Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Selasa, 04 Juni 2013

Mengyingkap Teks-teks Perjanjian Baru (Pendekatan Sinkhronik dan Diakhronik)

Mengyingkap Teks-teks Perjanjian Baru
(Pendekatan Sinkhronik dan Diakhronik)
Bahan Kuliah Minggu II

Meskipun setiap orang ingin mengetahui dan mempercayai “apa yang sesungguhnya dikatakan PB,” namun usaha ini selalu menimbulkan perdebatan. Perdebatan sering terjadi bukan karena kita tidak ingin mengetahui apa yang dikatakan PB, melainkan karena kita tidak selalu sepakat akan makna kata-kata yang diungkapkan. Memahami apa yang dikatakan PB berarti memahami makna kata-kata yang disampaikannya. Menurut J. P. Louw, dalam arti luas, tafsiran, komentar atau bahkan khotbah, sebagian besar terfokus pada makna atau pengertian kata.
Apakah bahaya makna kata-kata? Bahayanya tidak terletak pada bagaimana kita menggunakan bahasa asli PB untuk menentukan makna kata-kata yang diungkapkan, melainkan karena kita sering mengabaikan konteks yang melingkupi penggunaan kata-kata itu. Sebuah kata tidak memiliki makna spesifik terlepas dari konteks penggunaannya. Eugene Nida mengatakan bahwa tanpa konteks, unit-unit leksikal hanya memaparkan potensi kata untuk diberi berbagai makna seandainya ditempatkan dalam konteks penggunaannya. Hanya dalam kontekslah kata-kata akan bermakna. Mempelajari bahasa Yunani untuk menentukan makna kata-kata yang disampaikan dalam PB merupakan bagian dari setiap persiapan khotbah. Namun, mempelajari kata-kata tanpa memperhatikan konteksnya akan merupakan “pemerkosaan” semena-mena atas kata-kata tersebut.
Meskipun sebuah kata dapat memiliki beberapa kemungkinan arti, namun ia hanya akan memiliki arti konkret jika ditempatkan dalam kalimat tertentu. Misalnya, kata “kepala” hanya akan memiliki arti konkret jika ia digunakan dalam kalimat tertentu. Jika tanpa konteks atau tanpa kalimat, “kepala” dapat memiliki berbagai arti: bagian tubuh manusia, pimpinan, direktur atau nama bagian benda-benda tertentu. Namun jika digunakan dalam sebuah kalimat, misalnya, “Kepalanya sedang pusing,” maka kata “kepala” baru memiliki arti konkret. Arti yang benar dari kata “kepala” menjadi jelas, karena konteksnya memberi batasan pengertian.
Pendekatan hermeneutis serupa juga berlaku untuk mempelajari firman Allah. Leksikon atau kamus hanya mendaftarkan makna potensial kata-kata. Tentu makna yang diberikan belum konkret dan pasti, tidak seperti jika sebuah kata digunakan dalam konteks tertentu. Jadi, kunci pertama untuk memahami makna kata adalah mempertimbangkan konteks penggunaannya.
Kunci kedua untuk memahami makna sebuah kata adalah dengan pendekatan diakhronik dan sinkhronik.

Pendekatan diakhronik
Dalam menentukan makna sebuah kata/istilah, pendekatan diakhronik menitikberatkan durasi waktu penggunaan kata/istilah itu. Makna sebuah kata hanya berlaku dalam interval waktu (khronos) tertentu. Menganggap makna sebuah kata berlaku tanpa batas waktu adalah sebuah kekeliruan. Kebenaran makna sebuah kata berada dalam batasan waktu tertentu (masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang). Pada hakikatnya kebenaran makna sebuah kata merupakan kebenaran diakhronik. Titik tolak interpretasi diakhronik atas sebuah teks adalah pemaknaan istilah-istilah yang digunakan sejak teks itu ditulis dan diredaksikan serta pemaknaannya dalam konteks yang berubah dari waktu ke waktu.     
Dalam mempelajari makna sebuah kata (termasuk etimologinya), pendekatan diakhronik berusaha menentukan makna kata tersebut dengan cara menganalisis sejarah pemaknaannya. Masalahnya, bahasa asli PB, seperti halnya banyak bahasa yang lain, bukanlah bahasa statis. Dalam perjalanan sejarah, kata-kata dapat mengalami perubahan makna. Karena itu, meskipun kata-kata klasik dalam PB sering dimaknai berdasar studi diakhronik, kita harus hati-hati agar pendekatan diakhronik tidak lebih dulu menentukan pengertian kita. Dalam karyanya Exegetical Fallacies, D. A. Carson, mengritik dan menunjukkan bahaya pendekatan diakhronis dan etimologis atas istilah-istilah dalam PB.  
Contoh: Dalam 1 Korintus 4:1, Paulus menggunakan istilah hupēretas (Øphretaj adalah bentuk akusatif plural kata benda maskulin Øphrethj, hupēretēs) untuk melukiskan kedudukannya sebagai pelayanan. Banyak pengkhotbah menggunakan istilah ini untuk menjelaskan sikap rendah yang diperlukan ketika kita melayani Kristus. R. C. Trench mempopulerkan gagasan ini dengan menjelaskan bahwa kata benda hupēretas berasal dari kata kerja eressō, yang berarti "mendayung." Dalam tulisannya, Homer (abad 8 sM) menggunakan kata kerja ini dalam hubunganya dengan pekerjaan seorang pendayung. Namun dalam PB, hupēretas digunakan untuk menunjukkan pekerjaan hamba, atau pelayan atau pembantu, tanpa ada hubungannya dengan pendayung. Penafsir-penafsir lain kemudian menambahkan analisis etimologis atas metode diakhronik Trench dan menjelaskan bahwa prefix hupo berarti "di bawah." Mereka menyimpulkan bahwa istilah hupēretas berarti "pendayung rendah" atau "pendayung kelas bawah." Dengan dasar ini Leon Morris menyimpulkan bahwa jika dihubungkan dengan “hamba” istilah ini akan berarti "seorang hamba rendahan." William Barclay berpendapat bahwa hupēretas berarti pendayung tingkat rendah (pada perahu kuno terdapat tiga lapis dayung).
Tidak dapat disangkal, pendekatan diakhronik ini memberi materi khotbah yang begitu kaya. Pendeta dapat menyamakan kedudukan pelayan Kristen dengan pendayung tingkat rendah di bagian perahu yang paling bawah. Ia dapat menasihati anggota jemaat agar menjadi hamba-hamba yang rendah, yang mau turun ke bawah untuk mengerjakan tugas-tugas yang oleh orang lain dipandang rendah sebagai pekerjaan kasar. Namun demikian, agaknya Paulus tidak menggunakan istilah hupēretas dalam hubungannya dengan “pendayung” sebagaimana digunakan oleh Homer delapan abad sebelumnya. Bahkan, seandainya pun Paulus membaca karya Homer, “pendayung” hanya merupakan salah satu kemungkinan arti dari kata itu. Memproyeksikan makna tersebut ke dalam teks abad pertama berarti “memperkosa”-nya, karena dalam perjalanan waktu istilah tersebut telah mengalami perubahan makna. Untuk memahami makna sebuah kata, kita harus menempatkannya dalam konteks penggunaannya. Untuk memahami teks PB secara tepat, kita harus menempatkan istilah-istilah yang digunakan dalam konteks abad pertama.

Pendekatan sinkhronik
Pendekatan sinkhronik berpendapat bahwa kebenaran makna sebuah kata terbatas hanya pada saat kata tersebut digunakan. Pemaknaan sebuah kata mungkin benar pada saat kata tersebut digunakan, namun mungkin menjadi tidak benar pada saat yang lain. Karena itu, untuk memahami makna kata dalam sebuah teks perlu adanya analisis kritis literer, analisis retorik, kritisisme naratif, kritisisme semiotik (analisis berkenaan dengan lambang dan tanda), dll.  
Pendekatan sinkhronik memandang PB sebagai unit-unit atau struktur diskursus yang sudah selesai. Karena itu, untuk memahami teks-teks PB kita perlu memperhatikan konteks historis, konteks sosio-kultural, konteks sosio-politis, dan kekayaan simbol-simbol yang digunakan. Dengan cara itu akan terjadi interaksi antara teks purba dengan pembaca masa kini.
Menurut pendekatan ini, untuk menentukan makna kata-kata PB secara tepat kita harus menggunakan metode sinkhronik. Dalam hubungannya dengan telaah Alkitabiah, penelitian sinkhronik berusaha memahami makna kata sesuai dengan arti semula ketika PB ditulis. Ada tiga langkah yang diusulkan oleh pendekatan ini:
Pertama, kenali tipe genre sastra alkitabiah yang di dalamnya sebuah kata digunakan. Dalam surat-surat, sebuah kata mungkin digunakan dalam arti harfiah, namun jika digunakan dalam sastra apokaliptik seperti kitab Wahyu, kemungkinan kata tersebut memiliki arti figuratif. Hymne atau puisi kadang-kadang juga disisipkan dalam sebuah surat (misalnya Filipi 2:5-11). Mengetahui genre sastra alkitabiah akan menuntun kita kepada makna yang mendekati kebenaran.
Kedua, mengetahui konteks yang lebih luas yang di dalamnya sebuah kata atau istilah digunakan. Dalam menentukan makna sebuah kata tugas utama seorang penafsir adalah menemukan tempat (setting) kata itu dalam suatu ayat, perikop dan kitab.
Ketiga, memahami bagaimana penulis menggunakan suatu istilah dalam karyanya, terutama jika istilah itu digunakan dengan cara dan makna yang sama untuk seluruh kitabnya. Namun perlu pula hati-hati, penulis kemungkinan menggunakan sebuah kata atau istilah dengan makna yang berbeda dalam suatu konteks dengan konteks yang lain. Misalnya, kita harus hati-hati memaknai istilah logos dalam tulisan-tulisan Yohanes, yang tidak selalu berarti  “Yesus” (dalam Yoh. 1:1; 1:14; 4:39 dan 8:31—logos digunakan dengan makna yang berbeda-beda untuk masing-masing ayat).
Bahaya yang lain, orang kadang-kadang memahami makna suatu istilah yang digunakan Paulus kemudian menerapkannya untuk tulisan Petrus, tanpa memperhatikan bahwa Petrus kemungkinan menggunakan istilah itu dengan maksud yang berbeda dengan Paulus. Seandainya pun Paulus dan Petrus menggunakan istilah itu dengan cara yang sama, kita tidak boleh gegabah menganggap bahwa istilah tersebut digunakan dengan makna yang sama oleh kedua rasul itu. Konteks haruslah menjadi faktor penentu dalam menentukan makna sebuah kata.
Memahami makna sebuah kata merupakan langkah kritis dalam proses eksegetis. Dengan menentukan konteks, berarti kita telah meletakkan dasar yang kuat untuk memaknai kata yang digunakan di dalamnya.
Bacaan lebih lanjut:
  • D. A. Carson, Exegetical Fallacies (Baker, 1996).
  • Moises Silva, Biblical Words and Their Meaning (Zondervan, 1994).
  • J.P. Louw, “Reading Text as Discourse” dalam Linguistic and New Testament Interpretation.
  • Eugene Nida, “The Role of Contexts in Understanding of discourse” dalam Discourse Analysis and the New Testament.
  • Darrell Bock, “New Testament Word Analysis” dalam Introducing New Testament Interpretation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar