Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Selasa, 04 Juni 2013

mewujudnyatakan interaksi autentik antara teks purba dan pembaca modern. oleh Bpk.Bambang Subandrijo

MEWUJUDNYATAKAN INTERAKSI AUTENTIK
ANTARA TEKS PURBA DENGAN PEMBACA MODERN
Bahan Kuliah HPB II, Minggu III

Persoalan utama hermeneutika PB

Tugas utama kita adalah berusaha mengulang sedekat mungkin apa yang dikatakan oleh para penulis PB dan memahaminya. Jadi, perhatian kita terpusat pada usaha untuk mengerti maksud asli yang hendak disampaikan oleh para penulis dalam tulisan-tulisannya. Kita sadari betul bahwa usaha ini terkendala oleh jarak waktu yang cukup jauh antara kita dengan waktu penulisan teks-teks PB, cara pandang kultural yang berbeda dan konteks historis yang berbeda pula. Sedikit banyak, hal-hal itu akan mewarnai subjektivitas pemahaman kita. Dengan rendah hati harus diakui, bahwa merekonstruksi pesan asli yang hendak disampaikan oleh para penulis PB tidak mungkin objektif sepenuhnya. Namun, kita harus berusaha semaksimal mungkin mengesampingkan prasangka-prasangka subjektif kita dan sedapat-dapatnya menempatkan pesan-pesan tersebut dalam jalinan kontekstualnya.      

Untuk memahami pesan-pesan PB, catatan kritis Bultmann atas teks-teks PB, khususnya Injil-injil, layak untuk diperhatikan. Sepakat dengan pendapat William Wrede, Rudolf Bultmann mengatakan bahwa Injil-injil lebih merupakan produk iman dan refleksi kehidupan jemaat mula-mula daripada sumber-sumber atau kesaksian-kesaksian otentik tentang kehidupan Yesus di bumi.[1] Dengan demikian Injil-injil lebih bersifat teologis ketimbang historis.[2] Bultmann melihat adanya diskontinuitas antara Yesus menurut PB (terutama Injil-injil) pada satu pihak, dengan gereja, pesan Kristen dan dokumen-dokumen Kristen, pada pihak lain. Menurutnya, dalam teks-teks PB, Yesus digambarkan semata-mata sebagai guru, nabi dan pembawa pesan-pesan etis serta keagamaan.[3] Hal ini tentu sangat berbeda dengan pemahaman Kristen di kemudian hari terhadap diri Yesus, sebagaimana tercermin dalam keputusan konsili Nicea (325) dan Chalcedon (451). Inti pengakuan gereja adalah bahwa dalam diri Yesus Kristus, Allah sejati telah menjadi manusia sejati; bahwa Yesus adalah Anak Allah, ilahi dan manusia; bahwa Ia adalah oknum kedua Trinitas, yang mengenakan tubuh manusia, sehingga Ia sekaligus Allah dan manusia.[4] 

Perlu disadari bahwa para penulis kitab-kitab PB pertama-tama tidak bermaksud memaparkan serangkaian pemikiran teologis. Mereka menulis karya-karyanya berkenaan dengan kebutuhan jemaat waktu itu, terutama sehubungan dengan tanggapan iman mereka terhadap sosok Yesus dari Nazaret itu. Memang, jemaat perdana telah memiliki Perjanjian Lama (PL) sebagai Kitab Sucinya, namun, berhadapan dengan fakta Yesus, mereka membutuhkan pegangan dan penjelasan. Untuk memenuhi kebutuhan itulah para penulis kitab-kitab PB menyusun karangannya. Dalam perkembangannya di kemudian hari, kesaksian-kesaksian tentang fakta Yesus itu lambat laun juga mereka terima sebagai bagian penting dari Kitab Suci.    

Tidak dapat disangkal bahwa kitab-kitab PB bukan semata-mata hasil refleksi para penulis secara acak. Di balik tulisan-tulisan itu terdapat keyakinan bahwa Allah telah bertindak dalam diri Yesus. Dengan kata lain, seperti dikatakan Morris, di balik tulisan-tulisan PB itu terdapat teologi.[5] Meskipun kitab-kitab PB ditulis dalam suatu waktu tertentu, namun di balik kitab-kitab itu terdapat informasi teologis berkenaan dengan pemahaman dan pengalaman iman para penulis terhadap tindakan Allah dalam diri Yesus.
Memang, kesaksian mengenai sosok Yesus, pemahaman terhadap diri-Nya dan pesan-pesan yang berkenaan dengan pelayanan dan kehidupan-Nya di bumi tidak hanya terdapat dalam kitab-kitab PB yang kanonik, melainkan juga terdapat dalam banyak tulisan lain sezaman, yang tidak termasuk dalam kanon PB. Namun hal yang hendak kita bicarakan hanyalah pesan-pesan kitab-kitab PB saja. Pembatasan ini sama sekali tidak bermaksud mengabaikan tulisan-tulisan ekstra-kanonik, melainkan karena kitab-kitab PB telah diterima sebagai dokumen alkitabiah oleh umat Kristen dan diakui sebagai pedoman autentik bagi ajaran Kristen. Kita tahu bahwa tidak satu pun kitab-kitab PB terlahir dengan predikat ‘kanonik,’ karena proses kanonisasi baru berlangsung selama abad kedua hingga keempat Masehi. Namun demikian, kanonisasi tetap penting, karena, seperti dikatakan James Dunn, hal itu memberi batasan atas keragaman yang dapat diterima.[6] Di samping itu, gereja tentu membutuhkan pedoman yang autoritasnya diakui. 

Benar bahwa Yesus adalah sosok tunggal yang mendominasi pewartaan PB dan semua aspek pengajaran PB berkisar pada diri-Nya. Namun demikian, tidak berarti bahwa sudut pandang, pemahaman dan tekanan penulis atas aspek-aspek tersebut sama. Bahkan disadari sepenuhnya bahwa perspektif para penulis teks-teks PB terhadap pribadi Yesus sendiri pun beragam. Jika dalam tulisan-tulisan PB terawal tekanannya terletak pada pengajaran Yesus tentang kedatangan Kerajaan Allah, maka dalam pengajaran gereja perdana yang tercermin dalam teks-teks PB yang lebih kemudian tekanannya bergeser pada kematian dan kebangkitan Yesus. Surat-surat dalam PB tidak semata-mata meneruskan perkataan Yesus, melainkan berusaha memaknai lebih lanjut kematian dan kebangkitan Yesus. Jemaat perdana memandang kedua peristiwa tersebut sebagai pusat karya penyelamatan Allah yang besar. Jika Injil-injil berusaha melaporkan kehidupan dan pelayanan Yesus di bumi, yang berpuncak pada kematian dan penyaliban-Nya, maka tulisan-tulisan PB yang lebih kemudian berusaha merefleksi makna dua peristiwa itu dan menjadikannya dasar kekristenan. Dengan kata lain, sekalipun dengan beragam cara, kitab-kitab PB berusaha menunjukkan kepada para pembacanya tentang karya penyelamatan Allah yang besar, yang berpusat pada salib Yesus. Karya Allah itu sekaligus menempatkan para pembacanya pada keharusan untuk mengambil keputusan: meninggalkan cara hidup yang lama dan mengenakan cara hidup yang baru.[7]

Hal lain yang perlu dicatat, keragaman makna tidak hanya kita temukan secara internal dalam pewartaan dan pesan-pesan kitab-kitab PB, melainkan secara eksternal juga kita temukan dalam interpretasi para penafsir dari masa ke masa atas pewartaan dan pesan-pesan itu. Kenyataan ini mengandung kelemahan sekaligus kekuatan. Kelemahannya, keragaman tersebut dapat menghasilkan spektrum penafsiran dan gagasan teologis yang tak terbatas jumlahnya, sehingga ‘warna’ kekristenan pun bermacam-macam. Namun kelemahan ini sekaligus juga menjadi kekuatan, sebab di sana kita boleh menatap kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah yang tak dapat dibatasi dan diselami sepenuhnya oleh nalar manusia. Sekalipun kita tak berhak membatasi pemahaman dan penafsiran seseorang, namun pewartaan dan pesan-pesan kitab-kitab PB akan ‘membatasi dirinya sendiri,’ jika dengan seksama kita berusaha merekonstruksi teks-teks PB sedemikian rupa dengan jalan menem-patkannya dalam jalinan kontekstualnya. Itulah sebabnya, sekalipun sekilas, pembahasan atas tiap-tiap teks PB akan didahului dengan sedikit tinjauan mengenai latar belakang penulisan serta kondisi dan situasi yang melingkupinya.    

Ketika membaca PB, dengan segera kita menyadari bahwa teks-teks di dalamnya berupa pewartaan; ada pesan-pesan yang hendak disampaikan atau diberitakan. PB menceritakan peristiwa-peristiwa, gagasan-gagasan dan pribadi-pribadi di sekitar Yesus dari Nazaret, seorang Yahudi yang berbahasa Aram, dan hidup di Palestina kuno. Namun, pada saat itu, Palestina merupakan bagian dari kekaisaran Romawi; karena itu, naskah PB juga mencerminkan lingkungan historis, kultural dan religius yang lebih luas ketimbang konteks Palestina semata-mata. PB sendiri ditulis dalam bahasa Yunani dan dapat dikatakan bahwa kekristenan lahir di ribaan dunia Hellenistis. PB adalah produk dunia Hellenistis, dunia yang muncul sebagai akibat penaklukan oleh Aleksander Agung pada 356-323 sM.[8] Dalam memahami berita PB, konteks historis, kultural dan religius tersebut tidak dapat diabaikan.

Pusat pemberitaan PB adalah Yesus Kristus. Namun pemberitaan tentang diri-Nya sangat bervariasi. PB sekaligus merupakan kitab dan kumpulan kitab-kitab. PB berisi bermacam-macam kitab, yang ditulis dengan gaya dan panjang yang berbeda-beda, dengan penulis yang berbeda-beda pula. Bahkan jika diteliti dengan seksama, teks-teks itu ditulis dari tempat yang berbeda-beda, waktu yang berbeda-beda dengan isi dan bentuk yang sangat bervariasi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah bahwa semua tulisan PB merupakan literatur religius, yang berisi pemberitaan, nasihat, mitos dan sejarah.

Sebagai sebuah kitab yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus, kita dapat mengatakan bahwa PB adalah satu kesatuan, namun sebagai kumpulan tulisan, harus pula kita akui bahwa di dalamnya terdapat keragaman bentuk sastra, gaya penulisan dan pandangan teologis. Itulah sebabnya, James D.G. Dunn melukiskan bahwa dalam pemberitaan PB terdapat “satu Yesus dengan banyak Kristus.”[9]

Sekalipun kitab-kitab PB mencerminkan beragam pengertian mengenai hakikat iman Kristen, namun semua mempergumulkan satu masalah yang sama, yaitu iman kepada Yesus Kristus, atau tepatnya, iman kepada Allah yang bertindak dan menyatakan diri dalam Yesus Kristus. Semua penulis PB berusaha menghubungkan dan memaknai kehidupan di dunia ini berdasar imannya terhadap Yesus Kristus. Sikap tanggap terhadap satu fakta yang sama, fakta Kristus, diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda, yang satu sama lain tidak harus bertentangan, tetapi saling melengkapi. Karena itu dapat dikatakan bahwa PB menampilkan seluruh spektrum pemaknaan terhadap kekristenan di dunia ini.        

Kolaborasi pendekatan diakhronik dan sinkhronik

Atas nama objektivitas dan nilai keilmiahan, para pembela studi-kritis Alkitabiah menandaskan bahwa cerita-cerita Alkitabiah hanya dapat dipahami dengan tepat secara akademis dan keliru jika cerita-cerita tersebut tidak diletakkan dalam jalinan kultural dan ideologis yang melatar-belakanginya. Memang tidak dapat disangkal, studi-kritis Alkitabiah berusaha meminimalisasi subjektivitas penafsir dalam membaca dan memahami teks-teks Alkitabiah. Namun tidak dapat dikesampingkan bahwa secara imaniah cerita-cerita Alkitabiah itu hanya akan bermakna bagi kehidupan para pembaca saat ini jika mereka langsung berdialog dengannya, sekalipun mereka mungkin tidak mengenal masalah kepenulisannya, makna orisinalnya, maupun penafsiran tradisional yang diwarisi oleh gereja dari masa ke masa. Bagi komunitas imaniah, bagaimana pun PB atau Alkitab secara keseluruhan masih tetap merupakan “komunikasi hidup” Allah kepada umat-Nya.
  
Dalam menjembatani kesenjangan antara teks purba dengan pembaca saat ini, pendekatan diakhronik berusaha memahami teks-teks PB bertolak dari pemaknaan kata-kata atau persitilahan-peristilahan (terminologi-terminologi) pada saat penyusunannya dan peredaksiannya dalam konteks yang berubah dari waktu ke waktu. Pendekatan ini selalu mengandung bahaya terjadinya pemaksaan historis pemikiran atau gagasan penting ke dalam maksud orisinal dan makna ‘harfiah’ Alkitab.

Pendekatan sinkhronik, pada pihak lain, berusaha memahami pesan-pesan teks PB dengan melakukan analisis retorik, kritisisme naratif, kritisisme semiotik, dsb. Dengan berbagai analisis itu, pendekatan sinkhronik berusaha mewujudnyatakan interaksi autentik antara teks-teks purba dengan pembaca modern. Analisis naratif, terutama, tidak hanya membebaskan Alkitab dari historisisme, melainkan juga mencegah terjadinya pereduksian pesan Alkitabiah ke dalam satu kebenaran tertentu. Pendekatan ini berusaha menemukan ulang pesan intrinsik Alkitab berkenaan dengan keselamatan (baca: hidup dalam kondisi berelasi dengan Allah), baik yang bersifat imperatif (mengandung perintah), maupun yang bersifat performatif (yang semestinya dilakukan).

Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan kedua pendekatan di atas, ada baiknya jika dalam memahami pesan-pesan teks-teks PB, atau Alkitab pada umumnya, kita melakukan kolaborasi konstruktif atas interpretasi diakhronik dan sinkhronik. Menganalisis makna sebuah terminologi bertolak dari pemaknaan saat ia digunakan dan pemaknaan dalam keadaan yang berubah dari waktu ke waktu akan memperkaya pemahaman kita, asalkan kita tidak terjebak dalam paham historisisme. Demikian halnya analisis kontekstual dari berbagai segi atas suatu terminologi akan meminimalisasi subjektivitas kita dalam memahami maknanya, asalkan analisis tersebut tidak menjebak kita pada “akademisisme.”

Pendekatan dinamis dan komprehensif

Menurut hemat saya, hermenutika atas teks-teks PB haruslah dilakukan dengan pendekatan dinamis dan komprehensif. Dinamis, dalam pengertian bahwa pembaca saat ini haruslah dibawa ke dalam dialog autentik dengan teks-teks PB. Komprehensif, dalam arti bahwa semua konteks ikut dipertimbangkan. Dalam hal ini ada empat aspek yang terlibat dalam interaksi hermeneutis, yaitu: teks PB yang memiliki konteks orisinal (original context) dengan pesan orisinalnya (original biblical message) dan pembaca saat ini dengan konteks masa kininya (contemporary context) dan pesan Alkitabiah bagi kekinian (biblical message for today).

Kolaborasi pendekatan diakhronik dan sinkhronik sangat membantu kita dalam merekonstruksi original context sedekat mungkin dan menemukan ulang original biblical message setepat mungkin dari suatu teks PB. Sedangkan contemporary context dan biblical message for today merupakan tugas setiap pembaca teks PB (terutama para teolog) untuk sungguh-sungguh berteologi.


                                                                                                                       Jakarta, 04 September 2012


                                                                                                                                   Bambang Subandrijo



[1] Rudolf Bultmann, Form Criticism (terjemahan F.C. Grant, Chicago: Willet,Clark, 1934), hlm. 22.
[2] Lihat Rudolf Bultmann, Jesus and the Word (New York: Scribner’s, 1934), hlm. 9, 12-14; The Theology of the New Testament, Vol. I (New York: Scribner’s, 1951), hlm. 26-28; Jesus Christ and Mythology (London: SCM, 1958), hlm. 16.
[3] Bultmann, Jesus and the Word, hlm. 14; Form Criticism, hlm. 60-62; 71-73.
[4] Lht. John Hick (ed.), The Myth of God Incarnate (London: SCM, 1997), hlm. 1-2; Oskar Skarsaune, Incarnation: Myth or Fact (St, Louis: Concordia Publishing House, 1991), hlm. 12, 14; Chester L. Gillis, Pluralism: A New Paradigm for Theology (Louvain: Peeters Press, 2003), hlm. 73.
[5] Morris, New Testament Theology, hlm. 11.
[6] James D.G. Dunn, Unity and Diversity in the New Testament (Philadelphia, 1977), hlm. 378.
[7] Bdk. Morris, New Testament Theology, hlm. 17.
[8] Norman Perrin & Dennis C. Dulling, The New Testament: An Introduction (New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1982), hlm. 3-4.
[9] James D.G. Dunn, Unity and Diversity in the New Testament: An Inquiry into the Character of Earliest Christianity (Sougthampton: SCM Press Ltd., 1977), hlm. 216 dbr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar