BEBERAPA CATATAN PENTING
UNTUK MEMAHAMI DAN
MENAFSIRKAN KITAB WAHYU
(Bahan Kuliah VII, Lanjutan)
1. Pengantar
Sementara orang menganggap Wahyu sebagai kitab yang paling kontroversial
dan paling sulit dipahami dalam Alkitab, sehingga menimbulkan banyak penafsiran
atasnya. Reformator Martin Luther, pada mulanya menganggap Wahyu bukanlah kitab
rasuli maupun profetis dan menyatakan bahwa di dalamnya Kristus tidak diajarkan
dan tidak dikenal. Karena itu, Luther menempatkan kitab ini dalam antilegomena
(kata Yunani antilegōmena secara
harfiah berarti “sesuatu yang diperdebatkan”).[1]
Yohanes Calvin menerimanya sebagai kitab kanonik, meskipun di antara
kitab-kitab PB, hanya untuk kitab inilah ia tidak membuat tafsirannya.[2]
Pada abad IV, Gregory
Nazianzus
(329-389), Uskup Agung Konstantinopel dan beberapa uskup yang lain keberatan
untuk memasukkan kitab ini dalam kanon PB, terutama karena kesulitan untuk
menafsirkannya dan bahaya penyalahgunaannya.[3]
Gereja Syria juga menolaknya, karena kitab ini dinilai sangat montanistis.[4]
Pada abad IX, St. Nicephorus I, uskup Konstantinopel, memasukkan kitab ini bersama Apokalupsis Petrus, Surat
Barnabas dan Injil Ibrani, dalam Stikhometri-nya[5] di antara kitab-kitab yang diperdebatkan.
Akhirnya kitab ini dimasukkan ke dalam kitab-kitab kanonik, meskipun merupakan
satu-satunya kitab PB yang tidak dibaca dalam liturgi Gereja Ortodoks Timur.
Berdasar bentuknya, Richard Bauckham berpendapat
bahwa Wahyu dimaksudkan untuk tiga hal, yaitu sebagai penyataan Allah (wahyu, apokalupsis)
melalui Yesus Kristus yang diberikan kepada Yohanes (1:1), sebagai nubuat (1:3) yang dimaksudkan untuk
dibaca keras-keras dalam konteks ibadah Kristen, dan sebagai sebuah surat (1:4-6). Jadi ringkasnya, menurut
Bauckham, Wahyu dapat dilihat sebagai nubuat apokaliptis dalam bentuk sebuah
surat edaran untuk ketujuh jemaat di provinsi Asia Kecil.[6]
Secara keseluruhan, kitab ini termasuk sastrta apokaliptik. Apokalupsis merupakan
jenis sastra khas, yang tidak memiliki padanan dalam sastra modern. Dalam PL
hanya terdapat sebuah kitab apokaliptik, yaitu kitab Daniel,
yang menampilkan beberapa ciri umum sastra abad pertama sebelum dan sesudah
Kristus. Mengenai kitab Wahyu, kita mencatat beberapa hal:
1) Sama seperti sastra apokaliptik pada umumnya, kitab
Wahyu timbul dari konteks historis terjadinya huru-hara besar, penganiayaan dan
penindasan. Menghadapi penindasan berat tersebut, para nabi menantikan keadilan
Allah dalam sejarah. Tulisan apokaliptik lazimnya bernada pesismistis terhadap
terjadinya perubahan dalam sejarah dan hanya menumpukan harapannya pada
tindakan Allah yang radikal di akhir sejarah, ketika Allah akan membinasakan
semua kejahatan dan memulai dunia baru.
2) Sebagai sastra apokaliptik, Wahyu disusun
secara hati-hati dan dengan keahlian tersendiri. Pesannya tidak disampaikan
secara lisan (seperti dalam khotbah nubuatan), melainkan digubah. Jadi, tulisan
tersebut harus memenuhi kaidah tertentu, seperti bentuk, jalan pikiran,
penggunaan bahasa secara kreatif, dll.
3) Seperti sastra apokaliptik pada umumnya, Wahyu
disajikan dalam bentuk penglihatan, mimpi dan pengalaman-pengalaman spiritual
yang lain. Lazimnya tulisan apokaliptik dimaksudkan untuk mengomunikasikan
makna suatu misteri, atau untuk menyatakan rahasia yang telah lama tersembunyi
di masa lampau. Karena itu, kebanyakan sastra apokaliptik ditulis dengan
menggunakan nama pribadi yang telah lama tiada (misalnya: Abraham, Musa,
Henokh) yang mengemban perintah untuk memelihara kitab itu untuk ‘zaman
kemudian.’ Tentu saja, ‘zaman kemudian’ itu dipenuhi pada saat karya itu
ditulis.
4) Gambaran-gambaran
dan simbol-simbol yang digunakan lebih merupakan fantasi daripada realitas dan
bahasanya bersifat samar, metaforis dan sangat simbolis. Simbol-simbol tersebut
tidak diambil dari dunia modern, melainkan dari bahasa, pengalaman dan budaya
purba. Gambaran-gambaran seperti binatang aneh dengan banyak kepala,
makhluk-makhluk aneh yang mengerikan, naga dan kombinasi aneh dari
bentuk-bentuk makhluk yang normal, merupakan gambaran-gambaran yang digunakan
dalam Wahyu. Penyusun menampilkan gambaran-gambaran, yang sesungguhnya tidak
pernah ada dalam realitas, dan hanya menggunakannya sebagai cara menyampaikan
atau mengomunikasikan pesan-pesannya.
5) Sebagai sastra apokaliptik,
Wahyu mengikuti cara penulisan yang terpola sesuai dengan model zamannya. Waktu
dan peristiwa semuanya dikemas secara rapi dan teratur, dengan menggunakan
rangkaian bilangan, orang, atau peristiwa
yang lazim. Bilangan digunakan secara simbolis sebagai sandi, masing-masing
memiliki hubungan dengan abjad tertentu.
Bilangan yang paling sering digunakan adalah
3, 7, 12 dan kelipatannya (misalnya, 144.000). Menurut Bauckham, Wahyu
merupakan sebuah karya sastra yang dirancang untuk dibawakan secara lisan
(1:3); namun, sebagai karya sastra yang kompleks, di dalamnya sarat dengan
makna dan gambaran-gambaran yang berbeda dengan nubuat lisan, yang diucapkan
secara spontan.[7]
6) Sekalipun Wahyu memiliki ciri-ciri sastra apokaliptik klasik,
tidak berarti bahwa pesan dan teologinya
sama dengan tulisan-tulisan apokaliptik tradisional, yang cenderung mengabaikan
pewahyuan Allah yang dinamis dan mengabaikan kreativitas penulisnya.
a. Penulisnya
Pandangan
tradisional
Penulis kitab Wahyu beberapa kali memperkenalkan diri sebagai Yohanes (1:1,
4, 9; 22:8). Penulis juga menyatakan bahwa ia berada dalam pembuangan di Pulau
Patmos, ketika menerima penglihatan pertamanya (1:9; 4:1-2). Akibatnya, penulis
Wahyu sering disebut sebagai Yohanes Patmos. Penulis secara eksplisit
mengalamatkan suratnya kepada
tujuh jemaat di Asia Kecil, yaitu: Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis,
Filadelfia dan Laodikia (1:4, 11). Semua situs ini terletak di wilayah Turki
dewasa ini. Pandangan tradisional mengatakan bahwa rasul Yohanes, yang menulis
Injil Yohanes dan surat-surat Yohanes, telah dibuang di Pulau Patmos di
kepulauan Aegea selama masa pemerintahan kaisar Domitianus, dan di sanalah ia
menulis kitab Wahyu. Mereka yang berpegang pada pendapat ini mengacu pada
beberapa kesamaan antara Injil Yohanes dengan Wahyu: keduanya merupakan karya
soteriologis yang menunjukkan Yesus sebagai ‘Anak Domba;’ keduanya memiliki
kristologi tinggi, yaitu kristologi yang menekankan keilahian Yesus, bukan
kemanusiaan-Nya sebagaimana ditonjolkan oleh Injil-injil Sinoptik. Dalam Injil
Yohanes dan kitab Wahyu, Yesus sama-sama disebut ‘Firman Allah’ (ho Logos tou Theou), sekalipun konteks
Wahyu sangat berbeda dengan konteks Injil Yohanes. ‘Firman’ dalam Wahyu 19:13
dilibatkan dalam penghakiman, sedangkan dalam Yohanes 1:1, ‘Firman’ itu
dilibatkan dalam penciptaan dan penebusan.[8]
Tradisi meyakini bahwa Yohanes menuliskan penglihatannya secara harfiah (1:11;
10:4; 14:3; 19:9; 21:5) dan sesuai peringatan malaikat, untuk menjaga
integritas kitab ini ia tidak menambah atau mengurangi apa yang telah
diterimanya (22:18-19).[9]
Pandangan
bapa-bapa gereja
Sejumlah bapa gereja berpendapat bahwa rasul Yohaneslah penulis kitab
Wahyu. Hal ini diakui oleh Yustinus Martir, Irenaeus (178), Teophilus dari
Antiokhia dan Tertulianus dari Afrika (akhir abad II), Clemens dan Origenes
dari Aleksandria (awal abad III), kemudian juga oleh Methodius, Cyprianus serta
Lactantius. Sementara itu, Dionysius
dari Aleksandria (247) menolak bahwa rasul Yohanes adalah penulisnya berdasar
pertimbangan doktriner, perbedaan pemikiran, bahasa dan gaya penulisannya.
Menurutnya, di Efesus ada dua orang penulis yang bernama Yohanes, yaitu Yohanes
rasul dan Yohanes yang oleh Papias (140) disebut Yohanes ‘tua-tua.’[10]
Eusebius (315) bimbang, karena meragukan bukti-bukti eksternal dan internalnya.
Beberapa kanon, terutama di Gereja Timur, menolak kitab ini, sementara
kebanyakan yang lain menerimanya.
Pandangan
modern
Banyak ahli biblika modern berpendapat bahwa Yohanes Rasul, Yohanes
penginjil dan Yohanes Patmos adalah individu-individu yang berbeda. Hal ini
dapat ditentukan melalui penelitian kritisisme tekstual. Bukti-bukti tertentu
mendukung bahwa Yohanes Patmos hanya menulis kitab Wahyu, tidak menulis Injil
keempat atau pun surat-surat Yohanes, karena beberapa kali penulis Wahyu
menyebut dirinya ‘Yohanes,’ sementara penulis Injil Yohanes tidak pernah
memperkenalkan dirinya secara langsung. Sekalipun kedua karya tersebut menyebut
Yesus sebagai ‘Anak Domba,’ namun secara konsisten keduanya menggunakan kata
Yunani yang berbeda. Injil Yohanes menggunakan kata amnos, sedangkan Wahyu menggunakan kata arnion. Injil Yohanes ditulis dalam bahasa Yunani yang sempurna,
sedangkan Wahyu mengandung kesalahan gramatikal dan gaya bahasa yang tidak
lazim. Hal ini menunjukkan bahwa tidak seperti penulis Injil keempat, penulis
Wahyu tidak begitu akrab dengan bahasa Yunani.[11]
Dalam Anchor Bible, J. Massynberde Ford berpendapat bahwa
ayat-ayat inti kitab ini, yaitu dari bab 4 sampai bab 22, merupakan rekaman
nubuat Yohanes Pembaptis yang masih ada. Ia mencatat, misalnya, bahwa semua
referensi mengenai Domba Allah dalam Injil Yohanes semua berhubungan dengan
Yohanes Pembaptis, dan ia mengaitkannya dengan petunjuk-petunjuk lain dalam
Kitab Wahyu yang mengarah pada Yohanes Pembaptis.[12]
Namun, jika kita membaca Wahyu 1:1, kita temukan
bahwa penulis menyebut dirinya sebagai ‘hamba Allah’ dan ‘saudara’ bagi
orang-orang Kristen yang teraniaya (1:9). Di samping itu, dengan mengatakan
bahwa ia dibuang karena “bersaksi tentang firman Allah dan tentang kesaksian
yang diberikan oleh Yesus Kristus,” secara tidak langsung penulis juga
memperkenalkan diri sebagai seorang ‘nabi’ (1:1; 19:10, “... Karena kesaksian
Yesus adalah roh nubuat”). Hal tersebut diperkuat oleh pernyataannya bahwa ia
bernubuat setelah ‘makan gulungan kitab’ (10:11; bdk. Yeh. 1-3) dan bahwa yang
disampaikannya adalah kata-kata nubuat (1:3; 22:7, 10, 18). Dengan menyebut
diri seorang nabi, maka jelas bahwa Yohanes Patmos tentu bukan rasul Yohanes
dan bukan pula penulis Injil keempat atau surat-surat Yohanes. Mungkin kitab
ini ditulis oleh seseorang yang juga bernama Yohanes dari pulau Patmos, namun
bukan Yohanes Rasul dan bukan pula penulis Injil dan surat-surat Yohanes; atau,
mungkin pula kitab ini merupakan karya pseudonim, yang ditulis oleh seorang
Yahudi Kristen yang berbahasa ibu bahasa Aram, di bawah nama seorang tokoh masa
lalu, seperti kebanyakan sastra apokaliptik yang lain.[13]
b. Waktu penulisan
Menurut tradisi awal, kitab ini ditulis menjelang akhir masa pemerintahan
Domitianus, sekitar 95-96. Namun ada pula yang berpendapat bahwa waktu
penulisannya adalah sekitar 68 atau 69, tidak lama setelah akhir pemerintahan
Nero.[14]
Mayoritas ilmuwan modern sepakat dengan penanggalan ini.[15]
Pendapat bahwa waktu penulisannya lebih kemudian didasarkan pada kesaksian
eksternal bapa gereja Irenaeus (†185), yang menyatakan bahwa ia telah menerima
informasi dari saksi mata yang pernah bertemu muka dengan Yohanes. Namun para
sarjana dewasa ini meragukan bahwa kitab ini ditulis dalam situasi penganiayaan
dan bahwa penganiayaan Domitianus terjadi dalam skala luas.[16]
Beberapa penafsir (misalnya Paul Touilleux, Albert
Gelin, André Feuillet) membedakan dua penanggalan: waktu penerimaan visi (penglihatan),
yang terjadi pada masa pemerintahan Vespasianus, dan waktu pemublikasiannya,
yang terjadi pada masa pemerintahan Domitianus. Menurut teori ini, bentuk yang
sekarang tentu merupakan karya bermacam-macam editor. Namun yang jelas, hingga
kini, waktu penulisan kitab Wahyu masih menjadi perdebatan di kalangan para
sarjana biblika.
Berdasar situasi yang sedang dialami jemaat, yaitu
intensifikasi penyembahan kaisar dan konflik-konflik yang terjadi sehubungan
dengan itu, rupanya lebih masuk akal jika kitab ini ditulis pada akhir masa
pemerintahan Domitianus, kira-kira tahun 95. Gambaran jemaat-jemaat Asia Kecil
mendukung dugaan ini, karena situasi kritis dalam jemaat secara internal dan
ancaman ajaran-ajaran sesat yang dihadapi jemaat mendapatkan konfirmasi dari
surat-surat Deutero Paulin.[17]
2. Bagaimana kitab Wahyu
dipahami?
Paling tidak, kita dapat membedakan tiga macam pandangan teologis yang
sangat menentukan cara pendekatan dalam memahami kitab Wahyu: pandangan
profetis, pandangan spiritualistis dan pandangan historis-kritis.
a.
Pandangan
profetis
Pandangan profetis menganggap Wahyu sepenuhnya merupakan nubuat tentang
akhir zaman, terutama jika dihubungkan dengan kitab Daniel dan bagian-bagian
eskhatologis yang lain dalam Alkitab. Pandangan profetis terbagi dalam tiga
aliran: pandangan preteris, pandangan
futuris, dan pandangan historisis. Pandangan preteris berusaha memahami kitab Wahyu
dalam terang peristiwa-peristiwa abad pertama. Pandangan futuris berusaha memahami sebagian besar peristiwa yang dikisahkan
dalam kitab Wahyu (bab 6 dan seterusnya) sebagai nubuat mengenai akhir zaman.
Pandangan historisis menganggap
peristiwa-peristiwa dalam kitab Wahyu sebagai nubuat mengenai
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dalam rentang sejarah dari abad pertama
hingga kedatangan Kristus yang kedua.
Pandangan preterisme berpendapat bahwa
isi kitab Wahyu merupakan nubuat tentang peristiwa-peristiwa yang telah
digenapi pada abad pertama. Pada umumnya, Yerusalem atau paganisme Romawi, yang
digambarkan dengan metafora “Babel besar” atau “ibu dari wanita-wanita pelacur
dan dari kekejian bumi” (17:5), diidentifikasi sebagai penganiaya gereja.
Harmagedon (16:16) dipahami sebagai penghakiman Allah atas orang-orang Yahudi,
yang dilaksanakan melalui para prajurit Romawi, yang digambarkan sebagai
‘binatang’ (thērion). Sebagian
penganut preteris menganggap fokus
perhatian paruh kedua kitab Wahyu beralih kepada penguasa Romawi,
penganiayaan yang dilakukannya terhadap umat Kristen, dan kejatuhan kekaisaran
Romawi. Mereka menganggap nubuat Wahyu dipenuhi pada 70. Dengan demikian
hadirat Allah yang diam di antara umat manusia dipenuhi. Di samping itu, mereka
berpendapat bahwa kaisar Nero, yang telah mengkambinghitamkan umat Kristen atas
terbakarnya kota Roma, sehingga menyulut gelombang penganiayaan, adalah
binatang buas yang dimaksud dalam 13:18, karena dalam perhitungan gematria Ibrani purba, nama Nerōn Caesar memiliki nilai bilangan
666. Namun dalam beberapa manuskrip abad ke-5 disebutkan bahwa
bilangan itu bukanlah 666 melainkan 616.[18] Perbedaan ini
mungkin disebabkan oleh ejaan nama Nero dalam bahasa Latin (Nero Caesar, kurang satu n, sedangkan n bernilai 50), sehingga total nilai gematrianya adalah 616.[19]
Pandangan futuris menganggap semua atau sebagian
besar nubuat Wahyu adalah mengenai peristiwa yang akan terjadi di masa depan,
menjelang kedatangan Kristus kedua. Kaum futuris memperkirakan kebangkitan
orang mati dan pengangkatan mereka yang masih hidup, di mana umat Kristen
sejati dan anak-anak yang belum dewasa dikumpulkan di sekitar Yesus, akan
terjadi pada saat Kerajaan Allah datang di bumi. Mereka juga mempercayai bahwa
kesengsaraan dahsyat akan terjadi, yakni periode tujuh tahun, ketika orang
percaya di seluruh dunia akan mengalami penganiayaan dan kesyahidan, serta akan
disucikan dan dikuatkan olehnya. Ada perbedaan pendapat mengenai saat
terjadinya pengangkatan orang percaya: sebelum kesengsaraan besar, pada waktu
kesengsaraan sedang berlangsung atau sesudah masa kesengsaraan. Pandangan
futuris ini pertama kali dikemukakan oleh dua orang penulis Katolik, Manuel
Lacunza dan Ribera. Lacunza menulis dengan menggunakan nama samaran ‘Ben Ezra.’
Karyanya, yang populer pada abad XIX dan XX, kemudian dilarang oleh Gereja
Katolik.
Pandangan historisis
menganggap Wahyu sebagai nubuat untuk rentang waktu dari akhir abad pertama
hingga kedatangan Kristus yang kedua. Secara politis, simbol-simbol dalam kitab
ini dimaknai sebagai nubuat mengenai perpecahan tahap demi tahap dan kejatuhan
kekaisaran Romawi, timbulnya perpecahan Eropa di Barat dan bangkitnya kerajaan
Islam di Timur, serta kejatuhan kerajaan Timur ketika Eropa berusaha menyatu
dan mendirikan kembali kekaisaran Romawi. Secara gerejawi, Wahyu dipahami
sebagai nubuat mengenai perluasan gereja, bahwa setelah penganiayaan yang
dialaminya, gereja akan terus berkembang hingga menaklukkan seluruh dunia.
Namun dalam prosesnya, secara bertahap di dalam gereja secara internal
berkembang pula sistem kemurtadan, sehingga orang-orang Kristen sejati akan
menjadi minoritas yang teraniaya. Gereja yang murtad itu dihubungkan dengan
simbol ‘ibu dari wanita-wanita pelacur’ dan ‘Babel besar.’ Gereja murtad ini merupakan
sistem antikris yang ada dalam sejarah, bukan hanya muncul di akhir zaman
seperti pandangan futuris. Beberapa penulis Protestan menggunakan interpretasi
ini sebagai dasar polemiknya melawan Katolik. Banyak penulis Katolik abad IV
dan V menerapkan gagasan ini pada kemurtadan di masa depan, yang akan timbul
dalam gereja Katolik. Sebagian yang lain menganggap hal tersebut sudah terjadi
dengan munculnya sekte-sekte akibat pertentangan ajaran dalam gereja.
b.
Pandangan
spiritualistis
Pandangan ini menekankan makna spiritual di balik pewartaan kitab Wahyu.
Penglihatan-penglihatan yang dipaparkan dalam kitab ini dipahami sebagai
ungkapan kebenaran rohani yang kekal, yang selalu dinyatakan di sepanjang
sejarah. Dalam pandangan ini, pewartaan kitab Wahyu selalu dimaknai secara allegoris. Gambaran-gambaran yang ada di
dalamnya dianggap sebagai allegori peristiwa-peristiwa di akhir zaman, atau
juga allegori bagi peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi pada masa kini.
c.
Pandangan
historis-kritis
Pandangan ini berusaha memahami kitab Wahyu dengan pendekatan
historis-kritis. Menurut pandangan ini, pesan kitab Wahyu tidak mungkin
dipahami tanpa analisis historis atas latar belakang penulisannya.
Bahasa-bahasa apokaliptik yang digunakan hanya dapat dipahami secara tepat jika
latar belakang kontekstualnya diungkap dengan seksama. Pendekatan historis-kritis,
yang sejak akhir abad XVIII menjadi dominan di kalangan ilmuwan biblika, berusaha memahami Wahyu dalam
konteks historis abad pertama dalam genre
literatur apokaliptik Yahudi dan Kristen.
Namun, menurut pandangan ini, dalam beberapa hal,
kitab Wahyu berbeda dengan teks-teks apokaliptik Yudaisme, karena: (1) Wahyu
diduga bukan pseudonim dan berbentuk sebuah surat yang ditujukan kepada tujuh
jemaat di Asia Kecil. (2) Kitab ini penuh dengan ungkapan eskhatologi apokaliptik
dan menggambarkan gerakan apokaliptik dalam konteks penganiayaan di luar
Palestina. (3) Kitab ini merupakan contoh yang paling jelas mengenai interaksi
yang demikian kompleks antara sejarah, mitos, pemberitaan dan paranesis.
Yohanes Patmos mengaku hidup sezaman dengan
peristiwa-peristiwa yang ditulisnya. Ia tidak mengklaim bahwa dirinya
menuliskan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi di masa lalu, atau
menubuatkan peristiwa-peristiwa yang sekarang sedang terjadi. Jadi, otoritasnya
tidak berasal dari tokoh terkenal masa lalu yang dengan tepat memprediksikan
hal-hal yang terjadi di masa kini, melainkan dari Yesus Kristus yang
kemartiran-Nya dikukuhkan di zaman akhir dan menjadi dasar pemahaman akan
kemartiran yang terjadi sekarang ini. Jadi, penulisnya benar-benar merujuk pada
peristiwa-peristiwa kontemporer yang disaksikan dan dialaminya. Kitab Wahyu
benar-benar dialamatkan untuk ketujuh jemaat di Asia Kecil waktu itu. Penulis
menyatakan bahwa darah para martir sudah mulai ditumpahkan (2:13; 6:9); hari
pencobaan mulai mengancam semua umat Kristen (3:10); kaisar menuntut
penyembahan dirinya sebagai dewa (13:4, 12-17; 16:2; 19:20), suatu tuntutan
yang harus ditolak oleh umat Kristen (14:9-12). Pernyataan bahwa ‘waktunya
sudah dekat’ benar-benar dipahami secara harfiah oleh komunitas orang-orang
percaya saat itu. Tulisan ini dimaksudkan sebagai peringatan agar jemaat tidak
mengikuti pola hidup masyarakat Yunani-Romawi waktu itu, yang oleh penulis
dilukiskan sebagai bersifat hewani, demonis dan akan menerima penghakiman
ilahi.
Bukti internal mendukung bahwa Wahyu ditulis dalam
periode penganiayaan umat Kristen di Asia Kecil, terutama disebabkan oleh
tuntutan kaisar agar ia disembah sebagai dewa. Ungkapan-ungkapan apokaliptik
digunakan untuk menggambarkan secara simbolik peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dalam 17:10 dinyatakan serangkaian penguasa-penguasa Romawi, dan agaknya penulis hidup dalam masa
pemerintahan kaisar yang keenam. Keenam kaisar yang disebutkan itu mulai dari
Agustus hingga Vespasianus yang memerintah pada 70-79, dengan menghilangkan
tiga nama kaisar, yang hanya beberpa saat memerintah, yaitu Galbo, Otho dan
Vitellius. Namun secara keseluruhan, dugaan ini tidak begitu cocok dengan
keadaan yang tersirat dalam kitab ini. Kemungkinan lain, ‘raja-raja’ itu
menunjuk pada kaisar-kaisar, yang oleh Senat Romawi dianggap sebagai dewa,
yaitu: Yulius Caesar, Agustus, Claudius, Vespasianus, Titus, dan yang keenam,
Domitianus, yang menuntut penghormatan dirinya sebagai dewa.[20]
Seperti telah disebut di depan, yang dimaksud
binatang dengan jumlah bilangan 666 dalam 13:18 kemungkinan adalah Nero, yang
telah menganiaya umat Kristen di Roma, yang dijadikannya kambing hitam atas
terbakarnya kota Roma. Umat Kristen PB tentu ingat akan penganiayaan yang telah
dilakukan Nero dengan sangat kejam itu. Namun, karena penganiayaan itu terbatas
di kota Roma dan yang menjadi persoalan bukanlah penyembahan kaisar, maka
umumnya disepakati bahwa bilangan 666 dalam ayat ini menunjuk kepada
kepercayaan bahwa Nero akan bangkit kembali dan akan menyerbu dari Timur (bdk.
13:3, 12, 14; 17:8, 11). Agaknya, Domitianus dianggap sebagai kebangkitan Nero,
karena ia adalah seorang megalomania yang sangat sombong, yang dengan keras
menuntut penyembahan dirinya dan dengan kejam memaksa seluruh warga negara
Romawi memenuhi kehendaknya. Domitianuslah yang membuang Yohanes ke pulau
Patmos pada 95, yang akhirnya dibebaskan sekitar delapan bulan kemudian, ketika
Nerva menjadi kaisar. Meski tidak dapat dipastikan, kebanyakan sarjana sepakat
bahwa penganiayaan jemaat dalam kitab Wahyu terjadi di bawah pemerintahan
Domitianus.
3. Simbolisme kitab Wahyu
Sifat simbolis kitab Wahyu sudah tersirat sejak awal. Hal ini tampak dari
kata kerja yang digunakan dalam Wahyu 1:1, yaitu sēmainō (infinitifnya, sēmainein),
yang secara harfiah berarti ‘menandakan’ atau ‘memberitahukan’ (to signify). Kata kerja ini erat berhubungan dengan kata
benda sēmeion yang berarti ‘tanda’
atau ‘simbol.’ Kata kerja sēmainō
menunjukkan metode komunikasi yang digunakan untuk memberitahukan suatu
kebenaran secara simbolis, figuratif atau imajinatif, bukan secara definitif
(metode seperti ini lazimnya digunakan dalam nubuat). Sēmainō merupakan istilah teknis yang menyiratkan komunikasi ilahi kepada
manusia dalam terminologi simbolis. Karena itu, maksud yang sebenarnya
kadang-kadang tidak sepenuhnya dapat dipahami, terlebih bagi orang-orang modern
yang sudah berada jauh dari peristiwanya.
Dalam usahanya memahami simbolisme kitab Wahyu,
Merril C. Tenney menggolongkan lambang-lambang dalam kitab ini ke dalam tiga
kategori: (1) simbol-simbol yang secara definitif dijelaskan dengan
istilah-istilah yang ekivalen; (2) simbol-simbol yang tidak dijelaskan tetapi
diambil dari latar belakang PL; dan (3) simbol-simbol yang berhubungan dengan
penggunaannya dalam sastra apokaliptik atau dalam paganisme Yunani waktu itu.[21]
Sekalipun tetap samar-samar dan tidak definitif,
simbol-simbol yang termasuk dalam kategori petama pada umumnya relatif dapat
dipahami. Simbol-simbol itu antara lain:
a) Tujuh bintang yang diartikan sebagai
‘malaikat’ dari tujuh jemaat (1:20). Dalam hal ini, ‘malaikat’ juga merupakan
kata simbolis untuk para pemimpin jemaat (mungkin majelis jemaat).
b) Tujuh kaki dian, yaitu tujuh jemaat di
Asia Kecil (1:20).
c) Tujuh obor menyala-nyala, yaitu tujuh Roh
Allah (4:5). Bilangan tujuh dipahami sebagai lambang kesempurnaan dan dalam
hubungannya dengan Roh Allah, titik beratnya bukanlah jumlah secara aritmatis,
melainkan kualitas kesempurnaan-Nya.
d) Cawan pedupaan adalah doa orang-orang
kudus (5:8).
e) Orang-orang yang memakai jubah putih
adalah mereka yang telah lolos dari kesusahan besar (7:13-14).
f) Naga besar, si ular tua, adalah simbol
Iblis (diabolos) atau setan (satanas) yang menyesatkan seluruh dunia
(12:9).
g) Tujuh kepala binatang adalah tujuh gunung.
Dalam hal ini, gunung sendiri merupakan simbol yang melambangkan kekuasaan
kekaisaran Romawi (17:9).
h) Sepuluh tanduk adalah sepuluh raja
(17:12).
i)
Air
adalah bangsa-bangsa, rakyat banyak, kaum dan bahasa (17:15).
j)
Perempuan
adalah kota besar yang memerintah raja-raja bumi; kemungkinan yang dimaksudkan
adalah kekaisaran Romawi (17:18).
Dalam kitab Wahyu, simbol-simbol di atas hampir selalu digunakan dengan
makna yang tetap. Naga, misalnya, selalu digunakan sebagai simbol Iblis.
Simbol-simbol yang termasuk dalam kategori kedua
adalah simbol-simbol yang berlatar belakang PL, yang konteksnya dapat menolong
kita untuk memahami maksudnya. Simbol-simbol tersebut antara lain:
a) Pohon kehidupan (2:7, 22:2; bdk. Kej.
3:22)
b) Manna yang tersembunyi (2:17; bdk. Kel.
16:31; Neh. 9:20; dll.)
c) Tongkat besi (2:27; bdk. Kel. 4:20; Mzm.
23:4; Yes. 10:5; Mi. 7:14)
d) Bintang timur (2:28; bdk. Bil. 24:17; Yes. 14:12)
e) Kunci Daud (3:7; bdk. Yes. 22:22)
f) Makhluk hidup (4:7-9; Kej. 1:20, 21; Mzm. 145:21;
Yeh. 1:5)
g) Empat penunggang kuda (6:1-3; bdk. Kel.
15:1, 21; Am. 2:15)
h) Malaikat yang kuat (10:1-3; Kej. 24:7;
48:16; Kel. 23:20; Dan. 3:28)
i)
Binatang
pertama yang keluar dari dalam laut (13:1-10, bdk. Dan. 7:4-6).
j)
Binatang
kedua yang keluar dari dalam bumi (13:11-18, bdk. Ul. 13:2-4).
Penggunaan PL dalam Wahyu, paling tidak, menunjukkan adanya hubungan di
antara keduanya. Misalnya, pohon kehidupan dalam 2:7 dan 22:2 mengingatkan kita
pada Kejadian 3:22, ketika manusia diusir dari taman Eden, sehingga tidak dapat
menggapai lagi pohon kehidupan. Dalam Wahyu dikatakan bahwa buah pohon
kehidupan dari Firdaus Allah itu akan dianugerahkan kepada mereka yang menang.
Daun-daun pohon itu berkhasiat sebagai obat untuk menyembuhkan bangsa-bangsa.
Contoh lain, binatang yang dilukiskan dalam Wahyu 13, mengingatkan kita pada
gambaran dalam Daniel 7, sekalipun terdapat perbedaan sudut pandang di antara
keduanya. Penulis kitab Daniel menulis dari sudut pandang umat Yahudi, bahwa
penderitaan yang akan mereka alami di bawah pemerintahan kafir akan menyebabkan
kedatangan Mesias. Wahyu ditulis dalam masa pemerintahan kaisar Romawi
terakhir, setelah persemakmuran Yahudi dihancurkan. Penulis mengambil gambaran
kitab Daniel untuk melukiskan penguasa Romawi waktu itu. Sebagaimana umat
Yahudi menantikan kedatangan Mesias, demikianlah jemaat yang berada dalam
penderitaan itu menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali.
Simbol-simbol kategori ketiga adalah simbol-simbol
dalam Wahyu yang digunakan tanpa penjelasan. Usaha untuk memaknai simbol-simbol
ini relatif sulit. Untuk memahaminya, simbol-simbol tersebut harus diletakkan
secara tepat dalam konteksnya. Itupun masih mengandung kemungkinan adanya
perbedaan interpretasi. Simbol-simbol itu antara lain:
a) Batu putih (2:17).
b) Sokoguru atau pilar (3:12)
c) Tua-tua (4:4-6).
d) Meterai (5:1; 6:1-17)
e) Dua saksi (11:3-5)
f) Perempuan berselubung matahari (12:1, 2,
14-16)
g) Kilangan anggur (4:20; 19:15)
h) Lautan api (19:20)
i)
Tahta
putih yang besar (20:11)
j)
Kota
Allah (21:2-4)
Meskipun tidak teridentifikasi secara jelas, entah oleh konteksnya secara
langsung atau oleh hubungannya dengan PL, simbol-simbol ini tidak sepenuhnya
tidak jelas. Dalam beberapa hal, simbol-simbol yang tidak kita kenal tersebut
dapat dipahami berdasar penggunaannya dalam kebiasaan setempat, yang bagi
pembaca utamanya cukup jelas maksudnya.
Misalnya, simbol ‘batu putih’ (psēfos leukē) dalam 2:17. Dalam PL tidak
kita temukan preseden mengenai simbol ini dan konteksnya pun tidak memberi
penjelasan mengenai maknanya. Karena itu, simbol ini dimaknai bermacam-macam.
Dalam tradisi Aram, psēfos digunakan
sebagai semacam kartu suara dalam pemungutan suara, atau sebagai tiket bebas
untuk masuk ke tempat hiburan. Di samping itu, psēfos leukē juga digunakan sebagai semacam jimat, yang di atasnya
diukir rumusan rahasia, yang dihubungkan dengan Urim dan Tumim (Kel. 28:30; Im.
8:8).[22]
Namun rupanya, batu putih dalam ayat ini merupakan simbol janji pemeliharaan
Allah atas orang beriman. Nama yang ditulis di atasnya menggambarkan hubungan
yang erat antara Allah dengan orang beriman. Jadi, batu putih yang diukir
dengan nama penerimanya melambangkan jaminan perkenan Allah dan kunci untuk
memasuki persekutuan dengan-Nya.
Simbol ‘sokoguru’ (stulos, 3:12) diambil dari dunia arsitektur sezaman. Tiap kota
dalam dunia Romawi pasti memiliki kuil pemujaan, dengan tiang utama sebagai
penopang atapnya. Sokoguru merupakan bagian utama dari suatu struktur bangunan,
bukan saja untuk memperindah bangunan itu, melainkan juga untuk menjaga
stabilitasnya. Dalam Wahyu, orang beriman disimbolkan sebagai sokoguru Bait
Allah, dibangun secara permanen dalam struktur dan memiliki porsi tanggung
jawab untuk memelihara ibadah kepada Allah.
Dalam struktur kepemimpinan Yudaisme, jabatan
(sebutan?) ‘tua-tua’ atau ‘penatua’ (presbuteros)
merupakan salah satu unsur yang cukup memiliki otoritas, baik secara politis
maupun religius, dan sangat dihormati, sejajar dengan para ahli Taurat (Mat.
26:57; Luk. 20:1; 22:52). Jabatan ini kemudian juga digunakan dalam jemaat
Kristen (Kis. 14:23; 16:4; 20:17), dengan kedudukan yang lebih sentral, yaitu
sebagai pemimpin jemaat, yang bertanggung jawab untuk memimpin dan
menggembalakan jemaat. Rupanya, dua puluh empat tua-tua dalam Wahyu 4:4-6 itu
secara simbolik mewakili seluruh umat Allah, yang mencakup baik ‘umat Allah
yang lama’ (Israel) maupun ‘umat Allah yang baru’ (gereja); seakan-akan duabelas
di antaranya berasal dari Israel dan duabelas yang lain dari jemaat Kristen. Di
hadapan Allah, mereka tampak selalu menyembah Dia, bersama-sama dengan para
penyembah lainnya, semua makhluk hidup dan para kherubim (4:4, 10; 7:11, 13).
Arti ‘meterai’ (sfragis, sfragidos) dalam
pasal 6 dapat dilacak dari penggunaannya dalam pasal 5, yaitu untuk
memeteraikan gulungan kitab (5:1). Pada masa itu, Kitab Suci terbuat dari
gulungan papirus. Namun, Kitab Suci yang disebutkan oleh penulis Wahyu
merupakan buku yang istimewa, karena ditulisi di sebelah dalam dan di sebelah
luarnya. Lazimnya, gulungan papirus hanya ditulisi di salah satu sisinya. Kalau
sisi yang lain juga ditulisi, kemungkinan karena bahan yang harus ditulis
demikian banyak, sehingga tidak cukup ditulis di satu sisi saja, atau, kalau
tidak, mungkin sisi yang lain ditulisi dengan judul kitab itu. Kalau gulungan
kitab itu ditulis di kedua sisi dan kemudian disegel dengan tujuh meterai,
tentu kitab itu merupakan dokumen yang tidak lazim dan amat penting. Lazimnya,
dokumen yang dimeteraikan merupakan wasiat, yang hanya boleh dibuka oleh ahli
waris yang berhak. Dengan membuka segelnya, si pewaris menunjukkan haknya atas
kekayaan yang termuat dalam wasiat itu. Karena Kristus sendiri yang berhak
membuka meterai gulungan kitab itu, maka Dialah sesungguhnya pewaris wasiat
Allah, yang diberi kuasa untuk memerintah semesta alam melalui karya
penebusan-Nya. Semesta alam yang selama ini dirampas oleh Iblis, kini diambil
alih oleh Yesus, sebagai ahli waris yang berhak.
Mengenai ‘dua saksi Allah’ (catatan: kata Yunani martusin adalah bentuk datif plural dari
kata benda martus, bentuk nominatif
tunggal, yang berarti ‘saksi,’ 11:3-5). Meskipun tidak ada penjelasan eksplisit
bahwa ‘dua saksi’ tersebut berhubungan dengan gagasan PL, namun berdasar
pernyataannya bahwa “mereka mempunyai kuasa menutup langit, supaya jangan turun
hujan selama mereka bernubuat; dan mereka mempunyai kuasa atas segala air untuk
mengubahnya menjadi darah, dan untuk memukul bumi dengan segala malapetaka,
setiap kali mereka menghendakinya,” (11:6) dan pengalaman naik ke surga
(11:12), rupanya yang dimaksud dengan ‘dua saksi’ tersebut adalah Musa dan
Elia. Wahyu 11:6 mengingatkan kita pada cerita keluaran dari Mesir, tatkala
Allah menimpakan bala atas Firaun dan bangsa Mesir; sedangkan Wahyu 11:12
mengingatkan kita pada pengalaman Elia dalam 2 Raja-raja 2:11. Dugaan ini
diperkuat dengan Maleakhi 4:4-6 yang menyebutkan kedua tokoh ini sebagai
teladan bagi umat Israel, yang sedang mengalami dekadensi moral.
Kita temukan dua gambaran tentang ‘perjamuan,’
yaitu dalam Wahyu 19, ayat 9 dan 17. Kedua perjamuan itu sangat kontras satu
sama lain. Perjamuan pertama adalah perjamuan yang didasari kasih, sedangkan
perjamuan kedua menggambarkan penghancuran akibat pemberontakan. Perjamuan
pertama adalah perjamuan kawin Anak Domba yang disediakan untuk orang-orang
kudus, sedangkan perjamuan yang kedua merupakan malapetaka bagi mereka yang
menolak-Nya. Namun kedua perjamuan itu sama-sama merayakan kemenangan Kristus
atas kuasa jahat.
Lambang ‘kilang anggur’ dalam 4:20 dan 19:15
diambil dari kehidupan sehari-hari, yang telah akrab bagi para pembacanya.
Gambaran ini melukiskan penghancuran para musuh Allah. Sama seperti buah-buah
anggur yang diperas dalam pengilangan, demikianlah musuh-musuh Allah akan
dihancurkan dalam ketidakberdayaan. Sekalipun secara tidak langsung dapat
dihubungkan dengan Yesaya 63:2-3, namun rupanya gambaran ini lebih didasarkan
pada pengetahuan umum ketimbang pada PL.
‘Lautan api’ (19:20; 20:10, 14-15; 21:8) tidak
memiliki kesejajaran dengan gambaran-gambaran dalam PL, namun berhubungan
dengan tokoh-tokoh dalam mitologi dan literatur apokaliptik. Rupanya para
pembaca Wahyu sudah akrab dengan kisah-kisah mitologis, sebagaimana terdapat
dalam kitab Henokh. Penghukuman dengan lautan api merupakan gagasan yang sudah
diterima dalam literatur apokaliptik. Kemungkinan gambaran ini diilhami oleh
letusan gunung Vesuvius pada 79, yang aliran laharnya telah meluluhlantakkan
kota Herculaneum.
‘Tahta putih yang besar’ (20:11) bukanlah gambaran
yang diambil dari PL. Memang, Daniel 7:9 berbicara mengenai yang Lanjut Usia,
yang pakaiannya putih bersih seperti bulu domba dan tahtanya dari nyala api,
dan kitab Henokh berbicara mengenai gunung yang puncaknya sampai ke surga,
seperti tahta Allah. Namun tidak ada hubungan langsung antara gambaran dalam
kitab Wahyu dengan gambaran dalam kitab Daniel maupun Henokh. Yang jelas, tahta
itu melambangkan kedaulatan, kuasa penghakiman dan hak prerogratif Allah. Warna
putih menyimbulkan kekudusan-Nya, yang sama sekali kontras dengan kuasa jahat.
Di samping itu, secara keseluruhan, lambang tersebut juga menyimbolkan
keterbatasan pikiran manusia di hadapan Allah yang tak terpahami, serta
kemenangan kebenaran dalam penghakiman akhir yang adil dan benar.
Kota Allah melambangkan komunitas umat yang berada
dalam damai sejahtera dan kehidupannya tertata seturut dengan kebenaran Allah.
Jadi, Yerusalem Baru adalah representasi umat Allah, yang satu sama lain
dipersekutukan dalam damai sejahtera kekal.
4. Gagasan teologisnya
a. Perkataan profetis
Dalam membicarakan kepenulisan Wahyu telah disinggung bahwa penulis juga
menyatakan diri sebagai nabi. Hal ini penting, karena dengan menyebut dirinya
seorang nabi, maka perkataan yang disampaikannya juga berisi bentuk-bentuk
tradisional nubuat yang sering diwarnai oleh gagasan apokaliptik, pemberitahuan
tentang penghakiman (2-3); tindakan-tindakan simbolis seperti makan gulungan
kitab (10:8-11); tujuh berkat (1:1; 14:3; 16:5; 19:9; 20:6; 22:7, 14); firman
dan janji-janji Allah (1:8; 16:5; 21:5-8); penafsiran atas penglihatan melalui
perantara atau nabi sendiri (1:20; 7:13-17; 14:4-5; 17:7-18; 19:8) dan lain
sebagainya.
Di samping itu, dalam Wahyu juga terdapat sejumlah
komponen lain yang menarik. Kitab ini tidak hanya berisi bahan-bahan dan
bentuk-bentuk apokaliptik serta profetis, melainkan juga liturgis, mitis dan
paranesis. Di dalamnya terdapat hymne (misalnya, 4:1-11; 5:9-12); trishagion
(“Kudus, kudus, kudus” 4:8); doksologi (1:6; 4:9; 5:13-14; 7:12); pujian (4:11;
5:9-10, 12); ucapan syukur (11:17-18); tanggapan amin dan haleluya (19:1;
22:20); ramalan kesengsaraan (12:12b); ratapan penguburan (18:1-24); kutukan
(22:18-20), dlsb. Di dalamnya tampak bahasa mitos, di mana langit digambarkan
berada di atas, sedangkan bumi berada di tengah dan neraka berada di bawah
bumi. Terdapat pula sejumlah mitos tradisional seperti: kelahiran anak ilahi
dan usaha untuk membinasakannya (12:1-6); perkawinan suci Anak Domba dan
pengantin perempuannya (19:6-10); kemenangan penghulu malaikat (Mikhail) dan
para pengikutnya atas naga purba beserta malaikat-malaikatnya (12:7-9);
prajurit ilahi (yang dalam seluruh kitab Wahyu digambarkan sebagai Anak Domba
yang mati syahid untuk memenangkan alam semesta dan memerintahnya dari tahta
kemuliaan-Nya); mitos peperangan (terutama 19:11-22:9); dan kota surgawi
(21:9-22:5). Bahan-bahan paranesis terdapat, baik dalam perintah-perintah
profetis, maupun dalam daftar kebajikan dan keburukan (misalnya 9:20-21;
13:4-8; 14:4-5).
b. Tentang Allah
Penulis Wahyu menyusun tulisannya dalam horison Kerajaan Allah yang telah
dimulai dan sedang menuju kesempurnaannya. Peran Allah selaku Raja dan Hakim,
menentukan seluruh gagasan teologis penulis. Ia berpikir bahwa sejarah dunia
ini akan segera berakhir. Tindakan kreatif Allah pada mula kala (4:11; 10:6;
14:7) berhubungan dengan tindakan eskhatologis-Nya, karena itu, Allah
berfirman, “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (21:5). Iblis dalam
bentuk duniawinya sebagai ‘naga’ (12:12-13) untuk sementara dizinkan merundung
gereja, karena Allah akan segera datang (bdk. 1:4, 8; 4:8; 22:6-7). Sebagai pantokratōr (Yang Mahakuasa, 1:8; 4:8;
11:17; 15:3; 16:7, 14; 19:6, 15; 21:22), Allah akan menyelenggarakan
“penghakiman-Nya yang adil dan benar” (15:3; 16:5-7), akan menghan-curkan sosok
demonis kekaisaran Romawi dan semua orang yang tidak beriman. Orientasi
teosentris kitab Wahyu secara konsisten mengikuti gagasannya tentang Allah
sebagai Raja dan Hakim yang Mahakuasa.
c. Kristologinya
Dalam kanon PB, Luther menempatkan Wahyu sebagai kitab yang kurang penting,
dengan alasan bahwa ia tidak menemukan nama Kristus di dalamnya. Ia menganggap Wahyu sebagai
nubuat bisu, yang tidak berkata apa-apa untuknya. Calvin bersikap lebih lunak,
namun toh ia tidak pernah menulis tafsiran atasnya, sedangkan ia membuat
tafsiran hampir atas seluruh kitab dalam PB. C.H. Dodd mengatakan bahwa Allah
dalam Wahyu sulit disebut sebagai Bapa Tuhan Yesus Kristus, dan dalam Wahyu
tidak terdapat pemberitaan mengenai Mesias yang berkelana untuk berbuat baik,
menyembuhkan orang sakit dan menolong yang tertindas, sebagaimana kerygma
perdana.[23]
Dalam berusaha melacak gagasan kristologi Wahyu,
Donald Guthrie mendekatinya dari tiga sudut pandang: berdasar cara Wahyu menampilkan
Kristus secara visual, berdasar bermacam-macam gelar yang dikenakan kepada
Yesus dan berdasar fungsi yang dilakukan-Nya.[24]
Berdasar cara Wahyu menampilkan Yesus, dapat dilihat bahwa pasal pertama Wahyu
didominasi oleh penglihatan mengenai seseorang serupa Anak Manusia, yang
berdiri di tengah-tengah kaki dian, berpakaian jubah yang panjangnya sampai di
kaki dan dadanya berlilitkan ikat pinggang dari emas. Rambut kepala-Nya putih
bagaikan bulu yang putih metah, mata-Nya bagaikan nyala api, dan kaki-Nya mengkilap
bagaikan tembaga membara di perapian; suara-Nya bagaikan gemuruh air bah; di
tangan kanan-Nya Ia memegang tujuh bintang dan dari mulut-Nya keluar sebilah
pedang tajam bermata dua, dan wajah-Nya bersinar-sinar bagaikan matahari yang
terik (Why. 1:13-16; bdk. Dan. 7:9). Dalam bagian pengantar, Kristus disebut
sebagai Dia yang memiliki tujuh Roh Allah (3:1); Yang Kudus, Yang Benar, yang
memegang kunci Daud (3:7); Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari
ciptaan Allah (3:14). Dalam Wahyu 14:14-16, Yesus digambarkan sebagai seseorang
yang serupa dengan Anak Manusia duduk di atas awan dengan mahkota emas di
kepala-Nya dan sabit tajam di tangan-Nya. Sedangkan dalam 19:11-21, Yesus
digambarkan sebagai prajurit yang menang dan bernama ‘Yang Setia dan Yang
Benar’ (19:11), ‘Firman Allah’ (19:13), ‘Raja segala raja dan Tuan atas segala
tuan’ (19:16). Di sini kita menemukan penyataan tentang keadaan Kristus di
akhir sejarah. Semua gambaran itu menampilkan sosok Kristus yang ditinggikan
sebagai yang Mahatinggi.
Wahyu mengenakan beberapa gelar untuk Yesus. Nama
‘Yesus’ kadang-kadang disebut tanpa tambahan, kadang-kadang dirangkai dengan
‘Kristus.’ Namun, ‘Yesus’ sebagai pernyataan nama diri (dalam kasus nominatif), hanya terdapat dalam
22:16; selebihnya, kebanyakan dalam kasus
genetif (mis. 14:12; 12: 17; 17:6; 19:10; 20:4). Sebutan ‘Yesus Kristus’
hanya dipakai tiga kali, semuanya dalam pasal 1 (ayat 1, 2 dan 5). Gelar ‘ho Kristos,’ ‘Kristus’ dengan kata
sandang tentu (definite article)
muncul empat kali (11:15-19; 12:10-12 dan dua kali dalam 20:4-6). Gelar ini
dikenakan berkenaan dengan pemerintahan Allah di masa depan, yang dilaksanakan
melalui ‘yang diurapi’ itu. Gelar paling populer yang digunakan Wahyu bagi
Yesus adalah ‘Anak Domba’ (digunakan 29 kali). Hal ini menunjukkan konsepsi
kristologis yang dominan dalam Wahyu. Gambaran ini berlatar belakang gagasan apokaliptik
Yahudi. Umat Allah dilukiskan sebagai kawanan domba Allah. Namun Anak Domba
Allah yang digambarkan dalam Wahyu bukanlah anak domba biasa. Ia unik. Dalam
5:6, Ia diperkenalkan sebagai sosok yang berada di urutan pertama dalam
penyembahan surgawi. Puji-pujian yang dinaikkan dalam ibadah itu adalah bagi
Allah yang berada di tahta-Nya dan bagi Anak Domba. Allah telah memberi kuasa
kepada Anak Domba ini. Hanya Dialah yang diberi wewenang membuka gulungan kitab
(6:1). Gempa dahsyat yang mengiringi pembukaan meterai keenam dihubungkan
dengan murka sang Anak Domba. Ia juga diberi wewenang untuk menghakimi. Gelar
‘Anak Allah’ hanya kita temukan sekali dalam Wahyu, yaitu dalam 2:18. Namun,
‘Bapa-Ku’ digunakan tiga kali (2:27; 3:5, 21). Yesus juga disebut sebagai ‘Yang
Awal dan Yang Akhir.’ Dalam 2:9 dan 21:6, gelar ini digunakan untuk menyebut
Allah. Namun, dalam 1:17 dan 22:13, gelar ini dikenakan kepada Kristus. Adanya
penggunaan gelar yang sama bagi Allah dan bagi Yesus sering ditafsirkan bahwa
penulis Wahyu mengidentikkan Yesus dengan Allah. Namun lebih tepat jika hal ini
dipahami dalam kerangka peran Yesus sebagai penyata Allah. Gelar ‘Firman Allah’
digunakan dalam 19:11-13. Tidak jelas maksudnya, mengapa dalam ayat ini gelar
tersebut tiba-tiba digunakan. Mungkin, penulis menghubungkannya dengan Yohanes
1:1. Ada dugaan bahwa penggunaan gelar ini dilatarbelakangi Kebijaksanaan
Salomo 18:15-16.
Di samping nama-nama yang dikenakan kepada Yesus,
beberapa peran atau fungsi, yang biasanya hanya dihubungkan dengan Allah
sendiri, oleh penulis Wahyu juga dihubungkan dengan Yesus. Dalam bagian
penyembahan, misalnya, di samping dipersembahkan kepada Allah, puji-pujian juga
dipersembahkan kepada Anak Domba (4:11; 5:9, 12). Kemungkinan, hal ini
dimaksudkan untuk melawan penyembahan kaisar, yang menganggap diri sebagai
Tuhan dan Allah, yang saat itu sedang berkembang. Dalam 1:6, suatu doksologi
juga ditujukan bagi Yesus dengan cara yang sama dengan doksologi bagi Allah
(3:21; 22:1, 3). Dalam 22:1 dikatakan bahwa air kehidupan mengalir dari Allah
dan Anak Domba. Kristus juga digambarkan sebagai permulaan ciptaan Allah
(3:14). Kata yang digunakan dalam ayat ini adalah arkhē. Dengan memperhatikan fungsi-fungsi Yesus tersebut, dapatkah
disimpulkan bahwa penulis Wahyu mengidentikkan Yesus dengan Allah?
Tenney melihat bahwa ciri khas kristologi Wahyu
berhubungan erat dengan struktur kitab ini. Dalam setiap penglihatan utama (main vision)
terdapat gambaran mengenai sosok Yesus. Dalam penglihatan pertama, Yesus
ditampilkan sebagai Tuhan gereja, yang berjalan di antara tujuh kaki dian emas
(1:12-17). Dalam penglihatan kedua, Ia dinyatakan sebagai Anak Domba yang duduk
di atas tahta, yang dengan kuasa-Nya melaksanakan pemerintahan dan penghakiman
atas seluruh dunia (5:1-14). Dalam penglihatan ketiga, Ia dinyatakan sebagai
Firman Allah, penakluk tak terkalahkan, yang dengan menunggang kuda menaklukkan
bangsa-bangsa, bak seorang jendral Romawi yang berhasil meraih kemenangan
(19:11-16). Dalam penglihatan keempat, Yesus ditempatkan sebagai pusat ciptaan
baru, yaitu Kota Allah (ps. 21).[25]
Dasar kristologi Wahyu adalah karya penyelamatan
Allah dalam Kristus, yang meneguhkan keselamatan eskhatologis dan menyelamatkan
orang beriman dari kuasa dunia (bdk. 1:5b, 6;5:9-10; 7:15; 12:11). Gelar
kristologis bagi Yesus yang khas adalah arnion
(Anak Domba), yang digunakan, baik untuk mengungkapkan pengorbanan Yesus yang
memberi diri demi umat milik-Nya, maupun untuk mengungkapkan kemuliaan-Nya
sebagai Tuhan (5:6). Peninggian-Nya didasarkan pada kerendahan-Nya (5:9, 12).
Dia, yang pertama bangkit dari antara orang mati (1:5) itu, adalah Anak Domba
yang disembelih (5:12). Namun, Yesus juga bertindak sebagai paraga Allah yang diberi kuasa. Dalam
pasal 5, Ia dilukiskan sebagai sosok yang diutus untuk melaksanakan rencana
keselamatan eskhatologis Allah. Hal yang ditekankan bukanlah gagasan tentang
kesetaraan Yesus dengan Allah, melainkan unitas fungsional-Nya dengan Allah.
Dalam perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti-Allah, Kristus melaksanakan
tindakan penyelamatan dan penghakiman Allah.
Bagi jemaat, Kristus adalah Tuhan yang hadir di
sini dan saat ini (pasal 2-3), yang menyapa jemaat secara langsung dengan
kata-kata peringatan dan penguatan. Melalui pengorbanan-Nya, Kristus yang hadir
itu telah mengangkat orang beriman dalam jabatan imam, agar orang beriman ikut
ambil bagian dalam ketuhanan-Nya (20:6; 22:5). Kristus dipercayai sebagai Tuhan
masa kini dan Tuhan masa depan. Sesungguhnya, kusasa dunia ini sudah
dikalahkan, namun puncak Kerajaan Allah baru akan menjadi nyata pada saat parousia, ketika langit dan bumi ini
diperbarui (19:11-13). Sementara ini, umat Kristen dimeteraikan oleh Allah yang
hidup, sehingga mereka terluput dari malapetaka yang ditimbulkan oleh para
pelawan Allah (9:4).[26]
d. Eskhatologinya
Meskipun tidak mengabaikan harapan ke masa depan, kitab Wahyu menekankan
kekinian keselamatan. Dalam batas tertentu, eskhatologi yang diharapkan itu
sudah direalisasi. Melalui korban kematian Anak Domba, umat Kristen sekarang
ini sudah ikut ambil bagian dalam Kerajaan Allah (1:5b-6, 9; 5:9-10; 14:3-4).
Eskhatologi bukan lagi peristiwa masa depan yang dinantikan, melainkan
peristiwa masa kini, yang berupa ujian yang amat sulit dan pendemonstrasian
kuasa Allah, karena Sang Anak Domba telah mengalahkan naga, dan berkata, “Aku
datang segera” (3:11; bdk. 1:7; 2:16; 3:20; 4:8; 22:7, 12, 17, 20).
Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak akan menggoyahkan orang beriman, jika
mereka berpegang teguh dan mengakui tindakan Allah dalam sejarah yang bersifat
menentukan, yang kini sedang menuju puncak kepenuhannya. Keyakinan bahwa
keselamatan masa kini merupakan perealisasian keselamatan masa depan, yang
didasarkan pada kematian sang Anak Domba, meresapi eskhatologi Wahyu.
Kemenangan Allah yang akan disempurnakan di alam surgawi itu, kini sudah
dimulai di dunia ini.[27]
e. Tentang etika
Dasar etika Kristen dikemukakan oleh penulis dalam 1:5, “... memang Tuhan
menyelamatkan umat-Nya dari tanah Mesir, namun sekali lagi membinasakan mereka
yang tidak percaya.” Secara simbolis dan tipologis, pengalaman Israel ini
merupakan ilustrasi bagi gereja. Dalam Yesus, Allah telah menyelamatkan
umat-Nya dari dosa-dosa mereka di masa lalu, namun mereka yang tidak percaya,
akan dibinasakan. Berita indikatif ini merupakan dasar perintah yang bersifat
imperatif. Orang beriman dipanggil untuk menarik garis pembatas secara tegas
dengan mereka yang tidak beriman. Kehidupan dan perbuatan orang beriman harus
berbeda dengan mereka yang tidak beriman, sebab mereka semua akan dihakimi
menurut perbuatannya (2:23; 20:12-13). Yang dimaksud ‘perbuatan’ dalam kitab
Wahyu adalah respons yang tepat terhadap karya keselamatan Allah dalam Yesus,
yang telah diterima oleh orang-orang percaya. Dalam hubungannya dengan
keselamatan, ‘perbuatan’ tidak pernah dihubungkan dengan Taurat. Dalam kitab
Wahyu tidak kita temukan kata nomos
(hukum Taurat).[28]
f. Eklesiologinya
Eklesiologi Wahyu mencerminkan keyakinan penulis bahwa jemaat terdiri dari
‘saudara-saudara laki-laki’ dan ‘saudara-saudara perempuan’ dalam satu keluarga
Allah. Ia sendiri menyebut dirinya sebagai ‘saudara sekutu’ yang ikut merasakan
kesusahan yang sedang dialami jemaat (1:9; 19:10; 2:9). Semua anggota jemaat
adalah ‘hamba-hamba’ atau ‘pelayan-pelayan’ (douloi; 2:20; 7:3; 19:2, 5; 22:3). Bahkan malaikat pun disebut
sebagai sesama ‘hamba’ (22:9). Dalam berbagi tahta-Nya, Kristus juga bertindak
sebagai saudara (3:21:20:6; 21:17). Gagasan dasar ini menjelaskan struktur
jabatan gereja, yang diduga telah diterapkan di Asia Kecil pada akhir abad
pertama (bdk. surat-surat Pastoral). Satu-satunya jabatan khusus dalam jemaat
yang disebut kitab Wahyu adalah ‘nabi,’ namun tidak menunjukkan bahwa jabatan
tersebut dilembagakan. Dari sudut pandang oikumenis, penulis Wahyu sangat
memperhatikan situasi jemaat-jemaat lokal, sebab jemaat-jemaat itu merupakan
komponen yang menentukan masa depan gereja secara keseluruhan. Penulis Wahyu
bermaksud menunjukkan keabsahan dan kepastian gereja sebagai warga Kerajaan
Allah dan Kerajaan Kristus yang telah diurapi sebagai Anak Domba, yang menjamin
keselamatan umat milik-Nya.[29]
Contoh penafsiran Kitab Wahyu:
Wahyu 10:1-11, “Memakan
gulungan kitab”
1.
Beberapa catatan analitis:
a. Dari gaya bahasanya, kitab Wahyu merupakan
campuran unsur-unsur sastra apokaliptik, profetis, mitis, liturgis, dan bahan-bahan serta
bentuk-bentuk paranetis. Di
dalamnya ada hymne (4:1-11; 5:9-12, dsb.), trishagion
(Kudus, Kudus, Kudus; 4:8c), doksologi (1:6; 4:9; 5:13-14; 7:12), ucapan syukur
(11:17-18), tanggapan ‘amin’ dan ‘halleluyah’ (22:20;19:1), ratapan (18:1-24),
kutukan (22:18-20) dan sebagainya. Di dalamnya juga digunakan bahasa mitis,
yang membayangkan alam semesta ini terdiri dari tiga tingkatan, surga berada di
atas, bumi di tengah, dan neraka berada di bawah bumi. Surga dihiasai dengan
ribuan bintang dan dihuni oleh malaikat, iblis, serta binatang-binatang yang
dapat berbicara dan bertindak. Semua itu dikemas dalam bentuk surat, yang
ditujukan kepada tujuh jemaat di Asia Kecil (Turki dewasa ini).
b. Penulis yang menamakan diri sebagai
Yohanes itu juga menyebut dirinya sebagai ‘hamba’ (1:1) dan ‘saudara’ bagi
jemaat yang sedang teraniaya, terutama oleh penguasa Romawi yang menuntut
penyembahan kepada kaisar sebagai dewa. Sebenarnya pemerintah Romawi toleran
terhadap agama-agama setempat, yang kebanyakan politeis itu, asalkan para
pengikutnya setia terhadap pemerintah Romawi. Mereka juga dituntut untuk
menyembah kaisar sebagai dewa. Orang-orang Yahudi yang monoteis, tidak dapat
mengakui kaisar Romawi sebagai dewa. Namun mereka diistimewakan oleh
pemerintah, tidak diharuskan memenuhi tuntutan penguasa, dan agama mereka
diakui sebagai agama yang sah. Berbeda dengan umat Kristen. Sekalipun sama-sama
menolak menyembah kaisar, mereka tidak lagi termasuk penganut agama Yahudi,
karena itu, mereka tidak dilindungi oleh hukum, boleh dikejar-kejar, dianiaya
dan bahkan dibunuh karena imannya.
c. Bukti-bukti internal menunjukkan bahwa
kitab ini ditulis pada masa penganiayaan jemaat di Asia Kecil, dan dimaksudkan
sebagai penghiburan untuk menghadapi penganiayaan yang sedang terjadi, serta
mengantisipasi penganiayaan yang akan datang. Penganiayaan hebat terutama
terjadi pada masa pemerintahan tujuh kaisar, yaitu Nero di masa lalu (sebelum
penulis menulis kitab Wahyu), Julius Caesar, Agustus, Claudius, Vespasianus,
Titus, dan yang terakhir adalah Domitianus, yang dianggap sebagai penjelmaan
kembali Nero. Memang penganiayaan yang dilakukan Nero (yang namanya secara gematria disimbolkan dengan 666) bukan
karena tuntutan menyembah kaisar, melainkan karena pengkambinghitaman
orang-orang Kristen yang dituduh telah membakar kota Roma. Domitianuslah yang
paling getol menuntut penyembahan dirinya sebagai keturunan ilahi. Seperti
Nero, ia arogan dan megalomaniak (gila kebesaran), sehingga menganggap diri
ilahi dan menuntut pemujaan terhadap dirinya.
2.
Catatan
eksegetis:
a. Dari keseluruhan struktur kitab Wahyu,
perikop kita termasuk bagian sentral kitab ini (10:1-15:4), yang secara
keseluruhan berbicara mengenai persekutuan Kristen dan para penganiayanya.
Pasal 10, merupakan pembukaan dari bagian sentral ini. Isinya tentang
penyerahan gulungan kitab. Berikutnya, ps. 11:1-14, tentang ketekunan dan
kesaksian jemaat. Ps. 12:1-13:18, tentang musuh-musuh jemaat (digambarkan
sebagai naga, binatang-binatang liar dan nabi-nabi palsu). Ps. 14:1-5, tentang
ketekunan jemaat. Ps. 14:6-20, tentang parousia
dan penghakiman. Ps. 15:2-4, himne untuk memuji penyelamatan eskhatologis.
b. Pesan yang hendak disampaikan melalui
ungkapan apokaliptik, dan seolah-olah merupakan penglihatan yang diterima oleh
penulis ini, secara sederhana adalah:
1)
Dalam
penganiayaan yang berat, jemaat janganlah menjadi ciut hati dan kehilangan
iman, sebab Allah sendiri, dengan segala simbol kemahakuasaan-Nya, melalui
utusan-utusan-Nya, dan terakhir melalui diri Yesus (10:1), telah
menyampaikan/memberikan firman-Nya kepada umat manusia. Firman itu sudah
lengkap dan sempurna, yang disimbolisasi dengan bilangan tujuh (perkataan tujuh
guruh, sangkakala malaikat ketujuh) sebagai lambang kesempurnaan.
2)
Firman
Allah tidak cukup ditulis ulang atau dibaca, melainkan dimeteraikan di dalam
hati. Artinya, firman itu harus dipahami, dijadikan pedoman hidup dan
dilakukan. Secara tandas hal ini dikiaskan dengan perintah untuk ‘memakan’
gulungan kitab itu. Kapan sikap seperti itu harus dilakukan? Sekarang juga,
bukan ditunda-tunda!
3)
Penulis
(dan sesungguhnya juga segenap orang percaya) diingatkan bahwa firman itu mudah
dikatakan (manis di dalam mulut), namun sulit untuk dilaksanakan, bahkan secara
manusiawi mengandung risiko yang berat (pahit di perut).
4)
Sekalipun
demikian, firman itu harus tetap disampaikan kepada segala bangsa. Artinya,
penulis (dan semua orang percaya) diperintahkan untuk menjadi pewarta firman
Allah, betapa pun sulit dan berat risikonya.
3.
Penerapan:
a. Sejak semula, menjadi Kristen memang berat
tantangannya. Menjadi Kristen tidak mudah dan murah. Kita memang bukan Kristen
murahan! Bahkan kerap kali risikonya begitu getir. Di sinilah kita diuji:
menjadi ciut hati dan kehilangan iman, atau tetap setia kepada Allah, karena
yakin bahwa Dia yang mahakuasa ada bersama kita? Masih perlukah kita mencari
pegangan lain, jika firman yang disampaikan itu telah lengkap dan sempurna?
b. Banyak orang Kristen rajin membaca
Alkitab, dan mungkin kita juga. Namun, sudahkah kita ‘memakannya’, atau sekadar
menghafal dan berbangga diri karena hafal ayat-ayat Alkitab? Apakah kita
sekadar membicarakannya dengan mulut kita, atau juga melakukannya, sekalipun
itu ‘pahit di perut’?
c. Apakah kita juga memberitakannya melalui
totalitas hidup kita, atau sebaliknya, hidup kita seperti ‘surat Kristus’ yang
kusam dan tidak lagi terbaca oleh orang lain?
d. Itulah pekerjaan rumah yang harus kita
selesaikan! Kok berat ya? Em-em!
Jakarta, 01 November 2011
Bambang Subandrijo
[1] Luther’s Works, Vol. 35 (St. Louis: Concordia, 1963), hlm. 395-399.
[2] Anthony A. Hoekema, The
Bible and the Future (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1979), hlm.
297.
[3] "The Book of Revelation:
Introduction," The New American
Bible (Catholic Book Publishing Company, 1970), hlm. 386; bdk. kanon PB
menurut Gregory Nazianzus yang terdapat dalam puisinya (I, xii). Nazianzus
tidak memasukkan kitab Wahyu dalam kanonnya. Lihat juga B.M. Metzger, The Canon of the New Testament: Its Origin,
Significance and Development (Oxford: Clarendon Press, 1997), hlm. 209-210.
[4] Aliran Montanisme yang
dipelopori oleh Montanus dan mulai berkembang sejak abad II, sangat menekankan
dorongan bernubuat secara ekstatis.
[5] Stichometry adalah istilah teknis yang digunakan dalam
penelitian naskah-naskah kuno yang secara harfiah berarti cara mengukur panjang
tulisan berdasar banyaknya baris.
[6] Richard Bauckham, New
Testament Theology: The Theology of the Book of Revelation (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), hlm. 1-2.
[7] Bauckham, The
Theology of the Book of Revelation, hlm. 4.
[8] Ben Witherington III, Revelation, hlm. 32.
[9] Donald Guthrie, New Testament Introduction - Hebrews to
Revelation (London: The Tyndale Press, 1966), hlm. 260-263.
[10] John Sweet, “The Book of Revelation” dalam Metzger &
Coogan, The Oxford Companion to the Bible,
hlm. 653.
[11] Bart D. Ehrman, The New Testament: A Historical
Introduction to the Early Christian Writings (New York : Oxford , 2004), hlm. 475-477.
[13] Sweet, “The Book of Revelation,” Metzger & Coogan,
The Oxford Companion to the Bible,
hlm. 653
[14] Kenneth L. Gentry Jr., Before
Jerusalem Fell: Dating the Book of Revelation (Powder Springs, GA: American
Vision, 1998).
[15] Robert H. Mounce, The Book of Revelation (Cambridge:
Eerdman's, 2nd ed., 1998).
[16] Raymond E. Brown, Introduction
to the New Testament, The Anchor Bible (New York: Doubleday, 1997),
hlm. 806-809.
[17] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm.
524.
[18] Perrin and Dulling, The New Testament, hlm. 121-122.
[19] James Grout, "Nero
as the Antichrist" dalam Encyclopaedia
Romana; Hank Hanegraaff, The Apocalypse Code (Nashville,
TN: Thomas Nelson, Inc., 2007).
[20] M. Rist, “The Revelation
of St. John the Divine,” Interpreter’s
Bible, Vol. 12, hlm. 354-356, 495.
[21] Merril C. Tenney, Interpreting
Revelation (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company,
1991), hlm. 186-193.
[22] Lht. William Arndt and F. Wilbur Gingrich, A
Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian
Literature, 2nd edition (Chicago and London: Chicago University
Press, 1979), hlm. 892.
[23] C.H. Dodd, The Apostolic Preaching and its Development,
3rd ed. (New York: Harper and Row, 1964), hlm. 49.
[24]Donald Guthrie, The Relevance of John’s Apocalypse
(Grand Rapids, Michigan: Wb. Eerdmans Publishing Company & The Paternoster
Press, 1986), hlm.37-64.
[25] Tenney, Interpreting Revelation, hlm. 117.
[26] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm.
535.
[27] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm.
535-536.
[28] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm.
536.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar