HERMENEUTIKA RETORIS
Bahan Kuliah V HPB II
Bahan Kuliah V HPB II
1.
Retorika
Pada zaman Yunani kuno,
retorika berkembang
sebagai subjek studi formal dan budaya perilaku. Definisi paling terkenal
mengenai retorika diberikan oleh Aristoteles, yaitu sebagai "seni
menemukan cara untuk membujuk/mempengaruhi.” Secara sederhana, retorika
mencakup studi tentang bahasa dan penggunaannya yang memiliki dampak persuasif.
Namun definisi mengenainya sangat bervariasi. Dalam sistematisasi Aristoteles,
salah satu aspek retorika yang amat penting dipelajari dan diteorisasi adalah
tiga imbauan persuasif bagi audiens, yaitu: logos, pathos dan ethos. Prinsip lain yang juga amat penting dalam retorika adalah
“lima kanon retorika”, yaitu: penemuan, penyusunan, gaya, memori, dan
penyampaian. Retorika merupakan salah satu di antara tiga aspek utama seni
berpidato purba. Dua yang lain adalah grammar
(tata bahasa) dan logika atau dialektika. Dari zaman Yunani kuno hingga akhir
abad XIX, retorika merupakan bagian utama pendidikan di Barat, dalam rangka
memenuhi kebutuhan publik akan pembicara dan penulis yang mampu menggerakkan
hati para pendengarnya, melalui argumen-argumennya.
Istilah retorika berasal dari kata Yunani ῥητορικός
(rhētorikós), yang berarti "hal yang berkenaan dengan seni
berpidato." Akar katanya adalah ῥήτωρ (rhētōr), yang berarti
"pembicara publik." Kata ini berhubungan dengan kata ῥημα (rhêma),
yang berarti "sesuatu yang dikatakan” atau “perkataan” atau “kata,” dan
kata kerja ἐρῶ (erô), yang berarti "berbicara” atau
“berkata.” Karena itu, dalam arti luas, “retorika” berkenaan dengan percakapan
manusia.
Studi retorika mutakhir mencakup bermacam-macam
ranah yang jauh lebih luas daripada penggunaannya di zaman purba. Jika retorika
klasik bertujuan melatih para pembicara agar menjadi pembujuk-pembujuk efektif
di forum-forum publik, seperti dalam peradilan dan rapat-rapat umum, maka pada
masa sekarang retorika lebih berkenaan dengan percakapan-percakapan tertulis.
Di samping mempelajari ranah tradisional seperti politik dan hukum, sekarang para retoritisi mempelajari
bermacam-macam ranah percakapan, termasuk ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan sosial, seni, agama, jurnalisme, media digital, fiksi, sejarah dan
arsitektur. Public relations, lobbying, hukum, pemasaran,
tulisan-tulisan professional dan periklanan adalah profesi-profesi modern yang
membutuhkan jasa praktisi retoris.
2.
Teori Retorika
Teori retorika adalah teori yang mempelajari cara
membujuk atau mempengaruhi orang
lain secara efektif. Jika kita terpengaruh oleh suatu pidato atau sebuah
artikel yang membujuk kita akan sesuatu, maka kita sadari atau tidak, pidato
atau artikel tersebut sebenarnya telah menggunakan teori retorika. Di dalamnya
terkandung emosi, pertanyaan-pertanyaan, fakta, gambaran-gambaran dan bahasa
yang menggerakkan hati, yang dikemas dengan teknik sedemikian rupa, sehingga
audiens akan memahami citra dan gagasan si penulis atau si pembicara.
Teori retorika paling umum digunakan dalam
pidato-pidato politis. Di dalam pidato politis, si pembicara akan menggunakan nada
dan suara tertentu, mengajukan pertanyaan kepada audiens dan menjawabnya dengan
menggunakan faktor-faktor emosional sedemikian rupa untuk meyakinkan para
pendengarnya.
Ketika kita menonton TV, kita akan ikut memikirkan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penyiar. Memang, penyiar tidak
mengharapkan kita menjawabnya, namun kita terbawa untuk memikirkan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya itu. Teknik serupa juga digunakan dalam
artikel-artikel atau iklan-iklan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi para
pembacanya.
Teori retorika merupakan salah satu teknik
berkomunikasi. Teori ini memberikan banyak dimensi komunikasi untuk membuat
sesuatu yang hendak dikomunikasikan menjadi lebih jelas dan dapat dimengerti.
Namun teori ini bukanlah proses linear (searah) dan bukan satu-satunya proses
komunikasi. Teori retoris bukan sekadar mengirim pesan dan menerimanya,
melainkan merupakan proses timbal-balik yang berkelanjutan. Menurut teori
retoris, seluruh proses komunikasi bersifat dinamis.
Teori retorika didasarkan pada sarana atau
cara-cara membujuk yang telah ada. Seorang pembicara yang ingin membujuk
audiensnya haruslah mempertimbangkan tiga bukti retoris, yaitu: logis, argumentatif, dan
menggerakkan hati. Pidato retoris juga sering
digunakan dalam melakukan persuasi. Dalam teori komunikasi, ada tiga hal yang
perlu diingat: (1) komunikasi tidaklah linear, melainkan timbal-balik; (2)
komunikasi bukan sekadar mengirim pesan untuk diterima; (3) komunikasi tidaklah
statis, melainkan dinamis.
3. Cakupan Retorika
Ranah retorika telah
diperdebatkan oleh para sarjana sejak dulu kala. Meskipun sementara orang
membatasi retorika hanya pada diskursus politik, banyak ilmuwan modern yang
mengaitkannya dengan setiap aspek kebudayaan. Masyarakat Yunani kuno sangat
menjunjung tinggi partisipasi politik dari setiap warga Negara. Dalam kondisi
seperti itu, retorika merupakan sarana yang amat penting untuk mendapatkan
pengaruh politik. Karena itu retorika selalu dihubungkan dengan politik. Namun,
di Barat kemudian hari pembatasan ini dipertanyakan oleh para filsuf. Menurut
Gorgias, seorang retorisi yang berhasil dapat berbicara dengan meyakinkan
mengenai suatu topik, sekalipun mungkin ia tidak memiliki pengalaman dalam
bidang itu. Dalam hal ini, retorika dapat menjadi alat komunikasi bagi setiap
ahli, bukan hanya para ahli di bidang politik.
Plato menetapkan skopa
retorika seturut dengan pandangan negatifnya tentang seni. Ia mengritik kaum
para sophists karena menggunakan
retorika sebagai alat untuk menipu dan berbohong, ketimbang untuk menemukan
kebenaran. Dalam karyanya “Gorgias,” salah satu dialognya Socratisnya, Plato mendefinisikan
retorika sebagai imbauan bagi massa yang kurang pengetahuan dalam pengadilan
atau dalam perkumpulan. Dalam pikiran Plato, retorika hanyalah suatu bentuk
sanjungan berlebihan dan berfungsi seperti dapur, yang berusaha menyembunyikan
makanan jelek dan tidak sehat dengan menjadikannya berasa enak. Jadi, menurut
Plato, setiap pidato yang berbentuk prosa panjang dan dimaksdukan sebagai
sanjungan masuk ke dalam cakupan retorika.
Aristoteles mengartikan
retorika berbeda dengan gurunya dan mempersempit fokusnya dengan menetepkan
tiga genre retorika: retorika
deliberatif (retorika yang penuh pertimbangan), retorika forensik (retorika
dalam peradilan) dan retorika epideiktis (retorika seremonial). Aristoteles
juga memperluas definisi retorika, yitu sebagai kemampuan mengidentifikasi
cara-cara yang tepat untuk melakukan persuasi dalam situasi yang dihadapi.
Dengan demikian, retorika dapat diterapkan dalam semua bidang kehidupan, bukan
hanya dalam bidang politik. Menurut Aristoteles, dasar dari retorika adalah
logika (terutama didasarkan pada sillogisme). Logika selalu berkenaan dengan
probabilitas (kemungkinan), karena itu, retorika mungkin saja menawarkan berbagai
pendapat atau argumen yang legitimate.
Pada umumnya penganut
neo-Aristotelian mempelajari retorika dalam kaitannya dengan wacana politik.
Sedangkan penganut neo-Sophistik memandang bahwa retorika tidak dapat dibatasi.
Menurut aliran ini, membatasi domain retorika berarti mengabaikan aplikasi
kritis teori retorika, kritisisme retorika dan praktik retorika.
Pada abad lalu, dalam
mempelajari retorika orang cenderung memperluas domainnya, melampaui teks-teks
pidato. Kenneth Burke, misalnya, ia berpendapat bahwa retorika dapat untuk
menyelesaikan konflik, dengan jalan mengidentifikasi sifat-sifat dan
simbol-simbol yang sama-sama digunakan oleh kedua belah pihak yang terlibat
konflik itu.
James Boyd White memperluas
domain retorika, mencakup pengalaman sosial yang membentuk konstruksi social.
Menurut White, kebudayaan dibentuk kembali melalui bahasa. Seperti halnya bahasa dapat mempengaruhi
manusia, maka manusia pun dapat mempengaruhi bahasa. Bahasa merupakan suatu
konstruksi sosial bergantung pada makna yang dilekatkan kepadanya. Bahasa
tidaklah kaku, melainkan berubah menurut situasi, karena itu, penggunaan bahasa
selalu bersifat retoris. Seorang penulis selalu berusaha membangun dunia baru
dan berusaha mempengaruhi pembaca untuk ambil bagian di dalam dunia baru dalam
teksnya. Bagaimana pun, skopa retorika sulit untuk dibatasi.
4.
Retorika secagai sebuah seni warga negara (civic art)
Di sepanjang sejarah Eropa,
retorika berkenaan dengan masalah cara membujuk atau mempengaruhi orang lain
dalam arena publik dan politik, seperti dalam persidangan atau dalam
pengadilan. Karena berkaitan dengan institusi-institusi demokratis, maka pada
umumnya retorika tumbuh semarak dalam masyarakat terbuka dan demokratis, yang
menghormati hak berbicara dan mengemukakan pendapat. Mereka yang menggolongkan
retorika ke dalam “civic art” yakin
bahwa retorika memiliki kekuatan untuk membentuk komunitas, membentuk sifat
(karakter) masyarakat dan berpengaruh besar dalam kehidupan warga negara.
Beberapa filsuf kuno juga
memandang retorika sebagai “a civic art.”
Aristoteles dan Socrates adalah dua orang filsuf yang pertama kali memandang
retorika demikian. Dalam karyanya, Antidosis, Socrates mengatakan bahwa
segala sesuatu yang dibangun manusia, mulai dari kota-kota, hukum hingga seni,
semua ditentukan oleh kekuatan pidato. Ia berpendapat bahwa retorika merupakan
bagian fundamental kehidupan warga setiap masyarakat dan selalu diperlukan
dalam peletakan dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakat. Dalam karyanya
yang lain, Melawan para Sophist, ia mengatakan
bahwa retorika mampu membentuk watak manusia. Aristoteles, yang beberapa tahun
setelah Sokrates menulis karyanya, mendukung pendapat Sokrates bahwa retorika
merupakan sebuah “seni berwarganegara” (civic
art).
Bagi Aristoteles, retorika
merupakan “kecakapan untuk menemukan cara mempengaruhi massa dalam setiap
keadaan yang dihadapi.” Menurutnya, seni persuasi (seni mempengaruhi atau
membujuk) dapat digunakan dalam ranah publik dengan tiga cara: (1) secara
politis, (2) secara forensik (berkenaan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kehakiman dan peradilan), dan (3) kefasihan berpidato seremonial. Eugene
Garver, dalam kritiknya terhadap "Retorika Aristoteles,"
menggarisbawahi pendapat Aristoteles bahwa retorika merupakan “a civic art.” Garver mengatakan bahwa
retorika merupakan seni untuk memadukan beraneka ragam teknik persuasi agar
tepat bagi warga negara.
Plato dan beberapa filsuf kuno
yang lain, mengritik pendapat bahwa retorika, sebagai sebuah seni publik, mampu
membentuk opini masyarakat. Mereka mengatakan bahwa meskipun retorika dapat
dimanfaatkan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, namun dapat pula ia
digunakan untuk memanipulasi publik dengan berbagai dampak negatif bagi
masyarakat. Bagi mereka, massa tidak mampu menganalisis atau memutuskan sesuatu
sendiri, melainkan dipengaruhi oleh pidato-pidato yang paling persuasive. Jadi,
kehidupan mayarakat hanya dapat dikendalikan dengan baik oleh orang yang mampu
menyampaikan pidato dengan baik. Plato menguraikan panjang lebar mengenai
status moral retorika yang problematis itu dalam dua karyanya, Gorgias, sebuah dialog yang diberi judul
sesuai dengan nama salah seorang sophist
(orang yang dianggap berpikir sesat, atau pandai memutarbalikkan kenyataan), dan The Phaedrus, sebuah
dialog yang sangat terkenal karena membahas soal cinta/kasih.
Dalam karyanya De Oratore, Cicero berpendapat bahwa
seni persuasi tidak cukup hanya dengan kepandaian berpidato. Orator yang baik
haruslah orang yang baik, orang yang mampu mencerahi bermacam-macam persoalan
warga Negara.
Karya-karya modern memiliki
pemikiran senada dengan pandangan klasik, bahwa retorika atau pidato mampu
mempengaruhi kehidupan warga Negara. Robert Hariman, dalam karyanya Political Style, mengatakan bahwa
kebebasan, kesetaraan dan keadilan dapat dicapai mulai dengan perdebatan hingga
demonstrasi, asalkan tidak kehilangan kandungan moralnya. James Boyd White
menandaskan bahwa retorika tidak hanya berkenaan dengan isu-isu kepentingan
politis, melainkan dapat mempengaruhi seluruh budaya masyarakat. Dalam bukunya When
Words Lose Their Meaning, ia berpendapat bahwa kata-kata persuasi dan
identifikasi akan menentukan kehidupan suatu komunitas dan masyarakat.
Menurutnya, kata-kata akan menghasilkan metode, yang melaluinya suatu budaya
dipelihara dan ditransformasi. White dan Hariman sepakat bahwa kata-kata dan
retorika memiliki kekuatan untuk membentuk kebudayaan dan kehidupan masyarakat.
5.
Hermeneutika Retoris
Paul Ricoeur berpendapat bahwa ketika wacana
berpindah dari pembicaraan ke tulisan, ia terbebas dari penulis dan setting alinya.[1]
Ricoer menyebut fenomenon ini sebagai “kesenjangan,” yang memiliki nilai
positif dalam proses interpretasi. Kesenjangan ini akan memampukan penafsir
untuk mendekati teks dan hakikat strukturalnya sebagai sesuatu yang ‘mati’
namun sekaligus masuk ke dalam dialog dengan teks tersebut dan mengambilnya
untuk situasi masa kininya, ketimbang membatasi (mengurung) maknanya hanya
untuk masa lalu sesuai maksud kepenulisannya. Hermeneutika seperti ini dapat
disebut sebagai hermeneutika
retoris sebab ia menempatkan baik penafsir maupun audiensnya sebagai
pihak-pihak yang terlibat dalam proses interpretasi.
Apakah hubungan antara retorika dan hermeneutika?
Michael J. Hyde dan Craig R. Smith menandaskan bahwa situasi hermeneutis
menimbulkan fungsi primordial retorika.[2]
Fungsi primordial tersebut membuat sebuah makna dapat diketahui.[3]
Terdapat dialektika penting di antara hermeneutika dan retorika. Tanpa situasi
hermeneutis akan terjadi kekosongan tanpa makna; tanpa retorika makna
tersembunyi yang terkurung dalam situasi hermeneutis tidak pernah dapat
diaktualisasikan.[4]
Retorika cocok dengan penemuan hermeneutika sinkhronik dan diakhronik; dan
proses hermeneutis tidaklah lengkap sebelum terselesaikan (hingga penerapan).[5]
Hans Georg Gadamer juga mengakui sentralitas
retorika dalam hermeneutika. Ia menyatakan bahwa retorika meliputi semua
aktivitas hermeneutis.[6]
Dale Patrick dan Allen Scult menegaskan bahwa hermeneutika merupakan domain
sentral retorika. Mereka menyebut retorika sebagai “alat” untuk menegakkan teks
dan memelihara hubungan antara teks dengan audiensnya dalam rangka mencapai
pengaruh tertentu.[7]
Retorika memberdayakan teks untuk mencapai audiens pada waktu dan tempat yang
berbeda.
Dalam menandaskan peran sentral retorika dalam
hermeneutika, Scult melampaui Hyde, Smith dan Gadamer, bahkan mengoreksi
pendapat mereka. Scult mengritik pendapat Hyde, Smith dan Gadamer yang
mendasarkan hermeneutika dan retorika pada situasi hermeneutis. Menurut Scult
mereka mengabaikan situasi retoris. Paling tidak untuk teks-teks suci, latar
belakang retorisnya haruslah terlebih dulu diperhatikan.[8]
Bagi Hyde dan Smith fungsi retorika dalam tindakan hermeneutis pertama-tama ada
dalam domain antarpribadi antara teks dan penafsir. Namun menurut Scult, proses
interpretatif bersifat inter-personal, sebab sejak semula tujuannya adalah
untuk membuat teks relevan dengan audiens kontemporer. Untuk membuat
interpretasinya dimengerti, penafsir dibimbing oleh situasi retoris dan bukan
situasi hermeneutis. Dengan demikian, penafsir tidak hanya dipengaruhi oleh
interpretasinya sendiri, melainkan oleh kecenderungan-kecenderungan dan
nilai-nilai audiensnya. Scult juga menandaskan: jika audiens yang berada dalam
rentang waktu dan tempat yang cukup jauh dari teks orisinalnya “dikehendaki”
oleh teks agar terserap dalam lahan maknanya, maka untuk memastikan makna teks
tersebut kecenderungan-kecenderungan audiens untuk memahami merupakan kerangka
pikir yang sah dan diperlukan. Itulah seharusnya yang terjadi dalam menafsirkan
Kitab Suci.[9]
Menurut Scult, hal yang tidak boleh dilupakan
dalam proses hermeneutis adalah bahwa interpretasi penafsir dibentuk oleh
audiens dan nilai-nilai yang mereka pegang. Audiens mempengaruhi cara penafsir
dalam mengkonstruksi tafsirannya. Dengan kata lain, penafsiran penafsir
dikondisikan oleh audiensnya. Motif untuk menafsirkan teks tidak hanya untuk
mendekatkan jarak antara teks purba yang “tertidur” itu dengan audiens,
melainkan agar teks tersebut dimengerti secara tepat, sehingga dapat berbicara
untuk keadaan audiens sekarang.[10]
Karena itu, Scult menyimpulkan bahwa hermeneutika merupakan suatu elemen
ciptaan retoris. Ia merupakan alat untuk menemukan jawaban yang cocok untuk
kondisi mendesak saat ini.
Scult mengajukan koreksi lebih lanjut atas
pendapat Gadamer. Tampaknya Gadamer memahami bahasa sebagai “gudang penyimpan” tradisi. Namun, ia tidak
megakui bahwa bahasa digunakan oleh seseorang yang statusnya ditentukan oleh
derajat penerimaan terhadap bahasa itu. Menurut Scult, teks yang memiliki
status tinggi di mata kita akan menggerakkan kita untuk mempelajari lebih dalam
bahasanya, sebab kita meyakini bahwa bahasa tersebut akan mencerahkan pemikiran
kita. Manakala sebuah teks memperoleh status “suci,” maka ia akan kita anggap
memiliki kekuatan untuk berbicara melampaui dirinya sendiri.[11]
Ketika sebuah teks memperoleh status “kudus,” maka kata-katanya kita anggap
memiliki dimensi dan kekuatan baru yang memampukannya untuk terus-menerus
menyingkapkan pengetahuan. Penafsir mengharapkan teks tersebut akan memberi
jawaban yang tepat kepada audiensnya dan dengan demikian ia melakukan fungsi
pewahyuan langsung.
Tindakan hermeneutis sepenuhnya bersifat retoris,
karena sejak awal prosesnya tindakan tersebut dihubungkan dengan audiens
kontemporer. Dalam seluruh karyanya, Gadamer mempertahankan bahwa aplikasi
harus selalu ada dalam hermeneutika. Karena itu, retorika perlu mempertegas dan
mengembangkan teritorinya.
Secara ringkas, tesis Scult dapat dikatakan sebagai
berikut: interpretasi (penafsiran) adalah salah satu hasil retorika yang
dipilih oleh penafsir retoris, ketika ia dituntut untuk menyampaikan makna teks
suci untuk audiens di sini dan saat ini.[12]
Sifat-sifat khas
hermeneutika retoris
Hermeneutika retoris Roger Abrahams yang diuraikan
dalam essay-nya tentang teori retoris
dalam cerita-cerita rakyat sangat menarik untuk diperhatikan. Gagasannya itu
juga dapat diterapkan untuk teks-teks tertulis.[13]
Abrahams mengemukakan empat cara pendekatan terhadap sebuah karya seni.
Pendekatan pertama menekankan pentingnya tangan penciptanya dan dampak
perkataannya terhadap audiensnya. Pendekatan kedua memandang sebuah karya
(teks) sebagai objek, dengan cara menafikan penulis dan audiens orisinalnya
dari pertimbangan. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika sebuah
teks ditulis, ia sendiri akan sanggup berbicara, dan teks tersebut harus
dianalisis dalam terminologi khasnya secara internal serta dalam hubungan
antarbagian-bagiannya.[14]
Ini merupakan pandangan strukturalis. Pendekatan ketiga memperhatikan bagaimana
pengaruh sebuah teks terhadap audiensnya. Pendekatan keempat memusatkan
perhatian pada pengaruh audiens terhadap teks, penulis/penyusun dan seni yang dihasilkannya. Pendekatan
ini menganalisis cara nilai-nilai publik dan adat kebiasaan mempengaruhi teks.
Abrahams menyimpulkan bahwa dua pendekatan
terakhir menekankan hakikat publik teks sedangkan dua pendekatan pertama lebih
berkenaan dengan pribadi. Namun menurutnya, keempat perspektif di atas, yang
semuanya memiliki nilai dan pendekatan retoris, dapat digabungkan. Menganggap
pendekatan retoris hanya berkenaan dengan pembandingan antara pendekatan yang
satu dengan pendekatan yang lain adalah menyimplikasikan perspektif retoris.[15] Menurut
hematsaya, teori umum Abrahams
berada pada arah yang benar.
Hermeneutika retoris adalah hermeneutika yang
mempertimbangkan dengan serius interaksi antara teks, penafsir dan audiens.[16]
Hermeneutika yang menghargai ketiga unsur tersebut merupakan hermeneutika yang
sesuai dengan perspektif retoris. Dalam hal ini, gagasan Paul Ricoeur
menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang menolong. Sebagaimana dijelaskan
Barbara Warnick, pendekatan Ricoeur menimbulkan kritik, unsur-unsur teks
manakah yang memungkinkan pembaca masa kini menemukan makna yang bermanfaat?
Bagaimanakah retor (orang yang berpidato) menyentuh tema-tema dan nilai-nilai
universal, sehingga suatu wacana memiliki signifikansi yang terus berlaku?[17]
Ada dua unsur hermeneutika Ricoeur yang sangat
cocok dengan hermeneutika retoris, yakni unsur kesenjangan dan kepantasan.
Hermeneutika Ricoeur mulai dengan kesenjangan. Retorika menghargai hakikat teks
apa adanya sebagaimana ia diterima. Orang tidak mendekati suatu wacana dengan
keyakinan bahwa teks tersebut memiliki makna sebagaimana ia inginkan. Karena
memiliki serangkaian struktur dan bentuk, maka teks akan memberi
batasan-batasan penafsiran atasnya. Ricoeur menyebut hal ini sebagai
kesenjangan. Kesenjangan adalah bagian dari penulisan, sebab sebuah teks telah
membuat jarak dengan penulis dan audiens aslinya. Dalam kenyataan, Ricoeur
tetap mempertahankan bahwa pidato tidak dapat dipisahkan dari tulisan.
Menurutnya, tulisan haruslah mendahului pidato. Jika tidak ada pidato, maka
tulisan itu hanya akan menjadi seruan belaka.[18]
Kesenjangan seperti ini bukanlah kerugian, melainkan merupakan asset interpretasi. Kesenjangan tersebut
akan menyebabkan sebuah wacana dapat diperluas untuk situasi yang baru dan
berbeda, tidak hanya terbatas untuk suatu tempat dan waktu tertentu.
Tentang nilai kesenjangan inilah Ricoeur
berselisih pandang dengan hermeneutika Hans-Georg Gadamer.[19] Ricoeur
berpendapat bahwa dorongan utama karya Gadamer adalah keyakinan dasar akan
adanya pertentangan antara kesenjangan yang mengasingkan (objektivitas) dengan
partisipasi penafsir (subjektivitas).[20]
Sesungguhnya Gadamer mengadopsi, baik kesenjangan dan pendekatan metodologis
terhadap teks yang menyebabkan alienasi (keterasingan), maupun perspektif
objektivitas. Ricoeur menolak konflik ini dan mengklaim bahwa pendekatannya
bertujuan menjembatani kesenjangan yang jelas kelihatan di antara
alternatif-alternatif.[21]
Ricoeur mengatakan bahwa Gadamer tidak memberi
tempat untuk kesenjangan. Keengganan Gadamer terhadap kesenjangan didasarkan
pada hubungannya yang erat dengan metode, sedangkan metode itu mengasingkan.
Perhatian Gadamer adalah pada fusi dua horizon. Ricoeur berpendapat bahwa baik “kesenjangan” maupun “keikutsertaan memiliki”
masing-masing memiliki tempat. Ia percaya bahwa kesenjangan merupakan bagian
inheren dari teks dan penulisan.[22]
Kesenjangan bukanlah produk metodologi dan bukan benalu, melainkan merupakan
kualitas alami sebuah teks. Menurut Ricoeur, teks lebih dari sekadar
"sebuah kasus komunikasi antarsubjektif,” melainkan merupakan paradigma
kesenjangan dalam komunikasi.[23]
Ricoeur mengatakan bahwa tulisan merupakan "penahbisan kesenjangan lebih
dari penyebabnya.”[24]
Seperti prasangka dalam skema Gadamer, kesenjangan dalam sistem Ricoeur memainkan peran positif dan
produktif. Kesenjangan itu memampukan penafsir untuk masuk ke dalam
“keterlibatan ikut memiliki.” Konsep kesenjangan Ricoeur menuntun kita pada
pendekatan objektif atas interpretasi tekstual sekaligus pendekatan ‘rekreatif’
atau ‘evokatif’ (bersifat menggugah dan
membangkitkan ingatan) terhadap
signifikansi tekstual.[25]
Apa sajakah komponen kesenjangan itu? Pertama,
adanya jarak antara peristiwa aktual dengan makna yang dikatakan. Petunjuk yang
ada bukan lagi menjadi petunjuk
pertama kepada peristiwa orisinal, melainkan menjadi petunjuk kedua. Teks
haruslah ditaruh di depan, ketimbang di belakang, di masa kini ketimbang di
masa lalu. Hal ini sangat kontras dengan para ahli biblika yang berusaha
menggali hal-hal yang ada di balik teks.
Kedua, ada jarak antara teks dengan makna psikologis, yang sering disebut “maksud penulisan.” Ricoeur berpendapat bahwa hermeneutika tidak lagi
mencari maksud psikologis orang lain yang tersembunyi di balik teks.[26]
Dunia teks yang autonom itu mungkin ‘meledakkan’ dunia penulisnya.[27]
Hal ini bertentangan dengan Dilthey yang berpendapat bahwa tujuan akhir
hermeneutika adalah memahami maksud penulisnya lebih baik ketimbang memahami
diri sendiri.[28]
Memotong makna teks dari maksud penulisnya juga bertentangan langsung dengan pendapat
E. D. Hirsch.[29]
Ricoeur menjelaskan bahwa "perihal teks" yang disebut "dunia
teks" haruslah ditempatkan di atas segalanya, sehingga maksud penulis
tidak lagi menjadi ukuran/kriterion penafsiran. “Penyataan” teks adalah dunia
baru yang terbentang di hadapan penafsir dan audiens.[30]
Dengan kata lain, penyataan (wahyu) adalah ciri dunia alkitabiah.[31] Jadi,
makna dan dunia baru teks adalah penyataan (wahyu), bukan penulis.
Ketiga, ada pula jarak antara teks dengan audiens
orisinalnya. Realitas dan dunia bersama antara teks dengan audiens tidak lagi
ada. Secara sosiologis, teks dapat mendekontekstualisasi dirinya sendiri,
sehingga dapat direkontekstualisasi ke dalam situasi yang baru. Dalam hal ini
Ricoeur bertentangan dengan konsep Lloyd Bitzer tentang “situasi retoris”
ketika suatu wacana tertentu dipertalikan dengan kepentingan/urgensi khusus.
Scult sangat mendukung Ricoeur mengenai dekontekstualisasi teks. Ia berpendapat
bahwa situasi retoris orisinal tetap “tertidur,” sehingga tidak bercampur tangan
terhadap kapasitas teks untuk berbicara bagi masa kini dengan kekuatan yang
setara. Scult mengatakan bahwa penafsiran yang memperlakukan teks sebagai
sesuatu yang suci “melupakan” situasi retoris orisinal untuk membuat teks itu
terus mampu memenuhi fungsi retoris sucinya. Penafsiran harfiah membawa kita
kembali kepada situasi retoris orisinal teks dan dengan demikian memutus
kehidupan teks saat itu juga.
[1] Paul Ricoeur, "Philosophical Hermeneutics and
Theological Hermeneutics," Studies in Religion/Sciences Religieuses
5 (Toronto: University of Toronto Press, 1975):14-33. Dicetak ulang dengan
ekskursus "Philosophical Hermeneutics and Theological Hermeneutics
Ideology: Utopia and Faith," The Center for Hermeneutical Studies in
Hellenistic and Modern Culture, (Berkeley: tanpa penerbit, 1976), 5.
[2] Michael. J. Hyde and Craig. R. Smith,
"Hermeneutics and Rhetoric: A Seen but Unobserved Relationship," Quarterly
Journal of Speech 65 (1979), 347.
[3] Hyde and Smith, 348
[4] Hyde dan Smith, 354.
[5] Hyde dan Smith, 357.
[6] Gadamer dalam Philosophical Hermeneutics, 1976,
p. 24.
[7] Lihat Dale Patrick dan Allen Scult, Rhetoric and
Biblical 1nterpretation, (Decatur, GA: Almond Press, 1990), p. 12.
[8] Lihat Scult, "The Relationship between Rhetoric
and Hermeneutics Reconsidered," Central States Speech Journal 34
(1983): 221.
[9] Scult 1983: 222.
[10] Scult 1983: 223.
[11] Scult menyebut kekuatan sebuah teks untuk berbicara
melampaui dirinya sendiri dengan "tekstualitas" (p. 224).
[12] Scult 1983: 223
[13] Roger D.
Abrahams, "Introductory Remarks to a Rhetorical Theory of Folklore," Journal
of American Folklore 81 (1968): 143-158.
[14] Abrahams 1968: 144
[15] Dalam essay-nya, Abrahams membandingkan amsal
dengan teka-teki untuk memahami dengan lebih baik bagaimana keduanya berfungsi.
[16] Kathleen C.
Boone mengatakan, "Like the famous tree falling in the forest, texts are
silent unless and until someone reads them." The Bible Tells Them So:
The Discourse of Protestant Fundamentalism (Albany: State University of New
York Press), 62.
[17] Barbara Warrick, "A Ricoeurian Approach to
Rhetorical Criticism," Western Journal of Speech Communication 51 (1987), 228.
[18] Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics. II, terjemahan Kathleen Blarney dan John B. Thompson
(Evanston, IL: Northwest UP, 1991) 93-94. By speech remaining a cry, Ricoeur
seems to be implying that unless it is connected to a prior text it will remain
insignificant and confined to a one-time event.
[19] Menarik untuk diperhatikan bahwa Gadamer menganggap
prasangka (yaitu tradisi) sebagai sesuatu yang bernilai. Ricoeur menghargai hal
itu namun lebih dari itu, ia juga menghargai unsur-unsur kesenjangan yang oleh
Gadamer dianggap sebagai hambatan.
[20] Ricoeur, Paul
Ricoeur: Hermeneutics and the Human Sciences, ed. terjemahan John B. Thompson
(New York: Cambridge University Press, 1981) 131.
[24] Ricoeur,
"Biblical Hermeneutics," Semia 4 (1975): 67.
[25] Warnick,
"A Ricoeurian Approach to Rhetorical Criticism," p. 228.
[26] Ricoeur, 1981, p. 141. Derrida maintains that written
signs break contexts and the further in time a discourse moves from its source
or author the less dependent it is on that source and the more power the
interpreter has. Jacques Derrida, Signature Event Context, The Rhetorical
Tradition: Readings from Classical Times to the Present, eds. Patricia
Bizell and Bruce Herzberg (Boston: Bedford Books of St. Martin's Press, 1990)
1175.
[27] Ricoeur, 1981,
p. 139.
[28] Dikutip oleh
Ricoeur, 1981, p. 151.
[29] Hirsch berpendapat bahwa "Dengan dasar-dasar
praktis murni … haruslah disepakati bahwa makna teks sesungguhnya adalah maksud
penulisnya" (1967, p. 25).
[30] Ricoeur, From Text to Action, p. 96. Ron
Highfield, dalam sebuah paper yang ditulis pada 1990 di depan Christian
Scholars Conferencedi Universitas Pepperdine, juga menegaskan pendapat ini:
"An author's words mean more than he or she consciously intends. Great
poems and novels arise out of depths of which the author has no conscious
control or knowledge, depths which reach out into the common human cultural
experience and down into its genetic roots--that vast body of tacit knowledge
which provides the silent but powerful context in which we ‘consciously think’.
Most of us who write have had the experience of being ‘given’ a story or a
thought, or of not even knowing what we think until we write it down or preach
on it. Every time I reread something I have written I find out something I
think which I did not recall ‘intending’ to say. How much less should we expect
authorial intention to be an adequate aim when we are dealing with Holy
Scripture in which a human mind is not only in touch with the well springs of
human being but is open to the being of God" (p. 21)?
[31] Ricoeur, 1991,
p. 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar