KISAH PARA RASUL
Bahan
Kuliah Kolokium PB Minggu XII
1.
Pengantar umum
Kisah Para
Rasul (selanjutnya disingkat ‘Kisah’) seakan-akan memberi gambaran historis
tentang kehidupan dan perkembangan gereja perdana, sejak awalnya di Yerusalem
hingga Paulus sampai di Roma. Penulisnya, yang diperkirakan orang yang sama
dengan penulis Injil Lukas, melukiskan kehidupan dan pemberitaan gereja perdana
di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis.
1:8). Dalam melaporkan perkembangan pekabaran Injil, penulis melakukan
teologisasi atas khotbah dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Petrus,
Stefanus, Filipus dan Paulus. Dalam mempelajari Kisah, hal yang perlu dikaji
secara kritis adalah hubungan antara teologi dan sejarah. Di dalamnya meliputi
pemikiran teologis penulis (yang sering disebut sebagai ‘Lukas’ itu) mengenai
Roh Kudus, Kristus dan karya penyelamatan-Nya, gereja dan eskhatologi.
a. Tinjauan kritis
Ferdinand Christian
Baur, dari sudut pandang sepihak, berpendapat bahwa jemaat yang digambarkan
dalam Kisah bukanlah laporan historis, melainkan merupakan hasil refleksi
teologis.[1] Baur, sebagai teolog
Tubingen abad XIX yang terkemuka, berpendapat bahwa maksud teologis penulis
Kisah adalah mempersatukan para rasul dengan jemaat perdana ke dalam satu
persekutuan ‘orang-orang kudus.’ Menurut Baur, sejarah yang tercermin dalam
Kisah dan dalam diri Paulus sendiri sama sekali berbeda. Pada awal abad XX,
pendapat Baur ini dikembangkan oleh Heinrich Julius Holtzmann,[2] dan ditentang oleh Adolph
Schlatter.[3]
Dalam kurun setengah abad terakhir, masalah ini masih menjadi perdebatan
hangat. Bultmann dan para pengikutnya mengembangkan tesis Baur dan berpendapat
bahwa kristologi Kisah mencerminkan teologi pra-Paulus, sedangkan teologi
naturalisnya, eskhatologinya serta pandangannya atas Taurat mencerminkan
gagasan-gagasan post-Paulus. Jadi, teologi Kisah tidak mencerminkan keadaan jemaat
perdana, melainkan katolikisme awal yang sedang bertumbuh.[4] Ernst Kasemann menandaskan bahwa penulis Kisah
melegitimasi pandangannya tentang jemaat dalam hubungannya dengan pandangan
bidat, berdasar kontinuitasnya dengan kerasulan awal dan kesuciannya di dunia
ini. Kasemann berpendapat bahwa penulis Kisah adalah pelopor katolikisme awal.[5]
Holger Conzelmann, dengan karyanya “The
Theology of St. Luke” (1960), memodifikasi penelitian Holtzmann, Klein,
Bultmann, dan Kasemann, dan berpendapat bahwa penulis Kisah menggambarkan
keadaan jemaat mula-mula. Berdasar pendekatan sejarah keselamatan, Conzelmann memberi
garis besar alasannya:
(1) pusat pewartaan Kisah adalah zaman Yesus,
bukan zaman gereja;
(2) teologi Kisah seharusnya tidak dibandingkan
dengan teologi Paulus, karena masalah yang dihadapi Kisah bukanlah masalah yang
dihadapi Paulus, seperti masalah tertundanya parousia dan keberadaan gereja dalam sejarah sekular;
(3) ciri khas komposisi historis yang digunakan penulis
Kisah untuk memecahkan masalah adalah pembagian sejarah keselamatan dalam tiga
episode: (a) zaman Israel (zaman PL), (b) sentral sejarah keselamatan, yaitu
zaman Yesus, dan (c) zaman gereja, yang merupakan zaman perjuangan antara
kebimbangan dan kesabaran;
(4) dengan periodisasi ini, penulis bermaksud
menjelaskan kepada jemaat pada zamannya, bahwa bentuk gereja boleh saja
berubah, sekalipun struktur fundamentalnya harus tetap dipertahankan.[6]
Dengan alasan di atas, Conzelmann
menolak akurasi historis Kisah dan menganggap pemikiran penulis Kisah sebagai
penyimpangan pemikiran Paulus dan Yohanes. Cullmann menyanggah konsepsi
Conzelmann ini.[7] Howard Marshall, mengembangkan karya
W.M. Ramsay[8] dan A.N. Sherwin-White,[9] berpendapat bahwa penulis Kisah adalah
seorang sejarawan dan teolog.[10] Karena itu, tidak mengherankan jika
banyak kritikus meyakini bahwa penulis Kisah telah menyajikan gambaran mengenai
kehidupan dan pemikiran jemaat perdana yang dapat dipercaya. Dengan demikian,
Kisah dapat dianggap sebagai sumber teologi jemaat perdana yang dapat
dipercaya.
Tanpa mengabaikan pertimbangan
historis, penelitian mutakhir berusaha memahami teologi Kisah berdasar tempatnya
dalam kanon.[11] Menurut Parsons, berdasar
posisi kanoniknya, gambaran Kisah mengenai kehidupan jemaat perdana dapat
diterima sebagai sejarah yang memadai.[12] Apa pun manfaat pendekatan ini bagi
penelitian historis, tidak dapat disangkal bahwa bagaimanapun karya penulis
Kisah ini merupakan karya teologis, sebagaimana dikatakan J. C. Beker, “Lukas
adalah seorang teolog besar.”[13] Memang, penulis Kisah
tidak menyatakan bahwa ia menulis suatu karya teologis, namun tulisannya
merupakan informasi teologis dan secara signifikan memberi andil terhadap
pemahaman kita atas teologi PB.[14]
b. Siapakah penulisnya dan kapan waktu penulisannya?
Dengan mempertimbangkan alamat yang
menjadi tujuannya dan kesesuaian dengan Injil Lukas, baik dari sisi linguistik
maupun dari pemberitaan teologisnya, diperkirakan penulis Kisah adalah orang
yang sama dengan penulis Injil Lukas. Sekalipun kedua kitab itu sering dianggap
berasal dari tangan Lukas, namun penulis yang asli tidak dapat dipastikan.
Orang pertama yang menyatakan bahwa Lukas adalah penulisnya adalah Irenaeus
dari Lyon (+180). Kanon Muratori (200) juga menyebut ‘dokter’ Lukas
sebagai penulisnya. Marcion (+140) menyusun Injilnya dengan
menghilangkan dan memodifikasi Injil Lukas, namun tidak menyebutkan penulisnya.
Dengan membandingkan teologi kedua kitab itu dengan teologi Paulus, kemungkinan
penulisnya adalah kawan sekerja Paulus. Keberatannya, unsur-unsur sentral
teologi Paulus, kecuali tentang pembenaran (Kis. 13:38), tidak terdapat dalam
Kisah. Kita perlu pula mempertimbangkan fakta bahwa penulis Kisah agaknya tidak
mengetahui dengan benar detail-detail penting pekerjaan misioner Paulus.
Misalnya, Kisah menyebutkan bahwa Paulus mengadakan perjalanan ke Yerusalem
sebanyak lima kali, sedangkan menurut surat-surat Paulus agaknya Paulus hanya
melakukannya tiga kali. Jadi, yang dapat disimpulkan adalah bahwa penulis Kisah
yang asli tetap tidak dikenal, namun selanjutnya disebut ‘Lukas.’ Kemungkinan
besar ia adalah seorang Kristen bukan Yahudi yang hidup berhubungan dengan
synagoge diaspora, yang dengan sadar mengintegrasikan tradisi orang-orang
Kristen Yahudi dalam karyanya. Tujuannya adalah untuk meyakinkan pembacanya
mengenai kebenaran tradisi pengajaran Kristen.[15]
Dalam kedua kitab ini tercermin
masalah-masalah yang dihadapi oleh generasi Kristen ketiga, seperti: makin
pudarnya harapan bahwa parousia akan
segera terjadi, adanya pertentangan antara orang kaya dan miskin dalam jemaat,
serta dibicarakannya hubungan antara gereja dan negara. Karena itu,
diperkirakan Kisah ditulis sekitar akhir abad pertama, antara tahun 90-100.
Diduga, kitab ini ditulis di Roma dengan alasan: (1) penyebaran Injil
sebagaimana janji Yesus menemui sasarannya di Roma (1:8 bdk. 19:21); (2) ada
kecocokan antara kedua kitab ini (Injil Lukas dan Kisah) dengan 1 Clemens 5 dan
42 dalam menggambarkan diri Paulus, serta kesesuaian pemahaman mengenai
sopan-santun jemaat. Diperkirakan pembaca yang dituju pun sama, yaitu komunitas
Kristen bukan Yahudi; dengan alasan: (1) penulis menekankan misi bagi
orang-orang bukan Yahudi; (2) posisi Israel dalam sejarah keselamatan digeser;
(3) ungkapan-ungkapan Semitis berusaha dihindari; misalnya, kata rabbuni (guru) diganti dengan kurios (Tuhan), kata Abba ho Patēr (Bapa) diganti dengan Patēr (Bapa) saja.[16]
2. Gagasan teologisnya
a. Tentang Roh
Kudus
Aktivitas Roh yang digambarkan dalam
Kisah menjadikan misi Yesus universal.[17] Apa yang dilakukan oleh
para rasul (dan juga oleh jemaat) dipahami sebagai karya Roh. Pada awal tulisannya,
penulis Kisah menyiratkan bahwa bukunya adalah hasil pengajaran Roh dari Tuhan
yang telah bangkit itu kepada para rasul (Kis. 1:2). Para rasul diingatkan agar
menantikan kedatangan Roh Kudus. Jadi, turunnya Roh Kudus ke atas para rasul
pada hari Pentakosta bukannya tidak dipersiapkan.[18] Menurut F.D. Brunner, Roh
Kudus tidak dapat dipisahkan dengan Yesus, karena, “Roh Kudus adalah Yesus yang
berkarya melanjutkan pelayanan-Nya.”[19]
Adalah janji Kristus sendiri bahwa Roh
akan memimpin perluasan pelayanan gereja (1:8). Karena itu, para rasul segera
kembali dari Bukit Zaitun ke Yerusalem untuk menantikan penggenapan janji
tersebut (1:12-14). Pemilihan Matias sebagai pengganti Yudas Iskariot
menyiratkan bahwa pelayanan rasuli mendapat tekanan (1:15-26). Penulis Kisah
tidak memberi tempat bagi spekulasi apokalyptis mengenai waktu dan masa.
Pandangan para rasul tidak lagi terfokus pada parousia, melainkan pada tempat dan cara yang ditetapkan Roh bagi
mereka untuk menjadi saksi-saksi Kristus. Dengan pimpinan dan kuasa Roh, Injil
akan didengar di Yerusalem, di Yudea dan Samaria, bahkan sampai ke ujung bumi.
Penyataan Roh yang istimewa pada hari
Pentakosta adalah peristiwa yang mengawali zaman gereja. Seperti pemberian
hukum Taurat di Gunung Sinai menandai kelahiran umat Israel sebagai sebuah bangsa,
demikian halnya peristiwa Pentakosta secara teologis merupakan kelahiran
gereja. Pentakosta merupakan buah kenaikan Yesus ke surga (bdk. Yoh. 7:39;
16:7). Peristiwa tersebut disertai dengan fenomena fisis yang tidak lazim:
suara seperti angin dan lidah-lidah api (2:2-3). Tanda-tanda ajaib ini harus
dianggap sebagai pengalaman tunggal yang unik, karena tidak terulang secara
reguler di tempat lain. Meskipun Roh akan senantiasa dicurahkan, pencurahan
tersebut tidak lagi menjadi tanda peresmian suatu era baru. Adanya keterkaitan
antara api dengan Roh dengan jelas menghubungkan Pentakosta dengan proklamasi
Yohanes Pembaptis pada waktu pembaptisan Yesus (Mat. 3:11). Perlu diketahui
bahwa dalam komunitas Qumran, turunnya Roh juga dihubungkan dengan peresmian
zaman baru.[20]
Lukas mengindikasikan bahwa semua orang
beriman dipenuhi oleh Roh (Kis. 2:4). Ia menekankan hakikat karya Roh yang
berlaku untuk seluruh persekutuan dalam kebersamaan. Persekutuan orang-orang
beriman, semua dimeteraikan dengan Roh, dan tidak ada di antara mereka yang
tidak dipenuhi oleh-Nya. Pemenuhan dengan Roh memampukan mereka berbicara dalam
bahasa-bahasa lain. Hal yang mengherankan banyak orang itu bukanlah fenomenon, bahwa
tiba-tiba orang dapat berbicara dengan bahasa-bahasa lain yang tidak dapat
dipahami, melainkan bahwa orang-orang Galilea dapat mendengar bahasa mereka
sendiri (Kis. 2:6). Tidak jelas, apakah mujizat itu berupa kemampuan berbicara dalam
berbagai bahasa atau kemampuan mendengar, atau kedua-duanya. Namun yang jelas,
Roh sedang bertindak aktif, dan itulah yang menjadi penyebabnya.
Bahasa lidah di sini sering
diidentifikasi sebagai ucapan-ucapan ekstatis, sama seperti yang terjadi di
Korintus (bdk. 1Kor. 12-14). Namun kata-kata yang diucapkan dalam peristiwa
Pentakosta segera dikenali oleh mereka yang mendengarnya sebagai bahasa saat
itu; sementara di Korintus, untuk memahaminya diperlukan penerjemah. Karena
itu, bahasa lidah dalam Kisah 2:4 lebih baik dipahami sebagai bahasa-bahasa
yang dapat dimengerti, yang merupakan salah satu dari tiga tanda kehadiran
Allah (lidah-lidah api dan asap, guntur,
serta suara dari langit), seperti ketika Allah memberikan sepuluh penyuruhan kepada
Musa di Gunung Sinai.[21]
Menurut Donald Guthrie, menganggap
manifestasi bahasa lidah (glosolalia)
dalam peristiwa Pentakosta sebagai sesuatu yang istimewa, sebagai suatu kekecualian,
bukannya tidak masuk akal. Dalam Kisah, bahasa lidah hanya disebut di dua
tempat lain, yang keduanya berhubungan dengan pencurahan Roh Kudus (Kis. 10:46;
19:6).[22] Kemungkinan,
yang dimaksud bahasa lidah dalam ayat-ayat itu bukanlah bahasa yang dapat
dimengerti, melainkan bahasa yang lebih mirip dengan pengalaman di
Korintus daripada dengan peristiwa Pentakosta.[23] Namun perlu diingat,
ketiga pengalaman yang digambarkan dalam Kisah, semua merupakan konfirmasi
tentang Roh yang aktif bertindak, sedangkan dalam Korintus, karunia bahasa
lidah diberikan sebagai edifikasi (karunia untuk membangun iman). Aktivitas roh
dalam peristiwa Pentakosta sering ditafsirkan sebagai penggenapan nubuat Yoel,
yang merujuk pada akhir zaman dan kedatangan hari Tuhan.[24] Pencurahan Roh Kudus itu
diberikan kepada para rasul sebagai bukti bahwa Yesus sudah ditinggikan.
Roh dikaruniakan, baik kepada
individu-individu, maupun kepada jemaat, untuk menumbuhkan kualitas hidup yang
berada di luar kemampuan mereka sendiri. Di samping itu, Roh juga dikaruniakan
untuk mempersatukan orang-orang beriman ke dalam satu persekutuan yang tidak
dapat disamakan dengan kelompok-kelompok lain mana pun. Roh itu dikaruniakan
agar orang-orang beriman dapat saling menghibur, sekalipun penghibur yang
sejati adalah Roh itu sendiri (Yoh. 16:13), dan dapat memberitakan Kabar Baik
(Kis. 1:2, 8),[25]
sebagaimana Yesus juga diperlengkapi dengan Roh untuk melakukan pelayanan-Nya
(lht. Luk. 1, 2, 4).
Tema sentral dalam peristiwa Pentakosta
sesungguhnya bukanlah Roh, melainkan peristiwa Yesus dan peristiwa salib, yang
merupakan peristiwa penyelamatan. Pencurahan Roh bukanlah demi pencurahan Roh
itu sendiri, melainkan berkenaan dengan penggenapan janji keselamatan secara universal,
bagi semua bangsa.[26] Jadi, pencurahan Roh itu
berhubungan dengan pengutusan untuk memberitakan Kabar Baik (bersifat
misiologis) dan untuk memuliakan Allah (bersifat doksologis).
Menurut laporan Kisah, setelah
peristiwa Pentakosta, Roh bekerja aktif dalam banyak aspek kehidupan
persekutuan Kristen dan gereja. Roh aktif bekerja dalam pemberitaan, nubuat,
kesaksian, kesukacitaan dan dalam pengambilan keputusan. Namun tekanan utama
Kisah adalah peran Roh dalam pemberitaan Kabar Baik. Gereja hanya dapat hidup
sebagai gereja yang benar jika ia melakukan pemberitaan Injil dan berjalan
mengikuti petunjuk Roh. Dalam memberitakan firman Allah, Roh menggunakan
bermacam-macam cara dan sarana (mis. Kis. 2:14, 36; 3:12-26; 5:32; 7:2-53; 8:4;
13:16-41; 18:5; 19:10). Roh juga bekerja melalui pikiran (10:9), para nabi
(11:28), pelayanan ibadah (13:2), majelis jemaat (15:28) dan pencegahan secara
batiniah (16:6-7). Misi rasuli hanya dapat berlangsung karena kuasa Roh. Namun,
karya Roh tetap misterius bagi kita, karena semua hanya bersumber pada
kedaulatan Allah sendiri.
b. Kristus dan keselamatan
Apakah pesan rasuli itu? Menurut C.H.
Dodd, inti pesan rasuli adalah bahwa zaman penggenapan telah menyingsing. Hal
tersebut terjadi melalui pelayan, kematian dan kebangkitan Yesus. Setelah
bangkit, Yesus ditinggikan oleh Allah sebagai kepala mesianis Israel Allah. Roh
Kudus dalam gereja merupakan tanda kehadiran kuasa dan kemuliaan Allah. Zaman
mesianis itu akan mencapai puncaknya dalam kedatangan Kristus yang kedua. Para rasul
menyerukan agar manusia bertobat, percaya kepada Allah yang telah berkarya
dalam diri Yesus, menerima tawaran pengampunan Allah, menerima Roh Kudus dan
dibaptiskan sebagai anggota persekutuan orang-orang percaya.[27]
Ketika Injil diberitakan, maka tumbuhlah
gereja. Gereja bukan semata-mata suatu sekte Yudaisme, melainkan persekutuan
orang percaya yang mengimani Allah, yang telah berkarya keselamatan dalam diri
Yesus. Interpretasi Petrus atas nubuat Yoel (Kis. 2), pembelaan Stefanus di
depan mahkamah agama (Kis. 7), pengalaman Petrus dengan Kornelius di Yope (Kis.
10) dan keributan Paulus di Tesalonika (Kis. 17), semua itu menunjukkan bahwa
kekristenan bukanlah sekte Yahudi, melainkan sebuah gerakan mesianis yang
bersifat universal.[28] Kekristenan juga bukan salah
satu bentuk agama misteri pada masa itu.[29] Perjumpaan dengan Simon
si tukang sihir (8:9-13) dan penolakan para rasul atas penyembahan dirinya oleh
orang-orang Listra (14:11-15) meruntuhkan tuduhan bahwa kekris-tenan adalah
salah satu bentuk tahyul. Berita keselamatan Kristen semata-mata disandarkan
pada Yesus Kristus historis, yang hidup di Palestina, yang disalibkan dan
bangkit dari antara orang mati.
Seluruh cerita Lukas dibangun dengan
pusat kebangkitan Yesus. Bagi Lukas, di luar keyakinan kepada kebangkitan Yesus
bukanlah iman Kristen yang sesungguhnya (bdk. 1Kor. 15:1-20). Dalam hal ini,
para rasul adalah saksi-saksi kebangkitan itu. Khotbah-khotbah mereka merupakan
pemberitaan yang berpusat pada kebangkitan Kristus sebagai pembalikan total
atas kebenaran manusia yang dilakukan oleh Allah sendiri (bdk. Kis. 2:22-24,
36; 3:14-15; 5:30-31; 10:39-42). Kebangkitan Kristus sekaligus menjadi panjar
bagi janji kebangkitan untuk orang-orang beriman dan dasar pengharapan mereka
(bdk. 4:2; 13:32-33; 17:18,29-32; 23:6; 24:21; 26:23).[30]
Fakta kebangkitan itulah yang
memulihkan kehancuran psikhologis para murid Yesus. Mereka percaya bahwa Yesus
tetap hidup dan bahwa pesan-pesan-Nya harus diberitakan untuk memperbarui
dunia. Sebagaimana dikatakan Guthrie, perubahan yang terjadi atas para murid
Yesus sehingga tidak ada lagi ketakutan untuk memberitakan Injil merupakan
bukti bahwa Yesus benar-benar bangkit.[31] Mengenai kebangkitan, Wolfhart Pannenberg
mengatakan, sejauh historiografi tidak diawali dengan gagasan sempit bahwa
orang mati tidak mungkin bangkit, tidak ada alasan untuk tidak membicarakan
kebangkitan Yesus sebagai penjelasan atas kubur yang kosong dan penampakan
Yesus yang dialami oleh para murid.[32]
Ada yang berpendapat bahwa kebangkitan
dan kenaikan Yesus ke surga merupakan inaugurasi ketuhanan Yesus atas gereja
dan atas dunia ini. Penggunaan gelar ‘Tuhan’ (kurios) untuk Yesus dalam Kisah ditafsirkan sebagai petunjuk
tentang keilahian Yesus. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta juga menunjuk pada
Yesus yang telah ditinggikan itu. Ketika Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah ‘Tuhan
dari semua orang’ (10:36), ia menunjukkan ketuhanan Yesus atas orang-orang
Yahudi dan orang-orang kafir.[33] Namun sesungguhnya, peninggian Yesus
oleh Allah ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi-Nya sebagai penyata
Allah dan pelaksana kehendak-Nya. Karena ketaatan Yesus yang demikian mutlak
kepada Allah, hingga bersedia mati di kayu salib, maka Ia ditinggikan oleh
Allah sedemikian rupa dan diberi gelar kurios.
Kisah menyebut peristiwa Yesus,
kematian dan kebangkitan-Nya, sebagai bagian dari maksud dan rencana Allah
(2:23). Namun pada pihak lain, dari laporannya mengenai khotbah Petrus, Lukas
juga menandaskan bahwa Yesus dibunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka
(2:22-23). Hal ini sering menimbulkan pertanyaan, apakah dalam soteriologi
Lukas keselamatan melalui kematian Yesus itu ditawarkan oleh Allah, atau
terjadi dengan tidak sengaja? Jika khotbah Petrus kita perhatikan dengan
seksama, yang hendak ditekankan Lukas adalah bahwa akibat kebenaran Allah yang
dinyatakan-Nya, Kristus harus menanggung risiko hingga mati di kayu salib.
Namun karena ketaatan-Nya kepada kehendak Allah yang demikian mutlak, Ia telah
dibangkitkan oleh Allah (2:24, 3:15, 26; 4:10) dan ditinggikan sebagai Tuhan dan
Kristus (2:36; bdk. 3:13). Kebangkitan Mesias menunjukkan bahwa Allah tidak
meninggalkan-Nya dalam dunia orang mati (2:31). Dengan fakta ini, Petrus
mengimbau, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu
dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan
menerima karunia Roh Kudus” (2:38). Pengampunan dosa atau keselamatan itu tidak
terjadi secara otomatis, dengan cara yang mudah dan murah, melainkan harus
melalui pertobatan. Iman tidak mungkin tanpa pertobatan.
Lebih lanjut, Kisah menyatakan bahwa
peristiwa Yesus adalah penggenapan firman Allah dalam Kitab Suci (3:17-21;
10:42). Berkenaan dengan karya Yesus, Lukas menggambarkan Dia sebagai Hamba
Allah (3:13, 26; 4:27, 30) dan Juruselamat yang mendatangkan pengampunan dosa
(2:38; 3:19; 5:31; 10:43; 13:23, 38). Rupanya, gelar Hamba Allah dalam Kisah
dilatarbelakangi oleh gagasan tentang Hamba Allah yang menderita dalam kitab
Yesaya.[34] Namun, batu yang dibuang
oleh tukang bangunan itu, kini telah menjadi batu penjuru (4:11). Makna
Juruselamat dihubungkan secara langsung dengan pengampunan dosa, yang hanya
dapat diperoleh manusia dalam diri Yesus, karena tidak ada keselamatan dalam
siapa pun selain di dalam Dia (4:12).[35]
Masalah pengampunan dosa sangat
ditekankan, baik dalam Injil Lukas, maupun dalam Kisah. Pengampunan dosa dan
pengalaman akan kehadiran Roh Kudus dijanjikan bagi mereka yang bertobat dan
memberi diri untuk dibaptis (3:39, 26; 5:31). Lukas juga menghubung-kan
pengampunan dosa dengan iman (10:43; 13:38, 39; 15:9).[36] Dalam cerita pembelaan Paulus di depan
Agripa, dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengampunan dosa, iman dan
pertobatan tidak dapat dipisah-pisahkan (Kis. 26). Bagi Lukas, iman dan
pertobatan adalah sinonim. Beriman berarti mempercayakan diri kepada Yesus
Kristus dan masuk ke dalam kehidupan baru (16:31). Bertobat juga berarti
berpaling ke arah hidup yang baru (5:31). Berdasar iman dan pertobatan itulah
orang dibaptis ke dalam komunitas baru, sehingga mengalami realitas pengampunan
dosa.[37] Bagi Lukas, gereja adalah persekutuan
yang di dalamnya kehadiran Allah yang memperbarui itu dialami.[38]
c. Gereja dan eskhatologi
Seperti telah dibicarakan, Pentakosta
dapat dianggap sebagai awal lahirnya gereja.[39] Turunnya Roh telah
menyebabkan tumbuhnya anggota persekutuan dengan cara yang mengherankan (2:41).
Bentuk dan misi gereja terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Pada mulanya,
kekristenan tetap mempertahankan akar keyahudiannya dan memeli-hara hubungannya
dengan Yudaisme. Mereka tetap beribadah di Bait Allah (3:1) dan memandang
dirinya sebagai Israel baru. [40]
Persekutuan jemaat perdana merupakan
contoh persekutuan autentik dan spontan (2:42-47; 4:32). Unsur pokok
persekutuan ini adalah hakikat kesukarelaannya, jadi tidak dapat disamakan
dengan Komunisme. Di dalamnya dibentuk dana bersama untuk mencukupkan kebutuhan
bersama. Pola perhatian suka-rela ini berkembang bersamaan dengan berkembangnya
jemaat (bdk. Kis. 6:1; 11:21; 1Kor. 16:1; 2Kor. 8-9).[41] Kehidupan jemaat perdana
yang digambarkan dalam Kisah 2:42-47 dicirikan oleh penyembahan, persekutuan,
pemberitaan dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan fisik serta sosial.
Pertemuan reguler mereka lakukan di Bait Allah dan tampaknya berpusat pada
perjamuan (memecahkan roti) dan doa bersama. Dalam cerita Lukas, pentingnya doa,
sehubungan dengan pemberitaan Injil, dikembangkan dengan baik (bdk. 1:14; 2:42;
3:1; 4:24; 12:12; dan 13:3).
Persekutuan yang dikuatkan oleh Roh dan
menggantungkan hidupnya pada Allah melalui doa ini menyadari tugas utamanya,
yaitu melakukan kesaksian dan pemberitaan (1:18). Hal ini diwujudkan dalam cara
hidup mereka, pemberitaan, mujizat-mujizat, serta khotbah-khotbah para rasul
dan para pemimpin mereka. Orang-orang yang menerima pemberitaan mereka kemudian
dimasukkan ke dalam persekutuan melalui baptisan dalam nama Yesus Kristus
(2:38-41; 8:12, 36; 16:15; 19:5; 22:16). Lukas ingin menunjukkan perbedaan
antara baptisan Kristen dengan baptisan yang dilakukan oleh Yohanes; karena
itu, makna dan pengalaman kristologis dalam baptisan ditekankan.[42]
Dalam Kisah ada beberapa contoh
mengenai baptisan rumah-tangga (11:14; 16:15, 31; 18:8). Sulit dipahami bahwa
ayat-ayat ini bermaksud menyatakan bahwa iman kepala rumah-tangga sudah cukup
bagi anak-anaknya, keluarganya atau hamba-hambanya.[43] Rupanya yang dimaksud
dengan anggota rumah-tangga hanyalah mereka yang sudah dewasa dan telah
mengakui imannya kepada Kristus.[44] Dalam hal ini, baptisan
berfungsi sebagai ritus inisiasi untuk memasukkan pengikut-pengikut Kristus ke
dalam persekutuan umat Tuhan.
Jemaat segera mengadopsi upacara
perjamuan Tuhan. Hal ini berguna untuk memperkukuh ikatan orang-orang beriman,
karena, melalui perjamuan Tuhan, jemaat disadarkan akan kesatuan mereka secara
esensial dalam Kristus. Memang, hanya sedikit berita mengenai pelaksanaan
ibadah ini, namun jelas bahwa perjamuan tersebut diadakan secara reguler. Pada
mulanya, jemaat mengadakan perjamuan setiap hari (2:46), namun kemudian
dilaksanakan secara mingguan (20:7). Yang jelas, perjamuan itu dilaksanakan
sebagai bagian ibadah jemaat.[45]
Pada mulanya, pemimpin jemaat hanyalah
para rasul, karena organisasinya relatif kecil. Mereka dipilih oleh Yesus
sendiri. Matias dipilih untuk menggantikan Yudas. Namun di samping keduabelas
rasul itu, Paulus dan Barnabas juga disebut rasul Yesus (14:4, 14). Setelah
jemaat berkembang, kepemimpinan jemaat pun makin berkembang. Di samping jabatan
rasul (apostolos) ada pula penatua (presbuteros), nabi (prophētēs), penilik jemaat (episkopos),
pemberita Injil (euanggelistos) dan
diaken (diakonos). Penatua merupakan
jabatan yang dikembangkan dari jabatan di synagoge. Tidak ada penjelasan
mengenai tugas-tugas penatua, namun agaknya mereka melaksanakan tugas-tugas
administratif. Sekembali dari perjalanan pekabaran Injilnya yang pertama,
Paulus dan Barnabas memilih penatua untuk jemaat yang baru didirikannya
(14:23). Dalam pidato perpisahannya dengan para penatua dan penilik jemaat di
Efesus, Paulus menasihatkan mereka untuk menjaga dan menggembalakan seluruh ‘kawanan’
(Kis. 20:17, 28; bdk. Tit. 1:5-7; 1Ptr. 5:1-5).
Di samping rasul-rasul dan penatua-penatua,
para nabi juga menjalankan peran kepemimpinan, yaitu dengan menyampaikan
firman-firman nubuat untuk membangun iman jemaat. Kadang-kadang mereka
menubuatkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Nabi-nabi
ini tidak memegang peran dalam tugas-tugas administratif. Dalam Kisah, nama nabi
Agabus disebut dua kali (11:28 dan 21:10) dan anak-anak perempuan Filipus juga dikaruniai
kemampuan untuk bernubuat (21:9). Pemberita Injil mungkin merupakan kelas
pemimpin tesendiri (8:4-8; 21:8).
Pemimpin formal dipilih ketika dalam
jemaat timbul persoalan. Orang-orang Yahudi berbahasa Yunani yang kembali dari
diaspora ke Palestina mulai mengeluh, sebab dalam pembagian makanan sehari-hari,
agaknya janda-janda yang berbahasa Ibrani lebih diutamakan. Dengan tuduhan
bahwa para pemimpin jemaat kurang sensitif, tugas para rasul bertambah luas. Guna
memecahkan masalah ini dipilihlah tujuh orang untuk mengurusi para janda itu.
Mungkin ini adalah akar jabatan diaken yang berkembang hampir tiga dekade
kemudian (bdk. Flp. 1:1; 1Tim. 3:7). Sebagaimana para rasul memiliki wibawa
rohani, yang disimbolkan dengan fungsi mereka untuk memberi makan umat
(4:32-37), demikian halnya ketujuh orang tersebut memiliki wibawa rohani bagi
misi Hellenis yang ditandai dengan tanggung jawab mereka untuk memberi makan
para janda Hellenis.[46]
Dalam jemaat perdana, wanita memiliki
peran penting. Rupanya mereka dilibatkan dalam pemilihan Matias (1:15-26).
Mereka juga menerima kuasa dan karunia Roh pada hari Pentakosta (2:1-18). Di
antara orang-orang beriman yang pertama, terdapat pula para wanita (5:14;
12:12; 16:14-15; 17:4, 34). Dalam Kisah 18, Priskila bersama Akwila, suaminya,
mengajar Apolos. Kisah 21:8-9
melaporkan bahwa anak-anak perempuan Filipus beroleh karunia bernubuat.
Pada umumnya, jemaat-jemaat tidak
dipersatukan oleh ikatan gerejawi atau oleh suatu autoritas formal, sekalipun
kesatuan mereka sangat menonjol. Kata ‘jemaat’ lazimnya digunakan untuk
menyebut persekutuan lokal, sedangkan ‘jemaat-jemaat’ (dalam bentuk jamak)
menunjuk pada semua jemaat dalam suatu wilayah (15:41; 16:5). Namun, bentuk
tunggalnya juga dapat digunakan untuk menyebut seluruh persekutuan orang
beriman dalam suatu kota (5:11; 8:1) dan menunjuk pada gereja secara luas
(9:31). Tetapi yang jelas, teologi Lukas mengajarkan bahwa persekutuan
orang-orang beriman itu adalah ‘jemaat Allah’ (20:28). Kisah menunjukkan bahwa
gereja secara bertahap terpisah dengan synagoge dan menjadi suatu gerakan
mandiri.[47]
Kelahiran jemaat perdana sulit dibedakan dengan lingkungan Yahudinya,
sebagaimana terlukis dalam bagian akhir cerita Lukas.[48]
Lukas juga memiliki perspektif mengenai
penggenapan zaman baru. Tema parousia
sudah diperkenalkan pada awal Kisah (1:6-11). Hal yang penting diperhatikan
adalah bahwa Kristus akan datang kembali dengan cara yang sama seperti ketika Ia
naik ke surga. Penjelasan ini menyingkirkan anggapan bahwa kedatangan Kristus
yang kedua digenapi pada hari Pentakosta, atau pada saat kematian orang
percaya.[49]
Kata-kata yang digunakan Lukas benar-benar mencerminkan pemahaman futuristis
atas parousia.[50] Janji tentang parousia ini jelas tidak sesuai dengan
gagasan ‘eskhatologi yang sudah direalisasi.’
Khotbah Petrus pada hari Pentakosta
tidak hanya merujuk pada turunnya Roh Kudus sebagaimana dinubuatkan oleh Yoel,
namun juga merujuk pada kedatangan Tuhan yang kedua dengan tanda-tanda yang
mendahuluinya. Hari Tuhan itu benar-benar terjadi, sekalipun baru akan terjadi
nanti di masa depan. Sekarang jemaat sudah berada di zaman akhir (2:17),
meskipun mereka masih menantikan saat ketika Allah “mengutus Yesus … karena Ia
masih tinggal di surga sampai waktu pemulihan segala sesuatu” (3:20-21).
Penopang teologi Kisah adalah gagasan bahwa eskhaton
itu sudah diresmikan, sekalipun masih menunggu penggenapannya di masa depan,
ketika Yesus yang telah dibangkitkan oleh Allah dari antara orang mati, akan
menghakimi seluruh dunia dengan adil (17:31).
Dalam Kisah, berita Injil, keesaan jemaat, panggilan untuk bertobat dan
urgensi misi Kristen dipaparkan dalam terang kedatangan Kristus yang kedua,
serta kepastian datangnya Hari Penghakiman. Teologi Kisah difokuskan pada karya
Roh Kudus dalam persekutuan, yang diteguhkan dengan kematian dan kebangkitan
Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan gereja. Persekutuan baru yang dilahirkan
di tengah Yudaisme itu, dengan pimpinan Roh Kudus, kemudian melaksanakan
perintah misioner untuk memberita-kan Injil di seluruh dunia Laut Tengah.
d. Universalitas keselamatan dan kekristenan
Salah satu tema
utama Kisah Rasul adalah universalitas keselamatan dan kekristenan, bahwa keselamatan
adalah untuk semua orang dan ajaran Yesus adalah untuk semua manusia, baik
Yahudi maupun bukan Yahudi. Dalam hal ini, kekristenan tidak lagi dilihat
sebagai suatu sekte Yudaisme, melainkan sebagai keyakinan mandiri. Memang, pada
awalnya sempat terjadi ketegangan antara kekristenan Yahudi dengan kekristenan
Paulus. Beberapa orang Kristen Yahudi yang datang dari Yudea ke Antiokhia
mengajarkan kepada jemaat di sana, “Jikalau kamu tidak disunat menurut
adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan” (15:1).
Rupanya mereka adalah para pengikut rasul-rasul Yerusalem di bawah pimpinan
Yakobus. Sikap serupa juga ditampilkan oleh orang-orang Kristen Yahudi,
terutama dari golongan Farisi yang telah menjadi percaya. Mereka berpegang
teguh pada pendapat bahwa orang-orang bukan Yahudi yang menjadi Kristen harus disunat
dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa (15:5). Tetapi, Paulus dan Barnabas
dengan keras menentang pendapat mereka (15:2). Menurut Paulus dan Barnabas,
orang-orang Kristen bukan Yahudi tidak wajib disunat dan memenuhi hukum Musa.
Untuk menyelesaikan pertentangan tajam yang terjadi dalam gereja perdana
ini maka diadakanlah sidang di Yerusalem. Paulus dan Barnabas dihadapkan kepada
rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk menjelaskan pendapatnya.
Sesudah beberapa waktu lamanya berlangsung tukar pikiran, maka Petrus
menyampaikan keputusan sidang, yang intinya adalah: kasih Allah diberikan
kepada semua orang. Allah tidak membeda-bedakan antara orang Yahudi dan bukan
Yahudi. Bahkan sama seperti kepada orang-orang Yahudi, Allah juga mengaruniakan
Roh Kudus kepada orang-orang bukan Yahudi. Karena itu, tidak seharusnya
orang-orang Kristen Yahudi membebankan kuk hukum Musa, yang oleh nenek-moyang
mereka sendiri pun tidak sanggup ditanggung. Baik orang Yahudi maupun orang
bukan Yahudi diperkenankan memperoleh kasih karunia Kristus, sehingga
diselamatkan. Pada prinsipnya, para rasul sepakat dengan ucapan Petrus; namun
rasul Yakobus masih memberikan tambahan bahwa orang-orang Kristen bukan Yahudi
di Antiokhia harus dinasihati agar menjauhkan diri dari makanan yang telah
dicemarkan karena dipersembahkan kepada berhala, dari percabulan dan dari
daging binatang yang diharamkan (15:19-20). Pemecahan Yakobus yang membebaskan
orang-orang Kristen bukan Yahudi dari sebagian besar tuntutan hukum Musa ini
bertujuan untuk mempermudah mereka bergabung dalam gerakan baru ini.
Selanjutnya, sidang tersebut memutuskan untuk mengutus Yudas yang disebut
Barsabas dan Silas agar menyertai Paulus dan Barnabas ke Antiokhia. Mereka
ditugaskan untuk menyampaikan keputusan sidang di Yerusalem kepada jemaat di
Antiokhia.
Hal yang penting kita catat, persidangan Yerusalem tersebut membuka
wawasan, bahwa kasih Allah yang telah dinyatakan dalam Kristus Yesus itu
bersifat universal, tidak eksklusif hanya bagi orang Yahudi saja. Lagi pula,
karena karya penyelamatan Allah dalam Yesus yang membebaskan itu, orang beriman
tidak lagi berada dalam kuk perhambaan terhadap hukum Musa. Maksudnya,
keselamatan mereka tidak lagi ditentukan oleh kemampuan menaati hukum Musa.
Namun, tidak berarti bahwa mereka boleh hidup sesuka hati dan menganut
pandangan antinomistis-libertinistis, sebab, panggilan ke dalam keselamatan
juga berarti panggilan untuk hidup kudus. Universalitas keselamatan ditegaskan
dengan pernyataan Paulus dalam pasal terakhir Kisah Rasul, “Sebab itu kamu harus tahu, bahwa keselamatan
yang dari pada Allah ini disampaikan kepada bangsa-bangsa lain dan mereka akan
mendengarnya” (28:28).
[1] Hal ini dapat dilacak dalam W. W. Gasque, A History of the Criticism of the Acts of
the Apostles (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1975) dan Werner Georg
Kümmel, The New Testament: The History of
the Investigation of Its Problems (London: SCM, 1973); W.G. Kümmel, Introduction to the New Testament
(London: SCM, 1975), hlm. 125-88.
[2] Heinrich Julius Holtzmann, Lehrbuch der neutestamentlichen Theologie (Tubingen: Mohr, 1911).
[3] Adolph Schlatter, Neutestamentliche
Theologie (Stuttgart: Calwer, 1922-1923).
[4] Lht. James D.G. Dunn, Unity and Diversity in the New Testament (Philadelphia:
Westminster, 1977), hlm. 341-67.
[5] Ernst Kasemann, Essays on New Testament Themes (London:
SCM, 1960), hlm. 88-94.
[6] Holger Conzelmann, The
Theology of St. Luke (London: Faber, 1960), hlm. 14-17.
[7] Oscar Cullmann, Salvation in History (London: SCM,
1967).
[8] William Mitchell Ramsay, berdasar studi geografis dan
arkheologis, berpendapat bahwa sejarah Lukas luar biasa akurat. Lht. W.M.
Ramsay, The Bearing of Recent Discovery
on theTrustworthiness of the New Testament (London: Hodder & Stoughton,
1915).
[9] Adrian Nicholas Sherwin-White, seorang sarjana klasik,
berkesimpulan bahwa konfirmasi historis Kisah sangat berlimpah. Lht.
Sherwin-White, Roman Society and Roman
Lawin the New Testament (London: Oxford, 1963), hlm. 189-200.
[10] I. Howard Marshall, Luke:
Historian and Theologian (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1970).
[11] Lht. Mikeal Parsons, "Canonical Criticism,"
dalam David Alan Black dan David S. Dockery (eds.), New Testament Criticism and Interpretation (Grand Rapids:
Zondervan, 1991). Hermeneutika kanonik tidak menolak masalah historisitas
Kisah, tetapi menempatkan persoalan ini dalam hubungannya dengan masalah lain;
lihat juga Parsons, “The Sense of a Beginning in Acts 1-5,” dalam RevExp 87 (Summer, 1990), hlm. 403-422.
[12] Sebagaimana dikatakan G.E. Ladd, hal ini tidak menuntut
kita untuk percaya bahwa khotbah-khotbah yang dilaporkan Lukas adalah berita
harfiah; karena khotbah-khotbah itu terlalu pendek. Kita juga tidak
berkeberatan bahwa Lukas adalah penyusun khotbah-khotbah tersebut dalam
bentuknya yang sekarang ini. Namun, kita dapat menerima kesimpulan bahwa
khotbah-khotbah singkat itu merupakan ringkasan akurat dari khotbah-khotbah
para rasul yang paling awal. Jelas bahwa Lukas bukanlah seorang sejarawan
kritis dalam arti modern. Lukas memilih sumber-sumber yang tersedia, baik lisan
maupun tertulis, yang dianggap sebagai peristiwa-peristiwa penting dalam
merunut perkembangan jemaat dari sekelompok kecil orang-orang Yahudi di
Yerusalem hingga menjadi persekutuan yang terdiri dari orang-orang non-Yahudi
di ibukota kekaisaran Romawi. Lht. George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1974),
hlm. 314; bdk. Donald Guthrie, New
Testament Theology (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1981), hlm. 42-48; lihat juga Douglas Dockery, "Acts
6-12: The Advancement of the Christian Mission Beyond Jerusalem," RevExp 87 (Summer, 1990), hlm. 423-38;
John Polhill, "Acts 6-12: The Hellenist Breakthrough," RevExp 71 (1974), hlm. 475-86.
[13] J. C. Beker, Paul the Apostle (Philadelphia:
Fortress, 1980), hlm. 162.
[14] Morris, New Testament
Theology, hlm. 144-45.
[15] Schnelle, The History and Theology of the NT Writings,
hlm. 240-243.
[16] Schnelle, The History and Theology of the NT Writings,
hlm. 243, 259-260.
[17] Lht. Michael Green, I Believe in the Holy Spirit (Grand
Rapids: Eerdmans, 1975).
[18] I. Howard Marshall, "The Significance of
Pentecost" SJT 30 (1977), hlm.
347-69.
[19] Frederick Dale Bruner, A Theology of the Holy Spirit (Grand Rapids: Eerdmans, 1970), hlm.
156-57.
[20] Frederick Fyvie Bruce, “The Holy Spirit in the Acts of
the Apostles,” Int 27 (1973), hlm.
172-73. Jika struktur Kisah dibandingkan dengan struktur Injil Lukas, tampak
bahwa kisah kelahiran Yesus (Luk. 1:1-2:40) sejajar dengan kisah kelahiran
gereja (Kis. 1:1-2:47). Lht. Richard N. Longenecker, “The Acts of the
Apostles,” dalam Frank Ely Gaebelin (ed.), Expositor's
Bible Commentary, Vol. 9 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1981), hlm.
233-34.
[21] Longenecker, “Acts,” hlm. 271. Pendapat yang berbeda
dapat ditemukan dalam Robert John Banks dan Geoffrey Narramore Moon, “Speaking
in Tongues: A Survey of the NT Evidence,” Churchman
80 (1966), hlm. 278-94. Mereka menafsirkan glosolalia
sebagai kemampuan untuk berbicara dalam bahasa roh, yang mungkin merupakan
bahasa malaikat.
[22] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 538-39.
[23]Pembedaan yang cukup menolong dijelaskan oleh Anthony
Andrew Hoekema, Holy Spirit Baptism (Grand
Rapids: Eerdmans, 1972), hlm. 48-50.
[24]Richard N. Longenecker, Biblical Exegesis in the Apostolic Period (Grand Rapids: Eerdmans,
1975), hlm. 79; bdk. Gerd Luedemann, Early
Christianity According to the Tradition in Acts (Philadelphia: Fortress,
1988).
[25] Bdk. John R.W. Stott, The Spirit, the Church, and the World (Downers Grove, IL:
InterVarsity, 1990), hlm. 29-45.
[26] Longenecker, "Acts," hlm. 12-14.
[27] Bandingkan Charles Harold Dodd, The Apostolic Preaching and Its Developments (London: Hodder &
Stoughton, 1936).
[28] Leonhard Goppelt, Theology
of the New Testament , Vol. 2 (trans. J. Alsup; Grand Rapids: Eerdmans,
1982), hlm. 14-16.
[29] Charles Randolph Holladay, "Acts," dalam J.L.
Mays (ed.), Harper's Bible Commentary
(San Francis-co: Harper & Row, 1988), hlm. 1078-1079.
[30] Michael Tenney,
The Reality of the Resurrection (Grand Rapids: Eerdmans, 1963), hlm. 49-55.
[31] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 377
[32] Wolfhart Pannenberg, Jesus, God and Man (London: SCM, 1968),
hlm. 109.
[33] Ernst Haenchen, The
Acts of the Apostles (trans. R. McL. Wilson; Philadelphia: Westminster,
1971), hlm. 352.
[34] Meskipun identifikasi ini tidak selalu diterima. Lht.
Morna Dorothy Hooker, Jesus and the
Servant (London: SPCK, 1959), hlm. 107-16.
[35] Guthrie, New
Testament Theology, hlm. 462,
berpendapat bahwa Lukas memaksudkan tulisannya untuk melengkapi teologinya
tentang karya Kristus. Namun, Frank Stagg dalam karyanya New Testament Theology (Nashville: Broadman, 1962), hlm. 146-48,
membangun model teologi salib sebagai anugerah dan kebutuhan. Lihat juga Stagg,
The Book of Acts (Nashville:
Broadman, 1955), hlm. 28-34.
[36] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 462-463.
[37] Dalam kekristenan mula-mula, baptisan dipahami terutama
sebagai tindakan inisiasi untuk masuk ke dalam komunitas orang percaya. Frasa
"dibaptis untuk pengampunan dosa” (Kis. 2:38) tidak berarti bahwa dalam
baptisan air itu terjadi peristiwa magis. Bdk. D. J. Williams, Acts (San Francisco: Harper & Row,
1985), hlm. 37-42. Untuk memahami makna baptisan dalam Kisah secara mendalam,
lht. George Raymond Beasley-Murray, Baptism
in the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1962), hlm. 93-12.5.
[38] Dalam bahasa Yuinani, panggilan untuk bertobat dan
dibaptiskan (metanoēsate kai baptisthetō,
Kis. 2:38) dalam bentuk tunggal, namun janji untuk menerima karunia Roh dalam
bentuk plural (lēmpsesthe tēn dōrean tou
hagiou pneumatos), karena Roh diberikan untuk persekutuan, yang di dalamnya
individu-individu merupakan bagiannya. Bdk. Leon Morris, Spirit of the Living God (London: InterVarsity, 1960), hlm. 54-57.
[39] Marshall, “Significance of Pentecost,” hlm. 350-56; bdk.
juga James D. G. Dunn, Jesus and the
Spirit (Philadelphia: Westminster, 1975), hlm. 144-146.
[40] Hans Küng, The
Church (London: Search, 1968), hlm. 115-16, memperingatkan agar kita
berhati-hati untuk menyamakan istilah Israel dengan ekklesia dalam PB, meskipun ia sepakat bahwa ada hubungan di antara
keduanya. Bdk. Juga dengan B. Reicke, “The Constitution of the Primitive Church
in the Light of Jewish Documents,” dalam Krister Stendahl (ed.), Scrolls and the New Testament (London:
SCM, 1958), hlm. 143-56.
[41] Lht. K. F. Nickle, The Collection (London: SCM, 1966).
[42]Lht. Lars Hartman, "Baptism into the Name of Jesus
and Early Christology: Some Tentative Considerations," ST 28 (1974), hlm. 21-48.
[43] Ladd, A Theology of the New Testament, hlm.
350.
[44] Beasley-Murray, Baptism,
hlm. 93-126; 312-20; lihat juga Peter K. Jewett, Infant Baptism and the Covenant of Grace (Grand Rapids: Eerdmans,
1978), hlm. 47-50.
[45] Bdk. Ralph P. Martin, Worship in the Early Church (Grand Rapids: Eerdmans, 1964).
[46] Luke Timothy Johnson, The Writings of the New Testament (Philadelphia: Fortress, 1986),
hlm. 227; bdk. juga Martin Hengel, Acts
and the History of Earliest Christianity (Philadelphia: Fortress, 1979).
[47] Ladd, A Theology of the New Testament, hlm.
353.
[50] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 802.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar