Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Minggu, 26 Mei 2013

melihat maksud sejarah dari kitab Kidung Agung di PL

Dibuat untuk memenuhi tugas Hermeneutik Perjanjian Lama II
Kitab Kidung Agung
Dosen Pengampu
Pdt. Bimbing Kalvari M.th




Dibuat oleh
Nelsia Kartika Friliya Pasaribu
11. 16. 21



SEKOLAH TINGGI TEOLOGI
GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS
Banjarmasin,  2012

Kitab Kidung Agung

1.     LATAR BELAKANG BUDAYA, SOSIAL DAN EKONOMI


Kitab Kidung Agung (Syirul’Asyar, song of Songs) Kitab ini adalah yang pertama dari lima gulungan (megillot) dan dibaca pada hari raya Paskah, yaitu pesta untuk memperingati kelepasan dari Mesir.Nama kitab ini diambil dari ayat pertama, “Kidung Agung dari Salomo” yang berarti nyanyian paling indah dari semua nyanyian. Kitab Kidung Agung berisi kumpulan nyanyian cinta. Kitab ini disusun untuk mengingatkan Bangsa Israel akan hubungan cinta kasih Allah dengan umat-Nya.

Budaya mengenai tanggapan orang terhadap kitab ini sudah lama tidak ada persetujuan, baik dari pihak agama Kristen maupun dari pihak agama Yahudi. Di Yamnia pada tahun 100, barulah dalam sinode kitab Kidung Agung diterima atas dasar interpretasi allegoris. Dengan demikian kitab Kidung Agung dipandang sebagai sebuah kitab nyanyian rohani. Menurut tradisi budaya kitab dalam kitab ini ada beberapa nyanyian kitab perkawinan yang di dalamnya pengantin laki-laki memuji pengantin perempuan dan sebaliknya. Mereka sama-sama memuji cinta kasih, pengantin laki-laki dan pengantin perempuan dihormati sebagai raja dan ratu. Sebagai mana biasanya dalam pesta perkawinan. Mengenai tafsirannya, ada beberapa pandangan dari para ahli. Ada ahli yang memandang Kidung Agung sebagai suatu drama selain itu ada juga ahli yang berpendapat bahwa nyanyian ini pada awalnya merupakan nyanyian pesta liturgis untuk merayakan perkawinan antara dewa Tamus dan dewi Isytar, tetapi ternyata teori ini tidak dapat dibuktikan pula. Pandangan yang paling baik ialah pandangan yang mengatakan bahwa dalam kitab ini terdapat kumpulan-kumpulan nyanyian cinta kasih yang dipakai dalam pesta perkawinan oleh pemuda untuk menghormati pengantin itu. Kumpulan ini berasal dari zaman yang muda, yang ternyata dari aramisme dan beberapa kata yang diambil dari bahasa Persia dan Yunani, jadi kira-kira tahun 300.[1]

Setelah zaman pembuangan kehidupan kerohanian Bangsa Israel menghadapi keadaan yang gawat. Kesatuan politik tidak ada, penjajahan terus berlangsung oleh bangsa asing yang satu ke yang lain. Dalam keadaan seperti itu maka berkembanglah pemahaman tentang hubungan cinta kasih Allah kepada Bangsa Israel. Dan hal itulah yang hendak diungkapkan dalam nyanyian-nyanian yang terkumpul dalam kitab Kidung Agung ini.[2] Keadaan ekonomi kitab Kidung Agung ada pada masa kejayaan Salomo.

Sosial dari kitab Kidung Agung adalah kitab ini menjadi lambang bagi Kristus dan gereja, maka Kidung Agung mempunyai arti yang indah dan dalam sekali. Inilah yang menyebabkan kitab ini tidak ternilai harganya bagi orang yang mengasihi Tuhan. Dan dari sumber itu pulalah datangnya inti berita kitab itu, yakni: bahwa persekutuan Kristus dengan umat yang telah ditebusNya adalah sedemikian rupa, sehingga artinya hanya mungkin dapat dinyatakan sedalam-dalamnya melalui lambang hubungan perkawinan yang sejati. Ini berlaku baik dalam hubungan Kristus dengan masing-masing orang Kristen yang telah ditebus dan dikuduskannya. Banyak gambaran dalam Alkitab yang melukiskan persekutuan yang sangat indah itu. Masing-masing gambaran menyatakan satu sifat khas persekutuan itu. Kristus adalah kepala dan kita adalah tubuh, persekutuan yang hidup. Kristus adalah alas dan kita adalah bangunan, persekutuan yang kekal. Kristus adalah pokok anggur dan kita cabang-cabangnya, persekutuan yang menghasilkan buah. Kristus adalah anak sulung dan kita adalah saudara-saudaraNya, hubungan ahli waris. Tapi hubungan yang termulia dan tertinggi artinya, hanya dapat dinyatakan dengan lambang pernikahan manusia. Meskipun banhkan ini gambaran yang belum sempurna. Kristus adalah pengantin laki-laki dan kita adalah pengantin perempuan, karena hubungan ynag paling ideal yang mungkin terjalin antara kita dan Dia ialah hubungan kasih. Inilah arti yang sangat indah yang menjadi inti dari sosial Kidung Agung.[3]

Tujuan kitab Kidung Agung ditempatkan dalam konteks umat Israel zaman pembuangan dan sesudah pembuangan dengan maksud membimbing umat yang terpuruk, supaya mereka kembali menemukan citra utuh sebagai ciptaan Allah. Kidung Agung merupakan suatu pelajaran, suatu perumpamaan luas yang menggambarkan keajaiban dan kekuatan cinta manusia yang merupakan pemberia kasih Allah.

2.                 HAL-HAL KHUSUS

A.   Kanonisitas
Dalam kanon Ibrani Kitab Kidung Agung termasuk pada bagian ketiga yang disebut “Tulisan-tulisan” (Kethubim). Lebih spesifik lagi, kitab ini diletakkan pada posisi pertama dari lima kitab yang biasa disebut Megillot.  Kitab Kidung Agung termasuk dalam kategori antilegomena (kitab-kitab yang sempat diperdebatkan). Beberapa tradisi Yahudi menyiratkan adanya keraguan terhadap kitab ini. Ada beberapa faktor yang dianggap melatar belakangi keraguan ini. Sebagian teologMenduga faktor itu adalah tidak munculnya nama Allah dalam kitab ini. Yang lain meyakini bahwa alasan paling dominan adalah kesan sensual yang ditimbulkan.Yang lain lagi menghubungkannya dengan minimnya nilai relijius dari kitab ini. Kidung Agung tidak segera diterima dalam kanon Yahudi, penegasan Rabi Akiba (kira-kira 100 SM) jelas dimaksudkan untuk mengatasi pihak yang menentang penerimaan kitab itu dan menetapkan kedudukannya dalam kanon untuk selamanya: “seluruh dunia tidak ada nilainya bila dibandingkan dengan hari pada waktu Kidung Agung diberikan kepada Israel; semua kitab adalah kudus”. Jelas sifat erotis Kidung Agung menimbulkan keberatan. Tetapi akhirnya keberatan itu dianggap kurang penting dibandingkan hubungan Kidung Agung dan Salomo, dan penafsiran-penafsiran alegoris oleh para rabi dan orang Kristen mengurangi nada sensual kitab ini. Orang Yahudi mulai menemukan di dalamnya suatu gambaran mengenai kasih Allah yang tiada taranya bagi Israel, sehingga akhirnya mereka tidak ragu menerimanya sebagai kitab suci.


B.   Penulis Dan Waktu Penulisan

Menurut tradisi Yahudi, Kidung Agung ditulis oleh Salomo. Anggapan ini didukung oleh pencantuman nama Salomo pasal 1:1 berbunyi “Kidung Agung dari Salomo”[4]. Kata lisylomo(Kid 1:1) yang secara harfiah berarti “pada Salomo”, dapat menunjukkan pengarangnya. Tetapi, para ahli berpendapat bahwa kitab ini adalah kumpulan syair yang ditulis oleh seorang penulis, ada juga yang berpendapat bahwa kitab ini adalah kumpulan nyanyian cinta atau syair yang dikumpulkan oleh seorang editor. Menurut beberapa pakar Kidung Agung adalah drama, sedangkan pakar-pakar lainnya mengatakan kitab ini hampir sama dengan nyanyian pernikahan Mesopotamia purba atau syair cinta Mesir kuno. Tuhan sama sekali tidak disebut-sebut dalam kitab ini, dan semua syair kelihatannya hanya mengutarakan satu gambaran tentang cinta kasih manusia. Jika kitab Kidung Agung hanya kumpulan syair yang mengekspresikan kekuatan cinta seorang wanita kepada seorang pria dan cinta seorang pria kepada wanita, mengapa kitab ini dimasukkan ke dalam Alkitab? Sampai akhir abad ke-2 M pun para rabi Yahudi masih berpendapat seputar pertanyaan apakah Kidung Agung dapat dipandang sebagai sebuah Kitab Suci atau tidak. Tulisan-tulisan Kristen yang muncul pada tahun-tahun awal era kekristenan juga memperdebatkan hal yang samanamun, akhirnya banyak rabi Yahudi mengatakan bahwa kitab ini melambangkan cinta Tuhan kepada orang Israel. Tafsiran ini mungkin didasarkan dari kitab Hosea 1-3 dan kitab Yeremia 2:20-3:5 yang menggambarkan hubungan antara Tuhan dan Israel bagaikan suami dan Istri. Banyak penafsir Kristen berkesimpulan sama menurut mereka hubungan ini melambangkan hubungan Yesus Kristus (mempelai pria) dan gerja (mempelai wanita). Tafsiran ini membantu proses penerimaan kitab Kidung Agung menjadi bagian Alkitab. Kitab Kidung Agung ditulis pada zaman pada setelah pembuangan. Bahan-bahan ini dipakai untuk membimbing umat yang baru kembali dari pembuangan dan dalam keadaan rapuh. Benar bahwa bahan-bahan itu telah terkumpul dari zaman yang panjang mungkin dari zaman Salomo. Kitab Kidung Agung adalah salah satu dari kitab hikmat baik yang ada dalam kanon perjanjian lama. Ciri-ciri sastra hikmat pada umumnya ada dalam Kidung Agung. Misalnya bersifat universal dan langsung berhubungan dengan pengalaman hidup manusia dan tidak berorientasi pada sejarah. Di dalam Kidung Agung, para bijak mengangkat kehidupan manusia sebagai mana adanya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan diungkapkan tanpa ditutup-tutupi dengan maksud supaya dihargai seadanya. Hubungan sebagai mitra dan dorongan seksualsebagai suatu kenyataan manusia diungkapkan apa adanya. Cara mengungkapkannya dengan bahasa puisi, cara tersebut adalah suatu cara untuk menghindari pengertian negatif kotor dan menjijikkan.[5]

C.   Isi Kitab

۞Pasal1:      Ayat 1 mempelai perempuan dan puteri-puteri Yerusalem (ayat 2-8). Mempelai perempuan dan laki-laki saling puji memuji (ayat 9- 2:7).
۞Pasal 2:     Di pintu mempelai perempuan (ayat 8-17).
۞Pasal 3:     Impian mempelai perempuan (ayat 1-5). Iring-iringan mempelai (ayat 6-11).
۞Pasal4:      Mempelai laki-laki memuji mempelai perempuan (ayat 1-15). Kedua mempelai saling menyapa (ayat 16-5:1)
۞Pasal 5:     Kerinduan mempelai perempuan (ayat 2-8). Mempelai perempuan Memuji mempelai laki-laki dihadapan puteri-puteri (ayat 9-6:3)
۞Pasal 6:     Mempelai laki-laki memuji mempelai perempuan (ayat 4-7:5)
۞Pasal 7:     Kenikmatan cinta (ayat 6-8:4)
۞ Pasal 8:    Cinta kuat seperti maut (ayat 5-7). Mempelai perempuan dan adiknya (ayat 8-10). Lebih bahagia daripada Salomo (ayat 11-12). Kedua mempelai bersahut-sahutan (ayat 13-14).


D.   SIFAT-SIFAT SASTRA

Dalam kitab Kidung Agung yang lebih menonjol adalah puisi cinta dan nyanyian para penyairnya hampir sama dengan orang bijak karena merayakan keagungan perkawinan sebagai karunia dari pencipta dan sebagai kaidah bagi kehidupan manusia. Kebanyakan Kidung Agung merupakan percakapan antara kedua kekasih yang digambarkan sebagai kehangatan dan kekuatan cinta yang terutama pada kiasannya yang jelas dan hidup. Berikut adalah sifat-sifat sastra dalam Kidung Agung.

v  Kidung Penggambaran
Kidung penggambaran dinilai sebagai bahasa yang santun untuk mengungkapkan cinta kasih terhadap seseorang dalam Kidung Agung. Masing-masing kekasih menggambarkan keindahan pasangannya dalam bahasa yang sangat bersifat kiasan. Seperti contoh: seorang gadis yang dipuji dan dicintai digambarkan seperti merpati (4:1) dengan rambut seperti kawanan kambing (4:1) dan gigi seperti kawan domba yang baru selesai dicukur (4:2). Sebaliknya seorang gadis yang memuja pria kekasihnya sebagai yang memiliki kepala seperti emas murni, rambut yang mengombak seperti burung gagak (5:11), dan laki-laki seperti tiang marmar putih (5:15). Dengan cara seperti ini keduanya saling memuja dan saling mendorong menuju kehidupan yang penuh cinta kasih.



v  Identifikasi Diri
Bagaimanapun seorang gadis dipuja dan disanjung, tetapi ia tidak merasa tersanjung hingga lupa diri. Ia tetap menyadari diri sepenuhnya sebagaimana ia ada. Dalam kesadaran itu pula seorang gadis yang terpuja oleh kekasihnya menyadari kekuatan dirinya yang membangkitkan cinta pasangannya.

v  Kidung Kekaguman
Daya tarik seorang laki-laki yang dicintai tidak ditutup-tutupi. Daya tarik sang kekasih secara fisik diungkapkan secara terus terang sebagai suatu dorongan yang membangkitkan cinta yang membara. Contoh buah dada sang gadis betul-betul ditempatkan dalam satu nilai positif dalam tujuan ikatan cinta yang murni.

v  Kidung Kerinduan
Ungkapan-ungkapan ini secara khusus mengemukakan kerinduan untuk bercinta seperti bercumbu, berciuman, merangkul dengan penuh cinta kasih (1: 2,4). Atau kerinduan untuk ditempatkan kedalam hati. Karena gadis itu tidak dapat tidur, karena merindukan kekasihnya, ia berjalan keliling kota untuk mencarinya sekali ia menemukan (3:1-4), tetapi pada kali lain ia tidak menemukannya ia juga frustasi (5:2-7). Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa bukan hanya laki-laki, melainkan perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan penuh perjuangan ia mengungkapkan kerinduan dan cintanya.

v  Nyanyian Menggoda  (kid 1:7-8)
Yang menangkap senda gurau antara kedua kekasih yang ingin bersama-sama (kid 2:14,15 ;5:2,3)

v  Nyanyian Kebanggaan (kid 6:8-10; 8:11,12)
Yang mengungkapkan kesukaan sang kekasih terhadap keunikan gadisnya, kesukaan yang juga dirasakan teman-teman yang bersama memujinya.

v  Ajakan Untuk Bercinta (Kid 2:5,7 4:16 7:11-13 8:14)
Yang diajukan oleh sang gadis, biasanya dalam bentuk perintah.


E.   Cara Menafsirkan

Para ahli mungkin lebih banyak berbeda pendapat tentang asal, arti dan tujuan Kidung Agung, daripada dalam kitab-kitab lain perjanjian lama. Lirik-lirik yang erotik, tidak adanya nada keagamaan, dan tidak ada menyebut nama Allah. Hal itu menyebabkan munculnya tanda tanya bagi para ahli. Sejarah penafsiran penuh dengan teori-teori yang bertentangan dan segala sumber pengetahuan modren, penemuan-penemuan purbakala, penemuan-penemuan besar satra kuno, wawasan tentang psikologi dan sosiologi timur. Sekarang yang pertama yang harus kita fikirkan adalah cara menafsirkan kitab Kidung Agung ini. Tepat pendapat yang mengatakan bahwa “diantara segala firman Tuhan, Kidung Agung inilah yang sukar dipahami dan diselami rahasianya oleh orang-orang yang tidak bisa berfikir secara rohani”
Bagaimana pendapat kita? Apakah Kidung Agung melulu mengutarakan kasih manusia, atau apakah kitab ini mempunyai arti rohani? Dan mengandung amanat Ilahi yang harus kita miliki? Dalam menafsirkan Kidung Agung haruslah berhati-hati. Berikut adalah beberapa tafsiran yaitu:


Ӝ Tafsir Naturalistis

Tafsir naturalistis mengatakan bahwa Kidung Agung hanya himpunan nyanyian kasih sayang, atau dendang-dendang cinta-kasih yang dikumpulkan mengingat keindahan bahasanya. Nyanyian-nyanyian ini tidak mempunyai arti kiasan atau lambang, walaupun mungkin bertujuan mengutarakan kasih manusia yang ideal. Teori ini memberikan penjelasan bagaimana Kidung Agung dapat dimasukkan menjadi bagian Alkitab. Mengingat betapa tinggi bangsa Ibrani menjunjung kitab sucinya, dan mengingat pula betapa berati-hatinya bangsa itu menjaga agar dalam Alkitab tidak masuk suatu kitab kecuali yang diilhamkan oleh Tuhan. Maka tidak masuk akal bahwa penempatan dalam Kidung Agung kedalam Alkitab semata-mata berdasarkan keindahan bahasanya saja. Tidak ada satu kitabpun yang melulu dimasukkan karena keindahan bahasanya. Penempatan suatu kitab dalam Alkitab ialah sebab kitab itu bersifat agamawi atau mengandung hal-hal yang bertalian dengan kedudukan nasional bangsa ibrani.


Ӝ Tafsir Alegoris

Mungkin penafsiran alegoris dan tradisi yang menyebut Salomo sebagai penulis Kidung Agung menyebabkan kitab ini masuk dalam kanon Alkitab. Penafsiran Yahudi yang paling awal (dalam Misyna dan Talmud) menerangkan bahwa Kidung Agung menggambarkan kasih Allah bagi Israel. Hal ini menjelaskan mengapa kitab ini digunakan pada hari paskah, yang merayakan perjanjian kasih Allah. Namun para rabi tidak puas dengan penjelasan umum tentang hubungan Allah dengan Israel, sehingga mereka brusaha menemukan rujukan kepada peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Israel. Tidak dapat disangkal ribuan orang Kristen dan orang Yahudi telah memperoleh manfaat rohani dari penafsiran Kidung Agung secara alegoris.


Ӝ Tafsir Lambang

Tafsir lambang terletak antara teori Naturalistis dan Alegoris. Teori lambang mengatakan bahwa Kidung Agung mempunya dasar sejarah tapi selaras dengan firman Tuhan yang lain, juga mengandung tujuan agamawi dan isi rohani. Dalam kitab Kidung Agung dilukiskan teladan kasih manusiawi, guna memimpin jiwa kita ke dalam penghayatan tentang makna persekutuan dengan Allah. Memang kenyataan-kenyataan itu adalah fakta-fakta sejarah, tapi untuk tujuan agamawi maka fakta-fakta sejarah ini lalu diangkat ke dalam alam puisi. Oleh pengilhaman Roh Allah, maka kenyataan-kenyataan itu dilukiskan secara ideal dan diberi makna rohani.


Ӝ Tafsir Tipologis

            Metode ini berusaha menghindari subjektifitas tafsiran alegoris dan mempertahankan pengertian harfiah puisi itu, dengan menekankan tema-tema utama tentang kasih. Dalam kehangatan dan kekuatan tentang kasih sayang secara timbal balik antara kedua kekasih itu, para penafsir tipologi ini mendengar nada hubungan antara Kristus dengan jemaat-Nya. Pandangan ini didasarkan pada kesejajaaran puisi cinta orang Arab, yang memiliki pengertian mistik atau rahasia.

Ӝ Tafsir Dramatis
Origenes, kira-kira 240SM, dan Milton abad ke-17 memperlakukan kitab ini sebagai drama. Tafsiran secara drama dengan dua lakon memperlihatkan pernikahan yang berbahagia antara Salomo dan gadis Sulam[6]. Teori dua pelaku itu biasanya memandang Kidung Agung sebagai drama yang memuji cinta kasih yang sifatnya lebih daripada cinta jasmani saja, yang mengikat Salomo dengan gadis Sulam lebih daripada selir-selir lainnya. Pelajaran yang diberikan oleh tafsiran ini ialah agar pernikahan orang Kristen rukun dan bahagia seperti pernikahan Salomo dan gadis Sulam.Tafsiran secara drama dengan tiga lakon mengajar bahwa hidup pernikahan orang Kristen harus menjunjung tinggi kesetiaan kepada pasangan kita. Meskipun ada rayuan dari pihak ketiga, tetapi suami atau istri tidak boleh jatuh oleh rayuan tersebut. Tafsiran ini juga memberikan pelajaran rohani yang baik. Sebagai pengantin perempuan Kristus (gadis Sulam), orang Kristen harus setia kepada Tuhan (gembala) dan tidak boleh mencintai dunia ini (Salomo).Meskipun cara penafsiran secara drama memberikan pelajaran yang indah tentang hidup pernikahan, tetapi apakah cara penafsiran secara drama ini dapat dibenarkan?
Kalau dipelajari lebih mendalam, maka terlihat bahwa tafsiran secara drama mempunyai beberapa kesulitan. E.J. Young berkata, "Drama tidak pernah ada dalam kehidupan bangsa Yahudi." Ia juga berkata tidak mungkin rohaniawan Yahudi menganggap Kidung Agung sebagai sebuah buku yang diilhamkan oleh Tuhan kalau kitab ini hanya merupakan sebuah drama[7]. Meredith Kline memberikankomentar yang bernada sama dengan Young, yaitu drama tidak dikenal oleh orang Yahudi[8] Harrison berpendapat bahwa tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya drama dalam literatur orang Yahudi.Faktor pembicara juga tidak menyokong bahwa Kidung Agung adalah sebuah drama. Pembicara dalam Kidung Agung tidak jelas ditulis. Driver berpendapat bahwa pembicara dalam Kidung Agung sangat jelas ditulis dan dipakai dengan konsisten. Kalau demikian mengapa Delitzsch berpendapat hanya ada dua pelaku, sedangkan Driver sendiri berpendapat ada tiga pelaku? Kita juga harus memperhatikan pergumulan yang dialami oleh Aalders. Ia menyelidiki bahwa ketika sebuah pembicaraan diucapkan, maka beberapa kali tidak diketahui siapa yang berbicara. Jadi Aalders berkesimpulan bahwa Kidung Agung sama sekali tidak mempunyai karakteristik sebuah drama, bahkan dialog yang ada tidak selamanya dipergunakan.
Lokasi dalam Kidung Agung juga tidak terinci. Kalau pengarang Kidung Agung bermaksud agar Kidung Agung ditafsir sebagai sebuah drama, maka pengarang harus lebih terinci menulis mengenai pembicara, bilamana pembicaraan dimulai dan bilamana pembicaraan berhenti, pergantian tempat dll. Karena hal-hal tersebut di atas tidak jelas dicatat dalam Kidung Agung, maka Delitzsch membagi Kidung Agung dalam enam babak dan dua belas lokasi. Sedangkan Driver membagi Kidung Agung dalam lima babak dan tiga belas lokasi.Jelas orang-orang yang menyokong penafsiran Kidung Agung sebagai sebuah drama harus memperhatikan kesukaran-kesukaran ini. Baik penganut yang berpendapat bahwa Kidung Agung mempunyai dua pelaku utama atau penganut yang berpendapat bahwa Kidung Agung mempunyai tiga pelaku utama harus bergumul dengan kesukaran ini.Akhirnya kita dapat berkata bahwa usaha untuk menafsir Kidung Agung sebagai sebuah drama membutuhkan lebih banyak penjelasan daripada jumlah ayat yang ada dalam Kidung Agung. Untuk menjelaskan dramanya saja kita sudah harus memberikan tafsiran yang banyak macam. Cara penafsiran secara drama sama bersalah seperti cara penafsiran menurut alegori[9].
Ӝ Kidung Penikahan

Penyelidkan wetzstein mengenai upacara di Siria menimbulkan pandangan baru tentang Kidung Agung pada akhir abad yang lalu. Beberapa ahli  (khususnya Budde 1923) membangdngkan perayaan yang berlangsung selama seminggu di Siria itu dengan kidung Agung, dan melihat banyak kesejajaran dengan unsur-unsurnya, misalnya: mempelai laki-laki dan mempelai perempuan diperlakukan seperti raja dan ratu, keindahan dan kebajikan kedua kekasih itu dinyanyikan, mempelai perempuan membawakan tari-tarian pedang (lih Kid 6:13, 7:1); bulan Maret adalah bulan yang disukai (Kid 2:11); pasangan itu dinaikkan ke atas meja yang dihias begitu indah dan dianggap sebagai tahta kerajaan (lih Kid 3:7-10).

            Kesejajaran ini dan yang lainnya menolong penafsiran, tetapi pendekatan ini tidak memberikan jawaban yang tuntas. Menurut Schonfield (1959), kebiasaan perkwinan yang sama dapat ditelusuri dalam kebudayaan Ibrani Kuno. Hal ini belum pasti, tetapi walaupun diterima masih ada masalah karena Kidung Agung dalam bentuknya sekarang tidak dapat dibagi dengan mudah menjadi bagian-bagian yang sesuai untuk tujuh hari.

Ӝ Upacara-upacara Liturgis

            Setiap kali ditemukan pengetahuan baru tentang kehidupan baru di Timur Tengah Kuno, para ahli berusaha menjelaskan perikop-perikop perjanjian lama yang tidak jelas dengan membangdingkannya dengan kebiasaan-kebiasaan agama Mesopotamia, Mesir atau Kanaan. Misalnya ada teori yang bisa dihubungkan dengan Meek (1956) bahwa Kidung Agung berasal dari upacara-upacara liturgis dalam penyembahan dewa Tamus dewa kesuburan Babel. Gabungan percakapan tentang cinta dan latar belakang penggembalaan dalam Kidung Agung dianggap mendukung teori ini, karena upacara-upacara tersebut merayakan pekawinan suci (Yun hieros gamos) antara Tamus dan Istrinya Isytar yang menghasilkan kesuburam musim semi tahunan. Memang agama kafir dapat saja mewariskan istilah-istilah tertentu tanpa disertai kepercayaan yang terkandung dalam istilah-istilah tersebut (misalnya nama-nama bulan, yg diambil dari agama kafir Eropa dahulu kala), namun tampaknya kecil sekali orang Israel akan menerima suatu liturgi kafir. Yang berbau pemujaan kepada berhala dan tindakan asusila.

Ӝ Kidung Cinta-Kasih

            Dalam dasawarsa terkhir ini, beberapa ahli melihat Kidung Agung sebagai suatu puisi atau kumpulan puisi cinta, yang mungkin tetapi tidak harus dihubungkan dengan perayaan perkawinan atau peristiwa tertentu lainnya.  Dalam nada puisi lirik itu, kita dapat merasakan pemberitaan Kidung Agung. Walaupun gerakannya jelas, namun hampir tidak ada alur cerita cinta pasangan itu tetap sama kuat pada permulaan maupun pada akhirnya. Karena itu kekuatan syair itu tidak terletak pada suatu puncak yang tinggi, melainkan pengulangan-pengulangan yang Kreatif dan lembut dari tema-tema cinta yang dirindukan bila berpisah (Kid 3:1-5) dan dinikmati sepenuhnya pada waktu bersama-sama (Kid 7), apakah dalam keindahan istana (Kid 1:2-4) atau dalam ketenangan desa (Kid 7:11) dan dinikmati oleh pasangan perjanjian (Kid 2:16 6:3 7:10). Inilah cinta yang sekuat maut, tidak terpadamkan oleh air yang banyak dan diberikan dengan Cuma-Cuma namun tak terhingga nilainya (Kid 8:6,7)








DAFTAR PUSTAKA

Alkitab, LAI Kitab Kidung Agung
Ev. Cornelius Kuswanto, Pengenalan Terhadap Kidung Agung. www.soteri.com  dikunjungi 10/30/2012 - 11:55
Dr. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, Bandung, Bina Media Informasi, 2009, 172-181

Dr J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, Jakarta, PT BPK-Gunung Mulia, 1979, 157-158

Frances Blankenbaker, Inti Alkitab Untuk Para Pemula, Jakarta, PT BPK-Gunung Mulia, cetakan ke-4 2004, 141

Henry Miller, Mengenal Alkitab Lebih Dekat, Yogyakarta, PT Gloria Usaha Mulia, 2011, 75

J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 2,  Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih OMF, cetakan ke-5 1989, 140-161

Prof. S. Wismoady Wahono, Ph.D, Di sini Kutemukan, Jakarta, PT BPK- Gunung Mulia, 1986, 264

W.S.Lasor & F. W Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, Jakarta, PT BPK-Gunung Mulia, cetakan ke-2 1996, 166-177





[1]  J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 157
[2] Wismoady Wahono, Di sini kutemukan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 264
[3]  J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 2, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,cetakan ke-5 1989), 144
[4]Frances Blankenbaker, Inti Alkitab Untuk Para Pemula, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-4, 2004), 141
[5] Barnabas Ludji, Pemahaman dasar PL 2, (Bandung: Bina media Informasi, 2009), 172-174
[6] Gadis itu disamakan oleh beberapa para ahli dengan putri Firaun yang dikawini oleh Salomo dalam perkawinan politis (1 Raj:31) tapi para ahli juga berpendapat penyamaan itu tidak benar. Dan nama satu-satunya yang dipakai untuk gadis itu, sedangkan turunan dan artinya tidak diketahui. Pernah dihubungkan dengan kota Sulam yang tidak dikenal, atau dianggap suatu variasi gadis Sunem.Gadis dalam Kidung Agung yang pernah disamakan dengan Abisaq Betsyeba. Menurut Rowley (1939), istilah itu adalah bentuk feminin dari nama Salomo.
[7]E. J. Young, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1985), hal.353.
[8] M.G. Kline, "Bible Book of the Month: The Song of Songs," Christianity Today 3 (April, 1959):22.
[9] Ev. Cornelius Kuswanto, Pengenalan Terhadap Kidung Agung. www.soteri.com  dikunjungi 10/30/2012 - 11:55

1 komentar: