Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Senin, 17 Juni 2013

BELAJAR MENYIMAK TENTANG GAGASAN-GAGASAN TEOLOGIS PAULUS

MENYIMAK GAGASAN-GAGASAN TEOLOGIS PAULUS


Mensistematisasi gagasan-gagasan teologis Paulus yang tersebar dalam surat-suratnya tentu tidak mudah. Apa lagi setiap surat memiliki karakteristik konteksnya sendiri, dengan permasalahan-permasalahan jemaat lokal yang berbeda-beda. Namun, kita akan mencoba merangkai benang merah gagasan-gagasan teologis Paulus dengan membahas beberapa pokok pikiran, yang secara intens dibicarakan oleh Paulus. Beberapa pokok yang hendak kita pahami adalah gagasan Paulus tentang Allah, pemikiran kristologisnya, konsepsinya tentang dunia, manusia, dosa dan keselamatan. 

a. Gagasannya tentang Allah

Menurut Leon Morris, Allah merupakan pusat teologi Paulus.[1] Hal ini sesuai dengan pendapat Dean S. Gilliland[2] dan Charles C. Ryrie.[3] Bila diperhatikan, penjelasan tentang Allah dalam seluruh surat-surat Paulus mencakup lebih dari 40 persen pembicaraan tentang Allah dalam PB (548 dari 1314). Dari sekian banyak penggunaan kata ‘Allah’ dalam surat-surat Paulus, paling banyak terdapat dalam surat Roma (153 kali), sehingga hampir dalam setiap 46 kata terdapat kata ‘Allah.’[4] Bagi Paulus, Allah adalah penguasa kehidupan untuk semua aspek. Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang terluput dari wibawa Allah. Bahkan Paulus mengatakan bahwa Allah adalah semua di dalam semua (1Kor. 15:28). Tentu saja, gagasan Paulus tentang Allah yang demikian sentral dalam tulisan-tulisannya ini tidak terlepas dari pemikiran monoteisnya.

1) Allah adalah Yang Mahabesar satu-satunya

Sama seperti orang-orang Yahudi yang baik lainnya, Paulus sangat menekankan keesaan Allah (Rm. 3:30; 1Kor. 8:4, 6; Gal. 3:20; Ef. 4:6; 1Tim. 1:17, 2:5). Allah yang esa itu disebut Bapa dari umat-Nya (Rm. 1:7; 1Kor. 1:3; 2Kor. 1:2-3; Gal. 1:3-4). Allah memiliki kekayaan hikmat yang amat dalam dan kebijaksanaan-Nya tak terselami (Rm. 11:33). Paulus sering menghubungkan kekuasaan dan kebesaran Allah dengan kekuasaan yang dimanifestasikan-Nya dalam diri Yesus Kristus (1Kor. 1:24; 2:5, 7; 2Kor. 13:4). Kuasa yang berlimpah-limpah yang dikaruniakan kepada orang percaya adalah dari Allah (2Kor. 4:7, 6:7, 13:4; 2Tim. 1:8). Kekuasaan yang dimiliki oleh para penguasa dunia pun berasal dari Allah (Rm. 13;1-7). Dalam seluruh surat Paulus, kemuliaan Allah sangat ditekankan.
Paulus menyapa Allah sebagai sumber kehidupan (1Tim. 3:15, 4:10), sebagai Allah yang hidup dan benar (1Tes. 1:9), sebagai Allah pengharapan (Rm. 15:13), sebagai Allah perdamaian (Rm. 15:33). Semua sapaan itu menunjukkan pemahaman Paulus bahwa Allah adalah Allah yang aktif bertindak. Damai bukanlah keadaan statis, melainkan kondisi militan yang selalu siap menghadapi perlawanan kuasa jahat. Jika Paulus berbicara tentang Allah, maka Allah tidak sekadar ditempatkan sebagai objek pembicaraan, melainkan dihayati dan dirasakan aktivitas serta intervensi-Nya dalam kehidupan umat manusia.
Sekalipun dengan ungkapan yang ambigu, Paulus masih berada pada jalur pemikiran monoteis Yahudi. Seperti dikatakannya, “Tidak ada berhala di dunia dan tidak ada allah lain dari pada Allah yang esa. Sebab sungguh pun ada apa yang disebut ‘allah,’ baik di surga maupun di bumi - dan memang benar ada banyak ‘allah’ dan banyak ‘tuhan’ yang demikian, namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1Kor. 8:4-6). Dapat diduga, pernyataan Paulus ini didasarkan pada ajaran orang tua dan gurunya, yang dengan setia dipegangnya, bahwa Allah itu esa (bdk. Kel. 20:3, Ul. 6:4-5). Yang menjadi pertanyaan, bedakah antara Allah dengan Tuhan dalam perkataan Paulus itu? Mengapa ada satu Allah dan satu Tuhan? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, tidak cukup alasan untuk menyimpulkan bahwa Paulus telah meninggalkan keyakinan monoteismenya, kemudian menganut keyakinan biteis. Mengingat latar belakang kehidupan Paulus yang begitu setia berpegang pada Taurat, bahkan keyakinan itu dipertahankan sampai masa awal pertumbuhan jemaat Kristen, kecil kemungkinannya ia begitu mudah berubah pikiran dan mengingkari imannya (bandingkan dengan pengakuan Paulus dalam Kis. 22:3). Karena itu, yang perlu dilacak lebih lanjut adalah apakah yang dimaksud Paulus dengan ucapannya itu (bahwa hanya ada satu Allah dan satu Tuhan), jika dilihat dari sudut pandang keyakinan monoteisnya?
Salah satu alasan mengapa Paulus sebagai seorang Farisi dan umat Yahudi pada umumnya membenci umat Kristen adalah gagasannya tentang Mesias. Mungkin saja orang berpendapat bahwa mereka telah salah mengerti terhadap nubuat para nabi mengenai pribadi Mesias dan maksud kedatangannya. Namun, merupakan kepercayaan umum umat Yahudi bahwa Mesias akan datang bagi mereka, dalam rangka menegakkan Taurat. Mesias yang mereka nantikan adalah seorang raja duniawi, yang akan memenuhi Taurat secara sempurna. Kedatangannya merupakan realisasi harapan bahwa mereka akan dijadikan ‘tuan atas bangsa taklukan.’ Mesias akan menolong mereka untuk mengalahkan orang-orang Romawi, musuh mereka.
Lapide mengakui adanya pergeseran pengertian Mesias dalam Kitab Suci Ibrani. Pada mulanya, Mesias dimengerti sebagai seorang raja, yang pengukuhannya sebagai penguasa politis atas nama Allah dilakukan dengan pengurapan oleh seorang nabi atau Imam Besar. Namun sejak bencana nasional yang mereka alami sebagai umat buangan, pengertian tentang Mesias mengalami perluasan. Di dalamnya termasuk Cyrus (Koresy), raja kafir yang toleran itu (Yes. 45:1), hamba Tuhan yang menderita (Yes. 53), raja orang-orang miskin (Za. 9:9), dan Ia yang akan datang dalam awan-awan di langit ‘seperti Anak Manusia’ (Dan. 7:13). Lambat laun, gambaran tentang Mesias berubah menjadi penyelamat yang akan melaksanakan pemerintahan eskhatologis yang damai, mulai dari Yerusalem sampai ke ujung bumi. Penindasan berat yang dialami Israel makin memperkuat harapan akan adanya sosok penyelamat yang akan segera datang. Harapan ini terus berkembang ketika Israel berada di bawah kuk Romawi. Namun perlu dicatat, apa pun gambaran tentang Mesias itu, semua memiliki kesamaan, yaitu bahwa Allah memberikan peran politis kepadanya sebagai pembebas, sebagai tokoh yang akan menggenapi peran publik dalam tahapan sejarah dunia.[5] 
Peran raja Mesias dalam Kitab Suci bersifat politis; semua nubuat mesianis mengenai akhir zaman selalu bersifat politis: pembebasan Israel dari kekuasaan bangsa lain. Menurut Lapide, spiritualisasi pembebasan menjadi penyelamatan jiwa secara immaterial bertentangan dengan pengertian Mesias alkitabiah. Yesus sendiri tidak pernah menyadari dan menganggap diri-Nya sebagai Mesias. Bahkan peranan-Nya tidak memenuhi harapan mesianis Yahudi.[6] Menurut Bultmann, Yesus juga tidak berpolemik melawan konsep Mesias konvensional, melainkan mengritik konsep Yahudi mengenai Kerajaan Allah.[7] Pengalaman para murid dengan Yesus telah menghasilkan objektivasi salah satu aspek penggenapan harapan mesianis. Hal ini kemudian diungkapkan secara verbal dalam gelar-gelar tertentu yang diberikan kepada Yesus. Berdasar pemberitaan Yesus mengenai kerajaan Allah, para murid memberikan gelar Mesias kepada-Nya, karena kerajaan Allah dan zaman Mesias itu satu. Demikianlah pendapat Franz Müssner.[8]
Umat Yahudi pada umumnya menjadi kecewa, karena Yesus tidak datang seperti Mesias yang mereka harapkan. Sekalipun tidak setuju terhadap pengakuan para murid Yesus, bahwa Dia Mesias, umat Yahudi masih bersikap toleran. Namun, ketika Ia disebut sebagai Anak Allah, atau bahkan dianggap ilahi, mereka menjadi marah. Pengakuan itu sungguh bertentangan dengan iman kepada Yahwe, bahkan dianggap menghujat Dia. Itu pula yang menjadi alasan bagi Paulus untuk mengejar-ngejar jemaat Kristen. Paulus menjadi pelawan Yesus yang amat fanatik, bahkan jika perlu, ia ingin meniadakan semua persekutuan Kristen di seluruh wilayah kekaisaran Romawi.[9] Terlepas dari kesalahmengertiannya terhadap diri Yesus, jelas bahwa Paulus ingin mempertahankan kesetiaannya kepada Yahwe, Allah yang esa itu.
Siapakah Yahwe itu? Samakah Dia dengan Allah yang menyatakan diri kepada Abraham sebagai El-Shaddai (Allah gunung-gunung)? Bukankah nama El sudah dikenal oleh bangsa-bangsa Kanaan sebagai Tuhan Tertinggi? Menurut Armstrong, El-Shaddai merupakan gelar tradisional El. Ia juga disebut El-Elyon (Tuhan yang Mahatinggi) atau El-Betel (Tuhan dari Betel).[10] Dalam Kejadian 18, dikisahkan bahwa Tuhan menampakkan diri kepada Abraham di dekat pohon tarbantin di Mamre. Abraham melihat tiga orang berdiri di hadapannya. Salah satu di antaranya adalah TUHAN, sedang dua yang lain adalah malaikat. Pengalaman teofani seperti ini tidak hanya dialami oleh Abraham, melainkan juga beberapa kali dialami oleh Yakub. Dalam penglihatan yang diterimanya di Betel, Allah berfirman kepada Yakub, “Akulah TUHAN, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak …” (Kej. 28:13). Karena itu, ketika bangun dari tidurnya, Yakub berkata, “Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya” (Kej. 28:16). Dalam kesempatan lain, di tepi sungai Yabok, Yakub juga mengalami penampakan TUHAN, bahkan bergumul dengan-Nya. Setelah diberkati dan namanya diganti Israel, Yakub bertanya kepada TUHAN, “Katakanlah juga nama-Mu,” tetapi TUHAN menjawabnya, “Mengapa engkau menanyakan nama-Ku?” (Kej. 32:29). Lalu Yakub menamai tempat itu dengan Pniel, sebab, “Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” (ayat 30).
Hal yang tidak kalah menarik adalah pengalaman Musa ketika berada di seberang padang gurun Median, di kaki gunung Horeb (Kel. 3:1). Dalam semak duri yang menyala, TUHAN menampakkan kehadiran-Nya kepada Musa. TUHAN berkata kepadanya, “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” Setelah TUHAN menyampaikan maksud pengutusan-Nya, dengan rasa takut Musa bertanya kepada-Nya, “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel … Dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? – apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (Kel. 3:13). Maka TUHAN pun menjawab: “AKU ADALAH AKU”, Ahyeh asher Ahyeh. TUHAN tidak memberikan jawaban definitif tentang nama-Nya, karena Ia memang tidak dapat dibatasi atau didefinisikan dengan nama. Dalam jawaban itu juga tersirat eksklusivitas keberadaan TUHAN, yang tidak dapat disepadankan dengan apa pun. Bukankah jawaban itu dapat juga berarti “Tidak ada TUHAN selain Aku”?
Dari beberapa contoh peristiwa teofani yang dialami oleh para leluhur Israel di atas, ada beberapa pengertian yang dapat diuntai. Pertama, sekalipun dari sisi kesejarahan, peristiwa-peristiwa teofani tersebut memiliki jalinan kontekstual yang berbeda-beda, namun Allah yang menyatakan diri atau menampakkan kehadiran-Nya tersebut adalah Allah yang sama, yang oleh Israel dikenal dengan Yahwe. Kedua, seperti dikemukakan Armstrong, seakan-akan Allah berkata, “Jangan pikirkan siapa Aku, melainkan pikirkanlah dirimu sendiri.” Hakikat Tuhan tak perlu didiskusikan atau dirumuskan.[11] Keberadaan Tuhan tak perlu dikonseptualisasikan, sebab Ia bukanlah objek pikiran manusia. Yahwe menyatakan diri sebagai Keberadaan Mutlak (the Absolute Being) dan berjanji untuk melibatkan diri dalam kehidupan umat-Nya. Ketiga, Tuhan pertama-tama dikenal dalam pengalaman dan penghayatan, bukan dalam gagasan atau pengertian intelektual. Keempat, Tuhan tetap saja merupakan Keberadaan yang tak terbayangkan, tak terpahami secara utuh oleh pikiran manusia. Kalaupun manusia mengenal-Nya, itu hanya mungkin terjadi karena Ia menghadirkan diri dalam tindakan-Nya di tengah kehidupan umat-Nya. Kalaupun Ia imanen, itu karena Ia berkenan mengimanen-kan diri-Nya.
Yahwe berbeda dengan para dewa agama-agama Timur Tengah dan Yunani purba. Di dalam iman Yahudi terhadap Yahwe tidak ada mitos, gambaran-gambaran atau praktik-praktik kultik yang memberi tempat kepada manusia untuk ambil bagian dalam kuasa ilahi. Yahwe adalah pencipta, yang jauh mengatasi dunia, manusia dan alam semesta. Dalam iman Israel, Allah tidak dipahami dalam gagasan metafisis, melainkan sebagai Allah yang aktif bertindak, menciptakan, memerintah, memelihara, menghakimi dan menyelamatkan. Sejarah merupakan medan penyataan diri Allah dan karya-Nya. Namun demikian tidak berarti bahwa manusia dapat menyimpulkan keberadaan Allah berdasar sejarah; atau bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dapat dikristalisasi ke dalam suatu mitos. Allah bukanlah bagian sejarah bangsa-bangsa, sebab Ia telah ada sebelum adanya sejarah dan bangsa-bangsa. Ia ada dari kekekalan (Hab. 1:12). Dialah yang menciptakan dan menentukan sejarah berdasar kuasa dan kedaulatan-Nya. Karena itu, sesungguhnya Allah Israel adalah juga Tuhan segala bangsa (Am. 9:5-6).[12]  
Wajar jika, bertolak dari pengalaman dan penghayatannya terhadap tindakan Allah dalam sejarah umat-Nya, dalam pembaruan perjanjian di Sikhem, Yoshua meminta keputusan umat Israel:

“Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus-ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek-moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN. Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek-moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:14-15).

Maka umat itu pun menjawab:

“Jauhlah dari pada kami meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada allah lain! Sebab TUHAN, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang telah melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara semua bangsa yang kita lalui. TUHAN menghalau semua bangsa dan orang Amori, penduduk negeri ini, dari depan kita. Kami pun akan beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah kita” (Yos. 24:16-18).

Setiap keluarga Yahudi dengan cermat menanamkan pengakuan iman terhadap Yahwe seperti itu kepada anak-turun mereka. Terlebih lagi di lingkungan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sebab itu, wajar jika Paulus pun, sebagai anak Israel sejati, setia berpegang pada imannya kepada Yahwe yang esa. Ia bangga sebagai orang Israel. Ia bukan saja terikat secara kultural dengan bangsanya, melainkan juga terikat secara doktrinal dan konfesional. Keterikatan kepada bangsanya juga ditunjukkan oleh keyakinannya bahwa umat Israel tidak pernah dibuang oleh Allah (Rm. 11:25-36). Baginya, Israel tetaplah umat pilihan Allah, yang di kelak kemudian hari semua akan diselamatkan. Allah bagi Paulus tetaplah Yahwe, Allah bapa-bapa leluhurnya.         
Yahwe, Allah nenek-moyangnya, kini bertindak dan menghadirkan diri di dalam dan melalui Yesus Kristus. Itulah yang hendak diberitakan Paulus. Pada mulanya, ia sendiri tidak memahami rahasia ini, karena itu, ia berusaha melawan pemberitaan tentang Kristus dengan jalan menganiaya jemaat Kristen. Rupanya Yahwe telah ditempatkan olehnya sebagai objek gagasan dan bukan lagi dialami serta dihayati kehadiran-Nya. Akibatnya, Paulus justru dibutakan oleh kecerdasannya sebagai anggota kelompok elit Yahudi, yang selalu bergumul dengan Taurat dan gulungan-gulungan Kitab Suci setiap hari. Lisensi untuk memusnahkan gerakan Kristen telah berada di tangannya. Namun ternyata Allah tetap bekerja dan Paulus tidak mungkin menghentikan-Nya. “Sukar bagimu menendang ke galah rangsang,” firman Tuhan (Kis. 26:14). Teofani tidak hanya dialami oleh para leluhur Israel di masa lalu, melainkan juga terjadi pada dirinya. Pengalaman itulah yang telah meluruskan kembali perspektif Paulus, sebagaimana perkataan Ananias:

“Allah nenek-moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kau dengar” (Kis. 22:14-15).

2) Predestinasi

Paulus yakin betul bahwa rencana dan kehendak Allah pasti akan terjadi (Rm 1:10, 12:2; 1Kor. 1:1, 4:19). Kristus telah memberi diri-Nya untuk dosa-dosa kita, itu pun terjadi oleh kehendak Allah (Gal. 1:4). Ungkapan-ungkapan predestinatif seperti itu dengan cara yang berbeda-beda sering diulang-ulang dalam seluruh surat Paulus. Menurut Leon Morris, gagasan predestinasi yang paling menonjol tampak dalam surat Efesus (1:4, 5, 9, 11), yang termasuk dalam kelompok surat-surat deutero Paulus. Dalam ayat-ayat itu dikemukakan bahwa orang-orang percaya telah dipilih sebelum dunia dialaskan (ayat 4) dan bahwa mereka akan diangkat melalui Kristus (ayat 5), bahwa kebaikan Allah tersebut akan digenapi dalam Kristus (ayat 9) dan bahwa keselamatan orang-orang percaya itu terjadi menurut rencana Allah (ayat 11). Hal ini dapat kita bandingkan dengan Roma 8:29-30. Benarkah Paulus benar-benar berpegang pada gagasan predestinasi? Ataukah dalam ungkapan imannya, ia percaya bahwa Allah telah mengetahui dan melihat sebelum segala sesuatu terjadi? Bagaimanakah seharusnya predes-tinasi dipahami? Hal ini perlu kajian ulang.
Sementara teolog (misalnya Calvin dan para teolog penganutnya) berpendapat bahwa sejak semula, Allah memang telah menentukan atau mempredestinasikan segala sesuatu yang akan terjadi. Dengan demikian, segala peristiwa, termasuk siapa yang dipilih untuk diselamatkan, sudah ditentukan sebelumnya. Namun dari sisi lain, Paulus pun mengakui posisi manusia sebagai gambar Allah, yang diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya, dan tidak sama sekali pasif dalam menjalankan destiny (nasib) yang telah tergariskan baginya. Lebih tepat rasanya jika ungkapan predestinatif itu kita pahami bertolak dari kemahatahuan Allah. Allah mengetahui dan melihat lebih dulu apa yang akan terjadi, sehingga Ia dapat memfirmankannya lebih dulu. Dengan demikian, predestinasi seharusnya dipahami sebagai foreseeing, foreknowing dan foretelling Allah, bukan sebagai ketentuan Allah yang semena-mena bagi umat manusia. Lebih dari itu, pemilihan Allah atas orang-orang beriman mestinya lebih ditekankan pada sisi anugerahnya, bahwa Allah adalah inisiator penyelamatan, ketimbang pada keputusan Allah yang semena-mena. Manusia sebagai penerima inisiatif Allah, haruslah mengambil keputusan terhadapnya, sehingga pemilihan bagi dirinya tidak dipahami semata-mata sebagai hak istimewa, melainkan sebagai pengambilan keputusan dengan segala konsekuensi logisnya.

3) Allah nenek moyang: Allah sejarah

Perhatian Paulus terhadap Allah demikian besar. Bahkan menurut Gilliland, faktor pertama yang sangat berpengaruh pada pemikiran Paulus adalah konsepsi Yahudi tentang Allah. Allah adalah satu-satunya Allah yang hidup dan benar, yang melaksanakan kehendak-Nya di dunia, mengikatkan diri dengan umat-Nya dan menciptakan keluarga Allah di bumi. Allah monoteistis merupakan pusat agama Paulus, baik secara personal, etis, maupun historis.[13]
Sebagai seorang Farisi, gagasan keagamaan Paulus tak dapat dilepaskan dari gagasan keagamaan Israel, atau tepatnya, Yudaisme. Doktrinnya tentang Allah diwarisi dari ajaran para leluhurnya secara turun-temurun. Jika semua penyembahan kafir secara esensial didasarkan pada konsepsi keberhasilan pekerjaan individu, apakah itu berupa tindakan-tindakan magis, pengorbanan, tindakan-tindakan mistis, atau amal jariah, maka dalam kehidupan Israel, penyembahan yang benar diawali dari sikap yang benar terhadap Allah, yaitu: rasa takut, beriman, percaya dan kasih kepada-Nya. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran Israel atas hubungan istimewanya dengan Allah. Oleh kebebasan dan kemurahan Allah, Israel telah ditempatkan sebagai umat perjanjian, dan Allah merelakan diri untuk menjadi Allah Israel. Dengan demikian, ibadah hanya bermakna jika dilakukan oleh anggota persekutuan umat perjanjian, yang kehidupannya menunjukkan integritas iman, serta taat kepada kehendak Allah dengan tulus hati dan benar. Segala bentuk kultus yang dilakukan manusia di luar kerangka itu tidak memiliki jaminan apa pun, bahkan berada di bawah penghakiman Allah.[14]
Di pusat iman Israel terdapat pengakuan mendalam bahwa Allah para leluhur mereka telah mendengar seruan umat-Nya yang lemah, menderita, dan tertindas di Mesir, rumah perbudakan. Allah sendirilah yang telah bertindak melepaskan umat-Nya, melalui perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib, yang ditunjukkan kepada bangsa Mesir dan semua bangsa di dunia. Kesadaran dan pengakuan tersebut diungkapkan dalam sebuah kredo:

“Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana sebagai orang asing, tetapi di sana ia menjadi suatu bangsa yang besar, kuat dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami. Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan dengan tanda-tanda serta mujizat-mujizat. Ia membawa kami ke tempat ini, dan memberikan kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya” (Ul. 26:5-9).   

Doktrin Israel tentang Allah bukanlah hasil pemikiran sistematis atau spekulatif mengenai suatu kuasa supranatural, melainkan merupakan kesaksian tentang peristiwa-peristiwa ajaib yang telah mereka alami, yang telah menyebabkan mereka lahir sebagai sebuah bangsa. Mereka meyakini bahwa dalam peristiwa-peristiwa itu, Allah sendirilah yang bertindak. Sekalipun Israel hidup di dunia agama-agama kosmis, namun mereka tidak memusatkan perhatian kepada alam dan dewa-dewa alam, melainkan kepada Yahwe, yang telah menyatakan diri dalam serangkaian perbuatan ajaib di tengah sejarah. Pengenalan mereka terhadap Yahweh disimpulkan dari peristiwa-peristiwa, yang secara aktual terjadi dalam sejarah manusia. Israel terbiasa memperhatikan dengan sungguh-sungguh peristiwa-peristiwa yang dialaminya, karena di dalamnya mereka belajar tentang siapakah Yahwe dan apakah kehendak-Nya. Berdasar pengalaman itu mereka meyakini bahwa Yahwe sendirilah yang bertindak dan memimpin sejarah. Karena itu, Yahwe mereka kenal sebagai TUHAN semua peristiwa, yang mengendalikan perjalanan sejarah. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di luar kuasa-Nya.[15]
Paulus adalah orang yang sangat lekat dengan Yahwe dan secara konsisten selalu berbicara mengenai Dia, yang merupakan pusat pikirannya. Apa pun yang dilakukannya selalu dihubungkan dengan Yahwe. Baginya, Yahwe adalah Allah yang berdaulat atas semua aspek kehidupan. Allah adalah semua di dalam semua (1Kor. 15:28). Sebagaimana layaknya seorang Yahudi yang baik, Paulus sangat ketat dalam keyakinan monoteismenya. Baginya hanya ada satu Allah (Rm. 3:30; 1Kor. 8:4, 6; Gal. 3:20; bdk. Ef. 4:6; 1Tim. 1:17; 2:5). Allah yang esa itu adalah Bapa bagi umat-Nya (Rm. 1:7; 1Kor. 1:3; 2Kor. 1:2-3; Gal. 1:3-4; Flp. 1:2, dsb). Semua kekayaan, hikmat dan pengetahuan adalah milik-Nya (Rm. 11:33). Allah adalah Allah yang hidup, memberi kehidupan dan bertindak dalam kehidupan umat manusia. Bahkan Allah juga bertindak melalui pemerintah bangsa-bangsa (Rm. 13:1-7).[16]
Paulus menekankan berulang-ulang bahwa kehendak Allah sedang terjadi (mis. Rm. 1:10; 12:2; 1Kor. 1:1; 4:19; 1Tes. 5:18; bdk. Ef. 1:1, 4-5; Kol. 1:1; 4:12). Inti iman Kristen pun, yaitu bahwa Kristus telah diserahkan bagi dosa manusia, terjadi menurut kehendak Allah (Gal. 1:4). Sama seperti penghayatan nenek-moyangnya, Paulus melihat bahwa Allah adalah Allah yang menghadirkan diri dan aktif bertindak untuk melakukan kehendak-Nya.   

4) Allah kasih: Allah penyelamat

Dalam bersaksi tentang Allah, Paulus lebih lanjut menekankan kasih dan perhatian Allah kepada umat-Nya. Sapaan ‘Bapa’ bagi Allah merupakan ungkapan penghayatannya akan betapa besar kasih dan perhatian Allah kepada umat-Nya. Kebapaan Allah atas umat-Nya semata-mata didorong oleh kasih-Nya. Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus, yang telah dikaruniakan kepada kita, dan ketika kita masih lemah, Kristus telah mati bagi kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah (Rm. 5:6-7). Kita yang adalah seteru Allah telah diperdamaikan dengan diri-Nya (Rm. 5:10). Tidak ada satu kekuatan pun mampu memisahkan umat Allah dari kasih-Nya (Rm. 8:38-39). Itulah sebabnya orang-orang beriman disebut sebagai anak-anak Allah yang kekasih (Ef. 5:1), umat yang dikasihi dan dipanggil untuk menjadi kudus (Rm. 1:7; 2Tes. 3:5, Tit. 3:4). Segala sesuatu bergantung kepada anugerah Allah (Rm. 9:16) dan karena anugerah-Nyalah maka Allah menyelamatkan kita (Tit. 3:5, bdk. 1Kor. 7:25; 2Kor. 4:1).   
Untuk menyampaikan gagasan teologis yang penting, Paulus sering menggunakan rumusan yang sudah ada; pada umumnya rumusan yang berasal dari konteks liturgis. Pernyataan yang sangat sering dikatakan adalah bahwa “Kristus telah mati bagi dosa kita.” Menurut Käsemann, refleksi teologis dan pengakuan liturgis jemaat mula-mula, jauh sebelum Paulus, telah memberi tekanan pada kematian Yesus sebagai peristiwa penyelamatan. Paulus mengambil-alih berbagai bentuk pemberitaan mengenai peristiwa itu tanpa memilih salah satu secara khusus.[17] Pernyataan bahwa “Kritus telah mati bagi kita sudah terdapat dalam tradisi pengakuan iman yang tertua, seperti dikutip dalam 1 Korintus 15:3. Tidak diragukan lagi, pernyataan ini diambil dari pemberitaan mengenai hamba Tuhan yang menderita, yang aslinya diucapkan dalam perjamuan Tuhan. Dengan berbagai ragamnya, kematian Yesus dipandang sebagai korban ilahi (mis. Rm. 4:25; 8:32), sebagai bukti kasih Allah, dan kadang-kadang sebagai kasih Kristus yang rela mengorbankan diri (mis. Gal. 1:4; 2:20; 2Kor. 5:14-15). Bagi Paulus, kasih adalah manifestasi perhatian dan belarasa terhadap kehidupan orang lain. Hal itu ditunjukkan dalam tindakan konkret, dengan penekanan pada pengorbanan diri.[18]
Paulus memberi nuansa individual dan teologis ke dalam rumusannya, ketika ia berbicara tentang kematian Kristus bagi orang-orang berdosa (Rm. 5:6-8), atau bagi saudara-saudara seiman (Rm. 14:15), atau bagi semua manusia (2Kor. 5:14). Tema utamanya selalu kematian Kristus bagi ‘kita semua.’ Keselamatan selalu terbuka bagi kita, tanpa jasa atau keberhasilan kita, melainkan sebagai anugerah Allah (Rm. 3:24; 5:6-8), bahkan sebelum kita memenuhi kehendak-Nya. Hanya kasih Sang Penciptalah yang dapat menyelamatkan kita. Hanya Dialah yang memampukan kita melakukan kehendak-Nya (2Kor. 3:1-6). Hanya Dialah yang dapat menghidupkan orang mati dan menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan (Rm. 4:17). Seluruh ciptaan bergantung kepada-Nya dan tindakan penyelamatan-Nya.
Sejak kanak-kanak, Paulus telah mengenal Allah sebagai Allah yang mahakasih. Banyak cerita dalam Kitab Suci Yahudi menyatakan bahwa Allah bukan saja sebagai Allah yang telah memilih Israel berdasar kasih-Nya (mis. Ul. 7:7-8), melainkan juga Allah yang mahamurah, Bapa yang sabar, yang menahan amarah-Nya atas anak-anak-Nya (mis. Hos. 11:1-9). Paulus sangat akrab dengan cerita-cerita tersebut. Ia mengenal Allah sebagai Allah yang mahakasih bukan hanya karena peristiwa teofani yang dialaminya di perjalanan ke Damsyik. Bahkan sebelum peristiwa Kristus, ia telah mengenal Allah sebagai Allah yang mahakasih. Hanya saja, peristiwa di jalan ke Damsyik itu telah mengubah pemahamannya terhadap peristiwa Kristus. Kini ia memiliki pengertian baru mengenai kasih Allah. Di dalam kematian Kristus, ia melihat kasih Allah yang sebenarnya, yaitu bahwa melalui salib Kristus, Allah mengasihi orang-orang durhaka dan berdosa (Rm. 5:6-8). Dalam peristiwa itulah kedalaman kasih Allah dinyatakan, sehingga manusia boleh memiliki pengha-rapan.[19]
“Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka, pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Rm. 5:6). Frasa “pada waktu yang ditentukan oleh Allah” menyiratkan bahwa kematian Kristus merupakan pemenuhan rencana dan maksud Allah. Kematian Kristus justru terjadi pada momentum yang tidak tepat, yaitu ketika kita masih lemah dan sebagai orang-orang durhaka. Dalam Roma 5:8  dipertegas, “Akan tetapi, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Hal ini untuk memperlihatkan bahwa penyelamatan manusia semata-mata merupakan kehendak dan keputusan Allah, bukan karena jasa atau hasil pekerjaan manusia (bdk. Ef. 2:8-9). Bagi Paulus, kematian Kristus merupakan ungkapan kasih Allah.
Teofani yang dialaminya telah memberi kesempatan kepada Paulus untuk benar-benar memahami ulang siapakah Allah dan siapakah manusia. Baginya, keselamatan tidak dapat dimengerti terlepas dari kematian Kristus. Salib Kristus telah menunjukkan bahwa sejak permulaan dunia, Allah benar-benar Pencipta yang telah menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, telah menciptakan keteraturan dari kekacauan dan selalu menyatakan diri sebagai Allah yang menghidupkan. Salib juga menunjukkan bahwa manusia adalah pendosa, yang tidak mungkin menolong dirinya sendiri dan menjembatani keterpisahannya dengan Allah. Salib, yang tetap merupakan batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani, seakan-akan telah menunjukkan ilusi manusia bahwa mereka sanggup menyelamatkan diri. Dalam terang salib, Allah justru menunjukkan bahwa manusia itu bodoh, lemah dan berdosa. Hanya Allah yang dapat menciptakan keselamatan, bukan manusia.[20]
Bagi Paulus, keselamatan memiliki kesejajaran makna dengan kebangkitan dari maut. Hal itu sepenuhnya merupakan buah tindakan dan karunia Allah bagi manusia. Dalam hal ini, secara mendasar Paulus memahami Allah sebagai Allah kebangkitan, seperti harapan orang Yahudi mengenai kebangkitan tubuh. Dengan demikian, harapan bahwa Allah akan membangkitkan orang mati, bukanlah sesuatu yang asing baginya. Karena itu, wajar jika Paulus memahami kebangkitan Kristus sebagai penyataan tindakan penyela-matan Allah. Pada kayu salib, Paulus melihat keilahian Allah, karena, salib telah menyingkapkan dan menghancurkan ilusi manusia bahwa manusia dapat menyelamatkan diri, entah melalui kesalehannya atau melalui kesombongannya. Bagi Paulus, salib dan kebangkitan memang dibedakan, namun tidak dipisahkan satu sama lain. Salib menyingkapkan keadaan manusia yang sebenarnya dan kebangkitan menyingkapkan keallahan Allah yang sebenarnya. Namun, kemanu-siaan manusia baru menjadi nyata, jika diperhadapkan dengan keallahan Allah, dan keallahan Allah baru dapat dipahami, jika diperhadapkan dengan keadaan manusia yang sebenarnya.[21] Bertolak dari alur penalaran ini, keselamatan dapat dipahami sebagai kondisi berelasi dengan Allah secara benar.

5) Allah yang membenarkan

Doktrin Paulus mengenai kebenaran dan mengenai hukum Taurat merupakan puncak pemahamannya terhadap Kristus. Peristiwa Kristus, terutama penyaliban dan kebangkitan-Nya, telah menyatakan Allah yang sebenarnya dan manusia yang sebenarnya. Melalui kedua peristiwa itu, Allah menyatakan kasih-Nya kepada manusia berdosa dan memberinya keselamatan. Keselamatan itu didapat karena manusia menerima pembenaran Allah. Hal itu merupakan anugerah Allah, yang telah menyatakan diri dan kehadiran-Nya di dalam Yesus Kristus. Karena itu dapat dikatakan, bahwa doktrin pembenaran Paulus seluruhnya adalah kristologi. Dibenarkan berarti menerima kasih dan kebenaran Allah dengan iman. Bahkan dapat dikatakan bahwa bagi Paulus, pembenaran oleh karena iman merupakan dasar berdirinya gereja.[22] Manusia dapat memperoleh pembenaran, karena Allah tetap setia kepada umat-Nya, seperti seorang bapak yang tetap mengasihi anaknya yang memberontak.
Mengenai kebenaran Allah, Bultmann berbeda pendapat dengan Käsemann.[23] Menurut Bultmann, kebenaran Allah merupakan terminologi yang berasal dari dunia peradilan, yaitu keputusan hakim yang menguntungkan terdakwa dalam pengadilan. Ketika Paulus berbicara mengenai kebenaran Allah yang dinyatakan, hal itu melukiskan keputusan Allah (sebagai hakim) yang positif bagi manusia (sebagai terdakwa). Intinya, dosa-dosa manusia sebagai terdakwa diampuni. Dengan demikian, kebenaran Allah adalah kebenaran yang berasal dari Allah, yang diberikan kepada orang-orang percaya, yang menjadi dasar hubungannya dengan Allah.
Di pihak lain, Käsemann berpendapat bahwa kebenaran Allah adalah suatu ungkapan yang berasal dari sastra apokalyptis Yudaisme, bukan dari konsep yuridis atau peradilan. Istilah tersebut lebih bersifat teosentris (sebagai sifat khas Allah) ketimbang antroposentris. Penyataan Allah dalam diri Yesus menandai peristiwa kosmis, yaitu mulai berlakunya zaman baru. Di dalamnya, sifat Allah tidak sekadar diketahui sebagai sifat statis seperti sifat dewa-dewa Yunani, melainkan menjadi nyata dalam aktivitas Allah. Kebenaran Allah merupakan kuasa penyelamatan-Nya yang sedang terjadi dalam dunia. Käsemann menekankan sifat teosentris kebenaran Allah, karena, sekalipun kebenaran itu merupakan karunia, ia tidak dapat dilepaskan dari pemberinya. Bagi Paulus, kebenaran Allah adalah kedaulatan Allah atas dunia, yang menyatakan diri di dalam Yesus, yaitu kebenaran yang dengannya Allah mengembalikan dunia yang telah menjauh dari-Nya ke dalam hubungan yang benar dengan Dia.
Bornkamm berusaha memahami arti ‘kebenaran Allah’ bertolak dari perkataan Paulus dalam Roma 1:17, “Sebab di dalamnya (yang dimaksud adalah di dalam Injil) nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: Orang benar akan hidup oleh iman.” Paulus berbicara mengenai kebenaran Allah dan kebenaran orang beriman dalam satu kalimat, sehingga ia dapat pula mengatakan “kebenaran yang berasal dari Allah yang bergantung pada iman” atau “kebenaran oleh iman” (bdk. Flp. 3:9; Rm. 9:30; 10:4; Gal. 2:16, dsb.). Kebenaran oleh iman inilah yang melepaskan manusia dari kematian dan membuka jalan menuju kehidupan kekal (Rm. 1:17; Flp. 3:9-11). Paulus mempertentangkan kebenaran Allah dengan kebenaran manusia yang didasarkan pada ketelitiannya melakukan hukum Taurat. Sesungguhnya mereka tidak mengenal Allah, karena itu mereka mendirikan kebenarannya sendiri dan tidak takluk kepada kebenaran Allah (Rm. 10:3; bdk. 9:30-10:4). Di sini tampak bahwa makna ‘kebenaran’ atau ‘benar’ bukanlah kualitas seperti dalam pemikiran Yunani, melainkan realitas Allah yang bertentangan dengan realitas orang berdosa (Rm. 4:5; bdk. 5:6). Allah mengaitkan kebenaran-Nya dengan manusia berdosa, yang dalam dirinya sendiri tidak benar. Allah adalah benar dan membuktikan kebenaran-Nya dengan jalan membenarkan manusia yang beriman (Rm. 3:26). Dengan demikian kebenaran Allah dapat dikenakan, baik kepada Allah maupun kepada manusia. Bedanya, dari pihak Allah, secara aktif Dia menyatakan kebenaran-Nya sehingga membenarkan, sedangkan dari pihak manusia, secara pasif ia menerima pernyataan kebenaran itu dan karena itu dibenarkan.[24]    
Dalam PL, kebenaran seringkali disebut dalam Mazmur dan kitab Yesaya untuk menyatakan ketaatan terhadap struktur kewajiban yang ditetapkan oleh suatu perjanjian. Menunjukkan kebenaran berarti setia terhadap janji yang telah dinyatakan. Hal ini juga berlaku bagi Allah, yang kebenaran-Nya merupakan bukti kesetiaan-Nya terhadap perjanjian yang telah dinyatakan-Nya, termasuk janji penyelamatan bagi umat Allah. Kata Ibrani untuk kebenaran, yaitu sedaqa, dapat pula berarti kelepasan (Yes. 46:13; 51:6,8), sehingga kebenaran Allah dalam PL menunjukkan sifat Allah, yang selalu siap menolong dan menyelamatkan ciptaan-Nya. Kebenaran (dalam konsep Ibrani) diterjemahkan dengan dikaiosunē dalam bahasa Yunani, yang berbeda dengan alētheia (konsep Yunani). Dari sisi manusia, dikaiosunē adalah tindakan yang berpadanan dengan kehendak Allah, sedangkan dari sisi Allah, dikaiosunē adalah tindakan Allah dalam membenarkan manusia. Sementara itu, alētheia adalah sesuatu yang dapat dipercaya sebagai benar mengenai Allah.
Menurut Ernst Käsemann, doktrin Paulus tentang dikaiosunē theou sebenarnya merupakan pengungkapan kuasa Allah (God’s power) yang berlaku atas dunia, dan bahwa keselamatan tidak terlepas dari padanya. Karunia Allah dan keselamatan individual hanya dapat terjadi jika kita taat terhadap kebenaran ilahi. Kalau Paulus membicarakan kebenaran Allah, maka yang ingin diungkapkan tidak lain adalah kekuasaan dan kebesaran Allah. Kebenaran Allah adalah karunia bagi manusia (Rm. 5:17, dōrea) yang diterima melalui iman (Rm. 3:22). Karya penyelamatan Allah adalah ‘propiation’ (jalan pendamaian, Rm. 3:25) yang tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang ‘murka Allah’ atas perbuatan-perbuatan dosa. Hal tersebut dipaparkan dalam argumen yang padat dalam Roma 1:18-3:20. Bagian ini merupakan introduksi mengenai murka Allah yang dinyatakan dari surga melawan setiap bentuk kejahatan (Rm. 1:18). Keharusan manusia menerima murka Allah ini telah dilepaskan oleh Allah melalui kehadiran-Nya dalam diri Yesus, sehingga manusia terbebas karenanya. ‘Propiation’ berarti pembebasan dari murka Allah melalui pengorbanan. Dengan demikian, ‘propiation’ sekaligus menjadi ‘expiation’ (penebusan). Jalan pendamaian itu dapat diterima oleh orang-orang percaya melalui pekerjaan Kristus Yesus yang berpuncak pada pengorbanan diri-Nya (Rm. 5:9; 1Tes. 1:10, 5:9).[25]
Dalam Roma 3, kebenaran Allah muncul beberapa kali (mis. ayat 5-7). Konteksnya adalah pembicaraan mengenai kesamaan kedudukan antara orang Yahudi dan kafir di hadapan Allah. Mereka sama-sama memiliki kemungkinan untuk memperoleh pengampunan Allah, karena mereka sama-sama berada di bawah kuasa dosa (Rm. 3:9-20). Namun kini, tanpa hukum Taurat, kebenaran Allah telah dinyatakan seperti dalam hukum Taurat melalui Yesus Kristus, dan manusia dapat memperoleh pembenaran melalui iman kepada-Nya.

“Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi, yaitu kebenaran Allah yang karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang percaya. Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya. Maksud-Nya ialah untuk menunjukkan keadilan-Nya pada masa kini, supaya nyata, bahwa Ia benar dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus” (Rm. 3:21-26).

Dari perikop di atas, ada tiga hal yang perlu dicatat. Pertama, kematian Yesus dilukiskan sebagai tindakan kesetiaan, yang menunjukkan bahwa Allah memelihara janji-Nya yang telah diberikan kepada Israel. Kedua, Kematian Yesus membuktikan bahwa Allah tidak berpihak pada kejahatan. Kesabaran Allah terhadap dosa-dosa masa lalu tidak dapat diartikan sebagai keberpihakan-Nya kepada amoralitas. Dalam peristiwa Kristus, Allah menunjukkan keadilan-Nya terhadap dosa-dosa dan pemberontakan manusia. Salib merupakan sarana pendamaian yang memungkinkan orang berdosa kembali berelasi dengan Allah yang benar. Ketiga, hal-hal di atas berlaku, baik bagi orang-orang Yahudi, maupun orang-orang kafir. Allah yang satu dan sama, akan membenarkan, baik orang-orang bersunat, maupun tidak bersunat, karena iman (Rm. 3:29-30). Hal ini bukan meniadakan Taurat, melainkan justru meneguhkannya (Rm. 3:31).[26]
Dari perikop tersebut jelas pula bahwa Kristus berperan sebagai paraga, yang melalui diri-Nya Allah bertindak, baik dalam menyata-kan kebenaran dan keadilan-Nya, maupun dalam membenarkan mereka yang percaya kepada penyataan kebenaran-Nya. Kristus telah ditentukan Allah sebagai jalan pendamaian bagi orang yang beriman kepada-Nya. Beriman kepada Kristus berarti beriman kepada Allah sendiri, karena di dalam Dia, Allah bertindak untuk menyatakan kebenaran dan keadilan-Nya.

6) Allah akan menghakimi

Sekalipun Allah menghendaki agar manusia melakukan hal yang baik seturut dengan kehendak-Nya, namun dalam kenyataan, secara universal manusia cenderung melawan Allah (Rm. 3:11-18). Dalam melihat kejahatan manusia, Paulus tidak menekankan bentuk-bentuk dosa dalam berbagai tindakan etis, melainkan lebih melihat hubungan antara manusia dengan Allah. Segala tindakan yang tidak memuliakan Allah, tidak takut akan Allah, menodai kekudusan nama Allah, semua itu adalah dosa. Manusia harus mempertanggung-jawabkan dosa-dosanya di hadapan Allah. Bahkan sepantasnyalah kedurhakaan mereka dihukum oleh Allah. Namun karena kasih-Nya, Allah hadir untuk menawarkan pengampunan dan pertobatan melalui diri Yesus (Rm. 5:6). Dalam hal ini, kasih Allah tidak bertentangan dengan keadilan-Nya. Oleh karena kasih-Nya, Allah menawarkan pengampunan, namun pelanggaran dan kedegilan hati tidak akan dibiarkan berlalu dihadapan-Nya.
Paulus melihat, bahwa dalam batas-batas tertentu, penghakiman Allah itu sudah dilakukan saat ini, yaitu dalam bentuk bermacam-macam penderitaan yang harus dialami oleh manusia akibat dosa-dosanya. Namun pada sisi lain, kita tidak dapat selalu menganggap penderitaan itu sebagai akibat dosa. Bagi orang beriman, penderitaan dapat dilihat sebagai pendisiplinan Allah terhadap milik yang dikasihi-Nya (1Kor. 11:32). Justru dengan didikan itulah Allah meluputkan umat-Nya dari kebinasaan bersama-sama dunia. Dalam hal ini, Paulus melihat Allah sebagai Allah yang aktif berintervensi dalam pembenahan moralitas manusia, agar mereka kembali kepada kasih dan kebenaran. Dalam arti yang lebih luas, Paulus melihat penghakiman dalam perspektif masa depan. Pada akhir zaman, Allah akan menghakimi semuanya, termasuk hal-hal yang tersembunyi (Rm. 2:16). Penghakiman terakhir ini merupakan penghakiman universal, untuk semua manusia (Rm. 2:11), termasuk orang-orang di luar umat Allah (1Kor. 5:13) dengan penghakiman yang adil (Rm. 2:5; 2Tes. 1:5-6). Mereka yang tidak berkenan kepada Allah karena perilakunya akan dihukum (1Kor. 10:5).

7) Jemaat sebagai buah pekerjaan Allah

Persekutuan orang percaya sering disebut sebagai ‘jemaat Allah’ (1Kor. 1:2; 10:32; 11:22, 16; 15:9; 2Kor. 1:1; Gal. 1;13; 1Tim. 1:5, 15, dsb.), atau juga disebut ‘Israel Allah’ (Gal. 6:16), ‘tempat kediaman Allah’ (‘dwelling place of God,’ Ef. 2:22), ‘anggota keluarga Allah’ (Ef. 2:19). Di tempat lain, persekutuan itu juga disebut sebagai ‘bait Allah,’ yaitu tempat kudus Allah (1Kor. 3:16-17). Sebutan ini melukiskan relasi antara orang beriman dengan Allah. Gereja bukan saja menjadi milik Allah, melainkan Allah sendiri juga aktif di dalamnya dengan menempatkan para hamba-Nya, bukan hanya para rasul, tetapi juga orang-orang beriman yang lain (1Kor. 12:24). Di samping itu, Paulus juga melihat bahwa Allah juga bekerja dalam setiap individu. Allah melimpahkan karunia-Nya untuk setiap orang (1Kor. 7:7).
Persekutuan orang percaya terjadi karena inisiatif Allah. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa manusia menjadi pihak yang sama sekali pasif. Justru sebaliknya, terhadap inisiatif Allah tersebut, manusia secara aktif dan penuh kesadaran harus mengambil keputusan untuk menerima dan memberi tanggapan positif dengan iman terhadap karya penyelamatan Allah. Oleh sebab itu, gereja seharusnya menjadi persekutuan yang bersifat responsif, yang memberikan respons positif maupun aktif terhadap karya penye-lamatan Allah. Respons positif adalah iman, yang pada hakikatnya merupakan peng-ya-an tanpa syarat terhadap karya dan kehendak Allah. Sedangkan respons aktif terwujud dalam segala aktivitas yang merupakan ungkapan syukur dan ketaatan terhadap kehendak Allah. Hal ini tidak hanya berlaku untuk gereja sebagai persekutuan, melainkan juga berlaku untuk setiap orang beriman secara individual. Keberadaan seseorang di tengah persekutuan tidak terjadi secara mekanis atau berdasarkan kodrat belaka, melainkan karena keputusan pribadi yang sadar. Akibatnya, konsekuensi logis dari keputusan yang diambilnya haruslah dilaksanakan dengan sadar dan bertanggung jawab. Pendapat bahwa iman merupakan anugerah pasif, tidak memiliki cukup alasan, bahkan sering memperlemah kesadaran individu untuk hidup secara konsekuen berdasar keputusan yang diambilnya. Karena pemikiran seperti ini, banyak anggota persekutuan yang hidup keimanannya acuh tak acuh, tanpa penghayatan personal akan relasinya dengan Allah, dan tanpa keterlibatan serius dalam kehidupan persekutuan.
Lebih jauh, Paulus mengaitkan persekutuan orang percaya dengan keselamatan yang telah diterimanya. Menurut A.M. Hunter, inti teologi Paulus adalah keselamatan. Karena itu, surat-surat Paulus sering disebut sebagai surat-surat keselamatan atau Injil keselamatan (Kis. 13:26; Rm. 1:11). Keselamatan yang dimaksud tidak hanya secara rohani, melainkan keselamatan total manusia. Hal ini berbeda dengan gagasan Yudaisme, yang mengartikan keselamatan hanya dari sisi kerohanian belaka.

b. Kristologi Paulus

1) Kristologi Monoteistis

Bagi Paulus, pernyataan ‘Yesus itu Tuhan’ merupakan dasar pengakuan Kristen. Bahkan ia mengatakan bahwa tidak seorang pun dapat mengatakan ‘Yesus itu Tuhan,’ jika bukan karena Roh Kudus (1Kor. 12:3). Namun untuk memahami secara penuh makna pernyataan ‘Yesus itu Tuhan,’ diperlukan pengertian mengenai makna nama ‘Yesus’ dan gelar ‘Tuhan’-Nya. Seandainya gelar ‘Tuhan’ dimengerti dalam perspektif keilahian, yakni sebagai Roh yang memberi kehidupan (1Kor. 15:45), maka pendapat Frederich Fyvie Bruce bahwa hal ini tidak sesuai dengan realitas kemanusiaan Yesus historis, rupanya masuk akal.[27] Gambaran Paulus tentang Yesus historis tidak bersifat doketis. Ia mengatakan bahwa Yesus benar-benar dilahirkan oleh seorang perempuan (Gal. 4:4) dan benar-benar mengalami kematian di kayu salib (Flp. 2:8). Tubuh Kristus benar-benar bersifat kedagingan (Kol. 1:22). Itulah sebabnya Paulus dapat mengatakan bahwa Ia mengambil rupa manusia (Flp. 2:7-8). Kemung-kinan ayat itu merupakan terjemahan kata Aram kebar’enãsh, yang berarti seperti anak manusia (Dan. 7:13). Ke dalam bahasa Yunani. Hal ini lebih jelas dikatakan Paulus dalam Roma 8:3, bahwa Allah telah mengirim Anak-Nya “dalam daging, yang serupa dengan daging, yang dikuasai dosa karena dosa.” Dari ayat ini, dengan jelas Paulus mengatakan bahwa dimensi kedagingan Yesus adalah kedagingan yang dikuasai dosa.
Namun pada sisi lain, secara harfiah, seakan-akan Paulus juga mengutarakan pra-eksistensi Yesus serta peran kosmis-Nya. Kepada jemaat Korintus ia menulis, “Hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa. Yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1Kor. 8:6). Di samping itu juga dikatakan bahwa Kristus adalah ‘gambar Allah’ (2Kor. 4:4), yang sekalipun Dia kaya, telah menjadi miskin karena umat-Nya, supaya umat-Nya menjadi kaya karena kemiskinan-Nya (2Kor. 8:9). Hal ini memiliki makna senada dengan Filipi 2:6-8.
Berdasar pernyataan-pernyataan Paulus di atas, lazimnya orang menafsirkan bahwa seperti apa pun bentuk asli rumusan kristologis tersebut, Paulus mendukung sepenuhnya dan mengintegrasikannya ke dalam argumennya sendiri. Jadi, Paulus percaya pada pernyataan bahwa Kristus Yesus, sebelum mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba, telah berada dalam rupa Allah.[28] Rupanya dari pemahaman seperti inilah doktrin yang menyatakan bahwa Kristus itu manusia sejati sekaligus Allah sejati menemukan akarnya. Benarkah demikian?
Telah dikatakan bahwa Paulus adalah seorang Yahudi monoteistis tulen, yang memahami bahwa Allah telah menghadirkan diri dengan berbagai cara di sepanjang sejarah umat-Nya. Konsisten dengan penalaran itu, logis pula jika sejak pengalamannya di jalan ke Damsyik, Paulus memahami Yesus sebagai paraga yang mengejawantahkan kehadiran Allah. Dalam alur pemikiran ini, maka yang dipuji sesungguhnya adalah Allah sendiri, yang telah berkenan mengha-dirkan diri di dalam dan melalui Kristus. Sama seperti dalam madah persekutuan mula-mula, dalam berbagai ungkapannya, Paulus tidak menaruh perhatian pada hakikat (nature) Yesus secara ontologis, dan tidak ingin  mempersoalkannya. Yang ingin dipuji adalah tindakan Allah, yang telah berkenan hadir dalam kehidupan manusia dan merendahkan diri demi keselamatan manusia. Yang dikidungkan pra-eksistensi-Nya pun adalah Allah sendiri. Dia yang telah menciptakan langit dan bumi, serta memeliharanya dengan kesetiaan; Dia yang telah menyatakan diri kepada bapa-bapa leluhur; Dia yang telah memimpin perjalanan Israel dengan tiang awan dan tugu api; Dia pulalah yang kini sedang hadir dan bertindak. Dengan demikian inti pokok yang dipersoalkan bukanlah hakikat Yesus sebagai manusia sejati atau Allah sejati, melainkan bahwa di dalam dan melalui pribadi Yesus, Allah berkenan menghadirkan diri dan bertindak menyela-matkan umat-Nya. Hal itu sesuai dengan makna kata ‘Yesus’ atau ‘Yoshua,’ yaitu Tuhan Penolong.

2) Yesus “Kurios”

Gelar paling menonjol yang digunakan Paulus bagi Yesus adalah Tuhan (Kurios). Bahkan Longenecker menduga bahwa kemungkinan ketuhanan Yesus, dalam arti religius dan historis, pertama-tama dikonseptualisasikan oleh Paulus. Menghadapi tekanan ideologi asing serta kebutuhan untuk menjelaskan makna karya Kristus, nada metafisis dan ontologis seakan-akan terlekat pada keyakinan yang hendak diungkapkannya. Bahkan dalam perkembangannya, ketika menghadapi bidat Kolose, penulis surat pseudo Paulus ini memproklamasikan Yesus sebagai Kristus kosmis, yang ketuhanan-Nya meliputi segala sesuatu (Kol. 1:15-20). Dalam rangka menghadapi penyembahan kaisar di wilayah timur kekaisaran Romawi, secara eksplisit Paulus mengidentifikasi Yesus dengan Allah (Rm. 9:5; bdk. ayat-ayat pseudo Paulus, 2Tes. 1:12; Tit. 2:13) dan Juruselamat (Flp. 3:20; bdk. ayat-ayat pseudo Paulus, Ef. 5:23; 2Tim. 1:10; Tit. 1:4; 2:13; 3:6).[29] Dalam hal ini, motif sentral pemberitaan Paulus adalah bahwa rencana penyelamatan ilahi telah hadir di tengah-tengah kehidupan manusia (Gal. 4:4-5). Namun perlu diteliti lebih lanjut, sejauh manakah pernyataan-pernyataan Paulus tersebut menunjuk pada hakikat keilahian Yesus?
Dalam penggunaan sehari-hari waktu itu, kata Tuhan mencakup makna dari yang paling sederhana, yang sama artinya dengan tuan (suatu sebutan kehormatan), hingga sapaan bagi Allah dalam penyembahan. Gelar Kurios yang dikenakan kepada Yesus sebagai gelar kristologis, terutama berkembang dalam lingkungan Hellenis-me. Perlu diingat bahwa kata Hellenistis Kurios tidak hanya digunakan dalam hubungannya dengan konsepsi religius tertentu, melainkan juga digunakan dalam arti umum: ‘tuan’ atau ‘pemilik.’ Bahkan kata tersebut juga digunakan sebagai sapaan sopan-santun. Dalam pemikiran Palestina, Yesus disebut Tuhan dalam arti profan secara umum. Namun dalam Hellenisme, terutama dalam lingkungan kekaisaran Romawi, sebutan profan ini juga dikaitkan dengan konsep Kurios ilahi.[30]
Kekristenan di luar Palestina pasti menjumpai penggunaan kata Kurios dalam arti umum. Karena itu, penggunaan Kristen atas kata tersebut dengan arti tertentu perlu disertai penjelasan, seperti pernyataan Paulus dalam 1 Korintus 8:5-6. Umat Kristen telah mengetahui bahwa segala kuasa, baik di surga maupun di bumi, telah diberikan kepada Yesus setelah Ia ditinggikan, maka tuhan-tuhan yang lain bukan lagi sebagai tuhan-tuhan absolut. Kuasa mereka telah terserap ke dalam kuasa Yesus, Kurios. Di balik pernyataan itu, terdapat iman Paulus bahwa semua tuhan, semua penguasa dan pemerintah, telah dikalahkan oleh Kristus dan tunduk kepada-Nya. Karena itu, kini tidak ada lagi tuhan-tuhan dalam arti absolut. Memang, pemerintah Romawi pada waktu itu dianggap dewa. Bahkan kaisar-kaisar Romawi diyakini sebagai keturunan dewa. Mereka disembah, sebab memiliki asal-usul yang ilahi. Pada satu sisi, kaisar juga disebut sebagai Kurios dalam arti penguasa politis, namun pada sisi lain juga dihormati sebagai sosok yang bersifat ilahi.[31]
Kata Yunani Kurios digunakan untuk menerjemahkan kata Ibrani Adon atau kata Aram Mar, yang pada masa PB, dipergunakan, baik dalam arti Tuhan, maupun tuan. Namun, karena kata ini lebih banyak dihubungkan dengan Yahwe, maka kata Adonai-Kurios dipergunakan sebagai gelar liturgis bagi Allah, baik di Palestina, maupun di kalangan Yudaisme diaspora. Menurut Cullmann, hal ini merupakan perkembangan pemaknaan sebagaimana terjadi dengan kata Kurios dalam pemikiran Hellenisme. Kurios berkembang dari pengertian umum tuan menjadi pengertian absolut Tuhan. Tetapi, Bultmann berpendapat bahwa yang terjadi bukanlah perkembangan pemaknaan dalam pemikiran Yudais, melainkan transisi tiba-tiba sebagai sesuatu yang sama sekali baru, akibat pengaruh Hellenisme. Karena itu, ia tidak sepakat bahwa Yesus disembah sebagai Tuhan pertama-tama terjadi di lingkungan Hellenistis.[32]
Bertolak dari pemahaman Paulus terhadap Yesus setelah pengalamannya di jalan ke Damsyik, gelar Tuhan yang diberikan kepada Yesus hendaklah dimengerti dari sisi fungsionalnya, bukan dari hakikat ontologis-Nya. Di dalam Dia, Allah mengejawantah, menghadirkan diri dan bertindak. Oleh sebab itu, selayaknya Ia dihormati setinggi-tingginya, “Itulah sebabnya Allah sangat mening-gikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama” (Flp. 2:9). Menghormati peranan Yesus sebagai paraga yang berperan mengejawantahkan kehadiran Allah, berarti pula menghormati Allah sendiri, sehingga, pada hakikatnya, mengaku Kristus sebagai Tuhan, juga berarti memuliakan Allah sendiri. Itulah maksudnya jika Paulus mengatakan, “dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:11). Gelar Kurios yang dikenakan kepada Yesus baru memperoleh maknanya secara penuh setelah kematian dan peninggian-Nya. Sebutan Kurios-Yesus merupakan sebutan khas bagi Yesus setelah Paskah. Dapat dikatakan bahwa gelar ini berkembang bersamaan dengan peristiwa penyelamatan. Sekali lagi, yang hendak diungkapkan Paulus adalah kemuliaan Allah yang telah melakukan pekerjaan penyelamatan melalui dan di dalam diri Yesus. Ia tidak bermaksud membahas atau mendefinisikan hakikat pribadi Yesus. Memang ada pula penggunaan gelar Kurios bagi Yesus sebelum Paskah (Mk. 11:3; Mk. 12:35-37; Mat. 7:21), namun tidak satu pun dari ayat-ayat itu mengindikasikan penggunaannya secara absolut. Bahkan dapat dilihat bahwa ketiga contoh tersebut dapat diberi makna berbeda-beda menurut konteks penggunaannya.  
Dalam memperkenalkan Injilnya kepada jemaat Roma, Paulus menempatkan Yesus sebagai pusat pewartaannya. “Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam Kitab Suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita” (Rm. 1:2-4). Perubahan perspektifnya terhadap Yesus terjadi sejak pengalaman teofaninya di jalan ke Damsyik (Gal. 1:15-16). Hal yang menarik untuk diperhatikan: dalam Roma 1:4, Paulus menyebut ‘Roh kekudusan’ dan bukan ‘Roh Kudus.’ Rupanya Paulus mengambil rumusan tersebut dari kredo jemaat perdana dan menggunakannya untuk memperkenalkan Injilnya dalam rangka mengungkapkan pribadi Yesus. Pertama-tama ia mengawalinya dengan pernyataan mengenai hubungan Yesus dengan Allah (terungkap dalam kata ‘Anak-Nya’), kemudian hubungan Yesus dengan orang percaya (‘Yesus Kristus Tuhan kita’). Di antara kedua pernyataan disisipkan sejarah pendek misi Yesus, sebagai keturunan Daud yang dibangkitkan dari antara orang mati.
Jika sebutan ‘Kristus’ dan ‘Tuhan’ berkaitan dengan hubungan antara Yesus dengan umat-Nya, maka bagi Paulus, sebutan ‘Anak Allah’ menyangkut hubungan antara Yesus dengan Allah. Hal ini sejajar dengan perkataan Paulus, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya ...” (Gal. 4:4, bdk. Rm. 8:3). Bagaimanakah gelar ‘Anak Allah’ ini harus dimengerti? Paulus menyebut seluruh orang percaya sebagai ‘anak-anak Allah’ dan Allah sebagai ‘Bapa kita,’ bukan hanya ‘Bapa Yesus.’ Sekalipun demikian, jelas bahwa gelar ‘Anak Allah’ bagi Yesus memiliki makna khusus, karena, keanakallahan Yesus itu memberi kemungkinan kepada semua orang percaya untuk diangkat menjadi anggota keluarga Allah (Rm. 8:17, 29).[33]
Kekhasan hubungan Yesus dengan Bapa-Nya jelas dari cara Paulus menyampaikan berkat di awal surat-suratnya, dari Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus, secara bersama-sama. Di samping itu, dalam madah jemaat perdana yang dikutipnya (Flp. 2:6-8; bdk. Kol. 1:15-20), langsung atau tak langsung, Paulus mengungkapkan kekhasan hubungan Yesus dengan Allah (bdk. 1Kor. 8:6; 2Kor. 8:9; Rm. 1:3-4). Kebanyakan ahli PB sepakat bahwa di balik perikop-perikop itu terdapat gagasan tentang Hikmat Allah. Dalam kitab Amsal Salomo, Kebijaksanaan Salomo dan Yesus ben Sirakh, Hikmat dilukiskan sebagai pribadi, yang merupakan kawan sekerja dan bekerja bersama Allah, baik dalam karya penciptaan, maupun dalam pemeliharaan ciptaan-Nya. Dalam Amsal 8:22-31, Hikmat itu berkata, “Ketika Allah menegakkan langit, Aku ada di sana, ... Aku bersama dengan Dia ... dst.” Paulus dan para penulis PB mengenakan peranan Hikmat ini untuk menjelaskan Yesus. Yesus bukan hanya salah satu di antara ‘anak-anak Allah,’ melainkan sebagai pengejawantahan kehadiran Allah, sebagaimana peranan Hikmat, yang terlibat dalam pekerjaan penciptaan dan ditetapkan untuk menaklukkan segala sesuatu di hadapan hadirat Allah (1Kor. 15:28). Hanya di beberapa tempat Paulus mengidentifikasi Yesus dengan Allah (Rm. 9:5; bdk. 2Tes. 1:12; Tit. 2:13), namun ia tetap membedakan antara Bapa yang Mahakuasa dengan Anak yang taat. Dalam hal ini, rupanya Paulus tidak bermaksud membicarakan hakikat keilahian Yesus, melainkan hanya menegaskan bahwa di dalam dan melalui Yesus, Allah telah bertindak dan menghadirkan diri. Sekali lagi, Paulus tidak bermaksud menyodorkan konsepsi tentang Allah yang biteis.    
Dalam Roma 10:9, Paulus mengaitkan secara langsung sebutan Tuhan dengan kebangkitan Yesus (bdk. 1Kor. 12:3; Flp. 2:11; 2Kor. 4:5) dengan tekanan pada “kehormatan dan kemuliaan pribadi Yesus.” Banyak orang menduga bahwa gelar ini berlatar belakang kultus Yunani. Dengan demikian, pengenaannya pada Yesus tidak bermak-sud menekankan sifat historisnya, melainkan pada kemuliaan dan kekuasaan yang diejawantahkan dalam diri-Nya. Dalam hal ini Paulus lebih berpikir dengan latar belakang Yahudi ketimbang Yunani, sehingga tidak mengaitkan gelar Tuhan dengan karya penyelamatan yang dilakukan-Nya, melainkan dengan peninggian setelah kebangkitan-Nya.

3) Mesias Juruselamat

Meskipun belum terumus dalam bentuk doktrin yang konsisten, pada masa pra-Kristen, orang Yahudi telah memiliki kepercayaan mengenai Mesias. Semula, gagasan mesianis itu berkenaan dengan harapan akan datangnya seorang raja dari keturunan Daud. Pada permulaan kekristenan, beberapa pemikiran mengenai Mesias berkembang menjadi sosok kekal yang disebut ‘Anak Manusia’ atau ‘Sang Manusia.’ Anak Manusia itu merepresentasikan sosok pribadi kekal yang ada bersama Allah, yang telah berulang kali menyatakan diri melalui berbagai pengalaman mistis serta penglihatan orang-orang suci di segala zaman, seperti Henokh dan Ezra. Kini gambaran itu dikenakan kepada Yesus, yang dipercayai sebagai Mesias. Bertolak dari kehidupan dan kematian-Nya, Ia juga dihubungkan dengan sosok Hamba Tuhan yang menderita, sebagaimana digambarkan dalam Deutero Yesaya. Selanjutnya, kepercayaan mesianis ini digabungkan pula dengan gagasan Yahudi mengenai Hikmat Allah, yang melalui-Nya dunia ini diciptakan dan melalui-Nya pula Allah menyatakan diri. Dalam perkembangan berikutnya, gagasan tersebut berhubungan pula dengan doktrin Yunani tentang Logos, Akal budi yang kekal, percikan ilahi di dalam manusia. Sekalipun Paulus tidak pernah benar-benar mengidentifikasi Kristus dengan Logos seperti penulis Injil keempat, namun ia berusaha memahami kedudukan Kristus dalam hubungan-Nya dengan manusia dan dunia ini dalam bahasa spekulasi Logos. Karena itu, ia menyebut Kristus sebagai ‘Hikmat Allah.’[34]
Di dunia di luar Yudaisme, kebanyakan agama yang hidup waktu itu percaya kepada ‘Juruselamat Ilahi,’ yang telah hidup, mati dan bangkit kembali. Mereka yang percaya dapat memasuki persekutuan dengannya melalui ritus-ritus tertentu. Itulah yang sering disebut sebagai ‘agama-agama misteri.’ Bentuk ritusnya bermacam-macam, ada yang kasar dan tak bermoral, ada yang melalui tahyul dan upacara-upacara magis, ada pula yang menggunakan astrologi. Mereka tidak memiliki latar belakang pemikiran Yudaisme, sehingga mereka tidak akan mengerti jika Paulus berbicara mengenai Kristus (Mesias). Lain halnya jika Paulus berbicara mengenai ‘Tuhan, Juruselamat,’ frasa itu tidak lagi asing dalam benak mereka. Itulah sebabnya, dalam pewartaannya kepada orang-orang kafir, Paulus lebih banyak menggunakan bahasa ‘Tuhan, Juruselamat.’[35]
Dalam surat-suratnya, Paulus tidak pernah memberi penjelasan bahwa Yesus adalah Kristus. Rupanya, sebutan Kristus pada waktu itu sudah menjadi semacam ‘nama diri’ yang dikenal untuk Yesus. Namun karena Paulus selalu menyebut Yesus sebagai ‘Yesus Kristus’ atau ‘Kristus Yesus,’ agaknya Kristus tidak menggantikan nama Yesus. Dalam hal ini, sebutan Kristus mengungkapkan iman kristiani jemaat mula-mula (Mk. 8:29-30; 14:61; Mat. 1:16; Yoh. 4:24; 7:26). Paulus mengambil alih sebutan Kristus, yang merupakan terjemahan kata Ibrani Mesias, untuk Yesus. Dengan kata lain, ia juga mengambil alih pengakuan di kalangan jemaat Kristen Yahudi mula-mula. Pengenaan gelar Kristus kepada Yesus, secara soteriologis tentu terhubung dengan kematian dan kebangkitan-Nya. Memang Paulus memberi tekanan pada signifikansi kematian Yesus secara soteriologis. Bahkan lebih dari itu, salib merupakan fokus utamanya. Martin Kähler mengatakan bahwa tanpa salib tidak ada kristologi, dan inti kristologi tidak lain adalah pembenaran melalui salib. Dalam hal ini, kristologi ditransfer dari pengertian metafisis ke dalam sejarah dan realitas kehidupan secara konkret.[36] Namun rupanya, ajaran tentang tindakan penyelamatan Allah melalui dan di dalam diri Yesus Kristus bukanlah penemuan Paulus sendiri, melainkan merupakan refleksi Paulus terhadap kerygma yang diambil alih dari jemaat perdana.[37]
Ketika Paulus berkata bahwa menurut daging Yesus dilahirkan dari keturunan Daud (Rm. 1:3), ia tidak semata-mata menunjukkan kemanusiaan Yesus, melainkan mengidentifikasi Yesus sebagai Raja Mesianis menurut garis keturunan Daud. Sekalipun demikian, Paulus tidak pernah menyebut Yesus sebagai raja dan tidak pernah membicarakan kerajaan-Nya. Yang paling sering ia lakukan adalah menyebut Yesus sebagai ‘Yesus Kristus.’ Tidak perlu dibuktikan bahwa Paulus menganggap penting kemesiasan Yesus, karena, bagi Paulus, ‘Kristus’ telah menjadi nama yang menyatu dengan Yesus, yang konotasi mesianisnya tidak perlu lagi ditonjolkan. Pemahaman mesianis terhadap pribadi Yesus telah diterima apa adanya oleh Paulus, sehingga Kristus telah dijadikan semacam nama diri, tanpa kehilangan makna mesianisnya.[38] Paulus memahami Yesus sebagai Juruselamat dunia, namun juga sebagai Mesias Israel khususnya (Rm. 1:16; ps. 9-11).
Peran Yesus sebagai Juruselamat bukan karena secara alamiah  (by nature) memang demikian, melainkan karena mengemban pekerjaan Allah sendiri (Gal. 4:4-5). Sekali lagi perlu dikatakan bahwa Yesus adalah paraga Allah, yang melalui-Nya Allah hadir, menyatakan kehendak-Nya, dan melakukan pekerjaan penyelamatan. Fungsi yang harus diperankan dalam rangka mencapai maksud pengutusan-Nya, dipenuhi terutama melalui kematian-Nya di kayu salib. Sedangkan kebangkitan-Nya merupakan bukti bahwa misi itu berhasil.

4) Manusia Yesus
Tidak perlu diragukan bahwa Paulus memandang Yesus demikian tinggi. Namun tidak dapat disangkal bahwa ia juga sangat menekankan kemanusiaan Yesus.[39] Ia mengatakan bahwa Yesus adalah seorang manusia (1Kor. 15:21), dilahirkan oleh seorang perempuan (Gal. 4:4), dan memiliki beberapa saudara (1Kor. 9:5). Paulus menyebut Yesus sebagai Anak Allah, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud (Rm. 1:3). Kata ‘daging’ bagi Paulus sering berkonotasi negatif. Biasanya, kata ini digunakan untuk melukiskan hakikat manusia yang berdosa, serta pengalaman-pengalaman yang berlawanan dengan kehidupan dalam Roh Kudus. Namun, ‘daging’ juga dapat memiliki arti netral, yaitu tubuh manusia. Makna kedua inilah yang digunakan Paulus dalam Roma 1:3, ketika ia memperkenalkan sejarah singkat kehidupan Yesus. Bagian pertama sejarah kehidupan Yesus adalah sebagai manusia dengan segala kelemahan-Nya. Sedangkan bagian kedua adalah kehidupan rohani Yesus dalam kuasa kebangkitan-Nya. Paulus percaya pada kemanusiaan Yesus secara real. Bahkan ia mengatakan bahwa Yesus diutus oleh Allah, lahir dari seorang perempuan dan takluk di bawah hukum Taurat (Gal. 4:4).
Di tempat lain, Paulus menyebut Yesus sebagai Adam yang baru. Adam merupakan sosok penting dalam pemikiran Yahudi, sebab ia adalah teladan manusia mula-mula, yang diciptakan sebagai ‘gambar Allah.’ Kesegambaran dengan Allah yang terdapat dalam diri Adam, nenek-moyang manusia itu, baru menemukan kepenuhannya dalam keterhubungannya dengan Allah secara benar. Kata Ibrani ‘Adamah’ sendiri memang berarti ‘manusia.’ Bagi Paulus, ‘gambar Allah’ secara penuh tidak ditemukan dalam diri Adam, melainkan dilihatnya dalam diri Kristus.

“Manusia pertama, Adam, menjadi makhluk hidup (psukhēn zōsan), tetapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan (pneuma zōopoioun). Tetapi yang mula-mula datang bukanlah yang rohaniah (pneumatikon), tetapi yang alamiah (psukhikon); kemudian barulah datang yang rohaniah (pneumatikon). Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari surga. Makhluk-makhluk alamiah sama dengan dia yang berasal dari debu tanah dan makhluk-makhluk surgawi sama dengan Dia yang berasal dari surga. Sama seperti kita telah memakai rupa dari yang alamiah, demikian pula kita akan memakai rupa dari yang surgawi” (1Kor. 15:45-49; bdk. 2Kor. 3:17).

Adam pertama adalah “makhluk hidup jiwani” yang berasal dari debu tanah, sedangkan Adam kedua adalah manusia rohani yang berasal dari surga, yaitu Kristus. Dia juga disebut batu karang rohani (1Kor. 10:4). Dikatakan bahwa dalam pengembaraan di padang gurun, nenek-moyang Israel telah minum minuman rohani dari batu karang rohani yang mengikuti mereka. Dapat diduga, istilah-istilah yang digunakan Paulus berlatar belakang konsepsi Yunani. Kata ‘rohaniah’ berhubungan dengan kata Yunani pneuma (roh). Tubuh jasmani adalah tubuh alamiah, yang dikuasai oleh kehidupan duniawi. Sedangkan tubuh rohani tidak lagi dikuasai oleh nafsu-nafsu duniawi. Itulah tubuh yang telah dibangkitkan.[40]
Namun dalam hal ini, Paulus tidak bermaksud mempertentangkan antara hal jasmani dan rohani secara dualistis, melainkan ada dua hal yang hendak dinyatakannya: Pertama, ada perbedaan antara karakter manusia yang berdosa dan memberontak Allah, sebagaimana terwakili dalam kemanusiaan Adam, dengan karakter ‘gambar Allah’ sejati, yang penuh kebenaran dan ketaatan terhadap kehendak Allah, sebagaimana dinyatakan dalam diri Yesus Kristus. Kedua, Paulus mempertentangkan antara dosa Adam yang fatal, yang menyebabkan manusia berada di bawah hukuman, dengan kebenaran dan ketaatan Yesus, yang membawa penyelamatan dan pembenaran (Rm. 5). Dalam hal ini, ‘Adam’ bukan sekadar menunjuk kepada seorang individu, melainkan mewakili kemanusiaan manusia pada umumnya. Paulus mempertentangkan antara mortalitas Adam (mortalitas kemanusiaan pada umumnya) dengan kehidupan kebangkitan Yesus (1Kor. 15). Secara implisit, Filipi 2:1-11 juga mempertentangkan antara ketidaktaatan manusia yang disertai akibat fatal, dengan manusia Kristus yang taat dan merendahkan diri dengan akibat justru ditinggikan. Hal yang ingin ditekankan adalah Yesus sebagai manusia baru, gambar Allah yang mulia, yang membawa pemulihan bagi semua manusia (bdk. 1Kor. 15:49; 2Kor. 3:18; Kol. 3:10).[41]        

5) Yesus Hikmat Allah

Jika dilihat dalam PL, padanan Filipi 2:6-8 terdapat dalam perikop-perikop yang berbicara mengenai Hamba Tuhan dan Anak Manusia, namun tidak berbicara mengenai pra-eksistensi dan peran-Nya dalam penciptaan.[42] Dipersandingkan dengan 1 Korintus 1:18-31, tampak bahwa madah tersebut lebih dekat dengan gagasan Hikmat. Agaknya Paulus menenunkan gagasan Hikmat itu ke dalam madah jemaat perdana, tanpa menyinggung peran kosmisnya, melainkan lebih menitikberatkan peranannya dalam mengejawantahkan kehadiran Allah. Sekalipun penyaliban Kristus merupakan batu sandungan bagi orang-orang Yahudi dan merupakan kebodohan bagi orang-orang Yunani, namun Ia telah mengejawantahkan kuasa dan Hikmat Allah. Bagi Paulus, Yesus sungguh-sungguh menghadirkan Allah, yang kudus, benar dan menyelamatkan. Jika Kristus diakui sebagai pengejawantahan Allah, yang dinyatakan di dalam tindakan penyelamatan-Nya, maka terbukalah jalan untuk mengakui bahwa Ia juga mengejawantahkan Hikmat Allah yang bekerja dalam penciptaan.
Dalam Filipi 2:6 dikatakan bahwa Yesus berada dalam ‘rupa Allah.’ Kata Yunani yang digunakan adalah morfē (rupa) dan bukan ousia (hakikat). Namun, karena adanya kata kesetaraan setelah frasa tersebut, maka ungkapan itu sering dipahami sebagai kesehakikatan Yesus dengan Allah. Tentu saja, pengertian ini tidak sejalan dengan monoteisme PL. Mungkin lebih tepat jika dipahami bahwa ungkapan tersebut hanya bermaksud menunjukkan peranan Yesus sebagai pencerminan kemuliaan Allah. Yang jelas, formulator madah tersebut pasti akrab dengan konsepsi Hikmat Yudaisme, yang tidak asing pula bagi jemaat perdana. Bertolak dari gagasan yang telah ada, jemaat perdana berusaha memahami pribadi Yesus yang telah bangkit itu, dan kategori-kategori atau sifat-sifat Hikmat dikenakan kepada-Nya.
Dalam 1 Korintus 1:22-24, 30-31, secara tersirat, Paulus memahami pribadi Yesus dalam konsepsi Hikmat. Penafsiran para ahli PB atas ayat-ayat ini berbeda-beda,[43] namun yang jelas, Paulus mengiden-tifikasi Yesus sebagai Hikmat dan menggunakan bahasa yang memiliki konteks luas dalam sastra hikmat. Hal ini lebih jelas ketika Paulus memaparkan peranan Yesus dalam penciptaan, “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1Kor. 8:6). Teks ini paralel dengan Amsal 3:19, “Dengan Hikmat, TUHAN telah meletakkan dasar bumi; dengan pengertian ditetapkan-Nya langit.” Sebagai seorang Farisi terpelajar, dapat diduga bahwa Paulus tidak bermaksud mengajukan gagasan biteisme. Pesan yang hendak disampaikannya adalah bahwa Allah yang telah berkarya dalam penciptaan, juga Allah yang sama, yang kini menghadirkan diri di dalam dan melalui pribadi Yesus. Dalam alur pikiran seperti ini, Hikmat dan Yesus memiliki kesamaan peran, yakni sebagai paraga Allah yang mengejawantahkan kehadiran-Nya, atau sebagai wujud komunikasi Allah kepada umat manusia. Dapat dimengerti jika berdasar teks-teks tersebut, menurut Dunn, tidak dapat disimpulkan bahwa Hikmat itu pribadi ilahi mandiri di luar Allah, atau bahwa Yesus adalah pribadi ilahi lain yang pra-eksisten, yang ada bersama Allah sejak purbakala. Hal yang dapat dikatakan hanyalah bahwa Yesus adalah pengejawantahan Allah, yang merupakan puncak penyataan kuasa kreatif Allah dan kehendak penyelamatan-Nya yang paling konkret.[44]

6) Beberapa peristiwa kristologis yang dipersoalkan

a) Tentang kelahiran Yesus
Ada pendapat bahwa Paulus tidak mendukung kepercayaan bahwa Yesus lahir dari seorang dara. Pendapat itu didasarkan pada dua fakta: (1) Dalam surat-suratnya, Paulus tidak berkata apa pun mengenai masalah itu; (2) Jika Paulus mengetahuinya, tentu ia akan menyebutkannya dalam beberapa perikop yang terkait dengan masalah itu.
Menanggapi alasan pertama, memang dalam surat-surat Paulus, kita tidak menemukan ayat-ayat yang menyatakan masalah kelahiran Yesus melalui seorang dara secara jelas; namun, ada beberapa ayat yang menyinggungnya secara tidak langsung. Misalnya, Roma 1:3. Dalam ayat ini dikatakan bahwa Yesus “menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud.” Ungkapan ini mungkin berasal dari tradisi Kristen sebelumnya, namun mungkin pula berasal dari Paulus sendiri. Hanya, ada hal penting yang perlu dicatat. Dalam ayat ini Paulus tidak menggunakan kata ‘gennaō’ yang berarti ‘melahirkan’ (bentuk pasifnya ‘dilahirkan’) untuk ‘diperanakkan,’ melainkan ‘ginomai’ yang berarti ‘menjadikan.’ Jadi, ayat tersebut tiak bermaksud menyatakan bahwa Yesus adalah keturunan Daud secara genealogis. Kalaupun Paulus menyebut Yesus sebagai ‘keturunan Daud,’ hal itu diwarisi dari tradisi Kristen sebelumnya. Istilah yang sama juga digunakan dalam Galatia 4:4, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” Kata dasar Yunani yang digunakan untuk ‘lahir’ juga ‘ginomai’ (genomenon ek gunaikos). Kata yang sama juga kita temukan dalam Filipi 2:7, “... dan menjadi sama dengan manusia” (en homoiōmati anthrōpōn genomenos). Penggunaan istilah itu rupanya dimaksudkan untuk membedakan kelahiran Yesus dengan kelahiran manusia biasa. Kelahiran Yesus melalui seorang perempuan (Gal. 4:4) hanya merupakan cara Allah untuk menjadikan Dia ada.
Menanggapi alasan kedua, kemungkinan besar peristiwa kela-hiran Yesus sudah menjadi fakta yang diterima apa adanya, sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi. Kalaupun Paulus tidak menyinggungnya, tidak berarti bahwa ia menolak fakta itu, melainkan justru karena telah menerimanya apa adanya dan menganggapnya bukan lagi persoalan. Hal yang lebih penting yang hendak disaksikan Paulus adalah makna kehadiran Yesus bagi umat manusia, yaitu karya penyelamatan Allah yang telah terjadi melalui diri-Nya.     

b) Tentang kebangkitan Yesus
Di antara tulisan-tulisan Paulus, 1 Korintus 15:3 dst. adalah salah satu perikop yang pembicaraannya berpusat pada kebangkitan Yesus. Paulus mengatakan bahwa apa yang diuraikan dalam perikop ini merupakan sesuatu yang telah ‘diterimanya.’ Hal ini menunjukkan ketergantungan Paulus kepada tradisi yang lebih awal dalam kaitannya dengan fakta Yesus, yang meliputi: kematian, penguburan, kebangkitan dan penampakan diri-Nya. Sekalipun dalam tulisan-tulisannya yang lain Paulus tidak menguraikan tema kebangkitan, namun gagasan mengenai tema ini menjiwai tulisan-tulisan tersebut. Dalam Roma 4:1 dikatakan bahwa kebangkitan Kristus memberi kesaksian tentang kedudukan Yesus sebagai Anak Allah yang berkuasa. Dalam Roma 4:24-25, kebangkitan Kristus dihubungkan dengan pembenaran dan selanjutnya pembenaran dihubungkan dengan pendamaian oleh kematian-Nya. Sifat dasar kebangkitan Kristus dalam pikiran Paulus, yaitu sebagai pembenaran orang beriman, terlihat pula dalam surat-suratnya yang lain. Dalam surat Galatia, yang diawali dengan gagasannya mengenai kebangkitan Yesus (Gal. 1:1), Paulus menjelaskan bahwa kerasulannya berasal dari Allah sendiri. 

c) Tentang kenaikan Yesus ke surga
Beberapa kali Paulus menegaskan tentang kenaikan Yesus ke surga, baik secara langsung maupun tak langsung. Ucapannya dalam Roma 10:6-7, yang berlatar belakang Ulangan 30:12-13, tidak akan ada artinya jika kenaikan Yesus ke surga tidak diterima sebagai fakta. Dalam Efesus 4:9-10, Paulus mengutip Mazmur 68:19 dan memberi kesimpulan, “Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik lebih tinggi daripada semua langit.” Demikian juga dalam hymne Kristus (Flp. 2:6-11), sekalipun kebangkitan Yesus tidak dibicarakan secara langsung, namun kemuliaan Kristus setelah ditinggikan sangat ditekankan. Justru karena kerelaan-Nya untuk merendahkan diri, maka pada akhirnya Ia dimuliakan, ditinggikan di atas segala nama, sehingga segala lidah mengaku bahwa Kristus adalah Tuhan, untuk kemuliaan Allah Bapa.

c. Gagasan tentang dunia

Paulus sangat berpegang pada PL, karena itu, pandangannya tentang dunia pun sama dengan pandangan orang-orang Ibrani pada umumnya. Dunia (kosmos) diartikan sebagai ‘bumi’ (Rm. 1:20), yang adalah lingkungan hidup umat manusia. Paulus meyakini bahwa Allah sendirilah yang menciptakan segala sesuatu (Rm. 1:25). Ia menghubungkan Kristus dengan karya penciptaan Allah, sehingga secara harfiah, seakan-akan Kristus berperan sebagai pelaksana penciptaan itu (1Kor. 8:6). Namun, sesungguhnya tidak demikian. Perkataan Paulus ini haruslah ditempatkan dalam kerangka pemikiran mengenai karya penyelamatan Allah. Dalam terang karya penyelamatan Allah, Paulus memandang bahwa sejarah dunia, atau sejarah umat manusia ini, berpusat pada diri Yesus, bukan pada manusia sendiri. Karya penyelamatan Allah bagi dunia ini berpuncak pada diri Yesus. Itulah sebabnya, seakan-akan segala sesuatu diciptakan bagi Dia, dalam arti, segala sesuatu menuju kepada Dia. Perkataan Paulus itu dapat kita pahami dalam pengertian bahwa Yesus telah dilibatkan dalam rencana penyelamatan Allah yang kekal. Jadi, Paulus tidak bermaksud membicarakan tentang pra-eksistensi Yesus. Kosmos yang dipahami sebagai dunia manusia secara keseluruhan itulah yang menjadi sasaran karya penyelamatan Allah dalam Yesus. Pengertian kosmos seperti ini sangat menonjol, bukan saja dalam tulisan-tulisan Paulus, melainkan juga dalam hampir seluruh teks PB.
Dalam beberapa bagian, kosmos memang diberi arti lain. Misal, dalam 1 Korintus 4:9, kosmos diartikan sebagai ‘lingkungan duniawi’ yang dibedakan dengan manusia itu sendiri. Dalam pengertian ini, kosmos memiliki kecenderungan melawan Allah. Oleh sebab itu, “Seluruh dunia jatuh ke dalam hukuman Allah” (Rm. 3:6, 19; 1Kor. 6:2; 11:32). Hikmat dunia dipertentangkan dengan hikmat Allah (1Kor. 1:20; 3:19) dan roh dunia berlawanan dengan Roh yang berasal dari Allah (1Kor. 2:12; Rm. 8). Dalam keadaan seperti itu, tanpa Allah, dunia tidak memiliki harapan.
Paulus tidak sependapat jika dikatakan bahwa dunia ini pada dasarnya memang jahat. Kejahatan dunia ini adalah karena kuasa asing (kuasa di luar Allah) yang sedang bekerja di dalamnya. Dalam Efesus 2:1-2, Paulus memberi nasihat kepada jemaat, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu menaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.” Paulus menyamakan ‘jalan dunia ini’ dengan ‘ketaatan kepada penguasa kerajaan angkasa.’ Tetapi orang-orang beriman kini memiliki pengharapan, karena Allah telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus (Ef. 2:4-10). Oleh Kristus, dunia telah diperdamaikan dengan diri-Nya, dengan tidak memperhitungkan pelanggarannya (2Kor. 5:19). Kristus telah memerdekakan manusia dari kuk perhambaan, baik terhadap Taurat, maupun terhadap kuasa dosa (Ef. 5:1).
Gagasan Paulus tentang dunia berkaitan juga dengan pandangannya terhadap Iblis. Paulus menyadari betul bahwa Iblis sebagai alat kejahatan sedang bekerja dalam dunia ini. Dalam surat-surat Paulus kita temukan dua istilah Yunani untuk kuasa kegelapan, yaitu satanas untuk setan dan diabolos untuk Iblis. Iblis dipandang sebagai penjelmaan penentang Allah yang merintangi pekerjaan para rasul (1Tes. 2:18). Iblis menggoda orang-orang percaya agar kehilangan penguasaan diri (1Kor. 7:5). Di samping itu, Paulus juga sering menganggap bahwa para penguasa lalim adalah penjelmaan dari kuasa Iblis ini. Istilah-istilah yang digunakan untuk kuasa-kuasa itu antara lain ‘pemerintah-pemerintah dan kuasa-kuasa’ (arkhai kai dunameis), ‘penguasa-penguasa’ (eksousiai), ‘roh-roh dunia’ (stoikheia), dan ‘penguasa-penguasa dunia’ (kosmokratorēs). Namun, Kristus lebih tinggi daripada segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerjaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini, melainkan juga di dunia yang akan datang (Ef. 1:21).

d. Gagasan tentang manusia

Di antara para penulis PB, rupanya Pauluslah yang memberi penjelasan paling lengkap mengenai manusia. Namun, karena banyaknya istilah yang digunakan, maka untuk mendapat gambaran utuh gagasan Paulus tentang manusia tidak mudah. Istilah-istilah penting yang digunakan Paulus dalam kaitannya dengan gagasannya tentang manusia, antara lain: jiwa (psukhē), roh (pneuma), daging (sarks), tubuh (sōma), hati (kardia) dan akal budi (nous). Di samping itu masih ada dua istilah lain yang berkaitan dengan gagasannya tentang manusia, yaitu ‘hati nurani’ atau ‘suara hati’ (suneidēsis) dan ‘manusia batin’ (esō anthrōpos). Kita akan mencoba memahami gagasan di balik berbagai istilah Paulus tersebut.

1) Jiwa (psukhē)

Di antara istilah-istilah yang digunakan oleh Paulus, rupanya ‘jiwa’ (psukhē) merupakan istilah yang relatif kurang penting baginya. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa Paulus hanya menggunakannya sebanyak 13 kali dalam tulisan-tulisannya. Istilah ini digunakan khususnya untuk menunjukkan unsur yang menghidupkan manusia, yang sering juga disebut ‘nyawa’ (Rm. 11:3; 16:4; Flp. 2:30). Paulus menggunakan istilah apsukhos (tak berjiwa) untuk benda-benda mati, dan psukhē untuk kehidupan (bdk. 1Kor. 14:7). Kehidupan manusia ditentukan oleh psukhē (jiwa atau nyawanya). Dalam Efesus 6:6 dan Filipi 1:27, psukhē diterjemahkan dengan ‘segenap hati’ (bdk. Kol. 3:23). Psukhikos digunakan untuk menunjuk pada manusia duniawi, yang merupakan lawan dari pneumatikos (manusia rohani, 1Kor. 2:14). Bertolak dari 1 Korintus 15, rupanya istilah-istilah tersebut digunakan dalam rangka menunjukkan betapa kontrasnya kehidupan orang-orang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman. Jadi, gagasan Paulus ini bukan karena pengaruh pemikiran Hellenisme yang bersifat dualistik radikal, yang memisahkan sama sekali antara jiwa dengan tubuh. Dalam pemikiran Hellenisme, jiwa dianggap lebih dulu ada sebelum adanya tubuh. Hal ini berbeda dengan pemikiran Paulus, yang memandang manusia sebagai kesatuan utuh, jiwa tidak mungkin tanpa tubuh dan tubuh tidak mungkin tanpa jiwa. Dalam filsafat Yunani, jiwa dianggap sebagai sesuatu yang mulia dan lebih tinggi daripada tubuh, sementara itu, Paulus selalu menghubungkan psukhē dengan kerendahan manusia.

2) Roh (pneuma)

Kata pneuma (roh) banyak digunakan Paulus dalam hubungannya dengan Roh Kudus. Namun kata tersebut juga digunakan dengan arti yang berhubungan dengan roh manusia. Pneuma paling sering dihubungkan dengan karunia rohani dalam kehidupan orang-orang percaya, yang menunjukkan kekhasan orang-orang percaya dan sekaligus membedakannya dengan orang-orang yang tidak percaya. Dalam pengertian ini, pneuma sering dipertentangkan dengan sarks (daging). Kehidupan umat Kristen ditentukan oleh keterhubungannya dengan Roh Allah, karena Roh Allah itu menentukan seantero kehidupannya. Roh Allah telah mendorong pertobatan orang-orang percaya, dan membawa dimensi baru dalam kehidupannya. Oleh Roh Allah manusia menjadi ciptaan baru (2Kor. 5:17). Roh Allah bekerja di dalam roh manusia dan memampukannya menanggapi pimpinan ilahi (Rm. 8:16). Sekalipun demikian, terdapat perbedaan tegas antara Roh Allah dengan roh manusia. Bagi orang percaya, pneuma berarti kemanusiaan seutuhnya yang terikat pada Allah, kemanusiaan yang didorong dan digerakkan oleh Allah. Hal ini berbeda dengan ‘orang-orang duniawi,’ karena mereka tidak mau menerima segala sesuatu yang berasal dari Roh Allah (1Kor. 2:14).
Jika dikaji dengan seksama, rupanya terdapat kesamaan antara pengertian ‘pneuma’ dalam tulisan-tulisan Paulus dengan pengertian ‘manusia’ dalam PL. Dalam PL, manusia hanya berarti sebagai ‘manusia gambar Allah’ jika dirinya hidup dalam relasi yang erat dan benar dengan Allah. Kemanusiaan manusia ditentukan oleh relasinya dengan Allah. Manusia rohani dalam tulisan-tulisan Paulus tidak merasa lebih tinggi dari orang-orang lain, sebaliknya, justru bersikap rendah hati di hadapan Allah. Hal ini jelas berbeda dengan gagasan tentang ‘pneumatikoi’ dalam agama misteri (misalnya ajaran Hermes yang mengatakan bahwa roh manusia berasal dari Roh Allah, sehingga dapat terserap kembali ke dalam Roh Allah). Pengalaman mistis seperti ini pada umumnya tidak membawa konsekuensi-konsekuensi moral. Berbeda dengan pemikiran Paulus, bagi dia, manusia rohani justru harus hidup dalam konsekuensi imaniah, yaitu hidup menurut Roh Allah dalam pranata moral yang baik dan benar.
Dalam agama misteri, penyelamatan terpusat pada suatu pengalaman sukacita yang bersifat sesaat. Tetapi, dalam tulisan-tulisan Paulus ditekankan bahwa keselamatan mencakup pengudusan yang terjadi secara terus-menerus. Dalam agama misteri, para pneumatikoi akan dibawa ke dunia yang lain; dalam tulisan-tulisan Paulus ditekankan bahwa sekalipun orang percaya tidak harus menjadi sama dengan dunia, namun ia tetap berada dalam dunia ini dan diutus bagi dunia ini. Orang-orang percaya tidak akan terluput dari tantangan-tantangan dunia, bahkan harus menghadapi dan mengatasinya.   

3) Daging (sarks)

Penggunaan kata sarks (daging) dalam tulisan-tulisan Paulus sangat beragam maknanya. Manusia dan binatang memiliki sarks, namun Paulus membedakan antara sarks bagi manusia dan sarks untuk binantang (1Kor. 15:39). Dalam hal ini sarks berarti materi jasmani. Di tempat lain, Paulus menggunakan kata sarks dalam arti manusia alami, manusia dalam bentuk aslinya, yang bersifat duniawi (1Kor. 1:29; Rm. 1:3; 3:20; Gal. 1:16). Dalam arti ini, sarks sering digunakan untuk menyatakan manusia dalam kelemahannya. Gagasan ini dipengaruhi oleh pemikiran Ibrani yang menyatakan bahwa makhluk selalu lemah jika dibandingkan dengan kuasa Sang Pencipta. Kata sarks dapat pula berarti tubuh jasmani, seperti Paulus mengatakan, “tidak pernah orang membenci sarks-nya (tubuhnya) sendiri” (Ef. 5:29). Penting untuk dicatat, Paulus tidak pernah menghubungkan kata sarks dengan moral. Hal ini menunjukkan bahwa Paulus tidak menggunakan kata sarks dalam pengertian dualistis Hellenisme, yang berpendapat bahwa sarks itu pada dasarnya jahat dan bertentangan dengan pneuma. Meskipun demikian, dalam hubungannya dengan gagasan tentang manusia, pada umumnya sarks dianggap bertentangan dengan Allah, sehingga sering pula dipertentangkan dengan pneuma (Gal. 5:17). Tidak berarti bahwa manusia duniawi memiliki sarks yang lebih rendah daripada manusia surgawi, tetapi yang hendak digambarkan adalah keadaan manusia duniawi seutuhnya, yang jauh dari Allah.

4) Tubuh (sōma)

Menurut Paulus, tubuh itu karunia Allah yang harus dijaga kekudusannya dan harus dihindarkan dari percabulan (1Kor. 6:13-18). Tubuh merupakan ‘bait Roh Kudus’ atau ‘tempat suci Roh Kudus’ (naos tou hagiou pneumatos), dan melalui tubuhnya manusia dipanggil untuk memuliakan Allah (1Kor. 6:19-20). Dalam ayat-ayat ini, sesungguhnya ‘tubuh’ lebih tepat dipahami sebagai metafora untuk ‘umat Kristen.’ Jika dipahami sebagai metafora, maka perkataan Paulus, “Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan dan Tuhan untuk tubuh” (1Kor. 6:13) lebih mudah dipahami. Dalam segala hal, tubuh (dalam arti jemaat Tuhan) adalah untuk Tuhan (1Kor. 6:13). Terlepas dari penggunaan metaforis ini, agaknya Paulus menganggap tubuh (sōma) lebih tinggi daripada daging (sarks). Tubuh yang kini dibatasi oleh kuasa kedagingan akan dibebaskan dan diperbarui (Rm. 8:23). Sama seperti ‘akal budi’ (nous) diperbarui berangsur-angsur melalui proses bertahap, demikian halnya dengan tubuh (sōma), yang lama akan diganti dengan yang baru secara bertahap (Rm. 12:1-2).
Paulus juga menggunakan istilah ‘tubuh’ untuk keberadaan manusia sebagai satu kesatuan. Dalam Roma 6:6 dikatakan, “Karena kita tahu bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya ‘tubuh dosa’ (to sōma tēs hamartias) kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa.” Dalam hal ini, Paulus menggunakan kata ‘tubuh dosa’ untuk mengungkapkan keberadaan manusia sebagai satu kesatuan. Dosa adalah kenyataan manusia secara corporate humanity, tidak memandang suku bangsa, semua manusia adalah pendosa yang menghadapi kematian. Gagasan tentang kesatuan karakter ini juga dikenakan untuk jemaat. Persekutuan orang percaya seharusnya tidak lagi dikuasai oleh ‘tubuh dosa’-nya, sebaliknya harus ‘mematikan perbuatan-perbuatan tubuh’ (tas prakseis tou sōmatos thanatoute) oleh Roh, agar hidup. Jika tetap hidup ‘menurut daging’ (kata sarka), maka mereka akan mati (Rm. 8:13).

5) Hati (kardia)

Dalam PL, kata Ibrani leb (hati), dianggap sebagai pusat perasaan, pusat kesadaran dan pikiran, bahkan pusat kehidupan itu sendiri. Sebagai seorang Ibrani asli, Paulus sangat terpengaruh oleh gagasan ini. Paulus menggunakan kata Yunani kardia dengan arti ‘pusat kehidupan manusia,’ antara lain dalam 2 Korintus 3:3,

“Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan ‘pada loh-loh daging, yaitu dalam hati manusia’ (en plaksin kardiais sarkinais).” 

Frasa ‘en plaksin kardiais sarkinais’ dapat diterjemahkan ‘pada loh-loh hati kedagingan’ (on tablets of the fleshly heart). Jadi, dalam ayat ini, Paulus bermaksud mengatakan bahwa jemaat adalah surat pujian yang hidup bagi kemuliaan Allah, karena firman Allah yang diberitakan oleh para rasul telah tertulis dalam ‘hati kemanusiaan’ (pusat kehidupan) mereka. Hati manusia secara utuh adalah penggerak kesadaran yang memungkinkan seseorang menjadi percaya (Rm. 10:10). “Kardiai gar pisteuetai eis dikaiosunēn” dalam Roma 10:10, yang diterjemahkan oleh LAI “Karena, dengan hati, orang percaya dan dibenarkan” sesungguhnya lebih tepat diterjemahkan “Karena, dengan hatilah orang percaya kepada kebenaran.” Allah telah membuat terang-Nya bercahaya ‘dalam hati’ (en tais kardiais) orang beriman, sehingga kita memperoleh terang dan pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang dinyatakan dalam Kristus (2Kor. 4:6, bdk. Ef. 1:18).
Keinginan hati manusia duniawi adalah kecemaran, sehingga manusia duniawi saling mencemarkan tubuh mereka (Rm. 1:24). ‘Kekerasan hati’ (sklērotētos tēs kardias) manusia duniawi sering menyebabkannya tidak mau bertobat, sehingga akan menimbun murka Allah yang akan dinyatakan pada Hari Penghakiman (Rm. 2:5). Pada dasarnya kardia itu sendiri netral; sekalipun demikian, ia dapat taat atau tidak taat kepada Allah. Manakala hati tidak taat kepada Allah, maka jahatlah apa yang diperbuat oleh manusia, sebaliknya, jika hati itu taat kepada Allah, maka manusia tidak lagi menjadi hamba dosa (Rm. 6:17).

6) Akal budi (nous)

Berbeda dengan pengertian Hellenistis, Paulus mengartikan nous sebagai indera istimewa. Dengan nous-nya manusia adalah makhluk yang berakal budi, sehingga mampu mengerti. Bagi Paulus, nous menjangkau seluruh aktivitas manusia dan bukan hanya berupa perenungan belaka. Nous merupakan sesuatu yang ada pada diri manusia secara universal. Hal ini tampak dalam perkataan Paulus, bahwa damai sejahtera Allah melampaui segala akal (nous, Flp. 4:7). Nous bersifat netral, baik atau buruknya tergantung pada siapa yang menguasainya: Roh Allah atau keinginan daging. Bila orang-orang fasik tidak mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada ‘pikiran-pikiran yang terkutuk’ (adokimos nous), sehingga mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas (Rm. 1:28). Arti harfiah kata Yunani adokimos adalah “sudah diuji dan ternyata cacat, atau tidak layak untuk digunakan.” Jadi adokimos nous dapat diartikan sebagai ‘pikiran-pikiran tercela dan tidak layak.’
Tidak seorang pun dapat mengetahui pikiran (nous) Allah, namun orang percaya dapat memiliki nous Kristus (1Kor. 2:16 bdk. Rm. 11:34). Hanya dengan menyesuaikan diri dengan nous Kristuslah, nous manusia dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Melalui nous-nyalah manusia dapat mengerti perbuatan Allah dalam penciptaan. Pertobatan Kristen ditandai dengan ‘berubah’ (metamorfoō) oleh ‘pembaruan budi’ (anakainōsei tou noos), sehingga tidak lagi serupa dengan dunia. Dengan ‘pembaruan budi,’ seseorang akan diperlengkapi dengan daya tanggap yang lebih tajam jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, sehingga ia dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm. 12:2). Perbedaan antara nous orang beriman dengan nous orang yang tidak beriman dipaparkan dalam Roma 7. Nous orang beriman berkeinginan untuk melayani Allah, sedangkan nous orang yang tidak beriman hanya mengikuti kehendak daging (sarks).  

7) Hati nurani (suneidēsis)

Pengertian ‘hati nurani’ (suneidēsis) berkaitan dengan pengertian leb dalam bahasa Ibrani. Secara sederhana, suneidēsis diartikan sebagai ‘kesadaran’ atau ‘kesadaran moral’ atau ‘suara hati’ atau ‘hati nurani’ (consciousness, conscience). Namun sesungguhnya, kata ini memiliki makna dasar yang lebih luas, yaitu “pengetahuan mengenai suatu tindakan disertai penilaian atas tindakan itu secara sadar.” Suneidēsis berbeda dengan nous. Nous tidak melibatkan kehendak manusia, sedangkan suneidēsis melibatkan kesadaran manusia akan dirinya sebagai makhluk rasional. Karena itu, dalam Titus 1:15 dikatakan, “Bagi orang suci semuanya suci, tetapi bagi orang najis dan bagi orang yang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik ‘akal’ (nous) maupun ‘suara hati’ (suneidēsis) mereka najis.” Paulus menggunakan kata suneidēsis dengan berbagai makna.

a)   Suneidēsis digunakan dalam perannya sebagai penentu kebenaran, yang selalu membisikkan kebenaran itu kepada manusia (suara hati berperan sebagai index). Dalam hal ini, suneidēsis dapat diartikan sebagai kesadaran moral. Tindakan-tindakan yang benar seharusnya dilakukan bukan karena terpaksa, melainkan karena ketaatan seseorang terhadap suara hatinya. Dalam Roma 13:5, Paulus mengatakan, “Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita,” (bdk. 1Kor. 10:25, 27, 28). Dengan kesadaran moral itu, tiap orang dikaruiniai kemampuan untuk menentukan hal-hal yang baik dan benar, yang seharusnya dilakukan. Kemampuan tersebut tidak hanya timbul karena adanya Taurat, melainkan telah dilekatkan oleh Allah pada kemanusiaan manusia sejak diciptakan. Itu sebabnya dikatakan bahwa manusia diciptakan sebagai gambar Allah. Kesadaran moral tersebut selalu membisikkan kebenaran kepada tiap-tiap orang, terlepas dari apakah ia menaatinya atau tidak.
b)   Dalam Roma 2:15, Paulus mengatakan bahwa suneidēsis itu berperan sebagai saksi atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang, sekaligus menuduh atau membela seseorang atas tindakan yang dilakukannya (suara hati berperan sebagai yudex). Hal ini berlaku untuk setiap orang, tanpa pandang suku bangsa dan agama. Paulus berbicara tentang orang-orang non-Yahudi bahwa “suara hati (suneidēsis) mereka turut bersaksi dan pikiran (logismos) mereka saling menuduh atau saling membela.” Hal ini senada dengan perkataan Paulus dalam Roma 9:1, “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus,” dan 2 Korintus 1:12, “Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah” (bdk. 2Kor. 5:11; LAI menerjemahkan ‘en tais suneidēsesin humōn’ dengan ‘bagi pertimbangan kamu,’ yang sesungguhnya lebih tepat diterjemahkan dengan ‘bagi hati nuranimu’).
c)   Fungsi suara hati tidak hanya untuk membenarkan diri, melainkan juga untuk menghakimi diri sendiri ketika seseorang melakukan hal yang tidak benar. Dalam hal ini suneidēsis dapat diartikan sebagai “kesadaran untuk menghakimi diri sendiri” (self-judging consciouesness). Dalam fungsi seperti ini, suara hati berperan sebagai vindex. Dalam 1 Korintus 10:29, secara tidak langsung Paulus menyatakan bahwa setiap orang memiliki suara hati, yang selalu menilai dan menghakimi tindakannya. Namun tingkat pemahaman terhadap kebenaran itu dapat saja berbeda-beda. Hal ini sangat tergantung pada kedewasaan iman dan kematangan berpikir seseorang. Dalam ayat tersebut, Paulus berbicara mengenai perselisihan dalam jemaat tentang makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, “Yang aku maksudkan dengan keberatan-keberatan bukanlah keberatan-keberatan hati nuranimu sendiri, tetapi keberatan-keberatan hati nurani orang lain itu.” Sekalipun dengan konteks yang berbeda, hal ini senada dengan perkataan Paulus dalam 2 Korintus 4:2b, “Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami kepada ‘suara hati semua orang’ (suneidēsis anthrōpōn) di hadapan Allah.” LAI menerjemahkan ayat ini dengan, “Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah.” Akibatnya, kata ‘suara hati’ tidak tampak secara eksplisit.

Ada yang berpendapat bahwa gagasan Paulus mengenai suara hati dipengaruhi oleh pemikiran Stoa. Di kalangan pengikut Stoisme, hukum dianggap sebagai hukum alam yang telah ada dalam diri manusia (empsukhos nomos). Namun tidak cukup bukti bahwa Paulus menganggap tindakan-tindakan manusia yang paling baik adalah tindakan-tindakan yang sesuai dengan kodrat alamiah, melainkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah. Hal seperti ini tidak terdapat dalam pemikiran Stoa. Selain itu, menurut Paulus, Roh Allah yang bekerja dalam hati manusia itulah yang menumbuhkan kesadaran manusia akan kebenaran. Karena itu, hati nurani orang beriman, yang memberi tempat bagi karya Roh Kudus, akan lebih peka terhadap kebenaran daripada hati nurani orang-orang yang tidak mengenal Allah. 

8) Manusia batin (esō anthrōpos)

Istilah ‘manusia batin’ (esō anthrōpos) kita temukan dua kali dalam surat-surat Paulus, yaitu dalam Roma 7:22 dan 2 Korintus 4:16, dan sekali dalam surat deutero Paulus, yaitu dalam Efesus 3:16.
Roma 7:22, “Sunēdomai gar tōi nomōi tou theou kata ton esō anthrōpon” secara harfiah dapat diterjemahkan “Sebab menurut manusia batin, aku suka akan hukum-hukum Allah.” LAI menerjemahkannya, “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah.” Konteks ayat ini adalah ketegangan yang dirasakan Paulus antara tuntutan Taurat dan keinginan hatinya. Paulus mengakui bahwa ia mengetahui hal-hal yang baik sebagaimana dinyatakan oleh hukum Taurat dan ingin melakukannya, namun dalam kenyataan, kemanusiaan lahiriahnya justru sering tergelincir melakukan hal-hal yang jahat. Ia menyadari sifat hukum Taurat dan sifatnya sendiri. Tuntutan hukum Taurat yang serba baik adalah dari Roh, sedangkan perbuatan yang sering ia lakukan adalah dari daging. Seakan-akan jiwa Paulus terbelah antara keinginan untuk berbuat baik dan dosa yang menguasainya, sehingga yang dilakukan adalah yang jahat. Manusia batinnya, atau kesadaran dirinya yang paling dalam, menyukai hukum-hukum Allah, tetapi manusia lahiriahnya tertawan oleh hukum dosa. Pergumulan dialektis seperti ini merupakan pergumulan orang beriman, yang selalu berada dalam ketegangan antara keinginan untuk berbuat baik dengan kenyataan bahwa dirinya selalu berbuat jahat. Manusia baru dapat terlepas dari ketegangan ini karena pertolongan Allah, yang telah menyatakan kebenaran-Nya dalam diri Yesus.  
2 Korintus 4:16, “ei kai ho eksō hemōn anthrōpos diaftheiretai, all’ ho esō hemōn anakainoutai hēmera kai hēmera,” diterjemahkan “meskipun manusia lahiriah kami makin merosot, tetapi manusia batiniah kami dibaharui dari hari ke hari.” Istilah ‘manusia lahiriah’ (eksō anthrōpos) memiliki kesamaan dengan ‘bejana tanah liat’ (2Kor. 4:7), ‘tubuh’ (2Kor. 4:10), atau ‘tubuh yang fana’ (2Kor. 4:11). Yang dimaksud Paulus dengan istilah-istilah itu adalah ‘tubuh ragawi’-nya. Tentu saja, ‘manusia lahiriah’ berbeda dengan ‘manusia lama’ (Rm. 6:6, bdk. Ef. 4:22; Kol. 3:0). Manusia lahiriah berkenaan dengan aspek fisis dari tubuh ini, sedangkan manusia lama merupakan ungkapan etis-imaniah, yang menunjuk pada perilaku lama, sebelum diperbarui oleh Allah.[45] Paulus menyadari bahwa tubuh ragawinya semakin mundur, semakin lemah dan rentan. Namun kemunduran fisiknya tidak membuatnya menjadi lemah dalam iman. Oleh sebab itu ia mengatakan, “manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.” Ia yakin betul bahwa penderitaan tubuhnya saat ini hanya bersifat sementara dan dirasa ringan jika dibanding dengan kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, yang kelak akan diterimanya (2Kor. 4:17-18). Dalam hal ini, Paulus menggunakan istilah ‘manusia batin’ untuk menunjuk sisi rohani kehidupannya, bukan sekadar tubuh ragawinya. 
Efesus 3:16, “Hina dōi humin kata to ploutos tēs doksēs autou dunamei krataiōthēnai dia tou pneumatos autou eis ton esō anthrōpon,” mestinya diterjemahkan “Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam manusia batinmu” (pada bagian akhir, LAI hanya menerjemahkan ‘di dalam batinmu’). Istilah ‘manusia batin’ dalam ayat ini digunakan dengan makna yang sama seperti penggunaannya dalam 2 Korintus 4:16, yaitu sisi rohaniah atau hati atau kemanusiaan manusia yang paling dalam. Doa Paulus ini berisi dua macam permohonan, yaitu agar Roh menguatkan “kemanusiaan orang percaya yang paling dalam,” sehingga kukuh dalam menghadapi penderitaan (bdk. 2 Kor. 4:16; Flp. 1:19; Kol. 1:11), dan agar Roh itu tinggal dalam kemanusiaan orang beriman yang paling dalam (dalam arti menguasai dan mengendalikan hati orang beriman). Jika Roh Kudus tinggal di dalam dan menguasai hati orang beriman, maka orang beriman akan memiliki keteguhan dan kekuatan moral dalam menghadapi segala penderitaan.

e. Konsep tentang dosa

Paulus menggunakan berbagai istilah untuk menjelaskan hakikat dosa. Kata Yunani ‘hamartia’ digunakan secara umum dalam pengertian perbuatan dosa, baik dalam bentuk tunggal mapun jamak. Bentuk jamak kata tersebut lazimnya terdapat dalam kutipan-kutipan PL (misalnya, Rm. 4:7; 11:27; 1Tes. 2:16; 1Kor. 15:17). Sedangkan bentuk tunggalnya biasanya berkenaan dengan keadaan berdosa, bukan dengan tindakan dosa secara langsung, seperti ‘kuasa dosa’ (Rm. 3:9), ‘mengenal dosa’ (Rm. 3:20), ‘bertambahnya dosa’ (Rm. 5:20), ‘hamba dosa’ (Rm. 6:16) dan ‘penuh dosa’ (Rm. 6:23). Kadang-kadang Paulus mempersonifikasi dosa sedemikian rupa, sehingga dosa seakan-akan merupakan suatu pribadi (Rm. 7).
Selain ‘hamartia,’ Paulus juga menggunakan beberapa istilah lain berkaitan dengan dosa, yang semuanya memiliki kemiripan makna, yaitu: ‘anomia,’ ‘asebeia,’ ‘hamartēma,’ ‘hēttema,’ ‘parabasis,’ ‘parakoē,’ dan ‘paraptōma.’
1)   ‘Anomia’ berarti ‘kedurhakaan’ atau ‘ketidakadilan’ (Rm. 6:19; 2Kor. 6:14; 2Tes. 2:3, 7, bdk. Tit. 2:14).
2)   ‘Asebeia’ berarti ‘kefasikan’ atau ‘ketidaksalehan’ (Rm. 1:18; 11:26, bdk. 2Tim. 2:16; Tit. 2:12).
3)   ‘Hamartēma’ memiliki arti yang hampir sama dengan ‘hamartia,’ yaitu ‘perbuatan dosa’ atau ‘dosa’ saja (Rm. 3:25; 1Kor. 6:18).
4)   ‘Hēttema’ berarti ‘pelanggaran’ (Rm. 11:12; 1Kor. 6:7).
5)   ‘Parabasis’ berarti ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’ atau ‘pelanggaran’ (Rm. 2:23; 4:15; 5:14; Gal. 3:19 dan 1Tim. 2:14).
6)   ‘Parakoē’ berarti ‘ketidakmendengaran’ atau ‘ketidakacuhan’ atau ‘ketidaktaatan’ (Rm. 5:19; 2Kor. 10:6).
7)   ‘Paraptōma’ berarti ‘langkah yang keliru,’ ‘perbuatan salah’ atau ‘dosa’ (Rm. 4:25; 5:15 dbr.; 11:11-12; 2Kor. 5:19; Gal. 6:1; bdk. Ef. 1:7; 2:1, 5; Kol. 2:13).

Semua istilah di atas sebenarnya memiliki kesamaan makna hakiki, yaitu kegagalan manusia untuk memenuhi apa yang seharusnya dilakukan. Paulus selalu melihat dosa dari latar belakang pengertiannya tentang ‘kebenaran’ (dikaiosunē) yang merupakan pola dasar perbuatan manusia sejak diciptakan. Dosa adalah segala tindakan yang berlawanan dengan dikaiosunē itu. Lebih jauh, ada beberapa konsep yang terkandung dalam gagasan Paulus tentang dosa.
Pertama, dalam tulisan-tulisan Paulus tidak terdapat gagasan bahwa dosa merupakan ‘utang’ yang harus ditebus dengan perbuatan baik. Pengajaran Paulus didominasi oleh gagasan bahwa dasar penyelamatan manusia adalah kasih dan anugerah Allah semata. Pengampunan dosa (afesis) dititikberatkan pada ketidakmampuan manusia memenuhi kewajibannya (bdk. Kol. 1:14; Ef. 1:7). Hanya sekali kita temukan penggunaan kata kheirografos (secara harfiah berarti ‘tulisan tangan’), yang diartikan sebagai ‘surat utang’ (dalam bahasa Inggris diterjemahkan ‘the handwriting’), yaitu dalam surat deutero Paulus (Kol. 2:14, “Eksaleipsas to kath’ hēmōn kheirografon tois dogmasin ho ēn hupenantion hēmin. Kai auto hērken ek tou mesou prosēlōsas auto tōi staurōi”, LAI menerjemahkannya, “Dengan menghapuskan surat utang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakannya dengan memakukannya pada kayu salib”). Seandainya benar bahwa gagasan ini berasal dari Paulus, maka Paulus menggambarkan bahwa Allah telah membatalkan ‘utang’ kita melalui salib Kristus.
Kedua, Paulus menggunakan kata parabasis (pelanggaran) sebanyak lima kali dan dari pemakaian-pemakaian itu kita mendapat kesan bahwa dosa adalah pembelokan dari jalan yang lurus. Orang-orang Yahudi telah melanggar Taurat yang memberi ketetapan-ketetapan dan patokan-patokan. Orang-orang non-Yahudi pun telah banyak melanggar suara hatinya, yang memberi patokan kebenaran. Hukum-hukum yang ada merupakan tolok ukur bagi pelanggaran-pelanggaran manusia, sekalipun manusia tidak berdaya mengendali-kan pelanggaran-pelanggarannya. Bagaimana pun, penyimpangan terhadap kewajiban moral tetap merupakan dosa.
Ketiga, penyimpangan terhadap kebenaran dapat menjadi lebih buruk, yaitu menjadi kedurhakaan. Gagasan ini terlihat dari penggunaan kata anomia (Rm. 6:19). Paulus mengingatkan jemaat Roma bahwa mereka telah menyerahkan anggota-anggota tubuh mereka menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan. Dalam Surat 2 Tesalonika 2:3, Paulus mengatakan bahwa menjelang parousia, orang-orang murtad dan manusia durhaka, yang harus dibinasakan, akan dinyatakan lebih dulu. Dalam 2 Korintus 6:14, kedurhakaan (anomia) dipertentangkan secara langsung dengan kebenaran. Kedurhakaan dapat berupa ketidaktaatan kepada Allah. Ketaatan dan ketidaktaatan kepada tuntutan Allah itulah yang membedakan orang percaya dengan orang yang tidak percaya. Pelanggaran dan kedurhakaan merupakan kebiasaan manusia berdosa.
Keempat, dosa mencakup baik perbuatan-perbuatan lahiriah, maupun sikap batin manusia. Dalam Roma 1:29-31, kita temukan gabungan antara perbuatan-perbuatan lahiriah dengan sikap batin yang merupakan dosa. Beberapa di antaranya dapat terlihat secara objektif, seperti: pembunuhan, perselisihan dan kata-kata kotor. Namun ada hal-hal lain yang lebih menyangkut sikap batin, bukan perbuatan, misalnya: kedengkian, tidak berakal, tidak setia, tidak penyayang dan tidak mengenal belas kasihan. Perbuatan-perbuatan atau sikap-sikap yang termasuk dosa juga diuraikan dalam Roma 13:13; 1 Korintus 5:10-11; 6:9-10; 2 Korintus 12:20-21; Galatia 5:19-21, dll. Paulus menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hakiki di antara bermacam-macam dosa, baik yang berupa tindakan maupun yang berupa sikap hidup, dari perbuatan kriminal hingga sikap hati, seperti kebencian dan iri hati. Dosa secara batiniah tidak mudah diketahui oleh manusia, tetapi Allah mengetahui dan akan menghakimi keinginan batin itu.
Kelima, dosa sering dipersonifikasi sebagai ‘tuan’ yang kepadanya manusia menghambakan dirinya. Dalam Roma 6:16-17, Paulus menggunakan ungkapan ‘hamba dosa’ untuk orang-orang yang terbelenggu oleh keinginannya untuk berbuat dosa. Hamba-hamba dosa dipertentangkan dengan hamba-hamba ketaatan. Hal ini memperjelas gagasan dasar Paulus bahwa dosa pada hakikatnya adalah ketidaktaatan kepada Allah, yang dilakukan dengan sengaja. Orang-orang beriman diperingatkan agar tidak membiarkan dosa berkuasa dalam tubuhnya (Rm. 6:12-14). Bagi orang-orang beriman, dosa itu tidak lagi memiliki hak atas diri mereka, sehingga tidak boleh menguasainya. Dalam Roma 7, dosa dilukiskan sebagai ‘pribadi’ yang sangat berbahaya. Dosa (dalam bentuk tunggal) merupakan faktor yang lebih fatal daripada perbuatan dosa itu sendiri. Dosa sebagai suatu kuasa yang menguasai kehidupan manusia merupakan dasar dari perbuatan-perbuatan dosa. Ungkapan “terjual di bawah kuasa dosa” menunjukkan bahwa dosa bertindak untuk memperdayai korban-korban yang ditipunya (Rm. 7:14). Paulus memperingatkan betapa besarnya kekuatan dosa dalam mencengkeram manusia, sehingga tidak ada manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, yang tidak berdosa. Semua orang, tanpa kecuali, berada dalam kondisi berdosa. Hal itu meliputi baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi (Rm. 3:9). Bahwa dosa mencakup semua manusia, juga ditegaskan dalam Roma 5:12, karena itu, semua manusia harus mengalami kematian. Hubungan antara dosa dengan daging (sarks) dinyatakan dalam ungkapan ‘keinginan daging’ atau ‘keinginan tubuh yang fana’ (Gal. 5:24; Rm. 6:12; 13:14; bdk. Ef. 2:3). Keinginan mengawali tindakan, dan karena keinginan itu terdapat dalam sarks, maka sarks melambangkan sumber dosa. Pada dasarnya, sarks itu sendiri tidak memiliki sifat dosa, namun, karena manusia telah berpaling dari Allah, maka sarks-nya menyimpang ke arah dosa. Ungkapan ‘keinginan daging’ sebenarnya melibatkan kemanusiaan manusia seutuhnya. Oleh sebab itu, barangsiapa hidup menurut daging tidak berkenan kepada Allah (Rm. 8:8).  
Keenam, pada dasarnya dosa adalah kepalsuan. Dalam Roma 1:18, kejahatan dilukiskan sebagai penindasan terhadap kebenaran. Orang-orang jahat telah mengganti kebenaran dengan kedustaan. Mereka menyembah makhluk ciptaan dan bukan lagi Pencipta (Rm. 1:25). Menurut Paulus, membuang kemanusiaan yang lama berarti membuang dusta (Ef. 4:25). Murka Allah akan dinyatakan kepada mereka yang tidak taat kepada kebenaran (Rm. 2:8), tetapi Allah menghendaki agar semua manusia memperoleh pengetahuan tentang kebenaran (1Tim. 2:4). Kritik tajam dilontarkan bagi mereka yang “tidak lagi berpikiran sehat dan kehilangan kebenaran” (1Tim. 6:5; 2Tim. 3:8). Nabi-nabi palsu yang menyebarkan dongeng-dongeng isapan jempol, jelas telah berpaling dari kebenaran (Tit. 1:14). Pada hakikatnya, dunia yang terpisah dari Allah adalah dunia yang tidak lagi memiliki kebenaran, dunia yang dikuasai oleh kepalsuan dan penyangkalan terhadap Allah.

e. Konsep tentang keselamatan

Bagi Paulus, keselamatan itu mencakup tiga aspek: keselamatan di masa lampau, keselamatan di masa kini dan keselamatan yang akan datang. Ketiganya diungkapkan dalam Roma 5:1-2, “Kita telah dibenarkan oleh iman,” berarti keselamatan itu merupakan sesuatu yang telah terjadi. “Kita sedang hidup ...,” berarti sekarang ini orang beriman sedang berada dalam kasih karunia Allah. “Kita bermegah dalam pengharapan untuk menerima kemuliaan dari Allah,” hal ini merupakan aspek futuristis keselamatan, dengan pengharapan ke masa depan. Dengan ketiga aspek keselamatan tersebut, bagi Paulus, keselamatan bukan hanya dalam arti rohani, melainkan mencakup seutuh kehidupan manusia dan tidak dibatasi oleh waktu.

1) Keselamatan sebagai realitas yang telah terjadi

Keselamatan pada waktu lampau terjadi berdasar pekerjaan Yesus di kayu salib. Setiap orang yang percaya kepada-Nya dan bertobat telah diselamatkan.

a)   Menurut Paulus, semua manusia membutuhkan keselamatan, karena semua manusia telah berdosa (Rm. 3:23; 6:17). Titik pangkal dosa adalah nafsu kedagingan manusia. Hal ini menjadi nyata karena adanya hukum Taurat (Rm. 7:7-9). Karena dosa itu, murka Allah seharusnya ditimpakan kepada manusia (Rm. 1:18; 4:15).
b)   Injil Kristus menyatakan jalan keluar bagi manusia dari kesulitan tersebut. Injil memberitahukan jalan agar manusia dapat dibenarkan dan diterima di hadapan Allah. Untuk melukiskan penyelamatan manusia itu, Paulus menggunakan beberapa gambaran:
(1)  Penyelamatan manusia digambarkan sebagai budak yang dibeli oleh seorang tuan untuk dibebaskan. Kata yang dipakai untuk itu adalah apolutrōsis (yang berarti ‘pembebasan,’ berasal dari kata kerja apolutroō, yang berarti ‘membebaskan seorang budak dengan membayar sejumlah uang;’ Rm. 3:24; 8:23; 1Kor. 1:39; bdk. Ef. 1:7, 14; 4:30; Kol. 1:14) dan ‘eleutheroō,’ ‘memerdekakan’ atau ‘membebaskan’ (Rm. 6:18, 22; 8:2, 21).
(2)  Paulus juga menggunakan gambaran tentang keselamatan yang diambil dari dunia hukum, yaitu dikaiōsis, ‘pembenaran’ (Rm. 4:25; 5:18). Dikaiōsis berasal dari kata kerja dikaioō, yang berarti ‘membenarkan’ (Rm. 3:4). Orang yang diselamatkan adalah seperti terdakwa yang bersalah tetapi dibenarkan.
(3)  Keselamatan juga dilukiskan seperti kembalinya anggota keluarga yang terasing. Kata yang dipergunakan untuk itu adalah katallagē, yang berarti ‘perdamaian’ atau ‘rekonsiliasi’ (Rm. 5:11; 11:15; 2Kor. 5:18). Karya keselamatan Allah telah memperdamaikan atau mengembalikan manusia ke dalam hubungan yang benar dengan Allah.
c)   Menurut Paulus, pengampunan dosa terjadi berdasar kematian Kristus di kayu salib. Setelah peristiwa teofani yang dialaminya, Paulus memandang kayu salib sebagai bukti kasih Allah kepada manusia, justru ketika manusia masih berdosa (Rm. 5:8). Kayu salib merupakan penghapusan kutuk Allah bagi kita (Gal. 3:13). Kayu salib merupakan bukti kemenangan Kristus atas kuasa-kuasa jahat (Kol. 2:15). Kayu salib juga merupakan ‘jalan pendamaian’ (hilastērion, Rm. 3:25).
d)   Menurut Paulus, cara untuk mendapat bagian dalam keselamatan adalah melalui iman (Ef. 2:8). Iman adalah percaya bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya dan percaya bahwa apa yang difirmankan-Nya akan terjadi. Iman itu bekerja dan diwujudkan melalui kasih. Namun demikian, perbuatan bukanlah syarat keselamatan, melainkan akibat (konsekuensi logis) keselamatan. Keselamatan bukan diperoleh ‘karena melakukan hukum’ (eks ergōn nomou, Rm. 3:20), melainkan ‘karena iman’ (dia tēs pisteōs, Rm. 3:30; ek pisteōs, Rm. 5:1).   

2) Keselamatan sebagai realitas yang sedang terjadi

Untuk melukiskan keselamatan sebagai sesuatu yang sedang terjadi atau sedang dialami, Paulus menggunakan beberapa gambaran:

a)   Orang yang diselamatkan sekarang berdiri di atas dasar yang baru, yaitu kasih karunia, sehingga boleh memiliki pengharapan untuk menerima kemuliaan Allah (Rm. 5:2). Oleh karunia Allah, orang percaya tidak lagi berada di bawah kuk perhambaan, melainkan berada dalam kebebasan untuk mengasihi Allah dan sesama manusia. Kalaupun orang percaya harus taat kepada Allah, itu merupakan ungkapan syukur atas karunia Allah yang telah diterimanya, bukan sebagai prasyarat keselamatan.
b)   Orang yang diselamatkan kini berada dalam relasi yang baru dengan Allah, yaitu sebagai anak-anak Allah, dan boleh menyapa Allah sebagai Bapa (Gal. 4:5-6). Pada satu pihak, relasi ini menempatkan manusia dalam hubungan kasih yang dekat dan erat dengan Allah. Orang percaya boleh bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah (sekalipun tidak berarti bermalas-malas tanpa usaha). Namun, pada lain pihak, relasi tersebut juga menuntut ketaatan, seperti seorang anak harus taat kepada Bapanya. Jadi, relasi kasih orang percaya dengan Allah harus pula disertai sikap takut akan Tuhan.
c)   Orang yang diselamatkan kini berada dalam kehidupan baru yang taat kepada Allah dan harus menanggalkan manusia lamanya yang dikuasai dosa (Rm. 6:4-14). Konsekuensi logis kehidupan baru adalah kesediaan mematikan segala keinginan dosa dan menggantikannya dengan kehidupan yang dipersembahkan bagi kemuliaan Allah (Rm. 12:1-2). Oleh sebab itu Paulus menasihatkan, “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkan-lah kejahatan itu dengan kebaikan!” (Rm.12:21), dan “Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu tidak lagi menuruti keinginannya” (Rm. 6:12).
d)   Orang yang sudah diselamatkan kini berada ‘dalam Kristus’ (en khristōi). Ungkapan en khristōi, yang dalam seluruh PB digunakan lebih dari 200 kali, sebagian besar kita temukan dalam surat-surat Paulus. Agaknya ungkapan ini mengandung beberapa pengertian. Dalam Roma 16:10, en khristōi menunjuk kepada orang-orang Kristen. Demikian juga dalam Filemon 16. Ungkapan tersebut juga menunjuk kepada persekutuan orang beriman, yang secara rohani sudah dipersatukan dengan Kristus (2Kor. 12:2). Yang jelas, ungkapan tersebut tidak memiliki konotasi mistis, melainkan melukiskan relasi yang erat dan benar antara persekutuan orang percaya dengan Kristus. Kecuali ‘dalam Kristus,’ Paulus juga sering menggunakan ungkapan ‘dalam Roh’ (en pneumatōi). Ia menyadari bahwa kehidupan orang beriman juga dipersatukan di bawah pimpinan Roh Kudus. Jadi, ungkapan ‘dalam Roh’ pun tidak berkonotasi mistis, melainkan menunjukkan ketaatan persekutuan orang percaya terhadap pimpinan Allah yang bekerja dalam Roh Kudus. Roh Allah yang telah membangkitkan Yesus itu juga akan menghidupkan orang beriman dan memimpinnya, sehingga orang beriman layak disebut anak Allah (Rm. 8:11-14).

Paulus juga melihat keselamatan yang sedang terjadi itu dalam hubungannya dengan gereja. Bagi dia, gereja merupakan kelanjutan umat Allah yang lama, Israel (Rm.11:17-24). Paulus menggambarkan Israel sebagai pokok zaitun, sedangkan orang-orang Kristen (terutama orang-orang bukan Yahudi) merupakan carang-carang liar yang dicangkokkan kepadanya. Jadi, gereja tidak menggantikan posisi umat Israel, melainkan merupakan kelanjutannya. Paulus percaya bahwa Allah tidak pernah membuang Israel. Kalaupun untuk sementara waktu keselamatan lebih dulu diterima oleh ‘carang-carang liar,’ kelak akan tiba saatnya, bahwa umat Allah yang lama pun akan menjadi iri terhadap berkat yang telah diterima oleh bangsa-bangsa lain. Mereka akan berbalik kepada Allah, sehingga mereka pun beroleh keselamatan (Rm. 11:33-36).
Di samping itu, gereja sering dilukiskan sebagai Bait Allah, tempat kediaman Allah, rumahtangga Allah, dan yang paling populer, tubuh Kristus. Semua metafora itu menyiratkan hubungan antara perseku-tuan orang beriman dengan Allah, yang dicirikan oleh kasih, kesetiaan, dan ketaatan. Menurut Archibald M. Hunter, penggunaan gambaran ‘tubuh Kristus’ untuk jemaat ini dilatarbelakangi oleh pertobatan Paulus. Ketika Paulus mendengar suara “Saulus-Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” ia menjadi sadar bahwa umat Kristen yang dianiayanya adalah tubuh Kristus. Namun, gambaran tersebut agaknya lebih tepat dipahami sebagai metafora untuk menjelaskan relasi ketaatan antara gereja dengan Kristus, bahkan dengan Allah sendiri. Sebagaimana tubuh senantiasa taat dan tunduk terhadap perintah kepala, demikian halnya gereja harus taat kepada Kristus, sebagai kepalanya. Karena Kristus mengajarkan ketaatan kepada kehendak Bapa, berarti gereja harus pula taat kepada kehendak Allah.

3) Keselamatan sebagai realitas yang akan datang

Sesungguhnya, bagi Paulus harapan yang akan datang itu dalam arti terbatas sudah datang dalam diri Yesus. Sedangkan yang masih dinantikan adalah kesempurnaan atau penggenapannya di masa datang secara penuh. Sekalipun mulai saat ini orang percaya telah memperoleh jaminan yang pasti akan kepenuhan keselamatan itu, namun semua masih merupakan pengharapan ke depan. Peranan Roh Kudus antara lain adalah memberi jaminan yang pasti akan kepenuhan keselamatan itu. Kerajaan Allah telah hadir dalam diri Yesus dan dalam arti tertentu, telah mulai kita rasakan, bahkan telah memindahkan orang beriman dari kuasa kegelapan ke dalam kerajaan Anak Allah yang kekal (Kol. 1:3).
Kebangkitan Yesus bagi Paulus mencakup dua aspek, baik jasmani maupun rohani. Secara rohani, setiap orang percaya telah dibangkitkan bersama-sama dengan Kristus, yaitu dengan menanggalkan manusia lama, yang menghamba kepada dosa, dan mengenakan manusia baru, yang taat kepada Allah. Namun, di samping itu, orang-orang beriman juga memiliki pengharapan akan kebangkitan tubuh. Kebangkitan Yesus merupakan panjar dan jaminan bagi kebangkitan kita kelak. Kebangkitan tubuh yang akan terjadi kelak itu akan jauh lebih mulia daripada tubuh duniawi kita saat ini. Paulus menggunakan ilustrasi perbandingan biji yang ditanam dengan bunga-bunga yang kelak dikeluarkan oleh biji tersebut. Hidup kita kini seperti biji yang ditanam, sedangkan kebangkitan surgawi yang akan kita alami kelak jauh lebih indah ketimbang biji tersebut. Harapan akan kesempurnaan kehidupan bersama Tuhan itulah yang mendorong Paulus mengatakan bahwa baginya hidup ini adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Flp. 1:21). Bagi Paulus, berkumpul dalam kemuliaan bersama Kristus merupakan harapan yang paling utama, sedangkan hal-hal lain hanya merupakan tambahan dan pelengkap saja (1Tes. 4:16-17).
Seharusnya, kehidupan orang beriman saat ini ditarik oleh kepastian masa depan itu. Semua perilaku disesuaikan dengan harapan masa depan tersebut. Dengan kata lain, kehidupan orang beriman adalah kehidupan oleh masa depan, bukan kehidupan untuk masa depan. Namun, pada sisi lain, hubungan kita dengan Tuhan kelak juga ditentukan (atau lebih tepatnya dicerminkan) oleh hubungan kita dengan Tuhan saat ini. Jika saat ini tidak ada hubungan dengan Kristus, maka kelak pun tidak ada (2Tes. 1:8-9). Harapan Paulus ke depan juga tersirat dalam Filipi 3:20-21, bahwa kewarganegaraan orang percaya adalah kewarganegaraan Kerajaan Surga. Keadaan kita sekarang jauh lebih hina jika dibanding dengan kemuliaan surgawi yang akan kita terima kelak. Kehidupan yang akan kita terima kelak tidak akan mengalami kelemahan lagi (bandingkan dengan gagasan tentang kebangkitan dalam 1Kor. 15). Keadaan yang akan kita alami kelak adalah serupa dengan tubuh Kristus setelah dibangkitkan, tanpa keterbatasan yang bersifat duniawi (1Kor. 15:52 dbr.; 1Tes. 4:16-17).





[1] Leon Morris, New Testament Theology (Grand Rapids-Michigan: Academie Books, 1986).
[2] Dean S. Gilliland, Pauline Theology and Mission Practice (Grand Rapids: Academie Books, 1983).
[3] Charles S. Ryrie, Biblical Theology of the New Testament (Chicago, 1982)
[4] Morris, New Testament Theology, hlm. 25.
[5] Pinchas Lapide & Ulrich Luz, Jesus in Two Perspectives: A Jewish-Christian Dialog (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1985), hlm. 28.
[6] Lapide & Luz, Jesus in Two Perspectives, hlm. 39.
[7] Lapide & Luz, Jesus in Two Perspectives, hlm.40.
[8] Lapide & Luz, Jesus in Two Perspectives, hlm. 46.
[9] Robert T. Boyd, Paul the Apostle (New York: World Publishing House, 1995), hlm. 48.
[10] Karen Armstrong, A History of God (New York: Ballantine Books, 1993), hlm. 14-15.
[11] Armstrong, A History of God, hlm. 21-22.
[12] Günther Bornkamm, Jesus of Nazareth (London, Sydney, Auckland, Toronto: Hodder & Stoughton, 1993), hlm. 34-35.
[13] Lht., Morris, New Testament Theology, hlm. 25, catatan kaki 1.
[14] George Ernest Wright, God Who Acts: Biblical Theology as Recital (London: SCM Press, Cet. IX, 1969), hlm. 27-28.
[15] Wright, God Who Acts, hlm. 45-46.
[16] Morris, New Testament Theology, hlm. 16.
[17] Ernst Käsemann, Perspective on Paul (London: SCM Press, 1971), hlm. 45.
[18] Käsemann, Perspective on Paul, hlm. 39.
[19] Charles B. Cousar, The Letters of Paul (Nashville: Abingdon Press, 1996), hlm. 106-107.
[20] Käsemann, Perspective on Paul, hlm. 40.
[21] Bdk. Rudolf Bultmann, Theology of the New Testament Vol. I, hlm. 190-191. Karena alasan tersebut, Bultmann mengatakan bahwa teologi Paulus sekaligus merupakan antropologi. Namun antropologi Paulus haruslah dimengerti dalam relasi antara manusia dengan Penciptanya. Lht. pula Käsemann, Perspective on Paul, hlm. 1-3.
[22] Bornkamm, Paul, hlm. 135-134.
[23] Cousar, The Letters of Paul, hlm. 108-109.
[24] Bornkamm, Paul, hlm. 136-138.
[25] Ernst Käsemann, New Testament Question of Today (London, 1969), hlm. 181-182.
[26] Bornkamm, Paul, hlm. 110-111.
[27] Federick Fyvie Bruce, Paul and Jesus (London: SPCK, 1974), hlm. 77.
[28] Bruce, Paul and Jesus, hlm. 78.
[29] Longenecker, The Ministry and Message, hlm. 97.
[30] Cullmann, The Christology, hlm. 195-197. 
[31] Cullmann, The Christology, hlm. 198.
[32] Cullmann, The Christology, hlm. 202.
[33] Lht. David Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of Christianity? (Grand Rapids, Michigan: W.B Eerdmans Publishing Company, 1995), hlm. 116-117.
[34] Charles Harold Dodd, The Meaning of Paul for Today (Glasgow: William Collins Sons & Co Ltd., 1983), hlm. 91-93.
[35] Dodd, The Meaning, hlm. 93-94.
[36] Käsemann, Perspectives on Paul, hlm. 34.
[37] Tom Jacobs SJ, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, (Yogyakarta: Kanisius, Cet. III, 1992), hlm. 120-121.
[38] Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of Christianity?, hlm. 120; bdk. Richard N. Longenecker, The Ministry and Message of Paul, hlm. 96-97.
[39] Lht. Morris, New Testament Theology, hlm. 41-42.
[40] George Campbell Morgan, The Corinthian Letters of Paul: an Exposition of I and II Corinthians (Old Tappan, New Jersey: Fleming H. Revell Company, 1946), hlm. 198-199.
[41] Bdk., Dodd, The Meaning of Paul, hlm. 95-96.
[42] Bdk. Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, hlm. 392.
[43] Lht. Denis Edwards, Jesus the Wisdom of God, an Introduction to the Wisdom of the Bible (London: Lutterworth Press, 1963), hlm. 38-39.
[44] Edwards, Jesus the Wisdom of God, hlm. 39
[45] Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, hlm. 546.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar