Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Selasa, 04 Juni 2013

Pengertian Hermeneutika Perjanjian Baru berserta sejarahnya. oleh Bpk.Bambang Subandrijo

HERMENEUTIKA PERJANJIAN BARU II
Bahan Kuliah Minggu I

1. Definisi

Secara tradisional, hermeneutika didefinisikan sebagai studi tentang lokus dan prinsip-prinsip penafsiran (the study of the locus and principles of interpretation), terutama dalam memahami naskah-naskah purba.[1] Istilah “hermeneutika” berasal dari kata Yunani “hermeneuein,” yang berarti “menafsirkan” atau “menerjemahkan.” Kata kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas menafsirkan kehendak dewata, karena itu hermeneutika sering diartikan sebagai “ilmu tafsir.” Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menetapkan prinsip-prinsip, aturan dan patokan, yang menolong kita untuk mengerti atau mengartikan suatu karya atau dokumen, terutama dokumen purba.
Dengan pertolongan prinsip-prinsip, aturan dan patokan yang ditetapkan tersebut dihasilkanlah tafsiran atas suatu karya atau naskah, terutama naskah purba. Penerapan prinsip-prinsip hermeneutis untuk memahami teks-teks purba, termasuk Alkitab, disebut “eksegese” (berasal dari kata Yunani “eks-egesthai” yang berarti “mengeluarkan” atau “menerangkan”). Meskipun dapat dan juga harus diterapkan untuk mengartikan suatu karya profan, namun hermeneutika terutama dikembangkan sehubungan dengan penafsiran atas teks-teks Alkitab. Hermeneutika alkitabiah dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip, aturan dan patokan, yang menolong kita untuk mengerti pesan dan maksud sesungguhnya yang hendak disampaikan oleh teks-teks Alkitab.

2. Perlunya hermeneutika alkitabiah

Teks-teks Alkitab perlu ditafsirkan, karena pesan sebenarnya dari teks-teks tersebut tidak selalu jelas bagi para pendengar atau pembaca yang tidak lagi hidup sezaman dengan teks-teks tersebut. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa Alkitab bukanlah firman Allah yang secara langsung dan harfiah didiktekan kepada manusia. Memang Alkitab adalah firman Allah, namun sekaligus juga firman manusia. Maksudnya, firman Allah tersebut disampaikan kepada manusia melalui manusia yang hidup dan berada dalam jalinan kontekstualnya yang amat kompleks (meliputi alam berpikir, konteks historis dan politis, gaya sastra, jalinan sosio-kultural, sosio-religius, sosio-politis, sifat personal individu yang diperkenan Allah sebagai penulisnya, dsb.).
Para penulis kitab-kitab dalam Alkitab (yang adalah manusia) menulis karangan-karangannya berdasar alam pikiran, kebudayaan dan konteks historis tertentu, yang bukan alam pikiran, kebudayaan dan konteks para pembaca atau pendengar pada zaman kemudian dan pada zaman sekarang. Maksud sebenarnya (maksud asli, original intentions) teks-teks Alkitab harus digali, lalu diterjemahkan ke dalam alam pikiran kita di sini dan saat ini. Jadi, Alkitab membutuhkan penafsiran. Untuk itu perlu adanya sejumlah prinsip dan patokan untuk menafsirkan pesan Alkitab yang sebenarnya. Dengan langkah itu, diharapkan kekeliruan dan kesalahpahaman dapat dicegah dan diminimalisasi. Itulah tujuan hermeneutika.
Di samping itu, teks-teks Alkitab ditulis sekian ratus atau bahkan (bagian-bagian tertua) sekian ribu tahun yang lalu. PL ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram, sedangkan PB dalam bahasa Yunani. Bahasa-bahasa itu bukanlah bahasa kita, bahkan sudah mendjadi bahasa mati, yang tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya, Alkitab perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang masih hidup. Tentu saja, setiap “terjemahan” mengandung unsur “tafsiran.” Dalam setiap bahasa pasti ada “rasa bahasa” yang tidak dapat diterjemahkan, karena itu, setiap terjemahan tentu mengandung kelemahan. Penerjemah hanya (dapat) menerjemahkan apa yang dimengerti dan sejauh yang dapat dimengertinya.

3. Sejarah singkat perkembangan sistem hermeneutika

a.      Periode Bapa-bapa Gereja

Perkembangan prinsip-prinsip hermeneutika dalam periode Bapa-bapa gereja berhubungan erat dengan tiga pusat kehidupan gereja waktu itu.

1)      Aliran Aleksandria

Pada awal abad III, penafsiran Alkitabiah sangat dipengaruhi oleh sekolah katekhetis Aleksandria. Di kota ini terjadi pertemuan antara agama Yahudi dengan filsafat Yunani, yang satu sama lain saling mempengaruhi. Pada masa ini, filsafat Platonisme dalam bentuk Neo-Platonisme dan Gnostikisme masih hidup subur. Jadi tidak mengherankan jika sekolah katekisasi yang terkenal di sana sangat dipengaruhi oleh filsafat populer ini. Tokoh terkenal dari Aleksandria adalah Clemens dan Origenes, muridnya. Mereka menganggap Alkitab sebagai Firman Allah dalam pengertian yang paling ketat. Mereka sangat menekankan teks harfiah Alkitab dan berpendapat bahwa untuk memperoleh pengetahuan Alkitab yang sebenarnya, sistem penafsiran allegorislah yang paling tepat digunakan. Clemens Aleksandria adalah orang pertama yang menerapkan metode allegoris untuk menafsirkan PB, sebagaimana ia juga menerapkannya untuk PL. Ia berpegang pada prinsip bahwa seluruh Kitab Suci harus dipahami secara alllegoris. Menurutnya, arti harfiah Alkitab hanya dapat melengkapi iman elementer, sedangkan makna allegoris akan menuntun pada pengetahuan yang sesungguhnya.[2]
Origenes, murid Clemens, dapat disebut sebagai teolog besar pada zamannya. Prinsip dasar teori penafsirannya adalah bahwa makna yang diberikan Roh Kudus selalu sederhana dan jelas serta pantas bagi Allah. Semua yang tampak gelap, amoral dan mustahil hanyalah pendorong untuk mencari makna yang lebih tinggi di luar makna harfiahnya. Ia menganggap Alkitab sebagai alat keselamatan manusia, dan karena manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh, maka seperti itu pula, Alkitab harus dipahami dari makna harfiah, moral dan mistis atau allegorisnya.[3] Pemikiran Origenes terbentuk selama paruh pertama abad III, di tengah berkembangnya sinkretisme keagamaan. Sistem hermeneutiknya didasarkan pada paling tidak empat prinsip, yaitu bahwa Alkitab itu: (a) diilhamkan oleh Allah; (b) satu kesatuan; (c) diberikan untuk maksud yang pasti; dan (d) harus dipahami secara allegoris.
Origenes setia kepada tradisi gerejawi yang menandaskan bahwa Alkitab itu diilhamkan oleh Allah, bukan hanya susunan manusia. Meskipun ia mempertanyakan kanonisitas beberapa kitab PB dan menilai tinggi kitab-kitab yang lain, pada dasarnya ia berpegang pada pendapat bahwa seluruh kitab dalam Alkitab diilhamkan oleh Allah, karena itu tidak mungkin mengandung kesalahan.
Pendapatnya bahwa Alkitab merupakan kesatuan adalah untuk menentang Marcion yang merendahkan nilai PL dan menentang orang-orang Yahudi yang menganggap orang Kristen tidak menghargai PL. Baginya, PL dan PB adalah satu kesatuan yang bernilai setara. Dalam PL, kebenaran Allah masih tersembunyi dan baru menjadi jelas setelah diterangi dengan PB. Keduanya harus dipahami secara allegoris.
Origenes berpendapat bahwa Alkitab tidak mungkin memuat hal yang tidak pantas bagi Allah, karena itu, semua pesannya harus diterima. Maksud Alkitab adalah mengomunikasikan kebenaran ilahi. Maksud pertama pemberian Alkitab adalah sebagai pengajaran tentang hakikat manusia, hakikat Allah, hakikat dunia, dosa dan penebusan. Maksud kedua adalah megajarkan kebenaran yang lebih tinggi. Kebenaran tertinggi hanya dimengerti oleh mereka yang tidak hanya memahami teks yang diilhamkan itu, melainkan mencari makna simbolik di balik teks harfiah itu. Karena itu Alkitab harus dipelajari, baik secara harfiah, maupun secara allegoris.
Menurut Origenes, Alkitab sangat bermanfaat, baik dalam memberikan makna langsung, maupun sebagai simbol kebenaran yang lebih tinggi. Alkitab memiliki makna batin yang hanya sebagian dinyatakan dalam arti harfiah. Namun, dalam pengajaran eksplisit itu terkandung pula kebenaran yang lebih tinggi secara implisit.[4]

2)      Aliran Antiokhia

Aliran ini didirikan oleh Dorotheus dan Lucius menjelang akhir abad III. Pada mulanya, Dorotheus adalah penatua Antiokhia, dan pada 378 menjadi uskup di Tarsus. Dua orang muridnya yang terkenal adalah Theodorus dari Mopsuestia dan Yohanes Chrisostomus. Pandangan kedua orang ini sangat berbeda dalam banyak hal. Theodorus Mopsuestia memiliki pandangan yang lebih liberal mengenai Alkitab, sedangkan Chrisostomus tetap berpegang pada pendapat bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang tidak dapat salah. Penafsiran Theodorus lebih bersifat intelektualistis dan dogmatis, sedangkan penafsiran Chrisostomus lebih bersifat spiritual dan praktis. Theodorus lebih terbuka untuk melihat faktor manusiawi dalam Alkitab, namun sayangnya, menolak bahwa Kitab Suci adalah ilham ilahi. Ia menolak metode penafsiran allegoris dan mempertahankan penafsiran gramatikal-historis.[5]

3)      Penafsiran tipe Barat

Tokoh-tokoh penafsir Barat yang terkenal adalah Ambrosius, Hilary, Yerome dan Augustinus. Penafsiran Yerome lebih didasarkan pada terjemahan Vulgata, sekalipun ia akrab dengan bahasa Ibrani dan Yunani. Karyanya terdiri dari catatan-catatan linguistik, historis dan arkheologis. Augustinus lebih menguasai bahasa asli Alkitab daripada Yerome. Namun, ia bukanlah seorang penafsir Alkitab, melainkan seorang sistematikus yang berusaha mensistematisasi kebenaran-kebenaran alkitabiah. Ia berpegang pada prinsip hermeneutika bahwa seorang penafsir harus memahami Alkitab secara filologis (berkenaan dengan budaya dan sastra), kritis dan historis. Lebih dari itu, kita haruslah mengenal betul penulis masing-masing kitab dalam Alkitab. Ia menekankan makna harfiah teks-teks Alkitab sebagai dasar penafsiran allegorisnya. Namun demikian, penafsiran allegorisnya lebih bebas. Jika makna teks tersebut agak meragukan, ia mendasarkan pendapatnya pada iman gereja. Sayang sekali bahwa Agustinus masih berpegang pada patokan: historis, aetiologis (berkenaan dengan sebab musabab), ontologis dan allegoris.[6]     

b.      Periode Abad Pertengahan

Selama abad pertengahan banyak orang, bahkan juga para pejabat gereja, tidak tahu tentang Alkitab. Kalaupun tahu, yang mereka ketahui hanyalah terjemahan Vulgata dan tulisan Bapa-bapa Gereja. Alkitab dianggap sebagai kitab yang penuh misteri yang hanya dapat diketahui dengan cara mistis. Pada waktu itu metode penafsiran yang diterima adalah penafsiran secara harfiah, tropologis (kias), allegoris dan analogis. Yang menjadi pedoman pemahaman Alkitab adalah tradisi dan doktrin gereja. Semboyannya adalah pelajari dulu apa yang harus diimani, baru kemudian cocokkan dengan Alkitab dan temukan di sana apa yang diimani tersebut.

c.       Periode Reformasi

1) Martin Luther

Martin Luther mendekati Alkitab dari tiga sudut pandang: (a) asumsinya tentang hakikat Alkitab, (b) presuposisi yang menuntun interpretasinya terhadap Alkitab, dan (c) penekanan pada pentingnya iman dalam menafsirkan Alkitab. Bagi Luther, Alkitab adalah kitab autoritatif, karena itu semboyannya adalah sola scriptura. Ia menekankan perbedaan antara kemurnian kesaksian Firman Allah dalam Alkitab dengan tradisi gereja. Luther memandang bahwa pada waktu itu tradisi gereja sudah menggantikan Alkitab. Luther menganggap Alkitab sebagai buku yang diilhamkan, namun ia tidak pernah menyembah Alkitab. Ia memperlakukan Alkitab secara bebas, berdebat dengan Paulus dan Yohanes serta mempertanyakan kanonisitas beberapa kitab PB seperti Yakobus, Yudas dan Wahyu. Ia meragukan bahwa Salomo adalah penulis Amsal dan menganggap Kitab Raja-raja seratus kali lebih baik daripada Kitab Imamat. Bagi Luther, yang menyebabkan Alkitab itu autoritatif adalah pesannya tentang Kristus. Alkitab adalah kitab kristosentris, karena pada hakikatnya Alkitab adalah Injil Yesus Kristus.[7] Karena itu, Luther sangat mengutamakan kitab-kitab yang berbicara tentang Kristus dan untuk Kristus, Firman Allah yang sejati, yang adalah isi dari Firman Allah yang tertulis dalam Alkitab.[8]
Luther menggantikan metode allegoris dengan pendekatan sensus literalis (makna harfiah), grammaticus (tata bahasa) atau historicus (jalinan historis). Dalam menafsirkan Alkitab, ia menekankan hak pribadi untuk melakukan penilaian, pentingnya mempertimbangkan konteks dan jalinan historis teks Alkitab, pentingnya iman dan wawasan rohani dalam diri penafsir, serta keinginan untuk menemukan Kristus di mana pun dalam Alkitab. Di samping itu, Luther juga menganut prinsip Alkitab adalah penafsir terbaik atas dirinya sendiri. Sacra Scriptura sui interpres (Kitab Suci adalah penafsirnya sendiri). Artinya cukup sederhana, yaitu bahwa tidak ada bagian Alkitab yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga konflik dengan apa yang dengan jelas diajarkan di bagian Alkitab yang lain. Misalnya, jika suatu ayat tertentu memungkinkan adanya dua macam penerjemahan atau penafsiran yang berlainan dan salah satu penafsiran itu berlawanan dengan bagian-bagian Alkitab yang lain, sedangkan penafsiran yang kedua itu cocok dengan keseluruhan makna Alkitab, maka penafsiran yang kedualah yang harus dipakai.
Penafsiran harus ditempatkan di samping Alkitab dengan cara yang tepat, karena pada dasarnya Alkitab itu memiliki kejelasan (claritas), memiliki kuasa menerangi. Makna istilah-istilah dalam Alkitab ditentukan oleh penggunaannya dalam Alkitab itu sendiri. Bagian-bagian yang gelap dapat diketahui maknanya dari bagian-bagian yang terang. Tiap bagian dalam Alkitab haruslah dipahami dalam terang keseluruhannya, dalam arti, diterangi dari pengertian tentang pesan inti Alkitab secara keseluruhan. Luther juga menekankan pengalaman iman sebagai dasar yang penting untuk memahami Alkitab. Orang yang memahami Alkitab adalah orang yang telah bertemu dengan Allah dalam Kristus dan yang telah dibenarkan oleh anugerah Allah.[9]
Prinsip itu bertumpu pada kepercayaan sebelumnya kepada Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan. Karena itu Luther juga percaya bahwa Alkitab itu konsisten dan koheren (berkaitan). Ia beranggapan bahwa Allah tidak akan berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Karena itu, memilih suatu interpretasi yang menyebabkan Alkitab bertentangan dengan dirinya sendiri, sesungguhnya sama dengan menghujat Roh Kudus.

2) Melanchthon

Melanchthon adalah tangan kanan Luther yang memiliki pengetahuan luas dan sangat menguasai bahasa Yunani dan Ibrani, yang membuatnya menjadi seorang penafsir yang hebat. Kecuali metode penafsiran Luther yang dianutnya, ia menambahkan prinsip: (a) sebelum dipahami secara teologis, Alkitab harus lebih dulu dipahami secara gramatikal, (b) Alkitab hanya memiliki makna tertentu yang sederhana.

3) Yohanes Calvin

Calvin adalah seorang penafsir besar. Ia membuat tafsiran yang sangat berharga untuk hampir seluruh kitab-kitab dalam Alkitab. Prinsip dasar penafsiran Luther dan Melanchthon diambil alih, namun ia tidak setuju dengan pendapat keduanya bahwa Kristus harus ditemukan di mana pun dalam seluruh Alkitab. Calvin juga mengembangkan teori penafsirannya sendiri. Ia menilai metode allegoris sebagai alat setan untuk mengaburkan makna Alkitab. Ia menekankan bahwa Kitab Nabi-nabi harus ditafsirkan dalam terang jalinan historisnya. Prinsip penafsiran yang harus dipegang adalah membiarkan penulis teks-teks Alkitab berbicara sebagaimana mereka berbicara dan bukan memasukkan pemikiran kita ke dalam perkataan mereka.

d.      Periode modern

1)   Friedrich Schliermacher

Bagi Schliermacher, satu-satunya cara untuk memahami isi Alkitab adalah dengan metode eksegesis ilmiah. Menurutnya, untuk memahami teks-teks alkitabiah secara penuh, seorang penafsir harus menggabungkan analisis literer dan historis dengan imajinasi dan intuisinya. Kesenjangan antara penulis teks-teks alkitabiah dengan penafsir tidak dapat dijangkau hanya dengan analisis objektif saja. Metode historis-kritis harus digunakan dengan konstruksi imajinatif penafsir. Menemukan konstruksi imajinatif teks-teks alkitabiah merupakan suatu seni. Jadi, bagi Schliermacher, tugas hermeneutis pertama-tama dimulai dengan mempelajari jalinan historis dan simbol-simbol linguistik penulis teks, kemudian diikuti dengan usaha re-kreasi psikhologis penafsir.
Schliermacher menyadari bahwa orang belum dapat memahami teks alkitabiah jika ia hanya menerapkan kategori-kategori logis dan analisis gramatikal. Di samping analisis eksternal objektif, masih diperlukan penetrasi subjektif dan intuitif atas karya yang merupakan ungkapan kehidupan penulis. Problem hermeneutika, yaitu kesenjangan antara kehidupan kita kini dengan apa yang dikatakan oleh teks, dilihat oleh Schliermacher sebagai masalah yang tidak terpecahkan oleh metode kritis-historis. Di samping pendekatan gramatikal-historis, untuk memahami makna sebuah teks perlu pula interpretasi psikhologis, yaitu dengan melakukan reproduksi imajinatif atas proses terciptanya sebuah karya yang sebenarnya. Ada dua keberatan terhadap pendapat Schliermacher, yaitu: (1) Kesenjangan historis antara penulis di masa lampau dengan kekinian kita tidak dapat dijembatani dengan tindakan psikhologis, sebab, sekalipun penulis dan penafsir memiliki sensitivitas terhadap pengalaman bersama oleh karena kesamaan hakikat kemanusiaannya, metode reproduksi psikhologis tidak begitu mempertimbangkan perbedaan situasi historis. (2) Apa yang dimaksudkan sebagai ungkapan alkitabiah bukanlah jiwa penulisnya, melainkan sesuatu yang harus dikatakan sebagaimana adanya. Jadi, interpretasi psikhologis, dari sisi maksud si penulis sendiri, telah bergeser. Interpretasi tersebut telah menggeser objek pemahaman dari isi teks ke proses terciptanya teks dari batin si penulis.

2)   Wilhelm Dilthey

Dilthey berusaha untuk menemukan arti asli dari teks lalu menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si pengarang. Apa yang dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini Dilthey masih terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha meniadakan prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si pengarang. Bila makna suatu teks hanya terbatas pada makna di zaman pengarang teks, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah makna hasil penafsiran si penafsir atau sejarawan tersebut bagi kekinian kita? Bila teks tersebut hanya merupakan pemaparan makna seutuhnya dari pengarang menurut zamannya, bagaimana kita menafsirkan atau memahami teks dari si penafsir atau sejarawan? Bukankah tafsiran itu ia hasilkan dalam konteks zamannya yang memiliki kekhasannya sendiri? Bila penafsiran hanya mereproduksi makna si pengarang dalam zamannya, berarti teks tersebut tertutup dan tidak berbicara bagi kita dalam konteks masa kini. Seharusnya, makna suatu teks tidak hanya terbatas untuk zamannya, melainkan juga terbuka bagi masa kini. Sekalipun demikian, perhatian Dilthey mengenai historisitas suatu teks perlu diperhatikan. Teks berasal dari konteks tertentu, karena itu konteks tersebut haruslah dimengerti. Hanya saja, teks tidak akan berarti apa-apa tanpa dikomunikasikan dengan konteks masa kini.
Wilhelm Dilthey meneruskan hermeneutika psikhologis Schliermacher. Ia sepakat bahwa penafsir haruslah menghidupkan kembali momen kreatif ungkapan kehidupan penulis yang asli. Menurutnya, peristiwa-peristiwa historis masa lalu haruslah dipahami sebagai ungkapan historis kehidupan personal. Dengan cara demikian, skopa (cakupan) hermeneutika secara potensial dapat berkembang, namun tidak mungkin membebaskan diri dari keterbatasan psikhologis konsepsi Schliermacher. Sejarawan masa kini dapat menafsirkan peristiwa masa lalu karena semua peristiwa historis merupakan pengaruh roh manusia, yang di dalamnya sejarawan itu sendiri ikut ambil bagian dalam struktur dan kapasitasnya. Penulis sejarah dan pembuat sejarah adalah sama-sama manusia. Asumsinya, pengertian atas dokumen historis harus dibatasi oleh kemungkinan pengalaman, yang memiliki kesamaan makna bagi penulis dan penafsir. Sejarawan tidak akan menemukan apa pun yang benar-benar di luar jangkauan kemampuan pemahaman pengalaman manusia. Kitab suci hanya dapat didengar jika menggemakan pengalaman manusia yang memiliki pertalian dengan pengalaman penafsir. Dalam hal ini sejarah bukanlah medium tindakan ilahi, melainkan “bidan” bagi lahirnya kemungkinan pengalaman manusiawi.

3)   Martin Heidegger

Hermeneutika Heidegger dapat diringkaskan dalam tiga fase yang merupakan satu kesatuan. Pada fase pertama, teks haruslah diinterpretasi dalam terminologi pengertian manusiawi. Dalam hal ini, pemahaman awal diberi tempat relatif penting. Fase kedua, penafsir menyisihkan pemahaman awal yang telah ada tersebut dan menggantikannya dengan teks yang dijumpainya. Di sini penafsir memiliki peran pasif, ia harus mendengarkan apa yang dikatakan teks.[10] Fase ketiga, penafsir haruslah mendengarkan bahasa teks sebagai aktualisasi ungkapan diri Sang Ada.[11] Dalam hal ini, “bahasa” haruslah dipahami, baik sebagai fenomenon eksistensial maupun ontologis; penafsiran memerlukan, baik bertanya maupun mendengar; memerlukan kesadaran akan arah dan keinginan untuk diarahkan. Hal yang penting dicatat, Heidegger sangat menekankan pemahaman awal yang tepat untuk mendengar apa yang dikatakan teks, entah pesannya bersifat eksistensial atau ontologis, dan entah kita mempertanyakan teks itu atau hanya mendengarkannya.

4)   Rudolf Bultmann

Sosok sentral dalam hermeneutika alkitabiah modern adalah Rudolf Bultmann. Hermeneutika Bultmann didasarkan pada fase pertama Heidegger, bahwa teks haruslah kita interpretasi dalam terminologi-terminologi pemahaman kita sendiri. Namun metode hermeneutika Bultmann tidak lagi menekankan “bahasa” (yang kebanyakan bersifat mitologis). Ia kembali pada “pengertian” atau “pemahaman,” yang lebih utama dan lebih autentik daripada “bahasa.”[12] Cara untuk memahami makna historis fenomenon adalah dengan menganalisis keberadaan (eksistensi) manusia melalui kategori-kategori filosofis Heidegger. Perhatian Bultmann adalah menemukan kondisi yang memungkinkan suatu pemahaman historis. Ia melihat perlunya unsur bersama tertentu antara penulis dan penafsir, yaitu minat bersama dalam suatu subjek bersama.
Pendapat Bultmann mengenai problema hermeneutis sejalan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey. Menurutnya, sudah tepat jika Schliermacher dan Dilthey memusatkan perhatian pada presuposisi interpretasi sejarawan, yaitu pertalian dasar eksperiensial antara penulis teks dengan si penafsir. Bultmann ingin memperjelas presuposisi ini. Ia juga mendekati teks dengan pandangan mengenai struktur eksistensi manusia yang sudah ada dan kemungkinan-kemungkinannya. Salah satu unsur dalam struktur itu adalah keterlibatan manusia, baik yang menjadi alamat teks itu maupun sebagai penafsir. Presuposisi yang berperan dalam interpretasi historis berhubungan dengan relasi penafsir dengan subjek, yang langsung atau tak langsung diungkapkan dalam teks.[13] Tentu saja, subjek yang diperhatikan tergantung pada minat sejarawan, baik secara politis, estetis, maupun religius. Minat ini, apa pun bentuknya, berfungsi sebagai pra-pemahaman yang memunculkan pertanyaan terhadap teks.
Tentu saja kita sepakat dengan Bultmann untuk menentang historisisme naïf bahwa “eksegesis tidak mungkin tanpa presuposisi.”[14] Kita setuju bahwa setiap tafsiran sejarawan atas dokumen-dokumen historis ditentukan oleh pra-pemahamannya. Dalam menafsirkan Alkitab, penting sekali ada self-critical atas hakikat dan peran pra-pemahaman. Menurutnya, syarat-syarat untuk menafsirkan tulisan-tulisan alkitabiah tidak berbeda dengan syarat-syarat yang diterapkan untuk bermacam-macam literatur yang lain.[15] Pernyataan ini memiliki konsekuensi lebih jauh menjadi semacam aksioma bagi hermeneutika modern. Dengan munculnya metode historis-kritis dan matinya kontrol dogmatis atas eksegese, maka pembedaan kuno antara penafsiran untuk teks-teks suci dan teks-teks profan pun runtuh. Sejak itu kekhasan dimensi teologis atas hermeneutika tidak lagi dipertimbangkan.
Benar bahwa pra-pemahaman, yang sangat berperan dalam interpretasi alkitabiah, sudah ada bersama dengan eksistensi manusia. Karena itu, pra-pemahaman itu dapat disebut sebagai pra-pemahaman eksistensial. Hans-Georg Gadamer, seorang filsuf Heidelberg, mengatakan bahwa meskipun Bultmann mengklaim validitas pra-pemahaman secara umum, sesungguhnya Bultmann bertolak dari pra-pemahaman yang dibentuk oleh asumsi-asumsi teologisnya. Dilemmanya, Bultmann menempatkan hermenutika sedemikian rupa, sehingga bagi filsafat terlalu teologis dan bagi teologi terlalu filosofis, sementara ia sendiri tidak mengungkapkan gagasan dasarnya mengenai hubungan antara teologi dan filsafat. Karena Bultmann tidak menguraikan hubungan teologis mata rantai hermeneutika yang menghubungkan teks dengan penafsirnya, maka isi teks telah tereduksi menjadi interpretasi eksistensialis yang hanya mencari pengertian tentang eksistensi, yang tercermin dalam teks. Pesan penting teks dibatasi oleh keputusan a priori, bahwa hal yang relevan dalam teks hanyalah yang dapat dimengerti oleh eksistensi manusia. Dengan pembatasan seperti ini, diragukan bahwa teks dapat berbicara mengenai apa yang hendak dikatakan. Paling tidak, untuk kebanyakan pembaca dan teolog, di samping kemungkinan-kemungkinan eksistensi manusia, PB juga berkenaan dengan banyak hal lain, seperti kehendak Allah dalam sejarah dan karya-Nya di dunia ini.
Dalam kenyataan, mungkin pernyataan PB tentang Allah, dunia, sejarah, masyarakat dan gereja, hanyalah hal yang bukan-bukan, namun paling tidak, semua itu bukan hanya hasil pemahaman diri manusia atau gambaran eksistensi manusia mengenai kemungkinan-kemungkinannya. Namun, pengertian yang benar mengenai eksistensi, tergantung pada pengetahuan tentang Allah, sejarah, masyarakat dan dunia, serta susunan pemikiran alkitabiah. Titik berangkat hermeneutika yang mencoba melacak konteks sebenarnya, agar saat ini kita dapat mendengar suara Alkitab secara penuh, tidak mungkin netral. Sebab, pra-pemahaman, yang berfungsi sebabagi presuposisi hermeneutis itu, dalam kenyataannya ditentukan oleh makna sejarah alkitabiah bagi sejarah gereja dan kehidupan orang percaya. Makna itu tidak lain adalah bahwa Alkitab merupakan medium bagi pesan tindakan penyelamatan Allah. Gagasan Bultmann mengenai pra-pemahaman menyebabkan tereduksinya isi pesan secara eksplisit, sehingga segala sesuatu dalam Alkitab tebagi menjadi presuposisi iman dan ungkapan iman, yang tidak lagi memberi tempat objektivitas iman (sekalipun iman tidak dapat diobjektivasi). Jadi, sejarah Israel dan kisah hidup Yesus diturunkan ke dalam kelas presuposisi, dan segala sesuatu dalam PB dianggap teologoumena (personal theological opinions) dalam bentuk mitos.
Dalam karyanya yang provokatif ‘New Testament and Mythology,’ diterbitkan pada 1941, Bultmann menguraikan pendapatnya mengenai pentingnya melakukan demitologisasi atas PB. Menurutnya, pesan alkitabiah disampaikan melalui kerangka mitologis, yang asing bagi pandangan manusia modern. PB tidak bermaksud menggambarkan dunia ini secara objektif, melainkan berusaha memahaminya dalam kerangka mitologis. Tugas demitologisasi dalam penafsiran alkitabiah tidak bermaksud mengeliminasi mitos, melainkan memahaminya secara eksistensial. Bagi Bultmann, kritisisme bentuk dan demitologisasi demikian sentral dalam hermeneutikanya yang tercermin dalam bukunya Theology of the New Testament.
Bahasa manusia tidak cukup memadai untuk mengungkapkan realitas ilahi, karena itu digunakanlah mitos untuk mengungkapkan kenyataan misterium yang melampaui kemampuan inderawi manusia.[16] Sebagai bahasa simbol yang memuat makna, mitos perlu diinterpretasikan. Ia tidak dapat dipahami dalam makna lugas. Itulah sebabnya Rudolf Bultmann mengusulkan metode demythologizing untuk menangkap pesan-pesan Alkitab.[17] Salah satu konsepsi, yang menurut Bultmann bersifat mitos adalah kosmologi dalam Perjanjian Baru (PB) yang melukiskan tentang dunia para malaikat, setan, mujizat dan penglihatan surgawi. PB mewarisi gambaran mitologis Perjanjian Lama (PL) tentang dunia yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: dunia atas (surga), dunia manusia (dunia tengah) dan alam maut (dunia bawah).[18] Bagi orang-orang modern, dunia mitologis yang telah usang tersebut sulit untuk dipercayai. Karena itu tugas pokok dalam berteologi adalah membebaskan kerygma (pesan-pesan, pewartaan) Kitab Suci dari kerangka mitisnya. Namun tidak berarti bahwa dengan demythologizing-nya Bultmann bermaksud menghilangkan mitos-mitos dalam PB, melainkan menafsirkan ulang makna yang terkandung dalam mitos-mitos itu dengan cara berpikir modern.[19] Dengan kata lain, demythologizing adalah cara menginterpretasikan pemberitaan Kitab Suci untuk memahami pesan-pesan atau kerygma-nya. Kerygma itu sendiri tidak ditentukan oleh gambaran-gambaran yang mengitarinya, karena gambaran-gambaran tersebut bukanlah pembentuk kerygma. Sebaliknya, gambaran-gambaran tersebut hanya dipakai untuk menginterpretasikan fakta-fakta historis atau pengalaman-pengalaman spiritual dari kerygma-nya. Upaya ini sama artinya dengan menerjemahkan wahyu Allah ke dalam bahasa manusia.[20] Dengan demikian pesan-pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh manusia pada zamannya.



5)   Hans-Georg Gadamer

Hermeneutika Gadamer merupakan kritik terhadap positivisme dengan menekankan subjek penafsir. Gagasan pencerahan berusaha meniadakan prasangka. Untuk memahami suatu teks, penafsir harus mengesampingkan asumsi dan bias pikirannya sendiri. Penafsiran yang benar harus terbebas dari khayalan sewenang-wenang dan pembatasan-pembatasan oleh kebiasaan pemikirannya sendiri, serta hanya berorientasi pada teks itu sendiri. Menurut Gadamer, hal itu mustahil dilakukan, karena pemikiran setiap orang dibentuk oleh sejarah. Orang tidak mungkin melepaskan diri dari subjektivitas, tidak mungkin benar-benar bebas nilai, tidak mungkin tanpa presuposisi. Orang tidak mungkin memaknai teks tanpa dipengaruhi oleh kesadarannya. Seandainya hal itu terjadi, maka kita hanya menyalin fakta dari suatu teks.
Gadamer mengkritik pendapat seperti itu sebagai prasangka melawan prasangka. Dalam hal ini ia melihat model yang anti terhadap prasangka ini dimungkinkan oleh suatu prasangka (bahwa prasangka harus diatasi). Gadamer mengacu pada konsep wirkungsgeschichte (sejarah efektif) yaitu kenyataan bahwa pengetahuan memiliki efek dalam sejarah sebab seorang peneliti kritis adalah juga seorang aktor sejarah yang menjadi bagian dalam kesinambungan proses sejarah dalam tradisinya. Dalam hal inilah ia menyinggung tentang kesadaran sejarah. Mempunyai kesadaran sejarah adalah menjelajah dengan sikap tertentu kenaifan alam yang membuat kita menilai masa lalu dengan apa yang sering disebut skala prioritas tentang masa kini, dalam perspektif institusi kita dan dari keyakinan nilai-nilai dan kebenaran kita.
Dalam memberi makna pada teks, Gadamer berbeda pendapat dengan Schleirmacher dan Dilthey, pendahulunya. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan tempat pengarang berada pada saat menulis teksnya. Menurut Gadamer, tujuan membaca sebuah teks adalah mempelajari subjek dalam teks. Ia memberi contoh, bila ia membaca biografi tentang seseorang yang bernama James Joyce yang ditulis oleh Richard Ellmann, maka ia hendak mempelajari tentang James Joyce dan bukan tentang proses mental dari Richard Ellmann. Ia juga mengkritisi pendapat Dilthey yang melihat hermeneutika sebagai metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutika adalah usaha menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Gadamer melihat bahwa bagaimana pun upaya Dilthey sebenarnya sia-sia, karena, kita tetap tidak mungkin meniadakan prasangka dan berusaha merepoduksi makna sebagaimana yang dihayati oleh si pengarang.
Berkaitan dengan itu, kita perlu memahami penekanan Gadamer mengenai cakrawala pandang (horizon). Menurutnya, orang memahami sesuatu menurut horizon sejarah tertentu. Cakrawala pandang yang dimaksudkan Gadamer berbeda dengan visi, yang meliputi segala sesuatu yang dapat dilihat dari sebuah titik tolak tertentu. Tiap orang selalu berada pada titik tertentu dan tempat ia berada selalu mempengaruhi apa yang dilihatnya. Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah mengembangkan cakrawala pandang seluas-luasnya, serta terbuka terhadap cakrawala pandang yang baru.
Pendapat Gadamer mengenai keharusan untuk memperluas cakrawala pemahaman sangat penting. Proses memperluas cakrawala pemahaman dalam lingkaran hermeneu-tis ini tidak pernah berhenti menghasilkan sebuah kebenaran objektif. Proses ini akan terus berlanjut, sehingga makin mengembangkan dan memperluas cakrawala wawasan kita. Ketika kita berhadapan dengan orang lain cakrawala wawasan kita akan diperluas melalui interaksi dan dialog. Dengan demikian kita tidak hanya melihat atau memahami sesuatu berdasarkan satu perspektif saja, yaitu perspektif kita sendiri. Kita harus berusaha terbuka untuk mengembangkan wawasan melalui dialog. Kita berdialog dengan orang lain bukan untuk memperoleh kebenaran setepat-tepatnya tetapi untuk memahaminya. Dalam upaya memaknai tradisi masa lalu, kita memahaminya dengan wawasan kekinian. Jarak dengan masa lalu tidak hanya diatasi dengan merekonstruksi makna di masa lalu, melainkan memahaminya dengan cakrawala wawasan kekinian.
Dalam dialog tersebut terjadi benturan antara cakrawala pemikiran kita dengan orang lain. Dalam dialog itu kita tentu membawa prasangka kita, namun kadangkala prasangka-prasangka itu harus kita simpan, dalam rangka melihat pandangan orang lain. Pandangan orang lain dilihat bukan untuk dinilai sebagai hal yang buruk namun agar kita dapat memahaminya. Bagaimana dengan prasangka dan tradisi kita? Bisa saja prasangka dan tradisi kita menjadi dominan dan kita anggap sebagai kebenaran. Dalam hal inilah kita tetap perlu bersikap kritis terhadap prasangka dan tradisi. Kita harus melihat, apakah prasangka kita mengarahkan kita untuk mengerti atau justru menyembunyikan kita dari pengertian.
Perlu diingat bahwa prasangka kita kadangkala tidak benar. Karena itu, kita perlu terus memperluas cakrawala pandang melalui dialog. Hal ini berkaitan dengan konteks hidup kita yang dinamis dan kompleks. Pikiran kita dibentuk oleh konteks, oleh tradisi yang selalu berkembang dan demikian kompleks, sehingga makna yang kita berikan pun berkembang. Apa yang kita alami dan kita lakukan dalam hidup kita pasti akan mempengaruhi makna yang kita berikan terhadap sesuatu. Makna yang kita berikan bukanlah kebenaran yang setepat-tepatnya, melainkan makna sesuai pengalaman yang telah membentuk kita.
Misalnya, penafsiran atas Yohanes 4:1-42 oleh sekelompok orang dengan latar belakang yang berbeda-beda, ternyata menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda pula. Dialog di antara para penafsir menghasilkan berbagai makna. Dalam konteks masyarakat plural dan menekankan moralitas perempuan, beberapa orang memusatkan perhatian pada moralitas perempuan Samaria dalam teks tersebut, sementara yang lain lebih memperhatikan pluralitas agama dan etnis. Ketika teks tersebut ditafsirkan oleh sekelompok orang yang berlatar belakang masyarakat Kristen yang relatif homogen, ternyata hasilnya pun berbeda. Kelompok ini lebih memusatkan perhatian pada eksklusivitas teks Yohanes, yang menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias dan bahwa keselamatan hanya ada di dalam Dia. Bagaimana perbedaan penafsiran ini harus dipahami? Teks yang dibaca adalah teks yang sama namun penafsiran yang dihasilkan dapat berbeda-beda. Tentu kita tidak dapat menentukan bahwa salah satu penafsiran adalah yang paling benar secara objektif. Keragaman penafsiran itu memperlihatkan bahwa konteks budaya dan pengalaman mempengaruhi penafsiran. Keragaman pengalaman dan konteks budaya yang menghasilkan perbedaan penafsiran ini tidak dapat diatasi hanya dengan pendekatan objektif, dengan mengandaikan adanya makna setepat-tepatnya.
Pengetahuan seseorang dibentuk oleh konteksnya, karena itu, konteks sangat penting untuk memahami makna. Apakah dengan demikian makna adalah sesuatu yang terus berubah-ubah? Menurut Gadamer, berubah atau tidaknya sebuah makna tergantung konteks. Karena itu, setiap orang terus menerus berada dalam proses pemikiran yang tidak pernah berakhir. Orang tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Ketika orang hendak memberi makna pada sesuatu, pikirannya tentu terkait dengan pengalaman, tradisi dan konteks hidupnya. Dengan demikian seseorang tidak pernah bebas nilai.

4. Prinsip-prinsip pokok hermeneutika

Setelah Reformasi, hermeneutika Protestan terutama menekankan aturan yang harus ditaati dalam melakukan eksegesis. Karena Alkitab diidentifikasi sebagai Firman Allah, maka masalah hermeneutis terutama berpusat pada studi atas masing-masing dokumen alkitabiah, baik konteks literalnya maupun situasi yang lebih luas ketika dokumen-dokumen itu ditulis. Pendekatan hermeneutis ini berkembang terutama setelah munculnya ahli-ahli kritik alkitabiah pada abad XIX. Untuk memahami pesan Kitab Suci diperlukan studi atas:

(a) struktur dan ungkapan-ungkapan (idiom) bahasa alkitabiah
(b) tipe sastra yang ditampilkan: prosa, puisi, sejarah atau allegori, harfiah lugas atau simbolik, dan bentuk sastra khas seperti sastra apokaliptis
(c) latar belakang sejarah
(d) kondisi geografis
(e) konteks kehidupannya (life setting, Sitz im Leben), baik sosio-religius, sosio-kultural, mapun sosio-politisnya.[21]

Alkitab sebagai karya manusiawi boleh dan harus ditafsirkan serta diartikan sesuai dengan prinsip-prinsip dan patokan-patokan umum untuk menafsirkan atau memahami suatu karya sastra dari zaman purba. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :

1)      Teks yang ditafsirkan sedapat mungkin adalah teks asli, yang ditulis oleh penga-rangnya. Kalaupun menggunakan terjemahan, sebaiknya terjemahan tersebut dipersandingkan dengan teks aslinya, terutama jika menghadapi makna yang meragukan. Seperti telah dikatakan, terjemahan tidak mungkin sempurna dan sanggup meliput seluruh gagasan dan makna pengarang aslinya. Karena itu, sangat baik jika seorang penafsir memiliki pengetahuan tentang bahasa asli Alkitab (Ibrani/Aram dan Yunani).
2)      Perkataan teks asli sedapat mungkin diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang. Dalam usaha memahami maksud pengarang yang sebenarnya, semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu diperhatikan. Dalam perjalanan sejarah, bahasa dan kata-kata dapat mengalami perubahan arti. Hal ini harus diperhatikan oleh penafsir.
3)      Untuk memahami maksud pengarang, perkataan atau ungkapan yang digunakan hendaknya ditempatkan dalam konteks penggunaannya. Perkataan-perkataan harus dipahami dalam konteks kalimatnya, konteks seluruh pasal, bahkan mungkin konteks seluruh kitab. Ada kalanya karangan-karangan lain dari penulis yang sama bermanfaat untuk menolong memahami secara tepat perkataan-perkataan atau ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam suatu teks. Tidak mustahil pengarang mempunjai kosakata serta peristilahannya sendiri. Misalnya, istilah "daging" (sarks) dalam tulisan-tulisan Paulus, atau “dunia” dalam tulisan-tulisan Yohanes, masing-masing mempunyai makna yang khas.
4)      Untuk memahami pesan teks secara benar, teks-teks tersebut harus ditempatkan dalam konteks historisnya. Maksudnya, teks tersebut baru dapat dimengerti secara tepat jika penafsir mengetahui latar belakang historisnya, situasi politis yang melingkupinya, jalinan sosio-kultural, alam berpikir, serta gagasan keagamaan yang melatarbelakanginya. Singkatnya, situasi konkret pengarang ikut menentukan makna/maksud perkataan dan tulisannya.
5)      Penafsir hendaknya memahami bentuk pewartaannya, karena teks-teks Alkitab menggunakan berbagai wahana sastra. Untuk menangkap pesan teks, penafsir perlu menempatkan dan memaknai teks tersebut sesuai dengan wahana sastra yang digunakan untuk penulisnya. Bentuk-bentuk sastra yang digunakan antara lain: narasi (penceritaan: bisa berupa penuturan personal, penuturan yang bersifat historis atau penuturan dengan menggunakan setting historis, sekalipun sebenarnya tidak benar-benar historis), puisi atau hymne, paranesis (perintah atau nasihat terapan), sastra kebijaksanaan, perumpamaan (perumpamaan lugas, ilustrasi/ permisalan dan allegori), sastra apokaliptis.
6)      Dalam menarik keluar pesan (atau pesan-pesan) teks Alkitabiah dan menerapkan dalam kehidupan masa kini, penafsir tidak mungkin mengabaikan konteks kekiniannya secara luas. 


Semoga bermanfaat.


Pengampu,
Bambang Subandrijo



[1] Duncan S. Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction (Atlanta: John Knox Press, 1986), hlm. 4.
[2] Louis Berkhof, Principles of Biblical Interpretation (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, Cet. XIV, 1975), hlm. 19-20.
[3] Berkhof, Principles, hlm. 20.
[4] Berkhof, Principles, hlm. 20-21.
[5] Berkhof, Principles, hlm. 20-21.
[6] Berkhof, Principles, hlm. 21-22.
[7] Ferguson, Biblical Hermeneutics, hlm. 158.
[8] Ferguson, Biblical Hermeneutics, hlm. 162.
[9] Ferguson, Biblical Hermeneutics, hlm. 161-162.
[10] Martin Heidegger, An Introduction to Metaphisics, terjemahan Ralph Manheim (New Haven: Yale University Press, 1959), hlm. 146.
[11] James M. Robinson dan John B. Cobb (eds.), The Later Heidegger and Theology (New York: Harper and Row, 1963), hlm. 14.
[12] James Robinson, “Hermeneutics since Barth,” dalam The New Hermeneutics, ed. James M. Robinson dan John B. Cobb, Jr. (New York: Harper and Row, 1964), hlm. 38.
[13] Rudolf Bultmann, "The Problem of Hermeneutics," Essays (London: SCM Press, 1955), hlm. 241.
[14] Rudolf Bultmann, "Is Exegesis Without Presuppositions Possible?" Existence and Faith (New York: Meridian Books, 1960).
[15] Bultmann, "The Problem of Hermeneutics," hlm. 256.
[16] Adolf Heuken, SJ, Ensiklopedi Gereja, Jilid III, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 1993, hlm. 186.
[17] Lihat artikel Schubert M. Ogden, “Rudolf Bultmann” dalam Mircea Eliade (Editor in Chief), The Encyclopedia of Religion, Vol. 2, hlm. 566.
[18] Bruce M. Metzger - Michael D. Coogan (ed), The Oxford Companion to The Bible, op.cit. hlm. 541.
[19] Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992, hlm. 96-97.
[20] J.L. Ch. Abineno, Rudolf Bultmann dan Theologianya, BPK, Jakarta, 1989, hlm. 11-15.
[21] Robinson, “Hermeneutics since Barth,” dalam The New Hermeneutics, hlm. 12-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar