MEWUJUDNYATAKAN INTERAKSI AUTENTIK
ANTARA TEKS PURBA DENGAN PEMBACA MODERN
Bahan Kuliah HPB
II, Minggu III
Persoalan utama hermeneutika PB
Tugas utama
kita adalah berusaha mengulang sedekat mungkin apa yang dikatakan oleh para
penulis PB dan memahaminya. Jadi, perhatian kita terpusat pada usaha untuk
mengerti maksud asli yang hendak disampaikan oleh para penulis dalam
tulisan-tulisannya. Kita sadari betul bahwa usaha ini terkendala oleh jarak
waktu yang cukup jauh antara kita dengan waktu penulisan teks-teks PB, cara
pandang kultural yang berbeda dan konteks historis yang berbeda pula. Sedikit
banyak, hal-hal itu akan mewarnai subjektivitas pemahaman kita. Dengan rendah
hati harus diakui, bahwa merekonstruksi pesan asli yang hendak disampaikan oleh
para penulis PB tidak mungkin objektif sepenuhnya. Namun, kita harus berusaha
semaksimal mungkin mengesampingkan prasangka-prasangka subjektif kita dan
sedapat-dapatnya menempatkan pesan-pesan tersebut dalam jalinan kontekstualnya.
Untuk memahami
pesan-pesan PB, catatan kritis Bultmann atas teks-teks PB, khususnya
Injil-injil, layak untuk diperhatikan. Sepakat dengan pendapat William Wrede,
Rudolf Bultmann mengatakan bahwa Injil-injil lebih merupakan produk iman dan refleksi kehidupan jemaat mula-mula daripada sumber-sumber atau kesaksian-kesaksian
otentik tentang kehidupan Yesus di bumi.[1] Dengan demikian
Injil-injil lebih bersifat teologis ketimbang historis.[2] Bultmann melihat adanya
diskontinuitas antara Yesus menurut PB (terutama Injil-injil) pada satu pihak, dengan gereja, pesan Kristen dan dokumen-dokumen Kristen,
pada pihak lain. Menurutnya, dalam teks-teks PB, Yesus digambarkan semata-mata
sebagai guru, nabi dan pembawa pesan-pesan etis serta keagamaan.[3] Hal ini tentu sangat
berbeda dengan pemahaman Kristen di kemudian hari terhadap diri Yesus,
sebagaimana tercermin dalam keputusan konsili Nicea (325) dan Chalcedon (451).
Inti pengakuan gereja adalah bahwa dalam diri Yesus Kristus, Allah sejati telah
menjadi manusia sejati; bahwa Yesus adalah Anak Allah, ilahi dan manusia; bahwa
Ia adalah oknum kedua Trinitas, yang mengenakan tubuh manusia, sehingga Ia
sekaligus Allah dan manusia.[4]
Perlu disadari
bahwa para penulis kitab-kitab PB pertama-tama tidak bermaksud memaparkan
serangkaian pemikiran teologis. Mereka menulis karya-karyanya berkenaan dengan
kebutuhan jemaat waktu itu, terutama sehubungan dengan tanggapan iman mereka
terhadap sosok Yesus dari Nazaret itu. Memang, jemaat perdana telah memiliki
Perjanjian Lama (PL) sebagai Kitab Sucinya, namun, berhadapan dengan fakta
Yesus, mereka membutuhkan pegangan dan penjelasan. Untuk memenuhi kebutuhan
itulah para penulis kitab-kitab PB menyusun karangannya. Dalam perkembangannya
di kemudian hari, kesaksian-kesaksian tentang fakta Yesus itu lambat laun juga
mereka terima sebagai bagian penting dari Kitab Suci.
Tidak dapat
disangkal bahwa kitab-kitab PB bukan semata-mata hasil refleksi para penulis
secara acak. Di balik tulisan-tulisan itu terdapat keyakinan bahwa Allah telah
bertindak dalam diri Yesus. Dengan kata lain, seperti dikatakan Morris, di
balik tulisan-tulisan PB itu terdapat teologi.[5] Meskipun kitab-kitab PB
ditulis dalam suatu waktu tertentu, namun di balik kitab-kitab itu terdapat
informasi teologis berkenaan dengan pemahaman dan pengalaman iman para penulis
terhadap tindakan Allah dalam diri Yesus.
Memang,
kesaksian mengenai sosok Yesus, pemahaman terhadap diri-Nya dan pesan-pesan
yang berkenaan dengan pelayanan dan kehidupan-Nya di bumi tidak hanya terdapat
dalam kitab-kitab PB yang kanonik, melainkan juga terdapat dalam banyak tulisan
lain sezaman, yang tidak termasuk dalam kanon PB. Namun hal yang hendak
kita bicarakan hanyalah pesan-pesan
kitab-kitab PB saja. Pembatasan ini sama sekali tidak bermaksud mengabaikan
tulisan-tulisan ekstra-kanonik, melainkan karena kitab-kitab PB telah diterima
sebagai dokumen alkitabiah oleh umat Kristen dan diakui sebagai pedoman autentik
bagi ajaran Kristen. Kita tahu bahwa tidak satu pun kitab-kitab PB terlahir
dengan predikat ‘kanonik,’ karena proses kanonisasi baru berlangsung selama
abad kedua hingga keempat Masehi. Namun demikian, kanonisasi tetap penting,
karena, seperti dikatakan James Dunn, hal itu memberi batasan atas keragaman
yang dapat diterima.[6] Di samping itu, gereja
tentu membutuhkan pedoman yang autoritasnya
diakui.
Benar bahwa
Yesus adalah sosok tunggal yang mendominasi pewartaan PB dan semua aspek
pengajaran PB berkisar pada diri-Nya. Namun demikian, tidak berarti bahwa sudut
pandang, pemahaman dan tekanan penulis atas aspek-aspek tersebut sama. Bahkan
disadari sepenuhnya bahwa perspektif para penulis teks-teks PB terhadap pribadi
Yesus sendiri pun beragam. Jika dalam tulisan-tulisan PB terawal tekanannya
terletak pada pengajaran Yesus tentang kedatangan Kerajaan Allah, maka dalam
pengajaran gereja perdana yang tercermin dalam teks-teks PB yang lebih kemudian
tekanannya bergeser pada kematian dan kebangkitan Yesus. Surat-surat dalam PB
tidak semata-mata meneruskan perkataan Yesus, melainkan berusaha memaknai lebih
lanjut kematian dan kebangkitan Yesus. Jemaat perdana memandang kedua peristiwa
tersebut sebagai pusat karya penyelamatan Allah yang besar. Jika Injil-injil
berusaha melaporkan kehidupan dan pelayanan Yesus di bumi, yang berpuncak pada
kematian dan penyaliban-Nya, maka tulisan-tulisan PB yang lebih kemudian
berusaha merefleksi makna dua peristiwa itu dan menjadikannya dasar
kekristenan. Dengan kata lain, sekalipun dengan beragam cara, kitab-kitab PB
berusaha menunjukkan kepada para pembacanya tentang karya penyelamatan Allah
yang besar, yang berpusat pada salib Yesus. Karya Allah itu sekaligus
menempatkan para pembacanya pada keharusan untuk mengambil keputusan:
meninggalkan cara hidup yang lama dan mengenakan cara hidup yang baru.[7]
Hal lain yang
perlu dicatat, keragaman makna tidak hanya kita temukan secara internal dalam
pewartaan dan pesan-pesan kitab-kitab PB, melainkan secara eksternal juga kita
temukan dalam interpretasi para penafsir dari masa ke masa atas pewartaan dan
pesan-pesan itu. Kenyataan ini mengandung kelemahan sekaligus kekuatan.
Kelemahannya, keragaman tersebut dapat menghasilkan spektrum penafsiran dan
gagasan teologis yang tak terbatas jumlahnya, sehingga ‘warna’ kekristenan pun
bermacam-macam. Namun kelemahan ini sekaligus juga menjadi kekuatan, sebab di
sana kita boleh menatap kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah yang tak dapat
dibatasi dan diselami sepenuhnya oleh nalar manusia. Sekalipun kita tak berhak
membatasi pemahaman dan penafsiran seseorang, namun pewartaan dan pesan-pesan
kitab-kitab PB akan ‘membatasi dirinya sendiri,’ jika dengan seksama kita
berusaha merekonstruksi teks-teks PB sedemikian rupa dengan jalan
menem-patkannya dalam jalinan kontekstualnya. Itulah sebabnya, sekalipun
sekilas, pembahasan atas tiap-tiap teks PB akan didahului dengan sedikit tinjauan
mengenai latar belakang penulisan serta kondisi dan situasi yang
melingkupinya.
Ketika membaca
PB, dengan segera kita menyadari bahwa teks-teks di dalamnya berupa pewartaan;
ada pesan-pesan yang hendak disampaikan atau diberitakan. PB menceritakan
peristiwa-peristiwa, gagasan-gagasan dan pribadi-pribadi di sekitar Yesus dari
Nazaret, seorang Yahudi yang berbahasa Aram, dan hidup di Palestina kuno.
Namun, pada saat itu, Palestina merupakan bagian dari kekaisaran Romawi; karena
itu, naskah PB juga mencerminkan lingkungan historis, kultural dan religius
yang lebih luas ketimbang konteks Palestina semata-mata. PB sendiri ditulis
dalam bahasa Yunani dan dapat dikatakan bahwa kekristenan lahir di ribaan dunia
Hellenistis. PB adalah produk dunia Hellenistis, dunia yang muncul sebagai
akibat penaklukan oleh Aleksander Agung pada 356-323 sM.[8] Dalam memahami berita PB,
konteks historis, kultural dan religius tersebut tidak dapat diabaikan.
Pusat
pemberitaan PB adalah Yesus Kristus. Namun pemberitaan tentang diri-Nya sangat
bervariasi. PB sekaligus merupakan kitab dan kumpulan kitab-kitab. PB berisi
bermacam-macam kitab, yang ditulis dengan gaya dan panjang yang berbeda-beda,
dengan penulis yang berbeda-beda pula. Bahkan jika diteliti dengan seksama, teks-teks
itu ditulis dari tempat yang berbeda-beda, waktu yang berbeda-beda dengan isi
dan bentuk yang sangat bervariasi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah
bahwa semua tulisan PB merupakan literatur religius, yang berisi pemberitaan,
nasihat, mitos dan sejarah.
Sebagai sebuah
kitab yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus, kita dapat mengatakan bahwa PB
adalah satu kesatuan, namun sebagai kumpulan tulisan, harus pula kita akui
bahwa di dalamnya terdapat keragaman bentuk sastra, gaya penulisan dan pandangan
teologis. Itulah sebabnya, James D.G. Dunn melukiskan bahwa dalam pemberitaan
PB terdapat “satu Yesus dengan banyak Kristus.”[9]
Sekalipun
kitab-kitab PB mencerminkan beragam pengertian mengenai hakikat iman Kristen,
namun semua mempergumulkan satu masalah yang sama, yaitu iman kepada Yesus
Kristus, atau tepatnya, iman kepada Allah yang bertindak dan menyatakan diri
dalam Yesus Kristus. Semua penulis PB berusaha menghubungkan dan memaknai
kehidupan di dunia ini berdasar imannya terhadap Yesus Kristus. Sikap tanggap
terhadap satu fakta yang sama, fakta Kristus, diungkapkan dengan cara yang
berbeda-beda, yang satu sama lain tidak harus bertentangan, tetapi saling
melengkapi. Karena itu dapat dikatakan bahwa PB menampilkan seluruh spektrum
pemaknaan terhadap kekristenan di dunia ini.
Kolaborasi pendekatan diakhronik dan sinkhronik
Atas nama objektivitas dan
nilai keilmiahan, para pembela studi-kritis Alkitabiah menandaskan bahwa
cerita-cerita Alkitabiah hanya dapat dipahami dengan tepat secara akademis dan
keliru jika cerita-cerita tersebut tidak diletakkan dalam jalinan kultural dan
ideologis yang melatar-belakanginya. Memang tidak dapat disangkal, studi-kritis
Alkitabiah berusaha meminimalisasi subjektivitas penafsir dalam membaca dan
memahami teks-teks Alkitabiah. Namun tidak dapat dikesampingkan bahwa secara
imaniah cerita-cerita Alkitabiah itu hanya akan bermakna bagi kehidupan para pembaca
saat ini jika mereka langsung berdialog dengannya, sekalipun mereka mungkin
tidak mengenal masalah kepenulisannya, makna orisinalnya, maupun penafsiran
tradisional yang diwarisi oleh gereja dari masa ke masa. Bagi komunitas
imaniah, bagaimana pun PB atau Alkitab secara keseluruhan masih tetap merupakan
“komunikasi hidup” Allah kepada umat-Nya.
Dalam menjembatani kesenjangan
antara teks purba dengan pembaca saat ini, pendekatan diakhronik berusaha
memahami teks-teks PB bertolak dari pemaknaan kata-kata atau
persitilahan-peristilahan (terminologi-terminologi) pada saat penyusunannya dan
peredaksiannya dalam konteks yang berubah dari waktu ke waktu. Pendekatan ini
selalu mengandung bahaya terjadinya pemaksaan historis pemikiran atau gagasan
penting ke dalam maksud orisinal dan makna ‘harfiah’ Alkitab.
Pendekatan sinkhronik, pada
pihak lain, berusaha memahami pesan-pesan teks PB dengan melakukan analisis
retorik, kritisisme naratif, kritisisme semiotik, dsb. Dengan berbagai analisis
itu, pendekatan sinkhronik berusaha mewujudnyatakan interaksi autentik antara
teks-teks purba dengan pembaca modern. Analisis naratif, terutama, tidak hanya
membebaskan Alkitab dari historisisme, melainkan juga mencegah terjadinya
pereduksian pesan Alkitabiah ke dalam satu kebenaran tertentu. Pendekatan ini
berusaha menemukan ulang pesan intrinsik Alkitab berkenaan dengan keselamatan
(baca: hidup dalam kondisi berelasi dengan Allah), baik yang bersifat imperatif
(mengandung perintah), maupun yang bersifat performatif (yang semestinya
dilakukan).
Dengan memperhatikan kelebihan
dan kekurangan kedua pendekatan di atas, ada baiknya jika dalam memahami
pesan-pesan teks-teks PB, atau Alkitab pada umumnya, kita melakukan kolaborasi
konstruktif atas interpretasi diakhronik dan sinkhronik. Menganalisis makna
sebuah terminologi bertolak dari pemaknaan saat ia digunakan dan pemaknaan dalam
keadaan yang berubah dari waktu ke waktu akan memperkaya pemahaman kita,
asalkan kita tidak terjebak dalam paham historisisme. Demikian halnya analisis
kontekstual dari berbagai segi atas suatu terminologi akan meminimalisasi
subjektivitas kita dalam memahami maknanya, asalkan analisis tersebut tidak
menjebak kita pada “akademisisme.”
Pendekatan dinamis dan komprehensif
Menurut hemat saya,
hermenutika atas teks-teks PB haruslah dilakukan dengan pendekatan dinamis dan
komprehensif. Dinamis, dalam pengertian bahwa pembaca saat ini haruslah dibawa
ke dalam dialog autentik dengan teks-teks PB. Komprehensif, dalam arti bahwa
semua konteks ikut dipertimbangkan. Dalam hal ini ada empat aspek yang terlibat
dalam interaksi hermeneutis, yaitu: teks PB yang memiliki konteks orisinal (original context) dengan pesan
orisinalnya (original biblical message)
dan pembaca saat ini dengan konteks masa kininya (contemporary context) dan pesan Alkitabiah bagi kekinian (biblical message for today).
Kolaborasi pendekatan diakhronik
dan sinkhronik sangat membantu kita dalam merekonstruksi original context sedekat mungkin dan menemukan ulang original biblical message setepat
mungkin dari suatu teks PB. Sedangkan contemporary
context dan biblical message for today
merupakan tugas setiap pembaca teks PB (terutama para teolog) untuk
sungguh-sungguh berteologi.
Jakarta, 04 September 2012
Bambang
Subandrijo
[1] Rudolf Bultmann, Form Criticism
(terjemahan F.C. Grant, Chicago: Willet,Clark, 1934), hlm. 22.
[2] Lihat Rudolf Bultmann, Jesus and the
Word (New York: Scribner’s, 1934), hlm. 9, 12-14; The Theology of the New Testament, Vol. I (New York: Scribner’s,
1951), hlm. 26-28; Jesus Christ and
Mythology (London: SCM, 1958), hlm. 16.
[3] Bultmann, Jesus and the Word,
hlm. 14; Form Criticism, hlm. 60-62;
71-73.
[4] Lht. John Hick (ed.), The Myth of
God Incarnate (London: SCM, 1997), hlm. 1-2; Oskar Skarsaune, Incarnation: Myth or Fact (St, Louis:
Concordia Publishing House, 1991), hlm. 12, 14; Chester L. Gillis, Pluralism: A New Paradigm for Theology
(Louvain: Peeters Press, 2003), hlm. 73.
[5] Morris, New Testament Theology,
hlm. 11.
[6] James D.G. Dunn, Unity and Diversity
in the New Testament (Philadelphia, 1977), hlm. 378.
[7] Bdk. Morris, New Testament Theology,
hlm. 17.
[8] Norman Perrin & Dennis C. Dulling, The
New Testament: An Introduction (New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.,
1982), hlm. 3-4.
[9] James D.G. Dunn, Unity and
Diversity in the New Testament: An Inquiry into the Character of Earliest
Christianity (Sougthampton: SCM Press Ltd., 1977), hlm. 216 dbr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar