Inti
Teori Dari James Fowler, Lawrence Kohlberg, dan Albert Bandura Serta Manfaatnya
Bagi Pelayanan Seorang Pendeta
1.
James
Fowler
James
Fowler ialah seorang yang meneliti tentang perkembangan iman dan
tahapan-tahapannya, ia juga mengemukakan pendapat bahwa iman adalah suatu cara
manusia untuk bersandar dan berserah diri serta memberikan dan juga memberi makna
terhadap berbagai kondisi dan keadaan hidupnya.[1]
Teori Fowler ini sangat membantu
kita untuk memahami tahapan-tahapan maupun perkembangan iman pada seseorang,
dalam teorinya ia membuat tahapan-tahapan tersebut menjadi tujuh tahap yakni
sebagai berikut :
N0
|
Tingkatan / Tahapan
|
Perilaku Iman
Dan Peran Seorang Pendeta
|
1.
|
0-3
tahun
Belum
dapat membedakan
|
Tahap
ini penting bagi seorang pendeta untuk memberikan dorongan kepada orang tua
agar anak diperkenalkan dengan makna kasih, dan dasar-dasar yang baik agar
kelak iman bertumbuh dengan baik.
|
2.
|
4-6
tahun
Proyeksi
& Intuitif
|
Gabungan
imajinasi, pengalaman serta belief (cerita-cerita
dari orang tua membentuk gambaran tentang Tuhan ) dalam hal ini ia masih
berfikir irasional atau berupa gambaran saja.
Pendeta
dalam tahap ini bisa memberikan cerita-cerita yang menarik tentang ajaran
Alkitab, sehingga imannya bisa tumbuh berdasarkan ajaran yang ia terima
melalui pengajaran yang menarik tersebut. Ini bisa diterapkan melalui
cerita-cerita menarik dari Alkitab yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan
si anak yang bisa diperagakan dalam bentuk gambar-gambar peristiwa yang terjadi
dalam Alkitab.
|
3.
|
7
– 12 tahun
Mistik,
harafiah
|
Cerita-cerita
ajaib digunakan untuk menyampaikan makna-makna sfiritual, ( rasional )
kisah-kisah agama ditafsir secara harafiah, simbol-simbol agama mempunyai
arti yang khusus, misalnya salib, gambar-gambar tentang agama.
Seorang
Pendeta pada tahap ini harus bisa melihat peluang, bahwa cerita-cerita yang
tentang seuatu yang ajaib dalam Alkitab akan sangat membantu memberikan suatu
dorongan untuk membentuk karakter iman seorang anak, sehingga dalam hati si
anak akan merasa percaya akan kuasa Tuhan, seperti yang ia dengar dari cerita
yang disampaikan, kendatipun cerita tersebut masih ditafsirkan secara
harafiah saja. Seorang pendeta harus bisa memanfaatkan periode ini untuk
membentuk iman seorang anak, menumbuhkan kepercayaannya terhadap kuasa Tuhan
dengan media cerita-cerita ajaib yang ada dalam Alkitab.
|
4.
|
13
– 17 tahun
Tiruan
& Konvensional
|
Tahapan
ini sudah mulai berfikir abstrak, iman seseorang menyesuaikan diri dengan
iman orang lain, penyesuaian tersebut membentuk perilaku. Fokus masa ini
ialah relasi dengan orang lain.
Seorang
anak atau remaja pada tahap ini akan mulai membandingkan imannya dengan iman
orang lain. Disini seorang pendeta harus benar-benar bisa untuk membimbing
serta mengarahkan agar iman sianak harus benar-benar tumbuh dalam pertumbuhan
yang benar, atau tidak keliru. Jangan sampai seorang anak terpengaruh pada
iman seseorang yang ternyata bukan kepada Yesus Kristus
.
|
5.
|
18
– 29 tahun
Refleksi
& Individu
|
Kesadaran
diri sudah cukup tinggi, memiliki sistem dan konsep berfikir yang jelas, ini
memberikan kemampun kepada seseorang untuk memeriksa kembali imannya secara
kritis. Imannya ditata ulang setelah ia meninjau secara kritis tersebut.
Bimbingan, pengarahan serta motivasi, harus
selalu diberikan pada tahap ini oleh seorang pendeta. Agar remaja atau pemuda
tersebut bisa bertumbuh menjadi seorang remaja atau pemuda yang memiliki iman
yang tak tergoyahkan ketika ia nantinya menginjak masa dewasa.
|
6.
|
30
– 45 tahun
Konsolidasi
dan Paradoks
|
Seseorang
pada tahap ini sadar akan batas akalnya, ia juga melihat bahwa didunia ini
ada hala yang paradoks ( bertentangan ). Ia memiliki kemampuan untuk
memikirkan :
1.
Berfikir benar itu apa ?
2.
Benar itu bisa didapat dari mana
3.
Dan menyimpulkan bahwa iman yang benar ialah iman
yang memiliki toleransi.
Tugas
seorang pendeta pada tahap ini ialah meluruskan pandangan itu untuk mengarahkannya
agar tetap bersandar pada ajaran Alkitab, sehingga imannya pada tahap ini
mampu ia salurkan lagi bagi generasi yang dibawahnya. Asas-asas kekristenan
yang ada didalam Alkitab diterapkan oleh seorang pendeta untuk membimbing
orang pada tahap ini untuk menjaga imannya.
|
7
|
45
tahun sampai akhir hidup
Universal
|
Ia
tinggal hidup berdasarkan prinsip kasih dan keadilan. Dalam tahap ini iman
sudah merupkan hasil yang dicapai dari tahap-tahap sebelumnya.
Seorang
pendeta dalam tahap ini memiliki sebuah tugas penting, yaitu membangun
hubungan dengan orang tersebut, kemudian mengarahkannya untuk bisa ikut
berperan serta bagi pembentukan iman orang yang lain, ini dilakukan oleh
seorang pendeta agar iman orang tersebut tetap terjaga dan bertahan pada prinsip
yang benar.
|
Demikian uraian James Fowler tentang
tahapan-tahapan iman secara sistematis, ini dibuat untuk memudahkan kita
mengenali dan juga memahami tahapan-tahapan yang terjadi pada seseorang dan
kita sendiri tentang perkembangan iman saat melihat suatu rentang usia. Dari
melihat tahapan yang ada pada tabel diatas, seorang pendeta diharapkan bisa
memakai suatu metode yang tepat dalam pelayanannya, sesuai dengan kebutuhan dan
juga rentang usia tertentu pada jemaatnya, agar penyampaiannya tepat guna, dan
menjawab kebutuhan bagi perkembangan iman jemaat.
Manfaat Teori Fowler Bagi Pelayanan Seorang Pendeta
Setelah
kita melihat, ternyata dalam teori Fowler ini puncaknya ialah perkembangan iman
pada masa memasuki dewasa ( mulai 45 tahun), dimana pada saat itu manusia sudah
mampu untuk melepaskan diri dari ego pribadinya dan dari pusat-pusat nilai dan
kekuasaan yang fana, untuk kemudian berserah diri pada kekuasaan yang tunggal
dan mutlak yaitu Allah.[2]
Teori yang dipaparkan oleh Fowler
seharusnya menjadi ransangan bagi seorang pendeta atau pemimpin jemaat untuk
melihat perkembangan iman dari jemaat yang dipimpinnya. Dimana kita, sebagai
seorang pendeta harus mampu melihat bagaimana iman itu merupakan suatu proses
yang terus-menerus berlangsung sebagai cara kita berada didunia dan melihat
dunia tempat kita berada, terbentuk dan terus dibentuk kembali. Setidaknya
penulis mau menyampaikan disini ada beberapa manfaat penting dari teori James
Fowler ini bagi seorang Pendeta, diantaranya :
a) Seorang
pendeta melalui teori ini bisa memahami bahwa proses mengenal itu sangat
penting, bahkan sampai akhir hayat, sehingga masih tumbuh harapan akan
kehidupan selanjutnya yang hanya bisa muncul karena iman. Disini iman ialah
upaya pengenalan.
Bdk. Filifi 3:10 “ Yang kukehendaki ialah mengenal
Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana
aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya”.[3]
b) Dalam
mendukung dan memperhatikan perkembangan iman jemaat, seorang pendeta bisa untuk
mendorong agar iman jemaatnya bisa mencapai tahap iman berikutnya yang lebih
dewasa. Sehingga iman jemaat terus bertumbuh dan maju.
c) Melalui
teori ini, seorang pendeta bisa melihat dimana tingkat iman jemaatnya dengan
melihat rentang usianya, sehingga mampu memberikan sebuah jawaban yang tepat
dari pertanyaan jemaat, ini membantu seorang pendeta untuk memahami kekuatan
dari konflik-konflik yang akan dialami ditengah-tengah pengalihan pada sebuah
tahap tertentu.
d) Teori
perkembangan iman yang dikemukakan Fowler membantu seorang pendeta untuk
mengatasi cara berfikir bahwa iman sebagai suatu yang terpisah dari hidup
sehari-hari. Tujuh aspek tahapan perkembangan yang dikemukakan oleh Fowler,
membantu seorang pendeta untuk membantu jemaatnya untuk mengenal secara
seksama, bahwa iman bermanfaat untuk mengorganisasikan seluruh kehidupan kita.[4]
Seorang pendeta bisa menggunakan teori ini untuk melihat
perkembangan iman dalam lingkungan jemaatnya, yang berarti akan memudahkan dia
utuk mencari metode apa yang tepat ketika ia akan melaksanakan pelayanannya,
sesuai dengan perkembangan, atau situasi juga kondisi yang ada pada saat itu.
2.
Lawerence
Kohlberg
Ia adalah seorang
peneliti tentang perkembangan mora pada anak, ia melakukan penelitian
berdasarkan teori perkembangan kognitif yang sebelumnya dikemukan oleh Piaget.[5]
Dalam penyelidikan yang Kohlberg lakukan, ia menemukan
ada tiga tingkat yang nantinya terbagi lagi menjadi enam tahap dalam
perkembangan moral yakni :
1. Pra
Konvensional
2. Konvensional
3. Post/
Anu konvensional
Dari ketiga tingkat
tesebut, ada lagi tahapan-tahapannya yang akan penulis uraikan dalam tabel
berikut :
No
|
Tingkat & Tahap
|
Ciri khusus masing-masing tingkat dan tahap
|
1.
|
Tingkat I. Pra-konvensional ( usia 0- 9 tahun)
Tahap 1 : Orientasi
terhadap
kepatuhan
dan hukuman
Tahap : Relatifistik
hedonis
|
· Harus patuh
agar tidak dihukum.
· Kalau baik dan
benar, tidak akan dihukum.
· Ada faktor
pribadi yang relative dan juga ada prinsip kesenangan/menyenangkan orang lain
· Memenuhi
kebutuhan orang lain
Pendeta dalam tahap ini harus
membimbing, mengarahkan dan memiliki kemampuan untuk mengerti kapan saat
harus memuji, dan memberi penghargaan kepada si anak sembagai sumber
motivasinya. Pendeta juga harus memiliki metode yang tepat untuk menasihati
si anak jika ia berbuat salah, dengan tidak menggunakan kata-kata yang bias
menjatuhkan mental dari anak tersebut.
|
2.
|
Tingkat II. Konvensional ( usia 9-15 tahun )
Tahap 3 :
harmoni & interpersonal
Tahap 4: Mempertahankan norma-
norma sosial dan otoritas
|
·
Agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus
dietrima dimasyarakat. Dan mendapatkan penghargaan dari orang lain.
·
Menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan
norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya da norma-norma
Pendeta bias
member bimbingan dan juga nasihat agar si anak pada tahapan ini tidak mudah
larut oleh pujian dan penghargaan, tetapi juga memberikan suatu dorongan
motivasi yang lebih lagi untuk membentuk kepribadian si anak. Agar moral yang
baik tetap terjaga dan terus berkembang.
|
3.
|
Tingkat III. Post Konvensional ( usia 16 tahun ke atas )
Tahap5 : kontak
sosial & legalistik
( Orientasi terhadap
perjanjian antara
dirinya
dengan lingkungan social )
Tahap 6 :
Prinsip etis universal
|
·
Perjanjian antara dirinya dengan lingkungan
sosial. Harus berbuat baik agar diperlakukan dengan baik. Untuk menjaga hak
dan kesejahteraan orang lain
·
Berkembangnya norma etik ( kata hati ) untuk
menentukan perbuatan moral dengan prinsip universal
·
Moral universal terwujud dalam tingkah laku.
·
Menghargai orang lain
·
Relasi saling percaya dengan orang lain
Ketika
seserang sudah bisa memahami, menjaga, serta menghargai hak orang lain, tentu
ia sudah bias memupuk relasi yang baik pula dengan orang lain. Keadaan itulah
yang terjadi pada tahap ini. Nah ! tugas seorang pendeta ialah membantu ia
membina morl tersebut dan tetap melaksanakannya, sehingga mampu berperan
serta dalam pembentukan moral yang baik pula pada orang lain.
|
Inti
Teori Kohlberg Dan Manfaatnya Bagi Pelayanan Seorang Pendeta
Teori yang diungkapkan Kohlberg
diatas menunjukan bahwa sikap moral tidak hanya terjadi dari hasil-hasil
sosialisasi ataupun pelajaran yang diperoleh yang diperoleh dari kebiasaan,
tetapi tahap-tahap perkembangan moral anak sepertinya juga terjadi dari
aktivitas spontan yang dilakukan si anak dalam lingkungannya.[6]
Menurut Kohlberg anak memang berkembang dari interaksi sosial, tetapi berupa
interaksi yang memiliki corak dimana faktor si anak dalam bentuk
aktivitas-aktivitasnya ikut berperan dalam tahap perkembangan moralnya.
Dalam hal perkembangan moral tersebut Kohlberg juga
menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada tiap tahapan, dimana
penahapan yang dilakukan bukan didasari pada sikap moral yang khusus, tetapi
juga berlaku pada setiap proses yang mendasari hal itu.
Teori Kohlberg ini bermanfaat bagi seorang pendeta dalam
pelayanannya, agar ia mampu mengenali dan membentuk moral yang baik dilingkungan
jemaatnya. Melihat dari hasil teori Kohlberg ini, sebagai seorang calon pendeta
atau pemimpin jemaat kita seharusnya bisa melihat begitu pentingnya lingkungan,
aktivitas dan interaksi sosial yang baik membentuk moral anak menjadi baik
pula. Dengan demikian peran seorang pendeta dalam pelayanan terhadap jemaatnya
ialah, membeir dorongan motivasi terhadap orang tua agar berperilaku yang tepat
dalam kehidupannya, baik dimasyarakat maupun dikeluarga, tentu saja dengan
dimulai contohnya dengan perilaku yang baik pula dari pendeta yang melayani,
karena hal itu akan turut membantu merangsang si anak untuk bertingkah laku
yang baik pula. Dalam teorinya ini sesungguhnya Kohlberg sudah menunjukan
tingkat-tingkat, serta proses-proses yang dilalui untuk mencapai tingkat
tertinggi dalam perkembangan moral seorang anak. Ini bisa dimanfaatkan oleh
seorang pendeta untuk membentuk moral yang baik di jemaatnya.
Amsal
22 : 6 Mengatakan “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka
pada masa tuanya ia tidak akan menyimpang dari jalan itu”
peran pendeta sangat besar dalam memberikan dasar bagi orang tua untuk mendidik
anaknya, agar mengalami pertumbuhan dan perkembangan moral yang baik,
sebagaimana bimbingan yang diberikan. Teori Kohlberg sangat membantu untuk
mewujudkan hal ini jika seorang pendeta bisa mendalaminya dengan seksama.
3.
Tanggapan
Tentang Albert Bandura
Ia adalah seorang tokoh
yang terkenal dengan teorinya, yaitu sosial-belajar. Dalam teori ini Bandura mengikut sertakan
bahwa adanya unsur kognitif yang menyertainya ketika melakukan pengamatan, hal
itu terlihat ketika dalam sebuah contoh objek penelitiannya, yaitu mengamati
tentang beberapa wanita yang belajar merajut hanya dengan memperhatikan saja
dan melihat bagaimana gurunya member contoh mengerjakan rajutan tersebut.
ketika para wanita itu merasa bisa melakukannya, maka ternyata mereka tidak
mengalami kesulitan, dan segera bisa melakukan hal itu dengan baik. Hal itu
terlihat bahwa unsure kognitif sangat berperan baginya untuk menerangkan teori
sosial-belajarnya.[7]
Dalam pengamatannya ia mengemukakan empat komponen dalam
proses belajar yakni :
No
|
Nama komponen belajar
|
Aplikasi atau hasil yang dibuat setelah melakukan
salah satu komponen proses belajar tersebut.
|
1
|
Memperhatikan, seseorang menaruh perhatian
terhadap sesuatu/model yang akan ditiru.
Contoh :
pengaruh tv, dengan model-modelnya terhadap kehidupan masyarakat, terutama
dalam dunia anak-anak.
|
·
Keinginan memperhatikan yang dipengaruhi suatu
minat pribadi akan semakin menarik minat seseorang, semakin besar minat yang
didapati dari memperhatikan, semakin mudah tertarik perhatian seseorang
terhadapnya.
|
2
|
Mencamkan, ada sesuatu yang disimpan, serta
dicamkan seorang anak ketika memperhatikan suatu model tertentu.
|
·
Setelah memperhatikan, mengamati suatu model, maka
pada saat lain anak akan memperlihatkan tingkah laku yang sama dengan model
itu.
|
3
|
Mereproduksikan gerak motorik.
Supaya bisa
mereproduksikan sesuatu secara tepat seseorang harus sudah bisa
memperlihatkan kemampuan-kemampuan motorik, yang juga meliputi kekuatan fisik
seseorang.
|
·
Seorang anak yang memperhatikan ayahnya mencangkul
diladang, harus meliki kekuatan yang cukup ketika ia akan meniru gerakan
ayahnya dengan tepat.
|
4
|
Ulangan-penguatan dan motivasi
Setelah
seseorang melakukan pengamatan terhadap suatu model, ia mencamkannya. Apakah
ia akan mereproduksikan hal itu, semua tergantung dari seberapa besar
motivasi yang ada pada dirinya dan juga minatnya tentang model tersebut.
|
Apabila
motivasinya kuat untuk mereproduksikannya, misalkan karena ada hadiah atau
keuntungan, maka ia akan melakukan hal itu. Jika tidak, maka lanbat laun
motivasinya akan hilang.
|
Teori Albert Bandura
memperlihatkan bahwa proses peniruan sangat penting bagi kehidupan anak-anak.
Dengan pengamatan yang menggunakan model-model tertentu sebagai objeknya Albert
Bandura memperkuat pandangan itu. Anak-anak akan bertindak sesuai dengan model
yang menarik minatnya lebih daripada hal-hal lain. Seorang anak memiliki
kecenderungan meniru berbagai tokoh disekitarnya, baik yang dilihat melalui televisi,
dibaca melalui koran, majalah dan sebagainya. Anak hidup tidak bisa lepas dari
orang lain, hidup dalam lingkungan bersama dengan orang lain, ia terbentuk dari
lingkungan sosial. Dalam lingkungan inilah kemudian ia akan mempelajari banyak
hal.
Bagi seorang pendeta, teori sosial belajar ini kiranya
mampu menyadarkan akan pentingnya lingkungan jemaat yang bisa diatur, yang
nantinya akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung
perkembangan anak jemaatnya.
Menyadari bahwa kebutuhan yang membentuk karakter seorang
anak adalah meniru, maka seorang pendeta diharapkan mampu menjadi motivator
yang baik untuk jemaatnya yang menjadi orang tua. Ini dilakukan agar orang tua
dan pendeta menjadi tokoh yang paling pantas untuk ditiru, agar keinginan dari
si anak untuk meniru tokoh-tokoh yang dia lihat dari tv atau media maupun
lingkungan sekitar yang kemungkinan “kurang baik” akan berkurang.
Seorang pendeta
bisa menggunakan dasar teori ini untuk melakukan perubahan terhadap tingkah
laku si anak. Seorang pendeta dapat memberikan dorongan penting pada setiap
orang tua untuk menjadi tokoh yang ideal untuk ditiru anaknya, agar anaknya
tidak mengalami peniruan terhadap sebuah kesalahan. Seorang pendeta juga bisa
memberikan gambaran kepada jemaatnya, bahwa penghargaan yang berupa pujian
maupun hadiah akan sangat berperan penting dalam pembentukan sosial-belajar si
anak. Dorongan orang tua maupun pendeta yang mampu menciptakan lingkungan
sosial yang baik akan sangat menolong pembentukan diri si anak.
Seorang pendeta juga harus membuat dirinya bias menjadi
model yang layak ditiru oleh anak-anak, pemuda, maupun kalangan social dimana
ia berada. Ini bisa ditunjukkan dengan tutur kata, kerendahan hati dan juga
sikap dan pola hidupnya ditengah-tengah jemaat yang kiranya bias menjadi contoh
dan teladan bagi masyrakat. Pola hidup yang baik, hendaknya mampu membentuk
suatu lingkungan social yang baik pula.
KESIMPULAN
Ketiga tokoh diatas
bersama dengan teori mereka sangat berperan penting bagi kehidupan kita,
terutama bagi seorang pendeta. Dari teori-teori yang mereka sampaikan kita bisa
mempelajari dan kemudian memiliki pengetahuan yang besar tentang bagaimana
membentuk suatu tatanan hidup manusia. Belajar ketiga teori tersebut akan
sangat berguna bagi kita untuk membentuk suatu lingkungan sosial yang baik dan
sesuai dengan kehendak Allah.
Sebagai seorang pemimpin jemaat, tentu kita meliki
keinginan agar jemaat yang kita pimpin bisa menjadi contoh bagi orang lain.
Dengan memahami teori-teori diatas, sedikitnya kita akan memiliki sedikit
pengetahuan bagaimana cara membentuk sebuah karakter manusia sejak dini, supaya
lingkungan kita benar-benar lingkungan yang sesuai dengan firman Allah, yaitu
sebagai umat yang dipilih. Sebab orang-orang Kristen adalah orang-orang yang
harus memiliki karakter kristiani, memiliki karakter sebagai umat pilihan. Bdk . 1 PTR 9 : 2 “Tetapi Kamulah bangsa
yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah
sendiri, supaya kamu memberitakan hal-hal yang besar dari Dia, yang telah
memanggil kamu keluar dari kegelapan menuju terangnya yang ajaib.”
Untuk membentuk sebuah karakter sebagai umat pilihan kita
perlu melakukannya sejak dini, dengan menjadi teladan serta contoh yang baik
bagi anak-anak, agar mereka bisa bertumbuh sebagaimana yang kita harapkan.
Ketiga teori dari tokoh-tokoh diatas akan sangat membantu kita.
Bahan
Bacaan :
Gunarsa,
Singggih D. dan Gunarsa, Ny. Y Singgih. (1991) Psikologis Praktis Anak Remaja
dan Keluarga. Jakarta . BPK Gunung Mulia.
Fowler,
James., KANISIUS Jakarta 1995.,
Mata
Kuliah Tulus Tu’u (Psikokogi Perkembangan)
Makalah
kelompMakalah kelompok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar