Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Rabu, 05 Juni 2013

belajar mengenal tentang HERMENEUTIKA RETORIS

HERMENEUTIKA RETORIS
Bahan Kuliah V HPB II

1.       Retorika

Pada zaman Yunani kuno, retorika berkembang sebagai subjek studi formal dan budaya perilaku. Definisi paling terkenal mengenai retorika diberikan oleh Aristoteles, yaitu sebagai "seni menemukan cara untuk membujuk/mempengaruhi.” Secara sederhana, retorika mencakup studi tentang bahasa dan penggunaannya yang memiliki dampak persuasif. Namun definisi mengenainya sangat bervariasi. Dalam sistematisasi Aristoteles, salah satu aspek retorika yang amat penting dipelajari dan diteorisasi adalah tiga imbauan persuasif bagi audiens, yaitu: logos, pathos dan ethos. Prinsip lain yang juga amat penting dalam retorika adalah “lima kanon retorika”, yaitu: penemuan, penyusunan, gaya, memori, dan penyampaian. Retorika merupakan salah satu di antara tiga aspek utama seni berpidato purba. Dua yang lain adalah grammar (tata bahasa) dan logika atau dialektika. Dari zaman Yunani kuno hingga akhir abad XIX, retorika merupakan bagian utama pendidikan di Barat, dalam rangka memenuhi kebutuhan publik akan pembicara dan penulis yang mampu menggerakkan hati para pendengarnya, melalui argumen-argumennya.

Istilah retorika berasal dari kata Yunani ητορικός (rhētorikós), yang berarti "hal yang berkenaan dengan seni berpidato." Akar katanya adalah ήτωρ (rhētōr), yang berarti "pembicara publik." Kata ini berhubungan dengan kata ημα (rhêma), yang berarti "sesuatu yang dikatakan” atau “perkataan” atau “kata,” dan kata kerja ρ (erô), yang berarti "berbicara” atau “berkata.” Karena itu, dalam arti luas, “retorika” berkenaan dengan percakapan manusia.

Studi retorika mutakhir mencakup bermacam-macam ranah yang jauh lebih luas daripada penggunaannya di zaman purba. Jika retorika klasik bertujuan melatih para pembicara agar menjadi pembujuk-pembujuk efektif di forum-forum publik, seperti dalam peradilan dan rapat-rapat umum, maka pada masa sekarang retorika lebih berkenaan dengan percakapan-percakapan tertulis. Di samping mempelajari ranah tradisional seperti politik dan hukum, sekarang para retoritisi mempelajari bermacam-macam ranah percakapan, termasuk ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, seni, agama, jurnalisme, media digital, fiksi, sejarah dan arsitektur. Public relations, lobbying, hukum, pemasaran, tulisan-tulisan professional dan periklanan adalah profesi-profesi modern yang membutuhkan jasa praktisi retoris.

2.       Teori Retorika

Teori retorika adalah teori yang mempelajari cara membujuk atau mempengaruhi orang lain secara efektif. Jika kita terpengaruh oleh suatu pidato atau sebuah artikel yang membujuk kita akan sesuatu, maka kita sadari atau tidak, pidato atau artikel tersebut sebenarnya telah menggunakan teori retorika. Di dalamnya terkandung emosi, pertanyaan-pertanyaan, fakta, gambaran-gambaran dan bahasa yang menggerakkan hati, yang dikemas dengan teknik sedemikian rupa, sehingga audiens akan memahami citra dan gagasan si penulis atau si pembicara.

Teori retorika paling umum digunakan dalam pidato-pidato politis. Di dalam pidato politis, si pembicara akan menggunakan nada dan suara tertentu, mengajukan pertanyaan kepada audiens dan menjawabnya dengan menggunakan faktor-faktor emosional sedemikian rupa untuk meyakinkan para pendengarnya.

Ketika kita menonton TV, kita akan ikut memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penyiar. Memang, penyiar tidak mengharapkan kita menjawabnya, namun kita terbawa untuk memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya itu. Teknik serupa juga digunakan dalam artikel-artikel atau iklan-iklan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi para pembacanya.

Teori retorika merupakan salah satu teknik berkomunikasi. Teori ini memberikan banyak dimensi komunikasi untuk membuat sesuatu yang hendak dikomunikasikan menjadi lebih jelas dan dapat dimengerti. Namun teori ini bukanlah proses linear (searah) dan bukan satu-satunya proses komunikasi. Teori retoris bukan sekadar mengirim pesan dan menerimanya, melainkan merupakan proses timbal-balik yang berkelanjutan. Menurut teori retoris, seluruh proses komunikasi bersifat dinamis.

Teori retorika didasarkan pada sarana atau cara-cara membujuk yang telah ada. Seorang pembicara yang ingin membujuk audiensnya haruslah mempertimbangkan tiga bukti retoris, yaitu: logis, argumentatif, dan menggerakkan hati. Pidato retoris juga sering digunakan dalam melakukan persuasi. Dalam teori komunikasi, ada tiga hal yang perlu diingat: (1) komunikasi tidaklah linear, melainkan timbal-balik; (2) komunikasi bukan sekadar mengirim pesan untuk diterima; (3) komunikasi tidaklah statis, melainkan dinamis.

3.       Cakupan Retorika

Ranah retorika telah diperdebatkan oleh para sarjana sejak dulu kala. Meskipun sementara orang membatasi retorika hanya pada diskursus politik, banyak ilmuwan modern yang mengaitkannya dengan setiap aspek kebudayaan. Masyarakat Yunani kuno sangat menjunjung tinggi partisipasi politik dari setiap warga Negara. Dalam kondisi seperti itu, retorika merupakan sarana yang amat penting untuk mendapatkan pengaruh politik. Karena itu retorika selalu dihubungkan dengan politik. Namun, di Barat kemudian hari pembatasan ini dipertanyakan oleh para filsuf. Menurut Gorgias, seorang retorisi yang berhasil dapat berbicara dengan meyakinkan mengenai suatu topik, sekalipun mungkin ia tidak memiliki pengalaman dalam bidang itu. Dalam hal ini, retorika dapat menjadi alat komunikasi bagi setiap ahli, bukan hanya para ahli di bidang politik. 

Plato menetapkan skopa retorika seturut dengan pandangan negatifnya tentang seni. Ia mengritik kaum para sophists karena menggunakan retorika sebagai alat untuk menipu dan berbohong, ketimbang untuk menemukan kebenaran. Dalam karyanya “Gorgias,” salah satu dialognya Socratisnya, Plato mendefinisikan retorika sebagai imbauan bagi massa yang kurang pengetahuan dalam pengadilan atau dalam perkumpulan. Dalam pikiran Plato, retorika hanyalah suatu bentuk sanjungan berlebihan dan berfungsi seperti dapur, yang berusaha menyembunyikan makanan jelek dan tidak sehat dengan menjadikannya berasa enak. Jadi, menurut Plato, setiap pidato yang berbentuk prosa panjang dan dimaksdukan sebagai sanjungan masuk ke dalam cakupan retorika.

Aristoteles mengartikan retorika berbeda dengan gurunya dan mempersempit fokusnya dengan menetepkan tiga genre retorika:  retorika deliberatif (retorika yang penuh pertimbangan), retorika forensik (retorika dalam peradilan) dan retorika epideiktis (retorika seremonial). Aristoteles juga memperluas definisi retorika, yitu sebagai kemampuan mengidentifikasi cara-cara yang tepat untuk melakukan persuasi dalam situasi yang dihadapi. Dengan demikian, retorika dapat diterapkan dalam semua bidang kehidupan, bukan hanya dalam bidang politik. Menurut Aristoteles, dasar dari retorika adalah logika (terutama didasarkan pada sillogisme). Logika selalu berkenaan dengan probabilitas (kemungkinan), karena itu, retorika mungkin saja menawarkan berbagai pendapat atau argumen yang legitimate.

Pada umumnya penganut neo-Aristotelian mempelajari retorika dalam kaitannya dengan wacana politik. Sedangkan penganut neo-Sophistik memandang bahwa retorika tidak dapat dibatasi. Menurut aliran ini, membatasi domain retorika berarti mengabaikan aplikasi kritis teori retorika, kritisisme retorika dan praktik retorika.

Pada abad lalu, dalam mempelajari retorika orang cenderung memperluas domainnya, melampaui teks-teks pidato. Kenneth Burke, misalnya, ia berpendapat bahwa retorika dapat untuk menyelesaikan konflik, dengan jalan mengidentifikasi sifat-sifat dan simbol-simbol yang sama-sama digunakan oleh kedua belah pihak yang terlibat konflik itu.

James Boyd White memperluas domain retorika, mencakup pengalaman sosial yang membentuk konstruksi social. Menurut White, kebudayaan dibentuk kembali melalui bahasa.  Seperti halnya bahasa dapat mempengaruhi manusia, maka manusia pun dapat mempengaruhi bahasa. Bahasa merupakan suatu konstruksi sosial bergantung pada makna yang dilekatkan kepadanya. Bahasa tidaklah kaku, melainkan berubah menurut situasi, karena itu, penggunaan bahasa selalu bersifat retoris. Seorang penulis selalu berusaha membangun dunia baru dan berusaha mempengaruhi pembaca untuk ambil bagian di dalam dunia baru dalam teksnya. Bagaimana pun, skopa retorika sulit untuk dibatasi.

4.       Retorika secagai sebuah seni warga negara (civic art)

Di sepanjang sejarah Eropa, retorika berkenaan dengan masalah cara membujuk atau mempengaruhi orang lain dalam arena publik dan politik, seperti dalam persidangan atau dalam pengadilan. Karena berkaitan dengan institusi-institusi demokratis, maka pada umumnya retorika tumbuh semarak dalam masyarakat terbuka dan demokratis, yang menghormati hak berbicara dan mengemukakan pendapat. Mereka yang menggolongkan retorika ke dalam “civic art” yakin bahwa retorika memiliki kekuatan untuk membentuk komunitas, membentuk sifat (karakter) masyarakat dan berpengaruh besar dalam kehidupan warga negara.
Beberapa filsuf kuno juga memandang retorika sebagai “a civic art.” Aristoteles dan Socrates adalah dua orang filsuf yang pertama kali memandang retorika demikian. Dalam karyanya, Antidosis, Socrates mengatakan bahwa segala sesuatu yang dibangun manusia, mulai dari kota-kota, hukum hingga seni, semua ditentukan oleh kekuatan pidato. Ia berpendapat bahwa retorika merupakan bagian fundamental kehidupan warga setiap masyarakat dan selalu diperlukan dalam peletakan dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakat. Dalam karyanya yang lain, Melawan para Sophist, ia mengatakan bahwa retorika mampu membentuk watak manusia. Aristoteles, yang beberapa tahun setelah Sokrates menulis karyanya, mendukung pendapat Sokrates bahwa retorika merupakan sebuah “seni berwarganegara” (civic art).
Bagi Aristoteles, retorika merupakan “kecakapan untuk menemukan cara mempengaruhi massa dalam setiap keadaan yang dihadapi.” Menurutnya, seni persuasi (seni mempengaruhi atau membujuk) dapat digunakan dalam ranah publik dengan tiga cara: (1) secara politis, (2) secara forensik (berkenaan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kehakiman dan peradilan), dan (3) kefasihan berpidato seremonial. Eugene Garver, dalam kritiknya terhadap "Retorika Aristoteles," menggarisbawahi pendapat Aristoteles bahwa retorika merupakan “a civic art.” Garver mengatakan bahwa retorika merupakan seni untuk memadukan beraneka ragam teknik persuasi agar tepat bagi warga negara.
Plato dan beberapa filsuf kuno yang lain, mengritik pendapat bahwa retorika, sebagai sebuah seni publik, mampu membentuk opini masyarakat. Mereka mengatakan bahwa meskipun retorika dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, namun dapat pula ia digunakan untuk memanipulasi publik dengan berbagai dampak negatif bagi masyarakat. Bagi mereka, massa tidak mampu menganalisis atau memutuskan sesuatu sendiri, melainkan dipengaruhi oleh pidato-pidato yang paling persuasive. Jadi, kehidupan mayarakat hanya dapat dikendalikan dengan baik oleh orang yang mampu menyampaikan pidato dengan baik. Plato menguraikan panjang lebar mengenai status moral retorika yang problematis itu dalam dua karyanya, Gorgias, sebuah dialog yang diberi judul sesuai dengan nama salah seorang sophist (orang yang dianggap berpikir sesat, atau pandai memutarbalikkan kenyataan), dan The Phaedrus, sebuah dialog yang sangat terkenal karena membahas soal cinta/kasih.
Dalam karyanya De Oratore, Cicero berpendapat bahwa seni persuasi tidak cukup hanya dengan kepandaian berpidato. Orator yang baik haruslah orang yang baik, orang yang mampu mencerahi bermacam-macam persoalan warga Negara.
Karya-karya modern memiliki pemikiran senada dengan pandangan klasik, bahwa retorika atau pidato mampu mempengaruhi kehidupan warga Negara. Robert Hariman, dalam karyanya Political Style, mengatakan bahwa kebebasan, kesetaraan dan keadilan dapat dicapai mulai dengan perdebatan hingga demonstrasi, asalkan tidak kehilangan kandungan moralnya. James Boyd White menandaskan bahwa retorika tidak hanya berkenaan dengan isu-isu kepentingan politis, melainkan dapat mempengaruhi seluruh budaya masyarakat. Dalam bukunya When Words Lose Their Meaning, ia berpendapat bahwa kata-kata persuasi dan identifikasi akan menentukan kehidupan suatu komunitas dan masyarakat. Menurutnya, kata-kata akan menghasilkan metode, yang melaluinya suatu budaya dipelihara dan ditransformasi. White dan Hariman sepakat bahwa kata-kata dan retorika memiliki kekuatan untuk membentuk kebudayaan dan kehidupan masyarakat.

5.       Hermeneutika Retoris

Paul Ricoeur berpendapat bahwa ketika wacana berpindah dari pembicaraan ke tulisan, ia terbebas dari penulis dan setting alinya.[1] Ricoer menyebut fenomenon ini sebagai “kesenjangan,” yang memiliki nilai positif dalam proses interpretasi. Kesenjangan ini akan memampukan penafsir untuk mendekati teks dan hakikat strukturalnya sebagai sesuatu yang ‘mati’ namun sekaligus masuk ke dalam dialog dengan teks tersebut dan mengambilnya untuk situasi masa kininya, ketimbang membatasi (mengurung) maknanya hanya untuk masa lalu sesuai maksud kepenulisannya. Hermeneutika seperti ini dapat disebut sebagai hermeneutika retoris sebab ia menempatkan baik penafsir maupun audiensnya sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam proses interpretasi.

Apakah hubungan antara retorika dan hermeneutika? Michael J. Hyde dan Craig R. Smith menandaskan bahwa situasi hermeneutis menimbulkan fungsi primordial retorika.[2] Fungsi primordial tersebut membuat sebuah makna dapat diketahui.[3] Terdapat dialektika penting di antara hermeneutika dan retorika. Tanpa situasi hermeneutis akan terjadi kekosongan tanpa makna; tanpa retorika makna tersembunyi yang terkurung dalam situasi hermeneutis tidak pernah dapat diaktualisasikan.[4] Retorika cocok dengan penemuan hermeneutika sinkhronik dan diakhronik; dan proses hermeneutis tidaklah lengkap sebelum terselesaikan (hingga penerapan).[5]

Hans Georg Gadamer juga mengakui sentralitas retorika dalam hermeneutika. Ia menyatakan bahwa retorika meliputi semua aktivitas hermeneutis.[6] Dale Patrick dan Allen Scult menegaskan bahwa hermeneutika merupakan domain sentral retorika. Mereka menyebut retorika sebagai “alat” untuk menegakkan teks dan memelihara hubungan antara teks dengan audiensnya dalam rangka mencapai pengaruh tertentu.[7] Retorika memberdayakan teks untuk mencapai audiens pada waktu dan tempat yang berbeda.
           
Dalam menandaskan peran sentral retorika dalam hermeneutika, Scult melampaui Hyde, Smith dan Gadamer, bahkan mengoreksi pendapat mereka. Scult mengritik pendapat Hyde, Smith dan Gadamer yang mendasarkan hermeneutika dan retorika pada situasi hermeneutis. Menurut Scult mereka mengabaikan situasi retoris. Paling tidak untuk teks-teks suci, latar belakang retorisnya haruslah terlebih dulu diperhatikan.[8] Bagi Hyde dan Smith fungsi retorika dalam tindakan hermeneutis pertama-tama ada dalam domain antarpribadi antara teks dan penafsir. Namun menurut Scult, proses interpretatif bersifat inter-personal, sebab sejak semula tujuannya adalah untuk membuat teks relevan dengan audiens kontemporer. Untuk membuat interpretasinya dimengerti, penafsir dibimbing oleh situasi retoris dan bukan situasi hermeneutis. Dengan demikian, penafsir tidak hanya dipengaruhi oleh interpretasinya sendiri, melainkan oleh kecenderungan-kecenderungan dan nilai-nilai audiensnya. Scult juga menandaskan: jika audiens yang berada dalam rentang waktu dan tempat yang cukup jauh dari teks orisinalnya “dikehendaki” oleh teks agar terserap dalam lahan maknanya, maka untuk memastikan makna teks tersebut kecenderungan-kecenderungan audiens untuk memahami merupakan kerangka pikir yang sah dan diperlukan. Itulah seharusnya yang terjadi dalam menafsirkan Kitab Suci.[9]  

Menurut Scult, hal yang tidak boleh dilupakan dalam proses hermeneutis adalah bahwa interpretasi penafsir dibentuk oleh audiens dan nilai-nilai yang mereka pegang. Audiens mempengaruhi cara penafsir dalam mengkonstruksi tafsirannya. Dengan kata lain, penafsiran penafsir dikondisikan oleh audiensnya. Motif untuk menafsirkan teks tidak hanya untuk mendekatkan jarak antara teks purba yang “tertidur” itu dengan audiens, melainkan agar teks tersebut dimengerti secara tepat, sehingga dapat berbicara untuk keadaan audiens sekarang.[10] Karena itu, Scult menyimpulkan bahwa hermeneutika merupakan suatu elemen ciptaan retoris. Ia merupakan alat untuk menemukan jawaban yang cocok untuk kondisi mendesak saat ini.
           
Scult mengajukan koreksi lebih lanjut atas pendapat Gadamer. Tampaknya Gadamer memahami bahasa sebagai gudang penyimpan” tradisi. Namun, ia tidak megakui bahwa bahasa digunakan oleh seseorang yang statusnya ditentukan oleh derajat penerimaan terhadap bahasa itu. Menurut Scult, teks yang memiliki status tinggi di mata kita akan menggerakkan kita untuk mempelajari lebih dalam bahasanya, sebab kita meyakini bahwa bahasa tersebut akan mencerahkan pemikiran kita. Manakala sebuah teks memperoleh status “suci,” maka ia akan kita anggap memiliki kekuatan untuk berbicara melampaui dirinya sendiri.[11] Ketika sebuah teks memperoleh status “kudus,” maka kata-katanya kita anggap memiliki dimensi dan kekuatan baru yang memampukannya untuk terus-menerus menyingkapkan pengetahuan. Penafsir mengharapkan teks tersebut akan memberi jawaban yang tepat kepada audiensnya dan dengan demikian ia melakukan fungsi pewahyuan langsung.
           
Tindakan hermeneutis sepenuhnya bersifat retoris, karena sejak awal prosesnya tindakan tersebut dihubungkan dengan audiens kontemporer. Dalam seluruh karyanya, Gadamer mempertahankan bahwa aplikasi harus selalu ada dalam hermeneutika. Karena itu, retorika perlu mempertegas dan mengembangkan teritorinya.

Secara ringkas, tesis Scult dapat dikatakan sebagai berikut: interpretasi (penafsiran) adalah salah satu hasil retorika yang dipilih oleh penafsir retoris, ketika ia dituntut untuk menyampaikan makna teks suci untuk audiens di sini dan saat ini.[12]

Sifat-sifat khas hermeneutika retoris

Hermeneutika retoris Roger Abrahams yang diuraikan dalam essay-nya tentang teori retoris dalam cerita-cerita rakyat sangat menarik untuk diperhatikan. Gagasannya itu juga dapat diterapkan untuk teks-teks tertulis.[13] Abrahams mengemukakan empat cara pendekatan terhadap sebuah karya seni. Pendekatan pertama menekankan pentingnya tangan penciptanya dan dampak perkataannya terhadap audiensnya. Pendekatan kedua memandang sebuah karya (teks) sebagai objek, dengan cara menafikan penulis dan audiens orisinalnya dari pertimbangan. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika sebuah teks ditulis, ia sendiri akan sanggup berbicara, dan teks tersebut harus dianalisis dalam terminologi khasnya secara internal serta dalam hubungan antarbagian-bagiannya.[14] Ini merupakan pandangan strukturalis. Pendekatan ketiga memperhatikan bagaimana pengaruh sebuah teks terhadap audiensnya. Pendekatan keempat memusatkan perhatian pada pengaruh audiens terhadap teks, penulis/penyusun dan seni yang dihasilkannya. Pendekatan ini menganalisis cara nilai-nilai publik dan adat kebiasaan mempengaruhi teks.

Abrahams menyimpulkan bahwa dua pendekatan terakhir menekankan hakikat publik teks sedangkan dua pendekatan pertama lebih berkenaan dengan pribadi. Namun menurutnya, keempat perspektif di atas, yang semuanya memiliki nilai dan pendekatan retoris, dapat digabungkan. Menganggap pendekatan retoris hanya berkenaan dengan pembandingan antara pendekatan yang satu dengan pendekatan yang lain adalah menyimplikasikan perspektif retoris.[15] Menurut hematsaya, teori umum Abrahams berada pada arah yang benar.
           
Hermeneutika retoris adalah hermeneutika yang mempertimbangkan dengan serius interaksi antara teks, penafsir dan audiens.[16] Hermeneutika yang menghargai ketiga unsur tersebut merupakan hermeneutika yang sesuai dengan perspektif retoris. Dalam hal ini, gagasan Paul Ricoeur menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang menolong. Sebagaimana dijelaskan Barbara Warnick, pendekatan Ricoeur menimbulkan kritik, unsur-unsur teks manakah yang memungkinkan pembaca masa kini menemukan makna yang bermanfaat? Bagaimanakah retor (orang yang berpidato) menyentuh tema-tema dan nilai-nilai universal, sehingga suatu wacana memiliki signifikansi yang terus berlaku?[17]
           
Ada dua unsur hermeneutika Ricoeur yang sangat cocok dengan hermeneutika retoris, yakni unsur kesenjangan dan kepantasan. Hermeneutika Ricoeur mulai dengan kesenjangan. Retorika menghargai hakikat teks apa adanya sebagaimana ia diterima. Orang tidak mendekati suatu wacana dengan keyakinan bahwa teks tersebut memiliki makna sebagaimana ia inginkan. Karena memiliki serangkaian struktur dan bentuk, maka teks akan memberi batasan-batasan penafsiran atasnya. Ricoeur menyebut hal ini sebagai kesenjangan. Kesenjangan adalah bagian dari penulisan, sebab sebuah teks telah membuat jarak dengan penulis dan audiens aslinya. Dalam kenyataan, Ricoeur tetap mempertahankan bahwa pidato tidak dapat dipisahkan dari tulisan. Menurutnya, tulisan haruslah mendahului pidato. Jika tidak ada pidato, maka tulisan itu hanya akan menjadi seruan belaka.[18] Kesenjangan seperti ini bukanlah kerugian, melainkan merupakan asset interpretasi. Kesenjangan tersebut akan menyebabkan sebuah wacana dapat diperluas untuk situasi yang baru dan berbeda, tidak hanya terbatas untuk suatu tempat dan waktu tertentu.
           
Tentang nilai kesenjangan inilah Ricoeur berselisih pandang dengan hermeneutika Hans-Georg Gadamer.[19] Ricoeur berpendapat bahwa dorongan utama karya Gadamer adalah keyakinan dasar akan adanya pertentangan antara kesenjangan yang mengasingkan (objektivitas) dengan partisipasi penafsir (subjektivitas).[20]  Sesungguhnya Gadamer mengadopsi, baik kesenjangan dan pendekatan metodologis terhadap teks yang menyebabkan alienasi (keterasingan), maupun perspektif objektivitas. Ricoeur menolak konflik ini dan mengklaim bahwa pendekatannya bertujuan menjembatani kesenjangan yang jelas kelihatan di antara alternatif-alternatif.[21]
           
Ricoeur mengatakan bahwa Gadamer tidak memberi tempat untuk kesenjangan. Keengganan Gadamer terhadap kesenjangan didasarkan pada hubungannya yang erat dengan metode, sedangkan metode itu mengasingkan. Perhatian Gadamer adalah pada fusi dua horizon. Ricoeur berpendapat bahwa baik kesenjangan maupun keikutsertaan memiliki masing-masing memiliki tempat. Ia percaya bahwa kesenjangan merupakan bagian inheren dari teks dan penulisan.[22] Kesenjangan bukanlah produk metodologi dan bukan benalu, melainkan merupakan kualitas alami sebuah teks. Menurut Ricoeur, teks lebih dari sekadar "sebuah kasus komunikasi antarsubjektif,” melainkan merupakan paradigma kesenjangan dalam komunikasi.[23] Ricoeur mengatakan bahwa tulisan merupakan "penahbisan kesenjangan lebih dari penyebabnya.”[24] Seperti prasangka dalam skema Gadamer, kesenjangan dalam sistem Ricoeur memainkan peran positif dan produktif. Kesenjangan itu memampukan penafsir untuk masuk ke dalam “keterlibatan ikut memiliki.” Konsep kesenjangan Ricoeur menuntun kita pada pendekatan objektif atas interpretasi tekstual sekaligus pendekatan ‘rekreatif’ atau ‘evokatif’ (bersifat menggugah dan membangkitkan ingatan) terhadap signifikansi tekstual.[25]

Apa sajakah komponen kesenjangan itu? Pertama, adanya jarak antara peristiwa aktual dengan makna yang dikatakan. Petunjuk yang ada bukan lagi menjadi petunjuk pertama kepada peristiwa orisinal, melainkan menjadi petunjuk kedua. Teks haruslah ditaruh di depan, ketimbang di belakang, di masa kini ketimbang di masa lalu. Hal ini sangat kontras dengan para ahli biblika yang berusaha menggali hal-hal yang ada di balik teks.

Kedua, ada jarak antara teks dengan makna psikologis, yang sering disebut maksud penulisan. Ricoeur berpendapat bahwa hermeneutika tidak lagi mencari maksud psikologis orang lain yang tersembunyi di balik teks.[26] Dunia teks yang autonom itu mungkin ‘meledakkan’ dunia penulisnya.[27] Hal ini bertentangan dengan Dilthey yang berpendapat bahwa tujuan akhir hermeneutika adalah memahami maksud penulisnya lebih baik ketimbang memahami diri sendiri.[28] Memotong makna teks dari maksud penulisnya juga bertentangan langsung dengan pendapat E. D. Hirsch.[29] Ricoeur menjelaskan bahwa "perihal teks" yang disebut "dunia teks" haruslah ditempatkan di atas segalanya, sehingga maksud penulis tidak lagi menjadi ukuran/kriterion penafsiran. “Penyataan” teks adalah dunia baru yang terbentang di hadapan penafsir dan audiens.[30] Dengan kata lain, penyataan (wahyu) adalah ciri dunia alkitabiah.[31] Jadi, makna dan dunia baru teks adalah penyataan (wahyu), bukan penulis.
           
Ketiga, ada pula jarak antara teks dengan audiens orisinalnya. Realitas dan dunia bersama antara teks dengan audiens tidak lagi ada. Secara sosiologis, teks dapat mendekontekstualisasi dirinya sendiri, sehingga dapat direkontekstualisasi ke dalam situasi yang baru. Dalam hal ini Ricoeur bertentangan dengan konsep Lloyd Bitzer tentang “situasi retoris” ketika suatu wacana tertentu dipertalikan dengan kepentingan/urgensi khusus. Scult sangat mendukung Ricoeur mengenai dekontekstualisasi teks. Ia berpendapat bahwa situasi retoris orisinal tetap “tertidur,” sehingga tidak bercampur tangan terhadap kapasitas teks untuk berbicara bagi masa kini dengan kekuatan yang setara. Scult mengatakan bahwa penafsiran yang memperlakukan teks sebagai sesuatu yang suci “melupakan” situasi retoris orisinal untuk membuat teks itu terus mampu memenuhi fungsi retoris sucinya. Penafsiran harfiah membawa kita kembali kepada situasi retoris orisinal teks dan dengan demikian memutus kehidupan teks saat itu juga.



[1] Paul Ricoeur, "Philosophical Hermeneutics and Theological Hermeneutics," Studies in Religion/Sciences Religieuses 5 (Toronto: University of Toronto Press, 1975):14-33. Dicetak ulang dengan ekskursus "Philosophical Hermeneutics and Theological Hermeneutics Ideology: Utopia and Faith," The Center for Hermeneutical Studies in Hellenistic and Modern Culture, (Berkeley: tanpa penerbit, 1976), 5.
[2] Michael. J. Hyde and Craig. R. Smith, "Hermeneutics and Rhetoric: A Seen but Unobserved Relationship," Quarterly Journal of Speech 65 (1979), 347.
[3] Hyde and Smith, 348
[4] Hyde dan Smith, 354.
[5] Hyde dan Smith, 357.
[6] Gadamer dalam Philosophical Hermeneutics, 1976, p. 24.
[7] Lihat Dale Patrick dan Allen Scult, Rhetoric and Biblical 1nterpretation, (Decatur, GA: Almond Press, 1990), p. 12.
[8] Lihat Scult, "The Relationship between Rhetoric and Hermeneutics Reconsidered," Central States Speech Journal 34 (1983): 221.
[9] Scult 1983: 222.
[10] Scult 1983: 223.
[11] Scult menyebut kekuatan sebuah teks untuk berbicara melampaui dirinya sendiri dengan "tekstualitas" (p. 224).
[12] Scult 1983: 223
[13]  Roger D. Abrahams, "Introductory Remarks to a Rhetorical Theory of Folklore," Journal of American Folklore 81 (1968): 143-158.
[14]  Abrahams 1968: 144
[15]  Dalam essay-nya, Abrahams membandingkan amsal dengan teka-teki untuk memahami dengan lebih baik bagaimana keduanya berfungsi.
[16]  Kathleen C. Boone mengatakan, "Like the famous tree falling in the forest, texts are silent unless and until someone reads them." The Bible Tells Them So: The Discourse of Protestant Fundamentalism (Albany: State University of New York Press), 62.
[17]  Barbara Warrick, "A Ricoeurian Approach to Rhetorical Criticism," Western Journal of Speech Communication 51 (1987), 228.
[18] Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics. II, terjemahan Kathleen Blarney dan John B. Thompson (Evanston, IL: Northwest UP, 1991) 93-94. By speech remaining a cry, Ricoeur seems to be implying that unless it is connected to a prior text it will remain insignificant and confined to a one-time event.
[19] Menarik untuk diperhatikan bahwa Gadamer menganggap prasangka (yaitu tradisi) sebagai sesuatu yang bernilai. Ricoeur menghargai hal itu namun lebih dari itu, ia juga menghargai unsur-unsur kesenjangan yang oleh Gadamer dianggap sebagai hambatan.
[20]  Ricoeur, Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences, ed. terjemahan John B. Thompson (New York: Cambridge University Press, 1981) 131.
[21]  Ricoeur, Paul Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences, (1981) p. 131.
[22]  Ricoeur, 1981, p. 140.
[23]  Ricoeur, 1981, p. 131.
[24]  Ricoeur, "Biblical Hermeneutics," Semia 4 (1975): 67.
[25]  Warnick, "A Ricoeurian Approach to Rhetorical Criticism," p. 228.
[26] Ricoeur, 1981, p. 141. Derrida maintains that written signs break contexts and the further in time a discourse moves from its source or author the less dependent it is on that source and the more power the interpreter has. Jacques Derrida, Signature Event Context, The Rhetorical Tradition: Readings from Classical Times to the Present, eds. Patricia Bizell and Bruce Herzberg (Boston: Bedford Books of St. Martin's Press, 1990) 1175.
[27]  Ricoeur, 1981, p. 139.
[28]  Dikutip oleh Ricoeur, 1981, p. 151.
[29] Hirsch berpendapat bahwa "Dengan dasar-dasar praktis murni … haruslah disepakati bahwa makna teks sesungguhnya adalah maksud penulisnya" (1967, p. 25).
[30] Ricoeur, From Text to Action, p. 96. Ron Highfield, dalam sebuah paper yang ditulis pada 1990 di depan Christian Scholars Conferencedi Universitas  Pepperdine, juga menegaskan pendapat ini: "An author's words mean more than he or she consciously intends. Great poems and novels arise out of depths of which the author has no conscious control or knowledge, depths which reach out into the common human cultural experience and down into its genetic roots--that vast body of tacit knowledge which provides the silent but powerful context in which we ‘consciously think’. Most of us who write have had the experience of being ‘given’ a story or a thought, or of not even knowing what we think until we write it down or preach on it. Every time I reread something I have written I find out something I think which I did not recall ‘intending’ to say. How much less should we expect authorial intention to be an adequate aim when we are dealing with Holy Scripture in which a human mind is not only in touch with the well springs of human being but is open to the being of God" (p. 21)?
[31]  Ricoeur, 1991, p. 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar