MENGENAL
PAULUS DAN PELAYANANNYA
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN PAULUS
Informasi
tentang Paulus hanya kita peroleh dari dua sumber, yaitu Kisah Para Rasul yang
merupakan tulisan kedua dari penginjil Lukas serta dari surat-surat Paulus itu
sendiri. Dari sumber pertama, kita mendapatkan informasi dari narasi yang
disampaikan Lukas; sementara dari sumber kedua, kita mendapatkan informasi dari
beberapa hal yang disampaikan Paulus dalam surat-suratnya tersebut. Di luar
kedua sumber ini, praktis tidak ada lagi teks PB yang berbicara tentang Paulus.
Kalau pun ada, mungkin kita temukan dalam tulisan-tulisan apokrif. Salah satu
teks apokrif yang berbicara mengenai sosok Paulus secara fisis adalah Kisah
Thekla (The Acts of Thecla). Dalam
teks ini dilukiskan:
(Paulus) adalah seorang yang perawakannya pendek;
kepalanya botak; kakinya bengkok; tegap; alisnya bertemu; hidungnya cukup
besar; dan penuh rahmat. Kadang kala ia kelihatan seperti manusia, di saat lain
ia tampak seperti malaikat (Kisah Thekla, 3).
Jika kita mencermati
kisah hidup Paulus, paling tidak ada empat latar belakang yang sangat
berpengaruh pada gagasan-gagasan teologisnya yang tercermin dalam
surat-suratnya, yaitu: latar belakang pribadinya sebagai seorang Yahudi, latar
belakang Hellenisme, pengaruh orang-orang Kristen sebelumnya dan pengaruh
peristiwa teofani yang dialaminya.
a. Latar belakang pribadinya
Paulus dilahirkan kira-kira pada awal abad pertama, di Tarsus, Kilikia
(Kis. 9:11; 21:39; 22:3), sebagai anak keluarga Yahudi Hellenis diaspora dari
suku Benyamin (Flp. 3:5). Orang tuanya memberinya nama Saul (Kis. 13:9)
seperti nama raja Israel pertama (2 Sam. 9:1-2, 21), yang dalam bahasa Ibrani
berarti mencari. Dalam perjalanan misionernya yang pertama, namanya
diganti Paulos (Kis. 13:9), yang dalam bahasa Latin berarti kecil.
Nama ini dapat diterima, baik oleh orang-orang Romawi, maupun orang-orang
Yunani. Dalam bahasa Ibrani, nama ini berarti luar biasa, agung, mengagumkan
atau seseorang yang memiliki kemauan kuat. Hal ini sesuai dengan sosok
yang digambarkan dalam Kisah 8:3.[1] Sekalipun demikian,
menurut pengakuannya sendiri, secara fisik Paulus memiliki berbagai kelemahan
dan menanggung berbagai penderitaan, baik fisik, maupun mental (2 Kor. 4:7;
5:2; 11:30; Ef. 3:8; Flp. 3:21, dsb.).[2]
Filipi 3:5 menyatakan bahwa ia adalah orang Ibrani
asli. Hal ini mengungkapkan bahwa ia bukanlah seorang proselit yang memeluk
agama Yahudi, melainkan benar-benar seorang yang dilahirkan sebagai orang
Yahudi. Menurut hukum Yahudi, pada usia 13 tahun seorang anak laki-laki Yahudi
harus diserahkan sebagai bar mitzvah (anak perjanjian), dan sejak saat
itu ia bertanggung jawab terhadap Taurat, di bawah bimbingan para rabbi. Pada usia itulah Paulus tiba di
Yerusalem untuk melanjutkan sekolahnya di bawah bimbingan Gamaliel, seorang rabbi dari aliran Hillel yang paling
hebat pada masa itu (Kis. 22:3). Wajar jika ia menjadi seorang yang amat
fanatik terhadap tradisi bapa-bapa leluhurnya. Secara eksplisit Paulus mengaku
sebagai seorang Yahudi, seorang Ibrani yang terdidik dalam tradisi para
leluhurnya dengan baik, sehingga tergolong orang Farisi (Flp. 3:5; 2 Kor.
11:22; Kis. 22:3).[3]
Orang tua Paulus adalah orang-orang Yahudi yang keras. Sejak kelahirannya, ia
memang dipersembahkan untuk melayani Allah dan dipersiapkan untuk menjadi seorang
Yahudi yang baik. Sejak bayi telah diajarkan kepadanya pengakuan, “Dengarlah
hai Israel, Tuhan Allah kita itu esa, karena itu kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”
(Ul. 6:4-5).[4]
Secara objektif, dalam kekristenan primitif, rupanya
Paulus bukanlah pemikir yang paling menentukan dan berpengaruh. Hal ini
didukung oleh kenyataan bahwa ia tidak pernah mengenal Yesus dalam
pelayanan-Nya di dunia, karena ia tidak berada di Galilea semasa Yesus
mewartakan ajaran-Nya. Paulus hanyalah salah seorang di antara para penulis
teks-teks PB, yang sejarah dan kisah pribadinya hanya sedikit ditemukan di luar
tulisan-tulisannya sendiri (dan kitab Kisah Para Rasul). Namun tidak dapat
disangkal bahwa dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran teologis Paulus
demikian mendominasi kekristenan. Juga merupakan fakta, bahwa presuposisi
pemikiran Paulus yang substansial dibentuk di Palestina. Sekalipun demikian,
pengaruh komunitas Hellenistik atas dirinya juga tidak dapat diabaikan (paling
tidak dalam bahasa yang digunakannya). Diakui pula bahwa di berbagai tempat
dalam surat-suratnya, Paulus menggunakan rumusan-rumusan tradisi yang telah ada
sebagai titik tolak pemikiran teologisnya.[5]
Paulus tidak hanya setia terhadap warisan leluhurnya,
melainkan juga menjadi seorang Farisi yang keras.[6] Kedudukan ini
dipertahankan hingga masa setelah kematian Yesus dan munculnya jemaat perdana,
baik di Yerusalem, maupun di lingkungan Hellenis (Flp. 3:5 dbr., Gal. 1:13
dbr.). Dengan pemikiran dan konklusi Farisinya, ia menganiaya para pengikut
Yesus. Hal ini dikatakannya berulang-ulang (Gal. 1:23; Flp. 3:6; 1 Kor. 15:9;
bdk. Kis. 9:1-3; 22:4-5; 26:9-31). Alasan untuk menganiaya orang-orang Kristen
dijelaskan dalam Galatia 1:13-15 dan Filipi 3:5-6, yaitu demi kesetiaannya
kepada Taurat. Paulus adalah orang Yahudi yang setia terhadap kota kudus
Yerusalem, Bait Allah dan Taurat. Ia menganggap Yesus telah menghancurkan
Taurat dan menganggap semua orang Kristen sebagai musuh Taurat serta penghujat
Allah; meskipun pada waktu itu komunitas Kristen di Yerusalem tidak bermaksud
melepaskan diri dari umat Allah Israel dengan segala hak istimewanya. Hal yang
membedakan mereka dengan umat Yahudi pada umumnya adalah kepercayaan mereka
bahwa setelah kematian-Nya di kayu salib, Yesus bangkit dan akan segera kembali
sebagai Mesias. Bagi pemikiran Yahudi, hal ini merupakan ilusi yang asing,
meskipun tidak cukup menjadi alasan untuk mengeluarkan orang-orang Kristen dari
komunitas mereka. Namun, antusiasme apokalyptis orang-orang Kristen (terutama
gerakan Stefanus, seperti diceritakan dalam Kis. 6-7) dianggap sebagai ancaman
terhadap dasar-dasar agama Yahudi yang tidak dapat lagi ditoleransi.[7] Di mata orang-orang
Yahudi, pemberitaan Stefanus merupakan kemurtadan yang sangat serius.
Justru karena Paulus benar-benar memahami Perjanjian Lama
(PL) dan Yudaisme ortodoks secara mendalam, maka di kemudian hari, setelah
menjadi Kristen, ia dapat menilai kekristenan sebagai penggenapan aspirasi
spiritual Israel. Perlawanan Paulus terhadap Yudaisme, menjadi efektif karena
ia memiliki pengetahuan yang baik tentang Yudaisme.
Mengenai diri Paulus, Pinchas Lapide, seorang sarjana
Yahudi abad XX, memiliki pikiran senada dengan Trypho (abad II Masehi). Ia
mengatakan bahwa Pauluslah yang membawa berita mengenai Mesias Yahudi kepada
dunia kafir dengan komitmen iman secara penuh. Ia berhasil menjadi orang Yunani
bagi orang Yunani; dan menjadi orang Yahudi bagi orang Yahudi (bdk. 1Kor.
9:20-22). Ia memiliki keberanian untuk mempresentasikan imajinasi religiusnya.
Ia sadar bahwa dirinya akan ditolak oleh orang Korintus atau Roma, jika datang
untuk mengajarkan Mesias Yahudi, Anak Daud, yang diurapi. Sebab, sudah tentu
masyarakat Korintus dan Roma tidak akan memahami apa yang dikatakannya. Untuk
telinga Yunani dan Romawi, Paulus berbicara dalam bahasa inkarnasi Anak Allah
dan Logos, Firman Ilahi yang telah
turun ke dunia untuk menebusnya. Pada sisi lain, hal itu tidak akan bermakna
bagi para gembala dan penangkap ikan di Galilea. Itulah sebabnya, di Yerusalem,
Paulus tampak sebagai seorang saleh, seorang Yahudi beriman yang memberitakan
Mesias Yahudi; sementara bagi orang Yunani ia berbicara mengenai Juruselamat,
Anak Allah.[8]
Namun yang jelas, sebagai seorang Yahudi asli, ia memelihara doktrin-doktrin
dasar Yudaisme, antara lain:
-
Bahwa Allah itu esa
adanya, benar dan suci.
-
Bahwa Israel adalah
bangsa yang terpilih.
-
Bahwa Taurat adalah
penyataan kehendak Allah bagi manusia.
-
Bahwa Mesias akan
datang untuk melepaskan umat-Nya.
Ketika Paulus
menjadi Kristen, doktrin-doktrin tersebut tetap melandasi pandangan
teologisnya.
b. Pengaruh Hellenisme
Sekalipun Paulus tergolong orang Farisi tulen, murid Gamaliel, rabbi Yahudi yang amat terkenal (Flp.
3:5; Gal. 1:14; Kis. 22:3), namun sebagai seorang Yahudi diaspora (Kis. 22:3),
ia juga hidup dalam lingkungan pendidikan Hellenis, paling tidak, dalam
perjumpaannya dengan orang-orang non-Yahudi di Tarsus, kota Hellenis itu (1 Kor.
9:24-25; 15:33). Bahkan secara kewarganegaraan, ia adalah warga negara Romawi,
karena ayahnya adalah warga negara Romawi (Kis. 22:25-29). Karena itu,
formulasi teologinya tidak hanya menggunakan pemikiran, konsep atau
gagasan-gagasan Yahudi Palestina, melainkan juga konsep-konsep Yahudi Hellenis
dan gagasan-gagasan kafir Hellenis. Memahami teologi Paulus hanya dari salah
satu sisi, tentu kurang tepat, karena Yudaisme Palestina dan Yudaisme
Hellenistik bukanlah dua entitas yang terpisah secara tajam.[9] Kalaupun Paulus
terpengaruh oleh Hellenisme, hal tersebut wajar, karena:
-
Alkitab Paulus adalah
Septuaginta (LXX), sehingga secara tidak langsung di dalamnya ada pengaruh
keyunanian.
-
Semua surat Paulus
ditulis dalam bahasa Yunani sehari-hari.
-
Selama 30 tahun,
selaku missionaris, Paulus melayani dunia di bawah peradaban Yunani.
-
Kadang-kadang Paulus
menggunakan istilah-istilah yang dipakai dalam agama-agama rahasia Yunani,
sekalipun diisi dengan makna Injili.
Meskipun demikian tidak berarti bahwa Paulus sepenuhnya memahami Yesus
dalam konsep Hellenistis.
Dapat dikatakan bahwa Paulus adalah teolog Kristen yang
pertama. Ia adalah seorang teolog misioner, yang pemikirannya sangat ditentukan
oleh percakapannya dengan persekutuan yang menjadi alamat surat-suratnya. Pada
dasarnya, refleksi Paulus tidak berupa paparan sistematis, melainkan
berhubungan dengan tugas-tugas misionernya, sesuai dengan situasi tertentu dan
untuk para pembaca tertentu. Paulus menganggap para pembacanya telah memiliki
presuposisi argumen sebelumnya, sehingga tidak semua hal perlu dikatakan atau
dijelaskan kepada mereka.[10]
Dapat dikatakan bahwa kristologi dalam PB, doktrin
tentang keselamatan dan ketuhanan Yesus, sebagian besar dikemukakan oleh
Paulus. Informasi tentang Yesus dalam PB beraneka ragam dan kadang-kadang
berasal dari sumber-sumber yang berlainan. Karena itu, kristologi kekristenan
di kemudian hari banyak bergantung pada Paulus sebagai pemikir yang cerdas dan
penulis yang paling awal mengenai gerakan Yesus.
Beberapa teolog berpendapat bahwa dalam PB, Yesus
dibicarakan, baik sebagai Mesias, maupun sebagai Logos, pribadi ilahi.
Menurut Lapide, sebagai Mesias Yahudi, Yesus tidak lebih hanyalah seorang
manusia biasa seperti kita. Meskipun demikian, Ia dipilih untuk melaksanakan
peran mesianis-Nya. Sedangkan sebagai Logos,
Ia adalah pribadi ilahi yang turun ke dunia untuk menyelamatkan manusia. Oleh
Paulus, Mesias Yahudi tersebut dihadirkan dalam bahasa mitologi Yunani.[11] Trypho, Lapide dan Adolf
von Harnack, secara esensial memiliki kesamaan pandangan, bahwa pengakuan
terhadap Yesus sebagai Firman Allah atau Logos,
merupakan sesuatu yang mustahil bagi lingkungan Yahudi. Namun pada sisi lain,
mereka mengatakan bahwa bagi dunia Yunani, pembahasaan tersebut tidak mungkin
dihindari.
c. Pengaruh orang-orang Kristen sebelumnya
Menurut A.M.
Hunter, wajar jika pemikiran Paulus sedikit banyak terpengaruh oleh orang-orang
Kristen sebelumnya. Hunter mendaftar tujuh hal yang diperoleh Paulus dari
jemaat perdana, yaitu:
-
Paulus menerima
kerygma rasuli dari jemaat perdana (1 Kor. 15:3), sekalipun tidak berarti bahwa
seluruh pemberitaan Paulus tergantung pada gereja perdana, seperti dikatakannya
sendiri, bahwa Injilnya berasal dari Kristus.
-
Pengertian Paulus
bahwa Yesus adalah Mesias, Tuhan dan Anak Allah, kemungkinan besar diperoleh
dari jemaat perdana.
-
Pemahamannya bahwa Roh
Kudus adalah ‘kuasa dinamis kehidupan baru’ berasal dari jemaat perdana.
-
Doktrin tentang gereja
sebagai Israel Baru berasal dari jemaat perdana.
-
Sakramen baptis dan
Perjamuan Tuhan dikenal melalui jemaat perdana
-
Perkataan-perkataan
Yesus yang dikutip Paulus pasti berasal dari jemaat perdana, sebab Paulus tidak
berkesempatan menyaksikan kehidupan Yesus secara langsung.
-
Keyakinan terhadap parousia juga diperoleh dari jemaat
perdana.[12]
Jika diperhatikan dengan seksama, pemikiran kristologis Paulus pun tidak
terlepas dari pengaruh tradisi jemaat perdana. Di berbagai tempat dalam
surat-suratnya, rupanya Paulus mengutip tradisi-tradisi yang lebih awal.
Kutipan-kutipan itu mengingatkan kita pada kerygma kristologis tahun-tahun
30-40 dalam jemaat awal. Dalam 1 Korintus 15:3-5, tampak jelas bahwa Paulus
mengutip rumusan yang telah ada. Secara eksplisit ia menyatakan bahwa apa yang
dikatakannya berasal dari para pendahulunya. Hal ini mengingatkan kita pada
peristiwa dalam perjalanan ke Damsyik di sekitar 33, ketika Paulus menerima
panggilannya; atau mengingatkan kita pada kunjungan Paulus yang pertama ke
Yerusalem sekitar 35, setelah peristiwa pertobatannya.[13]
Dalam ayat-ayat tersebut kita tidak menemukan berita apa
pun mengenai kelahiran Yesus atau kehidupan duniawi-Nya. Fokusnya terutama
adalah akhir hidup Yesus. Kemungkinan, Paulus mengutip secara selektif
rumusan-rumusan tradisi yang sudah ada, yang relevan dengan argumen-argumen
yang dipaparkannya dalam 1 Korintus 15. Fokus eksklusif yang dibicarakan adalah
akhir keberadaan Yesus di dunia (bdk. 1 Tes. 1:9). Sekalipun yang dibicarakan
adalah kematian Yesus, fokusnya tetap kebangkitan dan kedatangan-Nya kembali.
Sementara itu, awal kehidupan Yesus tidak disinggung sama sekali.
Dalam surat perkenalannya kepada jemaat Roma, Paulus
tidak mengingatkan jemaat mengenai ajaran-ajaran yang telah diberikannya,
melainkan mengenai tradisi yang telah mereka dengar (Rm. 10:8-9). Sekali lagi,
fokusnya adalah kebangkitan Yesus dan peneguhan-Nya sebagai Tuhan. Di awal
surat Roma, Paulus berbicara tentang Injil yang dipercayakan kepada para rasul
untuk diberitakan. Injil yang dimaksud Paulus berbeda dengan pengertian pada
umumnya, karena ia berbicara kepada orang-orang yang telah menjadi Kristen
melalui pekerjaan para misionaris yang lain (diduga mereka adalah orang-orang
Kristen Yahudi). Kemungkinan besar jemaat Roma terdiri dari orang-orang Yahudi
yang agak konservatif di sekitar Petrus (Rm. 1:3-4). Paulus juga seorang
Yahudi, namun ia berbeda dengan orang-orang Kristen Yahudi konservatif di
sekitar Yakobus, atau yang agak konservatif di sekitar Petrus, atau kelompok
Yahudi Kristen radikal di sekitar Stefanus.[14]
Dikatakan bahwa Yesus adalah ‘keturunan Daud,’ yang
secara harfiah berarti ‘berasal dari benih Daud.’ Hal ini memiliki konotasi
bahwa Yesus bukanlah Mesias sejak dilahirkan, sebab, ‘keturunan Daud’ tidak
serta-merta memiliki konotasi mesianis. Ungkapan itu hanya menunjukkan bahwa
nenek-moyang Yesus adalah keturunan Daud. Kemesiasan Yesus baru ditunjukkan
oleh kebangkitan-Nya. Sedangkan gelar ‘Anak Allah’ tidak digunakan dalam arti
ontologis, melainkan mengindikasikan fungsi dan peranan-Nya. Momentum
kristologis bukanlah kelahiran Yesus, melainkan kebangkitan-Nya.
Di dalam surat-surat Paulus terdapat rumusan-rumusan yang
berasal dari masa pra-Paulus. Hal ini masuk akal, mengingat surat-surat Paulus
ditulis sebelum Injil-injil yang terawal. Diperkirakan surat 1 Tesalonika
merupakan dokumen tertua dalam PB. Itu berarti bahwa tulisan-tulisan Paulus
didasarkan pada pemberitaan awal mengenai fakta Yesus (misalnya, penetapan
Perjamuan Kudus dalam 1 Kor. 11:23-26).[15] Inti kristologi narasi
kerygmatis dalam Kisah 2 dan 10 dapat diduga berasal dari rumusan komunitas
Kristen awal di Yerusalem. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta, yang berpusat
pada kematian dan kebangkitan Yesus (Kis. 2:22), berasal dari rumusan jemaat
awal. Kata ‘Nazaret’ dalam ayat ini menunjukkan asal-usul Yesus. Namun fokus
utamanya adalah kematian dan kebangkitan-Nya (Kis. 2:23-24a, 32a, 36). Bagi
Paulus, kebangkitan tetap merupakan momen kristologis yang utama. Rumusan
tersebut digunakan Paulus dalam Roma 1:3-4. Kebangkitan merupakan momentum
ketika Yesus ‘dijadikan’ Tuhan dan Kristus, serta ‘diangkat’ sebagai Anak
Allah. Yesus menjadi manusia istimewa, karena Allah melakukan
pekerjaan-pekerjaan besar melalui Dia. Dari momentum tersebut kemudian ditarik
mundur ke belakang hingga aktivitas Yohanes Pembaptis dan pengurapan Yesus
dengan Roh Kudus, sebelum Ia memulai pelayanan-Nya (Kis. 10:36a, 37-39a).
Namun, kematian dan kebangkitan Yesus tetap merupakan dasar kristologinya.
Formulasi pra-Paulus yang lain kita temukan dalam Galatia
4:4-5. Paulus kemudian memperluas formulasi ini dengan memasukkan kisah
kelahiran Yesus di bawah Taurat untuk menebus mereka yang hidup di bawah Taurat.
Tambahan ini mencerminkan maksud teologis Paulus, dan bukan merupakan bagian
dari formula asli. Dalam Filipi 2:6-11, Paulus juga mengambil rumusan
kristologi sebelumnya, yang telah lebih berkembang. Di dalamnya tercermin
‘formula pengutusan,’ yang memiliki pola umum: kata-kata pengutusan dari Allah
sebagai subjek, Anak Allah sebagai objek, kemudian diikuti dengan frasa yang
berisi maksud soteriologis pengutusan tersebut.[16] Formula pengutusan ini
menarik mundur momen kristologis, dari akhir kehidupan Yesus ke awal
pelayanan-Nya; dari kebangkitan-Nya ke permulaan misi-Nya. Perlu dicatat bahwa
pengutusan Yesus itu tidak menunjuk kepada praeksistensi-Nya, melainkan kepada
pengutusan-Nya secara historis.
Sekalipun tidak dapat dipastikan, dapat diduga bahwa setelah
Paskah, jemaat perdana melanjutkan pemberitaan mengenai Yesus sebagai nabi
besar terakhir yang diutus oleh Allah. Gelar Anak Allah dalam peristiwa
pembaptisan Yesus ditarik mundur dari peristiwa kebangkitan-Nya. Hal ini jelas
dalam kesaksian Injil mengenai peristiwa pembaptisan Yesus, ketika terdengar
suara dari surga yang menyatakan bahwa Dia adalah ‘Anak Allah’ (Mk. 1:11).
Harfiahkah maknanya? Tidak harus demikian. Rumusan suara dari sorga itu dapat
pula bermakna proklamasi, bahwa Yesus adalah hamba Allah. Dengan kata lain,
rumusan tersebut lebih menunjuk kepada peran profetis Yesus ketimbang kepada
hakikat ontologis-Nya sebagai Anak Allah yang ilahi. Hal ini menjadi lebih
jelas jika kita membaca Galatia 4:4. Allah mengutus Yesus bukan pada waktu kelahiran,
melainkan pada waktu pembaptisan-Nya.
d. Peristiwa teofani yang dialaminya
Apa yang terjadi?
Dalam Kisah Para Rasul ada tiga versi berita mengenai peristiwa yang
terjadi dalam perjalanan ke Damsyik - yang secara populer sering disebut
sebagai peristiwa pertobatan Paulus, yaitu dalam Kisah 9:1-19a, 22:6-16 dan
26:12-18. Membandingkan ketiga versi cerita tersebut, kita temukan tiga
perbedaan yang menarik untuk diperhatikan.[17]
(1) Dalam Kisah 9:7 dikatakan bahwa
teman-teman seperjalanan Paulus termangu-mangu, karena mereka mendengar suara
dari langit, namun tidak melihat seorang jua pun. Sementara dalam Kisah 22:9
dikatakan bahwa teman-teman yang menyertainya memang melihat cahaya, namun
suara yang berbicara kepadanya tidak mereka dengar. Sedangkan dalam Kisah
26:14, mereka semua hanya mendengar suara saja. Ketiga versi tersebut memuat
perbedaan mencolok, yang dikutip oleh penulis Kisah Rasul ke dalam karyanya
tanpa disadarinya. Meskipun hal ini diketahui oleh jemaat Kristen abad pertama,
mereka tidak mempersoal-kannya. Rupanya, yang penting bagi mereka adalah bahwa
ada sekelompok orang bersama Paulus dalam perjalanan menuju Damsyik mendengar
suara dari langit, namun hanya Paulus sendirilah yang memahami maknanya.
(2) Masalah kedua menyangkut
kata-kata yang didengar oleh Paulus. Dalam ketiga versi berita itu ada suara,
“Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” (9:4; 22:7; 26:14). Tetapi
hanya cerita dalam manuskrip tertua saja yang menambahkannya dengan kalimat
“Sukar bagimu menendang ke galah rangsang” (26:14). Frasa ini merupakan
ungkapan Yunani yang berarti “perlawanan terhadap dewa.” Kemungkinan, ungkapan
ini telah dikenal pula oleh lingkungan Yahudi. Sangat mungkin, ketika berbicara
dengan Agripa II, Paulus menambahkan ungkapan ini pada perkataan Tuhan, untuk
membuat sang raja sadar bahwa kritik dari surga itu diberikan oleh Allah
sendiri. Rasanya, Paulus sendiri tidak memerlukan hal itu (Kis. 9), demikian
pula bagi para pendengar Yahudi di Yerusalem (Kis. 22); karena bagi mereka,
suara dari langit itu diyakini berasal dari Allah sendiri. Namun untuk
menyampaikan berita itu kepada orang kafir, Paulus merasa perlu menggunakan
peribahasa Yunani, sehingga pesan surgawi itu dapat dipahami oleh pendengar
atau pembacanya.
(3) Hal ketiga, kapan Paulus menerima
penugasan untuk memberita-kan Injil kepada orang kafir, sulit ditentukan. Kisah
9 menyiratkan bahwa hal tersebut terjadi melalui Ananias yang dikirim untuk
menjelaskan makna perjumpaan Paulus dengan Tuhan di jalan ke Damsyik itu. Namun
Kisah 22, meskipun menyinggung pela-yanan Ananias, rupanya menghubungkan
kata-kata “Aku akan mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain”
(ayat 21) dengan penglihatan yang diterimanya di kemudian hari, ketika Paulus
berada di Bait Allah di Yerusalem. Sedangkan Kisah 26 menyiratkan bahwa
pengutusan tersebut diterima ketika Paulus masih berada di jalan ke Damsyik.
Namun bagi Paulus, perjumpaan dengan Tuhan, pelayanan Ananias dan penglihatan
yang diterimanya di kemudian hari di Bait Allah, semua itu merupakan bagian
dari peristiwa yang sama. Kemungkinannya, Kisah 9 menceritakan rangkaian
peristiwa real sehubungan dengan teofani yang dialami Paulus; Kisah 22
menambahkan penglihatan di Yerusalem tiga tahun kemudian sebagai penegasan
pengutusan Paulus; dan Kisah 26 merupakan kesaksian ringkas kepada raja Agripa.
Mana pun versi yang sebenarnya terjadi merupakan persoalan sekunder. Hal
penting yang hendak diberitakan adalah teofani yang dialami Paulus. Peristiwa
itu telah menjadi titik balik yang menentukan bagi Paulus. Jika selama ini,
sebagai ahli Kitab Suci dan Taurat, Paulus cenderung menempatkan Allah sebagai
objek pikirannya, maka kini pengenalannya akan Allah diluruskan. Sama seperti
kepada para leluhurnya, Allah menyatakan diri melalui pengalaman dan penghayatan
mereka, kini Paulus pun mengalami hal serupa. Dengan cara-Nya yang unik, Allah
telah menyatakan kehadiran-Nya kepada Paulus. Bertolak dari pengalaman yang
baru inilah Paulus melihat bahwa di dalam pribadi Kristus, Allah telah
menghadirkan diri dan bertindak untuk menyelamatkan manusia. Cara pandang baru
ini tidak bertentangan dengan iman monoteistisnya kepada Yahwe. Justru dari
kacamata monoteisnya, Paulus melihat bahwa pribadi Yesus merupakan
pengejawantahan kehadiran Yahwe. Dalam hal ini, yang menjadi titik berat
perhatiannya bukanlah hakikat Yesus secara ontologis, melainkan penyataan Allah
yang sedang bertindak secara aktif, menghadirkan diri di tengah kehidupan
manusia. Dalam pengertian seperti ini, gelar Kurios bagi Kristus,
yang dipopulerkan dan paling disukai oleh Paulus, mendapatkan maknanya. Yesus
merupakan paraga yang mengejawantahkan kehadiran Allah; karena itu, Ia
layak mendapatkan gelar kehormatan yang paling tinggi, nama di atas segala
nama, Kurios. Di dalamnya tidak tersirat adanya pemikiran biteis yang
bertentangan dengan iman kepada Yahwe yang diwarisi dari para leluhurnya,
sebagaimana disaksikan dalam Kitab Suci. Kalaupun ada pemikiran tentang
inkarnasi, tentu tidak dalam pengertian metamorfosis, melainkan sebatas
pemahaman terhadap pengejawantahan kehadiran Allah, tanpa mempersoalkan hakikat
(nature) pribadi yang menjadi wahananya.
Perpindahan agama atau panggilan?
Kisah pengalaman Paulus di jalan ke Damsyik biasanya dipahami sebagai
berita tentang pertobatannya menjadi Kristen. Benarkah berita perpindahan agama
Paulus merupakan inti pesan yang hendak disampaikan? Di samping tiga versi
narasi dalam Kisah Para Rasul (Kis. 9:1-19; 22:4-16 dan 26:9-19), berita yang
sama terdapat pula dalam surat Paulus sendiri (Gal. 1:11-17). Membaca sepintas
perikop-perikop tersebut, seakan-akan cukup beralasan untuk menganggap cerita
tersebut sebagai berita mengenai peristiwa perpindahan agama Paulus. Sebagai
orang Yahudi yang teguh, yang telah mengejar-kejar persekutuan Kristen,
tiba-tiba, melalui peristiwa yang ajaib, ia sendiri menjadi Kristen.
Namun jika dicermati, berita-berita itu tidak dapat
dilepaskan dari keadaan Paulus sebelum dan sesudahnya. Paulus adalah seorang
Yahudi, terdidik dalam tradisi Farisi, murid Taurat dan penyembah setia Allah
Abraham. Panggilannya tidak dapat dipahami sebagai perpindahan agama dari
Yahudi menjadi Kristen, sebab, ia tetap menyembah Allah Abraham, yang satu dan
sama, yaitu Yahwe, serta tetap menganggap diri orang Yahudi. Hanya saja,
panggilan atau teofani yang dialaminya itu telah mengubah pengertiannya
terhadap Allah Abraham. Pikirannya mengenai Hikmat dan kuasa Allah kini
berubah. Perubahan ini bagi orang lain merupakan batu sandungan serta
kebodohan. Kini ia memahami bahwa Allah telah menyatakan diri dalam diri Yesus
yang disalibkan dan bangkit itu. Ia mengerti bahwa Allah telah bertindak dalam
diri Kristus yang disalibkan untuk menebus umat manusia, bukan hanya mereka
yang berada di bawah hukum Taurat, melainkan juga orang-orang kafir. Sesuai
dengan tradisi monoteisme Yahudi, Paulus tidak mempersoalkan keberadaan Allah.
Ia juga tidak mempertanyakan apakah Yahwe juga menjadi Allah agama-agama lain.
Pokok yang menjadi perhatian utamanya adalah pemahaman, atau lebih tepatnya,
pengalaman, mengenai kehadiran Allah.[18]
Dalam ibadahnya kepada Allah Abraham, kini Paulus
menerima panggilan istimewa. Benar bahwa pengalaman Paulus telah menjadi titik
balik perspektifnya terhadap Kristus. Namun hal itu merupakan pengalaman
pribadi yang unik. Penulis Kisah Para Rasul dan Paulus sendiri sama sekali
tidak ingin menonjolkannya. Hal yang ingin dikedepankan adalah bahwa Allah
telah memanggil dirinya, sebagai seorang Yahudi, untuk membawa berita kepada
orang-orang kafir. Jadi, inti pesan yang hendak disampaikan dalam cerita
pengalaman Paulus itu, seperti dikemukakan juga oleh Krister Stendhal, bukanlah
perpindahan agama, melainkan panggilan dan pengutusannya. Ketimbang sekadar
berpindah agama, Paulus dipanggil untuk suatu tugas khusus, yaitu sebagai rasul
untuk orang-orang kafir.[19]
Setelah menegaskan bahwa Injil yang diterimanya bukanlah
dari manusia, melainkan dari penyataan Yesus Kristus (Gal. 1:12), Paulus
menambahkan penjelasan:
“Sebab kamu telah mendengar
tentang hidupku dahulu dalam agama Yahudi: tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah
dan berusaha membinasakannya. Dan di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju
dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang
sangat rajin memelihara adat-istiadat nenek moyangku. Tetapi waktu Ia, yang
telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih
karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan
Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaat pun aku tidak minta
pertimbangan kepada manusia …” (Gal. 1:13-16).
Jika perikop tersebut dibaca dengan seksama, jelas ada petunjuk bahwa
Paulus bertolak dari beberapa bagian PL. Dikatakan bahwa Allah telah
mengususkan atau memilih dia sejak dalam rahim ibunya, memanggilnya ke dalam
anugerah dan memberinya tugas untuk orang-orang kafir (bdk. Yes. 49:1; 49:6;
Yer. 1:5). Dengan demikian, dalam surat Galatia, Paulus melukiskan
pengalamannya dalam terminologi profetis sebagaimana panggilan Yesaya dan
Yeremia.[20]
Ia dipungut Allah melalui peristiwa profetis untuk membawa pesan-pesan Allah
bagi orang-orang kafir. Hal yang ingin ditekankan adalah panggilan dan
pengutusannya, bukan peristiwa perpindahan agamanya.[21]
Narasi dalam Kisah 22: setelah Ananias berbicara kepada
Paulus tentang misi khususnya (Kis. 22:14-15), kemudian Paulus mendengar firman
Tuhan, “Pergilah, sebab Aku akan mengutus engkau jauh dari sini kepada
bangsa-bangsa lain” (Kis. 22:21). Sedangkan narasi dalam Kisah 26:16-18, yang
diingat adalah panggilan Yehizkiel (lihat Yeh. 1:28; 2:1,3). Berita dalam Kisah
9:1-19, 22:4-16 dan dalam Galatia 1:13-16, rupanya mencerminkan tradisi yang
sama mengenai panggilan profetis. Dengan demikian, terminologi ‘pertobatan’
Paulus harus dipahami dalam kerangka panggilan tersebut. Pokok persoalan yang
dibicarakan bukanlah tentang perpindahan agamanya, melainkan panggilannya.
Pergantian nama Saulus menjadi Paulus pun rupanya lebih tepat dipahami dalam
konteks panggilannya, bukan perpindahan agamanya. Perubahan namanya
melambangkan perubahan fokus pelayanan Paulus dari Yerusalem ke Roma (Kis. 1:18).[22]
Pengalaman Paulus tidak dapat dipahami sebagai ‘perpindahan agama’ dalam
kerangka berpikir Barat, karena ia tetap berbahagia sebagai seorang Yahudi
(Flp. 3:4-6).[23]
Ia adalah seorang Yahudi yang cemerlang, yang bangga dengan keberhasilan yang
dicapainya (Flp. 3:13-15) dan tidak pernah mengalami problem psikhologis karena
menjadi Kristen.
Pengaruhnya terhadap Paulus
Paulus menjadi orang beriman tidak disebabkan oleh pengaruh langsung
pemberitaan Yesus selama pelayanan-Nya di dunia. Ia tidak pernah bertemu Yesus
duniawi (2Kor. 5:16). Pemahamannya terhadap Yesus tidak bertumbuh secara
gradual, melainkan oleh peristiwa teofani yang tiba-tiba dialaminya, ketika
Tuhan menampakkan kehadiran-Nya di jalan ke Damsyik. Peristiwa yang dialaminya
lebih menunjukkan kebesaran anugerah Allah ketimbang inferioritas dirinya
terhadap Taurat. Anugerah Allah tersebut bukan saja merupakan intervensi Allah
dalam kehidupan Paulus secara pribadi, melainkan telah pula membebaskan
perspektifnya dari dimensi kosmis (Gal. 1:15-16). Sekalipun titik berat pesan
cerita pengalaman Paulus tersebut adalah panggilan dan pengutusannya sebagai
rasul untuk bangsa kafir, tidak dapat dihindari, pengalamannya tersebut sangat
berpengaruh, bahkan menjadi landasan teologinya. Ia meringkaskan ajarannya
mengenai kebenaran Allah bukan didasarkan pada pelaksanaan hukum Taurat dengan
teliti, melainkan didasarkan pada penyataan Allah di dalam Kristus dan melalui
iman kepada-Nya (Rm. 3:21-23).[24]
Bertolak dari pengalaman perjumpaannya dengan Tuhan,
Paulus berpendapat bahwa kita hanya dapat berbicara tentang Allah, jika
sekaligus berbicara tentang dunia dan manusia, demikian pula sebaliknya.
Seluruh pikiran Paulus berkisar pada dua kutub: Allah mencari manusia dan
manusia mencari Allah. Pemikirannya tentang Allah selalu mengacu pada Yesus
Kristus sebagai pengejawantahan kehadiran-Nya, serta pengaruh-Nya terhadap
kehidupan di dunia ini. Baginya, bukan Yesus, bukan Allah atau bukan Taurat
yang berakhir secara tragis, melainkan manusia - entah Yahudi atau non-Yahudi,
yang secara sadar atau tidak, berusaha membatasi Allah dalam kehidupannya
sendiri. Keadilan Allah yang dinyatakan di dalam dan melalui Kristus telah
mengakhiri kecenderungan manusia tersebut.[25]
Setelah pengalamannya di jalan ke Damsyik, ada tiga
akibat yang tidak terhindarkan bagi Paulus. Pertama, ia menyadari bahwa
kehidupan dan aktivitasnya dalam Yudaisme selama ini tidak berada pada jalur
yang benar (Flp. 3:5-8).[26] Perspektif manusiawi dan
intelektualitasnya telah ia gunakan untuk membatasi pemahamannya terhadap
Allah. Sekalipun pengenalan nenek-moyangnya terhadap Allah tidak didasarkan
pada definisi dan konseptualisasi intelektual, tanpa disadari, sebagai ahli
Kitab Suci dan hukum Taurat, ia telah menetapkan kategori-kategorinya sendiri
bagi Allah. Allah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
logikanya sendiri. Itulah sebabnya, pada awalnya ia tidak dapat melihat
kehadiran Allah dalam diri Yesus. Namun kini, teofani yang dialami telah
mengoreksi kekeliruannya. Ia tidak mungkin lagi membenarkan diri.
Kedua, ia tidak dapat lari
dari kesimpulan bahwa yang dikejar-kejarnya selama ini tidak lain adalah Allah
sendiri. Kini ia menyadari bahwa Kristus adalah paraga yang telah
mengejawantahkan kehadiran Allah, TUHAN (sic.
sengaja ditulis dalam huruf besar semua) yang disembah oleh Israel. Ia harus
membenahi seluruh asumsinya mengenai pribadi Yesus, kehidupan dan
pelayanan-Nya, karena Allah telah mengakhiri dispute dalam dirinya. Kini
ia melihat bahwa kematian Kristus di atas salib sungguh-sungguh merupakan
penggenapan nubuat para nabi dan merupakan ketetapan Allah sendiri untuk
membebaskan manusia dari dosanya. Ia harus pula mengakui bahwa kebangkitan
Kristus pun merupakan penggenapan nubuat dan memberi kehidupan bagi mereka yang
menerima-Nya (1Kor. 15:3-5).
Ketiga, ia sadar akan
panggilannya, bahwa dirinya telah ditetapkan sebagai rasul bagi orang-orang
kafir. Ia harus membawa berita kepada mereka tentang Yesus yang disalibkan dan
bangkit itu, serta membawa mereka masuk ke dalam kesatuan tubuh Yesus (Rm.
11:13; 15:16; Gal. 1:11-16; bdk. Ef. 3:8). Dalam hubungannya dengan maksud
Injil, Paulus merasa bahwa tidak ada perbedaan antara dirinya dengan para rasul
yang lain.[27]
2. Sumber yang perlu digali
Untuk
melacak pemikiran teologis Paulus, sumber utama yang harus digali adalah
surat-surat Paulus yang ‘asli,’ sekalipun di sana-sini mungkin perlu pula
mempertimbangkan surat-surat deutero Paulin yang lain. Secara internal, 13
surat (tidak termasuk surat Ibrani) dalam PB menyebut nama Paulus sebagai
penulisnya. Namun, dalam komunitas akademis, hanya tujuh di antara 14
surat-surat itu (termasuk Ibrani) yang disepakati benar-benar berasal dari
tangan Paulus, yaitu 1 Tesalonika, Roma, 1 dan 2 Korintus, Galatia, Filipi dan
Filemon.
Sekalipun terdapat konsensus di antara para sarjana biblika bahwa ketujuh
surat itu berasal dari Paulus, kesatuan surat-surat itu masih dipertanyakan.
Misalnya, 1 dan 2 Korintus diragukan kesatuannya. Beberapa ahli, seperti Edgar
Goodspeed dan Norman Perrin, menduga bahwa kedua surat itu merupakan gabungan
dari banyak surat pribadi. Demikian halnya, beberapa bagian dari surat-surat
Paulus itu diduga merupakan sisipan, antara lain: Roma 1:18-2:29, 2 Korintus
6:14-7:1 dan Galatia 1:13-2:14.
Di samping surat-surat di atas, banyak pula tulisan di luar Alkitab yang
dianggap ditulis oleh Paulus, namun sesungguhnya merupakan karya pseudopigraf.
Sayangnya, hanya sedikit orang yang pernah membaca surat-surat Paulus di luar
Alkitab (yang merupakan bagian dari apokrif PB).
Sekalipun tidak termasuk dalam kanon Alkitab, tidak berarti bahwa surat-surat
tersebut tidak berharga. Paling tidak, dari surat-surat itu kita dapat
memperoleh gambaran tentang kondisi dan situasi waktu itu, termasuk
gagasan-gagasan keagamaan yang tersebar luas di tengah masyarakat, yang
melatarbelakangi surat-surat Paulus yang kanonik.
Beberapa surat Paulus (entah benar-benar ditulis oleh
Paulus atau pseudonim dengan mengatasnamakan Paulus) yang tidak kanonik antara
lain:
- Surat 3 Korintus (suatu waktu
diterima sebagai surat kanonik oleh gereja Ortodoks Armenia)
- Surat kepada jemaat Laodikia
- Surat dari jemaat Korintus kepada Paulus
- Surat kepada
orang-orang Aleksandria.
Teks-teks yang
bukan berupa surat dan dianggap ditulis oleh Paulus, antara lain:
·
Kisah Rasul Paulus
dengan Thekla (The Acts of Thecla)
·
Kisah Rasul Petrus dan
Paulus
·
Apokalupsis Paulus
·
Apokalupsis Paulus
Koptik
·
Doa Rasul Paulus
·
Surat
kepada Seneca, si orang muda.
Tentu saja
tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu saat para arkheolog akan menemukan surat-surat
Paulus yang selama ini belum diketahui. Ada banyak kitab yang dirujuk oleh
Alkitab, namun selama ini masih belum diketemukan, termasuk beberapa surat
Paulus. Seandainya diketemukan, surat-surat itu tentu akan sangat berharga bagi
kita, meskipun tidak dimasukkan ke dalam kanon Alkitab. Surat-surat yang
dirujuk oleh Alkitab, namun hingga kini belum diketemukan antara lain:
·
Surat kepada jemaat
Korintus yang pertama (bdk. 1Kor. 5:9)
·
Surat kepada jemaat
Korintus yang ketiga yang sering disebut ‘surat-surat yang keras’ (bdk. 2Kor.
2:4; 7:8-9)
·
Surat kepada jemaat
Efesus yang terdahulu (bdk. Ef. 3:3-4)
·
Surat kepada jemaat
Laodikia (bdk. Kol. 4:16)
PELAYANAN PAULUS
Paulus memahami
teofani yang dialaminya sebagai panggilan istimewa untuk diutus menjadi rasul
untuk bangsa-bangsa non-Yahudi. “Tetapi sewaktu Allah, telah memilih aku sejak
kandungan ibuku dan memanggil aku oleh anugerah-Nya, berkenan menyatakan
Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa
bukan Yahudi” (Gal 1,15-16). Ia sadar bahwa dirinya harus berhadapan dengan
orang-orang yang mempunyai latar belakang – baik religius maupun kultural –
berbeda dengan dirinya. Ketika berhadapan dengan orang-orang sebangsanya ia
dapat dengan mudah mengajak mereka merenungkan peristiwa Kristus sebagai
pemenuhan janji Allah demi keselamatan manusia. Karena itu dalam karya
misionernya, Paulus selalu mulai dengan
mengunjungi synagoge-synagoge, tempat berkumpul mereka yang sering disebut
sebagai ‘orang-orang yang takut akan Allah’ (misalnya, di synagoga Antiokhia
Pisidia, Kis 13,16.26). Di tengah-tengah orang sebangsanya, ia dapat mengawali
pewartaannya bertolak dari latar belakang agama Yahudi yang sama.
Lain halnya ketika ia harus berhadapan dengan orang-orang non-Yahudi. Di
hadapan mereka, Paulus tidak mungkin menerapkan refleksi teologis berdasar
latar belakang Yahudinya. Ia membutuhkan ’bahasa’ yang berbeda. Di samping itu,
dalam melaksanakan panggilannya, ia harus keluar dari Yerusalem untuk bertemu
dengan bangsa-bangsa non-Yahudi di tempat tinggal mereka. Paulus tidak hanya
menunggu, melainkan dengan rajin ia membawa pesannya dan berkeliling ke
pelosok-pelosok Asia Kecil untuk mewartakan Injilnya.
Secara tradisional dikatakan ada tiga atau empat perjalananan misionaris
yang dilaksanakan Paulus. Hal yang menarik, perjalanan misioner Paulus ini
hanya dilaporkan dalam Kisah Para Rasul, sementara Paulus sendiri dalam
surat-suratnya tidak memberikan indikasi apa pun bahwa ia pernah mengadakan
“perjalanan misi” ini. Perjalanan misioner Paulus itu adalah sbb:
Ø Perjalanan misioner Paulus yang pertama dilaporkan dalam Kisah 13:4-14:28
(kira-kira terjadi pada 45-48). Rute yang dijalani Paulus adalah: Antiokhia
(Siria) – Seleukia – Salamis – Pafos – Perga – Antiokhia di Pisidia – Ikonium –
Listra – Derbe – Listra – Ikonium – Antiokhia di Pisidia – Perga – Antiokhia
Siria.
Ø Perjalanan misioner kedua dilaporkan dalam Kisah 15:36-18:23
(sekitar tahun 48-50) dengan rute sebagai berikut: Antiokhia – Siria – Kilikia
– Derbe – Listra – Frigia – Misia – Troas – Samotrake – Neapolis – Filipi –
Amfipolis – Apolonia – Tesalonika – Berea – Atena – Kaisarea – Yerusalem –
Antiokhia.
Ø Perjalanan misioner ketiga diceritakan dalam Kis
18:23-21:17 (terjadi sekitar 52-58) dengan rute: Antiokhia – Frigia – Efesus (3
tahun) – Makedonia – Filipi – Troas – Asos – Metilene – Samos – Miletus –
Knidus – Rhodos – Patara – Mitra – Tirus – Ptolomais – Kaisarea.
Ø Perjalanan ke Roma. Cerita perjalanan ke Roma
dapat dibaca dalam Kisah 21:15-28:31. Tampaknya perjalanan Paulus yang terakhir
ini terjadi sekitar 60 M .
Rutenya adalah: Antipatris – Kaisarea – Sidon – Mira – Kreta – Malta – Sirakusa
– Regium – Putioli – Roma.
Dalam
memberitakan Injil, pertama-tama Paulus berkhotbah di synagoge atau rumah
ibadat. Pendengar mereka adalah orang-orang Yahudi dan non-Yahudi (disebut
orang “yang takut akan Allah”). Jika masyarakat Yahudi menolak Injil, maka
pemberitaannya dialihkan kepada kelompok non-Yahudi (Kis. 13:46).
Perjalanan pertama Paulus mengalami kesuksesan, namun juga kegagalan. Di
Ikonium, terjadi konflik dengan orang-orang Yahudi yang menolak pewartaannya
(Kis. 14:1-7). Di Listra, ia dilempari batu (Kis. 14:19). Namun di wilayah
Pisidia, ia berhasil ’mengkristenkan’ sejumlah orang, sekalipun mendapat
perlawanan dari kalangan Yahudi fanatik (Kis. 13:45). Karena itu, Paulus dan
Barnabas kemudian mengalihkan pewartaan mereka kepada bangsa-bangsa non-Yahudi
(Kis. 13:46). Kendati mengalami beberapa penolakan dan perpisahan dengan
Yohanes Markus di Perga, pemberitaan Injil berhasil menumbuhkan jemaat di
daerah Pisidia, Pamfilia, tepatnya di kota Antiokhia, Ikonium, Listra, Derbe
dan mungkin Perga. Paulus dan Barnabas melihat bahwa Allah telah membuka pintu
iman bangsa-bangsa non-Yahudi (Kis. 14:28).
Bagi jemaat-jemaat muda, kekristenan merupakan sesuatu yang masih baru.
Mereka belum memahami secara penuh makna menjadi Kristen dalam kehidupan
sehari-hari. Karena itu, tidak mengherankan jika jemaat-jemaat cepat sekali
menjadi bingung ketika harus berhadapan dengan situasi konkret yang berbeda
dengan iman mereka. Dalam konteks seperti inilah surat-surat Paulus harus
ditempatkan. Surat-surat Paulus dikirimkan dengan maksud tertentu, yaitu untuk membantu
jemaat menjawab persoalan yang sedang mereka hadapi.
Autobiografi ringkas Paulus dalam Surat Galatia
Sebagaimana
dilaporkan dalam Galatia 1:17–24, setelah mendapat penampakan Kristus, ia pergi
ke Damaskus dan kemudian ke Arab, yaitu Kerajaan Nabataea, yang disebut “Provinsi Arabia.”
Perutusan di Arabia, yang diberikan oleh Kristus kepadanya adalah
perutusan pada orang-orang bukan Yahudi. Paulus tidak memulai sendiri karya
pewartaan ini. Ia bergabung dengan karya pewartaan yang telah dirintis oleh
Gereja Damaskus. Setelah itu, Paulus kemudian kembali. Tidak diketahui dengan
pasti, apakah karya pengutusan ke Arab ini sukses atau tidak (lihat juga Gal.
4:25; Kis. 2:11; 1 Clem. 25:1, 3; bdk. Rm. 15:19).
Paulus menekankan bahwa setelah penampakan dan pengutusan dari Kristus, ia
memilih untuk tidak berkonsultasi dengan para rasul lainnya di Yerusalem.
Mengapa ia mengindari pertemuan dengan otoritas Kristen di Yerusalem? Alasan
yang paling masuk akal tampaknya berhubungan dengan pengutusan di Arabia. Jika
Paulus mau menganiaya jemaat Kristen di Damaskus karena ketidakpatuhan mereka
pada Taurat, dan jika orang-orang Kristen itu telah memulai pengutusan kepada
orang-orang non-Yahudi, di mana Paulus telah menggabungkan diri, maka
sebaliknya para petobat Arab pastilah tidak mematuhi Taurat dan hukum sunat.
Namun agaknya, gereja Yerusalem memandang jemaat baru ini tanpa sikap
yang jelas, atau bahkan tidak menyetujuinya. Maka, masuk akallah bahwa Paulus
menghindar untuk bertemu dengan mereka.
Tiga tahun setelah pertobatannya, Paulus akhirnya pergi ke Yerusalem (Gal
1:18–24). Selama berada di sana, Paulus tidak banyak memperlihatkan diri. Pada
waktu itu ia menjumpai Petrus selama 15 hari. Perjumpaan itu mengisyaratkan
simpati Petrus pada aktivitas Paulus. Namun gereja secara keseluruhan
sebenarnya telah terbelah menjadi dua kubu. Maka ketika Paulus mengatakan “aku
tidak melihat seorang pun dari rasul-rasul yang lain, kecuali Yakobus, saudara
Tuhan Yesus”, ia sebenarnya mau mengatakan bahwa ia menghindari mereka karena
mereka tidak peduli padanya. Yakobus, kemungkinan karena ia bukanlah seorang
rasul (misioner), menyambut baik kunjungannya. Apakah ketika mereka memuji
Allah bagi Paulus tanpa pernah bertemu dengannya (Gal 1:22-24), gereja-gereja
di Yerusalem dan Yudea mengetahui bahwa ia mewartakan injil tanpa mewajibkan
mereka mematuhi Taurat dan hukum Sunat? Paling tidak kita dapat mengatakan
bahwa tidak ada keputusan gamblang yang telah dibuat oleh gereja-gereja
Palestina dan ketegangan itu pasti masih ada. Dari laporan ini kita dapat
menyimpulkan bahwa ketegangan antara Paulus dan rasul-rasul lain muncul dari kebijakan
mereka yang berbeda dalam hal pewartaan kepada orang bukan Yahudi. Setelah
kunjungannya, Paulus melakukan karya pewartaan di daerah asalnya, Siria dan
Kilikia (Gal. 1:21). Tidak jelas apakah Petrus dan Yakobus setuju dengan karya
pewartaan ini.
Ketika Paulus datang lagi ke Yerusalem “setelah empat belas tahun” (Gal.
2:1), pewartaan di Siria dan Kilikia telah terlaksana dengan sukses. Paulus
menyebutkan rekan kerja utamanya adalah Barnabas, seorang Yahudi Kristen
seperti dirinya sendiri. Barnabas adalah guru Kristen Paulus (Kis. 4:36–37;
9:27). Gereja Yerusalem mengutusnya ke Antiokhia. Di sana ia menjadi tokoh pemimpin di antara orang-orang Kristen Yahudi dari
Fenisia, Siprus, dan Siria/Kilikia. Ia pergi ke Tarsus untuk mencari Paulus dan
membawanya ke Antiokhia (Kis. 11:25-26), tempat pewartaan bagi orang-orang
Yunani dimulai (Kis. 11:20). Di tempat itulah nama “Kristen” (Christianoi) pertama
kali digunakan (Kis. 11:26). Dari sini, Barnabas and Paulus diutus bersama-sama
untuk melakukan karya pewartaan (Kis. 13:1–3) mulai dari Siprus (Kis. 13:4–12),
kemudian ke Pamfilia dan Psidia (Kis. 13:13–14:28).
Karya pewartaan itu kemudian juga membawa permasalahan yang harus
dipecahkan. Apakah para petobat baru non-Yahudi harus disunat atau tidak?
Apakah gereja bagian dari Yudaisme atau merupakan agama Kristen yang mandiri?
Setelah diskusi panjang (Kis. 15:1–2) dan bahkan ada pewahyuan (Gal. 2:2),
Paulus dan Barnabas pergi ke Yerusalem, sambil membawa serta Titus, seorang
petobat Kristen non-Yahudi yang tidak disunat. Konsili Yerusalem (Gal. 2:1–10;
Kis. 15:2–29) terbelah ke dalam tiga kubu, dua di antaranya memiliki sikap yang
saling berlawanan terhadap permasalahan utama itu, sedangkan kubu ketiga
berusaha tetap netral. Setelah diskusi yang cukup hangat, Paulus dkk (Barnabas
dan Titus) menang, mendapatkan pengakuan bahwa Titus adalah seorang Kristen
tanpa harus sunat. Namun dibuatkan suatu kompromi. Karya pewartaan Kristen
dibagi menjadi dua arah, yang pertama pada orang-orang Yahudi, (di bawah wibawa
rasul Petrus), dan yang kedua di bawah kepemimpinan Paulus dan Barnabas, tanpa
gelar resmi (Gal. 2:8–9). Yang mempersatukan keduanya adalah iman yang sama kepada
satu Allah (Gal. 2:8; Rm. 3:30; 10:12). Kesepakatan tersebut, dan juga janji untuk
mengumpulkan uang bagi orang-orang miskin di Yerusalem (Gal. 2:10),
disetujui oleh ketiga “soko guru” (Yakobus, Kefas/Petrus, dan Yohanes), dan
utusan dari Antiokhia (Paulus dan Barnabas), namun tidak disetujui oleh kubu
lain yang sangat keras kepala, yang oleh Paulus disebut “saudara-saudara palsu
yang menyusup” (Gal. 2:4). Konsili Yerusalem ini mempunyai konsekuensi besar
tidak hanya bagi gereja, namun juga bagi masa depan hidup Paulus.
Masih ada pertanyaan, apakah orang-orang “Christianoi” bukan Yahudi mendirikan suatu agama baru?
Atau, apakah orang Kristen, baik Yahudi maupun non-Yahudi, masih merupakan
bagian dari Yudaisme? Ketidakjelasan masalah ini menjadi benih konflik
selanjutnya (misal, kasus Timotius, Kis. 16:1–4), yang memuncak di Antiokiha
(Gal. 2:11–14). Perselisihan muncul setelah kunjungan Petrus ke Antiokhia dan
makan bersama dengan orang-orang Kristen non Yahudi. Perjamuan itu menandakan
kesamaan mereka untuk ambil bagian dalam keselamatan Allah melalui Yesus
Kristus. Namun kemudian dengan kedatangan “orang-orang Yakobus” yang datang
dari Yerusalem, situasi berubah. Setelah debat yang sangat panas, Petrus dan
orang-orang Kristen Yahudi lainnya mengecam habis-habisan dan memutuskan meja
persaudaraan dengan orang-orang Kristen bukan Yahudi. Dengan demikian, mereka
menegakkan lagi batas-batas antara makanan halal dan haram, dan mengeluarkan
orang-orang Kristen bukan Yahudi dari lingkaran mereka. Namun Paulus tetap
berpihak pada orang-orang Kristen bukan Yahudi. Ketika melakukan debat terbuka
dengan Petrus, Paulus mengecam inkonsistensi dan kemunafikan Petrus dalam
teologi dan praktik religiusnya. Hasilnya adalah terputusnya hubungan sama
sekali antara Paulus dan para misionaris Yahudi-Kristen lainnya, termasuk juga
dengan mantan gurunya, Barnabas (lihat juga Kis. 15:36–39). Dengan demikian
Paulus dan gereja-gereja bukan Yahudi berdiri sendiri, meskipun terus
menerus diganggu oleh para misionaris Kristen Yahudi. Namun, Paulus tidak
pernah kehilangan harapan bahwa suatu rekonsiliasi dengan gereja Yerusalem
pasti akan tercapai. Harapan ini diwujudkannya dengan pengumpulan dana bagi
kaum miskin di Yerusalem (1 Kor. 16:1–4; 2 Kor. 8 dan 9); dengan dukungan dari
gereja Roma (Rm. 15:30–32).
Data lebih lanjut berkaitan dengan Karya Pewartaan di
Galatia
Ringkasan
biografis dalam Galatia 1:12–2:14 berakhir dengan episode Antiokhia. Meskipun
tidak ada penjelasan lebih jauh, data selanjutnya dapat disimpulkan dari surat
itu juga. Surat ini mengindikasikan pendirian gereja-gereja di Galatia.
Kemudian, datanglah para penghasut yang anti-Paulus. Hasutan mereka itulah yang
mendorong Paulus menulis surat Galatia. Jika kunjungan dan pendirian
gereja-gereja itu dapat dihubungkan dengan Kisah 16:6, dan jika dihubungkan
dengan Galatia 4:13, maka yang dimaksud dengan kunjungan kedua Paulus pastilah
yang disebutkan dalam Kisah 18:23. Namun tidak jelas apakah Kisah memang
memberi informasi mengenai gereja-gereja di Galatia. Perjalanan Paulus yang dituturkan
dalam Kisah Para Rasul tampaknya hanya didasarkan pada beberapa informasi,
sedangkan cerita secara keseluruhan merupakan karya pengarang Kisah, yang
mencoba menempatkan potongan-potongan tradisi ke dalam suatu naskah yang dianggapnya
konsisten. Kemungkinan memang ada perjalanan Paulus yang tidak diceritakan
dalam Kisah Para Rasul. Surat Galatia menyebutkan suatu kunjungan untuk
mendirikan gereja (Gal. 1:9; 4:13). Kesesuaian kunjungan kedua dengan Kisah
18:23 tergantung pada penafsiran atas kata to proteron (Gal. 4:13). Setelah pendirian
gereja-gereja ini, dikatakan bahwa para misionaris Yahudi–Kristen hadir di
antara mereka, dan untuk mencegah dampak negatif hasutan mereka, Paulus
menuliskan surat ini. Rupanya, gereja-gereja di Galatia didirikan sebelum
penulisan surat 1 Korintus, karena 1 Korintus 16:1–4 menyebut gereja-gereja
Galatia itu dan pengumpulan dana bagi Yerusalem.
Karya Pewartaan di Makedonia dan Yunani
Untuk informasi
berkaitan dengan karya pewartaan di Makedonia dan Yunani kita harus mempercayai
data dalam surat-surat Paulus pada jemaat Tesalonika dan Korintus, dan juga
Kisah Para Rasul. Menurut Kisah 16:6–10, Paulus pergi melalui Frigia, Galatia,
dan, lewat Misia, menuju Troas. Dari sana ia memutuskan pergi ke Makedonia,
menjawab penglihatan bahwa seorang Makedonia memintanya untuk datang. Timotius
menyertainya dalam perjalanan ini (Kis 16:1–4), seperti juga Silas (Kis 15:40;
16:19, 25, 29; 17:4, 10, 14, 15; 18:5; meskipun, menurut Kis. 15:33 ia sudah
pergi ke Yerusalem). Bersama-sama, ketiga orang ini (yang relasinya dibuktikan
dalam surat-surat Paulus, 1 Tes. 1:1 [2 Tes. 1:1]; bdk 1 Tes. 3:2, 6; 2 Kor.
1:19) berlayar dari Troas lewat Samotrake menuju Neapolis, pelabuhan Filipi.
Mereka mendapatkan sukses pertama di Filipi, di mana mereka mendirikan gereja
pertama di Makedonia (Kis. 16:11–40). Dari Filipi mereka pergi ke Tesalonika,
juga mendirikan sebuah gereja di sana (Kis. 17:1–9). Perhentian selanjutnya
adalah Berea (Kis. 17:10–15), Atena (Kis. 17:16–34; 1 Tes. 3:1–2), dan Korintus
(Kis. 18:1–17; 1 Kor. 1:1–2, 14, 16; 3:5–15; 16:15, 17); di semua kota ini,
didirikanlah gereja-gereja. Menurut laporan Kisah Rasul, Korintus menutup
perjalanan misioner yang kedua. Perjalanan ketiga dimulai dengan berlayarnya
Paulus menuju Efesus bersama dengan Priskila dan Akwila (18:18–21). Yang lebih
membingungkan adalah perjalanan aneh Paulus yang disebut dilakukan dari Efesus
“turun” ke Kaisarea, kemudian “turun” ke Antiokhia, dan melalui Galatia dan Frigia
kemabli ke Efesus (Kis. 18:22; 19:1).
Perjalanan ke Yerusalem
Pewahyuan lain
membuat Paulus merencanakan perjalanan kedua ke Makedonia dan Akhaya, dan
kemudian ke Yerusalem dan Roma (Kis 19:21–22). Terlebih dahulu mengutus
Timotius dan Erastus, Paulus segera menyusul mereka setelah terjadi
keributan di Efesus yang didalangi oleh Demetrius (20:1). Ia pergi melalui Makedonia
melalui Yunani, yaitu Korintus (20:2). Catatan langka ini, yang didasarkan pada
beberapa sumber yang diketahui Lukas, kira-kira hanya bisa dihubungkan dengan
apa yang sekarang kita kenal dengan surat-surat Paulus, terutama. 1 Korintus
16:1–11; 2 Korintus 1:8–11, 15–18; 2:12–13; 7:5–7, 13–16; Roma 15:22–31.
Perbedaan utamanya adalah (1) bahwa situasi itu lebih rumit dari pada yang
dikisahkan oleh Kisah Para Rasul; (2) bahwa Paulus mengubah rencana
perjalanannya beberapa kali; dan (3) bahwa ia hampir kehilangan gereja Korintus
yang dirintisnya karena perselisihan dan konflik internal.
Roma 15:22–31 menyebutkan bahwa Paulus pergi ke Korintus dan kemudian
segera pergi ke Yerusalem. Kisah 20:1–6 mengisahkan bahwa para musuh Yahudi
mencegahnya supaya jangan pergi dari Korintus menuju Siria. Malah, ia dipaksa
kembali ke Makedonia dan Troas. Para utusan yang disebut dalam Kisah 20:4 (Sopater
anak Pirus, Aristarkhus, Sekundus, Gayus, Timotius, Tikhikus dan Trofinus) akhirnya
berkumpul di Troas dan pergi dari Asos, berlayar sepanjang pantai Metilene, Khios,
Samos, dan Miletus, di mana Paulus menyampaikan salah perpisahan pada para
tua-tua yang ditemuinya di sana (Kis. 20:13–38). Perjalanan menuju Palestina
dijelaskan secara rinci dalam Kisah 21:1–7.
Setelah tiba di Palestina, mereka singgah di Kaisarea dan berencana untuk
melanjutkan perjalanan ke Yerusalem, meskipun jemaat sudah mengingatkan Paulus
bahwa malapetaka menunggu mereka di sana (Kis. 21:8–15, cf. Kis. 20:22–24; Rom
15:30–31). Di Yerusalem, Paulus dan utusannya pertama-tama disambut dengan
ramah (Kis. 21:17), namun ketika ia mengunjungi Yakobus (Kis. 21:18), ia
diberitahu tentang kebencian orang Yahudi. Laporan Paulus tentang kesuksesan
karya pewartaan di antara orang-orang bukan Yahudi (Kis. 21:19–20a) berlawanan
dengan sejumlah besar orang Kristen Yahudi di tanah air Yahudi yang masih setia
pada Taurat. Mereka pun menganggap karya pewartaan Paulus di antara
orang-orang bukan Yahudi sebagai Bidah karena ia tidak mengharuskan para
pentobat baru untuk setia pada Taurat Musa, hukum sunat dan gaya hidup orang
Yahudi (Kis. 21:20b–21). Namun, para sesepuh Gereja, termasuk Yakobus,
mengajukan rencana cerdik pada Paulus, menasihatinya untuk menjadi salah satu
dari empat orang yang akan membawa rencana itu di antara mereka untuk memenuhi
hukum nazar, mencukur kepala mereka, menyampaikan persembahan yang perlu, dan
dengan demikian secara publik menunjukan pada pengikut mereka agama Yahudi (Kis.
21:22–26). Rencana itu hampir berhasil, namun gagal di menit-menit terakhir
ketika orang-orang Yahudi dari Asia Kecil mengenali Paulus yang sedang berada
di Bait Allah dan menghasut orang banyak untuk menangkap dia (Kis. 21:27–30).
Tentara Romawi ikut campur tangan, menolongnya dari hukuman massa, namun
kemudian menahannya (Kis. 21:31–36).
Perjalanan ke Roma
Bersama dengan para tahanan lainnya, Paulus kemudian
dikirm ke Roma. Di bawah perlindungan Yulius, seorang tentara Romawi pengawal
Kaisar Agustus, mereka berlayar dari Adramitium lewat Sidon sepanjang pantai
Asia kecil ke Mira di daerah Likia (Kis. 27:1–5). Dari Mira mereka berlayar ke
Itali (Kis. 27:6–8). Perjalanan ini hampir saja berakhir dengan bencana ketika
mereka dihantam badai laut yang hebat, kapalnya karam, dan kapalnya kandas di
Malta (Kis. 27:9–44), tidak menyadari di mana mereka berada (Kis. 28:1). Paulus
tinggal selama tiga bulan dan diingat karena mukjizatnya yang luar biasa di
sana (Kis. 28:2–10). Ketika musim dingin berakhir dan perjalanan dimulai lagi,
Paulus yang masih disertai oleh Yulius, sekarang temannya, memakai kapal lain
menuju Sirakusa di Sisilia, kemudian ke Regium dan Putioli di Itali (Kis. 28:11–14).
Kemudian ia pun tiba di kota Roma, di mana orang Kristen Roma menemuinya di
luar tembok kota yang disebut Forum Apius dan Tres Teberne (Kis. 28:15–16).
Usaha oleh Paulus untuk menerangkan sendiri di hadapan para pemimpin Yahudi di
kota Roma gagal (Kis. 28:17–28). Kisah Para Rasul kemudian menyimpulkan dengan
mengatakan bahwa Paulus hidup di kota Roma selama dua tahun dengan biaya
sendiri, “dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan
Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus.”
[1] Robert T. Boyd, Paul, The Apostle (New York: World
Publishing, 1995), hlm. 28; lihat pula, Günther Bornkamm, Paul (New York and Evanston:
Harper & Row Publishers, 1969), hlm. 3.
[2] Bdk. Donald Coggan, Five Makers of the New Testament
(London: Hodder and Stoughton, 1962), hlm. 12-13.
[3] Richard N. Longenecker, The Ministry and Message of Paul
(Grand Rapids – Michigan: Zondervan Publishing House, 1971), hlm. 21-24; lihat
pula: A. Brunôt SCJ, Paulus dan
Pesannya (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 14-21.
[4] Boyd, Paul the Apostle, hlm. 31-32.
[5] Werner Georg Kümmel, The Theology of the New Testament
(Nashville: Abingdon, 3rd Printing, 1978), hlm. 137-138.
[6] Pinchas Lapide/Peter
Stuhlmacher, Paul: Rabbi and Apostle
(Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1984), hlm 27.
[7] Günther Bornkamm, The New Testament, A Guide to Its Writings
(Philadelphia: Fortress Press, 3rd ed, 1978), hlm. 82-83.
[8] Oscar Skarsaune, Incarnation: Myth or Fact? (St. Louis:
Concordia Publishing House, 1991), hlm. 14-5.
[9] Kümmel, The Theology of the New Testament, hlm
140.
[10] Kümmel, The Theology of the NT, hlm. 139.
[11] Skarsaune, Incarnation, hlm. 15.
[12] Archibald M. Hunter, Introducing New Testament Theology
(London: SCM Press, Ltd., Cet. V, 1973),
hlm. 89.
[13] Reginald Fuller, He That Cometh, The Birth of Jesus in the New
Testament (Harrisburg: Morehouse Publishing, 1990), hlm. 7.
[14] Fuller, He that Cometh, hlm. 9
[15] Frederick Fyvie Bruce, Paul and His Converts (London:
Lutterworth Press dan New York & Nashville: Abingdon Press, 1962), hlm.
20-21.
[16] Bruce, Paul and His Convert, hlm. 13.
[17] Lht. Richard N.
Longenecker, The Ministry and Message of
Paul (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1971), hlm.32-33;
bdk. Brunot, Paulus dan Pesannya
(Yogyakarta: Kanisius, 1972), hlm. 26-28.
[18] Charles B. Cousar, The Letters of Paul (Nashville:
Abingdon Press, 1996), hlm. 105-106.
[19] Krister Stendhal, Paul Among Jews and Gentiles
(Philadelphia: Fortress Press, 1976), hlm. 7.
[20] Günther Bornkamm, Paul, (New York & Evanston:
Harper &Row Publisher, 1971), hlm. 17.
[21] Bornkamm, Paul, hlm. 8.
[22] Bornkamm, Paul, hlm. 10-11.
[23] Lht. Tom Jacobs SJ, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya,
hlm. 51.
[24] Bornkamm, Paul, hlm. 84.
[25] Bornkamm, Paul, hlm. 85.
[26] Lihat pembahasannya dalam
Stanley B. Marrow, Paul: His Letters
and His Theology (New York/ Mahwah: Paulist Press, 1986), hlm.
31-32.
[27] Bdk. Longenecker, The Ministry and Message, hlm. 35-36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar