HERMENEUTIKA PERJANJIAN BARU II
Bahan Kuliah Minggu I
1. Definisi
Secara tradisional, hermeneutika didefinisikan sebagai studi
tentang lokus dan prinsip-prinsip penafsiran (the study of the locus and principles of interpretation), terutama
dalam memahami naskah-naskah purba.[1]
Istilah “hermeneutika” berasal dari kata Yunani “hermeneuein,” yang berarti “menafsirkan” atau “menerjemahkan.” Kata
kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas
menafsirkan kehendak dewata, karena itu hermeneutika
sering diartikan sebagai “ilmu tafsir.” Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menetapkan
prinsip-prinsip, aturan dan patokan, yang menolong kita untuk mengerti
atau mengartikan suatu karya atau dokumen, terutama dokumen purba.
Dengan
pertolongan prinsip-prinsip,
aturan dan patokan yang ditetapkan tersebut dihasilkanlah tafsiran atas suatu
karya atau naskah, terutama naskah purba. Penerapan prinsip-prinsip hermeneutis untuk memahami teks-teks
purba, termasuk Alkitab, disebut “eksegese”
(berasal dari kata Yunani “eks-egesthai”
yang berarti “mengeluarkan” atau “menerangkan”). Meskipun dapat dan juga harus
diterapkan untuk mengartikan suatu karya profan, namun hermeneutika terutama dikembangkan sehubungan dengan penafsiran
atas teks-teks Alkitab. Hermeneutika
alkitabiah dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip, aturan dan patokan,
yang menolong kita untuk
mengerti pesan dan maksud sesungguhnya yang hendak disampaikan oleh teks-teks
Alkitab.
2. Perlunya hermeneutika alkitabiah
Teks-teks Alkitab perlu
ditafsirkan, karena pesan sebenarnya dari teks-teks tersebut tidak selalu jelas
bagi para pendengar atau pembaca yang tidak lagi hidup sezaman dengan teks-teks
tersebut. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa Alkitab bukanlah firman Allah yang
secara langsung dan harfiah didiktekan kepada manusia. Memang Alkitab adalah
firman Allah, namun sekaligus juga firman manusia. Maksudnya, firman Allah tersebut
disampaikan kepada manusia melalui manusia yang hidup dan berada dalam jalinan
kontekstualnya yang amat kompleks (meliputi alam berpikir, konteks historis dan
politis, gaya sastra, jalinan sosio-kultural, sosio-religius, sosio-politis, sifat personal individu yang
diperkenan Allah sebagai penulisnya, dsb.).
Para penulis
kitab-kitab dalam Alkitab (yang adalah manusia) menulis karangan-karangannya
berdasar alam pikiran, kebudayaan dan konteks historis tertentu, yang bukan
alam pikiran, kebudayaan dan konteks para pembaca atau pendengar pada zaman
kemudian dan pada zaman sekarang. Maksud sebenarnya (maksud asli, original intentions) teks-teks
Alkitab harus digali, lalu diterjemahkan ke dalam alam pikiran kita di sini dan
saat ini. Jadi, Alkitab membutuhkan penafsiran. Untuk
itu perlu adanya sejumlah prinsip dan patokan untuk menafsirkan pesan Alkitab
yang sebenarnya. Dengan langkah itu, diharapkan kekeliruan dan kesalahpahaman
dapat dicegah dan
diminimalisasi. Itulah tujuan hermeneutika.
Di samping itu,
teks-teks Alkitab ditulis sekian ratus atau bahkan (bagian-bagian tertua) sekian
ribu tahun yang lalu. PL ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram, sedangkan PB
dalam bahasa Yunani. Bahasa-bahasa itu bukanlah bahasa kita, bahkan sudah
mendjadi bahasa mati, yang tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah
sebabnya, Alkitab perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang masih hidup. Tentu
saja, setiap “terjemahan” mengandung unsur “tafsiran.” Dalam setiap bahasa
pasti ada “rasa bahasa” yang tidak dapat diterjemahkan, karena itu, setiap
terjemahan tentu mengandung kelemahan. Penerjemah hanya (dapat) menerjemahkan
apa yang dimengerti dan sejauh yang dapat dimengertinya.
3. Sejarah
singkat perkembangan sistem hermeneutika
a.
Periode
Bapa-bapa
Gereja
Perkembangan prinsip-prinsip
hermeneutika dalam periode Bapa-bapa
gereja berhubungan erat dengan tiga pusat kehidupan gereja waktu itu.
1)
Aliran
Aleksandria
Pada awal abad III, penafsiran
Alkitabiah sangat dipengaruhi oleh sekolah katekhetis Aleksandria. Di kota ini terjadi pertemuan antara
agama Yahudi dengan filsafat Yunani, yang
satu sama lain saling mempengaruhi. Pada
masa ini, filsafat Platonisme dalam bentuk Neo-Platonisme dan
Gnostikisme masih hidup subur. Jadi tidak mengherankan jika sekolah katekisasi
yang terkenal di sana sangat dipengaruhi oleh filsafat populer ini. Tokoh
terkenal dari Aleksandria adalah Clemens dan
Origenes, muridnya. Mereka menganggap Alkitab sebagai Firman Allah dalam
pengertian yang paling ketat. Mereka sangat menekankan teks harfiah
Alkitab dan
berpendapat bahwa untuk memperoleh pengetahuan Alkitab yang sebenarnya, sistem
penafsiran allegorislah yang paling tepat digunakan. Clemens Aleksandria
adalah orang pertama yang menerapkan metode allegoris untuk menafsirkan PB,
sebagaimana ia juga menerapkannya untuk PL. Ia berpegang pada prinsip bahwa
seluruh Kitab Suci harus dipahami secara alllegoris. Menurutnya, arti harfiah
Alkitab hanya dapat melengkapi iman elementer, sedangkan makna allegoris akan
menuntun pada pengetahuan yang sesungguhnya.[2]
Origenes, murid
Clemens, dapat disebut
sebagai teolog besar pada zamannya. Prinsip dasar teori penafsirannya adalah
bahwa makna yang
diberikan Roh Kudus selalu sederhana dan jelas serta pantas bagi
Allah. Semua yang tampak gelap, amoral dan mustahil hanyalah pendorong untuk
mencari makna yang lebih tinggi di luar makna harfiahnya. Ia menganggap Alkitab
sebagai alat keselamatan manusia, dan karena manusia terdiri dari tubuh, jiwa
dan roh, maka seperti itu pula, Alkitab harus dipahami dari makna harfiah,
moral dan mistis atau allegorisnya.[3] Pemikiran Origenes terbentuk
selama paruh pertama abad III, di tengah berkembangnya sinkretisme keagamaan.
Sistem hermeneutiknya didasarkan pada paling
tidak empat prinsip, yaitu bahwa Alkitab itu: (a) diilhamkan
oleh Allah; (b) satu kesatuan; (c) diberikan untuk maksud yang pasti; dan (d)
harus dipahami secara allegoris.
Origenes setia
kepada tradisi gerejawi yang menandaskan bahwa Alkitab itu diilhamkan oleh
Allah, bukan hanya susunan manusia. Meskipun ia mempertanyakan kanonisitas
beberapa kitab PB dan menilai tinggi kitab-kitab yang lain, pada dasarnya ia
berpegang pada pendapat bahwa seluruh kitab dalam Alkitab diilhamkan oleh
Allah, karena itu tidak mungkin mengandung kesalahan.
Pendapatnya
bahwa Alkitab merupakan kesatuan adalah untuk menentang Marcion yang
merendahkan nilai PL dan menentang orang-orang Yahudi yang menganggap orang
Kristen tidak menghargai PL. Baginya, PL dan PB adalah satu kesatuan yang
bernilai setara. Dalam PL, kebenaran Allah masih tersembunyi dan baru menjadi
jelas setelah diterangi dengan PB. Keduanya harus dipahami secara allegoris.
Origenes
berpendapat bahwa Alkitab tidak mungkin memuat hal yang tidak pantas bagi
Allah, karena itu, semua pesannya harus diterima. Maksud Alkitab adalah
mengomunikasikan kebenaran ilahi. Maksud pertama pemberian Alkitab adalah
sebagai pengajaran tentang hakikat manusia, hakikat Allah, hakikat dunia, dosa
dan penebusan. Maksud kedua adalah megajarkan kebenaran yang lebih tinggi.
Kebenaran tertinggi hanya dimengerti oleh mereka yang tidak hanya memahami teks
yang diilhamkan itu, melainkan mencari makna simbolik di balik teks harfiah
itu. Karena itu Alkitab harus dipelajari, baik secara harfiah, maupun secara
allegoris.
Menurut
Origenes, Alkitab sangat bermanfaat, baik dalam memberikan makna langsung,
maupun sebagai simbol kebenaran yang lebih tinggi. Alkitab memiliki makna batin
yang hanya sebagian dinyatakan dalam arti harfiah. Namun, dalam pengajaran
eksplisit itu terkandung pula kebenaran yang lebih tinggi secara implisit.[4]
2)
Aliran
Antiokhia
Aliran ini didirikan oleh Dorotheus
dan Lucius menjelang akhir abad III. Pada
mulanya, Dorotheus adalah penatua Antiokhia, dan pada 378 menjadi
uskup di Tarsus. Dua orang muridnya yang terkenal adalah Theodorus dari
Mopsuestia dan Yohanes Chrisostomus. Pandangan kedua orang ini sangat berbeda
dalam banyak hal. Theodorus Mopsuestia memiliki pandangan yang lebih liberal
mengenai Alkitab, sedangkan Chrisostomus tetap berpegang pada pendapat bahwa
Alkitab adalah Firman Allah yang tidak dapat salah. Penafsiran Theodorus lebih bersifat intelektualistis dan dogmatis,
sedangkan penafsiran Chrisostomus lebih bersifat
spiritual dan praktis. Theodorus lebih terbuka untuk melihat faktor
manusiawi dalam Alkitab, namun sayangnya, menolak bahwa Kitab Suci adalah ilham
ilahi. Ia menolak metode penafsiran allegoris dan mempertahankan penafsiran
gramatikal-historis.[5]
3)
Penafsiran
tipe Barat
Tokoh-tokoh penafsir Barat yang
terkenal adalah Ambrosius, Hilary, Yerome dan Augustinus. Penafsiran Yerome
lebih didasarkan pada terjemahan Vulgata, sekalipun ia akrab dengan bahasa
Ibrani dan Yunani. Karyanya terdiri dari catatan-catatan linguistik, historis
dan arkheologis. Augustinus lebih menguasai bahasa asli Alkitab daripada
Yerome. Namun, ia bukanlah seorang penafsir Alkitab, melainkan seorang
sistematikus yang berusaha mensistematisasi kebenaran-kebenaran alkitabiah. Ia
berpegang pada prinsip hermeneutika bahwa seorang penafsir harus memahami
Alkitab secara filologis (berkenaan dengan budaya dan sastra), kritis dan
historis. Lebih dari itu, kita
haruslah mengenal betul penulis masing-masing kitab dalam Alkitab. Ia
menekankan makna harfiah teks-teks Alkitab sebagai dasar penafsiran
allegorisnya. Namun demikian, penafsiran allegorisnya lebih bebas. Jika makna
teks tersebut agak meragukan, ia mendasarkan pendapatnya pada iman gereja.
Sayang sekali bahwa Agustinus masih berpegang pada patokan: historis,
aetiologis (berkenaan dengan sebab musabab), ontologis dan allegoris.[6]
b.
Periode
Abad Pertengahan
Selama abad pertengahan banyak
orang, bahkan juga para pejabat gereja, tidak tahu tentang Alkitab. Kalaupun
tahu, yang mereka ketahui hanyalah terjemahan Vulgata dan tulisan Bapa-bapa Gereja. Alkitab
dianggap sebagai kitab yang penuh misteri yang hanya dapat diketahui dengan
cara mistis. Pada waktu itu metode penafsiran yang diterima adalah penafsiran
secara harfiah, tropologis (kias), allegoris dan analogis. Yang menjadi pedoman
pemahaman Alkitab adalah tradisi dan doktrin gereja. Semboyannya adalah
pelajari dulu apa yang harus diimani, baru kemudian cocokkan dengan Alkitab dan
temukan di sana apa
yang diimani tersebut.
c.
Periode
Reformasi
1) Martin Luther
Martin Luther mendekati Alkitab
dari tiga sudut pandang: (a) asumsinya tentang hakikat Alkitab, (b) presuposisi
yang menuntun interpretasinya terhadap Alkitab, dan (c) penekanan pada
pentingnya iman dalam menafsirkan Alkitab. Bagi Luther, Alkitab adalah kitab
autoritatif, karena itu semboyannya adalah sola
scriptura. Ia menekankan perbedaan antara kemurnian kesaksian Firman Allah
dalam Alkitab dengan tradisi gereja. Luther memandang bahwa pada waktu itu
tradisi gereja sudah menggantikan Alkitab. Luther menganggap Alkitab sebagai
buku yang diilhamkan, namun ia tidak pernah menyembah Alkitab. Ia memperlakukan
Alkitab secara bebas, berdebat dengan Paulus dan Yohanes serta mempertanyakan
kanonisitas beberapa kitab PB seperti Yakobus, Yudas dan Wahyu. Ia meragukan
bahwa Salomo adalah penulis Amsal dan menganggap Kitab Raja-raja seratus kali
lebih baik daripada Kitab Imamat. Bagi Luther, yang menyebabkan Alkitab itu
autoritatif adalah pesannya tentang Kristus. Alkitab adalah kitab kristosentris,
karena pada hakikatnya Alkitab adalah Injil Yesus Kristus.[7] Karena itu, Luther sangat
mengutamakan kitab-kitab yang berbicara tentang Kristus dan untuk Kristus,
Firman Allah yang sejati, yang adalah isi dari Firman Allah yang tertulis dalam
Alkitab.[8]
Luther
menggantikan metode allegoris dengan pendekatan sensus literalis (makna harfiah), grammaticus (tata bahasa) atau historicus
(jalinan historis). Dalam menafsirkan Alkitab, ia menekankan hak pribadi untuk
melakukan penilaian, pentingnya mempertimbangkan konteks dan jalinan historis
teks Alkitab, pentingnya iman dan wawasan rohani dalam diri penafsir, serta
keinginan untuk menemukan Kristus di mana pun dalam Alkitab. Di samping itu, Luther
juga menganut prinsip Alkitab adalah penafsir terbaik atas dirinya sendiri. Sacra Scriptura
sui interpres (Kitab Suci adalah
penafsirnya sendiri). Artinya cukup sederhana, yaitu bahwa tidak ada bagian
Alkitab yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga konflik dengan apa yang
dengan jelas diajarkan di bagian Alkitab yang lain. Misalnya, jika suatu ayat
tertentu memungkinkan adanya dua macam penerjemahan atau penafsiran yang
berlainan dan salah satu penafsiran itu berlawanan dengan bagian-bagian Alkitab
yang lain, sedangkan penafsiran yang kedua itu cocok dengan keseluruhan makna
Alkitab, maka penafsiran yang kedualah yang harus dipakai.
Penafsiran harus
ditempatkan di samping Alkitab dengan cara yang tepat, karena pada dasarnya
Alkitab itu memiliki kejelasan (claritas),
memiliki kuasa menerangi. Makna istilah-istilah dalam Alkitab ditentukan oleh
penggunaannya dalam Alkitab itu sendiri. Bagian-bagian yang gelap dapat
diketahui maknanya dari bagian-bagian yang terang. Tiap bagian dalam Alkitab haruslah dipahami dalam
terang keseluruhannya, dalam arti,
diterangi dari pengertian
tentang pesan inti
Alkitab secara keseluruhan. Luther juga menekankan pengalaman iman sebagai
dasar yang penting untuk memahami Alkitab. Orang yang memahami Alkitab adalah orang
yang telah bertemu dengan Allah dalam Kristus dan yang telah dibenarkan oleh
anugerah Allah.[9]
Prinsip
itu bertumpu pada kepercayaan sebelumnya kepada Alkitab sebagai Firman Allah
yang diwahyukan. Karena itu Luther juga percaya bahwa Alkitab itu konsisten dan
koheren (berkaitan). Ia beranggapan bahwa Allah tidak akan berkontradiksi
dengan diri-Nya sendiri. Karena itu, memilih suatu interpretasi yang
menyebabkan Alkitab bertentangan dengan dirinya sendiri, sesungguhnya sama
dengan menghujat Roh Kudus.
2) Melanchthon
Melanchthon adalah tangan
kanan Luther yang memiliki pengetahuan luas dan sangat menguasai bahasa Yunani
dan Ibrani, yang membuatnya menjadi seorang penafsir yang hebat. Kecuali metode
penafsiran Luther yang dianutnya, ia menambahkan prinsip: (a) sebelum dipahami
secara teologis, Alkitab harus lebih dulu dipahami secara gramatikal, (b)
Alkitab hanya memiliki makna tertentu yang sederhana.
3) Yohanes Calvin
Calvin adalah seorang penafsir
besar. Ia membuat tafsiran yang sangat berharga untuk hampir seluruh
kitab-kitab dalam Alkitab. Prinsip dasar penafsiran Luther dan Melanchthon
diambil alih, namun ia tidak setuju dengan pendapat keduanya bahwa Kristus
harus ditemukan di mana pun dalam seluruh Alkitab. Calvin juga mengembangkan
teori penafsirannya sendiri. Ia menilai metode allegoris sebagai alat setan
untuk mengaburkan makna Alkitab. Ia menekankan bahwa Kitab Nabi-nabi harus
ditafsirkan dalam terang jalinan historisnya. Prinsip penafsiran yang harus
dipegang adalah membiarkan penulis teks-teks Alkitab berbicara sebagaimana
mereka berbicara dan bukan memasukkan pemikiran kita ke dalam perkataan mereka.
d.
Periode
modern
1) Friedrich Schliermacher
Bagi Schliermacher, satu-satunya
cara untuk memahami isi Alkitab adalah dengan metode eksegesis ilmiah. Menurutnya,
untuk memahami teks-teks alkitabiah secara penuh, seorang penafsir harus
menggabungkan analisis literer dan historis dengan imajinasi dan intuisinya.
Kesenjangan antara penulis teks-teks alkitabiah dengan penafsir tidak dapat
dijangkau hanya dengan analisis objektif saja. Metode historis-kritis harus
digunakan dengan konstruksi imajinatif penafsir. Menemukan konstruksi
imajinatif teks-teks alkitabiah merupakan suatu seni. Jadi, bagi Schliermacher,
tugas hermeneutis pertama-tama dimulai dengan mempelajari jalinan historis dan
simbol-simbol linguistik penulis teks, kemudian diikuti dengan usaha re-kreasi psikhologis penafsir.
Schliermacher menyadari
bahwa orang belum dapat memahami teks alkitabiah jika ia hanya menerapkan
kategori-kategori logis dan analisis gramatikal. Di samping analisis eksternal
objektif, masih diperlukan penetrasi subjektif dan intuitif atas karya yang
merupakan ungkapan kehidupan penulis. Problem hermeneutika, yaitu kesenjangan
antara kehidupan kita kini dengan apa yang dikatakan oleh teks, dilihat oleh Schliermacher
sebagai masalah yang tidak terpecahkan oleh metode kritis-historis. Di samping
pendekatan gramatikal-historis, untuk memahami makna sebuah teks perlu pula interpretasi
psikhologis, yaitu dengan melakukan reproduksi imajinatif atas proses
terciptanya sebuah karya yang sebenarnya. Ada dua keberatan terhadap pendapat
Schliermacher, yaitu: (1) Kesenjangan historis antara penulis di masa lampau
dengan kekinian kita tidak dapat dijembatani dengan tindakan psikhologis, sebab,
sekalipun penulis dan penafsir memiliki sensitivitas terhadap pengalaman
bersama oleh karena kesamaan hakikat kemanusiaannya, metode reproduksi
psikhologis tidak begitu
mempertimbangkan perbedaan situasi historis. (2) Apa yang dimaksudkan sebagai
ungkapan alkitabiah bukanlah jiwa penulisnya, melainkan sesuatu yang harus
dikatakan sebagaimana adanya. Jadi, interpretasi psikhologis, dari sisi maksud
si penulis sendiri, telah bergeser. Interpretasi tersebut telah menggeser objek
pemahaman dari isi teks ke proses terciptanya teks dari batin si penulis.
2) Wilhelm
Dilthey
Dilthey berusaha untuk menemukan
arti asli dari teks lalu menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si
pengarang. Apa yang dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini
Dilthey masih terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha
meniadakan prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si
pengarang. Bila makna suatu teks hanya terbatas pada makna di zaman pengarang
teks, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah makna hasil penafsiran si
penafsir atau sejarawan tersebut bagi kekinian kita? Bila teks tersebut hanya
merupakan pemaparan makna seutuhnya dari pengarang menurut zamannya, bagaimana
kita menafsirkan atau memahami teks dari si penafsir atau sejarawan? Bukankah
tafsiran itu ia hasilkan dalam konteks zamannya yang memiliki kekhasannya
sendiri? Bila penafsiran hanya mereproduksi makna si pengarang dalam zamannya,
berarti teks tersebut tertutup dan tidak berbicara bagi kita dalam konteks masa
kini. Seharusnya, makna suatu teks tidak hanya terbatas untuk zamannya, melainkan
juga terbuka bagi masa kini. Sekalipun demikian, perhatian Dilthey mengenai
historisitas suatu teks perlu diperhatikan. Teks berasal dari konteks tertentu,
karena itu konteks tersebut haruslah dimengerti. Hanya saja, teks tidak
akan berarti apa-apa tanpa dikomunikasikan dengan konteks masa kini.
Wilhelm Dilthey
meneruskan hermeneutika psikhologis Schliermacher. Ia sepakat bahwa penafsir
haruslah menghidupkan kembali momen kreatif ungkapan kehidupan penulis yang
asli. Menurutnya, peristiwa-peristiwa historis masa lalu haruslah dipahami
sebagai ungkapan historis kehidupan personal. Dengan cara demikian, skopa (cakupan) hermeneutika secara
potensial dapat berkembang, namun tidak mungkin membebaskan diri dari
keterbatasan psikhologis konsepsi Schliermacher. Sejarawan masa kini dapat
menafsirkan peristiwa masa lalu karena semua peristiwa historis merupakan
pengaruh roh manusia, yang di dalamnya sejarawan itu sendiri ikut ambil bagian
dalam struktur dan kapasitasnya. Penulis sejarah dan pembuat sejarah adalah
sama-sama manusia. Asumsinya, pengertian atas dokumen historis harus dibatasi
oleh kemungkinan pengalaman, yang memiliki kesamaan makna bagi penulis dan
penafsir. Sejarawan tidak akan menemukan apa pun yang benar-benar di luar
jangkauan kemampuan pemahaman pengalaman manusia. Kitab suci hanya dapat
didengar jika menggemakan pengalaman manusia yang memiliki pertalian dengan
pengalaman penafsir. Dalam hal ini sejarah bukanlah medium tindakan ilahi,
melainkan “bidan” bagi lahirnya kemungkinan pengalaman manusiawi.
3) Martin
Heidegger
Hermeneutika Heidegger dapat
diringkaskan dalam tiga fase yang merupakan satu kesatuan. Pada fase pertama,
teks haruslah diinterpretasi dalam terminologi pengertian manusiawi. Dalam hal
ini, pemahaman awal diberi tempat relatif penting. Fase kedua, penafsir menyisihkan
pemahaman awal yang telah ada tersebut dan menggantikannya dengan teks yang
dijumpainya. Di sini penafsir memiliki peran pasif, ia harus mendengarkan apa
yang dikatakan teks.[10] Fase ketiga, penafsir
haruslah mendengarkan bahasa teks sebagai aktualisasi ungkapan diri Sang Ada.[11] Dalam hal ini, “bahasa”
haruslah dipahami, baik sebagai fenomenon eksistensial maupun ontologis;
penafsiran memerlukan, baik bertanya maupun mendengar; memerlukan kesadaran
akan arah dan keinginan untuk diarahkan. Hal yang penting dicatat, Heidegger
sangat menekankan pemahaman awal yang tepat untuk mendengar apa yang dikatakan
teks, entah pesannya bersifat eksistensial atau ontologis, dan entah kita
mempertanyakan teks itu atau hanya mendengarkannya.
4) Rudolf
Bultmann
Sosok sentral dalam hermeneutika
alkitabiah modern adalah Rudolf Bultmann. Hermeneutika Bultmann didasarkan pada
fase pertama Heidegger, bahwa teks haruslah kita interpretasi dalam
terminologi-terminologi pemahaman kita sendiri. Namun metode hermeneutika
Bultmann tidak lagi menekankan “bahasa” (yang kebanyakan bersifat mitologis).
Ia kembali pada “pengertian” atau “pemahaman,” yang lebih utama dan lebih
autentik daripada “bahasa.”[12] Cara untuk memahami makna
historis fenomenon adalah dengan menganalisis keberadaan (eksistensi) manusia
melalui kategori-kategori filosofis Heidegger. Perhatian Bultmann adalah
menemukan kondisi yang memungkinkan suatu pemahaman historis. Ia melihat
perlunya unsur bersama tertentu antara penulis dan penafsir, yaitu minat
bersama dalam suatu subjek bersama.
Pendapat
Bultmann mengenai problema hermeneutis sejalan dengan pendapat Schleiermacher dan
Dilthey. Menurutnya, sudah tepat jika Schliermacher dan Dilthey memusatkan
perhatian pada presuposisi interpretasi sejarawan, yaitu pertalian dasar
eksperiensial antara penulis teks dengan si penafsir. Bultmann ingin
memperjelas presuposisi ini. Ia juga mendekati teks dengan pandangan mengenai
struktur eksistensi manusia yang sudah ada dan kemungkinan-kemungkinannya. Salah
satu unsur dalam struktur itu adalah keterlibatan manusia, baik yang menjadi
alamat teks itu maupun sebagai penafsir. Presuposisi yang berperan dalam
interpretasi historis berhubungan dengan relasi penafsir dengan subjek, yang
langsung atau tak langsung diungkapkan dalam teks.[13] Tentu saja, subjek yang
diperhatikan tergantung pada minat sejarawan, baik secara politis, estetis,
maupun religius. Minat ini, apa pun bentuknya, berfungsi sebagai pra-pemahaman
yang memunculkan pertanyaan terhadap teks.
Tentu saja kita
sepakat dengan Bultmann untuk menentang historisisme naïf bahwa “eksegesis
tidak mungkin tanpa presuposisi.”[14] Kita setuju bahwa setiap
tafsiran sejarawan atas dokumen-dokumen historis ditentukan oleh
pra-pemahamannya. Dalam menafsirkan Alkitab, penting sekali ada self-critical atas hakikat dan peran
pra-pemahaman. Menurutnya, syarat-syarat untuk menafsirkan tulisan-tulisan
alkitabiah tidak berbeda dengan syarat-syarat yang diterapkan untuk
bermacam-macam literatur yang lain.[15] Pernyataan ini memiliki
konsekuensi lebih jauh menjadi semacam aksioma bagi hermeneutika modern. Dengan
munculnya metode historis-kritis dan matinya kontrol dogmatis atas eksegese,
maka pembedaan kuno antara penafsiran untuk teks-teks suci dan teks-teks profan
pun runtuh. Sejak itu kekhasan dimensi teologis atas hermeneutika tidak lagi
dipertimbangkan.
Benar bahwa
pra-pemahaman, yang sangat berperan dalam interpretasi alkitabiah, sudah ada bersama
dengan eksistensi manusia. Karena itu, pra-pemahaman itu dapat disebut sebagai
pra-pemahaman eksistensial. Hans-Georg Gadamer, seorang filsuf Heidelberg,
mengatakan bahwa meskipun Bultmann mengklaim validitas pra-pemahaman secara
umum, sesungguhnya Bultmann bertolak dari pra-pemahaman yang dibentuk oleh
asumsi-asumsi teologisnya. Dilemmanya, Bultmann menempatkan hermenutika
sedemikian rupa, sehingga bagi filsafat terlalu teologis dan bagi teologi
terlalu filosofis, sementara ia sendiri tidak mengungkapkan gagasan dasarnya
mengenai hubungan antara teologi dan filsafat. Karena Bultmann tidak
menguraikan hubungan teologis mata rantai hermeneutika yang menghubungkan teks
dengan penafsirnya, maka isi teks telah tereduksi menjadi interpretasi
eksistensialis yang hanya mencari pengertian tentang eksistensi, yang tercermin
dalam teks. Pesan penting teks dibatasi oleh keputusan a priori, bahwa
hal yang relevan dalam teks hanyalah yang dapat dimengerti oleh eksistensi
manusia. Dengan pembatasan seperti ini, diragukan bahwa teks dapat berbicara mengenai
apa yang hendak dikatakan. Paling tidak, untuk kebanyakan pembaca dan teolog,
di samping kemungkinan-kemungkinan eksistensi manusia, PB juga berkenaan dengan
banyak hal lain, seperti kehendak Allah dalam sejarah dan karya-Nya di dunia
ini.
Dalam
kenyataan, mungkin pernyataan PB tentang Allah, dunia, sejarah, masyarakat dan
gereja, hanyalah hal yang bukan-bukan, namun paling tidak, semua itu bukan
hanya hasil pemahaman diri manusia atau gambaran eksistensi manusia mengenai
kemungkinan-kemungkinannya. Namun, pengertian yang benar mengenai eksistensi,
tergantung pada pengetahuan tentang Allah, sejarah, masyarakat dan dunia, serta
susunan pemikiran alkitabiah. Titik berangkat hermeneutika yang mencoba melacak
konteks sebenarnya, agar saat ini kita dapat mendengar suara Alkitab secara
penuh, tidak mungkin netral. Sebab, pra-pemahaman, yang berfungsi sebabagi
presuposisi hermeneutis itu, dalam kenyataannya ditentukan oleh makna sejarah
alkitabiah bagi sejarah gereja dan kehidupan orang percaya. Makna itu tidak
lain adalah bahwa Alkitab merupakan medium bagi pesan tindakan penyelamatan
Allah. Gagasan Bultmann mengenai pra-pemahaman menyebabkan tereduksinya isi
pesan secara eksplisit, sehingga segala sesuatu dalam Alkitab tebagi menjadi
presuposisi iman dan ungkapan iman, yang tidak lagi memberi tempat objektivitas
iman (sekalipun iman tidak dapat diobjektivasi). Jadi, sejarah Israel dan kisah
hidup Yesus diturunkan ke dalam kelas presuposisi, dan segala sesuatu dalam PB
dianggap teologoumena (personal theological opinions) dalam bentuk
mitos.
Dalam karyanya yang provokatif ‘New Testament
and Mythology,’ diterbitkan pada 1941, Bultmann menguraikan
pendapatnya mengenai pentingnya melakukan demitologisasi atas PB. Menurutnya,
pesan alkitabiah disampaikan melalui kerangka mitologis, yang asing bagi
pandangan manusia modern. PB tidak bermaksud menggambarkan dunia ini secara
objektif, melainkan berusaha memahaminya dalam kerangka mitologis. Tugas
demitologisasi dalam penafsiran alkitabiah tidak bermaksud mengeliminasi mitos,
melainkan memahaminya secara eksistensial. Bagi Bultmann, kritisisme bentuk dan
demitologisasi demikian sentral dalam hermeneutikanya yang tercermin dalam
bukunya Theology of the New Testament.
Bahasa manusia
tidak cukup memadai untuk mengungkapkan realitas ilahi, karena itu digunakanlah
mitos untuk mengungkapkan kenyataan misterium
yang melampaui kemampuan inderawi manusia.[16]
Sebagai bahasa simbol yang memuat makna, mitos perlu diinterpretasikan. Ia
tidak dapat dipahami dalam makna lugas. Itulah sebabnya Rudolf Bultmann
mengusulkan metode demythologizing
untuk menangkap pesan-pesan Alkitab.[17] Salah
satu konsepsi, yang menurut Bultmann bersifat mitos adalah kosmologi dalam
Perjanjian Baru (PB) yang melukiskan tentang dunia para malaikat, setan,
mujizat dan penglihatan surgawi. PB mewarisi gambaran mitologis Perjanjian Lama
(PL) tentang dunia yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: dunia atas (surga),
dunia manusia (dunia tengah) dan alam maut (dunia bawah).[18] Bagi
orang-orang modern, dunia mitologis yang telah usang tersebut sulit untuk
dipercayai. Karena itu tugas pokok dalam berteologi adalah membebaskan kerygma (pesan-pesan, pewartaan) Kitab
Suci dari kerangka mitisnya. Namun tidak berarti bahwa dengan demythologizing-nya Bultmann bermaksud
menghilangkan mitos-mitos dalam PB, melainkan menafsirkan ulang makna yang
terkandung dalam mitos-mitos itu dengan cara berpikir modern.[19] Dengan
kata lain, demythologizing adalah
cara menginterpretasikan pemberitaan Kitab Suci untuk memahami pesan-pesan atau
kerygma-nya. Kerygma itu sendiri tidak ditentukan oleh gambaran-gambaran yang
mengitarinya, karena gambaran-gambaran tersebut bukanlah pembentuk kerygma. Sebaliknya, gambaran-gambaran
tersebut hanya dipakai untuk menginterpretasikan fakta-fakta historis atau
pengalaman-pengalaman spiritual dari kerygma-nya.
Upaya ini sama artinya dengan menerjemahkan wahyu Allah ke dalam bahasa
manusia.[20] Dengan
demikian pesan-pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh manusia pada zamannya.
5) Hans-Georg
Gadamer
Hermeneutika Gadamer merupakan
kritik terhadap positivisme dengan menekankan subjek penafsir. Gagasan
pencerahan berusaha meniadakan prasangka. Untuk memahami suatu teks, penafsir
harus mengesampingkan asumsi dan bias pikirannya sendiri. Penafsiran yang benar
harus terbebas dari khayalan sewenang-wenang dan pembatasan-pembatasan oleh kebiasaan
pemikirannya sendiri, serta hanya berorientasi pada teks itu sendiri. Menurut
Gadamer, hal itu mustahil dilakukan, karena pemikiran setiap orang dibentuk
oleh sejarah. Orang tidak mungkin melepaskan diri dari subjektivitas, tidak
mungkin benar-benar bebas nilai, tidak mungkin tanpa presuposisi. Orang tidak
mungkin memaknai teks tanpa dipengaruhi oleh kesadarannya. Seandainya hal itu
terjadi, maka kita hanya menyalin fakta dari suatu teks.
Gadamer mengkritik
pendapat seperti itu sebagai prasangka melawan prasangka. Dalam hal ini ia
melihat model yang anti terhadap prasangka ini dimungkinkan oleh suatu
prasangka (bahwa prasangka harus diatasi). Gadamer mengacu pada konsep wirkungsgeschichte (sejarah efektif)
yaitu kenyataan bahwa pengetahuan memiliki efek dalam sejarah sebab seorang
peneliti kritis adalah juga seorang aktor sejarah yang menjadi bagian dalam
kesinambungan proses sejarah dalam tradisinya. Dalam hal inilah ia menyinggung
tentang kesadaran sejarah. Mempunyai kesadaran sejarah adalah menjelajah dengan
sikap tertentu kenaifan alam yang membuat kita menilai masa lalu dengan apa
yang sering disebut skala prioritas tentang masa kini, dalam perspektif
institusi kita dan dari keyakinan nilai-nilai dan kebenaran kita.
Dalam memberi
makna pada teks, Gadamer berbeda pendapat dengan Schleirmacher dan Dilthey,
pendahulunya. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang menyatakan bahwa
keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si
pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan tempat
pengarang berada pada saat menulis teksnya. Menurut Gadamer, tujuan membaca
sebuah teks adalah mempelajari subjek dalam teks. Ia memberi contoh, bila ia
membaca biografi tentang seseorang yang bernama James Joyce yang ditulis oleh
Richard Ellmann, maka ia hendak mempelajari tentang James Joyce dan bukan
tentang proses mental dari Richard Ellmann. Ia juga mengkritisi pendapat
Dilthey yang melihat hermeneutika sebagai metode untuk mengerti teks secara
benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah
teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutika
adalah usaha menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar
peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Gadamer melihat bahwa bagaimana
pun upaya Dilthey sebenarnya sia-sia, karena, kita tetap tidak mungkin
meniadakan prasangka dan berusaha merepoduksi makna sebagaimana yang dihayati
oleh si pengarang.
Berkaitan
dengan itu, kita perlu memahami penekanan Gadamer mengenai cakrawala pandang (horizon).
Menurutnya, orang memahami sesuatu menurut horizon sejarah tertentu. Cakrawala
pandang yang dimaksudkan Gadamer berbeda dengan visi, yang meliputi segala
sesuatu yang dapat dilihat dari sebuah titik tolak tertentu. Tiap orang selalu
berada pada titik tertentu dan tempat ia berada selalu mempengaruhi apa yang dilihatnya.
Dengan demikian, yang
perlu dilakukan adalah mengembangkan cakrawala pandang seluas-luasnya, serta
terbuka terhadap cakrawala pandang yang baru.
Pendapat
Gadamer mengenai keharusan untuk memperluas cakrawala pemahaman sangat penting.
Proses memperluas cakrawala pemahaman dalam lingkaran hermeneu-tis ini tidak
pernah berhenti menghasilkan sebuah kebenaran objektif. Proses ini akan terus
berlanjut, sehingga makin mengembangkan dan memperluas cakrawala wawasan kita.
Ketika kita berhadapan dengan orang lain cakrawala wawasan kita akan diperluas
melalui interaksi dan dialog. Dengan demikian kita tidak hanya melihat atau
memahami sesuatu berdasarkan satu perspektif saja, yaitu perspektif kita
sendiri. Kita harus berusaha terbuka untuk mengembangkan wawasan melalui
dialog. Kita berdialog dengan orang lain bukan untuk memperoleh kebenaran
setepat-tepatnya tetapi untuk memahaminya. Dalam upaya memaknai tradisi masa
lalu, kita memahaminya dengan wawasan kekinian. Jarak dengan masa lalu tidak hanya
diatasi dengan merekonstruksi makna di masa lalu, melainkan memahaminya dengan cakrawala
wawasan kekinian.
Dalam dialog
tersebut terjadi benturan antara cakrawala pemikiran kita dengan orang lain.
Dalam dialog itu kita tentu membawa prasangka kita, namun kadangkala
prasangka-prasangka itu harus kita simpan, dalam rangka melihat pandangan orang
lain. Pandangan orang lain dilihat bukan untuk dinilai sebagai hal yang buruk
namun agar kita dapat memahaminya. Bagaimana dengan prasangka dan tradisi kita?
Bisa saja prasangka dan tradisi kita menjadi dominan dan kita anggap sebagai
kebenaran. Dalam hal inilah kita tetap perlu bersikap kritis terhadap prasangka
dan tradisi. Kita harus melihat, apakah prasangka kita mengarahkan kita untuk
mengerti atau justru menyembunyikan kita dari pengertian.
Perlu diingat
bahwa prasangka kita kadangkala tidak benar. Karena itu, kita perlu terus
memperluas cakrawala pandang melalui dialog. Hal ini berkaitan dengan konteks
hidup kita yang dinamis dan kompleks. Pikiran kita dibentuk oleh konteks, oleh tradisi
yang selalu berkembang dan demikian kompleks, sehingga makna yang kita berikan pun
berkembang. Apa yang kita alami dan kita lakukan dalam hidup kita pasti akan
mempengaruhi makna yang kita berikan terhadap sesuatu. Makna yang kita berikan
bukanlah kebenaran yang setepat-tepatnya, melainkan makna sesuai pengalaman
yang telah membentuk kita.
Misalnya,
penafsiran atas Yohanes 4:1-42 oleh sekelompok orang dengan latar belakang yang
berbeda-beda, ternyata menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda pula. Dialog
di antara para penafsir menghasilkan berbagai makna. Dalam konteks masyarakat
plural dan menekankan moralitas perempuan, beberapa orang memusatkan perhatian
pada moralitas perempuan Samaria dalam teks tersebut, sementara yang lain lebih
memperhatikan pluralitas agama dan etnis. Ketika teks tersebut ditafsirkan oleh
sekelompok orang yang berlatar belakang masyarakat Kristen yang relatif
homogen, ternyata hasilnya pun berbeda. Kelompok ini lebih memusatkan perhatian
pada eksklusivitas teks Yohanes, yang menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias dan
bahwa keselamatan hanya ada di dalam Dia. Bagaimana perbedaan penafsiran ini
harus dipahami? Teks yang dibaca adalah teks yang sama namun penafsiran yang
dihasilkan dapat berbeda-beda. Tentu kita tidak dapat menentukan bahwa salah
satu penafsiran adalah yang paling benar secara objektif. Keragaman penafsiran
itu memperlihatkan bahwa konteks budaya dan pengalaman mempengaruhi penafsiran.
Keragaman pengalaman dan konteks budaya yang menghasilkan perbedaan penafsiran ini
tidak dapat diatasi hanya dengan pendekatan objektif, dengan mengandaikan
adanya makna setepat-tepatnya.
Pengetahuan seseorang
dibentuk oleh konteksnya, karena itu, konteks sangat penting untuk memahami
makna. Apakah dengan demikian makna adalah sesuatu yang terus berubah-ubah? Menurut
Gadamer, berubah atau tidaknya sebuah makna tergantung konteks. Karena itu, setiap
orang terus menerus berada dalam proses pemikiran yang tidak pernah berakhir. Orang
tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Ketika orang hendak memberi makna
pada sesuatu, pikirannya tentu terkait dengan pengalaman, tradisi dan konteks
hidupnya. Dengan demikian seseorang tidak pernah bebas nilai.
4.
Prinsip-prinsip pokok hermeneutika
Setelah Reformasi, hermeneutika
Protestan terutama menekankan aturan yang harus ditaati dalam melakukan
eksegesis. Karena Alkitab diidentifikasi sebagai Firman Allah, maka masalah
hermeneutis terutama berpusat pada studi atas masing-masing dokumen alkitabiah,
baik konteks literalnya maupun situasi yang lebih luas ketika dokumen-dokumen
itu ditulis. Pendekatan hermeneutis ini berkembang terutama setelah munculnya
ahli-ahli kritik alkitabiah pada abad XIX. Untuk memahami pesan Kitab Suci
diperlukan studi atas:
(a) struktur dan ungkapan-ungkapan (idiom)
bahasa alkitabiah
(b) tipe sastra yang ditampilkan: prosa, puisi, sejarah atau allegori,
harfiah lugas atau simbolik, dan bentuk
sastra khas seperti sastra apokaliptis
(c) latar belakang sejarah
(d) kondisi geografis
(e) konteks kehidupannya (life setting, Sitz im Leben), baik sosio-religius, sosio-kultural,
mapun sosio-politisnya.[21]
Alkitab sebagai karya manusiawi
boleh dan harus ditafsirkan serta diartikan sesuai dengan prinsip-prinsip dan
patokan-patokan umum untuk menafsirkan atau memahami suatu karya sastra dari zaman
purba. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :
1) Teks yang
ditafsirkan sedapat mungkin adalah teks asli, yang ditulis oleh penga-rangnya. Kalaupun
menggunakan terjemahan, sebaiknya terjemahan tersebut dipersandingkan dengan
teks aslinya, terutama jika menghadapi makna yang meragukan. Seperti telah
dikatakan, terjemahan tidak mungkin sempurna dan sanggup meliput seluruh
gagasan dan makna pengarang aslinya. Karena itu, sangat baik jika seorang
penafsir memiliki pengetahuan tentang bahasa asli Alkitab (Ibrani/Aram dan Yunani).
2) Perkataan
teks asli sedapat mungkin diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang. Dalam
usaha memahami maksud pengarang yang sebenarnya, semua kemungkinan penggunaan
bahasa perlu diperhatikan. Dalam perjalanan sejarah, bahasa dan kata-kata dapat
mengalami perubahan arti. Hal ini harus diperhatikan oleh penafsir.
3) Untuk
memahami maksud pengarang, perkataan atau ungkapan yang digunakan hendaknya
ditempatkan dalam konteks penggunaannya. Perkataan-perkataan harus dipahami
dalam konteks kalimatnya, konteks seluruh pasal, bahkan mungkin konteks seluruh
kitab. Ada kalanya karangan-karangan lain dari penulis yang sama bermanfaat
untuk menolong memahami secara tepat perkataan-perkataan atau ungkapan-ungkapan
yang digunakan dalam suatu teks. Tidak mustahil pengarang mempunjai kosakata
serta peristilahannya sendiri. Misalnya, istilah "daging" (sarks) dalam tulisan-tulisan Paulus,
atau “dunia” dalam tulisan-tulisan Yohanes, masing-masing mempunyai makna yang khas.
4) Untuk
memahami pesan teks secara benar, teks-teks tersebut harus ditempatkan dalam
konteks historisnya. Maksudnya, teks tersebut baru dapat dimengerti secara
tepat jika penafsir mengetahui latar belakang historisnya, situasi politis yang
melingkupinya, jalinan sosio-kultural, alam berpikir, serta gagasan keagamaan
yang melatarbelakanginya. Singkatnya, situasi konkret pengarang ikut menentukan
makna/maksud perkataan dan tulisannya.
5) Penafsir
hendaknya memahami bentuk pewartaannya, karena teks-teks Alkitab menggunakan
berbagai wahana sastra. Untuk menangkap pesan teks, penafsir perlu menempatkan
dan memaknai teks tersebut sesuai dengan wahana sastra yang digunakan untuk
penulisnya. Bentuk-bentuk sastra yang digunakan antara lain: narasi
(penceritaan: bisa berupa penuturan personal, penuturan yang bersifat historis
atau penuturan dengan menggunakan setting
historis, sekalipun sebenarnya tidak benar-benar historis), puisi atau hymne,
paranesis (perintah atau nasihat terapan), sastra kebijaksanaan, perumpamaan
(perumpamaan lugas, ilustrasi/ permisalan dan allegori), sastra apokaliptis.
6) Dalam
menarik keluar pesan (atau pesan-pesan) teks Alkitabiah dan menerapkan dalam
kehidupan masa kini, penafsir tidak mungkin mengabaikan konteks kekiniannya
secara luas.
Semoga
bermanfaat.
Pengampu,
Bambang
Subandrijo
[1] Duncan S. Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction
(Atlanta: John Knox Press, 1986), hlm. 4.
[2] Louis Berkhof, Principles of Biblical Interpretation
(Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, Cet. XIV, 1975), hlm. 19-20.
[3] Berkhof, Principles, hlm. 20.
[4] Berkhof, Principles, hlm. 20-21.
[5] Berkhof, Principles, hlm. 20-21.
[6] Berkhof, Principles, hlm. 21-22.
[7] Ferguson, Biblical Hermeneutics, hlm. 158.
[8] Ferguson, Biblical Hermeneutics, hlm. 162.
[9] Ferguson, Biblical Hermeneutics, hlm. 161-162.
[10] Martin Heidegger, An Introduction to Metaphisics,
terjemahan Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 1959), hlm. 146.
[11] James M. Robinson dan
John B. Cobb (eds.), The Later Heidegger
and Theology (New York: Harper and Row, 1963), hlm. 14.
[12] James Robinson,
“Hermeneutics since Barth,” dalam The New
Hermeneutics, ed. James M. Robinson dan John B. Cobb, Jr. (New York: Harper
and Row, 1964), hlm. 38.
[13] Rudolf Bultmann,
"The Problem of Hermeneutics," Essays (London: SCM Press,
1955), hlm. 241.
[14] Rudolf Bultmann, "Is Exegesis Without
Presuppositions Possible?" Existence and Faith (New York: Meridian
Books, 1960).
[15] Bultmann, "The
Problem of Hermeneutics," hlm. 256.
[16] Adolf Heuken, SJ, Ensiklopedi
Gereja, Jilid III, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 1993, hlm.
186.
[17] Lihat artikel Schubert M.
Ogden, “Rudolf Bultmann” dalam
Mircea Eliade (Editor in Chief), The Encyclopedia of Religion, Vol.
2, hlm. 566.
[18] Bruce M. Metzger -
Michael D. Coogan (ed), The Oxford Companion to The Bible,
op.cit. hlm. 541.
[19] Daniel J. Adams, Teologi
Lintas Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992, hlm. 96-97.
[20] J.L. Ch. Abineno, Rudolf
Bultmann dan Theologianya, BPK, Jakarta, 1989, hlm. 11-15.
[21] Robinson, “Hermeneutics
since Barth,” dalam The New Hermeneutics,
hlm. 12-15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar