Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Rabu, 29 Mei 2013

Kanonisasi Alkitab di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Kanonisasi
by: Inge Adriana
Sebagai umat yang terbiasa memahami Alkitab sebagai sumber iman, kita mungkin berharap menemukan titik berpijak yang kokoh di tengah kenyataan yang demikian berubah-ubah dalam penulisan, penyuntingan, dan penafsiran yang berlangsung dalam pembuatan Alkitab tersebut. Kita mungkin akan meyakinkan diri kita bahwa tidak semuanya berubah. Ada yang tetap, ada yang menjadi dasar atau fondasi yang terpancang sebagai pengajaran. Keyakinan ini menunjukkan ada saat di masa lalu ketika Alkitab menjadi satu kesatuan utuh. Jadi, pada masa lalu dalam sejarah, Allah melalui Gereja-Nya telah menetapkan kanon Alkitab secara utuh. Kalau kita melihat Alkitab kita yang sekarang ini berisi 66 kitab, yang terdiri dari Perjanjian Lama 39 kitab dan Perjanjian Baru 27 kitab itu bukanlah suatu hal yang langsung jadi dengan sendirinya menjadi Alkitab. Dibutuhkan proses yang sangat panjang dalam pembentukan kanon ini. Banyak tantangan dan perdebatan yang terjadi.
Paper ini akan memaparkan sejarah kanon dan perkembangan yang berkenaan dengannya, untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman yang baru. Selain itu diharapkan tulisan ini juga dapat memperkokoh dasar pengakuan para pembacanya akan kebenaran isi Alkitab.
Pengertian Kanon
Sebenarnya istilah kanon yang dikenakan untuk menyebut daftar kitab-kitab yang dianggap mempunyai otoritas untuk dijadikan asas kehidupan rohani sehari-hari, diambil dari perbendaharaan kata pada masa kekristenan. Namun ini tidak berarti bahwa ide dasar pemikiran yang terkandung di dalam kata tersebut baru muncul pada masa kekristenan.
Dalam bahasa Yunani, kanon berarti “tongkat yang lurus”. Secara metaforik,
kata kanon juga dapat dipakai dalam beberapa arti. Misalnya, kata kanon dapat
dimengerti sebagai ukuran atau standard. Dalam masa pra-Kristen (zaman Yunani) pengertian metafora ini sudah umum dipakai, misalnya untuk menggambarkan standar
dalam bidang seni, sastra/literatur, etika, dan lain-lain. Perkembangan lain tentang penggunaan kata kanon ialah pemakaiannya untuk menyebut nama daftar, indeks, atau bahkan tabel. Dari pengunaan kata kanon dengan arti yang bervariasi tersebut, maka tidak mengherankan apabila akhirnya kata kanon juga dipakai untuk menyebut daftar kitab-kitab yang dianggap otoritatif oleh orang-orang Kristen. Sedangkan penerapan kata kanon kepada Kitab Suci seperti yang kita miliki sekarang ini tidak terbatas hanya pada pengertian daftar kitab-kitab saja, melainkan juga sekaligus mengakui dan mempercayai daftar kitab-kitab tersebut sebagai yang berwibawa untuk diberlakukan sebagai patokan kehidupan religius. Ini baru terjadi sekitar abad ke-4.
Latar Belakang Munculnya Kanonisasi
Kanonisasi – yang merupakan proses dimana kitab-kitab itu dikenali dan diakui memiliki otoritas firman Allah – benar-benar memakan waktu yang panjang. Proses ini tidak lepas dari kehidupan beriman orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen awal. Proses ini bermula dari adanya kebutuhan untuk mewariskan kehidupan iman kepada generasi-generasi berikutnya. Apa yang mereka percayai, yang semula disampaikan secara lisan melalui para nabi, dirasakan perlu untuk diabadikan dalam bentuk tulisan. Seiring dengan ini, orang-orang Kristen awal yang telah mengakui Yesus sebagai penggenap seluruh Injil Allah di dalam PL, juga terdorong untuk mengabadikan pengajaran-pengajaran Tuhan Yesus dan para rasul-Nya di dalam bentuk tulisan. Bahkan lebih dari itu mereka juga percaya bahwa pengajaran-pengajaran Tuhan Yesus beserta para rasul-Nya juga mempunyai kewibawaan yang sama dengan Kitab Suci PL yang mereka percayai sebagai firman Allah itu. Demikianlah maka muncul apa yang disebut dengan naskah-naskah tertulis baik yang tergolong di dalam PL maupun PB. Sekalipun demikian, pada saat masing-masing kitab itu selesai ditulis, kitab-kitab tersebut belum disebut sebagai Kitab Suci seperti orang-orang Kristen sekarang menyebutnya. Walaupun tulisan-tulisan itu semula berdiri sendiri-sendiri dan juga untuk kepentingan hidup rohani bagi kalangan tertentu yang terbatas, namun lama kelamaan timbul kebutuhan untuk mengumpulkan dan menjadikan satu tulisan untuk digunakan bersama sebagai patokan hidup beriman. Hal seperti inilah yang telah mendorong terjadinya proses kanonisasi.
Dalam proses berikutnya, perkembangan kanon tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan komunitas yang mewarisi tulisan-tulisan tersebut, yaitu komunitas yang menjunjung tinggi tulisan-tulisan itu. Adanya penerimaan tradisi berotoritas oleh para pendengar firman memberi bentuk kepada tulisan-tulisan tersebut melalui proses historis teologis yang memilih, mengumpulkan dan menyusunnya. Proses ini sendiri oleh Ryle diklasifikasikan menjadi tiga tahap, yaitu tahap formasi, tahap redaksi, dan tahap seleksi. Sedangkan beberapa tokoh yang lain menambahkan dua tahap yang lain yaitu tahap sirkulasi dan tahap pengumpulan. Dengan demikian maka seluruhnya mencakup lima tahap yaitu tahap formasi, tahap sirkulasi, tahap koleksi, tahap redaksi, dan tahap seleksi yang terarah kepada pengakuan sebagai kitab kanonik.
Persoalan dalam Kanonisasi
Sebagian besar materi yang sekarang terdapat dalam kitab khususnya PL, semula ada bentuk tradisi lisan. Bahkan pengajaran-pengajaran Tuhan Yesus pun yang menjadi sumber dan dasar bagi penulisan kitab-kitab PB juga semula ada dan tersimpan dalam bentuk tradisi lisan. Dalam waktu yang cukup lama berita-berita Alkitab itu beredar dalam bentuk tradisi lisan. Tidak mengherankan apabila dalam proses transmisi dapat terjadi beberapa modifikasi dari berita itu sendiri. Lagipula, tradisi-tradisi lisan yang akhirnya ditulis tidak selalu ditulis oleh sumber pertama berita itu. Kesulitan yang juga tidak sederhana terjadi dalam proses seleksi dari antara sekian banyak naskah Alkitab. Kesulitan yang terbesar adalah menentukan apakah kitab tertentu akan diakui atau tidak. Untuk hal ini tentu dibutuhkan adanya kriteria-kriteria tertentu sebagai patokan.
Kanonisasi Perjanjian Lama
Kapan kanon PL terbentuk tidak jelas. Di dalam tradisi Yahudi sendiri ada tiga penjelasan: Pada zaman Ezra (ca. 400 BC) , pada masa Sinagoga Agung di bawah dorongan Ezra (abad ke-4 SM), atau pada konsili para rabi di Jamnia (ca. 90-100 AD). Ketiga kemungkinan ini pun masih dipersoalkan oleh para pakar, sehingga Raymond E. Brown dan Raymond F. Collins mengusulkan akhir abad ke-2 sebagai waktu yang paling aman untuk penutupan kanon Yahudi. Sehubungan dengan kitab-kitab yang harus dimasukkan ke dalam PL ada ketidaksepakatan yang sangat serius di antara Roma Katolik dengan Protestan. Roma Katolik mempertimbangkan bahwa kitab-kitab Apokrifa harus dimasukkan ke dalam kanon, sedangkan Protestanisme Historis tidak setuju. Menurut mereka kitab-kitab Apokrifa tidak bisa dimasukkan dalam kanon karena kitab-kitab Apokrifa ditulis setelah PL selesai semua dan sebelum Perjanjian Baru dimulai.
Perdebatan berkaitan dengan Apokrifa berpusat pada isu yang lebih luas berkenaan dengan apa yang dianggap sebagai kanon oleh masyarakat Yahudi. Ada bukti yang sangat kuat, dimana Apokrifa tidak termasuk di dalam kanon Palestina orang Yahudi. Di pihak lain, kelihatannya orang Yahudi yang hidup di Mesir mungkin memasukkan Apokrifa ke dalam kanon Alexandrian. Akhir-akhir ini ada bukti-bukti yang telah meragukan kenyataan itu. Beberapa kritikus Alkitab membantah bahwa gereja tidak memiliki Alkitab seperti itu sampai permulaan abad kelima. Tetapi ini merupakan suatu distorsi dari keseluruhan proses perkembangan pengkanonisasian.
Kriteria kanonisasi PL sendiri tidak pernah tertulis jelas. Empat kriteria berikut biasa dipakai untuk penentuan kanon PL:
•     Kanonisitas dikaitkan dengan nubuat. Musa menerima Taurat dalam posisi sebagai dan boleh dikatakan ia bertanggung jawab atas kepengarangan kelima kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan. Kemudian Musa dipercaya menjadi prototipe dari nabi-nabi berikut (bdk. Ul. 18:17-19) yang menghasilkan koleksi kitab Nabi-nabi. Selain itu, dikenal juga penyair-penyair profetis seperti Daud dan Asaf, yang menghasilkan koleksi kitab Tulisan. Dalam PL memang nabi, imam dan raja, serta tokoh lain secara resmi menerima firman Allah untuk disampaikan kepada orang lain. Lalu tulisan-tulisan yang diilhami itu dikumpulkan dan disimpan oleh umat dari generasi ke generasi.
•     Kanonisitas dikaitkan dengan konsep perjanjian. Apabila disederhanakan, bisa dikatakan bahwa Taurat mendirikan perjanjian Allah, Naratif Sejarah menggambarkan ketaatan dan ketidaktaatan Israel terhadap perjanjian, Kitab Nabi-Nabi memanggil umat supaya kembali kepada hubungan perjanjian yang semestinya, dan Literatur Hikmat memperluas tema ketaatan kepada perjanjian.
•     PB meneguhkan kanon PL. Di seluruh PB terdapat lebih dari 250 kali kutipan PL. Yesus sendiri dalam pengajaran-Nya mengutip atau merujuk kepada PL sebagai firman Allah yang berotoritas sebanyak 31 kali. Jika Yesus saja tidak mempersoalkan otoritas PL sebagai firman Allah, umat Kristen lebih tidak pantas lagi mempersoalkannya. Apa yang cukup baik bagi Yesus cukup baik pula bagi umat-Nya. Pada intinya, pengajaran Yesus seharusnya tidak bertentangan dengan pengajaran PL.
•     Pemakaian kitab-kitab dalam ibadah Israel seperti liturgi Bait Allah. Sebagai contoh, dalam kanon Yahudi dikenal megilloth, yakni sebuah kelompok kitab yang terdiri atas Kitab Rut, Kidung Agung, Pengkhotbah, Ratapan, dan Esther. Kelima kitab ini dibacakan pada hari-hari raya utama orang Yahudi sepanjang tahun.
Kanonisasi Perjanjian Baru
Perjanjian Baru ditulis sekitab tahun 50–100 M, dan di dalam kitab-kitab PB ini terdapat banyak ucapan-ucapan berotoritas atau berwibawa, seperti ucapan-ucapan Yesus ataupun ucapan-ucapan rasul yang memiliki bobot besar yang dijamin oleh Tuhan Yesus (Mat 10:40). Namun diperkirakan bahwa parohan pertama abad kedua merupakan titik awal tertentu dari kanonisasi yang kemudian prosesnya diintensifkan pada pertengahan abad ke-2 M.
Proses kanonisasi terjadi disebabkan oleh kondisi sosial dan relasi internal Gereja. Semula kanon tidak dirasakan sebagai kebutuhan hingga sampai pada masa dimana penggandaan manuskrip begitu mahal sementara pertemuan-pertemuan umum orang Kristen mengalami kesulitan oleh karena jatuhnya Yerusalem. Pada waktu itu Gereja tersebar di mana-mana, dan akibatnya sirkulasi dari beberapa kitab PB menjadi tergantung pada hubungan dengan bentuk yang terbatas dari kekristenan. Segala sesuatu terus berubah hingga ketika para rasul mulai banyak yang meninggal, barulah dirasakan bahwa otoritas pengajaran rasul mulai terancam hilang, dan ini mendorong pembentukkan kanon dari kitab-kitab dan surat-surat pengajaran tersebut yang ditentukan oleh Gereja. Selain itu, kanon PB dibentuk bukan karena keinginan yang kuat untuk mempunyai daftar yang diumumkan, tetapi karena situasi tidak tetap dari kekristenan purba yang mengizinkan kelompok-kelompok tertentu untuk menyimpang dari kebiasaan normal dengan cara yang tidak dapat diterima. Gereja Purba mentolerir banyak variasi, tetapi guru-guru seperti Marcion dan Valentinus rupanya pada kenyataannya membajak Alkitab Kristen yang baru muncul untuk kepentingan mereka sendiri. Bentuk ideal dari memoar rasuli di tangan mereka berubah menjadi risalah-risalah yang bersifat khusus dari bidat, yang sama-sama bergantung atas inspirasi penulisannya meupun atas tradisi Kitab Suci Yahudi dan Gereja yang mantap.
Sebagian orang Kristen merasa terganggu dengan kenyataan adanya proses penyeleksian di dalam sejarah. Mereka diganggu dengan pertanyaan, bagaimana mereka dapat mengetahui bahwa kitab-kitab yang dimasukkan ke dalam kanon PB merupakan kitab-kitab yang tepat untuk dimasukkan ke dalam kanon? Teologi tradisi dari Roma Katolik menjawab pertanyaan ini dengan mengacu pada ketidakbersalahan gereja. Gereja dipandang sebagai badan yang “menciptakan” kanon. Ini berarti gereja memiliki otoritas yang sama dengan firman Tuhan. Berbeda dengan Protestanisme Klasik menyangkal bahwa gereja tanpa salah dan gereja sebagai pencipta kanon.
Meskipun Protestan percaya bahwa Allah memberikan pemeliharaan secara khusus untuk memastikan kitab-kitab yang tepat yang dimasukkan ke dalam kanon, namun ini tidak berarti Dia menyatakan bahwa gereja adalah suatu badan yang tidak dapat salah. Protestan juga mengingatkan Roma Katolik bahwa gereja tidak menciptakan kanon. Gereja hanya mengenali, mengakui, menerima dan menundukkan diri pada kanon firman Tuhan. Istilah yang digunakan oleh gereja dalam konsili adalah recipimus, yang berarti “kami menerima”.
Oleh karena inilah kemudian muncul kebutuhan untuk mengumpulkan data dan menyatukan kitab-kitab kanonikal dan menkonfirmasikannya sebagai kanon Alkitab, yang menjadi dasar dan standar iman kepercayaan dan perbuatan umat Kristen.
Tahap-tahap perkembangan Kanon Perjanjian Baru:
1.   Ke-27 kitab PB ditulis antara tahun 45 dan 95, disalin dengan tangan, diedarkan
dan dipakai di dalam jemaat-jemaat. Surat-surat uskup Clement dari Roma sekitar tahun 96 M, dan surat-surat Ignatius pada permulaan abad ke-2 sudah menyebut semua surat Rasul Paulus. Selain itu Papias, uskup Hilapolis menyerang bidat, selain mengutip dari Injil Yohanes, juga menyinggung Injil Matius dan Injil Markus. Kemudian Justinus Martyr di dalam tulisannya Apologetika Kristen mengakui keberadaan keempat Injil yang telah diakui secara umum oleh gereja.
2. Pada pertengahan abad ke-2, kitab-kitab PB dipakai dalam jemaat-jemaat di seluruh kekaisaran Romawi. Kebanyakan kitab diakui sebagai tulisan-tulisan rasuli, walaupun belum terdapat suatu keputusan resmi mengenai status mereka juga kitab-kitab non-kanonik masih dipakai dalam jemaat-jemaat. Kitab-kitab yang dianggap kanonik mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin (akhir abad ke-2). Kemudian komentar-komentar tentang kitab-kitab ini mulai dikarang.
3.   Kanon Marcion ditulis pada pertengahan abad ke-2, terdiri dari: Injil Lukas, Kisah
Rasul, Galatia, 1-2 Korintus, Roma (sebagian ditolak oleh Marcion), 1-2
Tesalonika, Efesus, Kolose, Filipi, Filemon. Kanon Marcion ini ditolak oleh gereja.
4. Kanon Muratorius adalah kanon tertua yang kita miliki sebagai naskah. Kitab-
kitab yang disebut di dalam kanon Muratorius: Markus, Lukas, Yohanes, Kisah Rasul, semua surat Paulus, I dan II Yohanes, Yudas, Wahyu Yohanes dan Wahyu Petrus (disebut bahwa Wahyu Petrus tidak diakui oleh semua gereja) dan dua kitab Apokrifa lainnya, yaitu Hikmat Sulaiman dan Pastor/Gembala oleh Hermas.
Susunan-susunan yang serupa terdapat juga dalam karangan-karangan Ireneus (175-202), Tertianus (150-220) dan Clement dari Alexandria (150-215).
5. Sejak abad ke-3 kitab-kitab kanonik ini disebut PB. Pada abad ke-3 dan ke-4 masih
terdapat keragu-raguan tentang kitab-kitab berikutnya: Yakobus, 2 Petrus, 2-3
Yohanes, Yudas dan Wahyu Yohanes. Ahli sejarah Eusebius (265-339) menyebut di
dalam buku Sejarah Gereja bahwa sebagian jemaat masih juga mengakui Kisah Rasul
Paulus, Didache dan Hermas.
6. Perkembangan sejarah kanon berakhir di dalam gereja bagian Timur dengan sepucuk
surat yang ditulis oleh Athanasius yang dibacakan di semua jemaat pada Paskah. Dalam surat Athanasius tersebut semua buku PL dan PB disebut sebagai kitab-kitab kanonik. Athanasius pulalah yang pertama kali pada tahun 367 mengindentifikasikan kedua puluh tujuh kitab PB sebagai kitab kanonik.
7. Perkembangan sejarah kanon belum selesai di bagian barat dari kekaisaran Romawi. Kanon Mommsenianus ini juga disebut sebagai Cheltenham List karena kanon ini ditemukan oleh Th. Mommsen di Cheltenham-Inggris pada tahun 1885, yang ditulis pada tahun 359 tidak menyebut kitab Ibrani, Yakobus,Yudas. Semua kitab PB disebut dan juga beberapa kitab-kitab Apokrifa PL.
8. Perkembangan sejarah kanon di daerah barat kekaisaran Romawi berakhir dengan
keputusan Sidang Sinode di Roma (382). Sinode di bawah pimpinan Damasus mendaftarkan semua kitab PL dan PB. Keputusan ini ditegaskan kembali oleh Sinode di Hippo Regius (Afrika Utara) pada tahun 393 dan sidang Sinode di Kartago pada tahun 397 dan 419 dimana dihadiri oleh Agustinus.
9. Prinsip yang paling pokok dalam penilaian Alkitab ialah apakah suatu kitab ditulis oleh seorang rasul atau seorang murid dari seorang rasul (misalnya Yohanes, Markus, Petrus, Lukas, Paulus). Kitab-kitab Apokrifa tidak pernah diterima sebagai kitab-kitab kanonik baik oleh agama Yahudi maupun oleh gereja mula-mula. Kitab-kitab ini juga tidak dikutip di dalam kitab-kitab PL dan PB. Gereja-gereja Reformed menolak inspirasi, otoritas dan kegunaan kitab-kitab Apokrifa (Westminster Confession 1647).
Kriteria kanon PB itu sendiri biasanya berkisar pada empat hal, yakni:
•     Daftar-daftar yang dibuat para tokoh Gereja. Walaupun demikian daftar-daftar ini tidak seragam satu sama lain dan tidak lengkap, sehingga juga tidak bersifat mutlak.
•     Kriteria kerasulan. Hal ini berarti bahwa semua tulisan PB berkaitan langsung atau tidak dengan rasul atau berasal dari zaman rasul pada abad pertama. Ini tidak berarti bahwa pengarang kitab PB harus salah satu dari rasul-rasul. Matius, Yohanes, Petrus, Paulus tergolong rasul. Pengarang PB yang bukan rasul tapi berhubungan erat dengan rasul diantaranya adalah Markus (dikaitkan dengan Petrus), Lukas (dikaitkan dengan Paulus). Ada juga penulis PB yang mengakui kitab lain, yang kemudian masuk ke dalam kanon PB, seperti Petrus mengakui tulisan Paulus, Timotius mengutip Luk. 10:7.
•     Kriteria ortodoksi kanon. Ini berarti bahwa teologi dan etika dari kitab-kitab PB secara keseluruhan terpadu. Sekalipun ada perbedaan tekanan dari kitab yang satu dengan kitab yang lain, namun tidak ada kontradiksi yang esensial.
•     Kriteria kekatolikan. Ini berarti kitab-kitab PB terpelihara, karena terbukti bermanfaat bagi mayoritas jemaat sejak awal sampai sekarang. Contohnya: seandainya surat Paulus kepada jemaat Korintus sebelum surat 1Korintus ditemukan (1 Kor. 5:9), surat itu bisa dinilai tidak memenuhi kriteria kekatolikan. Pada masa lampau, surat itu terbukti tidak relevan dengan jemaat di luar Korintus. Selama hampir dua ribu tahun surat itu tidak pernah memiliki otoritas atas jemaat, jadi itu tidak layak untuk sebuah status kanon.
Ketertutupan Kanon dan Implikasinya bagi Gereja Masa Kini
Kanon PL ditutup secara sah pada akhir tahun 90 melalui sidang oleh para ahli Taurat Jamnia. Mereka mendiskusikan, menetapkan dan memproklamirkan secara resmi Kitab Perjanjian Lama yang kita pakai sekarang. Kemudian pada pertengahan abad ke-2 muncul kitab-kitab Apokrifa. Pada waktu itu kitab-kitab kanonik sudah sedemikian diterima oleh Gereja dan Bapa-Bapa Gereja sehingga kitab-kitab Apokrifa ini tidak sampai menggantikan kitab-kitab kanonik. Pembicaraan resmi mengenai kanon oleh para utusan gereja dalam Konsili baru terjadi pada akhir abad keempat.
Sejak tahun 397 M, gereja Kristen menganggap kanon sudah selesai dan harus ditutup. Itu sebabnya kita tidak dapat mengharap ada kitab lagi untuk ditemukan atau ditulis yang akan membuka kanon lagi dan menambah 66 kitab ini. Bahkan jika satu surat Paulus ditemukan lagi, tidak akan menjadi anggota kanon. Memang Paulus sudah menulis banyak surat selama hidupnya selain yang sudah ada dalam PB, namun gereja tidak memasukkannya ke dalam kanon. Buku-buku yang agak belakangan sekarang dari bidat-bidat, yang ditempatkan di samping Alkitab tidaklah diilhami dan tidak bisa menjadi bagian dari kanon Alkitab.
Ada sebagian ahli Alkitab berpendapat bahwa penutupan kanon secara gerejawi pada abad 4-5 secara teologis bisa dipersoalkan, namun secara praktis memang harus begitu. Alasan penutupan kanon secara teologis sulit dibenarkan karena penetapan Gereja tidak boleh absolut dan bersaing dengan wahyu firman Allah itu sendiri. Argumentasi ini tampaknya mau menghindar dari dualisme otoritas ilahi dalam kehidupan bergereja. Menanggapi hal ini, Yonky Karman memberikan pertanyaan balik, “Kalau bukan gereja yang menetapkan bahwa kanon Kitab Suci sudah tertutup, institusi apalagi yang berhak?” Menurut Karman, tidak ada masalah dengan penetapan kanon secara institusional. Juga tidak ada masalah dengan penetapan kanon melalaui proses sejarah yang di dalamnya bahkan terlibat unsur manusiawi. Penutupan kanon oleh Gereja sebagai Tubuh Kristus memiliki landasan teologis.
Penutupan kanon perlu demi implikasi praktis, kalau tidak, wahyu ilahi akan terus bertambah tanpa batas. Bisa saja seorang tokoh gereja mengklaim telah memperoleh wahyu dari Allah. Kejadian seperti ini bisa berulang pada tokoh lain dan proses penambahan wahyu tidak akan pernah selesai. Wahyu yang baru bisa menambah, mengoreksi, bahkan bisa mengganti wahyu yang lama. Selanjutnya mudah diduga, mengikuti kecenderungan manusia untuk menjadikan dirinya absolut, mengklaim kemurnian wahyunya.
Metzger berpendapat bahwa kita dapat saja mengatakan kanon memang mungkin dapat direvisi, tetapi ini tidak sama dengan mengatakan bahwa kanon perlu direvisi. Pembentukan kanon telah melewati ratusan tahun dalam sejarah Gereja, melewati proses yang lama dan bertahap. Semua dokumen Alkitab yang sekarang ini sudah sangat kuat melewati pengujian. Gereja telah menerima kanon Perjanjian Baru, sama seperti Sinagoge telah menerima Kanon Ibrani dulu. Singkatnya, kanon tidak bisa dibuat lagi, dengan alasan sederhana bahwa sejarah tidak bisa diulang lagi. Penulis setuju bahwa kanon yang terbuka juga mempunyai implikasi tertentu bagi gereja dan kegiatan penafsiran Alkitab pada zaman ini. Dengan kanon tertutup saja, perbedaan penafsiran sulit dihindari. Hasilnya adalah denominasi-denominasi dalam Kristen Protestan semakin banyak dan kemungkinan perpecahan jauh lebih banyak. Jemaat akan lebih bingung dengan kondisi kanon terbuka ketimbang kanon tertutup.
Ketertutupan kanon adalah perlu demi kegiatan tafsir Alkitab. Objek dari tafsir adalah teks-teks dalam kanon. Teks-teks di luar kanon diperhatikan sejauh itu membantu pemahaman teks-teks kanonik, dengan catatan bahwa teks-teks di luar kanon tidak diperlakukan sejajar dengan teks-teks kanonik.
Kesimpulan dan Penutup
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu:
• Sejarah perkembangan kanon.
Memahami bagaimana proses yang menjadikan catatan-catatan tersebut berfungsi sebagai bentuk sah Alkitab yang kita kenal sekarang, akan menambah keyakinan kita betapa ajaibnya kenyataan ini. Kurun waktu yang ditelannya untuk membuat catatan-catatan tersebut menjadi buku lengkap seperti sekarang ini pun merupakan hal yang ajaib pula. Ratusan tahun dibutuhkan, dan tidak sedikit tenaga yang telah tercurah untuk menemukan dan merakit catatan-catatan tersebut. Belum lagi hambatan yang harus dihadapi para ‘editor’ karena berbagai faktor, diantaranya faktor politik tempat dan zaman para editor itu hidup. Kemasan yang sah inilah yang diberi legitimasi dan kemudian mempunyai wibawa.
Mempelajari ini semua memperlihatkan kepada kita betapa hebatnya karya Allah dalam memberikan firman-Nya, dalam mengilhami para penulisnya, serta karya Allah melalui Gereja-Nya sepanjang perjalanan sejarah sehingga sekarang ini kita dapat mempunyai Alkitab. Alkitab inilah yang membawa kita pada pengenalan akan Allah dan kehendak-Nya. Pengetahuan dan pemahaman akan sejarah dan permasalahan kanon ini hendaknya dapat membuat kita semakin yakin akan kebenaran Alkitab.
• Ketertutupan kanon
Bagi penulis hal ini sangat diperlukan karena jikalau kanon masih terbuka, maka akan banyak tokoh-tokoh yang terus berusaha mengubah, baik menambah ataupun mengurangi, sehingga kita tidak mempunyai patokan yang pasti terhadap Alkitab. Ini akan mempengaruhi keyakinan sebagian besar orang akan otoritas Alkitab, baik dari kalangan Kristen maupun kalangan orang-orang non-Kristen. Belum lagi adanya fenomena di kalangan hamba-hamba Tuhan tertentu, terutama di kalangan Karismatik yang mengklaim/ mengaku bahwa dirinya mendapat wahyu khusus atau langsung dari Tuhan Yesus. Dengan adanya ketertutupan kanon, maka pengakuan/klaim mereka tidak dapat diterima begitu saja. Oleh karena itu kita harus kembali kepada kanon Alkitab PL dan PB seperti yang sekarang ini.
Daftar Pustaka
Beckwith, R. The Old Testament Canon of The New Testament Chuch. London: SPCK,
1985.
Bernhard, Lohse. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: Gunung Mulia, 2001.
Blommendaal, J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: Gunung Mulia, 1991.
Childs, Brevard.
S. Introduction to the Old Testament as Scripture. Philadelphia: Fortress, 1979.
Chilton, Bruce. Studi Perjanjian Baru Bagi Pemula. Jakarta: Gunung Mulia, 1994.
Metzger, Bruce M. The Canon of The New Testament. Oxford: Clarendon, 1987.
Harris, R. Laird. Inspiration and Canonicity Of The Bible. Grand Rapids: Zondervan,
1969.
Jeffry, Arthur. “Text And Ancient Versions of The Old Testament.” The Interpreter’s
Bible Vol. I. Nashville: Abingdon, 1978.
Karman, Yonky. “Kanon dan Tafsir Alkitab.” Forum Biblika 11 (2000). Klein, William W. Introduction to Biblical Interpretation. Dallas: Word, 1993. Kuhl, Dietrich. Gereja Mula-Mula: Sejarah Gereja Jilid I. Batu: YPPII, 1998. Lasor,W. S. Pengantar Perjanjian Lama Jilid 1. Jakarta: Gunung Mulia, 1993. Ord, David Robert . Apakah Alkitab Benar? (Jakarta: Gunung Mulia, 1997 Oswalt, John N. “Canonical Criticism: A Review from A Conservative Viewpint.” JETS 30/3 (1987).
Ryrie, Charles C., “Kanon.” Teologi Dasar Vol. I. Yogyakarta: ANDI, 1991. Sanders, J. Canon and Community: A Guide to Canonical Criticism. Philadelphia: Fortress, 1984.


1 komentar:

  1. memang untuk kanonisasi alkitab butuh pengujian akan isi tulisan dan keaslian tulisan

    BalasHapus