Penulis Yakobus
mengimbau jemaat agar bersabar hingga kedatangan Tuhan (5:7). Nasihat untuk
bersabar di sini lebih berhubungan dengan waktu daripada dengan penderitaan
yang harus mereka tanggung. Agaknya dalam pikiran penulis, hari Tuhan akan
segera datang (5:8). Seakan-akan dalam pikirannya telah terlintas kehancuran
Yerusalem. Ia ingin menguatkan semua angota jemaat yang lemah supaya mereka
bersabar dan bertekun. Penulis mengambil ilustrasi kesabaran petani, ilustrasi
yang sudah akrab bagi para pendengarnya. Jemaat dimbau untuk bersabar dan
meneguhkan hati, karena hari Tuhan sudah dekat. Kata kerja Yunani yang digunakan
untuk ‘mendekat’ dalam ayat ini sama dengan yang digunakan dalam Markus 1:15,
yaitu ēnggiken (dari kata enggizō). Kerajaan Allah telah dekat
dalam diri Yesus, namun kegenapannya masih dinantikan.
Penulis menyadari bahwa penderitaan dan kesengsaraan dapat menyebabkan
putus asa. Karena itu, ia menasihatkan agar di tengah beban penderitaan, mereka
tidak bersungut-sungut dan saling mepersalahkan, agar mereka jangan sampai
dihukum, sebab sesung-guhnya, Sang Hakim telah berdiri di ambang pintu (5:9).
Ayat ini menguatkan dugaan bahwa penulis surat Yakobus mengira hari Tuhan akan
segera datang dan masa penghakiman akan segera dimulai. Jemaat diimbau agar
meneladan kesabaran para nabi (5:10). Penulis berasumsi bahwa pembacanya telah
akrab dengan tradisi alkitabiah, termasuk kisah penderitaan para nabi di zaman
dahulu.
Ungkapan “kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah
bertekun,” merupakan penghargaan yang tepat untuk para pahlawan iman, karena
pada akhirnya Allah menyediakan ganjaran yang setimpal, sebagaimana secara
ilustratif diterima oleh Ayub yang telah bertekun dalam menghadapi penderitaan.
g. Menerapkan prinsip-prinsip spiritualitas
Pada bagian
akhir surat Yakobus, penulis memberi nasihat tentang prinsip-prinsip
spiritualitas (5:13-20). Bagian ini tidak bertentangan dengan garis utama
pemikiran teologis penulis tentang perbuatan sebagai penyempurna iman. Kalaupun
segala masalah harus dibawa dalam doa, tidak berarti bahwa tindakan rasional
yang nyata tidak lagi diperlukan. Namun, yang hendak ditekankan adalah
pentingnya spiritualitas kehidupan orang beriman, yang mencerminkan relasi
personalnya dengan Allah. Baik penderitaan maupun kegembiraan, semua harus
diungkapkan dalam hubungan personal dengan Allah. Itulah sebabnya, mereka yang
sakit dinasihatkan agar berdoa, mereka yang bergembira dinasihatkan agar
menyanyi (memuji Allah), dan satu sama lain saling mendoakan, saling
mengingatkan dan saling menopang dalam kelemahan. Dengan demikian keselamatan
setiap anggota jemaat akan terpelihara, dan mereka terluput dari maut.
B. SURAT 1 PETRUS
Melacak
pemikiran teologis rasul Paulus relatif lebih mudah daripada melacak pemikiran
teologis rasul Petrus. Paling tidak, dalam PB kita dapat menemukan
tulisan-tulisan Paulus yang asli, sehingga berdasar tulisan-tulisan tersebut
kita dapat mempelajari dengan seksama pemikiran-pemikiran teologisnya. Tetapi
tidak demikian halnya dengan rasul Petrus. Dalam PB kita hanya menemukan dua
surat yang menggunakan nama Petrus, itu pun tidak dapat dipastikan bahwa Petrus
sendiri adalah penulisnya. Pada umumnya, para ahli PB sepakat bahwa surat 2
Petrus tidak berasal dari tangan rasul Petrus. Sedangkan untuk surat 1 Petrus,
sebagian ahli meyakini bahwa surat tersebut ditulis oleh Petrus atas bantuan
Silwanus (1Ptr. 5:12), namun sebagian yang lain meragukannya.
Dalam 1 Korintus 15:1-11, setelah mengutip tradisi Injil yang diterimanya,
Paulus menyatakan, “Sebab itu, baik aku,
maupun mereka, demikianlah kami mengajar dan demikianlah kamu menjadi percaya”
(1Kor. 15:11). Pernyataan Paulus ini merupakan pengakuan yang cukup jelas bahwa
ia dan rasul-rasul Yerusalem (yang oleh Paulus disebut ‘mereka’), termasuk
rasul Petrus, yang merupakan soko guru para rasul, dipersatukan dalam
pengertian yang sama mengenai fakta Yesus. Ketika mereka bersekutu di sekitar
meja perjamuan di Antiokhia, Paulus menandaskan bahwa pengertiannya tentang
keselamatan tidak berbeda dengan pengertian Petrus. Paulus berkata kepada
Petrus, “Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami
dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum
Taurat. Sebab, tidak ada seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan
hukum Taurat” (Gal. 2:16).
Dari pernyataan Paulus tersebut, kita dapat menduga bahwa doktrin ‘pembenaran
karena iman’ itu bukanlah penemuan Paulus, sebagaimana sering disangkakan
orang, melainkan juga doktrin Petrus dan para rasul yang lain. Jika Paulus dan
Petrus sepakat atas fakta utama Injil dan sepakat atas gagasan dasar tentang
keselamatan, pertanyaan yang timbul adalah, mengapa dalam PB tidak kita temukan
tulisan-tulisan Petrus sebanyak tulisan-tulisan Paulus? Bagaimana hal ini dapat
dijelaskan? Persoalan akan menjadi sederhana jika kita tidak berpegang pada
pendapat bahwa Surat 1 dan 2 Petrus ditulis oleh Rasul Petrus sendiri. Ada dua
alasan yang mendukung. Pertama, mengingat bahwa Petrus adalah seorang penjala
ikan yang sederhana, sulit dibayangkan bahwa ia mampu menyusun surat dengan
pemikiran-pemikiran teologis sistematis. Kedua, nasihat tentang ‘menderita
sebagai Kristen’ yang dibicarakan dalam 1 Petrus 4:16 rupanya tidak sesuai
dengan konteks kekristenan perdana di Palestina, melainkan lebih cocok dengan
kekristenan yang telah berkembang di dunia kafir di kemudian hari. Jadi, sulit
dipahami jika surat 1 Petrus ditulis oleh Petrus sendiri. Kemungkinan surat itu
ditulis oleh orang lain (mungkin murid-murid Petrus) dengan menggunakan nama
Petrus. Jika dalam PB tidak terdapat tulisan-tulisan Petrus, itu wajar, karena
Petrus rupanya memang tidak menuliskan Injilnya. Sekalipun demikian,
pokok-pokok ajaran Injil ditransmisikan secara lisan, sehingga menjadi tradisi
Injil, yang juga diterima oleh Paulus. Jadi, wajar pula jika pemikiran teologis
fundamental Paulus dan surat Petrus, terutama mengenai fakta Kristus dan
gagasan dasar keduanya tentang keselamatan, memiliki kesamaan. Dengan demikian,
membicarakan pemikiran teologis Petrus sesungguhnya yang dimaksudkan adalah
membicarakan teologi surat Petrus.
1. Pengantar
a. Kepenulisan
Penulis surat
ini memperkenalkan dirinya sebagai rasul Petrus. Hal ini menimbulkan tradisi
yang cukup kukuh hingga dewasa ini, bahwa penulis surat ini adalah rasul
Petrus. Gereja purba sejak dini menerima kepenulisan Petrus. Yang jelas, surat
ini telah disebut dalam surat 2 Petrus (3:1). Polycarpus dan Papias (sekitar
tahun 110) juga telah menyebut surat ini dalam tulisannya. Namun, perlu pula
dicatat bahwa 1 Petrus tidak disebut dalam Kanon Muratori. Petrus disebut
secara eksplisit sebagai penulisnya dalam tulisan Irenaeus “Melawan
Bidat-bidat” (4.9.2; 5.7.2; 16.5). Kebanyakan ilmuwan biblika modern meragukan
kepenulisan Petrus dan berpendapat bahwa surat ini pseudonim.
Beberapa alasan yang
mendukung pseudonimitas surat ini
§ Sekalipun surat ini diatasnamakan Petrus, di dalamnya terdapat begitu
banyak gagasan Paulus.
§ Paulus mengabarkan Injil di beberapa daerah dalam wilayah yang menjadi
alamat surat ini. Jadi, jika Petrus mengirim suratnya ke wilayah ini, maka ia
melanggar batas wilayah pelayanan Paulus.
§ Dalam 1 Petrus tidak terdapat cerita personal mengenai kehidupan Yesus,
yang seharusnya ada jika surat ini benar-benar ditulis oleh Petrus. Sebagaimana
dikatakan W.G. Kümmel, surat ini sama sekali tidak memuat bukti mengenai keakraban
penulis dengan pribadi Yesus duniawi, kehidupan-Nya, ajaran-Nya dan
kematian-Nya, tetapi hanya menyebutkan ‘penderitaan’ Kristus secara umum. Sulit
dipahami bahwa Petrus tidak memiliki hubungan pribadi dengan Yesus dan dalam
suratnya sama sekali tidak menunjukkan teladan Yesus.[2]
§ Gaya bahasa Yunani yang digunakan dalam 1 Petrus jauh melampaui kemampuan
seorang nelayan untuk menulis. Paul J. Achtemeier berkomentar bahwa gaya bahasa
Yunani surat ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penulisnya cukup memadai,
entah ia dilahirkan sebagai orang Yunani atau bukan. Jika tidak berpendidikan
tinggi dalam ilmu retorika (ilmu berpidato) atau filsafat, paling tidak penulis
berpendidikan menengah, yang meliputi geometri, aritmetika dan musik,
mirip-mirip dengan Homer. Gaya bahasa Yunani surat ini tentu tidak mungkin
ditulis oleh seorang nelayan Palestina yang kurang berpendidikan. Jadi agaknya,
bahasa seperti itu bukanlah bahasa Petrus.[3]
§ Penganiayaan yang dibicarakan dalam 1 Petrus tidak mungkin terjadi sebelum periode
pasca kematian Petrus, sebab, pengani-ayaan yang terjadi dalam masa kehidupan
Petrus lebih bersifat individual, bukan penganiayaan terhadap jemaat secara
umum.
§ Penulis menyebut dirinya sebagai sumpresbuteros (teman penatua),
suatu jabatan yang muncul dalam perkembangan eklesiologi gereja di kemudian
hari. Udo Schnelle berkomentar, dalam 1 Petrus 1:1 penulis menyebut dirinya
sebagai apostolos (rasul), namun dalam 1 Petrus 5:1 ia menyebut diri
sebagai sumpresbuteros (teman penatua). Salah seorang rasul, yang adalah
anggota lingkaran duabelas murid Yesus, dan yang kepadanya Yesus yang telah
bangkit itu menampakkan diri, tentu tidak mungkin menyebut diri sebagai ‘teman
penatua.’ Apa lagi jabatan ‘penatua’ merupakan jabatan gerejawi yang baru
muncul dalam eklesiologi di kemudian hari.[4]
Tanggapan terhadap
pseudonimitas 1 Petrus
Terhadap
beberapa alasan yang mendukung pseudonimitas surat 1 Petrus, ada beberapa
tanggapan:
§ Dalam banyak hal, teologi Petrus memang sangat dekat dengan teologi Paulus.
§ Meskipun Paulus mungkin telah mengadakan pekabaran Injil di beberapa bagian
dari wilayah yang menjadi alamat surat ini, Petrus juga melakukan pekabaran
Injil di daerah-daerah itu.
§ Kemungkinan Petrus merasa tidak perlu memasukkan cerita pribadi kehidupan
Yesus dalam suratnya karena berbagai alasan. Salah satu kemungkinan alasan
adalah bahwa ia telah menceritakan banyak informasi tentang kehidupan Yesus
kepada Markus, yang di kemudian hari menulis Injil atas namanya (Injil Markus).
Seperti komentar Guthrie, benar bahwa tulisan seorang penulis rasuli seperti Petrus
seharusnya mengingatkan kita akan hubungan pribadinya dengan gurunya; namun,
karena hubungan pribadi itu tercermin dalam surat 2 Petrus, keberatan ini tidak
dapat dianggap sebagai alasan serius untuk menolak kepenulisan Petrus atas
surat ini. Lagi pula, tidak ada kritik kanonik yang meyakinkan, yang dapat
mendukung validitas pendapat bahwa 1 Petrus adalah karya pseudonim.[5]
§ Sangat mungkin bahwa selama perjalanannya, Petrus telah giat belajar gaya
bahasa Yunani. Terlebih lagi, pada awal hidupnya ia tinggal di kota Betsaida,
yang statusnya merupakan hadiah dari prokurator (tetrach) Filipus. Filipus dikenal sebagai seorang Hellenis dan rupanya
sebagian besar penduduk Betsaida berba-hasa Yunani.
§ Sangat mungkin Petrus membicarakan penganiayaan dalam skala lokal yang
terjadi di wilayah yang menjadi alamat suratnya. Kemungkinan ia merujuk pada
penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Neronian, yang pada akhirnya juga
membunuh Petrus sendiri.
§ Petrus tidak perlu memperkenalkan diri sebagai rasul. Argumen mengenai
pernyataan penulis dalam 1 Petrus 5:1 bahwa dirinya adalah ‘teman penatua’
bukanlah argumen konklusif. Sebab, dalam kenyataan, istilah ‘penatua’ telah
digunakan sebagai sebutan untuk para rasul sejak zaman Papias (tahun 60-135).
Para ahli
biblika tetap berbeda pendapat mengenai masalah ini. Mereka yang menolak
kepenulisan Petrus berpendapat bahwa salah seorang murid Petruslah yang menulis
surat ini atas nama gurunya. Kemungkinan besar ia menulis berdasarkan
ingatannya sendiri atas perkataan-perkataan Petrus, atau mungkin berdasarkan
beberapa sumber tertulis sebagai bahannya. Mereka yang mendukung kepenulisan
Petrus tentu saja tidak memiliki teori seperti ini.
Tempat dan waktu
penulisan
Di samping
perbedaan pendapat mengenai penulis surat 1 Petrus, ada pula kesepakatan di
antara para ahli biblika mengenai tempat penulisannya. Karena adanya petunjuk
internal ‘Babilonia’ dalam 1 Petrus 5:13 (aspazetai
humas hē en Babulōni suneklektē),
kebanyakan ahli sepakat bahwa surat ini ditulis dari Roma. Memang ada pula yang
berpendapat bahwa surat ini ditulis dari Babilonia dalam arti harfiah. Ada lagi
yang berpendapat bahwa ‘Babilonia’ merupakan kiasan untuk ‘pembuangan rohani.’
Namun, pada umumnya para ahli sepakat bahwa ‘Babilonia’ adalah kata sandi untuk
Roma.
Menentukan waktu
penulisan surat 1 Petrus merupakan tugas ilmuwan yang cukup sulit. Salah satu
kesulitan utama adalah menentukan ranah penganiayaan yang dimaksud oleh penulis:
penganiayaan lokal di Asia Kecil atau penganiayaan yang lebih luas, yang
mencakup seluruh wilayah kekaisaran? Seringkali orang menentukan waktu
penulisan surat ini berdasar siapa yang dianggap sebagai penulisnya.
Mereka yang berpendapat bahwa Petrus adalah penulisnya, memperkirakan surat
ini ditulis beberapa waktu menjelang kematian Petrus sebagai martir pada tahun 68.
Mereka memperkirakan waktu penulisannya sekitar tahun 63-64, dengan alasan:
disebutnya nama Silwanus di bagian akhir surat mengisyaratkan bahwa surat ini
ditulis segera setelah kedatangan Paulus di Roma. Meskipun demikian, hal ini
tidak dapat dipastikan.
Mereka yang berpendapat bahwa surat ini pseudonim memper-kirakan waktu
penulisannya adalah antara tahun 57-96, bahkan ada yang berpendapat bahwa surat
ini ditulis antara tahun 72-92, dengan alasan sebagai berikut:
Ø Setelah pekabaran Injil Paulus, penyebaran kekristenan tentu saja
membutuhkan waktu cukup lama.
Ø Batas-batas provinsi yang disebutkan dalam 1 Petrus 1:1 ditentukan oleh
Kaisar Vespasianus pada 72.
Ø Diperkirakan ada tenggang waktu tertentu antara penulisan surat ini dengan
periode Paulus, sebab dalam surat ini tidak terdapat perdebatan mengenai hukum
Musa dan tidak tercermin adanya perjuangan untuk menjadi Kristen.
b. Penerima aslinya
Penerima asli
surat ini hidup di Asia Kecil, terutama di wilayah timur dan tengah, yang
berbatasan dengan Laut Hitam. Beberapa ilmuwan biblika meyakini bahwa penerima
asli surat ini adalah orang-orang Yahudi, karena mereka menganggap diri sebagai
umat pilihan Allah. Namun, kebanyakan ilmuwan sepakat bahwa penerima aslinya
cukup luas, tidak eksklusif hanya untuk orang-orang Yahudi, melainkan termasuk pula
orang-orang Kristen Yunani. Kemungkinan, surat ini merupakan surat edaran yang
dikirim pertama-tama kepada jemaat yang berada dalam urutan pertama dalam
daftar yang ada, kemudian salinannya dikirim ke jemaat-jemaat berikutnya.
Terlepas dari semua itu, tampak bahwa penerimanya sedang berada dalam
penganiayaan, yang menyebabkan mereka meninggalkan ‘Jalan Kebenaran’ dan
kembali ke cara hidup mereka sebelumnya.
2.
Pemikiran-pemikiran teologisnya
Petunjuk 1
Petrus 1:1 memberi dasar hermeneutis atas surat ini secara keseluruhan. Dengan
menyebut jemaat sebagai “eklektoi parepidēmoi
diasporas” (secara harfiah berarti “orang-orang pilihan yang terbuang
sebagai diaspora,” LAI menerjemahkannya dengan “orang-orang pendatang”),
penulis menjelaskan pengertiannya tentang keberadaan umat Kristen, bahwa dunia
bukanlah “tempat tinggalnya” dan di dalamnya mereka tidak akan menemukan rasa
aman serta damai. Istilah parepidēmos
(orang buangan) dalam PB hanya kita temukan tiga kali, yaitu dalam 1 Petrus
1:1; 2:11 dan Ibrani 11:13. Di dunia ini, umat Kristen seakan-akan hidup
sebagai komunitas yang terserak di tanah asing, bahkan juga di tempat mereka
dilahirkan dan bertumbuh. Pengertian ini tidak hanya merupakan contoh sikap benci
terhadap dunia, yang terdapat dalam kebudayaan purba di berbagai tempat,
melainkan benar-benar berdasarkan realitas, bahwa di dunia ini umat Kristen
sekan berada dalam diaspora. Mereka asing bagi dunia, karena melalui
kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati (1:3), telah dilahirkan
kembali ke dalam kehidupan yang penuh harapan. Kebangkitan Yesus telah melepaskan
orang beriman dari keberadaan manusiawinya yang ditentukan oleh kesia-siaan
dunia ini (1:18), menyembuhkannya (2:14) dan menyelamatkannya (4:18).
Orang-orang beriman telah ditempatkan dalam situasi kehidupan baru, yang
ditentukan oleh sukacita pengharapan akan datangnya parousia.
Pusat peristiwa revolusioner itu adalah baptisan (bdk. 1:3, 18, 23; 3:21).
Baptisan itulah yang menjadi titik balik kehidupan umat Kristen dan
menempatkannya di antara Paskah dan parousia.
Baptisan tidak membebaskan orang beriman dari dunia dan kesulitannya, melainkan
memampukan mereka menghadapinya. Jadi, kehidupan baru umat Kristen tidak
dibuktikan dengan kategori-kategori duniawi (1:3b; 5:10). Namun, serentak
dengan itu, penulis 1 Petrus juga tidak mempertentangkan antara realitas
kehidupan baru dengan dampak yang ditimbulkannya. Kehidupan baru umat Kristen
mendapatkan bentuknya yang kasat mata dalam kekudusan hidup (1:14-15; 2:1-2)
dan kasih satu sama lain sebagai keluarga Allah (1:22). Mereka menjaga diri
dari nafsu kedagingan (2:11-12) menghindari perbuatan jahat (4:3) dan hidup
dalam kebenaran (4:1-2). Karena cara hidup yang baru ini, umat Kristen sering
difitnah dan harus memberi jawab kepada para penuduhnya dengan lemah lembut dan
hormat (3:15-17). Lebih dari itu, umat Kristen dipangil untuk ikut menderita.
Sekalipun umat Kristen telah hidup dengan adil dan benar, namun mereka masih
harus menderita akibat relasinya dengan Allah. Seluruh gagasan teologis dalam
surat 1 Petrus diwarnai oleh pemikiran dasar ini.
a. Hubungan
antara Allah dengan ciptaan-Nya
Dalam surat 1
Petrus, secara khusus Allah disebut sebagai “Pencipta yang setia” (4:19). Sang
Pencipta itu tidak hanya menjadikan manusia, tetapi juga memperhatikan segala
urusan hidupnya. Oleh sebab itu, surat ini juga menyatakan kehendak Allah yang
menyangkut berbagai segi kehidupan manusia: (a) tentang sikap orang percaya
dalam menghadapi penderitaan (3:17; 4:19); (b) tentang hidup kekristenan pada
umumnya (4:2); dan (c) tentang kehidupan sosial orang beriman (2:15). Sebagai
catatan, dalam surat 2 Petrus, penciptaan dihubungkan dengan Firman Allah (2Ptr.
3:4 dst.). Dalam 1 Petrus, tanggapan terhadap asal mula bumi ini langsung
dihubungkan dengan pembinasaan terakhir langit dan bumi, yang akan terjadi pada
hari Tuhan (3:10, 12). Dengan kata lain, awal dan akhir penciptaan secara
material ditentukan oleh Allah, di bawah kendali Allah dan seturut dengan
rencana-Nya.
b. Tentang
manusia
Surat 1 Petrus
memberi perhatian pada tingkah laku manusia secara praktis, bukan sekadar pada
spekulasi-spekulasi tentang keadaan manusia. Salah satu yang cukup mencolok
adalah pernyataannya mengenai keinginan-keinginan daging (sarks) yang berjuang melawan jiwa (psukhē, 2:11). Pernyataan ini sejajar dengan perkataan Paulus yang
mempertentangkan antara daging (sarks)
dengan roh (pneuma). Namun, dalam
surat Petrus, pertentangan tersebut tidak terlalu ditonjolkan. Jika kita
perhatikan apa yang terjadi atas diri Yesus, “Dia yang telah dibunuh dalam
keadaan-Nya sebagai manusia (= daging,
sarks), tetapi yang telah
dibangkitkan menurut Roh (pneuma)”
(3:18), terkesan bahwa seakan-akan sarks
yang fana dipertentangkan dengan pneuma
yang hidup (bdk. 4:6). Namun harus diperhatikan bahwa sarks dan pneuma dalam
ayat ini tidak menunjuk pada dua unsur tubuh Kristus, melainkan pada dua
karakter yang berlainan. Jika dikatakan bahwa keselamatan berhubungan dengan jiwa (1:9), itu tidak berarti bahwa
penulis memiliki pemikiran dualistik mengenai manusia, karena, yang dimaksud
dengan ‘jiwa’ adalah manusia seutuhnya. Maka dikatakan bahwa ‘jiwa’ dapat
disucikan (1:22); Allah adalah gembala dan pemelihara ‘jiwa’ (2:25), karena
itu, mereka yang menderita didorong agar menyerahkan diri kepada penciptanya
(4:19). Dari contoh-contoh di atas, ‘jiwa’ berarti pribadi manusia secara utuh.
Kata psukhē dalam 1 Petrus 3:20 (LAI
menerjemahkan kata Yunani oktō psukhai
dengan ‘delapan orang’) digunakan dengan arti yang jelas berbeda dengan roh.
Dalam surat 1 Petrus, kata suneidēsis
muncul sebanyak tiga kali, yaitu dalam 1 Petrus 2:19; 3:16 dan 3:21. Donald
Guthrie cenderung tidak mengartikan suneidēsis
dalam 1 Petrus 2:19 sebagai ‘hati nurani,’ karena kata itu diikuti dengan
bentuk genetif ‘theou’ (dia suneidēsin theou). Guthrie lebih suka
menerjemahkannya dengan ‘sadar akan kehendak Allah,’ seperti terjemahan LAI.
Dalam 1 Petrus 3:16, suneidēsis agathē (diterjemahkan LAI dengan ‘hati
nurani yang murni’) digunakan dalam arti “usaha untuk menghindarkan diri secara
sadar dari perbuatan dosa,” dengan demikian mencegah orang-orang yang tidak
beriman untuk memfitnah, yang dapat menghalangi pertum-buhan iman. Ungkapan ‘suneidēsis agathē’ dalam 1 Petrus 3:21
agak sulit dipahami. “Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu
baptisan – maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan
untuk memohonkan hati nurani yang baik (suneidēseōs
agathēs) kepada Allah – oleh kebangkitan Kristus Yesus.” Lazimnya, suneidēsis, sebagaimana penggunaannya
dalam PB pada umumnya, selalu berarti “kesadaran moral mengenai hal yang baik.”
Namun dalam ayat ini dikatakan bahwa menjadi Kristen hendaknya diikuti dengan
perubahan hati nurani sedemikian rupa, sehingga menjadikannya berbeda dengan
orang yang tidak beriman. Seakan-akan sebelum bertobat, seseorang memiliki hati
nurani yang jahat (suneidēsis ponēra,
bdk. Ibr. 10:22) dan setelah bertobat digantikan dengan hati nurani yang baik (suneidēsis agathē), yang terbebas dari
perasaan bersalah terhadap dosa-dosa pada masa silam.
c. Kerygma
Rasuli
Jemaat perdana
percaya bahwa Injil sekaligus merupakan berita baru dan lama. Injil merupakan
berita baru, karena fakta Kristus memang merupakan peristiwa yang baru, namun
sekaligus juga merupakan berita lama, karena fakta Kristus itu telah
dinubuatkan oleh para nabi (fakta Kristus merupakan penggenapan nubuat para
nabi, yang telah dikenal akrab bagi kehidupan keagamaan umat Yahudi). Inti yang
dibicarakan dalam 1 Petrus 1:10-12; 24-25 adalah bahwa: (1) fakta Kristus
menggenapi ilham surgawi yang telah diterima oleh para nabi, dan (2) Injil
sesungguhnya adalah firman Allah yang hidup dan kekal, seperti yang telah
diterima oleh Yesaya.
Pemberitaan 1 Petrus tentang Yesus, memiliki kesamaan dengan isi kerygma
rasuli pada umumnya. Secara garis besar, inti beritanya adalah sebagai berikut:
Yesus Kristus yang telah dipilih sebelum dunia dijadikan, pada zaman akhir
telah dinyatakan (1:20). Namun, Mesias tersebut mengambil rupa seorang ‘hamba
Allah’ yang memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (2:22-24).
Seperti domba Paskah yang tak bercacat dan tak bernoda, Ia telah menebus kita
melalui pengorbanan-Nya (1:18-19); Ia telah mati untuk dosa-dosa kita, “orang
yang benar untuk orang-orang yang tidak benar,” supaya membawa kita kepada
Allah (3:18). Demi kita, Ia telah turun ke neraka (3:19, bdk. Kis. 2:27, 31), namun
Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mengaruniakan
kepada-Nya kemuliaan (1:3, 21, bdk. Kis. 3:13), sehingga kini, Dia adalah Tuhan
(2:3; 3:15, bdk. Kis. 2:36). Roh Kudus telah diutus dari surga ke atas para
rasul (1:12) dan kini, Israel baru telah mewarisi gelar dan kedudukan Israel
lama untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar (2:9-10) sambil
menantikan saat ketika Kristus dinyatakan dalam kemuliaan-Nya (1:7, 13; 4:13;
5:1, 4). Inilah pokok-pokok pemberitaan rasuli (kerygma) yang paling awal.
Pemahaman surat 1 Petrus tentang keselamatan bertolak dari fakta Kristus
tersebut. Kehidupan Kristen digambarkan sebagai kelahiran baru yang diberikan
Allah melalui firman-Nya (1:23). Dengan kelahiran baru itu Allah memanggil orang
beriman keluar dari dalam kegelapan ke dalam terang-Nya yang ajaib (2:9), dan
berbalik dari kesesatan untuk kembali kepada Allah selaku gembala dan
pemelihara jiwanya (2:25). Tanda dari keselamatan itu adalah baptisan, yang
maknanya bukan hanya pembersihan dari kenajisan jasmaniah, melainkan permohonan
hati nurani yang baik kepada Allah (3:21).
Iman dalam surat 1 Petrus adalah iman kepada Allah melalui Kristus sebagai
perantara (1:21). Iman tersebut pada hakikatnya adalah kasih dan kepercayaan
kepada Dia, sekalipun sekarang kita tidak melihat-Nya (1:8). Kehidupan orang
Kristen sekarang adalah kehidupan dalam karunia, karena berasal dari Allah,
yang adalah sumber segala kasih dan karunia (5:10). Orang beriman dikuduskan
oleh Roh Kudus yang diam dalam dirinya (1:2; 4:14), karena itu, seperti bayi
yang baru lahir, mereka harus bertumbuh dan beroleh keselamatan (2:2-4). Dengan
demikian, iman Kristen adalah anastrophē
(jalan hidup). Kematian Yesus bertujuan agar kita hidup untuk kebenaran (2:24),
sehingga kita disebut anak-anak yang taat, yang tidak lagi menuruti hawa nafsu
(1:14), melainkan hidup kudus (2:11) dan rendah hati (5:6). Puncak karunia
Allah adalah kemuliaan yang akan kita peroleh tatkala Yesus dinyatakan dalam
kemuliaan-Nya (1:7, 13; 4:13; 5:1, 4) dan Bapa mengadili semua manusia (1:17;
4:5).
Surat 1 Petrus kaya akan kiasan mengenai karya penebusan Kristus. Dalam
surat ini, pemilihan orang beriman secara individual dilihat sebagai hasil
percikan darah Kristus (1:2); ketaatan dan ketakutannya akan Allah diilhami
oleh korban anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat, yang telah dipilih
sebelum dunia dijadikan (1:17-20). Yang menarik
adalah cara penulis memperhadapkan dan menghubungkan kebenaran-kebenaran yang
mahamulia tersebut dengan para pembacanya. Misalnya, nasihat untuk para budak
agar tunduk kepada tuannya mungkin merupakan penafsiran singkat dan
komprehensif atas penderitaan Kristus bagi orang lain (perhatikan 2:18-25,
terutama dua ayat yang terakhir; bandingkan juga dalam konteks tersebut pasal
3:18-22).
d. Tentang
kebangkitan Kristus
Kesaksian surat
1 Petrus mengenai kebangkitan Kristus sangat berharga. Hal ini bukan karena
posisi Petrus sebagai rasul (jika benar rasul Petrus adalah penulis surat ini),
melainkan karena ia adalah saksi mata atas fakta Kristus. Penulis menerima
gagasan yang semula dianggap mustahil, yaitu mengenai Mesias yang harus
mengalami penderitaan, mati dan bangkit kembali. Penulis meyakini bahwa
kehidupan baru atau kelahiran baru yang dialami oleh orang beriman hanya akan
terjadi karena kebangkitan Yesus dari antara orang mati (1:3). Keyakinan kepada
karya penebusan yang dikerjakan Yesus tidak dapat dilepaskan dari keyakinan
kepada “Allah yang telah membangkitkan Kristus dari antara orang mati dan
memuliakan-Nya” (1:21). Dikatakan pula bahwa kebangkitan merupakan suatu pendahuluan
sebelum Kristus kembali kepada kemuliaan-Nya (3:21-22). Gagasan utama dalam
surat 1 Petrus adalah bahwa penderitaan yang terjadi akan digantikan dengan
kemuliaan, sebagaimana telah terjadi pada diri Kristus yang telah bangkit itu
(4:11 dst.; 5:10 dst.). Kebangkitan sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi
merupakan dasar mutlak bagi pengharapan orang-orang Kristen untuk masa yang
akan datang.
e. Tentang
kehidupan di masa yang akan datang
Di samping
karya penebusan Kristus, ajaran 1 Petrus mengenai kehidupan di masa yang akan
datang penting untuk diperhatikan. Orang beriman telah dilahirkan kembali
kepada suatu “hidup yang penuh pengharapan” (1:3); yang merupakan warisan yang
tersimpan di surga (1:4); dan dihubungkan dengan puji-pujian dan kemuliaan serta
kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya (pada saat kedatangan-Nya
yang kedua kali, 1 Ptr. 1:7, 13; 4:13; 5:4, 10; bdk. 2Ptr. 1:11,
16; 3:13, dsb.). Pengharapan ke masa depan ini menarik kehidupan orang beriman
kearahnya. ‘Harapan’ atau ‘warisan’ ini benar-benar nyata dan berharga,
sehingga:
-
menggembirakan orang
beriman, sekalipun berada dalam duka-cita dan pencobaan (1Ptr. 1:6)
-
mendorong kepada
kehidupan kudus (1Ptr. 1:13-16)
-
menimbulkan kesabaran
dalam penganiayaan (1Ptr. 4:12-13)
-
menumbuhkan kesetiaan
dalam pelayanan (1Ptr. 5:1-4)
-
menumbuhkan ketabahan dalam
menghadapi pencobaan (1Ptr. 5:8-10).
Pemikiran
penulis mengenai penderitaan masa kini, yang dilihat dalam terang kemuliaan
masa depan, merupakan sesuatu yang pelik. Penulis surat ini tidak bermaksud
mengatakan bahwa penderitaan adalah jatah untuk masa kini dan kemuliaan adalah
jatah untuk masa depan, di mana keduanya tidak saling berhubungan, melainkan
yang satu dilihat sebagai kejadian yang menentukan bagi yang lain (bdk. 1:7,
11; 4:13; 5:1). Itulah sebabnya (dengan anggapan bahwa Petrus adalah penulis
surat ini) Petrus sering disebut rasul pengharapan, sedangkan Paulus disebut
sebagai rasul iman dan Yohanes sebagai rasul kasih.
f. Tentang dosa
Dalam
surat-surat Petrus kita menemukan kata hamartia
(dosa), baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Antara lain dikatakan bahwa
Kristus telah mati bagi segala dosa kita (3:18) dan orang-orang beriman
diingatkan bahwa dosa mereka yang dahulu telah dihapuskan (2Ptr. 1:9). Bentuk
tunggal dari kata hamartia kita
temukan dalam 1 Petrus 2:22; 4:1; dan 2 Petrus 2:14. Setiap orang yang telah
menerima Kristus seharusnya menyamakan diri dengan kehidupan Kristus, sehingga
dengan sadar meninggalkan kehidupan yang lama, yang dikuasai oleh dosa. Seperti
penulis-penulis PB yang lain, penulis surat Petrus yakin bahwa kondisi dosa melingkupi
manusia secara universal. Satu-satunya jalan keluar dari kondisi itu adalah
melalui Kristus, karena di dalam Dia tidak ada dosa (2:22).
Di samping kata ‘dosa,’ dalam surat 1 Petrus kita temukan juga kata ‘jahat’
atau ‘kejahatan’ (kakos). “Janganlah
membalas kejahatan dengan kejahatan” (3:9), “ia harus menjaga lidahnya terhadap
yang jahat” (3:10), “ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik”
(3:11), “wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat” (3:12). Agaknya
surat ini mengidentikkan kejahatan dengan dosa, atau paling tidak, menganggap
kejahatan sebagai salah satu aspek dosa.
Surat-surat Petrus mengartikan dosa sebagai ‘lawan kebenaran’ (catatan: pertentangan antara dosa dan
kebenaran dipaparkan dalam 2:24). Perwujudan dosa secara karakteristik
dikemukakan dalam 2 Petrus 2. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa manusia
tidak pernah jemu berbuat dosa (2Ptr. 2:14). Orang-orang yang demikian disebut
sebagai ‘hamba-hamba kebinasaan’ (2Ptr. 2:19). Dosa juga berarti penyimpangan
dari kebenaran Allah, sehingga disebut ‘berbalik dari perintah kudus’ (2Ptr.
2:21).
g. Kedudukan
dan tanggung jawab gereja
Kata ekklēsia tidak pernah digunakan dalam
surat-surat Petrus. Konsep yang paling penting untuk menggambarkan persekutuan
orang percaya terkandung dalam istilah yang digunakan, yaitu: ‘bangsa yang
terpilih’ (yang memiliki kesamaan arti dengan ‘Israel baru’), ‘imamat yang
rajawi,’ ‘bangsa yang kudus,’ dan ‘umat kepunyaan Allah sendiri’ (2:9-10).
Ayat-ayat tersebut diambil dari konsep PL (lht. Kel. 19:5-6), yang biasanya
dikenakan kepada Israel dan kini dikenakan kepada persekutuan orang beriman. Kini
gereja, umat Allah yang baru, yang adalah persekutuan orang beriman, memiliki
status sebagai ‘bangsa yang terpilih’ dan ‘imamat yang rajawi.’ Sebagai ‘bangsa
yang terpilih,’ gereja terpanggil untuk hidup kudus sesuai dengan kekudusan
Allah. Sebagai ‘imamat yang rajawi,’ gereja mengemban tugas untuk menjadi
perantara bagi orang lain agar mengenal Allah. Karena itu dikatakan bahwa gereja
mengemban tugas “memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar.” Tugas ini
merupakan konsekuensi logis perubahan posisi gereja, yang telah dialihkan dari
kegelapan kepada terang Allah yang ajaib. Karena telah berada dalam terang
kebenaran Allah, maka mau tidak mau gereja harus memancarkan kebenaran itu
melalui seluruh kehidupannya. Dengan demikian, seluruh keberadaan gereja adalah
pemberitaan.
Di samping gambaran-gambaran di atas, penulis 1 Petrus juga menggunakan
gambaran-gambaran lain yang berasal dari Kristus sendiri, yaitu: gereja sebagai
kawanan domba Allah, dengan Kristus sebagai gembalanya (2:25), dan gereja
sebagai rumah tangga Allah (4:17). Kiasan ‘kawanan domba’ pada satu sisi
mengandung pengertian kelemahan dan ketidakberdayaan; pada sisi lain, ketaatan
dan kemenurutan. Maksudnya, di hadapan Allah sesungguhnya manusia tidak
berdaya, tidak mampu mencukupkan kehidupannya sendiri, tidak mampu menyelamatkan
dirinya sendiri. Hidup manusia sepenuhnya bergantung kepada Allah. Pada sisi
lain, persekutuan orang beriman adalah himpunan manusia yang taat dan penurut
terhadap kehendak Allah, dengan selalu mengikuti jejak serta arahan gembalanya.
Sedangkan kiasan ‘rumah tangga’ menggambarkan kesatuan kasih dan pranata
tertentu yang menjadi pengikatnya. Persekutuan orang beriman telah dipersatukan
oleh dan dalam kasih Allah, sehingga tiap individu bukan lagi ‘orang asing,’
melainkan anggota keluarga. Tentu saja, keutuhan rumah tangga tersebut akan
terjaga jika pranata Allah ditepati dan ditaati.
h. Tugas
apologis
Sebagai ‘bangsa
yang terpilih’ dan ‘imamat yang rajawi,’ gereja ditempatkan dalam posisi aktif,
bukan pasif. Gereja harus bergerak, harus memberi jawab atau
mempertanggungjawabkan imannya kepada orang lain. Dalam 1 Petrus 3:15-16
dikatakan:
“Tetapi kuduskanlah
Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu
untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap oang yang meminta
pertanggungjawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi
haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni,
supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus,
menjadi malu karena fitnahan mereka itu.”
Dari kedua ayat
tersebut ada beberapa hal yang dapat kita catat. Pertama, secara aktif umat Allah harus “menguduskan Kristus dalam
hati sebagai Tuhan.” Dalam hal ini, yang dimaksudkan bukan hanya memikirkan
kekudusan Kristus saja, melainkan menempatkan Kristus sebagai ‘Master’ (Tuan) di dalam hati dan
mewujudkan kekudusan-Nya dalam kehidupan umat Allah. Hati dapat digambarkan
sebagai mata air, sedangkan perbuatan merupakan alirannya. Dari mata air yang
kudus akan mengalir sikap dan perbuatan yang kudus. Jadi, menguduskan Kristus
di dalam hati harus terealisasi dalam seluruh sikap hidup dan perbuatan orang
beriman.
Kedua, umat Allah harus siap sedia mempertanggungjawabkan pengharapannya di
setiap waktu. Kata Yunani yang digunakan untuk ‘pertanggungjawaban’ dalam ayat
15 adalah apologia (hetoimoi aei pros apologian panti tō(i) aitounti). Secara literer, apologia berarti ‘pembelaan diri,’
‘pemberian jawab,’ atau ‘usaha mempertahankan kebenaran.’ Rupanya, arti yang
terakhir lebih tepat untuk ayat ini, sehingga akan berbunyi “hendaklah kamu
berusaha mempertahankan kebenaran pengharapanmu jika orang menuntutnya.”
Pengharapan yang manakah yang harus dipertahankan? Tentu saja pengharapan akan kesempurnaan
keselamatan yang akan diterima orang percaya karena imannya kepada Kristus.
Ketiga, cara untuk membela atau mempertahankan kebenaran pengharapan Kristen
haruslah dengan “lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni (suneidēsis agathē).” Penulis
mengingatkan bahwa ciri khas kehidupan orang beriman adalah kesalehan hidupnya.
Motivasi tindakannya bukanlah untuk mencari pujian, melainkan ketulusan hati
untuk taat kepada Tuhannya.
i. Tentang
penderitaan Kristen
Dalam memahami
penderitaan yang harus dihadapi oleh umat Kristen dan untuk memberi topangan
kepada jemaat yang sedang teraniaya, penulis surat 1 Petrus mengemukakan
beberapa hal:
a)
Ditekankan bahwa
Kristus sendiri menderita sesuai dengan nubuat para nabi dalam PL (lht. 1:10-11,
dengan latar belakang Kitab Yesaya mengenai Hamba Tuhan yang harus menderita
demi umat-Nya).
b)
Tidak mengherankan
jika orang-orang yang hidup benar akan mengalami penderitaan yang diakibatkan
oleh perlawanan ‘dunia’ yang penuh dosa ini (2:19).
c)
Orang yang menderita
karena kekristenannya seharusnya menerima penderitaan itu sebagai kebahagiaan,
karena dirinya dilayakkan ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus. Namun
penulis surat Petrus juga memberi peringatan agar orang tidak merasa bahagia
jika menderita karena kebodohannya sendiri. Kristus meninggalkan teladan
penderitaan, karena itu, berbaha-gialah jika karena kebenaran, umat Kristen
harus menderita (3:14).
d)
Penderitaan Kristen
juga harus dipahami sebagai alat penguji iman orang percaya (1:6; 5:10). Hal ini
berfungsi untuk memperkukuh iman, agar menjadi lebih berharga.
e)
Penderitaan hendaknya
dipahami sebagai jalan menuju kemuliaan, sama seperti penderitaan Kristus telah
menghantar-Nya kepada kemuliaan.
Dengan
pemahaman seperti itu, maka penderitaan harus dihadapi dengan tegar, dan tidak
boleh menggoyahkan iman umat Kristen.
j. Pekabaran
Injil kepada orang mati
Uraian dalam 1
Petrus 3:18-4:6 agak membingungkan, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dan
penafsiran. Kesulitan pertama adalah mengenai “pemberitaan Injil kepada roh-roh
yang di dalam penjara” (3:19); dan kesulitan kedua adalah mengenai “pemberitaan
Injil kepada orang-orang mati” (4:6). Kedua ayat ini sering digunakan sebagai
dasar pembenaran terhadap pandangan bahwa sesudah kematian fisik masih ada peluang
bagi manusia untuk bertobat. Ada beberapa penjelasan yang dapat diajukan untuk
memecahkan persoalan ini:
a)
Istilah yang
diterjemahkan dengan ‘memberitakan Injil’ dalam 3:19 (kerussō) lebih tepat diterjemahkan dengan ‘memproklamasi-kan
sesuatu,’ entah hal yang menggembirakan atau hal yang menyusahkan. Dari 3:18
dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok proklamasi Yesus di sini adalah
kerelaan-Nya menderita demi keselamatan manusia dan kebangkitan-Nya oleh kuasa
Allah. Hal ini merupakan teladan kesediaan menderita demi ketaatan kepada Allah
yang akhirnya berbuahkan kemuliaan.
b)
Ungkapan ‘roh-roh yang
ada dalam penjara’ (3:19-20) sebaiknya dipahami bertolak dari penggunaannya
dalam PL. Jika yang dimaksud adalah manusia, istilah ‘roh’ (Ibr. ruah, Yun. pneuma) dalam PL tidak pernah dipakai tanpa keterangan lain (mis.
Im. 19:31, ‘roh peramal;’ 2Raj. 2:15, ‘roh Elia;’ Ams. 20:27, ‘roh manusia’
dsb). Karena itu, yang dimaksud ‘roh-roh’ (pneumata)
dalam perikop ini kemungkinan bukanlah manusia, melainkan roh-roh jahat. Jadi,
1 Petrus 3:18-19 dapat ditafsirkan demikian: kebangkitan Kristus, yang
membuktikan kemenangan-Nya atas kuasa-kuasa jahat, telah diproklamasikan kepada
semua makhluk, termasuk roh-roh jahat.
c)
Istilah nekroi (bentuk jamak dari nekros) dalam 4:6 (eis touto gar kai nekrois
euēnggelisthē, “Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada
orang-orang mati”) digunakan dalam arti figuratif dengan makna ‘orang-orang
yang tidak mengenal Allah’ atau ‘orang-orang yang tidak berada dalam relasi
yang benar dengan Allah.’ Dalam hal ini, istilah ‘mati’ tidak berkonotasi
kematian fisik semata-mata, melainkan keterpisahan dari relasi dengan Allah
secara benar. Dengan kata lain, arti ‘kematian’ di sini adalah ‘kondisi tanpa
relasi dengan Allah secara benar.’ Jadi, yang dimaksud dengan pemberitaan Injil
kepada orang-orang mati adalah pemberitaan Injil kepada mereka yang tidak
berada dalam relasi dengan Allah secara benar, atau mereka yang belum mengenal
Allah; bukan mereka yang telah mati secara fisik.
Dengan
pemecahan di atas, kita akan terhindar dari spekulasi bahwa pekabaran Injil
juga dilaksanakan untuk roh-roh orang yang sudah mati (secara fisik) dan
mengandaikan bahwa mereka masih mempunyai kesempatan untuk bertobat. Lantaran pemahaman
yang keliru, maka orang masih sering mendoakan arwah orang-orang yang sudah
mati (secara fisik) untuk memohonkan pengampunan kepada Allah.
C. SURAT YUDAS
1.
Pengantar
a. Penulisnya
Di kalangan
para ahli PB terdapat perbedaan pendapat mengenai siapakah penulis yang
sebenarnya. Ada empat kemungkinan yang diajukan: (1) Yudas saudara Yesus (bdk.
Mat. 13:55; Mk. 6:3); (2) Yudas salah seorang di antara keduabelas rasul (bdk.
Luk. 6:16; Kis. 1:13); (3) Yudas Barsabas yang disebutkan dalam Kisah 15:22,
27, 32; dan (4) penulis yang tidak diketahui dan menganggap Yudas tulisan
sebagai pseudonim. Secara harfiah, penulis menyebut dirinya sebagai Yudas,
hamba Yesus Kristus dan saudara Yakobus. Aktivitas pekabaran Injil saudara
Yesus dicatat dalam 1 Korintus 9:5, dan Yudas kemungkinan adalah saksi mata pelayanan
Yesus. Orang-orang Kristen Yahudi pada umumnya mendukung pendapat bahwa Yudas
yang dimaksud adalah Yudas saudara Yesus. Namun ada beberapa keberatan terhadap
pendapat itu:
1) Seandainya benar bahwa Yudas saudara Yesus adalah penulisnya, mengapa penulis
tidak secara langsung menyebut diri sebagai saudara Yesus, melainkan saudara
Yakobus?
2) Istilah adelfos (saudara
laki-laki) bermakna ambigu. Dalam PB istilah ini sering digunakan dengan arti ‘kawan
sekerja’ (lht. Kol. 1:1), tidak selalu ‘saudara kandung.’
3) Konsep tradisi dalam Yudas 20, pertentangan antara ortodoksi dengan bidat
serta kedatangan guru-guru palsu sebagai tanda-tanda akhir zaman (bdk. 1 Tim.
4:1-3; 2 Tim. 4:3-4; 1 Yoh. 2:18; 4:1-3) menunjuk pada periode post-rasuli.
4) Dalam Yudas 17-18, tersirat bahwa penulis berasal dari periode akhir
kekristenan perdana, yang mengingat zaman para rasul sebagai periode peletakan
dasar iman.
Dengan
mempertimbangkan keberatan-keberatan itu, para ahli biblika modern sepakat
bahwa Yudas adalah tulisan pseudopigraf, yang kemungkinan ditulis oleh seorang
Yahudi Kristen atas nama Yudas, saudara Tuhan.[6] Diperkirakan surat ini
ditulis antara tahun 80-100, yang merupakan periode berkembangnya sastra
pseudopigraf dalam PB dan diterimanya secara luas gagasan-gagasan apokalyptis.[7]
b. Maksud
penulisan dan penerimanya
Surat ini
ditulis untuk jemaat atau kelompok jemaat yang tidak diketahui dalam rangka
melawan bahaya yang ditimbulkan oleh guru-guru kharismatik tertentu, karena
mereka mengajarkan praktik moral libertinisme. Penulis menyebut guru-guru ini
sebagai para bidat, yang kebinasaannya sudah dinubuatkan (ayat 5), dan
mendorong jemaat agar tetap mempertahankan Injil rasuli dengan hidup menurut
tuntutan moralnya. Guru-guru palsu ini tetap berpartisipasi dalam perjamuan
kasih jemaat, sekalipun, menurut penulis surat ini, hanya demi kepentingan diri
mereka sendiri; karena itu, mereka disebut sebagai noda dalam jemaat (ayat 12).
Kemungkinan, bidat-bidat ini adalah orang-orang Gnostik, sebab dalam ayat 19,
mereka disebut sebagai psukhikoi (manusia
duniawi), suatu istilah teknis yang digunakan oleh orang-orang Gnostik.[8]
Ajaran guru-guru palsu itu bertentangan dengan pola hidup jemaat, yang
dicirikan oleh kekudusan dan kehidupan yang tak bernoda. Agaknya jemaat hidup
dalam antusiasme pengharapan eskhatologis, yang secara implisit tercermin dalam
penolakan eskhatologis terhadap ajaran sesat (ayat 4, 11, 13, 15). Jemaat
memahami keselamatan mereka dalam perspektif pengharapan menuju kehidupan kekal
(ayat 21). Kesadaran seperti ini terdapat dalam komunitas Kristen Yahudi, yang
di dalamnya tradisi Henokh dan spekulasi apokalyptis tetap hidup.[9] Jadi, penerima surat ini
agaknya adalah komunitas Kristen Yahudi. Melihat kecocokan doktrinnya tentang
malaikat dengan surat Kolose dan kesamaan-kesamaannya dengan surat-surat Pastoral,
diperkirakan surat ini ditulis di Asia Kecil.
c. Asal-usul
guru-guru palsu
Jika kita
cermati, guru-guru palsu itu berasal dari dalam jemaat sendiri. Mereka masih
ikut ambil bagian dalam perjamuan kasih. Pada saat itu, gagasan teologis jemaat
sebenarnya terbagi dalam dua arus utama, yaitu: kekristenan Yahudi Palestina
dan kekristenan Gnostik awal. Karena itu, juga ada dua kemungkinan mengenai
aliran kekristenan yang menjadi asal guru-guru palsu itu.
Penjelasan pertama bertolak dari pendapat bahwa guru-guru palsu itu
merupakan penganjur Gnostikisme libertinistis awal. Alasan-alasan yang
dikemukakan untuk mendukungnya antara lain:
a.
Menurut Yudas 4, para
pelawan itu menyangkal ketuhanan Yesus Kristus dan menurunkan-Nya hanya sebagai
sosok perantara surgawi.
b.
Yudas 12 mencatat
sikap guru-guru palsu yang sangat individualistik serta pendekatan sakramental
atas keselamatan.
c.
Hujatan mereka
terhadap makhluk surgawi (malaikat) dalam Yudas 8 dan 10, memiliki latar belakang
Gnostik.
d.
Dalam Yudas 19 kita
temukan ciri khas pembedaan gnostis antara psukhikos
(orang yang hidup dengan naluri duniawi) dengan pneumatikos (orang yang hidup oleh Roh). Antitesis keduanya belum
muncul sebelum tulisan Paulus (bdk. 1Kor. 2:14; 15:44, 46).
e.
Guru-guru palsu itu
menunjukkan kesadaran akan kebebasan mereka secara ekstrem (ayat 4, 7, 8, 10,
13).
Penjelasan
kedua berpegang pada pendapat bahwa guru-guru palsu itu, sama seperti penulis
sendiri, berasal dari salah satu spektrum pewaris teologi Paulus. Alasan-alasan
yang dikemukakan untuk mendukung pendapat ini antara lain:
1)
Hujatan terhadap
makhluk surgawi sebagai salah satu tuduhan pokok terhadap guru-guru palsu (ayat
8) merujuk pada 1 Korintus 6:3; 13:1 dan Kolose 2:18-19. Rupanya dalam jemaat
pemujaan malaikat diterima apa adanya. Dalam periode post-Paulus, secara jelas terjadi perdebatan mengenai legitimasi
pemujaan malaikat. Kolose 2:18-19 dan surat Yudas merupakan dua dokumen identik
yang berkenaan, pada satu pihak, dengan ketentuan-ketentuan hukum dan pemujaan
malaikat, dan pada pihak lain, dengan antinomianisme serta hujatan terhadap
malaikat.
2)
Antitesis psukhikos-pneumatikos dalam Yudas 19
bersumber dari 1 Korintus 2:14 (juga 15:44, 46), yang dalam PB hanya kita
temukan dalam dua surat ini. Penulis menyebut guru-guru palsu itu hanya ‘mengikuti
naluri duniawi,’ sekalipun secara implisit mereka merasa memiliki kedudukan
tinggi sebagai manusia rohani.
3)
Yudas 5 dan 1 Korintus
10:1-3 memperingatkan guru-guru palsu yang merasa lebih tinggi ketimbang
anggota jemaat yang lain, dengan mengedepankan contoh pembinasaan sebagian
besar umat pilihan di padang gurun akibat kesalahan mereka.
4)
Yudas 4 menuduh
guru-guru palsu itu telah menyalahgunakan karunia (kharis) Allah untuk melampiaskan hawa nafsu (aselgeia) mereka. Di sini kita temukan gema terminologi Paulus
mengenai pembenaran (bdk. Rm. 3:23-24; Ef. 2:7-9), dengan latar belakang
gagasan antinomianisme, sebagai akibat kesalahmengertian terha-dap kharis theou (anugerah Allah, Rm 3:8).
5)
Sama seperti dalam surat-surat
deutero Paulin, prinsip-prinsip tradisi (bdk. ayat 3, 17, 20) dipergunakan
untuk mempertahankan diri dalam melawan guru-guru palsu.
6)
Surat 2 Petrus,
berdasar surat Yudas, mencatat perdebatan mengenai kebenaran pengertian Paulus
(2Ptr. 3:15-16).
2.
Pemikiran teologisnya
a. Melawan
guru-guru palsu
Seperti
dikemukakan dalam ayat 3-4, surat ini memiliki dua tema utama yang saling
berhubungan. Tema pertama adalah imbauan bagi jemaat agar berjuang demi iman (ayat
3). Hal ini dijabarkan dalam ayat 20-23. Tema kedua mengemukakan alasan mengapa
perjuangan ini penting, yaitu karena jemaat berada dalam bahaya penyesatan oleh
guru-guru palsu (ayat 4). Mereka adalah orang-orang fasik yang telah ditentukan
Allah untuk dihukum. Hal ini lebih lanjut diuraikan dalam ayat 5-19. Namun
sebenarnya penulis lebih mengutamakan nasihat yang diberikan dalam ayat 20-23
daripada berpolemik melawan guru-guru palsu ini.
Bentuk bagian eksegetis dalam ayat 5-19 memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Menurut Richard J. Bauckham, bagian ini tidak hanya berupa celaan terhadap
ketidakdisiplinan, melainkan juga komentar yang disusun secara hati-hati untuk
menjelaskan pernyataan ayat 4 tentang hukuman bagi guru-guru palsu yang telah
lama dinubuatkan. Anggapan bahwa Kitab Suci bersifat profetis dan metode
eksegetis yang digunakan untuk menjelaskannya mengingatkan kita pada cara
penafsiran yang digunakan dalam teks-teks gulungan Laut Mati.
Yudas mengutip empat teks pokok, yaitu dalam ayat 5-7, 11, 14-15 dan 17-18
dengan komentarnya dalam ayat 8-10, 12-13, 16 dan 19. Dua kutipan pertama
merujuk pada sosok alkitabiah yang disebut orang fasik di akhir zaman. Kutipan
ketiga merupakan nubuat yang diambil dari kitab Henokh 1:9, dan kutipan keempat
merupakan prediksi rasuli. Jelas bahwa surat Yudas sangat menghargai kitab Henokh,
yang dikutip dalam ayat 14-15 dan bergema dalam ayat-ayat lain (seperti ayat 6,
12-13). Ayat 9 merujuk pada naskah apokrif yang tidak lagi ada, mungkin
merupakan bagian akhir Wasiat Musa. Penggunaan tulisan-tulisan seperti itu
mendukung dugaan bahwa surat ini ditulis untuk konteks kekristenan Yahudi
Palestina. Hal ini diperkuat dengan metode eksegetisnya, yang lebih bergantung
pada Kitab Suci Ibrani ketimbang terjemahannya (Septuaginta).
b. Berjuang
demi iman
Menghadapi ajaran
guru-guru palsu, penulis surat ini menyampaikan beberapa nasihat. Pertama,
bahwa keselamatan itu tidak otomatis, sekali diperoleh untuk selama-lamanya.
Benar bahwa Allah telah menyelamatkan orang percaya, namun, jika keselamatan
tersebut tidak dijaga dan dipelihara, bisa juga hilang. Hal ini sama seperti
peristiwa keluaran Israel dari Mesir. Benar bahwa Allah telah membebaskan
umat-Nya dari Mesir. Namun, jika tidak setia, mereka tidak akan sampai di tanah
Kanaan, tanah perjanjian, melainkan akan mati di padang gurun (ayat 5).
Demikian halnya yang terjadi dengan malaikat-malaikat yang memberontak dan
nasib orang-orang Sodom dan Gomora akibat dosa-dosa mereka (ayat 6-7). Kedua,
jemaat diingatkan tentang jalan hidup guru-guru palsu yang salah, yang dianggap
penulis seperti jalan yang ditempuh Kain (ayat 11 bdk. Kej. 4), Bileam (Bil.
22-24) dan Korah (Bil. 16:1-11). Ketiga, jemaat diingatkan akan nubuat yang
merupakan kutipan kitab Henokh, yaitu tentang hukuman bagi orang-orang fasik,
baik karena kefasikan mereka, maupun karena kata-kata nista yang mereka ucapkan
terhadap Tuhan. Keempat, jemaat diimbau agar tetap berpegang pada ajaran para
rasul, sekaligus menandaskan bahwa menjelang akhir zaman, kefasikan itu pasti
akan datang (ayat 17-18).[10]
Jika diperhatikan, gagasan Yahudi tentang kekudusan sangat mewarnai ajaran
etikanya (bdk. ayat 8, 12, 23). Karena itu, lebih lanjut penulis surat ini
mendorong jemaat agar membangun diri atas dasar iman yang suci, dengan berdoa
dalam Roh Kudus (ayat 20). Mereka harus berjuang demi iman dan memelihara diri
dalam kasih Allah sambil menantikan kepenuhan rahmat Tuhan, yaitu kehidupan
yang kekal (ayat 21). Dalam perjuangan iman tersebut, jemaat harus berbelas
kasih kepada orang lain, terutama mereka yang bimbang imannya, agar mereka pun
terselamatkan (ayat 22-23). Di samping itu, jemaat harus menjaga diri dari
kecemaran dan menjauhi keinginan-keinginan dosa. Namun, di tengah maraknya
kefasikan, mereka harus berlaku bijak, tidak gegabah dan penuh perhitungan,
dengan menya-dari bahaya yang dihadapi akibat imannya (ayat 23).
c.
Kristologinya
Kristologi
Yudas dilatarbelakangi oleh pengharapan akan kedatangan Hari Tuhan, yaitu suatu
masa ketika Tuhan menampakkan diri bersama para malaikat untuk menghakimi dunia
ini (ayat 14-15). Kristus akan menyatakan diri sebagai Tuhan yang penuh rahmat
kepada persekutuan orang-orang beriman (ayat 21), namun para pelawan akan
dihukumkan oleh karena perbuatan fasik mereka. Di sini Kristus dipuji sebagai
hakim akhir zaman yang akan menjatuhkan hukuman atas orang-orang fasik.
Sekalipun Kristus dihormati begitu tinggi sebagai hakim akhir zaman, namun
Kristologi surat Yudas sama sekali tidak menggeser prinsip keyakinan
monoteistis. Hal ini tampak jelas pada bagian penutup, yang menyatakan bahwa
Allah sendirilah Juruselamat jemaat, yang bekerja melalui Yesus Kristus, Tuhan
jemaat. Rupanya seperti Paulus, penulis Yudas dengan hati-hati membedakan
antara Allah dengan Yesus yang disebut sebagai Tuhan (ayat 25 bdk. 1Kor. 8:6).
Dalam ayat terakhir, yang merupakan doksologi ini, pada akhirnya Allah
sendirilah yang dimuliakan, yang kebesaran, kekuatan dan kuasa-Nya diagungkan
dari kekal hingga kekal.
d.
Eklesiologinya
Kita hanya
dapat mengetahui gagasan penulis surat ini tentang gereja secara implisit,
terutama dari sapaan untuk jemaat yang menjadi alamatnya dalam ayat 1. Ada tiga
hal yang penting dicatat, yaitu, jemaat disebut sebagai: (1) ‘mereka yang
terpanggil,’ (2) ‘yang dikasihi dalam Allah Bapa’ dan (3) ‘yang dipelihara
untuk Yesus Kristus.’ Dari sapaan tersebut tersirat pemahaman penulis mengenai
hakikat gereja.
Pertama, pada satu pihak, gereja dipahami sebagai persekutuan yang terpanggil ke
dalam pengalaman rohani untuk suatu maksud ilahi, yaitu untuk pekerjaan
tertentu dan untuk melayani Allah melalui seluruh aspek kehidupannya. Dengan
demikian, setiap orang beriman sebagai unsur pembangun gereja adalah hamba
Kristus yang dipanggil untuk melayani kehendak dan pekerjaan Allah. Sekalipun
dalam surat ini tidak eksplisit dinyatakan, namun kita dapat menyimpulkan
berdasar teks-teks PB yang lain bahwa untuk panggilan itu Allah akan
memperlengkapi tiap orang percaya dengan kuasa dan pimpinan-Nya sendiri melalui
Roh Kudus. Pada pihak lain, panggilan itu mengandaikan bahwa inisiatifnya
datang dari pihak Allah. Artinya, keberadaan gereja sebagai persekutuan
hamba-hamba Allah bukanlah hasil pekerjaan manusia, melainkan karena inisiatif
Allah sendiri. Dalam hal ini, gereja adalah persekutuan orang-orang yang
memberikan tanggapan positif atas inisiatif Allah.
Kedua, gereja disebut sebagai ‘mereka yang dikasihi dalam Allah Bapa.’ Ada dua
versi teks Yunani untuk bagian ini. Versi pertama adalah seperti yang digunakan
dalam terjemahan baru LAI yang berbunyi tois
en Theō(i) patri ēgapēmenois. Versi kedua berbunyi tois en Theō(i) patri hēgiasmenois yang diterjemahkan “mereka yang
dikuduskan dalam Allah Bapa.” Jika versi kedua yang digunakan, maka gereja
dipahami sebagai persekutuan orang-orang yang dikuduskan oleh Allah. Gereja
bukan semata-mata dipilih dan dikhususkan sebagai umat Allah, melainkan seluruh
kehidupannya harus disesuaikan dengan kekudusan Allah dan sepenuhnya
didedikasikan bagi pekerjaan Allah. Untuk itu setiap orang percaya harus
dibersihkan dari dosa dan disesuaikan dengan pola kehidupan Yesus.
Ketiga, gereja adalah persekutuan orang beriman yang dipelihara untuk Yesus
Kristus. Allah tidak membiarkan gereja terlantar, melainkan memelihara dan
menuntunnya. Untuk itu diperlukan kepasrahan, penyerahan diri dan ketaatan
gereja kepada Allah, sehingga tetap terpelihara kekudusannya hingga parousia.
Hal lain yang perlu dicatat, surat Yudas banyak menggunakan teks-teks apokalyptis.
Selama periode PB, gagasan apokalyptis merebak, baik dalam lingkungan Yudaisme,
maupun dalam lingkungan kekristenan. Dalam surat ini kita temukan mitos tentang
kejatuhan malaikat yang terdapat dalam gagasan apokalyptis Yahudi pada umumnya.
Ia mengenal mitos penguburan Musa yang terdapat dalam apokalyptis
Yahudi-Kristen, bahwa ketika Mikhael, menggali kuburan untuk Musa, setan muncul
untuk merebut tubuh Musa, namun gagal. Penulis juga mengenal kitab Henokh,
salah satu karya apokalyptis utama, dengan baik, bahkan mengutip Henokh 1:9.
Surat ini menunjukkan bahwa dalam periode pertumbuhan gereja waktu itu, gagasan
apokalyptis masih hidup dengan kuat.
D. SURAT 2 PETRUS
1. Pengantar
Dalam PB, surat 2 Petrus dan surat-surat Pastoral merupakan representasi
seksama mengenai pandangan lembaga kekristenan yang sedang bertumbuh. Berdasar
isinya, agaknya surat ini didasarkan pada surat Yudas. Bahkan dapat dikatakan
bahwa surat ini mengam-bil alih hampir seluruh isi surat Yudas. Penulisnya
mengenal cerita Injil-injil Sinoptis tentang peristiwa transfigurasi (1:17-18)
dan kumpulan surat-surat Paulus sebagai bagian Kitab Suci (3:15-17).
Kemungkinan surat ini adalah naskah PB yang ditulis paling akhir.
a. Penulisnya
Surat ini
diawali dengan menyebut penulisnya sebagai “Simon Petrus, hamba dan rasul Yesus
Kristus” (1:1). Di tempat lain, penulis dengan jelas menyebut diri sebagai
rasul Petrus, dan menyatakan bahwa Tuhan telah memberitahukan kepadanya bahwa
saat kematiannya sudah dekat (1:14), bahwa ia adalah saksi mata peristiwa
transfigurasi (1:16-18), bahwa sebelumnya ia telah menulis surat yang lain
untuk pendengar yang sama (2Ptr. 3:1;
bdk. surat 1 Petrus), dan menyebut rasul Paulus
sebagai ‘saudara kita yang kekasih’ (3:15).
Meskipun secara internal 2 Petrus menyebutkan bahwa surat ini karya rasul
Petrus, kebanyakan ahli biblika berpendapat bahwa rasul Petrus bukanlah penulisnya
dan menganggap surat ini sebagai pseudopigraf. Beberapa alasan yang dikemukakan
adalah:
-
gaya bahasanya berbeda
dengan surat 1 Petrus
-
penulis agaknya
menggunakan surat Yudas sebagai sumbernya
-
isinya mengingatkan
kita pada Gnostikisme abad kedua
-
merupakan nasihat
untuk meguatkan jemaat, karena menyadari keterlambatan datangnya parousia
-
kurang adanya dukungan
sumber-sumber eksternal.[11]
-
lebih dari itu,
perikop-perikop tertentu memberi petunjuk lebih lanjut bahwa tulisan ini adalah
pseudopigraf, misalnya: asumsi penulis bahwa para pendengarnya telah akrab
dengan surat-surat Paulus (3:15-16), implikasinya bahwa generasi apostolik
sudah tiada (3:4) dan pembedaan dirinya dengan ‘rasul-rasul Tuhan dan
Juruselamat’ (3:2).
Hanya sedikit
ahli biblika yang menolak pendapat di atas dan mengajukan beberapa alasan yang
mendukung bahwa rasul Petruslah penulis surat 2 Petrus. Mereka berpendapat
bahwa surat ini tidak menunjukkan pola khas tulisan pseudopigraf, dengan
alasan:
1)
Penulisnya tidak
menggunakan narasi orang pertama, yang disebut Donald Guthrie sebagai salah
satu ciri tulisan-tulisan pseudopigraf.[12]
2)
Bagian-bagian tertentu
dari cerita transfigurasi berbeda dengan cerita yang terdapat dalam Injil-injil
Sinoptis dan tidak mengandung tambahan-tambahan, yang menurut E.M.B. Green
merupakan hal yang lazim dalam kitab-kitab apokrif.[13]
3)
Sebutan yang tidak
lazim ‘saudara kita yang kekasih’ dikenakan kepada Paulus, sedangkan literatur di
kemudian hari mengguna-kan sebutan lain.[14]
4)
Penulis 2 Petrus
mengatakan bahwa surat-surat Paulus sulit dipahami (3:15-16). Menurut Donald
Guthrie, hal ini tidak sesuai dengan kecenderungan tulisan pseudopigraf, yang lazimnya
berusaha meninggikan seseorang, yang namanya disebut sebagai penulisnya.[15]
Para ahli
biblika yang menerima bahwa Petrus adalah penulisnya mengajukan beberapa
penjelasan mengenai hubungan antara 2 Petrus dengan Yudas.
1)
Kemungkinan, Yudas
justru menggunakan 2 Petrus sebagai sumbernya.[16]
2)
Seandainya pun 2
Petrus menggunakan Yudas, hal itu tidak menghapus kemungkinan bahwa Petrus adalah
penulisnya.[17]
3)
Ben Witherington III
berpendapat bahwa teks 2 Petrus yang ada pada kita dewasa ini merupakan
campuran beberapa pokok yang diambil dari surat Yudas dan fragmen-fragmen
tulisan Petrus yang asli, misalnya 2 Petrus 1:12-21.[18]
4)
Mengenai perbedaan
gaya bahasa dengan surat 1 Petrus, hal ini disebabkan karena Petrus menggunakan
sekretaris yang berbeda untuk kedua suratnya, atau, seandainya Petrus menulis
sendiri surat 2 Petrus, maka surat 1 Petrus ditulis oleh Silwanus (Silas)
sebagai sekretarisnya.
Namun, sebagian
besar ahli biblika sepakat bahwa Petrus bukanlah penulis surat ini.[19] Daniel Wallace, misalnya,
mengatakan dalam kritik tekstualnya bahwa masalah kepenulisan 2 Petrus sudah
selesai; paling tidak, secara negatif, Petrus bukanlah penulis surat ini dan
bahwa sebagian besar ahli PB menerima pandangan ini.[20] Setuju dengan pendapat
ini, Werner G. Kümmel mengatakan bahwa 2 Petrus tentu tidak berasal dari tangan
Petrus, dan secara luas hal ini diakui.[21] Hal yang sama dikemukakan
oleh Stephen L. Harris.[22] Sejarawan evangelis D.A.
Carson dan Douglas J. Moo mengatakan bahwa kebanyakan sarjana modern
berpendapat bahwa Petrus bukanlah penulis surat 2 Petrus. Tidak ada surat-surat
PB lainnya yang disepakati sedemikian rupa seperti 2 Petrus, bahwa penulisnya bukanlah
nama yang disebutkan.[23] Udo Schnelle berpendapat
bahwa penulisnya kemungkinan adalah seorang Yahudi Hellenis yang terpelajar,
yang ingin menolong jemaat untuk mengatasi problema keterlambatan parousia.[24]
b. Waktu penulisan
Persoalan
penulis dan waktu penulisan saling berhubungan erat. Seandainya benar bahwa
rasul Petrus adalah penulisnya, maka surat ini pasti ditulis sebelum
kematiannya di antara tahun 65-67. Surat ini merujuk pada surat-surat Paulus,
jadi pasti ditulis setelah surat-surat Paulus. Tanpa mempersoalkan siapa
penulisnya, dapat diperkirakan bahwa surat ini tidak mungkin ditulis sebelum
tahun 60. Para ahli biblika pada umumnya memperkirakan surat ini ditulis di
antara tahun 100-150,[25] dan merupakan tulisan
pseudopigraf. Mengenai pendapat bahwa surat ini ditulis jauh di kemudian hari,
lihat tulisan Harris.[26] Udo Schnelle berpendapat
bahwa surat ini ditulis di Mesir pada 135. Sekalipun demikian, ia mengakui
bahwa tempat penulisan tetap tidak jelas dan mengatakan bahwa dalam pembahasan
mutakhir ada dugaan bahwa surat ini ditulis di Roma atau di Mesir.[27] Pendapat lain mengatakan
bahwa surat ini kemungkinan besar ditulis sekitar tahun 80-90.[28] Ada pula ahli-ahli
biblika yang berpendapat bahwa 2 Petrus ditulis lebih awal dan bahwa penulis
surat ini adalah rasul Petrus. Tentang hal ini dapat dilihat dalam karya
Kruger,[29] Zahn,[30] Spitta,[31] Bigg[32] dan Green.[33] Dengan mempertimbangkan kemungkinan
rentang waktu penulisannya, Jeremy Duff berpendapat bahwa surat ini ditulis di
antara tahun 60-130, dengan kemungkinan paling besar sekitar tahun 80-90.[34]
c. Alamat dan
maksud penulisan
Dari bagian
pendahuluan terdapat indikasi bahwa penerima surat ini sama dengan penerima
surat 1 Petrus, yaitu jemaat-jemaat di Asia Kecil (bdk. 1Ptr. 1:1), yang
merupakan jemaat-jemaat Kristen kafir dengan unsur-unsur Yahudi dan
konsep-konsep Hellenisme yang cukup signifikan di dalamnya.
Surat ini memiliki tujuan ganda, yaitu: mengingatkan kembali harapan
tentang parousia, dalam rangka
melawan berkembangnya skeptisisme terhadapnya, dan untuk melawan ajaran sesat
yang berkembang dalam jemaat. Rupanya, ajaran sesat tersebut berasal dari
guru-guru palsu, yang adalah orang-orang Kristen Gnostik. Mereka menekankan
pengetahuan tentang keselamatan masa kini dan realisasinya kelak di alam surgawi.
Mereka memandang rendah dunia dan tubuh, dan karena itu, tidak mempunyai
perhatian terhadap parousia di masa
depan. Terus tertundanya parousia
mempertajam polemik mereka melawan harapan Kristen tradisional.[35]
2. Pemikiran teologisnya
Dapat dikatakan
bahwa teologi 2 Petrus merupakan kombinasi bahasa keagamaan Hellenistis dengan
gagasan serta gambaran apokalyptis Yahudi. Sebagai contoh, kita dapat
mencermati 2 Petrus 1:3-11. Dalam perikop ini, penulis meringkaskan ajaran
etisnya dalam terminologi, yang mungkin paling Hellenistis dalam PB. Namun pada
sisi lain, terutama dalam 2 Petrus 3:3-13, penulis secara akurat dan efektif
juga menampilkan gagasan-gagasan apokalyptis Yahudi. Kombinasi gaya teologis
ini dimaksudkan untuk memahami dan mempertahankan pesan rasuli bagi situasi
kultural masa post-rasuli. Pada satu
pihak, penulis berusaha mendasarkan tulisannya pada sumber-sumber dan
gagasan-gagasan yang dekat dengan pemikiran apokalyptis jemaat perdana,
termasuk surat Yudas. Namun pada pihak lain, untuk menyampaikan pesan Injil, ia
juga menggunakan bahasa Hellenistis. Dapat dikatakan bahwa surat ini merupakan
saksi yang berharga tentang pergulatan transisional kekristenan dari lingkungan
Yahudi ke lingkungan Hellenisme.[36]
a. Mengenai
manusia
Pada dasarnya,
gagasan surat 2 Petrus tentang manusia tidak jauh berbeda dengan gagasan surat
1 Petrus. ‘Jiwa’ diartikan sebagai manusia seutuhnya, dan bukan sekadar sisi
rohani kehidupan manusia. Dalam 2 Petrus 2:8 dikatakan bahwa Lot, ‘jiwanya yang
benar,’ tersiksa; sedangkan dalam 2 Petrus 2:14 dikatakan bahwa nabi-nabi palsu
“memikat ‘orang-orang yang lemah’ (psukhas
astēriktous).” Namun, agaknya juga
terjadi perkembangan penggunaan kata psukhē,
yang di dalamnya tercakup pula ‘akal budi’ (mind,
nous).
Sementara orang menilai gambaran tentang manusia dalam 2 Petrus 1:4 sebagai
sangat Hellenistis, sehingga tidak sesuai dengan gagasan tentang manusia dalam
teks-teks PB yang lain. Kesulitan timbul karena adanya anak kalimat “supaya
olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi.” Secara implisit, anak
kalimat tersebut mengandaikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kodrat ilahi.
Hanya saja, untuk sementara waktu, mereka terpisah dari Allah, sehingga harus
kembali kepada Allah. Dengan ungkapan itu, penulis 2 Petrus dinilai telah
menggunakan terminologi Hellenis, sebagaimana digunakan oleh Philo dan
Yosephus.
Tetapi, kita dapat memahaminya dari sisi lain. Dalam ayat ini, penulis ‘meminjam’
bahasa Gnostikisme, namun tidak bermaksud mengungkapkan gagasan Hellenis
tentang manusia, bahwa untuk mencapai keselamatan, manusia harus melepaskan
diri dari dunia kebendaan (materi), melainkan menekankan bahwa orang beriman
seharusnya melepaskan diri dari ‘hawa nafsu duniawi.’ Di dalamnya tidak ada
pemikiran bahwa pada dasarnya dunia memang jahat dan harus dihindari. ‘Hawa
nafsu duniawi’ (epithumia) merupakan
istilah yang berarti ‘nafsu jahat.’ Ungkapan “mengambil bagian dalam kodrat
ilahi” berarti “mengambil bagian dalam ‘sifat hakiki Allah’ (the natural
character of the godhead),” yang adalah kekudusan dan kebenaran. Hidup
kudus dan benar merupakan tanggung jawab, sekaligus merupakan konsekuensi logis
kehidupan Kristen. Hal ini hanya mungkin terjadi karena Allah sendiri telah
memprakarsainya. Gagasan ini menghindarkan pendewaan manusia, sebagaimana
terdapat dalam agama-agama misteri, bahwa manusia, dengan kekuatannya sendiri,
dapat melepaskan diri dari ikatan dunia dan kembali menyatu dengan yang ilahi.
b. Iman yang
berharga
Penulis 2
Petrus mengawali suratnya dengan ucapan salam kepada jemaat, yang digambarkan
sebagai “orang-orang yang telah memperoleh iman” oleh keadilan Allah dan
Juruselamat kita, Yesus Kristus (2Ptr. 1:1). Artinya, jemaat telah memiliki
iman kepada Injil, sebagaimana penulis mengimaninya. Tentu saja, iman terhadap
Injil adalah sesuatu yang sangat berharga. Iman yang sangat berharga ini hanya
diperoleh jemaat karena kedatangan Yesus sebagai penyata kebenaran dan keadilan
Allah. Tempat kata ‘kita’ dalam ayat ini sesungguhnya memiliki dua kemungkinan,
dapat di belakang kata ‘Allah,’ atau dapat pula di belakang ‘Juruselamat,’ seperti
terjemahan LAI. Jadi, anak kalimat “... en
dikaiosunē(i) tou Theou hēmōn kai
sōtērios Iēsou Khristou” dapat diterjemahkan “... dalam keadilan Allah kita
dan Juruselamat, Yesus Kristus” atau “... dalam keadilan Allah dan Juruselamat
kita, Yesus Kristus.” Agaknya lebih tepat terjemahan pertama, karena, untuk
para pembacanya, yang adalah orang-orang Yahudi, penulis ingin menekankan bahwa
Allah yang disembah, baik oleh penulis maupun oleh jemaat, adalah Allah yang
sama dengan Allah Israel. Jadi, ‘Allah kita’ dalam ayat ini berarti ‘Allah
Israel,’ Allah nenek-moyang mereka, bukan Allah yang lain. Allah Israel itulah,
yang dalam rangka menggenapi janji-Nya kepada nenek-moyang sejak purbakala,
kini menyatakan diri dalam Yesus Kristus. Karena itu, melalui Dia, mereka dapat
memperoleh iman. Pada hakikatnya, iman merupakan pengenalan akan Allah secara
benar. Tentu saja, iman terhadap Allah yang telah memenuhi janji-Nya itu
merupakan sesuatu yang sangat berharga.
Kata Yunani dikaiosunē dalam
makna agamawi lebih tepat diterjemahkan ‘kebenaran’ (righteousness) daripada ‘keadilan.’ Kata depan (preposisi) en, yang diikuti dengan kata benda dalam
bentuk datif, memiliki arti yang sangat beragam, tergantung pada konteks
pemakaiannya. Dalam ayat ini, en
agaknya lebih tepat dipahami dalam pengertian “kondisi yang di dalamnya suatu
peristiwa terjadi.” Jadi, jika dikatakan bahwa mereka memperoleh iman “en dikaiosunē(i) Theou hēmōn,” maka
maksudnya adalah “mereka memperoleh iman dalam kebenaran Allah.” Sekali lagi,
hal ini menunjukkan betapa berharganya iman itu, karena diperoleh dalam
kebenaran Allah.
c. Ajaran
ortodoks dan kejahatan guru-guru palsu
Tujuan utama 2
Petrus adalah untuk melawan ajaran sesat. Siapakah guru-guru palsu yang dilawan
oleh surat ini tetap menjadi perdebatan. Namun yang jelas, mereka membela diri
dengan dasar penafsiran Kitab Suci
(1:20-21), karena itu, disebut sebagai guru-guru palsu. Mereka menolak
unsur-unsur pokok ajaran eskhatologi tradisional mengenai malaikat, parousia, penghakiman terakhir dan akhir
dunia ini. Mereka juga menyangkal Tuhan dan menghina kebenaran kuasa ilahi. Dengan
sikap yang sombong mengajarkan doktrin kebebasan yang keliru, senang
berfoya-foya, serakah dan mabuk hawa nafsu. Ada dugaan bahwa guru-guru palsu
ini berasal dari salah satu kelompok Gnostikisme.[37]
Usaha untuk melawan guru-guru palsu dipaparkan dalam 2 Petrus 2:1-22. Hal
ini didasarkan pada Yudas 4-16. Perikop ini menggambarkan guru-guru palsu yang
dipaparkan dalam surat Yudas dan menggunakan beberapa contohnya. Merupakan hal
yang menarik bahwa 2 Petrus secara hati-hati membersihkan Yudas dari segala
rujukan di luar Kitab Suci kanonik, karena pada saat itu, kanon Yahudi telah
ditetapkan. Dalam surat Yudas kita temukan rujukan pada mitos mengenai kuburan
Musa, gambaran dalam kitab Henokh berdasar petunjuk perputaran bintang dan
kutipan dari Henokh 1:9. Dalam 2 Petrus, ketiga hal itu dihilangkan. Namun,
tidak berarti bahwa penulis 2 Petrus keberatan terhadap gagasan apokalyptis,
melainkan keberatan atas penggunaan dokumen-dokumen yang dikhawatirkan tidak
akan diterima dalam proses kanonisasi yang dilakukan oleh umat Kristen.[38]
Penulis surat ini menempatkan diri sebagai penyambung lidah jemaat
ortodoks, yang mengklaim memiliki penafsiran yang benar atas Kitab Suci.
Penulis mengklaim memiliki profētikos
logos yang berarti ‘firman profetis,’ ‘firman kenabian’ (prophetic word, LAI menerjemahkannya “firman
yang telah disampaikan oleh para nabi,” 1:19), sehingga mampu menjamin
kepastian akan datangnya Hari Tuhan. Janji tentang parousia didasarkan pada nubuat alkitabiah. Artinya, kebenaran
janji itu dijamin oleh Kitab Suci, yang dipahami oleh penulis sebagai nubuat
yang disampaikan oleh orang-orang yang berbicara atas nama Allah karena
dorongan Roh Kudus (1:20-21). Kita melihat bahwa dalam batas tertentu, 2 Petrus
merupakan saksi paling awal perkembangan kanon Kitab Suci Kristen.
Dalam rangka memberikan tekanan yang seimbang terhadap harapan yang tak
tergoyahkan akan datangnya parousia dengan
kesia-siaan untuk memperhitungkan waktu kedatangannya, penulis menggunakan
gambaran tipologis antara hukuman Allah atas bumi ini melalui air bah dengan
hukuman eskhatologis yang kelak akan terjadi (3:5-7). Namun, manusia tidak
mungkin memperhitungkan kedatangannya, sebab bagi Tuhan, sehari adalah seperti
seribu tahun dan seribu tahun seperti sehari (3:8, bdk. Mzm. 90:4) dan
kedatangannya bak pencuri di malam hari (3:10, bdk. 1Tes. 5:2; Mat. 24:29-31,
43; Why. 3:3; 16:15).
Penulis 2 Petrus ingin mengajak jemaat kembali pada pengetahuan yang benar
tentang Yesus Kristus, Juruselamat (bdk. 1:1-2), bahwa Dialah penyataan diri
Allah (1:17). Dialah sekarang Tuhan sejarah (bdk. 3:8-10, 15a, 18). Melalui
Dialah orang beriman dapat ambil bagian dalam ‘kodrat ilahi’ (theias fusis, 1:4). Kata Yunani fusis berarti natural character (sifat dasar atau sifat hakiki), sedangkan theia berarti ‘keallahan’ atau
‘ketuhanan’ (Godhead). “Theias fusis” berarti “the natural character of the godhead and
everything that belongs to it” (sifat hakiki ketuhanan dan segala sesuatu
yang terlekat padanya).[39] Jadi, jika dikatakan
bahwa melalui Yesus orang beriman dapat ambil bagian dalam ‘kodrat ilahi,’ maka
maksudnya adalah: melalui Yesus, orang beriman boleh ambil bagian dalam sifat
hakiki ketuhanan, yaitu kekudusan dan kebenaran yang melekat padanya.
Kebajikan yang dipaparkan dalam 2 Petrus 1:5-6, merupakan pengkristenan
sejumlah kebajikan populer dalam dunia Hellenistis. “Kamu harus berusaha
sungguh-sungguh menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan
pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri
ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan.” Sedangkan ayat 7, yaitu kasih
kepada saudara-saudara dan kasih kepada semua orang, sepenuhnya merupakan pola
kehidupan Kristen yang diajarkan oleh Yesus.
Dalam pasal 2, lebih lanjut penulis memperingatkan jemaat agar menjaga diri
terhadap guru-guru palsu yang akan membawa mereka kepada pengajaran-pengajaran
sesat yang membinasakan, bahkan menyangkal Penguasa, penebus mereka (2:1). Peringatan
untuk melawan guru-guru palsu ini didasarkan pada Yudas 4-16, bahkan
menggunakan banyak contoh yang diambil dari surat Yudas. Hanya saja, secara
hati-hati penulis Petrus berusaha membuang referensi di luar Kitab Suci kanonik
(seperti telah dikatakan, saat itu proses kanonisasi Yahudi sedang
berlangsung).
Sesungguhnya, guru-guru palsu itu hanya mencari untung dengan ‘menjual’
cerita-cerita isapan jempol. Memang, banyak orang tergiur untuk mengikuti cara
hidup mereka yang dikuasai hawa nafsu, sehingga meninggalkan ‘Jalan Kebenaran’
(2:2). Dua kejahatan guru-guru palsu itu, yaitu mencemarkan diri dan menghina
pemerintahan Allah, selalu diikuti dengan keberanian dan keangkuhan untuk
menghujat kemuliaan Allah (2:10). Rupanya sikap-sikap itu merupakan rangkaian
sebab-akibat yang satu sama lain tak terpisahkan. Mencemarkan diri dan menghina
pemerintahan Allah selalu berarti menghujat kemuliaan Allah pula.
Kontras antara ayat 11 dan 12 dalam 2 Petrus 2 sangat mencolok. Guru-guru
palsu itu hanyalah manusia. Malaikat yang lebih kuat dan lebih berkuasa
daripada manusia saja tidak pernah menghujat, tetapi dengan angkuh guru-guru
palsu itu menghujat kemuliaan Allah. Karena alasan itulah maka penulis menyebut
mereka tidak berakal, sama seperti binatang yang hanya dilahirkan untuk
ditangkap dan dimusnahkan. Mereka menghujat apa yang tidak mereka ketahui,
sehingga mereka akan dibinasakan seperti binatang liar. Betapa buruknya
perilaku mereka digambarkan dalam 2:13-14. Dalam ayat 15 dikatakan bahwa
guru-guru palsu itu telah meninggalkan Jalan Kebenaran dan tersesat mengikuti
jalan Bileam bin Beor, yang menjual karunia profetisnya demi uang. Secara
keseluruhan, 2 Petrus 2:12-16 mengingatkan kita pada Yudas 8-12.
d. Mengenai
hari Tuhan
Dalam 1 Petrus
kita mendapat kesan bahwa penulis mengharapkan parousia akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, dalam 2 Petrus,
penulis menyadari bahwa harapan tersebut tidak akan segera terjadi (3:4).
Mengenai keterlambatan parousia ini,
penulis memberi beberapa alternatif jawaban, antara lain seperti dikemukakannya
dalam 3:8, bahwa ukuran waktu bagi Tuhan berbeda dengan ukuran waktu bagi kita
(bdk. Mzm. 90:4). Artinya, Tuhan memiliki waktu-Nya sendiri, yang tidak harus
sama dengan waktu kita. Dalam 3:11, penulis memberikan alternatif lain, bahwa
Tuhan tidak mungkin lalai akan janji-Nya. Kalaupun parousia belum terjadi, hal itu harus dipahami sebagai kesabaran
Tuhan dalam memberi kesempatan seluas-luasnya kepada manusia untuk bertobat. Alasan lamanya waktu penantian bukanlah kelambanan, melainkan penderitaan
yang amat panjang. Kedatangan Kristus yang kedua akan
berarti deraan dahsyat dalam penghakiman. Meskipun harus terjadi, hal ini tidaklah menyenangkan hati Allah. Ia tidak menginginkan seorang pun binasa, melainkan agar semua orang
bertobat. Jadi, kini alternatifnya cukup jelas: bertobat atau binasa.
Dalam 3:10, penulis memberi penjelasan bahwa hari Tuhan akan datang seperti
pencuri di malam hari, waktunya tidak diketahui dan bukan kewenangan manusia
untuk meramalkan atau memperhi-tungkannya (3:1-10). Ketika waktu itu tiba,
penghakiman akan menimpa. Tuhan akan datang ketika manusia tidak mengharapkan-Nya,
sama seperti kedatangan pencuri di malam hari. Karena itu harus selalu siaga
untuk menyambut hari-Nya. Sebagaimana ditunjukkan Alkitab, ‘hari’ Tuhan itu
bisa saja terdiri dari ribuan tahun. Hari Tuhan itu akan dimulai dengan
kedatangan-Nya dan tidak akan diakhiri sebelum langit dan bumi ini berlalu,
dihancurkan dengan api. Hari Tuhan adalah suatu periode yang ditandai oleh
peninggian Kristus sebagai Tuhan dan pelaksana kehendak Allah, ketika
orang-orang benar ikut memerintah bersama Dia.
Peringatan akan datangnya hari Tuhan yang akan diikuti dengan lenyapnya
bumi dengan segala isinya, harus disongsong dengan persiapan, yaitu dengan kekudusan
hidup orang percaya, sambil menantikan langit baru dan bumi baru, yang di
dalamnya hanya ada kebenaran (3:10-13). Semua yang akan terjadi dinyatakan dalam
kata-kata profetis (3:14-18). Tertundanya parousia
justru harus dipahami sebagai kesabaran Allah, supaya manusia medapat
kesempatan untuk bertobat dan memperoleh keselamatan (3:15). Sesungguhnya Allah
menghendaki agar semua orang menggunakan kesempatan itu untuk bertobat dan
memperoleh hidup.
e. Kebenaran
nubuat
Tampaknya,
dalam 3:2-7, secara tiba-tiba penulis kembali pada masalah kebenaran nubuat. Ia memaparkan antagonisme yang akan terjadi antara orang-orang beriman
dengan musuh-musuhnya. Hal itu sudah dinubuatkan oleh para nabi, karena itu, jemaat
diingatkan agar mengingatnya, mengingat nubuat yang telah diucapkan nabi-nabi
dan mengingat perintah Juruselamat yang telah disampaikan oleh para rasul. Di
samping itu, mereka harus pula mengetahui kebenaran nubuat para nabi, bahwa
pada zaman akhir akan tampil pengejek-pengejek, yaitu orang-orang yang menuruti
hawa nafsunya. Mereka menertawakan jemaat dengan ejekan-ejekannya, bahwa
penantian jemaat akan datangnya parousia
merupakan hal yang sia-sia. Dengan sinis mereka bertanya, “Bukankah sejak
bapa-bapa leluhur meninggal hingga saat ini keadaan sama saja?” Artinya,
setelah ditunggu sekian lama, Kristus toh tidak datang-datang juga (3:4). Mereka
sengaja tidak mau tahu tindakan Allah, yang melalui firman-Nya telah menghu-kum
bumi dengan air bah (3:4-5). Namun dengan firman itu pula Allah memelihara
langit dan bumi dari dulu hingga datangnya Hari Penghakiman, yang merupakan
hari kebinasaan orang-orang fasik (3:7). Dalam 3:9-10, penulis menegaskan bahwa
hari Tuhan yang mereka harapkan itu pasti datang, sekalipun waktunya tak dapat
diperhitungkan.
Dengan menandaskan bahwa nubuat para nabi itu benar adanya, penulis bukan
hanya menghibur dan menguatkan jemaat, melainkan juga mengingatkan mereka agar
mempersiapkan diri untuk menyongsong kedatangan Hari Penghakiman itu. Jemaat
dipanggil untuk hidup tidak bercacat dan tidak bernoda di hadapan Allah dan
tetap berada dalam perdamaian dengan Dia (3:14). Kebenaran nubuat para nabi secara
keseluruhan mendatangkan sukacita bagi orang beriman. Dengan gambaran-gambaran
yang diberikan ini, tampak jelas bahwa penulis 2 Petrus berada dalam garis
pemikiran apokalyptis Yahudi. Ia berpegang pada keyakinan bahwa sebelum
datangnya Hari Penghakiman, akan tampil para antikris dan jemaat harus
menghadapinya dengan keteguhan iman.
Hal yang menarik, dalam bagian penutup ini penulis merujuk kepada
surat-surat Paulus. Dalam 3:15-17, jelas terlihat bahwa surat-surat Paulus
sudah dikenal sebagai suatu kumpulan yang dianggap sebagai bagian ’Kitab Suci’
Kristen [paling tidak meliputi: Injil-injil Sinoptis (lht. 1:17), 1 Petrus
(lht. 3:1) dan kumpulan surat-surat Paulus, yang dikatakan “Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar dipahami,
sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya,
memutar-balikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti juga mereka
buat dengan tulisan-tulisan yang lain” (lht. 3:16)]. Ayat 16 ini menyiratkan
bahwa guru-guru palsu itu telah menggunakan surat-surat Paulus untuk membenarkan
diri, sekalipun diputarbalikkan dan disalahmengerti.
[1] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm.
383; Perrin & Duling, The New
Testament, hlm. 371.
[2] W.G. Kümmel, Introduction to the New Testament, hlm.
424.
[3] Paul J. Achtemeier, “1
Peter: A Commentary on First Peter” dalam Eldon Jay Epp (ed.), Hermenia: A Critical and Historical
Commentary on the Bible (Minneapolis: Fortress, 1996), hlm. 4-5.
[4] Udo Schnelle, The History and Theology of the New
Testament Writings (London: SCM Press, 1998), hlm. 400.
[5] Donald Guthrie, New Testament Introduction, hlm. 504
dbr.
[6] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm.
417.
[7] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm.
418.
[8] Perrin & Dulling, The New Testament, hlm. 379.
[9] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm.
419.
[10]Richard J. Bauckham,
“Jude” dalam Metzger dan Coogan, The
Oxford Companion to the Bible, hlm.396-397.
[11] Robert M. Grant, A Historical
Introduction To The New Testament, bab 14.
[12] Donald Guthrie, Introduction
to the New Testament, 4th ed. (Leicester: Apollos, 1990), hlm. 820.
[13] E. M. B. Green, 2
Peter Reconsidered, p. 27.
[14] Yaitu “Paulus yang
diberkati”, “Paulus yang mulia dan diberkati”, dan “Paulus yang disucikan dan
diberkati,” dikutip dalam J. B. Major, The Epistle of St Jude and the Second
Epistle of St Peter (1907), hlm. 166; Donald Guthrie, Introduction to
the New Testament, hlm. 826; referensi kutipan kuno adalah 1 Clement
47:1 dan Polycarpus, Ad Phil. 11; Ad Phil. 3; Ignatius, Ad Eph.
12:2.
[15] Guthrie, Introduction
to the New Testament, hlm. 827.
[16] S. Theodor Zahn, Introduction
to the New Testament II, hlm. 250; Charles A. Bigg, ‘The Epistles of St
Peter and St Jude’, dalam International Critical Commentary (1901).
[17] E. M. B. Green, 2
Peter Reconsidered (1961), hlm. 10-11; ibid., ‘The Second Epistle General
of Peter and the General Epistle of Jude’, dalam Tyndale New Testament
Commentary (1987).
[18] Ben Witherington III, “A
Petrine Source in 2 Peter”, Society of Biblical Literature Seminar Papers
(1985), hlm. 187-192.
[19] Bahwa mayoritas ahli
biblika menganggap 2 Petrus sebagai pseudopigraf tampak dari catatan-catatan
untuk setiap paragraph seperti dalam komentar Daniel Wallace, Werner G. Kümmel,
Stephen Harris, Douglas Moo dan Donald Alan Carson.
[20] Daniel Wallace, Second Peter:
Introduction, Argument, and Outline
[23] Donald Alan Carson dan
Douglas J. Moo, An Introduction to the
New Testament (Zondervan, Canada: HarperCollins, 2nd ed, 2005),
hlm. 659.
[24] Schnelle, The History of the New Testament Writings,
hlm. 425-426.
[25] A. Chester & R.P.
Martin, The Theology of the letters of
James, Peter & Jude (CUP, 1994), hlm. 144
[27] Schnelle, The History of the New Testament Writings,
hlm. 426-427.
[28] Richard J. Bauckham
(1983), World Bible Commentary,
Vol.50, Jude-2 Peter, Waco, hlm. 158.
[29] M.J. Kruger (1999), “The
Authenticity of 2 Peter,” Journal of the Evangelical Theological Society 42.4,
hlm. 645-671.
[30] S. T. Zahn, Introduction
to the New Testament II, hlm. 250
[31] F. Spitta, Der Zweite
Brief des Petrus und der Brief des Judas (1885)
[32] C. Bigg, ‘The Epistles of
St Peter and St Jude’, in International Critical Commentary.
[33] E. M. B. Green, 2
Peter Reconsidered (1961) dan karya-karyanya yang lain.
[34] Jeremy Duff, "2
Peter" dalam Oxford Bible Commentary
(Oxford: Oxford University Press, 2001).
[35] Perrin dan Dulling, The New Testament: An Introduction, hlm.
381.
[36] Richard J. Bauckham, “2
Peter” dalam Bruce M. Metzger dan Michael D. Coogan (eds.), The Oxford Companion to the Bible (New
York: Oxford University Press, 1993), hlm. 588.
[37] Schnelle, The History of the New Testament Writings,
hlm.
[38] Perrin and Dulling, The New Testament, hlm. 383.
[39] William F. Arndt and F.
Wilbur Gingrich, A Greek-English Lexicon
of the New Testament and other Early Christian Literature (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1958), hlm. 353.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar