Mengyingkap Teks-teks
Perjanjian Baru
(Pendekatan Sinkhronik dan
Diakhronik)
Bahan Kuliah Minggu II
Meskipun setiap orang ingin
mengetahui dan mempercayai “apa yang sesungguhnya dikatakan PB,” namun usaha ini selalu menimbulkan perdebatan. Perdebatan
sering terjadi bukan karena kita tidak ingin mengetahui apa yang dikatakan PB,
melainkan karena kita tidak selalu sepakat akan makna kata-kata yang
diungkapkan. Memahami apa yang dikatakan PB berarti memahami makna kata-kata yang
disampaikannya. Menurut J. P. Louw, dalam arti luas, tafsiran,
komentar atau bahkan khotbah, sebagian besar terfokus pada makna atau
pengertian kata.
Apakah bahaya makna kata-kata? Bahayanya tidak terletak pada bagaimana kita menggunakan bahasa asli PB
untuk menentukan makna kata-kata yang diungkapkan, melainkan karena kita sering
mengabaikan konteks yang melingkupi penggunaan kata-kata itu. Sebuah kata tidak
memiliki makna spesifik terlepas dari konteks penggunaannya. Eugene Nida mengatakan bahwa tanpa konteks, unit-unit leksikal hanya memaparkan potensi
kata untuk diberi berbagai makna seandainya ditempatkan dalam konteks
penggunaannya. Hanya dalam kontekslah kata-kata akan bermakna. Mempelajari
bahasa Yunani untuk menentukan makna kata-kata yang disampaikan dalam PB merupakan
bagian dari setiap persiapan khotbah. Namun, mempelajari kata-kata tanpa
memperhatikan konteksnya akan merupakan “pemerkosaan” semena-mena atas
kata-kata tersebut.
Meskipun sebuah kata dapat
memiliki beberapa kemungkinan arti, namun ia hanya akan memiliki arti konkret
jika ditempatkan dalam kalimat tertentu. Misalnya, kata “kepala” hanya
akan memiliki arti konkret jika ia digunakan dalam kalimat tertentu. Jika tanpa
konteks atau tanpa kalimat, “kepala” dapat memiliki berbagai arti: bagian tubuh
manusia, pimpinan, direktur atau nama bagian benda-benda tertentu. Namun jika
digunakan dalam sebuah kalimat, misalnya, “Kepalanya sedang pusing,” maka kata
“kepala” baru memiliki arti konkret. Arti yang benar dari kata “kepala” menjadi
jelas, karena konteksnya memberi batasan pengertian.
Pendekatan hermeneutis serupa
juga berlaku untuk mempelajari firman Allah. Leksikon atau kamus hanya mendaftarkan makna potensial kata-kata. Tentu makna yang diberikan belum konkret dan pasti, tidak seperti jika
sebuah kata digunakan dalam konteks tertentu. Jadi, kunci pertama untuk
memahami makna kata adalah mempertimbangkan konteks penggunaannya.
Kunci kedua untuk memahami
makna sebuah kata adalah dengan pendekatan diakhronik dan sinkhronik.
Pendekatan diakhronik
Dalam
menentukan makna sebuah kata/istilah, pendekatan diakhronik
menitikberatkan durasi waktu penggunaan kata/istilah itu. Makna sebuah kata
hanya berlaku dalam interval waktu (khronos) tertentu. Menganggap makna
sebuah kata berlaku tanpa batas waktu adalah sebuah kekeliruan. Kebenaran makna
sebuah kata berada dalam batasan waktu tertentu (masa lalu, masa kini dan masa
yang akan datang). Pada hakikatnya kebenaran makna sebuah kata merupakan
kebenaran diakhronik. Titik tolak interpretasi diakhronik atas sebuah teks
adalah pemaknaan istilah-istilah yang digunakan sejak teks itu ditulis dan
diredaksikan serta pemaknaannya dalam konteks yang berubah dari waktu ke
waktu.
Dalam mempelajari makna sebuah
kata (termasuk etimologinya), pendekatan diakhronik berusaha menentukan makna kata
tersebut dengan cara menganalisis sejarah pemaknaannya. Masalahnya, bahasa asli PB, seperti halnya banyak bahasa yang lain,
bukanlah bahasa statis. Dalam perjalanan sejarah, kata-kata dapat mengalami
perubahan makna. Karena itu, meskipun kata-kata klasik dalam PB sering dimaknai
berdasar studi diakhronik, kita harus hati-hati agar pendekatan diakhronik
tidak lebih dulu menentukan pengertian kita. Dalam karyanya Exegetical Fallacies, D. A.
Carson, mengritik dan menunjukkan bahaya pendekatan diakhronis dan etimologis atas istilah-istilah
dalam PB.
Contoh: Dalam 1 Korintus 4:1, Paulus menggunakan istilah hupēretas
(Øphretaj adalah bentuk
akusatif plural kata benda maskulin Øphrethj, hupēretēs)
untuk melukiskan kedudukannya sebagai pelayanan. Banyak pengkhotbah menggunakan
istilah ini untuk menjelaskan sikap rendah yang diperlukan ketika kita melayani
Kristus. R. C. Trench mempopulerkan gagasan ini dengan menjelaskan
bahwa kata benda hupēretas berasal dari kata kerja eressō, yang berarti "mendayung." Dalam tulisannya, Homer (abad 8 sM) menggunakan kata kerja ini dalam
hubunganya dengan pekerjaan seorang pendayung. Namun dalam PB, hupēretas
digunakan untuk menunjukkan pekerjaan hamba, atau pelayan atau pembantu,
tanpa ada hubungannya dengan pendayung. Penafsir-penafsir lain kemudian
menambahkan analisis etimologis atas metode diakhronik Trench dan menjelaskan bahwa prefix hupo berarti "di bawah." Mereka menyimpulkan bahwa istilah hupēretas berarti "pendayung rendah" atau "pendayung kelas bawah." Dengan dasar ini Leon Morris menyimpulkan bahwa
jika dihubungkan dengan “hamba” istilah ini akan berarti "seorang hamba rendahan." William Barclay berpendapat bahwa hupēretas berarti pendayung
tingkat rendah (pada perahu kuno terdapat tiga lapis dayung).
Tidak dapat disangkal, pendekatan diakhronik ini memberi materi khotbah yang begitu kaya. Pendeta dapat menyamakan kedudukan pelayan Kristen dengan pendayung tingkat
rendah di bagian perahu yang paling bawah. Ia dapat menasihati anggota jemaat
agar menjadi hamba-hamba yang rendah, yang mau turun ke bawah untuk mengerjakan
tugas-tugas yang oleh orang lain dipandang rendah sebagai pekerjaan kasar. Namun demikian, agaknya Paulus tidak menggunakan istilah hupēretas dalam hubungannya dengan “pendayung” sebagaimana digunakan oleh Homer delapan
abad sebelumnya. Bahkan, seandainya pun Paulus membaca karya Homer, “pendayung”
hanya merupakan salah satu kemungkinan arti dari kata itu. Memproyeksikan makna
tersebut ke dalam teks abad pertama berarti “memperkosa”-nya, karena dalam
perjalanan waktu istilah tersebut telah mengalami perubahan makna. Untuk
memahami makna sebuah kata, kita harus menempatkannya dalam konteks
penggunaannya. Untuk memahami teks PB secara tepat, kita harus menempatkan
istilah-istilah yang digunakan dalam konteks abad pertama.
Pendekatan sinkhronik
Pendekatan sinkhronik
berpendapat bahwa kebenaran makna sebuah kata terbatas hanya pada saat kata
tersebut digunakan. Pemaknaan sebuah kata mungkin benar pada saat kata tersebut
digunakan, namun mungkin menjadi tidak benar pada saat yang lain. Karena itu,
untuk memahami makna kata dalam sebuah teks perlu adanya analisis kritis
literer, analisis retorik, kritisisme naratif, kritisisme semiotik (analisis berkenaan
dengan lambang dan tanda), dll.
Pendekatan sinkhronik
memandang PB sebagai unit-unit atau struktur diskursus yang sudah selesai.
Karena itu, untuk memahami teks-teks PB kita perlu memperhatikan konteks
historis, konteks sosio-kultural, konteks sosio-politis, dan kekayaan
simbol-simbol yang digunakan. Dengan cara itu akan terjadi interaksi antara
teks purba dengan pembaca masa kini.
Menurut pendekatan ini, untuk
menentukan makna kata-kata PB secara tepat kita harus menggunakan metode
sinkhronik. Dalam hubungannya dengan telaah Alkitabiah, penelitian sinkhronik berusaha memahami makna kata sesuai dengan arti
semula ketika PB ditulis. Ada tiga langkah yang
diusulkan oleh pendekatan ini:
Pertama, kenali tipe genre sastra alkitabiah yang di dalamnya
sebuah kata digunakan. Dalam surat-surat, sebuah kata mungkin digunakan dalam
arti harfiah, namun jika digunakan dalam sastra apokaliptik seperti kitab
Wahyu, kemungkinan kata tersebut memiliki arti figuratif. Hymne atau puisi
kadang-kadang juga disisipkan dalam sebuah surat (misalnya Filipi 2:5-11).
Mengetahui genre sastra alkitabiah akan menuntun kita kepada makna yang
mendekati kebenaran.
Kedua, mengetahui konteks yang lebih luas yang di dalamnya sebuah kata atau
istilah digunakan. Dalam menentukan makna sebuah kata tugas utama seorang
penafsir adalah menemukan tempat (setting) kata itu dalam suatu ayat, perikop dan kitab.
Ketiga, memahami bagaimana penulis menggunakan
suatu istilah dalam karyanya, terutama jika istilah itu digunakan dengan cara
dan makna yang sama untuk seluruh kitabnya. Namun perlu pula hati-hati, penulis
kemungkinan menggunakan sebuah kata atau istilah dengan makna yang berbeda
dalam suatu konteks dengan konteks yang lain. Misalnya, kita harus hati-hati
memaknai istilah logos dalam tulisan-tulisan Yohanes,
yang tidak selalu berarti “Yesus” (dalam Yoh. 1:1; 1:14; 4:39 dan 8:31—logos
digunakan dengan makna yang berbeda-beda untuk masing-masing ayat).
Bahaya yang lain, orang
kadang-kadang memahami makna suatu istilah yang digunakan Paulus kemudian
menerapkannya untuk tulisan Petrus, tanpa memperhatikan bahwa Petrus
kemungkinan menggunakan istilah itu dengan maksud yang berbeda dengan Paulus.
Seandainya pun Paulus dan Petrus menggunakan istilah itu dengan cara yang sama,
kita tidak boleh gegabah menganggap bahwa istilah tersebut digunakan dengan
makna yang sama oleh kedua rasul itu. Konteks haruslah menjadi faktor penentu
dalam menentukan makna sebuah kata.
Memahami makna sebuah kata
merupakan langkah kritis dalam proses eksegetis. Dengan menentukan konteks,
berarti kita telah meletakkan dasar yang kuat untuk memaknai kata yang
digunakan di dalamnya.
Bacaan lebih lanjut:
- D. A.
Carson, Exegetical Fallacies (Baker, 1996).
- Moises
Silva, Biblical Words and Their Meaning (Zondervan, 1994).
- J.P. Louw, “Reading Text as Discourse” dalam Linguistic and New Testament
Interpretation.
- Eugene Nida, “The Role of Contexts in
Understanding of discourse” dalam Discourse
Analysis and the New Testament.
- Darrell Bock, “New Testament Word Analysis” dalam Introducing New Testament Interpretation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar