MENYIMAK
GAGASAN-GAGASAN TEOLOGIS PAULUS
Mensistematisasi
gagasan-gagasan teologis Paulus yang tersebar dalam surat-suratnya tentu tidak
mudah. Apa lagi setiap surat memiliki karakteristik konteksnya sendiri, dengan
permasalahan-permasalahan jemaat lokal yang berbeda-beda. Namun, kita akan
mencoba merangkai benang merah gagasan-gagasan teologis Paulus dengan membahas
beberapa pokok pikiran, yang secara intens dibicarakan oleh Paulus. Beberapa
pokok yang hendak kita pahami adalah gagasan Paulus tentang Allah, pemikiran
kristologisnya, konsepsinya tentang dunia, manusia, dosa dan keselamatan.
a. Gagasannya tentang Allah
Menurut Leon
Morris, Allah merupakan pusat teologi Paulus.[1] Hal ini sesuai dengan
pendapat Dean S. Gilliland[2] dan Charles C. Ryrie.[3] Bila diperhatikan,
penjelasan tentang Allah dalam seluruh surat-surat Paulus mencakup lebih dari
40 persen pembicaraan tentang Allah dalam PB (548 dari 1314). Dari sekian
banyak penggunaan kata ‘Allah’ dalam surat-surat Paulus, paling banyak terdapat
dalam surat Roma (153 kali), sehingga hampir dalam setiap 46 kata terdapat kata
‘Allah.’[4] Bagi Paulus, Allah adalah
penguasa kehidupan untuk semua aspek. Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang
terluput dari wibawa Allah. Bahkan Paulus mengatakan bahwa Allah adalah semua
di dalam semua (1Kor. 15:28). Tentu saja, gagasan Paulus tentang Allah yang
demikian sentral dalam tulisan-tulisannya ini tidak terlepas dari pemikiran
monoteisnya.
1) Allah adalah
Yang Mahabesar satu-satunya
Sama seperti
orang-orang Yahudi yang baik lainnya, Paulus sangat menekankan keesaan Allah
(Rm. 3:30; 1Kor. 8:4, 6; Gal. 3:20; Ef. 4:6; 1Tim. 1:17, 2:5). Allah yang esa
itu disebut Bapa dari umat-Nya (Rm. 1:7; 1Kor. 1:3; 2Kor. 1:2-3; Gal. 1:3-4).
Allah memiliki kekayaan hikmat yang amat dalam dan kebijaksanaan-Nya tak
terselami (Rm. 11:33). Paulus sering menghubungkan kekuasaan dan kebesaran
Allah dengan kekuasaan yang dimanifestasikan-Nya dalam diri Yesus Kristus
(1Kor. 1:24; 2:5, 7; 2Kor. 13:4). Kuasa yang berlimpah-limpah yang dikaruniakan
kepada orang percaya adalah dari Allah (2Kor. 4:7, 6:7, 13:4; 2Tim. 1:8).
Kekuasaan yang dimiliki oleh para penguasa dunia pun berasal dari Allah (Rm.
13;1-7). Dalam seluruh surat Paulus, kemuliaan Allah sangat ditekankan.
Paulus menyapa Allah sebagai sumber kehidupan (1Tim. 3:15, 4:10), sebagai
Allah yang hidup dan benar (1Tes. 1:9), sebagai Allah pengharapan (Rm. 15:13),
sebagai Allah perdamaian (Rm. 15:33). Semua sapaan itu menunjukkan pemahaman
Paulus bahwa Allah adalah Allah yang aktif bertindak. Damai bukanlah keadaan
statis, melainkan kondisi militan yang selalu siap menghadapi perlawanan kuasa
jahat. Jika Paulus berbicara tentang Allah, maka Allah tidak sekadar
ditempatkan sebagai objek pembicaraan, melainkan dihayati dan dirasakan
aktivitas serta intervensi-Nya dalam kehidupan umat manusia.
Sekalipun dengan ungkapan yang ambigu, Paulus masih
berada pada jalur pemikiran monoteis Yahudi. Seperti dikatakannya, “Tidak ada
berhala di dunia dan tidak ada allah lain dari pada Allah yang esa. Sebab
sungguh pun ada apa yang disebut ‘allah,’ baik di surga maupun di bumi - dan
memang benar ada banyak ‘allah’ dan banyak ‘tuhan’ yang demikian, namun bagi
kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala
sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus
Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita
hidup” (1Kor. 8:4-6). Dapat diduga, pernyataan Paulus ini didasarkan pada
ajaran orang tua dan gurunya, yang dengan setia dipegangnya, bahwa Allah itu
esa (bdk. Kel. 20:3, Ul. 6:4-5). Yang menjadi pertanyaan, bedakah antara Allah
dengan Tuhan dalam perkataan Paulus itu? Mengapa ada satu Allah dan satu Tuhan?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, tidak cukup alasan untuk menyimpulkan
bahwa Paulus telah meninggalkan keyakinan monoteismenya, kemudian menganut
keyakinan biteis. Mengingat latar belakang kehidupan Paulus yang begitu setia
berpegang pada Taurat, bahkan keyakinan itu dipertahankan sampai masa awal
pertumbuhan jemaat Kristen, kecil kemungkinannya ia begitu mudah berubah
pikiran dan mengingkari imannya (bandingkan dengan pengakuan Paulus dalam Kis.
22:3). Karena itu, yang perlu dilacak lebih lanjut adalah apakah yang dimaksud
Paulus dengan ucapannya itu (bahwa hanya ada satu Allah dan satu Tuhan), jika
dilihat dari sudut pandang keyakinan monoteisnya?
Salah satu alasan mengapa Paulus sebagai seorang Farisi
dan umat Yahudi pada umumnya membenci umat Kristen adalah gagasannya tentang
Mesias. Mungkin saja orang berpendapat bahwa mereka telah salah mengerti
terhadap nubuat para nabi mengenai pribadi Mesias dan maksud kedatangannya.
Namun, merupakan kepercayaan umum umat Yahudi bahwa Mesias akan datang bagi
mereka, dalam rangka menegakkan Taurat. Mesias yang mereka nantikan adalah
seorang raja duniawi, yang akan memenuhi Taurat secara sempurna. Kedatangannya
merupakan realisasi harapan bahwa mereka akan dijadikan ‘tuan atas bangsa
taklukan.’ Mesias akan menolong mereka untuk mengalahkan orang-orang Romawi,
musuh mereka.
Lapide mengakui adanya pergeseran pengertian Mesias dalam
Kitab Suci Ibrani. Pada mulanya, Mesias dimengerti sebagai seorang raja, yang
pengukuhannya sebagai penguasa politis atas nama Allah dilakukan dengan
pengurapan oleh seorang nabi atau Imam Besar. Namun sejak bencana nasional yang
mereka alami sebagai umat buangan, pengertian tentang Mesias mengalami
perluasan. Di dalamnya termasuk Cyrus (Koresy), raja kafir yang toleran itu
(Yes. 45:1), hamba Tuhan yang menderita (Yes. 53), raja orang-orang miskin (Za.
9:9), dan Ia yang akan datang dalam awan-awan di langit ‘seperti Anak Manusia’
(Dan. 7:13). Lambat laun, gambaran tentang Mesias berubah menjadi penyelamat
yang akan melaksanakan pemerintahan eskhatologis yang damai, mulai dari
Yerusalem sampai ke ujung bumi. Penindasan berat yang dialami Israel makin
memperkuat harapan akan adanya sosok penyelamat yang akan segera datang.
Harapan ini terus berkembang ketika Israel berada di bawah kuk Romawi. Namun
perlu dicatat, apa pun gambaran tentang Mesias itu, semua memiliki kesamaan, yaitu
bahwa Allah memberikan peran politis kepadanya sebagai pembebas, sebagai tokoh
yang akan menggenapi peran publik dalam tahapan sejarah dunia.[5]
Peran raja Mesias dalam Kitab Suci bersifat politis;
semua nubuat mesianis mengenai akhir zaman selalu bersifat politis: pembebasan
Israel dari kekuasaan bangsa lain. Menurut Lapide, spiritualisasi pembebasan
menjadi penyelamatan jiwa secara immaterial bertentangan dengan pengertian
Mesias alkitabiah. Yesus sendiri tidak pernah menyadari dan menganggap diri-Nya
sebagai Mesias. Bahkan peranan-Nya tidak memenuhi harapan mesianis Yahudi.[6] Menurut Bultmann, Yesus
juga tidak berpolemik melawan konsep Mesias konvensional, melainkan mengritik
konsep Yahudi mengenai Kerajaan Allah.[7] Pengalaman para murid
dengan Yesus telah menghasilkan objektivasi salah satu aspek penggenapan
harapan mesianis. Hal ini kemudian diungkapkan secara verbal dalam gelar-gelar
tertentu yang diberikan kepada Yesus. Berdasar pemberitaan Yesus mengenai
kerajaan Allah, para murid memberikan gelar Mesias kepada-Nya, karena kerajaan
Allah dan zaman Mesias itu satu. Demikianlah pendapat Franz Müssner.[8]
Umat Yahudi pada umumnya menjadi kecewa, karena Yesus
tidak datang seperti Mesias yang mereka harapkan. Sekalipun tidak setuju
terhadap pengakuan para murid Yesus, bahwa Dia Mesias, umat Yahudi masih
bersikap toleran. Namun, ketika Ia disebut sebagai Anak Allah, atau bahkan
dianggap ilahi, mereka menjadi marah. Pengakuan itu sungguh bertentangan dengan
iman kepada Yahwe, bahkan dianggap menghujat Dia. Itu pula yang menjadi alasan
bagi Paulus untuk mengejar-ngejar jemaat Kristen. Paulus menjadi pelawan Yesus
yang amat fanatik, bahkan jika perlu, ia ingin meniadakan semua persekutuan
Kristen di seluruh wilayah kekaisaran Romawi.[9] Terlepas dari kesalahmengertiannya
terhadap diri Yesus, jelas bahwa Paulus ingin mempertahankan kesetiaannya
kepada Yahwe, Allah yang esa itu.
Siapakah Yahwe itu? Samakah Dia dengan Allah yang
menyatakan diri kepada Abraham sebagai El-Shaddai (Allah gunung-gunung)?
Bukankah nama El sudah dikenal oleh bangsa-bangsa Kanaan sebagai Tuhan
Tertinggi? Menurut Armstrong, El-Shaddai merupakan gelar tradisional El. Ia
juga disebut El-Elyon (Tuhan yang Mahatinggi) atau El-Betel (Tuhan dari Betel).[10] Dalam Kejadian 18,
dikisahkan bahwa Tuhan menampakkan diri kepada Abraham di dekat pohon tarbantin
di Mamre. Abraham melihat tiga orang berdiri di hadapannya. Salah satu di
antaranya adalah TUHAN, sedang dua yang lain adalah malaikat. Pengalaman
teofani seperti ini tidak hanya dialami oleh Abraham, melainkan juga beberapa
kali dialami oleh Yakub. Dalam penglihatan yang diterimanya di Betel, Allah
berfirman kepada Yakub, “Akulah TUHAN, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak
…” (Kej. 28:13). Karena itu, ketika bangun dari tidurnya, Yakub berkata, “Sesungguhnya
TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya” (Kej. 28:16). Dalam
kesempatan lain, di tepi sungai Yabok, Yakub juga mengalami penampakan TUHAN,
bahkan bergumul dengan-Nya. Setelah diberkati dan namanya diganti Israel, Yakub
bertanya kepada TUHAN, “Katakanlah juga nama-Mu,” tetapi TUHAN menjawabnya,
“Mengapa engkau menanyakan nama-Ku?” (Kej. 32:29). Lalu Yakub menamai tempat
itu dengan Pniel, sebab, “Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi
nyawaku tertolong!” (ayat 30).
Hal yang tidak kalah menarik adalah pengalaman Musa
ketika berada di seberang padang gurun Median, di kaki gunung Horeb (Kel. 3:1).
Dalam semak duri yang menyala, TUHAN menampakkan kehadiran-Nya kepada Musa.
TUHAN berkata kepadanya, “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan
Allah Yakub.” Setelah TUHAN menyampaikan maksud pengutusan-Nya, dengan rasa
takut Musa bertanya kepada-Nya, “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel …
Dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? – apakah yang harus
kujawab kepada mereka?” (Kel. 3:13). Maka TUHAN pun menjawab: “AKU ADALAH AKU”,
Ahyeh asher Ahyeh. TUHAN tidak memberikan jawaban definitif tentang
nama-Nya, karena Ia memang tidak dapat dibatasi atau didefinisikan dengan nama.
Dalam jawaban itu juga tersirat eksklusivitas keberadaan TUHAN, yang tidak
dapat disepadankan dengan apa pun. Bukankah jawaban itu dapat juga berarti
“Tidak ada TUHAN selain Aku”?
Dari beberapa contoh peristiwa teofani yang dialami oleh
para leluhur Israel di atas, ada beberapa pengertian yang dapat diuntai. Pertama,
sekalipun dari sisi kesejarahan, peristiwa-peristiwa teofani tersebut memiliki
jalinan kontekstual yang berbeda-beda, namun Allah yang menyatakan diri atau
menampakkan kehadiran-Nya tersebut adalah Allah yang sama, yang oleh Israel
dikenal dengan Yahwe. Kedua, seperti dikemukakan Armstrong, seakan-akan
Allah berkata, “Jangan pikirkan siapa Aku, melainkan pikirkanlah dirimu
sendiri.” Hakikat Tuhan tak perlu didiskusikan atau dirumuskan.[11] Keberadaan Tuhan tak
perlu dikonseptualisasikan, sebab Ia bukanlah objek pikiran manusia. Yahwe
menyatakan diri sebagai Keberadaan Mutlak (the
Absolute Being) dan berjanji untuk melibatkan diri dalam kehidupan
umat-Nya. Ketiga, Tuhan pertama-tama dikenal dalam pengalaman dan
penghayatan, bukan dalam gagasan atau pengertian intelektual. Keempat,
Tuhan tetap saja merupakan Keberadaan yang tak terbayangkan, tak terpahami
secara utuh oleh pikiran manusia. Kalaupun manusia mengenal-Nya, itu hanya
mungkin terjadi karena Ia menghadirkan diri dalam tindakan-Nya di tengah
kehidupan umat-Nya. Kalaupun Ia imanen, itu karena Ia berkenan mengimanen-kan
diri-Nya.
Yahwe berbeda dengan para dewa agama-agama Timur Tengah
dan Yunani purba. Di dalam iman Yahudi terhadap Yahwe tidak ada mitos,
gambaran-gambaran atau praktik-praktik kultik yang memberi tempat kepada
manusia untuk ambil bagian dalam kuasa ilahi. Yahwe adalah pencipta, yang jauh
mengatasi dunia, manusia dan alam semesta. Dalam iman Israel, Allah tidak
dipahami dalam gagasan metafisis, melainkan sebagai Allah yang aktif bertindak,
menciptakan, memerintah, memelihara, menghakimi dan menyelamatkan. Sejarah
merupakan medan penyataan diri Allah dan karya-Nya. Namun demikian tidak
berarti bahwa manusia dapat menyimpulkan keberadaan Allah berdasar sejarah; atau
bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dapat dikristalisasi ke dalam suatu mitos.
Allah bukanlah bagian sejarah bangsa-bangsa, sebab Ia telah ada sebelum adanya
sejarah dan bangsa-bangsa. Ia ada dari kekekalan (Hab. 1:12). Dialah yang
menciptakan dan menentukan sejarah berdasar kuasa dan kedaulatan-Nya. Karena
itu, sesungguhnya Allah Israel adalah juga Tuhan segala bangsa (Am. 9:5-6).[12]
Wajar jika, bertolak dari pengalaman dan penghayatannya
terhadap tindakan Allah dalam sejarah umat-Nya, dalam pembaruan perjanjian di
Sikhem, Yoshua meminta keputusan umat Israel:
“Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan
tulus-ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek-moyangmu telah
beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN.
Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada
hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek-moyangmu
beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu
diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:14-15).
Maka umat itu pun menjawab:
“Jauhlah dari pada kami meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada allah
lain! Sebab TUHAN, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dari tanah
Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang
besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang
jalan yang kita tempuh, dan di antara semua bangsa yang kita lalui. TUHAN
menghalau semua bangsa dan orang Amori, penduduk negeri ini, dari depan kita.
Kami pun akan beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah kita” (Yos. 24:16-18).
Setiap keluarga Yahudi dengan cermat menanamkan pengakuan iman terhadap
Yahwe seperti itu kepada anak-turun mereka. Terlebih lagi di lingkungan
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sebab itu, wajar jika Paulus pun,
sebagai anak Israel sejati, setia berpegang pada imannya kepada Yahwe yang esa.
Ia bangga sebagai orang Israel. Ia bukan saja terikat secara kultural dengan
bangsanya, melainkan juga terikat secara doktrinal dan konfesional. Keterikatan
kepada bangsanya juga ditunjukkan oleh keyakinannya bahwa umat Israel tidak
pernah dibuang oleh Allah (Rm. 11:25-36). Baginya, Israel tetaplah umat pilihan
Allah, yang di kelak kemudian hari semua akan diselamatkan. Allah bagi Paulus
tetaplah Yahwe, Allah bapa-bapa leluhurnya.
Yahwe, Allah nenek-moyangnya, kini bertindak dan
menghadirkan diri di dalam dan melalui Yesus Kristus. Itulah yang hendak
diberitakan Paulus. Pada mulanya, ia sendiri tidak memahami rahasia ini, karena
itu, ia berusaha melawan pemberitaan tentang Kristus dengan jalan menganiaya
jemaat Kristen. Rupanya Yahwe telah ditempatkan olehnya sebagai objek gagasan
dan bukan lagi dialami serta dihayati kehadiran-Nya. Akibatnya, Paulus justru
dibutakan oleh kecerdasannya sebagai anggota kelompok elit Yahudi, yang selalu
bergumul dengan Taurat dan gulungan-gulungan Kitab Suci setiap hari. Lisensi
untuk memusnahkan gerakan Kristen telah berada di tangannya. Namun ternyata
Allah tetap bekerja dan Paulus tidak mungkin menghentikan-Nya. “Sukar bagimu
menendang ke galah rangsang,” firman Tuhan (Kis. 26:14). Teofani tidak hanya
dialami oleh para leluhur Israel di masa lalu, melainkan juga terjadi pada
dirinya. Pengalaman itulah yang telah meluruskan kembali perspektif Paulus,
sebagaimana perkataan Ananias:
“Allah nenek-moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui
kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar
dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang
tentang apa yang kaulihat dan yang kau dengar” (Kis. 22:14-15).
2) Predestinasi
Paulus yakin
betul bahwa rencana dan kehendak Allah pasti akan terjadi (Rm 1:10, 12:2; 1Kor.
1:1, 4:19). Kristus telah memberi diri-Nya untuk dosa-dosa kita, itu pun
terjadi oleh kehendak Allah (Gal. 1:4). Ungkapan-ungkapan predestinatif seperti
itu dengan cara yang berbeda-beda sering diulang-ulang dalam seluruh surat
Paulus. Menurut Leon Morris, gagasan predestinasi yang paling menonjol tampak
dalam surat Efesus (1:4, 5, 9, 11), yang termasuk dalam kelompok surat-surat
deutero Paulus. Dalam ayat-ayat itu dikemukakan bahwa orang-orang percaya telah
dipilih sebelum dunia dialaskan (ayat 4) dan bahwa mereka akan diangkat melalui
Kristus (ayat 5), bahwa kebaikan Allah tersebut akan digenapi dalam Kristus
(ayat 9) dan bahwa keselamatan orang-orang percaya itu terjadi menurut rencana
Allah (ayat 11). Hal ini dapat kita bandingkan dengan Roma 8:29-30. Benarkah
Paulus benar-benar berpegang pada gagasan predestinasi? Ataukah dalam ungkapan
imannya, ia percaya bahwa Allah telah mengetahui dan melihat sebelum segala
sesuatu terjadi? Bagaimanakah seharusnya predes-tinasi dipahami? Hal ini perlu
kajian ulang.
Sementara teolog (misalnya Calvin dan para teolog penganutnya) berpendapat
bahwa sejak semula, Allah memang telah menentukan atau mempredestinasikan
segala sesuatu yang akan terjadi. Dengan demikian, segala peristiwa, termasuk
siapa yang dipilih untuk diselamatkan, sudah ditentukan sebelumnya. Namun dari
sisi lain, Paulus pun mengakui posisi manusia sebagai gambar Allah, yang diberi
kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya, dan tidak sama sekali pasif dalam
menjalankan destiny (nasib) yang
telah tergariskan baginya. Lebih tepat rasanya jika ungkapan predestinatif itu
kita pahami bertolak dari kemahatahuan Allah. Allah mengetahui dan melihat
lebih dulu apa yang akan terjadi, sehingga Ia dapat memfirmankannya lebih dulu.
Dengan demikian, predestinasi seharusnya dipahami sebagai foreseeing, foreknowing
dan foretelling Allah, bukan sebagai
ketentuan Allah yang semena-mena bagi umat manusia. Lebih dari itu, pemilihan
Allah atas orang-orang beriman mestinya lebih ditekankan pada sisi anugerahnya,
bahwa Allah adalah inisiator penyelamatan, ketimbang pada keputusan Allah yang
semena-mena. Manusia sebagai penerima inisiatif Allah, haruslah mengambil
keputusan terhadapnya, sehingga pemilihan bagi dirinya tidak dipahami
semata-mata sebagai hak istimewa, melainkan sebagai pengambilan keputusan
dengan segala konsekuensi logisnya.
3) Allah nenek
moyang: Allah sejarah
Perhatian
Paulus terhadap Allah demikian besar. Bahkan menurut Gilliland, faktor pertama
yang sangat berpengaruh pada pemikiran Paulus adalah konsepsi Yahudi tentang
Allah. Allah adalah satu-satunya Allah yang hidup dan benar, yang melaksanakan
kehendak-Nya di dunia, mengikatkan diri dengan umat-Nya dan menciptakan
keluarga Allah di bumi. Allah monoteistis merupakan pusat agama Paulus, baik
secara personal, etis, maupun historis.[13]
Sebagai seorang Farisi, gagasan keagamaan Paulus tak dapat dilepaskan dari
gagasan keagamaan Israel, atau tepatnya, Yudaisme. Doktrinnya tentang Allah
diwarisi dari ajaran para leluhurnya secara turun-temurun. Jika semua
penyembahan kafir secara esensial didasarkan pada konsepsi keberhasilan
pekerjaan individu, apakah itu berupa tindakan-tindakan magis, pengorbanan,
tindakan-tindakan mistis, atau amal jariah, maka dalam kehidupan Israel,
penyembahan yang benar diawali dari sikap yang benar terhadap Allah, yaitu:
rasa takut, beriman, percaya dan kasih kepada-Nya. Hal ini tidak terlepas dari
kesadaran Israel atas hubungan istimewanya dengan Allah. Oleh kebebasan dan
kemurahan Allah, Israel telah ditempatkan sebagai umat perjanjian, dan Allah
merelakan diri untuk menjadi Allah Israel. Dengan demikian, ibadah hanya
bermakna jika dilakukan oleh anggota persekutuan umat perjanjian, yang
kehidupannya menunjukkan integritas iman, serta taat kepada kehendak Allah
dengan tulus hati dan benar. Segala bentuk kultus yang dilakukan manusia di
luar kerangka itu tidak memiliki jaminan apa pun, bahkan berada di bawah
penghakiman Allah.[14]
Di pusat iman Israel terdapat pengakuan mendalam bahwa Allah para leluhur
mereka telah mendengar seruan umat-Nya yang lemah, menderita, dan tertindas di
Mesir, rumah perbudakan. Allah sendirilah yang telah bertindak melepaskan
umat-Nya, melalui perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib, yang ditunjukkan kepada
bangsa Mesir dan semua bangsa di dunia. Kesadaran dan pengakuan tersebut
diungkapkan dalam sebuah kredo:
“Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan
sedikit orang saja dan tinggal di sana sebagai orang asing, tetapi di sana ia
menjadi suatu bangsa yang besar, kuat dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir
menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat,
maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar
suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap
kami. Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan
lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan dengan tanda-tanda
serta mujizat-mujizat. Ia membawa kami ke tempat ini, dan memberikan kami
negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya” (Ul. 26:5-9).
Doktrin Israel
tentang Allah bukanlah hasil pemikiran sistematis atau spekulatif mengenai
suatu kuasa supranatural, melainkan merupakan kesaksian tentang
peristiwa-peristiwa ajaib yang telah mereka alami, yang telah menyebabkan
mereka lahir sebagai sebuah bangsa. Mereka meyakini bahwa dalam
peristiwa-peristiwa itu, Allah sendirilah yang bertindak. Sekalipun Israel
hidup di dunia agama-agama kosmis, namun mereka tidak memusatkan perhatian
kepada alam dan dewa-dewa alam, melainkan kepada Yahwe, yang telah menyatakan
diri dalam serangkaian perbuatan ajaib di tengah sejarah. Pengenalan mereka
terhadap Yahweh disimpulkan dari peristiwa-peristiwa, yang secara aktual
terjadi dalam sejarah manusia. Israel terbiasa memperhatikan dengan
sungguh-sungguh peristiwa-peristiwa yang dialaminya, karena di dalamnya mereka
belajar tentang siapakah Yahwe dan apakah kehendak-Nya. Berdasar pengalaman itu
mereka meyakini bahwa Yahwe sendirilah yang bertindak dan memimpin sejarah.
Karena itu, Yahwe mereka kenal sebagai TUHAN semua peristiwa, yang
mengendalikan perjalanan sejarah. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di luar
kuasa-Nya.[15]
Paulus adalah orang yang sangat lekat dengan Yahwe dan secara konsisten
selalu berbicara mengenai Dia, yang merupakan pusat pikirannya. Apa pun yang
dilakukannya selalu dihubungkan dengan Yahwe. Baginya, Yahwe adalah Allah yang
berdaulat atas semua aspek kehidupan. Allah adalah semua di dalam semua (1Kor.
15:28). Sebagaimana layaknya seorang Yahudi yang baik, Paulus sangat ketat
dalam keyakinan monoteismenya. Baginya hanya ada satu Allah (Rm. 3:30; 1Kor.
8:4, 6; Gal. 3:20; bdk. Ef. 4:6; 1Tim. 1:17; 2:5). Allah yang esa itu adalah
Bapa bagi umat-Nya (Rm. 1:7; 1Kor. 1:3; 2Kor. 1:2-3; Gal. 1:3-4; Flp. 1:2,
dsb). Semua kekayaan, hikmat dan pengetahuan adalah milik-Nya (Rm. 11:33).
Allah adalah Allah yang hidup, memberi kehidupan dan bertindak dalam kehidupan
umat manusia. Bahkan Allah juga bertindak melalui pemerintah bangsa-bangsa (Rm.
13:1-7).[16]
Paulus menekankan berulang-ulang bahwa kehendak Allah sedang terjadi (mis.
Rm. 1:10; 12:2; 1Kor. 1:1; 4:19; 1Tes. 5:18; bdk. Ef. 1:1, 4-5; Kol. 1:1;
4:12). Inti iman Kristen pun, yaitu bahwa Kristus telah diserahkan bagi dosa
manusia, terjadi menurut kehendak Allah (Gal. 1:4). Sama seperti penghayatan
nenek-moyangnya, Paulus melihat bahwa Allah adalah Allah yang menghadirkan diri
dan aktif bertindak untuk melakukan kehendak-Nya.
4) Allah kasih:
Allah penyelamat
Dalam bersaksi
tentang Allah, Paulus lebih lanjut menekankan kasih dan perhatian Allah kepada
umat-Nya. Sapaan ‘Bapa’ bagi Allah merupakan ungkapan penghayatannya akan
betapa besar kasih dan perhatian Allah kepada umat-Nya. Kebapaan Allah atas
umat-Nya semata-mata didorong oleh kasih-Nya. Kasih Allah telah dicurahkan di
dalam hati kita oleh Roh Kudus, yang telah dikaruniakan kepada kita, dan ketika
kita masih lemah, Kristus telah mati bagi kita orang-orang durhaka pada waktu
yang ditentukan oleh Allah (Rm. 5:6-7). Kita yang adalah seteru Allah telah
diperdamaikan dengan diri-Nya (Rm. 5:10). Tidak ada satu kekuatan pun mampu
memisahkan umat Allah dari kasih-Nya (Rm. 8:38-39). Itulah sebabnya orang-orang
beriman disebut sebagai anak-anak Allah yang kekasih (Ef. 5:1), umat yang
dikasihi dan dipanggil untuk menjadi kudus (Rm. 1:7; 2Tes. 3:5, Tit. 3:4).
Segala sesuatu bergantung kepada anugerah Allah (Rm. 9:16) dan karena
anugerah-Nyalah maka Allah menyelamatkan kita (Tit. 3:5, bdk. 1Kor. 7:25; 2Kor.
4:1).
Untuk menyampaikan gagasan teologis yang penting, Paulus sering menggunakan
rumusan yang sudah ada; pada umumnya rumusan yang berasal dari konteks
liturgis. Pernyataan yang sangat sering dikatakan adalah bahwa “Kristus telah
mati bagi dosa kita.” Menurut Käsemann, refleksi teologis dan pengakuan
liturgis jemaat mula-mula, jauh sebelum Paulus, telah memberi tekanan pada
kematian Yesus sebagai peristiwa penyelamatan. Paulus mengambil-alih berbagai
bentuk pemberitaan mengenai peristiwa itu tanpa memilih salah satu secara
khusus.[17] Pernyataan bahwa “Kritus
telah mati bagi kita” sudah
terdapat dalam tradisi pengakuan iman yang tertua, seperti dikutip dalam 1
Korintus 15:3. Tidak diragukan lagi, pernyataan ini diambil dari pemberitaan
mengenai hamba Tuhan yang menderita, yang aslinya diucapkan dalam perjamuan
Tuhan. Dengan berbagai ragamnya, kematian Yesus dipandang sebagai korban ilahi
(mis. Rm. 4:25; 8:32), sebagai bukti kasih Allah, dan kadang-kadang sebagai
kasih Kristus yang rela mengorbankan diri (mis. Gal. 1:4; 2:20; 2Kor. 5:14-15).
Bagi Paulus, kasih adalah manifestasi perhatian dan belarasa terhadap kehidupan
orang lain. Hal itu ditunjukkan dalam tindakan konkret, dengan penekanan pada
pengorbanan diri.[18]
Paulus memberi nuansa individual dan teologis ke dalam rumusannya, ketika
ia berbicara tentang kematian Kristus bagi orang-orang berdosa (Rm. 5:6-8),
atau bagi saudara-saudara seiman (Rm. 14:15), atau bagi semua manusia (2Kor.
5:14). Tema utamanya selalu kematian Kristus bagi ‘kita semua.’ Keselamatan
selalu terbuka bagi kita, tanpa jasa atau keberhasilan kita, melainkan sebagai
anugerah Allah (Rm. 3:24; 5:6-8), bahkan sebelum kita memenuhi kehendak-Nya.
Hanya kasih Sang Penciptalah yang dapat menyelamatkan kita. Hanya Dialah yang
memampukan kita melakukan kehendak-Nya (2Kor. 3:1-6). Hanya Dialah yang dapat
menghidupkan orang mati dan menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan (Rm.
4:17). Seluruh ciptaan bergantung kepada-Nya dan tindakan penyelamatan-Nya.
Sejak kanak-kanak, Paulus telah mengenal Allah sebagai Allah yang
mahakasih. Banyak cerita dalam Kitab Suci Yahudi menyatakan bahwa Allah bukan
saja sebagai Allah yang telah memilih Israel berdasar kasih-Nya (mis. Ul.
7:7-8), melainkan juga Allah yang mahamurah, Bapa yang sabar, yang menahan
amarah-Nya atas anak-anak-Nya (mis. Hos. 11:1-9). Paulus sangat akrab dengan
cerita-cerita tersebut. Ia mengenal Allah sebagai Allah yang mahakasih bukan
hanya karena peristiwa teofani yang dialaminya di perjalanan ke Damsyik. Bahkan
sebelum peristiwa Kristus, ia telah mengenal Allah sebagai Allah yang
mahakasih. Hanya saja, peristiwa di jalan ke Damsyik itu telah mengubah
pemahamannya terhadap peristiwa Kristus. Kini ia memiliki pengertian baru
mengenai kasih Allah. Di dalam kematian Kristus, ia melihat kasih Allah yang
sebenarnya, yaitu bahwa melalui salib Kristus, Allah mengasihi orang-orang
durhaka dan berdosa (Rm. 5:6-8). Dalam peristiwa itulah kedalaman kasih Allah
dinyatakan, sehingga manusia boleh memiliki pengha-rapan.[19]
“Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang
durhaka, pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Rm. 5:6). Frasa “pada waktu
yang ditentukan oleh Allah” menyiratkan bahwa kematian Kristus merupakan
pemenuhan rencana dan maksud Allah. Kematian Kristus justru terjadi pada
momentum yang tidak tepat, yaitu ketika kita masih lemah dan sebagai orang-orang
durhaka. Dalam Roma 5:8 dipertegas,
“Akan tetapi, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus
telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Hal ini untuk memperlihatkan
bahwa penyelamatan manusia semata-mata merupakan kehendak dan keputusan Allah,
bukan karena jasa atau hasil pekerjaan manusia (bdk. Ef. 2:8-9). Bagi Paulus,
kematian Kristus merupakan ungkapan kasih Allah.
Teofani yang dialaminya telah memberi kesempatan kepada Paulus untuk
benar-benar memahami ulang siapakah Allah dan siapakah manusia. Baginya,
keselamatan tidak dapat dimengerti terlepas dari kematian Kristus. Salib
Kristus telah menunjukkan bahwa sejak permulaan dunia, Allah benar-benar
Pencipta yang telah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, telah menciptakan
keteraturan dari kekacauan dan selalu menyatakan diri sebagai Allah yang
menghidupkan. Salib juga menunjukkan bahwa manusia adalah pendosa, yang tidak
mungkin menolong dirinya sendiri dan menjembatani keterpisahannya dengan Allah.
Salib, yang tetap merupakan batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi
orang Yunani, seakan-akan telah menunjukkan ilusi manusia bahwa mereka sanggup
menyelamatkan diri. Dalam terang salib, Allah justru menunjukkan bahwa manusia
itu bodoh, lemah dan berdosa. Hanya Allah yang dapat menciptakan keselamatan,
bukan manusia.[20]
Bagi Paulus, keselamatan memiliki kesejajaran makna dengan kebangkitan dari
maut. Hal itu sepenuhnya merupakan buah tindakan dan karunia Allah bagi
manusia. Dalam hal ini, secara mendasar Paulus memahami Allah sebagai Allah
kebangkitan, seperti harapan orang Yahudi mengenai kebangkitan tubuh. Dengan
demikian, harapan bahwa Allah akan membangkitkan orang mati, bukanlah sesuatu
yang asing baginya. Karena itu, wajar jika Paulus memahami kebangkitan Kristus
sebagai penyataan tindakan penyela-matan Allah. Pada kayu salib, Paulus melihat
keilahian Allah, karena, salib telah menyingkapkan dan menghancurkan ilusi
manusia bahwa manusia dapat menyelamatkan diri, entah melalui kesalehannya atau
melalui kesombongannya. Bagi Paulus, salib dan kebangkitan memang dibedakan,
namun tidak dipisahkan satu sama lain. Salib menyingkapkan keadaan manusia yang
sebenarnya dan kebangkitan menyingkapkan keallahan Allah yang sebenarnya.
Namun, kemanu-siaan manusia baru menjadi nyata, jika diperhadapkan dengan
keallahan Allah, dan keallahan Allah baru dapat dipahami, jika diperhadapkan
dengan keadaan manusia yang sebenarnya.[21] Bertolak dari alur
penalaran ini, keselamatan dapat dipahami sebagai kondisi berelasi dengan Allah
secara benar.
5) Allah yang
membenarkan
Doktrin Paulus
mengenai kebenaran dan mengenai hukum Taurat merupakan puncak pemahamannya
terhadap Kristus. Peristiwa Kristus, terutama penyaliban dan kebangkitan-Nya,
telah menyatakan Allah yang sebenarnya dan manusia yang sebenarnya. Melalui
kedua peristiwa itu, Allah menyatakan kasih-Nya kepada manusia berdosa dan
memberinya keselamatan. Keselamatan itu didapat karena manusia menerima
pembenaran Allah. Hal itu merupakan anugerah Allah, yang telah menyatakan diri
dan kehadiran-Nya di dalam Yesus Kristus. Karena itu dapat dikatakan, bahwa
doktrin pembenaran Paulus seluruhnya adalah kristologi. Dibenarkan berarti
menerima kasih dan kebenaran Allah dengan iman. Bahkan dapat dikatakan bahwa
bagi Paulus, pembenaran oleh karena iman merupakan dasar berdirinya gereja.[22] Manusia dapat memperoleh
pembenaran, karena Allah tetap setia kepada umat-Nya, seperti seorang bapak
yang tetap mengasihi anaknya yang memberontak.
Mengenai kebenaran Allah, Bultmann berbeda pendapat dengan Käsemann.[23] Menurut Bultmann,
kebenaran Allah merupakan terminologi yang berasal dari dunia peradilan, yaitu
keputusan hakim yang menguntungkan terdakwa dalam pengadilan. Ketika Paulus
berbicara mengenai kebenaran Allah yang dinyatakan, hal itu melukiskan keputusan
Allah (sebagai hakim) yang positif bagi manusia (sebagai terdakwa). Intinya,
dosa-dosa manusia sebagai terdakwa diampuni. Dengan demikian, kebenaran Allah
adalah kebenaran yang berasal dari Allah, yang diberikan kepada orang-orang
percaya, yang menjadi dasar hubungannya dengan Allah.
Di pihak lain, Käsemann berpendapat bahwa kebenaran Allah adalah suatu
ungkapan yang berasal dari sastra apokalyptis Yudaisme, bukan dari konsep
yuridis atau peradilan. Istilah tersebut lebih bersifat teosentris (sebagai sifat
khas Allah) ketimbang antroposentris. Penyataan Allah dalam diri Yesus menandai
peristiwa kosmis, yaitu mulai berlakunya zaman baru. Di dalamnya, sifat Allah
tidak sekadar diketahui sebagai sifat statis seperti sifat dewa-dewa Yunani,
melainkan menjadi nyata dalam aktivitas Allah. Kebenaran Allah merupakan kuasa
penyelamatan-Nya yang sedang terjadi dalam dunia. Käsemann menekankan sifat
teosentris kebenaran Allah, karena, sekalipun kebenaran itu merupakan karunia,
ia tidak dapat dilepaskan dari pemberinya. Bagi Paulus, kebenaran Allah adalah
kedaulatan Allah atas dunia, yang menyatakan diri di dalam Yesus, yaitu
kebenaran yang dengannya Allah mengembalikan dunia yang telah menjauh dari-Nya
ke dalam hubungan yang benar dengan Dia.
Bornkamm berusaha memahami arti ‘kebenaran Allah’ bertolak dari perkataan
Paulus dalam Roma 1:17, “Sebab di dalamnya (yang dimaksud adalah di dalam
Injil) nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman,
seperti ada tertulis: Orang benar akan hidup oleh iman.” Paulus berbicara
mengenai kebenaran Allah dan kebenaran orang beriman dalam satu kalimat,
sehingga ia dapat pula mengatakan “kebenaran yang berasal dari Allah yang
bergantung pada iman” atau “kebenaran oleh iman” (bdk. Flp. 3:9; Rm. 9:30;
10:4; Gal. 2:16, dsb.). Kebenaran oleh iman inilah yang melepaskan manusia dari
kematian dan membuka jalan menuju kehidupan kekal (Rm. 1:17; Flp. 3:9-11).
Paulus mempertentangkan kebenaran Allah dengan kebenaran manusia yang
didasarkan pada ketelitiannya melakukan hukum Taurat. Sesungguhnya mereka tidak
mengenal Allah, karena itu mereka mendirikan kebenarannya sendiri dan tidak
takluk kepada kebenaran Allah (Rm. 10:3; bdk. 9:30-10:4). Di sini tampak bahwa
makna ‘kebenaran’ atau ‘benar’ bukanlah kualitas seperti dalam pemikiran
Yunani, melainkan realitas Allah yang bertentangan dengan realitas orang
berdosa (Rm. 4:5; bdk. 5:6). Allah mengaitkan kebenaran-Nya dengan manusia
berdosa, yang dalam dirinya sendiri tidak benar. Allah adalah benar dan
membuktikan kebenaran-Nya dengan jalan membenarkan manusia yang beriman (Rm.
3:26). Dengan demikian kebenaran Allah dapat dikenakan, baik kepada Allah
maupun kepada manusia. Bedanya, dari pihak Allah, secara aktif Dia menyatakan
kebenaran-Nya sehingga membenarkan, sedangkan dari pihak manusia, secara pasif
ia menerima pernyataan kebenaran itu dan karena itu dibenarkan.[24]
Dalam PL, kebenaran seringkali disebut dalam Mazmur dan kitab Yesaya untuk
menyatakan ketaatan terhadap struktur kewajiban yang ditetapkan oleh suatu
perjanjian. Menunjukkan kebenaran berarti setia terhadap janji yang telah
dinyatakan. Hal ini juga berlaku bagi Allah, yang kebenaran-Nya merupakan bukti
kesetiaan-Nya terhadap perjanjian yang telah dinyatakan-Nya, termasuk janji
penyelamatan bagi umat Allah. Kata Ibrani untuk kebenaran, yaitu sedaqa,
dapat pula berarti kelepasan (Yes. 46:13; 51:6,8), sehingga kebenaran
Allah dalam PL menunjukkan sifat Allah, yang selalu siap menolong dan
menyelamatkan ciptaan-Nya. Kebenaran (dalam konsep Ibrani) diterjemahkan
dengan dikaiosunē dalam bahasa Yunani, yang berbeda dengan alētheia (konsep
Yunani). Dari sisi manusia, dikaiosunē adalah tindakan yang berpadanan
dengan kehendak Allah, sedangkan dari sisi Allah, dikaiosunē adalah
tindakan Allah dalam membenarkan manusia. Sementara itu, alētheia adalah
sesuatu yang dapat dipercaya sebagai benar mengenai Allah.
Menurut Ernst Käsemann, doktrin Paulus tentang dikaiosunē theou sebenarnya merupakan pengungkapan kuasa Allah (God’s power) yang berlaku atas dunia,
dan bahwa keselamatan tidak terlepas dari padanya. Karunia Allah dan
keselamatan individual hanya dapat terjadi jika kita taat terhadap kebenaran
ilahi. Kalau Paulus membicarakan kebenaran Allah, maka yang ingin diungkapkan
tidak lain adalah kekuasaan dan kebesaran Allah. Kebenaran Allah adalah karunia
bagi manusia (Rm. 5:17, dōrea) yang
diterima melalui iman (Rm. 3:22). Karya penyelamatan Allah adalah ‘propiation’ (jalan pendamaian, Rm. 3:25)
yang tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang ‘murka Allah’ atas
perbuatan-perbuatan dosa. Hal tersebut dipaparkan dalam argumen yang padat
dalam Roma 1:18-3:20. Bagian ini merupakan introduksi mengenai murka Allah yang
dinyatakan dari surga melawan setiap bentuk kejahatan (Rm. 1:18). Keharusan
manusia menerima murka Allah ini telah dilepaskan oleh Allah melalui
kehadiran-Nya dalam diri Yesus, sehingga manusia terbebas karenanya. ‘Propiation’ berarti pembebasan dari
murka Allah melalui pengorbanan. Dengan demikian, ‘propiation’ sekaligus menjadi ‘expiation’
(penebusan). Jalan pendamaian itu dapat diterima oleh orang-orang percaya
melalui pekerjaan Kristus Yesus yang berpuncak pada pengorbanan diri-Nya (Rm.
5:9; 1Tes. 1:10, 5:9).[25]
Dalam Roma 3, kebenaran Allah muncul beberapa kali (mis. ayat
5-7). Konteksnya adalah pembicaraan mengenai kesamaan kedudukan antara orang
Yahudi dan kafir di hadapan Allah. Mereka sama-sama memiliki kemungkinan untuk
memperoleh pengampunan Allah, karena mereka sama-sama berada di bawah kuasa
dosa (Rm. 3:9-20). Namun kini, tanpa hukum Taurat, kebenaran Allah telah
dinyatakan seperti dalam hukum Taurat melalui Yesus Kristus, dan manusia dapat
memperoleh pembenaran melalui iman kepada-Nya.
“Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan,
seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi, yaitu
kebenaran Allah yang karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang percaya.
Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah
kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan
cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan
Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya
untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena telah membiarkan dosa-dosa yang telah
terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya. Maksud-Nya ialah untuk menunjukkan keadilan-Nya
pada masa kini, supaya nyata, bahwa Ia benar dan juga membenarkan orang yang
percaya kepada Yesus” (Rm. 3:21-26).
Dari perikop di
atas, ada tiga hal yang perlu dicatat. Pertama, kematian Yesus
dilukiskan sebagai tindakan kesetiaan, yang menunjukkan bahwa Allah memelihara
janji-Nya yang telah diberikan kepada Israel. Kedua, Kematian Yesus
membuktikan bahwa Allah tidak berpihak pada kejahatan. Kesabaran Allah terhadap
dosa-dosa masa lalu tidak dapat diartikan sebagai keberpihakan-Nya kepada
amoralitas. Dalam peristiwa Kristus, Allah menunjukkan keadilan-Nya terhadap
dosa-dosa dan pemberontakan manusia. Salib merupakan sarana pendamaian yang
memungkinkan orang berdosa kembali berelasi dengan Allah yang benar. Ketiga,
hal-hal di atas berlaku, baik bagi orang-orang Yahudi, maupun orang-orang
kafir. Allah yang satu dan sama, akan membenarkan, baik orang-orang bersunat,
maupun tidak bersunat, karena iman (Rm. 3:29-30). Hal ini bukan meniadakan
Taurat, melainkan justru meneguhkannya (Rm. 3:31).[26]
Dari perikop tersebut jelas pula bahwa Kristus berperan sebagai paraga,
yang melalui diri-Nya Allah bertindak, baik dalam menyata-kan kebenaran dan
keadilan-Nya, maupun dalam membenarkan mereka yang percaya kepada penyataan
kebenaran-Nya. Kristus telah ditentukan Allah sebagai jalan pendamaian bagi
orang yang beriman kepada-Nya. Beriman kepada Kristus berarti beriman kepada
Allah sendiri, karena di dalam Dia, Allah bertindak untuk menyatakan kebenaran
dan keadilan-Nya.
6) Allah akan
menghakimi
Sekalipun Allah
menghendaki agar manusia melakukan hal yang baik seturut dengan kehendak-Nya,
namun dalam kenyataan, secara universal manusia cenderung melawan Allah (Rm.
3:11-18). Dalam melihat kejahatan manusia, Paulus tidak menekankan
bentuk-bentuk dosa dalam berbagai tindakan etis, melainkan lebih melihat
hubungan antara manusia dengan Allah. Segala tindakan yang tidak memuliakan
Allah, tidak takut akan Allah, menodai kekudusan nama Allah, semua itu adalah
dosa. Manusia harus mempertanggung-jawabkan dosa-dosanya di hadapan Allah.
Bahkan sepantasnyalah kedurhakaan mereka dihukum oleh Allah. Namun karena
kasih-Nya, Allah hadir untuk menawarkan pengampunan dan pertobatan melalui diri
Yesus (Rm. 5:6). Dalam hal ini, kasih Allah tidak bertentangan dengan
keadilan-Nya. Oleh karena kasih-Nya, Allah menawarkan pengampunan, namun
pelanggaran dan kedegilan hati tidak akan dibiarkan berlalu dihadapan-Nya.
Paulus melihat, bahwa dalam batas-batas tertentu, penghakiman Allah itu
sudah dilakukan saat ini, yaitu dalam bentuk bermacam-macam penderitaan yang
harus dialami oleh manusia akibat dosa-dosanya. Namun pada sisi lain, kita
tidak dapat selalu menganggap penderitaan itu sebagai akibat dosa. Bagi orang
beriman, penderitaan dapat dilihat sebagai pendisiplinan Allah terhadap milik
yang dikasihi-Nya (1Kor. 11:32). Justru dengan didikan itulah Allah meluputkan
umat-Nya dari kebinasaan bersama-sama dunia. Dalam hal ini, Paulus melihat
Allah sebagai Allah yang aktif berintervensi dalam pembenahan moralitas
manusia, agar mereka kembali kepada kasih dan kebenaran. Dalam arti yang lebih
luas, Paulus melihat penghakiman dalam perspektif masa depan. Pada akhir zaman,
Allah akan menghakimi semuanya, termasuk hal-hal yang tersembunyi (Rm. 2:16).
Penghakiman terakhir ini merupakan penghakiman universal, untuk semua manusia
(Rm. 2:11), termasuk orang-orang di luar umat Allah (1Kor. 5:13) dengan
penghakiman yang adil (Rm. 2:5; 2Tes. 1:5-6). Mereka yang tidak berkenan kepada
Allah karena perilakunya akan dihukum (1Kor. 10:5).
7) Jemaat
sebagai buah pekerjaan Allah
Persekutuan
orang percaya sering disebut sebagai ‘jemaat Allah’ (1Kor. 1:2; 10:32; 11:22,
16; 15:9; 2Kor. 1:1; Gal. 1;13; 1Tim. 1:5, 15, dsb.), atau juga disebut ‘Israel
Allah’ (Gal. 6:16), ‘tempat kediaman Allah’ (‘dwelling place of God,’ Ef. 2:22), ‘anggota keluarga Allah’ (Ef.
2:19). Di tempat lain, persekutuan itu juga disebut sebagai ‘bait Allah,’ yaitu
tempat kudus Allah (1Kor. 3:16-17). Sebutan ini melukiskan relasi antara orang
beriman dengan Allah. Gereja bukan saja menjadi milik Allah, melainkan Allah
sendiri juga aktif di dalamnya dengan menempatkan para hamba-Nya, bukan hanya
para rasul, tetapi juga orang-orang beriman yang lain (1Kor. 12:24). Di samping
itu, Paulus juga melihat bahwa Allah juga bekerja dalam setiap individu. Allah
melimpahkan karunia-Nya untuk setiap orang (1Kor. 7:7).
Persekutuan orang percaya terjadi karena inisiatif Allah. Sekalipun
demikian, tidak berarti bahwa manusia menjadi pihak yang sama sekali pasif.
Justru sebaliknya, terhadap inisiatif Allah tersebut, manusia secara aktif dan
penuh kesadaran harus mengambil keputusan untuk menerima dan memberi tanggapan
positif dengan iman terhadap karya penyelamatan Allah. Oleh sebab itu, gereja
seharusnya menjadi persekutuan yang bersifat responsif, yang memberikan respons
positif maupun aktif terhadap karya penye-lamatan Allah. Respons positif adalah
iman, yang pada hakikatnya merupakan peng-ya-an tanpa syarat terhadap karya dan
kehendak Allah. Sedangkan respons aktif terwujud dalam segala aktivitas yang
merupakan ungkapan syukur dan ketaatan terhadap kehendak Allah. Hal ini tidak
hanya berlaku untuk gereja sebagai persekutuan, melainkan juga berlaku untuk
setiap orang beriman secara individual. Keberadaan seseorang di tengah
persekutuan tidak terjadi secara mekanis atau berdasarkan kodrat belaka,
melainkan karena keputusan pribadi yang sadar. Akibatnya, konsekuensi logis
dari keputusan yang diambilnya haruslah dilaksanakan dengan sadar dan
bertanggung jawab. Pendapat bahwa iman merupakan anugerah pasif, tidak memiliki
cukup alasan, bahkan sering memperlemah kesadaran individu untuk hidup secara
konsekuen berdasar keputusan yang diambilnya. Karena pemikiran seperti ini,
banyak anggota persekutuan yang hidup keimanannya acuh tak acuh, tanpa
penghayatan personal akan relasinya dengan Allah, dan tanpa keterlibatan serius
dalam kehidupan persekutuan.
Lebih jauh, Paulus mengaitkan persekutuan orang percaya dengan keselamatan
yang telah diterimanya. Menurut A.M. Hunter, inti teologi Paulus adalah
keselamatan. Karena itu, surat-surat Paulus sering disebut sebagai surat-surat
keselamatan atau Injil keselamatan (Kis. 13:26; Rm. 1:11). Keselamatan yang
dimaksud tidak hanya secara rohani, melainkan keselamatan total manusia. Hal
ini berbeda dengan gagasan Yudaisme, yang mengartikan keselamatan hanya dari
sisi kerohanian belaka.
b. Kristologi Paulus
1) Kristologi
Monoteistis
Bagi Paulus, pernyataan ‘Yesus itu Tuhan’ merupakan dasar pengakuan
Kristen. Bahkan ia mengatakan bahwa tidak seorang pun dapat mengatakan ‘Yesus
itu Tuhan,’ jika bukan karena Roh Kudus (1Kor. 12:3). Namun untuk memahami
secara penuh makna pernyataan ‘Yesus itu Tuhan,’ diperlukan pengertian mengenai
makna nama ‘Yesus’ dan gelar ‘Tuhan’-Nya. Seandainya gelar ‘Tuhan’ dimengerti
dalam perspektif keilahian, yakni sebagai Roh yang memberi kehidupan (1Kor.
15:45), maka pendapat Frederich Fyvie Bruce bahwa hal ini tidak sesuai dengan
realitas kemanusiaan Yesus historis, rupanya masuk akal.[27] Gambaran Paulus tentang
Yesus historis tidak bersifat doketis. Ia mengatakan bahwa Yesus benar-benar
dilahirkan oleh seorang perempuan (Gal. 4:4) dan benar-benar mengalami kematian
di kayu salib (Flp. 2:8). Tubuh Kristus benar-benar bersifat kedagingan (Kol.
1:22). Itulah sebabnya Paulus dapat mengatakan bahwa Ia mengambil rupa
manusia (Flp. 2:7-8). Kemung-kinan ayat itu merupakan terjemahan kata Aram kebar’enãsh,
yang berarti seperti anak manusia (Dan. 7:13). Ke dalam bahasa Yunani.
Hal ini lebih jelas dikatakan Paulus dalam Roma 8:3, bahwa Allah telah mengirim
Anak-Nya “dalam daging, yang serupa dengan daging, yang dikuasai dosa karena
dosa.” Dari ayat ini, dengan jelas Paulus mengatakan bahwa dimensi kedagingan
Yesus adalah kedagingan yang dikuasai dosa.
Namun pada sisi lain, secara harfiah, seakan-akan Paulus
juga mengutarakan pra-eksistensi Yesus serta peran kosmis-Nya. Kepada jemaat
Korintus ia menulis, “Hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa. Yang dari pada-Nya
berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja,
yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan dan yang karena Dia
kita hidup” (1Kor. 8:6). Di samping itu juga dikatakan bahwa Kristus adalah
‘gambar Allah’ (2Kor. 4:4), yang sekalipun Dia kaya, telah menjadi miskin
karena umat-Nya, supaya umat-Nya menjadi kaya karena kemiskinan-Nya (2Kor. 8:9).
Hal ini memiliki makna senada dengan Filipi 2:6-8.
Berdasar pernyataan-pernyataan Paulus di atas, lazimnya
orang menafsirkan bahwa seperti apa pun bentuk asli rumusan kristologis
tersebut, Paulus mendukung sepenuhnya dan mengintegrasikannya ke dalam argumennya
sendiri. Jadi, Paulus percaya pada pernyataan bahwa Kristus Yesus, sebelum
mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba, telah berada dalam rupa
Allah.[28] Rupanya dari pemahaman
seperti inilah doktrin yang menyatakan bahwa Kristus itu manusia sejati
sekaligus Allah sejati menemukan akarnya. Benarkah demikian?
Telah dikatakan bahwa Paulus adalah seorang Yahudi
monoteistis tulen, yang memahami bahwa Allah telah menghadirkan diri dengan
berbagai cara di sepanjang sejarah umat-Nya. Konsisten dengan penalaran itu,
logis pula jika sejak pengalamannya di jalan ke Damsyik, Paulus memahami Yesus
sebagai paraga yang mengejawantahkan kehadiran Allah. Dalam alur
pemikiran ini, maka yang dipuji sesungguhnya adalah Allah sendiri, yang telah
berkenan mengha-dirkan diri di dalam dan melalui Kristus. Sama seperti dalam
madah persekutuan mula-mula, dalam berbagai ungkapannya, Paulus tidak menaruh
perhatian pada hakikat (nature) Yesus secara ontologis, dan tidak
ingin mempersoalkannya. Yang ingin
dipuji adalah tindakan Allah, yang telah berkenan hadir dalam kehidupan manusia
dan merendahkan diri demi keselamatan manusia. Yang dikidungkan
pra-eksistensi-Nya pun adalah Allah sendiri. Dia yang telah menciptakan langit
dan bumi, serta memeliharanya dengan kesetiaan; Dia yang telah menyatakan diri
kepada bapa-bapa leluhur; Dia yang telah memimpin perjalanan Israel dengan
tiang awan dan tugu api; Dia pulalah yang kini sedang hadir dan bertindak.
Dengan demikian inti pokok yang dipersoalkan bukanlah hakikat Yesus sebagai manusia
sejati atau Allah sejati, melainkan bahwa di dalam dan melalui pribadi Yesus,
Allah berkenan menghadirkan diri dan bertindak menyela-matkan umat-Nya. Hal itu
sesuai dengan makna kata ‘Yesus’ atau ‘Yoshua,’ yaitu Tuhan Penolong.
2) Yesus “Kurios”
Gelar paling menonjol yang digunakan Paulus bagi Yesus adalah Tuhan
(Kurios). Bahkan Longenecker menduga bahwa kemungkinan ketuhanan Yesus,
dalam arti religius dan historis, pertama-tama dikonseptualisasikan oleh
Paulus. Menghadapi tekanan ideologi asing serta kebutuhan untuk menjelaskan
makna karya Kristus, nada metafisis dan ontologis seakan-akan terlekat pada
keyakinan yang hendak diungkapkannya. Bahkan dalam perkembangannya, ketika
menghadapi bidat Kolose, penulis surat pseudo Paulus ini memproklamasikan Yesus
sebagai Kristus kosmis, yang ketuhanan-Nya meliputi segala sesuatu (Kol.
1:15-20). Dalam rangka menghadapi penyembahan kaisar di wilayah timur
kekaisaran Romawi, secara eksplisit Paulus mengidentifikasi Yesus dengan Allah
(Rm. 9:5; bdk. ayat-ayat pseudo Paulus, 2Tes. 1:12; Tit. 2:13) dan Juruselamat
(Flp. 3:20; bdk. ayat-ayat pseudo Paulus, Ef. 5:23; 2Tim. 1:10; Tit. 1:4; 2:13;
3:6).[29] Dalam hal ini, motif
sentral pemberitaan Paulus adalah bahwa rencana penyelamatan ilahi telah hadir
di tengah-tengah kehidupan manusia (Gal. 4:4-5). Namun perlu diteliti lebih
lanjut, sejauh manakah pernyataan-pernyataan Paulus tersebut menunjuk pada
hakikat keilahian Yesus?
Dalam penggunaan sehari-hari waktu itu, kata Tuhan
mencakup makna dari yang paling sederhana, yang sama artinya dengan tuan (suatu
sebutan kehormatan), hingga sapaan bagi Allah dalam penyembahan. Gelar Kurios
yang dikenakan kepada Yesus sebagai gelar kristologis, terutama berkembang
dalam lingkungan Hellenis-me. Perlu diingat bahwa kata Hellenistis Kurios
tidak hanya digunakan dalam hubungannya dengan konsepsi religius tertentu,
melainkan juga digunakan dalam arti umum: ‘tuan’ atau ‘pemilik.’ Bahkan kata
tersebut juga digunakan sebagai sapaan sopan-santun. Dalam pemikiran Palestina,
Yesus disebut Tuhan dalam arti profan secara umum. Namun dalam Hellenisme,
terutama dalam lingkungan kekaisaran Romawi, sebutan profan ini juga dikaitkan
dengan konsep Kurios ilahi.[30]
Kekristenan di luar Palestina pasti menjumpai penggunaan
kata Kurios dalam arti umum. Karena itu, penggunaan Kristen atas kata
tersebut dengan arti tertentu perlu disertai penjelasan, seperti pernyataan
Paulus dalam 1 Korintus 8:5-6. Umat Kristen telah mengetahui bahwa segala
kuasa, baik di surga maupun di bumi, telah diberikan kepada Yesus setelah Ia
ditinggikan, maka tuhan-tuhan yang lain bukan lagi sebagai tuhan-tuhan
absolut. Kuasa mereka telah terserap ke dalam kuasa Yesus, Kurios. Di
balik pernyataan itu, terdapat iman Paulus bahwa semua tuhan, semua penguasa
dan pemerintah, telah dikalahkan oleh Kristus dan tunduk kepada-Nya. Karena
itu, kini tidak ada lagi tuhan-tuhan dalam arti absolut. Memang, pemerintah
Romawi pada waktu itu dianggap dewa. Bahkan kaisar-kaisar Romawi diyakini
sebagai keturunan dewa. Mereka disembah, sebab memiliki asal-usul yang ilahi.
Pada satu sisi, kaisar juga disebut sebagai Kurios dalam arti penguasa
politis, namun pada sisi lain juga dihormati sebagai sosok yang bersifat ilahi.[31]
Kata Yunani Kurios digunakan untuk menerjemahkan
kata Ibrani Adon atau kata Aram Mar, yang pada masa PB,
dipergunakan, baik dalam arti Tuhan, maupun tuan. Namun, karena
kata ini lebih banyak dihubungkan dengan Yahwe, maka kata Adonai-Kurios
dipergunakan sebagai gelar liturgis bagi Allah, baik di Palestina, maupun di
kalangan Yudaisme diaspora. Menurut Cullmann, hal ini merupakan perkembangan
pemaknaan sebagaimana terjadi dengan kata Kurios dalam pemikiran
Hellenisme. Kurios berkembang dari pengertian umum tuan menjadi
pengertian absolut Tuhan. Tetapi, Bultmann berpendapat bahwa yang
terjadi bukanlah perkembangan pemaknaan dalam pemikiran Yudais, melainkan
transisi tiba-tiba sebagai sesuatu yang sama sekali baru, akibat pengaruh
Hellenisme. Karena itu, ia tidak sepakat bahwa Yesus disembah sebagai Tuhan
pertama-tama terjadi di lingkungan Hellenistis.[32]
Bertolak dari pemahaman Paulus terhadap Yesus setelah
pengalamannya di jalan ke Damsyik, gelar Tuhan yang diberikan kepada
Yesus hendaklah dimengerti dari sisi fungsionalnya, bukan dari hakikat
ontologis-Nya. Di dalam Dia, Allah mengejawantah, menghadirkan diri dan
bertindak. Oleh sebab itu, selayaknya Ia dihormati setinggi-tingginya, “Itulah
sebabnya Allah sangat mening-gikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di
atas segala nama” (Flp. 2:9). Menghormati peranan Yesus sebagai paraga yang berperan mengejawantahkan
kehadiran Allah, berarti pula menghormati Allah sendiri, sehingga, pada
hakikatnya, mengaku Kristus sebagai Tuhan, juga berarti memuliakan Allah
sendiri. Itulah maksudnya jika Paulus mengatakan, “dan segala lidah mengaku:
‘Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:11). Gelar Kurios
yang dikenakan kepada Yesus baru memperoleh maknanya secara penuh setelah
kematian dan peninggian-Nya. Sebutan Kurios-Yesus merupakan sebutan khas
bagi Yesus setelah Paskah. Dapat dikatakan bahwa gelar ini berkembang bersamaan
dengan peristiwa penyelamatan. Sekali lagi, yang hendak diungkapkan Paulus
adalah kemuliaan Allah yang telah melakukan pekerjaan penyelamatan melalui dan
di dalam diri Yesus. Ia tidak bermaksud membahas atau mendefinisikan hakikat
pribadi Yesus. Memang ada pula penggunaan gelar Kurios bagi Yesus
sebelum Paskah (Mk. 11:3; Mk. 12:35-37; Mat. 7:21), namun tidak satu pun dari
ayat-ayat itu mengindikasikan penggunaannya secara absolut. Bahkan dapat
dilihat bahwa ketiga contoh tersebut dapat diberi makna berbeda-beda menurut
konteks penggunaannya.
Dalam memperkenalkan Injilnya kepada jemaat Roma, Paulus menempatkan Yesus
sebagai pusat pewartaannya. “Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan
perantaraan nabi-nabi-Nya dalam Kitab Suci, tentang Anak-Nya, yang menurut
daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan
oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang
berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Rm. 1:2-4). Perubahan perspektifnya
terhadap Yesus terjadi sejak pengalaman teofaninya di jalan ke Damsyik (Gal.
1:15-16). Hal yang menarik untuk diperhatikan: dalam Roma 1:4, Paulus menyebut
‘Roh kekudusan’ dan bukan ‘Roh Kudus.’ Rupanya Paulus mengambil rumusan tersebut
dari kredo jemaat perdana dan menggunakannya untuk memperkenalkan Injilnya
dalam rangka mengungkapkan pribadi Yesus. Pertama-tama ia mengawalinya dengan
pernyataan mengenai hubungan Yesus dengan Allah (terungkap dalam kata
‘Anak-Nya’), kemudian hubungan Yesus dengan orang percaya (‘Yesus Kristus Tuhan
kita’). Di antara kedua pernyataan disisipkan sejarah pendek misi Yesus,
sebagai keturunan Daud yang dibangkitkan dari antara orang mati.
Jika sebutan ‘Kristus’ dan ‘Tuhan’ berkaitan dengan hubungan antara Yesus
dengan umat-Nya, maka bagi Paulus, sebutan ‘Anak Allah’ menyangkut hubungan
antara Yesus dengan Allah. Hal ini sejajar dengan perkataan Paulus, “Tetapi
setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya ...” (Gal. 4:4, bdk. Rm.
8:3). Bagaimanakah gelar ‘Anak Allah’ ini harus dimengerti? Paulus menyebut
seluruh orang percaya sebagai ‘anak-anak Allah’ dan Allah sebagai ‘Bapa kita,’
bukan hanya ‘Bapa Yesus.’ Sekalipun demikian, jelas bahwa gelar ‘Anak Allah’
bagi Yesus memiliki makna khusus, karena, keanakallahan Yesus itu memberi
kemungkinan kepada semua orang percaya untuk diangkat menjadi anggota keluarga
Allah (Rm. 8:17, 29).[33]
Kekhasan hubungan Yesus dengan Bapa-Nya jelas dari cara Paulus menyampaikan
berkat di awal surat-suratnya, dari Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus, secara
bersama-sama. Di samping itu, dalam madah jemaat perdana yang dikutipnya (Flp.
2:6-8; bdk. Kol. 1:15-20), langsung atau tak langsung, Paulus mengungkapkan
kekhasan hubungan Yesus dengan Allah (bdk. 1Kor. 8:6; 2Kor. 8:9; Rm. 1:3-4).
Kebanyakan ahli PB sepakat bahwa di balik perikop-perikop itu terdapat gagasan
tentang Hikmat Allah. Dalam kitab Amsal Salomo, Kebijaksanaan Salomo dan Yesus
ben Sirakh, Hikmat dilukiskan sebagai pribadi, yang merupakan kawan sekerja dan
bekerja bersama Allah, baik dalam karya penciptaan, maupun dalam pemeliharaan
ciptaan-Nya. Dalam Amsal 8:22-31, Hikmat itu berkata, “Ketika Allah menegakkan
langit, Aku ada di sana, ... Aku bersama dengan Dia ... dst.” Paulus dan para
penulis PB mengenakan peranan Hikmat ini untuk menjelaskan Yesus. Yesus bukan
hanya salah satu di antara ‘anak-anak Allah,’ melainkan sebagai pengejawantahan
kehadiran Allah, sebagaimana peranan Hikmat, yang terlibat dalam pekerjaan
penciptaan dan ditetapkan untuk menaklukkan segala sesuatu di hadapan hadirat
Allah (1Kor. 15:28). Hanya di beberapa tempat Paulus mengidentifikasi Yesus
dengan Allah (Rm. 9:5; bdk. 2Tes. 1:12; Tit. 2:13), namun ia tetap membedakan
antara Bapa yang Mahakuasa dengan Anak yang taat. Dalam hal ini, rupanya Paulus
tidak bermaksud membicarakan hakikat keilahian Yesus, melainkan hanya
menegaskan bahwa di dalam dan melalui Yesus, Allah telah bertindak dan
menghadirkan diri. Sekali lagi, Paulus tidak bermaksud menyodorkan konsepsi
tentang Allah yang biteis.
Dalam Roma 10:9, Paulus mengaitkan secara langsung sebutan Tuhan dengan
kebangkitan Yesus (bdk. 1Kor. 12:3; Flp. 2:11; 2Kor. 4:5) dengan tekanan pada
“kehormatan dan kemuliaan pribadi Yesus.” Banyak orang menduga bahwa gelar ini
berlatar belakang kultus Yunani. Dengan demikian, pengenaannya pada Yesus tidak
bermak-sud menekankan sifat historisnya, melainkan pada kemuliaan dan kekuasaan
yang diejawantahkan dalam diri-Nya. Dalam hal ini Paulus lebih berpikir dengan
latar belakang Yahudi ketimbang Yunani, sehingga tidak mengaitkan gelar Tuhan
dengan karya penyelamatan yang dilakukan-Nya, melainkan dengan peninggian
setelah kebangkitan-Nya.
3) Mesias
Juruselamat
Meskipun belum
terumus dalam bentuk doktrin yang konsisten, pada masa pra-Kristen, orang
Yahudi telah memiliki kepercayaan mengenai Mesias. Semula, gagasan mesianis itu
berkenaan dengan harapan akan datangnya seorang raja dari keturunan Daud. Pada
permulaan kekristenan, beberapa pemikiran mengenai Mesias berkembang menjadi
sosok kekal yang disebut ‘Anak Manusia’ atau ‘Sang Manusia.’ Anak Manusia itu
merepresentasikan sosok pribadi kekal yang ada bersama Allah, yang telah
berulang kali menyatakan diri melalui berbagai pengalaman mistis serta
penglihatan orang-orang suci di segala zaman, seperti Henokh dan Ezra. Kini
gambaran itu dikenakan kepada Yesus, yang dipercayai sebagai Mesias. Bertolak
dari kehidupan dan kematian-Nya, Ia juga dihubungkan dengan sosok Hamba Tuhan
yang menderita, sebagaimana digambarkan dalam Deutero Yesaya. Selanjutnya,
kepercayaan mesianis ini digabungkan pula dengan gagasan Yahudi mengenai Hikmat
Allah, yang melalui-Nya dunia ini diciptakan dan melalui-Nya pula Allah
menyatakan diri. Dalam perkembangan berikutnya, gagasan tersebut berhubungan
pula dengan doktrin Yunani tentang Logos,
Akal budi yang kekal, percikan ilahi di dalam manusia. Sekalipun Paulus tidak
pernah benar-benar mengidentifikasi Kristus dengan Logos seperti penulis Injil keempat, namun ia berusaha memahami
kedudukan Kristus dalam hubungan-Nya dengan manusia dan dunia ini dalam bahasa
spekulasi Logos. Karena itu, ia
menyebut Kristus sebagai ‘Hikmat Allah.’[34]
Di dunia di luar Yudaisme, kebanyakan agama yang hidup waktu itu percaya
kepada ‘Juruselamat Ilahi,’ yang telah hidup, mati dan bangkit kembali. Mereka
yang percaya dapat memasuki persekutuan dengannya melalui ritus-ritus tertentu.
Itulah yang sering disebut sebagai ‘agama-agama misteri.’ Bentuk ritusnya
bermacam-macam, ada yang kasar dan tak bermoral, ada yang melalui tahyul dan
upacara-upacara magis, ada pula yang menggunakan astrologi. Mereka tidak
memiliki latar belakang pemikiran Yudaisme, sehingga mereka tidak akan mengerti
jika Paulus berbicara mengenai Kristus (Mesias). Lain halnya jika Paulus
berbicara mengenai ‘Tuhan, Juruselamat,’ frasa itu tidak lagi asing dalam benak
mereka. Itulah sebabnya, dalam pewartaannya kepada orang-orang kafir, Paulus
lebih banyak menggunakan bahasa ‘Tuhan, Juruselamat.’[35]
Dalam surat-suratnya, Paulus tidak pernah memberi penjelasan bahwa Yesus
adalah Kristus. Rupanya, sebutan Kristus pada waktu itu sudah menjadi semacam
‘nama diri’ yang dikenal untuk Yesus. Namun karena Paulus selalu menyebut Yesus
sebagai ‘Yesus Kristus’ atau ‘Kristus Yesus,’ agaknya Kristus tidak
menggantikan nama Yesus. Dalam hal ini, sebutan Kristus mengungkapkan
iman kristiani jemaat mula-mula (Mk. 8:29-30; 14:61; Mat. 1:16; Yoh. 4:24;
7:26). Paulus mengambil alih sebutan Kristus, yang merupakan terjemahan kata
Ibrani Mesias, untuk Yesus. Dengan kata lain, ia juga mengambil alih
pengakuan di kalangan jemaat Kristen Yahudi mula-mula. Pengenaan gelar Kristus
kepada Yesus, secara soteriologis tentu terhubung dengan kematian dan
kebangkitan-Nya. Memang Paulus memberi tekanan pada signifikansi kematian Yesus
secara soteriologis. Bahkan lebih dari itu, salib merupakan fokus utamanya.
Martin Kähler mengatakan bahwa tanpa salib tidak ada kristologi, dan inti
kristologi tidak lain adalah pembenaran melalui salib. Dalam hal ini,
kristologi ditransfer dari pengertian metafisis ke dalam sejarah dan realitas
kehidupan secara konkret.[36] Namun rupanya, ajaran
tentang tindakan penyelamatan Allah melalui dan di dalam diri Yesus Kristus
bukanlah penemuan Paulus sendiri, melainkan merupakan refleksi Paulus terhadap
kerygma yang diambil alih dari jemaat perdana.[37]
Ketika Paulus berkata bahwa menurut daging Yesus dilahirkan dari
keturunan Daud (Rm. 1:3), ia tidak semata-mata menunjukkan kemanusiaan Yesus,
melainkan mengidentifikasi Yesus sebagai Raja Mesianis menurut garis keturunan
Daud. Sekalipun demikian, Paulus tidak pernah menyebut Yesus sebagai raja dan
tidak pernah membicarakan kerajaan-Nya. Yang paling sering ia lakukan adalah
menyebut Yesus sebagai ‘Yesus Kristus.’ Tidak perlu dibuktikan bahwa Paulus
menganggap penting kemesiasan Yesus, karena, bagi Paulus, ‘Kristus’ telah
menjadi nama yang menyatu dengan Yesus, yang konotasi mesianisnya tidak perlu
lagi ditonjolkan. Pemahaman mesianis terhadap pribadi Yesus telah diterima apa
adanya oleh Paulus, sehingga Kristus telah dijadikan semacam nama diri, tanpa
kehilangan makna mesianisnya.[38] Paulus memahami Yesus
sebagai Juruselamat dunia, namun juga sebagai Mesias Israel khususnya (Rm.
1:16; ps. 9-11).
Peran Yesus sebagai Juruselamat bukan karena secara alamiah (by
nature) memang demikian, melainkan karena mengemban pekerjaan Allah sendiri
(Gal. 4:4-5). Sekali lagi perlu dikatakan bahwa Yesus adalah paraga
Allah, yang melalui-Nya Allah hadir, menyatakan kehendak-Nya, dan melakukan
pekerjaan penyelamatan. Fungsi yang harus diperankan dalam rangka mencapai
maksud pengutusan-Nya, dipenuhi terutama melalui kematian-Nya di kayu salib.
Sedangkan kebangkitan-Nya merupakan bukti bahwa misi itu berhasil.
4) Manusia Yesus
Tidak perlu
diragukan bahwa Paulus memandang Yesus demikian tinggi. Namun tidak dapat
disangkal bahwa ia juga sangat menekankan kemanusiaan Yesus.[39] Ia mengatakan bahwa Yesus
adalah seorang manusia (1Kor. 15:21), dilahirkan oleh seorang perempuan (Gal.
4:4), dan memiliki beberapa saudara (1Kor. 9:5). Paulus menyebut Yesus sebagai
Anak Allah, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud (Rm. 1:3).
Kata ‘daging’ bagi Paulus sering berkonotasi negatif. Biasanya, kata ini
digunakan untuk melukiskan hakikat manusia yang berdosa, serta
pengalaman-pengalaman yang berlawanan dengan kehidupan dalam Roh Kudus. Namun,
‘daging’ juga dapat memiliki arti netral, yaitu tubuh manusia. Makna kedua
inilah yang digunakan Paulus dalam Roma 1:3, ketika ia memperkenalkan sejarah
singkat kehidupan Yesus. Bagian pertama sejarah kehidupan Yesus adalah sebagai
manusia dengan segala kelemahan-Nya. Sedangkan bagian kedua adalah kehidupan
rohani Yesus dalam kuasa kebangkitan-Nya. Paulus percaya pada kemanusiaan Yesus
secara real. Bahkan ia mengatakan bahwa Yesus diutus oleh Allah, lahir dari
seorang perempuan dan takluk di bawah hukum Taurat (Gal. 4:4).
Di tempat lain, Paulus menyebut Yesus sebagai Adam yang baru. Adam
merupakan sosok penting dalam pemikiran Yahudi, sebab ia adalah teladan manusia
mula-mula, yang diciptakan sebagai ‘gambar Allah.’ Kesegambaran dengan Allah
yang terdapat dalam diri Adam, nenek-moyang manusia itu, baru menemukan
kepenuhannya dalam keterhubungannya dengan Allah secara benar. Kata Ibrani
‘Adamah’ sendiri memang berarti ‘manusia.’ Bagi Paulus, ‘gambar Allah’ secara
penuh tidak ditemukan dalam diri Adam, melainkan dilihatnya dalam diri Kristus.
“Manusia pertama, Adam, menjadi makhluk hidup (psukhēn zōsan), tetapi Adam
yang akhir menjadi roh yang menghidupkan (pneuma zōopoioun). Tetapi yang
mula-mula datang bukanlah yang rohaniah (pneumatikon), tetapi yang alamiah
(psukhikon); kemudian barulah datang yang rohaniah (pneumatikon). Manusia
pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal
dari surga. Makhluk-makhluk alamiah sama dengan dia yang berasal dari debu
tanah dan makhluk-makhluk surgawi sama dengan Dia yang berasal dari surga. Sama
seperti kita telah memakai rupa dari yang alamiah, demikian pula kita akan
memakai rupa dari yang surgawi” (1Kor. 15:45-49; bdk.
2Kor. 3:17).
Adam pertama
adalah “makhluk hidup jiwani” yang berasal dari debu tanah, sedangkan Adam kedua
adalah manusia rohani yang berasal dari surga, yaitu Kristus. Dia juga disebut
batu karang rohani (1Kor. 10:4). Dikatakan bahwa dalam pengembaraan di padang
gurun, nenek-moyang Israel telah minum minuman rohani dari batu karang rohani
yang mengikuti mereka. Dapat diduga, istilah-istilah yang digunakan Paulus
berlatar belakang konsepsi Yunani. Kata ‘rohaniah’ berhubungan dengan kata
Yunani pneuma (roh). Tubuh jasmani adalah tubuh alamiah, yang dikuasai
oleh kehidupan duniawi. Sedangkan tubuh rohani tidak lagi dikuasai oleh
nafsu-nafsu duniawi. Itulah tubuh yang telah dibangkitkan.[40]
Namun dalam hal ini, Paulus tidak bermaksud mempertentangkan antara hal
jasmani dan rohani secara dualistis, melainkan ada dua hal yang hendak
dinyatakannya: Pertama, ada perbedaan antara karakter manusia yang
berdosa dan memberontak Allah, sebagaimana terwakili dalam kemanusiaan
Adam, dengan karakter ‘gambar Allah’ sejati, yang penuh kebenaran dan
ketaatan terhadap kehendak Allah, sebagaimana dinyatakan dalam diri Yesus Kristus.
Kedua, Paulus mempertentangkan antara dosa Adam yang fatal, yang
menyebabkan manusia berada di bawah hukuman, dengan kebenaran dan ketaatan
Yesus, yang membawa penyelamatan dan pembenaran (Rm. 5). Dalam hal ini, ‘Adam’
bukan sekadar menunjuk kepada seorang individu, melainkan mewakili kemanusiaan
manusia pada umumnya. Paulus mempertentangkan antara mortalitas Adam
(mortalitas kemanusiaan pada umumnya) dengan kehidupan kebangkitan Yesus (1Kor.
15). Secara implisit, Filipi 2:1-11 juga mempertentangkan antara ketidaktaatan
manusia yang disertai akibat fatal, dengan manusia Kristus yang taat dan
merendahkan diri dengan akibat justru ditinggikan. Hal yang ingin ditekankan
adalah Yesus sebagai manusia baru, gambar Allah yang mulia, yang membawa
pemulihan bagi semua manusia (bdk. 1Kor. 15:49; 2Kor. 3:18; Kol. 3:10).[41]
5) Yesus Hikmat
Allah
Jika dilihat dalam PL, padanan Filipi 2:6-8 terdapat dalam perikop-perikop
yang berbicara mengenai Hamba Tuhan dan Anak Manusia, namun tidak berbicara
mengenai pra-eksistensi dan peran-Nya dalam penciptaan.[42] Dipersandingkan dengan 1
Korintus 1:18-31, tampak bahwa madah tersebut lebih dekat dengan gagasan
Hikmat. Agaknya Paulus menenunkan gagasan Hikmat itu ke dalam madah jemaat
perdana, tanpa menyinggung peran kosmisnya, melainkan lebih menitikberatkan
peranannya dalam mengejawantahkan kehadiran Allah. Sekalipun penyaliban Kristus
merupakan batu sandungan bagi orang-orang Yahudi dan merupakan kebodohan bagi
orang-orang Yunani, namun Ia telah mengejawantahkan kuasa dan Hikmat Allah.
Bagi Paulus, Yesus sungguh-sungguh menghadirkan Allah, yang kudus, benar dan
menyelamatkan. Jika Kristus diakui sebagai pengejawantahan Allah, yang
dinyatakan di dalam tindakan penyelamatan-Nya, maka terbukalah jalan untuk
mengakui bahwa Ia juga mengejawantahkan Hikmat Allah yang bekerja dalam
penciptaan.
Dalam Filipi 2:6 dikatakan bahwa Yesus berada dalam ‘rupa
Allah.’ Kata Yunani yang digunakan adalah morfē (rupa) dan bukan ousia
(hakikat). Namun, karena adanya kata kesetaraan setelah frasa tersebut,
maka ungkapan itu sering dipahami sebagai kesehakikatan Yesus dengan Allah.
Tentu saja, pengertian ini tidak sejalan dengan monoteisme PL. Mungkin lebih tepat
jika dipahami bahwa ungkapan tersebut hanya bermaksud menunjukkan peranan Yesus
sebagai pencerminan kemuliaan Allah. Yang jelas, formulator madah
tersebut pasti akrab dengan konsepsi Hikmat Yudaisme, yang tidak asing pula
bagi jemaat perdana. Bertolak dari gagasan yang telah ada, jemaat perdana
berusaha memahami pribadi Yesus yang telah bangkit itu, dan kategori-kategori
atau sifat-sifat Hikmat dikenakan kepada-Nya.
Dalam 1 Korintus 1:22-24, 30-31, secara tersirat, Paulus
memahami pribadi Yesus dalam konsepsi Hikmat. Penafsiran para ahli PB atas
ayat-ayat ini berbeda-beda,[43] namun yang jelas, Paulus
mengiden-tifikasi Yesus sebagai Hikmat dan menggunakan bahasa yang memiliki
konteks luas dalam sastra hikmat. Hal ini lebih jelas ketika Paulus memaparkan
peranan Yesus dalam penciptaan, “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja,
yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita
hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu
telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1Kor. 8:6). Teks ini paralel
dengan Amsal 3:19, “Dengan Hikmat, TUHAN telah meletakkan dasar bumi; dengan
pengertian ditetapkan-Nya langit.” Sebagai seorang Farisi terpelajar, dapat
diduga bahwa Paulus tidak bermaksud mengajukan gagasan biteisme. Pesan yang
hendak disampaikannya adalah bahwa Allah yang telah berkarya dalam penciptaan,
juga Allah yang sama, yang kini menghadirkan diri di dalam dan melalui pribadi
Yesus. Dalam alur pikiran seperti ini, Hikmat dan Yesus memiliki kesamaan peran,
yakni sebagai paraga Allah yang mengejawantahkan kehadiran-Nya, atau
sebagai wujud komunikasi Allah kepada umat manusia. Dapat dimengerti jika
berdasar teks-teks tersebut, menurut Dunn, tidak dapat disimpulkan bahwa Hikmat
itu pribadi ilahi mandiri di luar Allah, atau bahwa Yesus adalah pribadi ilahi
lain yang pra-eksisten, yang ada bersama Allah sejak purbakala. Hal yang dapat
dikatakan hanyalah bahwa Yesus adalah pengejawantahan Allah, yang merupakan
puncak penyataan kuasa kreatif Allah dan kehendak penyelamatan-Nya yang paling
konkret.[44]
6) Beberapa peristiwa kristologis yang dipersoalkan
a) Tentang kelahiran Yesus
Ada pendapat bahwa Paulus tidak mendukung kepercayaan bahwa Yesus lahir
dari seorang dara. Pendapat itu didasarkan pada dua fakta: (1) Dalam
surat-suratnya, Paulus tidak berkata apa pun mengenai masalah itu; (2) Jika
Paulus mengetahuinya, tentu ia akan menyebutkannya dalam beberapa perikop yang
terkait dengan masalah itu.
Menanggapi alasan pertama, memang dalam surat-surat
Paulus, kita tidak menemukan ayat-ayat yang menyatakan masalah kelahiran Yesus
melalui seorang dara secara jelas; namun, ada beberapa ayat yang menyinggungnya
secara tidak langsung. Misalnya, Roma 1:3. Dalam ayat ini dikatakan bahwa Yesus
“menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud.” Ungkapan ini mungkin berasal
dari tradisi Kristen sebelumnya, namun mungkin pula berasal dari Paulus
sendiri. Hanya, ada hal penting yang perlu dicatat. Dalam ayat ini Paulus tidak
menggunakan kata ‘gennaō’ yang
berarti ‘melahirkan’ (bentuk pasifnya ‘dilahirkan’) untuk ‘diperanakkan,’
melainkan ‘ginomai’ yang berarti
‘menjadikan.’ Jadi, ayat tersebut tiak bermaksud menyatakan bahwa Yesus adalah
keturunan Daud secara genealogis. Kalaupun Paulus menyebut Yesus sebagai
‘keturunan Daud,’ hal itu diwarisi dari tradisi Kristen sebelumnya. Istilah
yang sama juga digunakan dalam Galatia 4:4, “Tetapi setelah genap waktunya,
maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk
kepada hukum Taurat.” Kata dasar Yunani yang digunakan untuk ‘lahir’ juga ‘ginomai’ (genomenon ek gunaikos). Kata yang sama juga kita temukan dalam
Filipi 2:7, “... dan menjadi sama dengan manusia” (en homoiōmati anthrōpōn
genomenos). Penggunaan istilah itu rupanya dimaksudkan untuk membedakan
kelahiran Yesus dengan kelahiran manusia biasa. Kelahiran Yesus melalui seorang
perempuan (Gal. 4:4) hanya merupakan cara Allah untuk menjadikan Dia ada.
Menanggapi alasan kedua, kemungkinan besar peristiwa
kela-hiran Yesus sudah menjadi fakta yang diterima apa adanya, sehingga tidak
perlu dipersoalkan lagi. Kalaupun Paulus tidak menyinggungnya, tidak berarti
bahwa ia menolak fakta itu, melainkan justru karena telah menerimanya apa
adanya dan menganggapnya bukan lagi persoalan. Hal yang lebih penting yang
hendak disaksikan Paulus adalah makna kehadiran Yesus bagi umat manusia, yaitu
karya penyelamatan Allah yang telah terjadi melalui diri-Nya.
b) Tentang kebangkitan Yesus
Di antara tulisan-tulisan Paulus, 1 Korintus 15:3 dst. adalah salah satu
perikop yang pembicaraannya berpusat pada kebangkitan Yesus. Paulus mengatakan
bahwa apa yang diuraikan dalam perikop ini merupakan sesuatu yang telah
‘diterimanya.’ Hal ini menunjukkan ketergantungan Paulus kepada tradisi yang
lebih awal dalam kaitannya dengan fakta Yesus, yang meliputi: kematian,
penguburan, kebangkitan dan penampakan diri-Nya. Sekalipun dalam
tulisan-tulisannya yang lain Paulus tidak menguraikan tema kebangkitan, namun
gagasan mengenai tema ini menjiwai tulisan-tulisan tersebut. Dalam Roma 4:1
dikatakan bahwa kebangkitan Kristus memberi kesaksian tentang kedudukan Yesus
sebagai Anak Allah yang berkuasa. Dalam Roma 4:24-25, kebangkitan Kristus
dihubungkan dengan pembenaran dan selanjutnya pembenaran dihubungkan dengan
pendamaian oleh kematian-Nya. Sifat dasar kebangkitan Kristus dalam pikiran
Paulus, yaitu sebagai pembenaran orang beriman, terlihat pula dalam
surat-suratnya yang lain. Dalam surat Galatia, yang diawali dengan gagasannya
mengenai kebangkitan Yesus (Gal. 1:1), Paulus menjelaskan bahwa kerasulannya
berasal dari Allah sendiri.
c) Tentang kenaikan Yesus ke surga
Beberapa kali Paulus menegaskan tentang kenaikan Yesus ke surga, baik
secara langsung maupun tak langsung. Ucapannya dalam Roma 10:6-7, yang berlatar
belakang Ulangan 30:12-13, tidak akan ada artinya jika kenaikan Yesus ke surga
tidak diterima sebagai fakta. Dalam Efesus 4:9-10, Paulus mengutip Mazmur 68:19
dan memberi kesimpulan, “Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik lebih
tinggi daripada semua langit.” Demikian juga dalam hymne Kristus (Flp. 2:6-11),
sekalipun kebangkitan Yesus tidak dibicarakan secara langsung, namun kemuliaan
Kristus setelah ditinggikan sangat ditekankan. Justru karena kerelaan-Nya untuk
merendahkan diri, maka pada akhirnya Ia dimuliakan, ditinggikan di atas segala
nama, sehingga segala lidah mengaku bahwa Kristus adalah Tuhan, untuk kemuliaan
Allah Bapa.
c. Gagasan tentang dunia
Paulus sangat
berpegang pada PL, karena itu, pandangannya tentang dunia pun sama dengan
pandangan orang-orang Ibrani pada umumnya. Dunia (kosmos) diartikan sebagai ‘bumi’ (Rm. 1:20), yang adalah lingkungan
hidup umat manusia. Paulus meyakini bahwa Allah sendirilah yang menciptakan segala
sesuatu (Rm. 1:25). Ia menghubungkan Kristus dengan karya penciptaan Allah,
sehingga secara harfiah, seakan-akan Kristus berperan sebagai pelaksana
penciptaan itu (1Kor. 8:6). Namun, sesungguhnya tidak demikian. Perkataan
Paulus ini haruslah ditempatkan dalam kerangka pemikiran mengenai karya
penyelamatan Allah. Dalam terang karya penyelamatan Allah, Paulus memandang
bahwa sejarah dunia, atau sejarah umat manusia ini, berpusat pada diri Yesus,
bukan pada manusia sendiri. Karya penyelamatan Allah bagi dunia ini berpuncak
pada diri Yesus. Itulah sebabnya, seakan-akan segala sesuatu diciptakan bagi
Dia, dalam arti, segala sesuatu menuju kepada Dia. Perkataan Paulus itu dapat
kita pahami dalam pengertian bahwa Yesus telah dilibatkan dalam rencana
penyelamatan Allah yang kekal. Jadi, Paulus tidak bermaksud membicarakan
tentang pra-eksistensi Yesus. Kosmos
yang dipahami sebagai dunia manusia secara keseluruhan itulah yang menjadi
sasaran karya penyelamatan Allah dalam Yesus. Pengertian kosmos seperti ini sangat menonjol, bukan saja dalam
tulisan-tulisan Paulus, melainkan juga dalam hampir seluruh teks PB.
Dalam beberapa bagian, kosmos
memang diberi arti lain. Misal, dalam 1 Korintus 4:9, kosmos diartikan sebagai ‘lingkungan duniawi’ yang dibedakan dengan
manusia itu sendiri. Dalam pengertian ini, kosmos
memiliki kecenderungan melawan Allah. Oleh sebab itu, “Seluruh dunia jatuh ke
dalam hukuman Allah” (Rm. 3:6, 19; 1Kor. 6:2; 11:32). Hikmat dunia
dipertentangkan dengan hikmat Allah (1Kor. 1:20; 3:19) dan roh dunia berlawanan
dengan Roh yang berasal dari Allah (1Kor. 2:12; Rm. 8). Dalam keadaan seperti
itu, tanpa Allah, dunia tidak memiliki harapan.
Paulus tidak sependapat jika dikatakan bahwa dunia ini pada dasarnya memang
jahat. Kejahatan dunia ini adalah karena kuasa asing (kuasa di luar Allah) yang
sedang bekerja di dalamnya. Dalam Efesus 2:1-2, Paulus memberi nasihat kepada
jemaat, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.
Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu
menaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di
antara orang-orang durhaka.” Paulus menyamakan ‘jalan dunia ini’ dengan
‘ketaatan kepada penguasa kerajaan angkasa.’ Tetapi orang-orang beriman kini
memiliki pengharapan, karena Allah telah menghidupkan kita bersama-sama dengan
Kristus (Ef. 2:4-10). Oleh Kristus, dunia telah diperdamaikan dengan diri-Nya,
dengan tidak memperhitungkan pelanggarannya (2Kor. 5:19). Kristus telah
memerdekakan manusia dari kuk perhambaan, baik terhadap Taurat, maupun terhadap
kuasa dosa (Ef. 5:1).
Gagasan Paulus tentang dunia berkaitan juga dengan pandangannya terhadap
Iblis. Paulus menyadari betul bahwa Iblis sebagai alat kejahatan sedang bekerja
dalam dunia ini. Dalam surat-surat Paulus kita temukan dua istilah Yunani untuk
kuasa kegelapan, yaitu satanas untuk
setan dan diabolos untuk Iblis. Iblis
dipandang sebagai penjelmaan penentang Allah yang merintangi pekerjaan para
rasul (1Tes. 2:18). Iblis menggoda orang-orang percaya agar kehilangan
penguasaan diri (1Kor. 7:5). Di samping itu, Paulus juga sering menganggap
bahwa para penguasa lalim adalah penjelmaan dari kuasa Iblis ini.
Istilah-istilah yang digunakan untuk kuasa-kuasa itu antara lain
‘pemerintah-pemerintah dan kuasa-kuasa’ (arkhai
kai dunameis),
‘penguasa-penguasa’ (eksousiai),
‘roh-roh dunia’ (stoikheia), dan
‘penguasa-penguasa dunia’ (kosmokratorēs).
Namun, Kristus lebih tinggi daripada segala pemerintah dan penguasa dan
kekuasaan dan kerjaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di
dunia ini, melainkan juga di dunia yang akan datang (Ef. 1:21).
d. Gagasan tentang manusia
Di antara para
penulis PB, rupanya Pauluslah yang memberi penjelasan paling lengkap mengenai
manusia. Namun, karena banyaknya istilah yang digunakan, maka untuk mendapat
gambaran utuh gagasan Paulus tentang manusia tidak mudah. Istilah-istilah
penting yang digunakan Paulus dalam kaitannya dengan gagasannya tentang
manusia, antara lain: jiwa (psukhē),
roh (pneuma), daging (sarks), tubuh (sōma), hati (kardia) dan
akal budi (nous). Di samping itu
masih ada dua istilah lain yang berkaitan dengan gagasannya tentang manusia,
yaitu ‘hati nurani’ atau ‘suara hati’ (suneidēsis)
dan ‘manusia batin’ (esō anthrōpos). Kita akan mencoba memahami
gagasan di balik berbagai istilah Paulus tersebut.
1) Jiwa
(psukhē)
Di antara
istilah-istilah yang digunakan oleh Paulus, rupanya ‘jiwa’ (psukhē) merupakan istilah yang relatif
kurang penting baginya. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa Paulus hanya
menggunakannya sebanyak 13 kali dalam tulisan-tulisannya. Istilah ini digunakan
khususnya untuk menunjukkan unsur yang menghidupkan manusia, yang sering juga
disebut ‘nyawa’ (Rm. 11:3; 16:4; Flp. 2:30). Paulus menggunakan istilah apsukhos (tak berjiwa) untuk benda-benda
mati, dan psukhē untuk kehidupan
(bdk. 1Kor. 14:7). Kehidupan manusia ditentukan oleh psukhē (jiwa atau nyawanya). Dalam Efesus 6:6 dan Filipi 1:27, psukhē diterjemahkan dengan ‘segenap
hati’ (bdk. Kol. 3:23). Psukhikos
digunakan untuk menunjuk pada manusia duniawi, yang merupakan lawan dari pneumatikos (manusia rohani, 1Kor.
2:14). Bertolak dari 1 Korintus 15, rupanya istilah-istilah tersebut digunakan
dalam rangka menunjukkan betapa kontrasnya kehidupan orang-orang beriman dengan
orang-orang yang tidak beriman. Jadi, gagasan Paulus ini bukan karena pengaruh
pemikiran Hellenisme yang bersifat dualistik radikal, yang memisahkan sama
sekali antara jiwa dengan tubuh. Dalam pemikiran Hellenisme, jiwa dianggap
lebih dulu ada sebelum adanya tubuh. Hal ini berbeda dengan pemikiran Paulus,
yang memandang manusia sebagai kesatuan utuh, jiwa tidak mungkin tanpa tubuh
dan tubuh tidak mungkin tanpa jiwa. Dalam filsafat Yunani, jiwa dianggap
sebagai sesuatu yang mulia dan lebih tinggi daripada tubuh, sementara itu,
Paulus selalu menghubungkan psukhē
dengan kerendahan manusia.
2) Roh (pneuma)
Kata pneuma (roh) banyak digunakan Paulus
dalam hubungannya dengan Roh Kudus. Namun kata tersebut juga digunakan dengan
arti yang berhubungan dengan roh manusia. Pneuma
paling sering dihubungkan dengan karunia rohani dalam kehidupan orang-orang
percaya, yang menunjukkan kekhasan orang-orang percaya dan sekaligus
membedakannya dengan orang-orang yang tidak percaya. Dalam pengertian ini, pneuma sering dipertentangkan dengan sarks (daging). Kehidupan umat Kristen
ditentukan oleh keterhubungannya dengan Roh Allah, karena Roh Allah itu
menentukan seantero kehidupannya. Roh Allah telah mendorong pertobatan
orang-orang percaya, dan membawa dimensi baru dalam kehidupannya. Oleh Roh
Allah manusia menjadi ciptaan baru (2Kor. 5:17). Roh Allah bekerja di dalam roh
manusia dan memampukannya menanggapi pimpinan ilahi (Rm. 8:16). Sekalipun
demikian, terdapat perbedaan tegas antara Roh Allah dengan roh manusia. Bagi
orang percaya, pneuma berarti
kemanusiaan seutuhnya yang terikat pada Allah, kemanusiaan yang didorong dan
digerakkan oleh Allah. Hal ini berbeda dengan ‘orang-orang duniawi,’ karena
mereka tidak mau menerima segala sesuatu yang berasal dari Roh Allah (1Kor.
2:14).
Jika dikaji dengan seksama, rupanya terdapat kesamaan antara pengertian ‘pneuma’ dalam tulisan-tulisan Paulus
dengan pengertian ‘manusia’ dalam PL. Dalam PL, manusia hanya berarti sebagai
‘manusia gambar Allah’ jika dirinya hidup dalam relasi yang erat dan benar
dengan Allah. Kemanusiaan manusia ditentukan oleh relasinya dengan Allah.
Manusia rohani dalam tulisan-tulisan Paulus tidak merasa lebih tinggi dari
orang-orang lain, sebaliknya, justru bersikap rendah hati di hadapan Allah. Hal
ini jelas berbeda dengan gagasan tentang ‘pneumatikoi’
dalam agama misteri (misalnya ajaran Hermes yang mengatakan bahwa roh manusia
berasal dari Roh Allah, sehingga dapat terserap kembali ke dalam Roh Allah).
Pengalaman mistis seperti ini pada umumnya tidak membawa
konsekuensi-konsekuensi moral. Berbeda dengan pemikiran Paulus, bagi dia,
manusia rohani justru harus hidup dalam konsekuensi imaniah, yaitu hidup
menurut Roh Allah dalam pranata moral yang baik dan benar.
Dalam agama misteri, penyelamatan terpusat pada suatu pengalaman sukacita
yang bersifat sesaat. Tetapi, dalam tulisan-tulisan Paulus ditekankan bahwa
keselamatan mencakup pengudusan yang terjadi secara terus-menerus. Dalam agama
misteri, para pneumatikoi akan dibawa
ke dunia yang lain; dalam tulisan-tulisan Paulus ditekankan bahwa sekalipun
orang percaya tidak harus menjadi sama dengan dunia, namun ia tetap berada
dalam dunia ini dan diutus bagi dunia ini. Orang-orang percaya tidak akan
terluput dari tantangan-tantangan dunia, bahkan harus menghadapi dan
mengatasinya.
3) Daging
(sarks)
Penggunaan kata
sarks (daging) dalam tulisan-tulisan
Paulus sangat beragam maknanya. Manusia dan binatang memiliki sarks, namun Paulus membedakan antara sarks bagi manusia dan sarks untuk binantang (1Kor. 15:39).
Dalam hal ini sarks berarti materi
jasmani. Di tempat lain, Paulus menggunakan kata sarks dalam arti manusia alami, manusia dalam bentuk aslinya, yang
bersifat duniawi (1Kor. 1:29; Rm. 1:3; 3:20; Gal. 1:16). Dalam arti ini, sarks sering digunakan untuk menyatakan
manusia dalam kelemahannya. Gagasan ini dipengaruhi oleh pemikiran Ibrani yang
menyatakan bahwa makhluk selalu lemah jika dibandingkan dengan kuasa Sang
Pencipta. Kata sarks dapat pula
berarti tubuh jasmani, seperti Paulus mengatakan, “tidak pernah orang membenci sarks-nya (tubuhnya) sendiri” (Ef.
5:29). Penting untuk dicatat, Paulus tidak pernah menghubungkan kata sarks dengan moral. Hal ini menunjukkan
bahwa Paulus tidak menggunakan kata sarks
dalam pengertian dualistis Hellenisme, yang berpendapat bahwa sarks itu pada dasarnya jahat dan
bertentangan dengan pneuma. Meskipun
demikian, dalam hubungannya dengan gagasan tentang manusia, pada umumnya sarks dianggap bertentangan dengan
Allah, sehingga sering pula dipertentangkan dengan pneuma (Gal. 5:17). Tidak berarti bahwa manusia duniawi memiliki sarks yang lebih rendah daripada manusia
surgawi, tetapi yang hendak digambarkan adalah keadaan manusia duniawi
seutuhnya, yang jauh dari Allah.
4) Tubuh (sōma)
Menurut Paulus,
tubuh itu karunia Allah yang harus dijaga kekudusannya dan harus dihindarkan
dari percabulan (1Kor. 6:13-18). Tubuh merupakan ‘bait Roh Kudus’ atau ‘tempat
suci Roh Kudus’ (naos tou hagiou
pneumatos), dan melalui tubuhnya manusia dipanggil untuk memuliakan Allah
(1Kor. 6:19-20). Dalam ayat-ayat ini, sesungguhnya ‘tubuh’ lebih tepat dipahami
sebagai metafora untuk ‘umat Kristen.’ Jika dipahami sebagai metafora, maka
perkataan Paulus, “Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk
Tuhan dan Tuhan untuk tubuh” (1Kor. 6:13) lebih mudah dipahami. Dalam segala
hal, tubuh (dalam arti jemaat Tuhan) adalah untuk Tuhan (1Kor. 6:13). Terlepas
dari penggunaan metaforis ini, agaknya Paulus menganggap tubuh (sōma) lebih tinggi daripada daging (sarks). Tubuh yang kini dibatasi oleh
kuasa kedagingan akan dibebaskan dan diperbarui (Rm. 8:23). Sama seperti ‘akal
budi’ (nous) diperbarui
berangsur-angsur melalui proses bertahap, demikian halnya dengan tubuh (sōma), yang lama akan diganti dengan
yang baru secara bertahap (Rm. 12:1-2).
Paulus juga menggunakan istilah ‘tubuh’ untuk keberadaan manusia sebagai
satu kesatuan. Dalam Roma 6:6 dikatakan, “Karena kita tahu bahwa manusia lama
kita telah turut disalibkan, supaya ‘tubuh dosa’ (to sōma tēs hamartias) kita hilang kuasanya, agar jangan kita
menghambakan diri lagi kepada dosa.” Dalam hal ini, Paulus menggunakan kata
‘tubuh dosa’ untuk mengungkapkan keberadaan manusia sebagai satu kesatuan. Dosa
adalah kenyataan manusia secara corporate
humanity, tidak memandang suku bangsa, semua manusia adalah pendosa yang
menghadapi kematian. Gagasan tentang kesatuan karakter ini juga dikenakan untuk
jemaat. Persekutuan orang percaya seharusnya tidak lagi dikuasai oleh ‘tubuh
dosa’-nya, sebaliknya harus ‘mematikan perbuatan-perbuatan tubuh’ (tas prakseis tou sōmatos thanatoute)
oleh Roh, agar hidup. Jika tetap hidup ‘menurut daging’ (kata sarka), maka mereka akan mati (Rm. 8:13).
5) Hati
(kardia)
Dalam PL, kata
Ibrani leb (hati), dianggap sebagai
pusat perasaan, pusat kesadaran dan pikiran, bahkan pusat kehidupan itu
sendiri. Sebagai seorang Ibrani asli, Paulus sangat terpengaruh oleh gagasan
ini. Paulus menggunakan kata Yunani kardia
dengan arti ‘pusat kehidupan manusia,’ antara lain dalam 2 Korintus 3:3,
“Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh
pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang
hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan ‘pada loh-loh daging, yaitu dalam
hati manusia’ (en plaksin kardiais
sarkinais).”
Frasa ‘en plaksin kardiais sarkinais’ dapat
diterjemahkan ‘pada loh-loh hati kedagingan’ (on tablets of the fleshly heart). Jadi, dalam ayat ini, Paulus
bermaksud mengatakan bahwa jemaat adalah surat pujian yang hidup bagi kemuliaan
Allah, karena firman Allah yang diberitakan oleh para rasul telah tertulis
dalam ‘hati kemanusiaan’ (pusat kehidupan) mereka. Hati manusia secara utuh
adalah penggerak kesadaran yang memungkinkan seseorang menjadi percaya (Rm.
10:10). “Kardiai gar pisteuetai eis
dikaiosunēn” dalam Roma 10:10, yang diterjemahkan oleh LAI “Karena, dengan
hati, orang percaya dan dibenarkan” sesungguhnya lebih tepat diterjemahkan
“Karena, dengan hatilah orang percaya kepada kebenaran.” Allah telah membuat terang-Nya
bercahaya ‘dalam hati’ (en tais kardiais)
orang beriman, sehingga kita memperoleh terang dan pengetahuan tentang
kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam Kristus (2Kor. 4:6, bdk. Ef. 1:18).
Keinginan hati manusia duniawi adalah kecemaran, sehingga manusia duniawi
saling mencemarkan tubuh mereka (Rm. 1:24). ‘Kekerasan hati’ (sklērotētos tēs kardias) manusia duniawi
sering menyebabkannya tidak mau bertobat, sehingga akan menimbun murka Allah
yang akan dinyatakan pada Hari Penghakiman (Rm. 2:5). Pada dasarnya kardia itu sendiri netral; sekalipun
demikian, ia dapat taat atau tidak taat kepada Allah. Manakala hati tidak taat
kepada Allah, maka jahatlah apa yang diperbuat oleh manusia, sebaliknya, jika
hati itu taat kepada Allah, maka manusia tidak lagi menjadi hamba dosa (Rm.
6:17).
6) Akal budi
(nous)
Berbeda dengan
pengertian Hellenistis, Paulus mengartikan nous
sebagai indera istimewa. Dengan nous-nya
manusia adalah makhluk yang berakal budi, sehingga mampu mengerti. Bagi Paulus,
nous menjangkau seluruh aktivitas
manusia dan bukan hanya berupa perenungan belaka. Nous merupakan sesuatu yang ada pada diri manusia secara universal.
Hal ini tampak dalam perkataan Paulus, bahwa damai sejahtera Allah melampaui
segala akal (nous, Flp. 4:7). Nous bersifat netral, baik atau buruknya
tergantung pada siapa yang menguasainya: Roh Allah atau keinginan daging. Bila
orang-orang fasik tidak mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada
‘pikiran-pikiran yang terkutuk’ (adokimos
nous), sehingga mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas (Rm. 1:28). Arti
harfiah kata Yunani adokimos adalah “sudah
diuji dan ternyata cacat, atau tidak layak untuk digunakan.” Jadi adokimos nous dapat diartikan sebagai
‘pikiran-pikiran tercela dan tidak layak.’
Tidak seorang pun dapat mengetahui pikiran (nous) Allah, namun orang percaya dapat memiliki nous Kristus (1Kor. 2:16 bdk. Rm.
11:34). Hanya dengan menyesuaikan diri dengan nous Kristuslah, nous
manusia dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Melalui nous-nyalah manusia dapat mengerti perbuatan Allah dalam
penciptaan. Pertobatan Kristen ditandai dengan ‘berubah’ (metamorfoō) oleh ‘pembaruan budi’ (anakainōsei tou noos), sehingga tidak lagi serupa dengan dunia.
Dengan ‘pembaruan budi,’ seseorang akan diperlengkapi dengan daya tanggap yang
lebih tajam jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, sehingga ia dapat
membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah
dan yang sempurna (Rm. 12:2). Perbedaan antara nous orang beriman dengan nous
orang yang tidak beriman dipaparkan dalam Roma 7. Nous orang beriman berkeinginan untuk melayani Allah, sedangkan nous orang yang tidak beriman hanya
mengikuti kehendak daging (sarks).
7) Hati nurani
(suneidēsis)
Pengertian
‘hati nurani’ (suneidēsis) berkaitan
dengan pengertian leb dalam bahasa
Ibrani. Secara sederhana, suneidēsis
diartikan sebagai ‘kesadaran’ atau ‘kesadaran moral’ atau ‘suara hati’ atau
‘hati nurani’ (consciousness, conscience). Namun sesungguhnya, kata
ini memiliki makna dasar yang lebih luas, yaitu “pengetahuan mengenai suatu
tindakan disertai penilaian atas tindakan itu secara sadar.” Suneidēsis berbeda dengan nous. Nous tidak melibatkan kehendak manusia, sedangkan suneidēsis melibatkan kesadaran manusia
akan dirinya sebagai makhluk rasional. Karena itu, dalam Titus 1:15 dikatakan,
“Bagi orang suci semuanya suci, tetapi bagi orang najis dan bagi orang yang
tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik ‘akal’ (nous) maupun ‘suara hati’ (suneidēsis) mereka najis.” Paulus
menggunakan kata suneidēsis dengan
berbagai makna.
a) Suneidēsis digunakan dalam perannya
sebagai penentu kebenaran, yang selalu membisikkan kebenaran itu kepada manusia
(suara hati berperan sebagai index).
Dalam hal ini, suneidēsis dapat
diartikan sebagai kesadaran moral. Tindakan-tindakan yang benar seharusnya
dilakukan bukan karena terpaksa, melainkan karena ketaatan seseorang terhadap
suara hatinya. Dalam Roma 13:5, Paulus mengatakan, “Sebab itu perlu kita
menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh
karena suara hati kita,” (bdk. 1Kor. 10:25, 27, 28). Dengan kesadaran moral
itu, tiap orang dikaruiniai kemampuan untuk menentukan hal-hal yang baik dan
benar, yang seharusnya dilakukan. Kemampuan tersebut tidak hanya timbul karena
adanya Taurat, melainkan telah dilekatkan oleh Allah pada kemanusiaan manusia
sejak diciptakan. Itu sebabnya dikatakan bahwa manusia diciptakan sebagai
gambar Allah. Kesadaran moral tersebut selalu membisikkan kebenaran kepada
tiap-tiap orang, terlepas dari apakah ia menaatinya atau tidak.
b) Dalam Roma
2:15, Paulus mengatakan bahwa suneidēsis
itu berperan sebagai saksi atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang,
sekaligus menuduh atau membela seseorang atas tindakan yang dilakukannya (suara
hati berperan sebagai yudex). Hal ini
berlaku untuk setiap orang, tanpa pandang suku bangsa dan agama. Paulus
berbicara tentang orang-orang non-Yahudi bahwa “suara hati (suneidēsis) mereka turut bersaksi dan
pikiran (logismos) mereka saling
menuduh atau saling membela.” Hal ini senada dengan perkataan Paulus dalam Roma
9:1, “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku
turut bersaksi dalam Roh Kudus,” dan 2 Korintus 1:12, “Inilah yang kami
megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa
hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai
oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh
kekuatan kasih karunia Allah” (bdk. 2Kor. 5:11; LAI menerjemahkan ‘en tais suneidēsesin humōn’ dengan ‘bagi
pertimbangan kamu,’ yang sesungguhnya lebih tepat diterjemahkan dengan ‘bagi
hati nuranimu’).
c) Fungsi suara
hati tidak hanya untuk membenarkan diri, melainkan juga untuk menghakimi diri
sendiri ketika seseorang melakukan hal yang tidak benar. Dalam hal ini suneidēsis dapat diartikan sebagai
“kesadaran untuk menghakimi diri sendiri” (self-judging
consciouesness). Dalam fungsi seperti ini, suara hati berperan sebagai vindex. Dalam 1 Korintus 10:29, secara
tidak langsung Paulus menyatakan bahwa setiap orang memiliki suara hati, yang
selalu menilai dan menghakimi tindakannya. Namun tingkat pemahaman terhadap
kebenaran itu dapat saja berbeda-beda. Hal ini sangat tergantung pada
kedewasaan iman dan kematangan berpikir seseorang. Dalam ayat tersebut, Paulus
berbicara mengenai perselisihan dalam jemaat tentang makan makanan yang
dipersembahkan kepada berhala, “Yang aku maksudkan dengan keberatan-keberatan
bukanlah keberatan-keberatan hati nuranimu sendiri, tetapi keberatan-keberatan
hati nurani orang lain itu.” Sekalipun dengan konteks yang berbeda, hal ini
senada dengan perkataan Paulus dalam 2 Korintus 4:2b, “Sebaliknya kami
menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami kepada
‘suara hati semua orang’ (suneidēsis
anthrōpōn) di hadapan Allah.” LAI menerjemahkan ayat ini dengan,
“Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri
kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah.” Akibatnya, kata
‘suara hati’ tidak tampak secara eksplisit.
Ada yang
berpendapat bahwa gagasan Paulus mengenai suara hati dipengaruhi oleh pemikiran
Stoa. Di kalangan pengikut Stoisme, hukum dianggap sebagai hukum alam yang
telah ada dalam diri manusia (empsukhos
nomos). Namun tidak cukup bukti bahwa Paulus menganggap tindakan-tindakan
manusia yang paling baik adalah tindakan-tindakan yang sesuai dengan kodrat
alamiah, melainkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah. Hal
seperti ini tidak terdapat dalam pemikiran Stoa. Selain itu, menurut Paulus,
Roh Allah yang bekerja dalam hati manusia itulah yang menumbuhkan kesadaran
manusia akan kebenaran. Karena itu, hati nurani orang beriman, yang memberi
tempat bagi karya Roh Kudus, akan lebih peka terhadap kebenaran daripada hati
nurani orang-orang yang tidak mengenal Allah.
8) Manusia
batin (esō anthrōpos)
Istilah
‘manusia batin’ (esō anthrōpos) kita
temukan dua kali dalam surat-surat Paulus, yaitu dalam Roma 7:22 dan 2 Korintus
4:16, dan sekali dalam surat deutero Paulus, yaitu dalam Efesus 3:16.
Roma 7:22, “Sunēdomai gar tōi nomōi
tou theou kata ton esō anthrōpon” secara harfiah dapat diterjemahkan “Sebab
menurut manusia batin, aku suka akan hukum-hukum Allah.” LAI menerjemahkannya,
“Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah.” Konteks ayat ini adalah
ketegangan yang dirasakan Paulus antara tuntutan Taurat dan keinginan hatinya.
Paulus mengakui bahwa ia mengetahui hal-hal yang baik sebagaimana dinyatakan
oleh hukum Taurat dan ingin melakukannya, namun dalam kenyataan, kemanusiaan
lahiriahnya justru sering tergelincir melakukan hal-hal yang jahat. Ia
menyadari sifat hukum Taurat dan sifatnya sendiri. Tuntutan hukum Taurat yang
serba baik adalah dari Roh, sedangkan perbuatan yang sering ia lakukan adalah
dari daging. Seakan-akan jiwa Paulus terbelah antara keinginan untuk berbuat
baik dan dosa yang menguasainya, sehingga yang dilakukan adalah yang jahat.
Manusia batinnya, atau kesadaran dirinya yang paling dalam, menyukai
hukum-hukum Allah, tetapi manusia lahiriahnya tertawan oleh hukum dosa.
Pergumulan dialektis seperti ini merupakan pergumulan orang beriman, yang
selalu berada dalam ketegangan antara keinginan untuk berbuat baik dengan
kenyataan bahwa dirinya selalu berbuat jahat. Manusia baru dapat terlepas dari
ketegangan ini karena pertolongan Allah, yang telah menyatakan kebenaran-Nya
dalam diri Yesus.
2 Korintus 4:16, “ei kai ho eksō
hemōn anthrōpos diaftheiretai, all’ ho esō hemōn anakainoutai hēmera kai hēmera,”
diterjemahkan “meskipun manusia lahiriah kami makin merosot, tetapi manusia
batiniah kami dibaharui dari hari ke hari.” Istilah ‘manusia lahiriah’ (eksō anthrōpos) memiliki kesamaan dengan
‘bejana tanah liat’ (2Kor. 4:7), ‘tubuh’ (2Kor. 4:10), atau ‘tubuh yang fana’
(2Kor. 4:11). Yang dimaksud Paulus dengan istilah-istilah itu adalah ‘tubuh
ragawi’-nya. Tentu saja, ‘manusia lahiriah’ berbeda dengan ‘manusia lama’ (Rm.
6:6, bdk. Ef. 4:22; Kol. 3:0). Manusia lahiriah berkenaan dengan aspek fisis
dari tubuh ini, sedangkan manusia lama merupakan ungkapan etis-imaniah, yang
menunjuk pada perilaku lama, sebelum diperbarui oleh Allah.[45] Paulus menyadari bahwa
tubuh ragawinya semakin mundur, semakin lemah dan rentan. Namun kemunduran
fisiknya tidak membuatnya menjadi lemah dalam iman. Oleh sebab itu ia
mengatakan, “manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.” Ia yakin
betul bahwa penderitaan tubuhnya saat ini hanya bersifat sementara dan dirasa
ringan jika dibanding dengan kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, yang
kelak akan diterimanya (2Kor. 4:17-18). Dalam hal ini, Paulus menggunakan
istilah ‘manusia batin’ untuk menunjuk sisi rohani kehidupannya, bukan sekadar
tubuh ragawinya.
Efesus 3:16, “Hina dōi humin kata to
ploutos tēs doksēs autou dunamei krataiōthēnai dia tou pneumatos autou eis ton
esō anthrōpon,” mestinya diterjemahkan “Aku berdoa supaya Ia, menurut
kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam
manusia batinmu” (pada bagian akhir, LAI hanya menerjemahkan ‘di dalam
batinmu’). Istilah ‘manusia batin’ dalam ayat ini digunakan dengan makna yang
sama seperti penggunaannya dalam 2 Korintus 4:16, yaitu sisi rohaniah atau hati
atau kemanusiaan manusia yang paling dalam. Doa Paulus ini berisi dua macam
permohonan, yaitu agar Roh menguatkan “kemanusiaan orang percaya yang paling
dalam,” sehingga kukuh dalam menghadapi penderitaan (bdk. 2 Kor. 4:16; Flp.
1:19; Kol. 1:11), dan agar Roh itu tinggal dalam kemanusiaan orang beriman yang
paling dalam (dalam arti menguasai dan mengendalikan hati orang beriman). Jika
Roh Kudus tinggal di dalam dan menguasai hati orang beriman, maka orang beriman
akan memiliki keteguhan dan kekuatan moral dalam menghadapi segala penderitaan.
e. Konsep tentang dosa
Paulus
menggunakan berbagai istilah untuk menjelaskan hakikat dosa. Kata Yunani ‘hamartia’ digunakan secara umum dalam
pengertian perbuatan dosa, baik dalam bentuk tunggal mapun jamak. Bentuk jamak
kata tersebut lazimnya terdapat dalam kutipan-kutipan PL (misalnya, Rm. 4:7;
11:27; 1Tes. 2:16; 1Kor. 15:17). Sedangkan bentuk tunggalnya biasanya berkenaan
dengan keadaan berdosa, bukan dengan tindakan dosa secara langsung, seperti
‘kuasa dosa’ (Rm. 3:9), ‘mengenal dosa’ (Rm. 3:20), ‘bertambahnya dosa’ (Rm.
5:20), ‘hamba dosa’ (Rm. 6:16) dan ‘penuh dosa’ (Rm. 6:23). Kadang-kadang
Paulus mempersonifikasi dosa sedemikian rupa, sehingga dosa seakan-akan
merupakan suatu pribadi (Rm. 7).
Selain ‘hamartia,’ Paulus juga
menggunakan beberapa istilah lain berkaitan dengan dosa, yang semuanya memiliki
kemiripan makna, yaitu: ‘anomia,’ ‘asebeia,’ ‘hamartēma,’ ‘hēttema,’ ‘parabasis,’ ‘parakoē,’ dan ‘paraptōma.’
1) ‘Anomia’ berarti ‘kedurhakaan’ atau
‘ketidakadilan’ (Rm. 6:19; 2Kor. 6:14; 2Tes. 2:3, 7, bdk. Tit. 2:14).
2) ‘Asebeia’ berarti ‘kefasikan’ atau
‘ketidaksalehan’ (Rm. 1:18; 11:26, bdk. 2Tim. 2:16; Tit. 2:12).
3) ‘Hamartēma’ memiliki arti yang hampir
sama dengan ‘hamartia,’ yaitu
‘perbuatan dosa’ atau ‘dosa’ saja (Rm. 3:25; 1Kor. 6:18).
4) ‘Hēttema’ berarti ‘pelanggaran’ (Rm.
11:12; 1Kor. 6:7).
5) ‘Parabasis’ berarti ‘penyimpangan’ atau
‘penyelewengan’ atau ‘pelanggaran’ (Rm. 2:23; 4:15; 5:14; Gal. 3:19 dan 1Tim.
2:14).
6) ‘Parakoē’ berarti ‘ketidakmendengaran’
atau ‘ketidakacuhan’ atau ‘ketidaktaatan’ (Rm. 5:19; 2Kor. 10:6).
7) ‘Paraptōma’ berarti ‘langkah yang
keliru,’ ‘perbuatan salah’ atau ‘dosa’ (Rm. 4:25; 5:15 dbr.; 11:11-12; 2Kor.
5:19; Gal. 6:1; bdk. Ef. 1:7; 2:1, 5; Kol. 2:13).
Semua istilah
di atas sebenarnya memiliki kesamaan makna hakiki, yaitu kegagalan manusia
untuk memenuhi apa yang seharusnya dilakukan. Paulus selalu melihat dosa dari
latar belakang pengertiannya tentang ‘kebenaran’ (dikaiosunē) yang merupakan pola dasar perbuatan manusia sejak
diciptakan. Dosa adalah segala tindakan yang berlawanan dengan dikaiosunē itu. Lebih jauh, ada beberapa
konsep yang terkandung dalam gagasan Paulus tentang dosa.
Pertama, dalam tulisan-tulisan Paulus tidak terdapat gagasan bahwa dosa merupakan
‘utang’ yang harus ditebus dengan perbuatan baik. Pengajaran Paulus didominasi
oleh gagasan bahwa dasar penyelamatan manusia adalah kasih dan anugerah Allah
semata. Pengampunan dosa (afesis)
dititikberatkan pada ketidakmampuan manusia memenuhi kewajibannya (bdk. Kol.
1:14; Ef. 1:7). Hanya sekali kita temukan penggunaan kata kheirografos (secara harfiah berarti ‘tulisan tangan’), yang
diartikan sebagai ‘surat utang’ (dalam bahasa Inggris diterjemahkan ‘the handwriting’), yaitu dalam surat
deutero Paulus (Kol. 2:14, “Eksaleipsas
to kath’ hēmōn kheirografon tois dogmasin ho ēn hupenantion hēmin. Kai auto
hērken ek tou mesou prosēlōsas auto tōi staurōi”, LAI menerjemahkannya,
“Dengan menghapuskan surat utang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa
dan mengancam kita. Dan itu ditiadakannya dengan memakukannya pada kayu
salib”). Seandainya benar bahwa gagasan ini berasal dari Paulus, maka Paulus
menggambarkan bahwa Allah telah membatalkan ‘utang’ kita melalui salib Kristus.
Kedua, Paulus menggunakan kata parabasis
(pelanggaran) sebanyak lima kali dan dari pemakaian-pemakaian itu kita mendapat
kesan bahwa dosa adalah pembelokan dari jalan yang lurus. Orang-orang Yahudi
telah melanggar Taurat yang memberi ketetapan-ketetapan dan patokan-patokan.
Orang-orang non-Yahudi pun telah banyak melanggar suara hatinya, yang memberi
patokan kebenaran. Hukum-hukum yang ada merupakan tolok ukur bagi
pelanggaran-pelanggaran manusia, sekalipun manusia tidak berdaya mengendali-kan
pelanggaran-pelanggarannya. Bagaimana pun, penyimpangan terhadap kewajiban
moral tetap merupakan dosa.
Ketiga, penyimpangan terhadap kebenaran dapat menjadi lebih buruk, yaitu menjadi
kedurhakaan. Gagasan ini terlihat dari penggunaan kata anomia (Rm. 6:19). Paulus mengingatkan jemaat Roma bahwa mereka
telah menyerahkan anggota-anggota tubuh mereka menjadi hamba kecemaran dan
kedurhakaan. Dalam Surat 2 Tesalonika 2:3, Paulus mengatakan bahwa menjelang parousia, orang-orang murtad dan manusia
durhaka, yang harus dibinasakan, akan dinyatakan lebih dulu. Dalam 2 Korintus
6:14, kedurhakaan (anomia)
dipertentangkan secara langsung dengan kebenaran. Kedurhakaan dapat berupa
ketidaktaatan kepada Allah. Ketaatan dan ketidaktaatan kepada tuntutan Allah
itulah yang membedakan orang percaya dengan orang yang tidak percaya. Pelanggaran
dan kedurhakaan merupakan kebiasaan manusia berdosa.
Keempat, dosa mencakup baik perbuatan-perbuatan lahiriah, maupun sikap batin
manusia. Dalam Roma 1:29-31, kita temukan gabungan antara perbuatan-perbuatan
lahiriah dengan sikap batin yang merupakan dosa. Beberapa di antaranya dapat
terlihat secara objektif, seperti: pembunuhan, perselisihan dan kata-kata
kotor. Namun ada hal-hal lain yang lebih menyangkut sikap batin, bukan
perbuatan, misalnya: kedengkian, tidak berakal, tidak setia, tidak penyayang
dan tidak mengenal belas kasihan. Perbuatan-perbuatan atau sikap-sikap yang
termasuk dosa juga diuraikan dalam Roma 13:13; 1 Korintus 5:10-11; 6:9-10; 2
Korintus 12:20-21; Galatia 5:19-21, dll. Paulus menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan hakiki di antara bermacam-macam dosa, baik yang berupa tindakan
maupun yang berupa sikap hidup, dari perbuatan kriminal hingga sikap hati,
seperti kebencian dan iri hati. Dosa secara batiniah tidak mudah diketahui oleh
manusia, tetapi Allah mengetahui dan akan menghakimi keinginan batin itu.
Kelima, dosa sering dipersonifikasi sebagai ‘tuan’ yang kepadanya manusia
menghambakan dirinya. Dalam Roma 6:16-17, Paulus menggunakan ungkapan ‘hamba
dosa’ untuk orang-orang yang terbelenggu oleh keinginannya untuk berbuat dosa. Hamba-hamba
dosa dipertentangkan dengan hamba-hamba ketaatan. Hal ini memperjelas gagasan
dasar Paulus bahwa dosa pada hakikatnya adalah ketidaktaatan kepada Allah, yang
dilakukan dengan sengaja. Orang-orang beriman diperingatkan agar tidak
membiarkan dosa berkuasa dalam tubuhnya (Rm. 6:12-14). Bagi orang-orang
beriman, dosa itu tidak lagi memiliki hak atas diri mereka, sehingga tidak
boleh menguasainya. Dalam Roma 7, dosa dilukiskan sebagai ‘pribadi’ yang sangat
berbahaya. Dosa (dalam bentuk tunggal) merupakan faktor yang lebih fatal
daripada perbuatan dosa itu sendiri. Dosa sebagai suatu kuasa yang menguasai
kehidupan manusia merupakan dasar dari perbuatan-perbuatan dosa. Ungkapan
“terjual di bawah kuasa dosa” menunjukkan bahwa dosa bertindak untuk memperdayai
korban-korban yang ditipunya (Rm. 7:14). Paulus memperingatkan betapa besarnya
kekuatan dosa dalam mencengkeram manusia, sehingga tidak ada manusia, baik
sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, yang tidak berdosa. Semua orang, tanpa
kecuali, berada dalam kondisi berdosa. Hal itu meliputi baik orang Yahudi,
maupun orang bukan Yahudi (Rm. 3:9). Bahwa dosa mencakup semua manusia, juga
ditegaskan dalam Roma 5:12, karena itu, semua manusia harus mengalami kematian.
Hubungan antara dosa dengan daging (sarks)
dinyatakan dalam ungkapan ‘keinginan daging’ atau ‘keinginan tubuh yang fana’
(Gal. 5:24; Rm. 6:12; 13:14; bdk. Ef. 2:3). Keinginan mengawali tindakan, dan
karena keinginan itu terdapat dalam sarks,
maka sarks melambangkan sumber dosa.
Pada dasarnya, sarks itu sendiri
tidak memiliki sifat dosa, namun, karena manusia telah berpaling dari Allah,
maka sarks-nya menyimpang ke arah
dosa. Ungkapan ‘keinginan daging’ sebenarnya melibatkan kemanusiaan manusia
seutuhnya. Oleh sebab itu, barangsiapa hidup menurut daging tidak berkenan
kepada Allah (Rm. 8:8).
Keenam, pada dasarnya dosa adalah kepalsuan. Dalam Roma 1:18, kejahatan
dilukiskan sebagai penindasan terhadap kebenaran. Orang-orang jahat telah
mengganti kebenaran dengan kedustaan. Mereka menyembah makhluk ciptaan dan
bukan lagi Pencipta (Rm. 1:25). Menurut Paulus, membuang kemanusiaan yang lama
berarti membuang dusta (Ef. 4:25). Murka Allah akan dinyatakan kepada mereka
yang tidak taat kepada kebenaran (Rm. 2:8), tetapi Allah menghendaki agar semua
manusia memperoleh pengetahuan tentang kebenaran (1Tim. 2:4). Kritik tajam
dilontarkan bagi mereka yang “tidak lagi berpikiran sehat dan kehilangan
kebenaran” (1Tim. 6:5; 2Tim. 3:8). Nabi-nabi palsu yang menyebarkan
dongeng-dongeng isapan jempol, jelas telah berpaling dari kebenaran (Tit.
1:14). Pada hakikatnya, dunia yang terpisah dari Allah adalah dunia yang tidak
lagi memiliki kebenaran, dunia yang dikuasai oleh kepalsuan dan penyangkalan
terhadap Allah.
e. Konsep tentang keselamatan
Bagi Paulus,
keselamatan itu mencakup tiga aspek: keselamatan di masa lampau, keselamatan di
masa kini dan keselamatan yang akan datang. Ketiganya diungkapkan dalam Roma
5:1-2, “Kita telah dibenarkan oleh iman,” berarti keselamatan itu merupakan
sesuatu yang telah terjadi. “Kita sedang hidup ...,” berarti sekarang ini orang
beriman sedang berada dalam kasih karunia Allah. “Kita bermegah dalam
pengharapan untuk menerima kemuliaan dari Allah,” hal ini merupakan aspek
futuristis keselamatan, dengan pengharapan ke masa depan. Dengan ketiga aspek
keselamatan tersebut, bagi Paulus, keselamatan bukan hanya dalam arti rohani,
melainkan mencakup seutuh kehidupan manusia dan tidak dibatasi oleh waktu.
1) Keselamatan
sebagai realitas yang telah terjadi
Keselamatan
pada waktu lampau terjadi berdasar pekerjaan Yesus di kayu salib. Setiap orang
yang percaya kepada-Nya dan bertobat telah diselamatkan.
a) Menurut Paulus, semua
manusia membutuhkan keselamatan, karena semua manusia telah berdosa (Rm. 3:23;
6:17). Titik pangkal dosa adalah nafsu kedagingan manusia. Hal ini menjadi
nyata karena adanya hukum Taurat (Rm. 7:7-9). Karena dosa itu, murka Allah
seharusnya ditimpakan kepada manusia (Rm. 1:18; 4:15).
b) Injil Kristus
menyatakan jalan keluar bagi manusia dari kesulitan tersebut. Injil memberitahukan
jalan agar manusia dapat dibenarkan dan diterima di hadapan Allah. Untuk
melukiskan penyelamatan manusia itu, Paulus menggunakan beberapa gambaran:
(1) Penyelamatan manusia digambarkan
sebagai budak yang dibeli oleh seorang tuan untuk dibebaskan. Kata yang dipakai
untuk itu adalah apolutrōsis (yang
berarti ‘pembebasan,’ berasal dari kata kerja apolutroō, yang berarti ‘membebaskan seorang budak dengan membayar
sejumlah uang;’ Rm. 3:24; 8:23; 1Kor. 1:39; bdk. Ef. 1:7, 14; 4:30; Kol. 1:14)
dan ‘eleutheroō,’ ‘memerdekakan’ atau
‘membebaskan’ (Rm. 6:18, 22; 8:2, 21).
(2) Paulus juga menggunakan gambaran
tentang keselamatan yang diambil dari dunia hukum, yaitu dikaiōsis, ‘pembenaran’ (Rm. 4:25; 5:18). Dikaiōsis berasal dari kata kerja dikaioō, yang berarti ‘membenarkan’ (Rm. 3:4). Orang yang
diselamatkan adalah seperti terdakwa yang bersalah tetapi dibenarkan.
(3) Keselamatan juga dilukiskan
seperti kembalinya anggota keluarga yang terasing. Kata yang dipergunakan untuk
itu adalah katallagē, yang berarti
‘perdamaian’ atau ‘rekonsiliasi’ (Rm. 5:11; 11:15; 2Kor. 5:18). Karya
keselamatan Allah telah memperdamaikan atau mengembalikan manusia ke dalam
hubungan yang benar dengan Allah.
c) Menurut Paulus,
pengampunan dosa terjadi berdasar kematian Kristus di kayu salib. Setelah
peristiwa teofani yang dialaminya, Paulus memandang kayu salib sebagai bukti
kasih Allah kepada manusia, justru ketika manusia masih berdosa (Rm. 5:8). Kayu
salib merupakan penghapusan kutuk Allah bagi kita (Gal. 3:13). Kayu salib
merupakan bukti kemenangan Kristus atas kuasa-kuasa jahat (Kol. 2:15). Kayu
salib juga merupakan ‘jalan pendamaian’ (hilastērion,
Rm. 3:25).
d) Menurut Paulus,
cara untuk mendapat bagian dalam keselamatan adalah melalui iman (Ef. 2:8).
Iman adalah percaya bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya dan percaya bahwa apa
yang difirmankan-Nya akan terjadi. Iman itu bekerja dan diwujudkan melalui
kasih. Namun demikian, perbuatan bukanlah syarat keselamatan, melainkan akibat
(konsekuensi logis) keselamatan. Keselamatan bukan diperoleh ‘karena melakukan
hukum’ (eks ergōn nomou, Rm. 3:20),
melainkan ‘karena iman’ (dia tēs pisteōs,
Rm. 3:30; ek pisteōs, Rm. 5:1).
2) Keselamatan
sebagai realitas yang sedang terjadi
Untuk
melukiskan keselamatan sebagai sesuatu yang sedang terjadi atau sedang dialami,
Paulus menggunakan beberapa gambaran:
a) Orang yang
diselamatkan sekarang berdiri di atas dasar yang baru, yaitu kasih karunia,
sehingga boleh memiliki pengharapan untuk menerima kemuliaan Allah (Rm. 5:2).
Oleh karunia Allah, orang percaya tidak lagi berada di bawah kuk perhambaan,
melainkan berada dalam kebebasan untuk mengasihi Allah dan sesama manusia.
Kalaupun orang percaya harus taat kepada Allah, itu merupakan ungkapan syukur
atas karunia Allah yang telah diterimanya, bukan sebagai prasyarat keselamatan.
b) Orang yang
diselamatkan kini berada dalam relasi yang baru dengan Allah, yaitu sebagai
anak-anak Allah, dan boleh menyapa Allah sebagai Bapa (Gal. 4:5-6). Pada satu
pihak, relasi ini menempatkan manusia dalam hubungan kasih yang dekat dan erat
dengan Allah. Orang percaya boleh bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah
(sekalipun tidak berarti bermalas-malas tanpa usaha). Namun, pada lain pihak,
relasi tersebut juga menuntut ketaatan, seperti seorang anak harus taat kepada
Bapanya. Jadi, relasi kasih orang percaya dengan Allah harus pula disertai
sikap takut akan Tuhan.
c) Orang yang
diselamatkan kini berada dalam kehidupan baru yang taat kepada Allah dan harus
menanggalkan manusia lamanya yang dikuasai dosa (Rm. 6:4-14). Konsekuensi logis
kehidupan baru adalah kesediaan mematikan segala keinginan dosa dan
menggantikannya dengan kehidupan yang dipersembahkan bagi kemuliaan Allah (Rm.
12:1-2). Oleh sebab itu Paulus menasihatkan, “Janganlah kamu kalah terhadap
kejahatan, tetapi kalahkan-lah kejahatan itu dengan kebaikan!” (Rm.12:21), dan
“Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi dalam tubuhmu yang fana, supaya
kamu tidak lagi menuruti keinginannya” (Rm. 6:12).
d) Orang yang
sudah diselamatkan kini berada ‘dalam Kristus’ (en khristōi). Ungkapan en
khristōi, yang dalam seluruh PB digunakan lebih dari 200 kali, sebagian
besar kita temukan dalam surat-surat Paulus. Agaknya ungkapan ini mengandung
beberapa pengertian. Dalam Roma 16:10, en
khristōi menunjuk kepada orang-orang Kristen. Demikian juga dalam Filemon
16. Ungkapan tersebut juga menunjuk kepada persekutuan orang beriman, yang secara
rohani sudah dipersatukan dengan Kristus (2Kor. 12:2). Yang jelas, ungkapan
tersebut tidak memiliki konotasi mistis, melainkan melukiskan relasi yang erat
dan benar antara persekutuan orang percaya dengan Kristus. Kecuali ‘dalam
Kristus,’ Paulus juga sering menggunakan ungkapan ‘dalam Roh’ (en pneumatōi).
Ia menyadari bahwa kehidupan orang beriman juga dipersatukan di bawah pimpinan
Roh Kudus. Jadi, ungkapan ‘dalam Roh’ pun tidak berkonotasi mistis, melainkan
menunjukkan ketaatan persekutuan orang percaya terhadap pimpinan Allah yang
bekerja dalam Roh Kudus. Roh Allah yang telah membangkitkan Yesus itu juga akan
menghidupkan orang beriman dan memimpinnya, sehingga orang beriman layak
disebut anak Allah (Rm. 8:11-14).
Paulus juga
melihat keselamatan yang sedang terjadi itu dalam hubungannya dengan gereja.
Bagi dia, gereja merupakan kelanjutan umat Allah yang lama, Israel
(Rm.11:17-24). Paulus menggambarkan Israel sebagai pokok zaitun, sedangkan
orang-orang Kristen (terutama orang-orang bukan Yahudi) merupakan carang-carang
liar yang dicangkokkan kepadanya. Jadi, gereja tidak menggantikan posisi umat
Israel, melainkan merupakan kelanjutannya. Paulus percaya bahwa Allah tidak
pernah membuang Israel. Kalaupun untuk sementara waktu keselamatan lebih dulu
diterima oleh ‘carang-carang liar,’ kelak akan tiba saatnya, bahwa umat Allah
yang lama pun akan menjadi iri terhadap berkat yang telah diterima oleh
bangsa-bangsa lain. Mereka akan berbalik kepada Allah, sehingga mereka pun
beroleh keselamatan (Rm. 11:33-36).
Di samping itu, gereja sering dilukiskan sebagai Bait Allah, tempat
kediaman Allah, rumahtangga Allah, dan yang paling populer, tubuh Kristus.
Semua metafora itu menyiratkan hubungan antara perseku-tuan orang beriman
dengan Allah, yang dicirikan oleh kasih, kesetiaan, dan ketaatan. Menurut Archibald
M. Hunter, penggunaan gambaran ‘tubuh Kristus’ untuk jemaat ini
dilatarbelakangi oleh pertobatan Paulus. Ketika Paulus mendengar suara
“Saulus-Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” ia menjadi sadar bahwa umat
Kristen yang dianiayanya adalah tubuh Kristus. Namun, gambaran tersebut agaknya
lebih tepat dipahami sebagai metafora untuk menjelaskan relasi ketaatan antara
gereja dengan Kristus, bahkan dengan Allah sendiri. Sebagaimana tubuh
senantiasa taat dan tunduk terhadap perintah kepala, demikian halnya gereja
harus taat kepada Kristus, sebagai kepalanya. Karena Kristus mengajarkan
ketaatan kepada kehendak Bapa, berarti gereja harus pula taat kepada kehendak
Allah.
3) Keselamatan
sebagai realitas yang akan datang
Sesungguhnya,
bagi Paulus harapan yang akan datang itu dalam arti terbatas sudah datang dalam
diri Yesus. Sedangkan yang masih dinantikan adalah kesempurnaan atau
penggenapannya di masa datang secara penuh. Sekalipun mulai saat ini orang
percaya telah memperoleh jaminan yang pasti akan kepenuhan keselamatan itu,
namun semua masih merupakan pengharapan ke depan. Peranan Roh Kudus antara lain
adalah memberi jaminan yang pasti akan kepenuhan keselamatan itu. Kerajaan
Allah telah hadir dalam diri Yesus dan dalam arti tertentu, telah mulai kita
rasakan, bahkan telah memindahkan orang beriman dari kuasa kegelapan ke dalam
kerajaan Anak Allah yang kekal (Kol. 1:3).
Kebangkitan Yesus bagi Paulus mencakup dua aspek, baik jasmani maupun
rohani. Secara rohani, setiap orang percaya telah dibangkitkan bersama-sama
dengan Kristus, yaitu dengan menanggalkan manusia lama, yang menghamba kepada
dosa, dan mengenakan manusia baru, yang taat kepada Allah. Namun, di samping
itu, orang-orang beriman juga memiliki pengharapan akan kebangkitan tubuh.
Kebangkitan Yesus merupakan panjar dan jaminan bagi kebangkitan kita kelak.
Kebangkitan tubuh yang akan terjadi kelak itu akan jauh lebih mulia daripada
tubuh duniawi kita saat ini. Paulus menggunakan ilustrasi perbandingan biji
yang ditanam dengan bunga-bunga yang kelak dikeluarkan oleh biji tersebut.
Hidup kita kini seperti biji yang ditanam, sedangkan kebangkitan surgawi yang
akan kita alami kelak jauh lebih indah ketimbang biji tersebut. Harapan akan
kesempurnaan kehidupan bersama Tuhan itulah yang mendorong Paulus mengatakan
bahwa baginya hidup ini adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Flp. 1:21).
Bagi Paulus, berkumpul dalam kemuliaan bersama Kristus merupakan harapan yang
paling utama, sedangkan hal-hal lain hanya merupakan tambahan dan pelengkap
saja (1Tes. 4:16-17).
Seharusnya, kehidupan orang beriman saat ini ditarik oleh kepastian masa
depan itu. Semua perilaku disesuaikan dengan harapan masa depan tersebut.
Dengan kata lain, kehidupan orang beriman adalah kehidupan oleh masa depan,
bukan kehidupan untuk masa depan. Namun, pada sisi lain, hubungan kita dengan
Tuhan kelak juga ditentukan (atau lebih tepatnya dicerminkan) oleh hubungan
kita dengan Tuhan saat ini. Jika saat ini tidak ada hubungan dengan Kristus,
maka kelak pun tidak ada (2Tes. 1:8-9). Harapan Paulus ke depan juga tersirat
dalam Filipi 3:20-21, bahwa kewarganegaraan orang percaya adalah
kewarganegaraan Kerajaan Surga. Keadaan kita sekarang jauh lebih hina jika
dibanding dengan kemuliaan surgawi yang akan kita terima kelak. Kehidupan yang
akan kita terima kelak tidak akan mengalami kelemahan lagi (bandingkan dengan
gagasan tentang kebangkitan dalam 1Kor. 15). Keadaan yang akan kita alami kelak
adalah serupa dengan tubuh Kristus setelah dibangkitkan, tanpa keterbatasan
yang bersifat duniawi (1Kor. 15:52 dbr.; 1Tes. 4:16-17).
[1] Leon Morris, New Testament Theology (Grand
Rapids-Michigan: Academie Books, 1986).
[2] Dean S. Gilliland, Pauline Theology and Mission Practice
(Grand Rapids: Academie Books, 1983).
[3] Charles S. Ryrie, Biblical Theology of the New Testament
(Chicago, 1982)
[4] Morris, New Testament Theology, hlm. 25.
[5] Pinchas Lapide &
Ulrich Luz, Jesus in Two
Perspectives: A Jewish-Christian Dialog (Minneapolis: Augsburg
Publishing House, 1985), hlm. 28.
[9] Robert T. Boyd, Paul the Apostle (New York: World
Publishing House, 1995), hlm. 48.
[10] Karen Armstrong, A History of God (New York:
Ballantine Books, 1993), hlm. 14-15.
[11] Armstrong, A History of God, hlm. 21-22.
[12] Günther Bornkamm, Jesus of Nazareth (London, Sydney,
Auckland, Toronto: Hodder & Stoughton, 1993), hlm. 34-35.
[13] Lht., Morris, New Testament Theology, hlm. 25, catatan
kaki 1.
[14] George Ernest Wright, God Who Acts: Biblical Theology as Recital
(London: SCM Press, Cet. IX, 1969), hlm. 27-28.
[16] Morris, New Testament Theology, hlm. 16.
[17] Ernst Käsemann, Perspective on Paul (London: SCM Press,
1971), hlm. 45.
[19] Charles B. Cousar, The Letters of Paul (Nashville:
Abingdon Press, 1996), hlm. 106-107.
[20] Käsemann, Perspective on Paul, hlm. 40.
[21] Bdk. Rudolf Bultmann, Theology of the New Testament Vol. I,
hlm. 190-191. Karena alasan tersebut, Bultmann mengatakan bahwa teologi Paulus
sekaligus merupakan antropologi. Namun antropologi Paulus haruslah dimengerti
dalam relasi antara manusia dengan Penciptanya. Lht. pula Käsemann, Perspective on Paul, hlm. 1-3.
[22] Bornkamm, Paul, hlm. 135-134.
[23] Cousar, The Letters of Paul, hlm. 108-109.
[24] Bornkamm, Paul, hlm. 136-138.
[25] Ernst Käsemann, New Testament Question of Today (London,
1969), hlm. 181-182.
[27] Federick Fyvie Bruce, Paul and Jesus (London: SPCK,
1974), hlm. 77.
[28] Bruce, Paul and Jesus, hlm. 78.
[29] Longenecker, The Ministry and Message, hlm. 97.
[30] Cullmann, The Christology, hlm.
195-197.
[31] Cullmann, The Christology, hlm. 198.
[32] Cullmann, The Christology, hlm. 202.
[33] Lht. David Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of
Christianity? (Grand Rapids, Michigan: W.B Eerdmans Publishing
Company, 1995), hlm. 116-117.
[34] Charles Harold Dodd, The Meaning of Paul for Today
(Glasgow: William Collins Sons & Co Ltd., 1983), hlm. 91-93.
[36] Käsemann, Perspectives on Paul, hlm. 34.
[37] Tom Jacobs SJ, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya,
(Yogyakarta: Kanisius, Cet. III, 1992), hlm. 120-121.
[38] Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of
Christianity?, hlm. 120; bdk. Richard N. Longenecker, The Ministry and Message of Paul,
hlm. 96-97.
[39] Lht. Morris, New Testament Theology, hlm.
41-42.
[40] George Campbell Morgan, The Corinthian Letters of Paul: an Exposition
of I and II Corinthians (Old Tappan, New Jersey: Fleming H. Revell
Company, 1946), hlm. 198-199.
[41] Bdk., Dodd, The Meaning of Paul, hlm. 95-96.
[42] Bdk. Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, hlm.
392.
[43] Lht. Denis Edwards, Jesus the Wisdom of God, an Introduction to
the Wisdom of the Bible (London: Lutterworth Press, 1963), hlm.
38-39.
[45] Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, hlm. 546.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar