Dibuat untuk memenuhi tugas Hermeneutik Perjanjian
Lama II
Kitab Kidung Agung
Dosen Pengampu
Pdt. Bimbing Kalvari M.th
Dibuat oleh
Nelsia Kartika Friliya Pasaribu
11. 16. 21
SEKOLAH
TINGGI TEOLOGI
GEREJA
KALIMANTAN EVANGELIS
Banjarmasin, 2012
Kitab Kidung Agung
1.
LATAR
BELAKANG BUDAYA, SOSIAL DAN EKONOMI
Budaya mengenai tanggapan orang terhadap kitab ini sudah lama tidak
ada persetujuan, baik dari pihak agama Kristen maupun dari pihak agama Yahudi. Di Yamnia pada tahun 100, barulah
dalam sinode kitab Kidung Agung diterima atas dasar interpretasi allegoris.
Dengan demikian kitab Kidung Agung dipandang sebagai sebuah kitab nyanyian
rohani. Menurut tradisi budaya kitab dalam kitab ini ada beberapa nyanyian
kitab perkawinan yang di dalamnya pengantin laki-laki memuji pengantin perempuan
dan sebaliknya. Mereka sama-sama memuji cinta kasih, pengantin laki-laki dan
pengantin perempuan dihormati sebagai raja dan ratu. Sebagai mana biasanya
dalam pesta perkawinan. Mengenai tafsirannya, ada beberapa pandangan dari para
ahli. Ada ahli yang memandang Kidung Agung sebagai suatu drama selain itu ada
juga ahli yang berpendapat bahwa nyanyian ini pada awalnya merupakan nyanyian
pesta liturgis untuk merayakan perkawinan antara dewa Tamus dan dewi Isytar,
tetapi ternyata teori ini tidak dapat dibuktikan pula. Pandangan yang paling
baik ialah pandangan yang mengatakan bahwa dalam kitab ini terdapat
kumpulan-kumpulan nyanyian cinta kasih yang dipakai dalam pesta perkawinan oleh
pemuda untuk menghormati pengantin itu. Kumpulan ini berasal dari zaman yang
muda, yang ternyata dari aramisme dan beberapa kata yang diambil dari bahasa
Persia dan Yunani, jadi kira-kira tahun 300.[1]
Setelah
zaman pembuangan kehidupan kerohanian Bangsa Israel menghadapi keadaan yang
gawat. Kesatuan politik tidak ada, penjajahan terus berlangsung oleh bangsa
asing yang satu ke yang lain. Dalam keadaan seperti itu maka berkembanglah
pemahaman tentang hubungan cinta kasih Allah kepada Bangsa Israel. Dan hal
itulah yang hendak diungkapkan dalam nyanyian-nyanian yang terkumpul dalam
kitab Kidung Agung ini.[2]
Keadaan ekonomi kitab Kidung Agung ada pada masa kejayaan Salomo.
Sosial
dari kitab Kidung Agung adalah kitab ini menjadi lambang bagi Kristus dan
gereja, maka Kidung Agung mempunyai arti yang indah dan dalam sekali. Inilah
yang menyebabkan kitab ini tidak ternilai harganya bagi orang yang mengasihi
Tuhan. Dan dari sumber itu pulalah datangnya inti berita kitab itu, yakni:
bahwa persekutuan Kristus dengan umat yang telah ditebusNya adalah sedemikian
rupa, sehingga artinya hanya mungkin dapat dinyatakan sedalam-dalamnya melalui
lambang hubungan perkawinan yang sejati. Ini berlaku baik dalam hubungan
Kristus dengan masing-masing orang Kristen yang telah ditebus dan
dikuduskannya. Banyak gambaran dalam Alkitab yang melukiskan persekutuan yang
sangat indah itu. Masing-masing gambaran menyatakan satu sifat khas persekutuan
itu. Kristus adalah kepala dan kita adalah tubuh, persekutuan yang hidup.
Kristus adalah alas dan kita adalah bangunan, persekutuan yang kekal. Kristus
adalah pokok anggur dan kita cabang-cabangnya, persekutuan yang menghasilkan
buah. Kristus adalah anak sulung dan kita adalah saudara-saudaraNya, hubungan
ahli waris. Tapi hubungan yang termulia dan tertinggi artinya, hanya dapat
dinyatakan dengan lambang pernikahan manusia. Meskipun banhkan ini gambaran
yang belum sempurna. Kristus adalah pengantin laki-laki dan kita adalah
pengantin perempuan, karena hubungan ynag paling ideal yang mungkin terjalin
antara kita dan Dia ialah hubungan kasih. Inilah arti yang sangat indah yang
menjadi inti dari sosial Kidung Agung.[3]
Tujuan
kitab Kidung Agung ditempatkan dalam konteks umat Israel zaman pembuangan dan
sesudah pembuangan dengan maksud membimbing umat yang terpuruk, supaya mereka
kembali menemukan citra utuh sebagai ciptaan Allah. Kidung Agung merupakan
suatu pelajaran, suatu perumpamaan luas yang menggambarkan keajaiban dan
kekuatan cinta manusia yang merupakan pemberia kasih Allah.
2.
HAL-HAL
KHUSUS
A.
Kanonisitas
Dalam
kanon Ibrani Kitab Kidung Agung termasuk pada bagian ketiga yang disebut
“Tulisan-tulisan” (Kethubim). Lebih spesifik lagi, kitab ini diletakkan pada
posisi pertama dari lima kitab yang biasa disebut Megillot. Kitab Kidung Agung termasuk dalam kategori
antilegomena (kitab-kitab yang sempat diperdebatkan). Beberapa tradisi Yahudi
menyiratkan adanya keraguan terhadap kitab ini. Ada beberapa faktor yang
dianggap melatar belakangi keraguan ini. Sebagian teologMenduga faktor itu
adalah tidak munculnya nama Allah dalam kitab ini. Yang lain meyakini bahwa
alasan paling dominan adalah kesan sensual yang ditimbulkan.Yang lain lagi
menghubungkannya dengan minimnya nilai relijius dari kitab ini. Kidung Agung tidak segera diterima dalam
kanon Yahudi, penegasan Rabi Akiba (kira-kira 100 SM) jelas dimaksudkan untuk
mengatasi pihak yang menentang penerimaan kitab itu dan menetapkan kedudukannya
dalam kanon untuk selamanya: “seluruh dunia tidak ada nilainya bila
dibandingkan dengan hari pada waktu Kidung Agung diberikan kepada Israel; semua
kitab adalah kudus”. Jelas sifat erotis Kidung
Agung menimbulkan keberatan. Tetapi akhirnya keberatan itu dianggap
kurang penting dibandingkan hubungan Kidung Agung dan Salomo, dan
penafsiran-penafsiran alegoris oleh para rabi dan orang Kristen mengurangi nada
sensual kitab ini. Orang Yahudi mulai menemukan di dalamnya suatu gambaran
mengenai kasih Allah yang tiada taranya bagi Israel, sehingga akhirnya mereka
tidak ragu menerimanya sebagai kitab suci.
B.
Penulis
Dan Waktu Penulisan
Menurut
tradisi Yahudi, Kidung Agung ditulis oleh Salomo. Anggapan ini didukung oleh
pencantuman nama Salomo pasal 1:1 berbunyi “Kidung Agung dari Salomo”[4].
Kata lisylomo(Kid 1:1) yang secara
harfiah berarti “pada Salomo”, dapat menunjukkan pengarangnya. Tetapi, para
ahli berpendapat bahwa kitab ini adalah kumpulan syair yang ditulis oleh
seorang penulis, ada juga yang berpendapat bahwa kitab ini adalah kumpulan
nyanyian cinta atau syair yang dikumpulkan oleh seorang editor. Menurut
beberapa pakar Kidung Agung adalah drama, sedangkan pakar-pakar lainnya
mengatakan kitab ini hampir sama dengan nyanyian pernikahan Mesopotamia purba
atau syair cinta Mesir kuno. Tuhan sama sekali tidak disebut-sebut dalam kitab
ini, dan semua syair kelihatannya hanya mengutarakan satu gambaran tentang
cinta kasih manusia. Jika kitab Kidung Agung hanya kumpulan syair yang
mengekspresikan kekuatan cinta seorang wanita kepada seorang pria dan cinta
seorang pria kepada wanita, mengapa kitab ini dimasukkan ke dalam Alkitab?
Sampai akhir abad ke-2 M pun para rabi Yahudi masih berpendapat seputar
pertanyaan apakah Kidung Agung dapat dipandang sebagai sebuah Kitab Suci atau
tidak. Tulisan-tulisan Kristen yang muncul pada tahun-tahun awal era
kekristenan juga memperdebatkan hal yang samanamun, akhirnya banyak rabi Yahudi
mengatakan bahwa kitab ini melambangkan cinta Tuhan kepada orang Israel.
Tafsiran ini mungkin didasarkan dari kitab Hosea 1-3 dan kitab Yeremia 2:20-3:5
yang menggambarkan hubungan antara Tuhan dan Israel bagaikan suami dan Istri.
Banyak penafsir Kristen berkesimpulan sama menurut mereka hubungan ini
melambangkan hubungan Yesus Kristus (mempelai pria) dan gerja (mempelai
wanita). Tafsiran ini membantu proses penerimaan kitab Kidung Agung menjadi
bagian Alkitab. Kitab Kidung Agung ditulis pada zaman pada setelah pembuangan.
Bahan-bahan ini dipakai untuk membimbing umat yang baru kembali dari pembuangan
dan dalam keadaan rapuh. Benar bahwa bahan-bahan itu telah terkumpul dari zaman
yang panjang mungkin dari zaman Salomo. Kitab Kidung Agung adalah salah satu
dari kitab hikmat baik yang ada dalam kanon perjanjian lama. Ciri-ciri sastra
hikmat pada umumnya ada dalam Kidung Agung. Misalnya bersifat universal dan
langsung berhubungan dengan pengalaman hidup manusia dan tidak berorientasi
pada sejarah. Di dalam Kidung Agung, para bijak mengangkat kehidupan manusia
sebagai mana adanya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan diungkapkan tanpa
ditutup-tutupi dengan maksud supaya dihargai seadanya. Hubungan sebagai mitra
dan dorongan seksualsebagai suatu kenyataan manusia diungkapkan apa adanya.
Cara mengungkapkannya dengan bahasa puisi, cara tersebut adalah suatu cara
untuk menghindari pengertian negatif kotor dan menjijikkan.[5]
C.
Isi
Kitab
۞Pasal1: Ayat 1 mempelai perempuan dan puteri-puteri
Yerusalem (ayat 2-8). Mempelai perempuan dan laki-laki saling puji memuji (ayat
9- 2:7).
۞Pasal
2: Di pintu mempelai perempuan (ayat
8-17).
۞Pasal
3: Impian mempelai perempuan (ayat
1-5). Iring-iringan mempelai (ayat 6-11).
۞Pasal4: Mempelai laki-laki memuji mempelai
perempuan (ayat 1-15). Kedua mempelai saling menyapa (ayat 16-5:1)
۞Pasal
5: Kerinduan mempelai perempuan (ayat
2-8). Mempelai perempuan Memuji mempelai laki-laki dihadapan puteri-puteri
(ayat 9-6:3)
۞Pasal
6: Mempelai laki-laki memuji mempelai
perempuan (ayat 4-7:5)
۞Pasal
7: Kenikmatan cinta (ayat 6-8:4)
۞ Pasal 8: Cinta kuat seperti maut (ayat 5-7). Mempelai
perempuan dan adiknya (ayat 8-10). Lebih bahagia daripada Salomo (ayat 11-12).
Kedua mempelai bersahut-sahutan (ayat 13-14).
D. SIFAT-SIFAT SASTRA
Dalam kitab Kidung Agung yang lebih
menonjol adalah puisi cinta dan nyanyian para penyairnya hampir sama dengan
orang bijak karena merayakan keagungan perkawinan sebagai karunia dari pencipta
dan sebagai kaidah bagi kehidupan manusia. Kebanyakan Kidung Agung merupakan percakapan
antara kedua kekasih yang digambarkan sebagai kehangatan dan kekuatan cinta
yang terutama pada kiasannya yang jelas dan hidup. Berikut adalah sifat-sifat
sastra dalam Kidung Agung.
v Kidung
Penggambaran
Kidung
penggambaran dinilai sebagai bahasa yang santun untuk mengungkapkan cinta kasih
terhadap seseorang dalam Kidung Agung. Masing-masing kekasih menggambarkan
keindahan pasangannya dalam bahasa yang sangat bersifat kiasan. Seperti contoh:
seorang gadis yang dipuji dan dicintai digambarkan seperti merpati (4:1) dengan
rambut seperti kawanan kambing (4:1) dan gigi seperti kawan domba yang baru
selesai dicukur (4:2). Sebaliknya seorang gadis yang memuja pria kekasihnya
sebagai yang memiliki kepala seperti emas murni, rambut yang mengombak seperti
burung gagak (5:11), dan laki-laki seperti tiang marmar putih (5:15). Dengan
cara seperti ini keduanya saling memuja dan saling mendorong menuju kehidupan yang
penuh cinta kasih.
v Identifikasi
Diri
Bagaimanapun
seorang gadis dipuja dan disanjung, tetapi ia tidak merasa tersanjung hingga
lupa diri. Ia tetap menyadari diri sepenuhnya sebagaimana ia ada. Dalam
kesadaran itu pula seorang gadis yang terpuja oleh kekasihnya menyadari
kekuatan dirinya yang membangkitkan cinta pasangannya.
v Kidung
Kekaguman
Daya
tarik seorang laki-laki yang dicintai tidak ditutup-tutupi. Daya tarik sang
kekasih secara fisik diungkapkan secara terus terang sebagai suatu dorongan
yang membangkitkan cinta yang membara. Contoh buah dada sang gadis betul-betul
ditempatkan dalam satu nilai positif dalam tujuan ikatan cinta yang murni.
v Kidung
Kerinduan
Ungkapan-ungkapan
ini secara khusus mengemukakan kerinduan untuk bercinta seperti bercumbu,
berciuman, merangkul dengan penuh cinta kasih (1: 2,4). Atau kerinduan untuk
ditempatkan kedalam hati. Karena gadis itu tidak dapat tidur, karena merindukan
kekasihnya, ia berjalan keliling kota untuk mencarinya sekali ia menemukan
(3:1-4), tetapi pada kali lain ia tidak menemukannya ia juga frustasi (5:2-7).
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa bukan hanya laki-laki, melainkan perempuan
juga mempunyai hak yang sama dengan penuh perjuangan ia mengungkapkan kerinduan
dan cintanya.
v Nyanyian Menggoda (kid 1:7-8)
Yang
menangkap senda gurau antara kedua kekasih yang ingin bersama-sama (kid 2:14,15
;5:2,3)
v Nyanyian
Kebanggaan (kid 6:8-10; 8:11,12)
Yang
mengungkapkan kesukaan sang kekasih terhadap keunikan gadisnya, kesukaan yang
juga dirasakan teman-teman yang bersama memujinya.
v Ajakan
Untuk Bercinta (Kid 2:5,7 4:16 7:11-13 8:14)
Yang
diajukan oleh sang gadis, biasanya dalam bentuk perintah.
E. Cara Menafsirkan
Para
ahli mungkin lebih banyak berbeda pendapat tentang asal, arti dan tujuan Kidung
Agung, daripada dalam kitab-kitab lain perjanjian lama. Lirik-lirik yang
erotik, tidak adanya nada keagamaan, dan tidak ada menyebut nama Allah. Hal itu
menyebabkan munculnya tanda tanya bagi para ahli. Sejarah penafsiran penuh
dengan teori-teori yang bertentangan dan segala sumber pengetahuan modren,
penemuan-penemuan purbakala, penemuan-penemuan besar satra kuno, wawasan
tentang psikologi dan sosiologi timur. Sekarang yang pertama yang harus kita
fikirkan adalah cara menafsirkan kitab Kidung Agung ini. Tepat pendapat yang
mengatakan bahwa “diantara segala firman Tuhan, Kidung Agung inilah yang sukar
dipahami dan diselami rahasianya oleh orang-orang yang tidak bisa berfikir
secara rohani”
Bagaimana
pendapat kita? Apakah Kidung Agung melulu mengutarakan kasih manusia, atau
apakah kitab ini mempunyai arti rohani? Dan mengandung amanat Ilahi yang harus
kita miliki? Dalam menafsirkan Kidung Agung haruslah berhati-hati. Berikut adalah
beberapa tafsiran yaitu:
Ӝ Tafsir Naturalistis
Tafsir
naturalistis mengatakan bahwa Kidung Agung hanya himpunan nyanyian kasih
sayang, atau dendang-dendang cinta-kasih yang dikumpulkan mengingat keindahan
bahasanya. Nyanyian-nyanyian ini tidak mempunyai arti kiasan atau lambang,
walaupun mungkin bertujuan mengutarakan kasih manusia yang ideal. Teori ini
memberikan penjelasan bagaimana Kidung Agung dapat dimasukkan menjadi bagian
Alkitab. Mengingat betapa tinggi bangsa Ibrani menjunjung kitab sucinya, dan
mengingat pula betapa berati-hatinya bangsa itu menjaga agar dalam Alkitab
tidak masuk suatu kitab kecuali yang diilhamkan oleh Tuhan. Maka tidak masuk
akal bahwa penempatan dalam Kidung Agung kedalam Alkitab semata-mata
berdasarkan keindahan bahasanya saja. Tidak ada satu kitabpun yang melulu
dimasukkan karena keindahan bahasanya. Penempatan suatu kitab dalam Alkitab
ialah sebab kitab itu bersifat agamawi atau mengandung hal-hal yang bertalian
dengan kedudukan nasional bangsa ibrani.
Ӝ Tafsir Alegoris
Mungkin
penafsiran alegoris dan tradisi yang menyebut Salomo sebagai penulis Kidung
Agung menyebabkan kitab ini masuk dalam kanon Alkitab. Penafsiran Yahudi yang
paling awal (dalam Misyna dan Talmud) menerangkan bahwa Kidung Agung
menggambarkan kasih Allah bagi Israel. Hal ini menjelaskan mengapa kitab ini
digunakan pada hari paskah, yang merayakan perjanjian kasih Allah. Namun para
rabi tidak puas dengan penjelasan umum tentang hubungan Allah dengan Israel,
sehingga mereka brusaha menemukan rujukan kepada peristiwa-peristiwa tertentu
dalam sejarah Israel. Tidak dapat disangkal ribuan orang Kristen dan orang
Yahudi telah memperoleh manfaat rohani dari penafsiran Kidung Agung secara
alegoris.
Ӝ Tafsir Lambang
Tafsir
lambang terletak antara teori Naturalistis dan Alegoris. Teori lambang
mengatakan bahwa Kidung Agung mempunya dasar sejarah tapi selaras dengan firman
Tuhan yang lain, juga mengandung tujuan agamawi dan isi rohani. Dalam kitab
Kidung Agung dilukiskan teladan kasih manusiawi, guna memimpin jiwa kita ke
dalam penghayatan tentang makna persekutuan dengan Allah. Memang
kenyataan-kenyataan itu adalah fakta-fakta sejarah, tapi untuk tujuan agamawi
maka fakta-fakta sejarah ini lalu diangkat ke dalam alam puisi. Oleh
pengilhaman Roh Allah, maka kenyataan-kenyataan itu dilukiskan secara ideal dan
diberi makna rohani.
Ӝ Tafsir Tipologis
Metode ini berusaha menghindari
subjektifitas tafsiran alegoris dan mempertahankan pengertian harfiah puisi
itu, dengan menekankan tema-tema utama tentang kasih. Dalam kehangatan dan
kekuatan tentang kasih sayang secara timbal balik antara kedua kekasih itu, para
penafsir tipologi ini mendengar nada hubungan antara Kristus dengan jemaat-Nya.
Pandangan ini didasarkan pada kesejajaaran puisi cinta orang Arab, yang
memiliki pengertian mistik atau rahasia.
Origenes,
kira-kira 240SM, dan Milton abad ke-17 memperlakukan kitab ini sebagai drama. Tafsiran
secara drama dengan dua lakon memperlihatkan pernikahan yang berbahagia antara
Salomo dan gadis Sulam[6].
Teori dua pelaku itu biasanya memandang Kidung Agung sebagai drama yang memuji
cinta kasih yang sifatnya lebih daripada cinta jasmani saja, yang mengikat
Salomo dengan gadis Sulam lebih daripada selir-selir lainnya. Pelajaran yang
diberikan oleh tafsiran ini ialah agar pernikahan orang Kristen rukun dan
bahagia seperti pernikahan Salomo dan gadis Sulam.Tafsiran secara drama dengan
tiga lakon mengajar bahwa hidup pernikahan orang Kristen harus menjunjung
tinggi kesetiaan kepada pasangan kita. Meskipun ada rayuan dari pihak ketiga,
tetapi suami atau istri tidak boleh jatuh oleh rayuan tersebut. Tafsiran ini
juga memberikan pelajaran rohani yang baik. Sebagai pengantin perempuan Kristus
(gadis Sulam), orang Kristen harus setia kepada Tuhan (gembala) dan tidak boleh
mencintai dunia ini (Salomo).Meskipun cara penafsiran secara drama memberikan
pelajaran yang indah tentang hidup pernikahan, tetapi apakah cara penafsiran
secara drama ini dapat dibenarkan?
Kalau
dipelajari lebih mendalam, maka terlihat bahwa tafsiran secara drama mempunyai
beberapa kesulitan. E.J. Young berkata, "Drama tidak pernah ada dalam kehidupan
bangsa Yahudi." Ia juga berkata tidak mungkin rohaniawan Yahudi menganggap
Kidung Agung sebagai sebuah buku yang diilhamkan oleh Tuhan kalau kitab ini hanya
merupakan sebuah drama[7].
Meredith Kline memberikankomentar yang bernada sama dengan Young, yaitu drama
tidak dikenal oleh orang Yahudi[8]
Harrison berpendapat bahwa tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya drama
dalam literatur orang Yahudi.Faktor pembicara juga tidak menyokong bahwa Kidung
Agung adalah sebuah drama. Pembicara dalam Kidung Agung tidak jelas ditulis.
Driver berpendapat bahwa pembicara dalam Kidung Agung sangat jelas ditulis dan
dipakai dengan konsisten. Kalau demikian mengapa Delitzsch berpendapat hanya
ada dua pelaku, sedangkan Driver sendiri berpendapat ada tiga pelaku? Kita juga
harus memperhatikan pergumulan yang dialami oleh Aalders. Ia menyelidiki bahwa
ketika sebuah pembicaraan diucapkan, maka beberapa kali tidak diketahui siapa
yang berbicara. Jadi Aalders berkesimpulan bahwa Kidung Agung sama sekali tidak
mempunyai karakteristik sebuah drama, bahkan dialog yang ada tidak selamanya
dipergunakan.
Lokasi
dalam Kidung Agung juga tidak terinci. Kalau pengarang Kidung Agung bermaksud
agar Kidung Agung ditafsir sebagai sebuah drama, maka pengarang harus lebih
terinci menulis mengenai pembicara, bilamana pembicaraan dimulai dan bilamana
pembicaraan berhenti, pergantian tempat dll. Karena hal-hal tersebut di atas
tidak jelas dicatat dalam Kidung Agung, maka Delitzsch membagi Kidung Agung
dalam enam babak dan dua belas lokasi. Sedangkan Driver membagi Kidung Agung
dalam lima babak dan tiga belas lokasi.Jelas orang-orang yang menyokong
penafsiran Kidung Agung sebagai sebuah drama harus memperhatikan
kesukaran-kesukaran ini. Baik penganut yang berpendapat bahwa Kidung Agung
mempunyai dua pelaku utama atau penganut yang berpendapat bahwa Kidung Agung
mempunyai tiga pelaku utama harus bergumul dengan kesukaran ini.Akhirnya kita
dapat berkata bahwa usaha untuk menafsir Kidung Agung sebagai sebuah drama
membutuhkan lebih banyak penjelasan daripada jumlah ayat yang ada dalam Kidung
Agung. Untuk menjelaskan dramanya saja kita sudah harus memberikan tafsiran
yang banyak macam. Cara penafsiran secara drama sama bersalah seperti cara
penafsiran menurut alegori[9].
Ӝ Kidung Penikahan
Penyelidkan
wetzstein mengenai upacara di Siria menimbulkan pandangan baru tentang Kidung
Agung pada akhir abad yang lalu. Beberapa ahli
(khususnya Budde 1923) membangdngkan perayaan yang berlangsung selama
seminggu di Siria itu dengan kidung Agung, dan melihat banyak kesejajaran
dengan unsur-unsurnya, misalnya: mempelai laki-laki dan mempelai perempuan diperlakukan
seperti raja dan ratu, keindahan dan kebajikan kedua kekasih itu dinyanyikan,
mempelai perempuan membawakan tari-tarian pedang (lih Kid 6:13, 7:1); bulan
Maret adalah bulan yang disukai (Kid 2:11); pasangan itu dinaikkan ke atas meja
yang dihias begitu indah dan dianggap sebagai tahta kerajaan (lih Kid 3:7-10).
Kesejajaran ini dan yang lainnya
menolong penafsiran, tetapi pendekatan ini tidak memberikan jawaban yang
tuntas. Menurut Schonfield (1959), kebiasaan perkwinan yang sama dapat
ditelusuri dalam kebudayaan Ibrani Kuno. Hal ini belum pasti, tetapi walaupun
diterima masih ada masalah karena Kidung Agung dalam bentuknya sekarang tidak
dapat dibagi dengan mudah menjadi bagian-bagian yang sesuai untuk tujuh hari.
Ӝ Upacara-upacara Liturgis
Setiap kali ditemukan pengetahuan
baru tentang kehidupan baru di Timur Tengah Kuno, para ahli berusaha
menjelaskan perikop-perikop perjanjian lama yang tidak jelas dengan
membangdingkannya dengan kebiasaan-kebiasaan agama Mesopotamia, Mesir atau
Kanaan. Misalnya ada teori yang bisa dihubungkan dengan Meek (1956) bahwa Kidung
Agung berasal dari upacara-upacara liturgis dalam penyembahan dewa Tamus dewa
kesuburan Babel. Gabungan percakapan tentang cinta dan latar belakang
penggembalaan dalam Kidung Agung dianggap mendukung teori ini, karena
upacara-upacara tersebut merayakan pekawinan suci (Yun hieros gamos) antara Tamus dan Istrinya Isytar yang menghasilkan
kesuburam musim semi tahunan. Memang agama kafir dapat saja mewariskan
istilah-istilah tertentu tanpa disertai kepercayaan yang terkandung dalam
istilah-istilah tersebut (misalnya nama-nama bulan, yg diambil dari agama kafir
Eropa dahulu kala), namun tampaknya kecil sekali orang Israel akan menerima
suatu liturgi kafir. Yang berbau pemujaan kepada berhala dan tindakan asusila.
Ӝ Kidung Cinta-Kasih
Dalam
dasawarsa terkhir ini, beberapa ahli melihat Kidung Agung sebagai suatu puisi
atau kumpulan puisi cinta, yang mungkin tetapi tidak harus dihubungkan dengan
perayaan perkawinan atau peristiwa tertentu lainnya. Dalam nada puisi lirik itu, kita dapat
merasakan pemberitaan Kidung Agung. Walaupun gerakannya jelas, namun hampir
tidak ada alur cerita cinta pasangan itu tetap sama kuat pada permulaan maupun
pada akhirnya. Karena itu kekuatan syair itu tidak terletak pada suatu puncak
yang tinggi, melainkan pengulangan-pengulangan yang Kreatif dan lembut dari
tema-tema cinta yang dirindukan bila berpisah (Kid 3:1-5) dan dinikmati
sepenuhnya pada waktu bersama-sama (Kid 7), apakah dalam keindahan istana (Kid
1:2-4) atau dalam ketenangan desa (Kid 7:11) dan dinikmati oleh pasangan
perjanjian (Kid 2:16 6:3 7:10). Inilah cinta yang sekuat maut, tidak
terpadamkan oleh air yang banyak dan diberikan dengan Cuma-Cuma namun tak
terhingga nilainya (Kid 8:6,7)
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab,
LAI Kitab Kidung Agung
Ev.
Cornelius Kuswanto, Pengenalan Terhadap Kidung Agung. www.soteri.com dikunjungi 10/30/2012 - 11:55
Dr.
Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar
Perjanjian Lama 2, Bandung, Bina Media Informasi, 2009, 172-181
Dr
J. Blommendaal, Pengantar kepada
Perjanjian Lama, Jakarta, PT BPK-Gunung Mulia, 1979, 157-158
Frances
Blankenbaker, Inti Alkitab Untuk Para
Pemula, Jakarta, PT BPK-Gunung Mulia, cetakan ke-4 2004, 141
Henry
Miller, Mengenal Alkitab Lebih Dekat,
Yogyakarta, PT Gloria Usaha Mulia, 2011, 75
J.
Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 2, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih OMF,
cetakan ke-5 1989, 140-161
Prof.
S. Wismoady Wahono, Ph.D, Di sini
Kutemukan, Jakarta, PT BPK- Gunung Mulia, 1986, 264
W.S.Lasor
& F. W Bush, Pengantar Perjanjian
Lama 2, Jakarta, PT BPK-Gunung Mulia, cetakan ke-2 1996, 166-177
[1] J. Blommendaal, Pengantar
Kepada Perjanjian Lama,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 157
[2] Wismoady Wahono, Di sini
kutemukan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 264
[3] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi
Alkitab 2, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,cetakan ke-5 1989), 144
[4]Frances Blankenbaker, Inti
Alkitab Untuk Para Pemula, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-4,
2004), 141
[5] Barnabas Ludji, Pemahaman dasar PL 2, (Bandung: Bina media Informasi,
2009), 172-174
[6] Gadis itu disamakan oleh beberapa para ahli dengan putri Firaun yang
dikawini oleh Salomo dalam perkawinan politis (1 Raj:31) tapi para ahli juga
berpendapat penyamaan itu tidak benar. Dan nama satu-satunya yang dipakai untuk
gadis itu, sedangkan turunan dan artinya tidak diketahui. Pernah dihubungkan
dengan kota Sulam yang tidak dikenal, atau dianggap suatu variasi gadis Sunem.Gadis
dalam Kidung Agung yang pernah disamakan dengan Abisaq Betsyeba. Menurut Rowley
(1939), istilah itu adalah bentuk feminin dari nama Salomo.
[7]E. J. Young,
Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1985), hal.353.
[8] M.G. Kline, "Bible Book of the Month: The Song of Songs,"
Christianity Today 3 (April, 1959):22.
[9] Ev. Cornelius Kuswanto, Pengenalan Terhadap Kidung Agung. www.soteri.com
dikunjungi 10/30/2012 - 11:55
Terima kasih
BalasHapus