Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Jumat, 14 Juni 2013

BELAJAR DAN MENGENAL TENTANG KISAH PARA RASUL DAN SEJARAHNYA

KISAH PARA RASUL

Bahan Kuliah Kolokium PB Minggu XII

1.      Pengantar umum

Kisah Para Rasul (selanjutnya disingkat ‘Kisah’) seakan-akan memberi gambaran historis tentang kehidupan dan perkembangan gereja perdana, sejak awalnya di Yerusalem hingga Paulus sampai di Roma. Penulisnya, yang diperkirakan orang yang sama dengan penulis Injil Lukas, melukiskan kehidupan dan pemberitaan gereja perdana di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8). Dalam melaporkan perkembangan pekabaran Injil, penulis melakukan teologisasi atas khotbah dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Petrus, Stefanus, Filipus dan Paulus. Dalam mempelajari Kisah, hal yang perlu dikaji secara kritis adalah hubungan antara teologi dan sejarah. Di dalamnya meliputi pemikiran teologis penulis (yang sering disebut sebagai ‘Lukas’ itu) mengenai Roh Kudus, Kristus dan karya penyelamatan-Nya, gereja dan eskhatologi.

a. Tinjauan kritis
Ferdinand Christian Baur, dari sudut pandang sepihak, berpendapat bahwa jemaat yang digambarkan dalam Kisah bukanlah laporan historis, melainkan merupakan hasil refleksi teologis.[1] Baur, sebagai teolog Tubingen abad XIX yang terkemuka, berpendapat bahwa maksud teologis penulis Kisah adalah mempersatukan para rasul dengan jemaat perdana ke dalam satu persekutuan ‘orang-orang kudus.’ Menurut Baur, sejarah yang tercermin dalam Kisah dan dalam diri Paulus sendiri sama sekali berbeda. Pada awal abad XX, pendapat Baur ini dikembangkan oleh Heinrich Julius Holtzmann,[2] dan ditentang oleh Adolph Schlatter.[3]
Dalam kurun setengah abad terakhir, masalah ini masih menjadi perdebatan hangat. Bultmann dan para pengikutnya mengembangkan tesis Baur dan berpendapat bahwa kristologi Kisah mencerminkan teologi pra-Paulus, sedangkan teologi naturalisnya, eskhatologinya serta pandangannya atas Taurat mencerminkan gagasan-gagasan post-Paulus. Jadi, teologi Kisah tidak mencerminkan keadaan jemaat perdana, melainkan katolikisme awal yang sedang bertumbuh.[4]  Ernst Kasemann menandaskan bahwa penulis Kisah melegitimasi pandangannya tentang jemaat dalam hubungannya dengan pandangan bidat, berdasar kontinuitasnya dengan kerasulan awal dan kesuciannya di dunia ini. Kasemann berpendapat bahwa penulis Kisah adalah pelopor katolikisme awal.[5]
Holger Conzelmann, dengan karyanya “The Theology of St. Luke” (1960), memodifikasi penelitian Holtzmann, Klein, Bultmann, dan Kasemann, dan berpendapat bahwa penulis Kisah menggambarkan keadaan jemaat mula-mula. Berdasar pendekatan sejarah keselamatan, Conzelmann memberi garis besar alasannya:

(1)  pusat pewartaan Kisah adalah zaman Yesus, bukan zaman gereja;
(2)  teologi Kisah seharusnya tidak dibandingkan dengan teologi Paulus, karena masalah yang dihadapi Kisah bukanlah masalah yang dihadapi Paulus, seperti masalah tertundanya parousia dan keberadaan gereja dalam sejarah sekular;
(3)  ciri khas komposisi historis yang digunakan penulis Kisah untuk memecahkan masalah adalah pembagian sejarah keselamatan dalam tiga episode: (a) zaman Israel (zaman PL), (b) sentral sejarah keselamatan, yaitu zaman Yesus, dan (c) zaman gereja, yang merupakan zaman perjuangan antara kebimbangan dan kesabaran;
(4)  dengan periodisasi ini, penulis bermaksud menjelaskan kepada jemaat pada zamannya, bahwa bentuk gereja boleh saja berubah, sekalipun struktur fundamentalnya harus tetap dipertahankan.[6]

Dengan alasan di atas, Conzelmann menolak akurasi historis Kisah dan menganggap pemikiran penulis Kisah sebagai penyimpangan pemikiran Paulus dan Yohanes. Cullmann menyanggah konsepsi Conzelmann ini.[7] Howard Marshall, mengembangkan karya W.M. Ramsay[8] dan A.N. Sherwin-White,[9] berpendapat bahwa penulis Kisah adalah seorang sejarawan dan teolog.[10] Karena itu, tidak mengherankan jika banyak kritikus meyakini bahwa penulis Kisah telah menyajikan gambaran mengenai kehidupan dan pemikiran jemaat perdana yang dapat dipercaya. Dengan demikian, Kisah dapat dianggap sebagai sumber teologi jemaat perdana yang dapat dipercaya.
Tanpa mengabaikan pertimbangan historis, penelitian mutakhir berusaha memahami teologi Kisah berdasar tempatnya dalam kanon.[11] Menurut Parsons, berdasar posisi kanoniknya, gambaran Kisah mengenai kehidupan jemaat perdana dapat diterima sebagai sejarah yang memadai.[12] Apa pun manfaat pendekatan ini bagi penelitian historis, tidak dapat disangkal bahwa bagaimanapun karya penulis Kisah ini merupakan karya teologis, sebagaimana dikatakan J. C. Beker, “Lukas adalah seorang teolog besar.”[13] Memang, penulis Kisah tidak menyatakan bahwa ia menulis suatu karya teologis, namun tulisannya merupakan informasi teologis dan secara signifikan memberi andil terhadap pemahaman kita atas teologi PB.[14]

b. Siapakah penulisnya dan kapan waktu penulisannya?

Dengan mempertimbangkan alamat yang menjadi tujuannya dan kesesuaian dengan Injil Lukas, baik dari sisi linguistik maupun dari pemberitaan teologisnya, diperkirakan penulis Kisah adalah orang yang sama dengan penulis Injil Lukas. Sekalipun kedua kitab itu sering dianggap berasal dari tangan Lukas, namun penulis yang asli tidak dapat dipastikan. Orang pertama yang menyatakan bahwa Lukas adalah penulisnya adalah Irenaeus dari Lyon (+180). Kanon Muratori (200) juga menyebut ‘dokter’ Lukas sebagai penulisnya. Marcion (+140) menyusun Injilnya dengan menghilangkan dan memodifikasi Injil Lukas, namun tidak menyebutkan penulisnya. Dengan membandingkan teologi kedua kitab itu dengan teologi Paulus, kemungkinan penulisnya adalah kawan sekerja Paulus. Keberatannya, unsur-unsur sentral teologi Paulus, kecuali tentang pembenaran (Kis. 13:38), tidak terdapat dalam Kisah. Kita perlu pula mempertimbangkan fakta bahwa penulis Kisah agaknya tidak mengetahui dengan benar detail-detail penting pekerjaan misioner Paulus. Misalnya, Kisah menyebutkan bahwa Paulus mengadakan perjalanan ke Yerusalem sebanyak lima kali, sedangkan menurut surat-surat Paulus agaknya Paulus hanya melakukannya tiga kali. Jadi, yang dapat disimpulkan adalah bahwa penulis Kisah yang asli tetap tidak dikenal, namun selanjutnya disebut ‘Lukas.’ Kemungkinan besar ia adalah seorang Kristen bukan Yahudi yang hidup berhubungan dengan synagoge diaspora, yang dengan sadar mengintegrasikan tradisi orang-orang Kristen Yahudi dalam karyanya. Tujuannya adalah untuk meyakinkan pembacanya mengenai kebenaran tradisi pengajaran Kristen.[15] 
Dalam kedua kitab ini tercermin masalah-masalah yang dihadapi oleh generasi Kristen ketiga, seperti: makin pudarnya harapan bahwa parousia akan segera terjadi, adanya pertentangan antara orang kaya dan miskin dalam jemaat, serta dibicarakannya hubungan antara gereja dan negara. Karena itu, diperkirakan Kisah ditulis sekitar akhir abad pertama, antara tahun 90-100. Diduga, kitab ini ditulis di Roma dengan alasan: (1) penyebaran Injil sebagaimana janji Yesus menemui sasarannya di Roma (1:8 bdk. 19:21); (2) ada kecocokan antara kedua kitab ini (Injil Lukas dan Kisah) dengan 1 Clemens 5 dan 42 dalam menggambarkan diri Paulus, serta kesesuaian pemahaman mengenai sopan-santun jemaat. Diperkirakan pembaca yang dituju pun sama, yaitu komunitas Kristen bukan Yahudi; dengan alasan: (1) penulis menekankan misi bagi orang-orang bukan Yahudi; (2) posisi Israel dalam sejarah keselamatan digeser; (3) ungkapan-ungkapan Semitis berusaha dihindari; misalnya, kata rabbuni (guru) diganti dengan kurios (Tuhan), kata Abba ho Patēr (Bapa) diganti dengan Patēr (Bapa) saja.[16]

2. Gagasan teologisnya          
a. Tentang Roh Kudus
Aktivitas Roh yang digambarkan dalam Kisah menjadikan misi Yesus universal.[17] Apa yang dilakukan oleh para rasul (dan juga oleh jemaat) dipahami sebagai karya Roh. Pada awal tulisannya, penulis Kisah menyiratkan bahwa bukunya adalah hasil pengajaran Roh dari Tuhan yang telah bangkit itu kepada para rasul (Kis. 1:2). Para rasul diingatkan agar menantikan kedatangan Roh Kudus. Jadi, turunnya Roh Kudus ke atas para rasul pada hari Pentakosta bukannya tidak dipersiapkan.[18] Menurut F.D. Brunner, Roh Kudus tidak dapat dipisahkan dengan Yesus, karena, “Roh Kudus adalah Yesus yang berkarya melanjutkan pelayanan-Nya.”[19]
Adalah janji Kristus sendiri bahwa Roh akan memimpin perluasan pelayanan gereja (1:8). Karena itu, para rasul segera kembali dari Bukit Zaitun ke Yerusalem untuk menantikan penggenapan janji tersebut (1:12-14). Pemilihan Matias sebagai pengganti Yudas Iskariot menyiratkan bahwa pelayanan rasuli mendapat tekanan (1:15-26). Penulis Kisah tidak memberi tempat bagi spekulasi apokalyptis mengenai waktu dan masa. Pandangan para rasul tidak lagi terfokus pada parousia, melainkan pada tempat dan cara yang ditetapkan Roh bagi mereka untuk menjadi saksi-saksi Kristus. Dengan pimpinan dan kuasa Roh, Injil akan didengar di Yerusalem, di Yudea dan Samaria, bahkan sampai ke ujung bumi.
Penyataan Roh yang istimewa pada hari Pentakosta adalah peristiwa yang mengawali zaman gereja. Seperti pemberian hukum Taurat di Gunung Sinai menandai kelahiran umat Israel sebagai sebuah bangsa, demikian halnya peristiwa Pentakosta secara teologis merupakan kelahiran gereja. Pentakosta merupakan buah kenaikan Yesus ke surga (bdk. Yoh. 7:39; 16:7). Peristiwa tersebut disertai dengan fenomena fisis yang tidak lazim: suara seperti angin dan lidah-lidah api (2:2-3). Tanda-tanda ajaib ini harus dianggap sebagai pengalaman tunggal yang unik, karena tidak terulang secara reguler di tempat lain. Meskipun Roh akan senantiasa dicurahkan, pencurahan tersebut tidak lagi menjadi tanda peresmian suatu era baru. Adanya keterkaitan antara api dengan Roh dengan jelas menghubungkan Pentakosta dengan proklamasi Yohanes Pembaptis pada waktu pembaptisan Yesus (Mat. 3:11). Perlu diketahui bahwa dalam komunitas Qumran, turunnya Roh juga dihubungkan dengan peresmian zaman baru.[20]
Lukas mengindikasikan bahwa semua orang beriman dipenuhi oleh Roh (Kis. 2:4). Ia menekankan hakikat karya Roh yang berlaku untuk seluruh persekutuan dalam kebersamaan. Persekutuan orang-orang beriman, semua dimeteraikan dengan Roh, dan tidak ada di antara mereka yang tidak dipenuhi oleh-Nya. Pemenuhan dengan Roh memampukan mereka berbicara dalam bahasa-bahasa lain. Hal yang mengherankan banyak orang itu bukanlah fenomenon, bahwa tiba-tiba orang dapat berbicara dengan bahasa-bahasa lain yang tidak dapat dipahami, melainkan bahwa orang-orang Galilea dapat mendengar bahasa mereka sendiri (Kis. 2:6). Tidak jelas, apakah mujizat itu berupa kemampuan berbicara dalam berbagai bahasa atau kemampuan mendengar, atau kedua-duanya. Namun yang jelas, Roh sedang bertindak aktif, dan itulah yang menjadi penyebabnya.
Bahasa lidah di sini sering diidentifikasi sebagai ucapan-ucapan ekstatis, sama seperti yang terjadi di Korintus (bdk. 1Kor. 12-14). Namun kata-kata yang diucapkan dalam peristiwa Pentakosta segera dikenali oleh mereka yang mendengarnya sebagai bahasa saat itu; sementara di Korintus, untuk memahaminya diperlukan penerjemah. Karena itu, bahasa lidah dalam Kisah 2:4 lebih baik dipahami sebagai bahasa-bahasa yang dapat dimengerti, yang merupakan salah satu dari tiga tanda kehadiran Allah (lidah-lidah api dan asap, guntur, serta suara dari langit), seperti ketika Allah memberikan sepuluh penyuruhan kepada Musa di Gunung Sinai.[21]
Menurut Donald Guthrie, menganggap manifestasi bahasa lidah (glosolalia) dalam peristiwa Pentakosta sebagai sesuatu yang istimewa, sebagai suatu kekecualian, bukannya tidak masuk akal. Dalam Kisah, bahasa lidah hanya disebut di dua tempat lain, yang keduanya berhubungan dengan pencurahan Roh Kudus (Kis. 10:46; 19:6).[22] Kemungkinan, yang dimaksud bahasa lidah dalam ayat-ayat itu bukanlah bahasa yang dapat dimengerti, melainkan bahasa yang lebih mirip dengan pengalaman di Korintus daripada dengan peristiwa Pentakosta.[23] Namun perlu diingat, ketiga pengalaman yang digambarkan dalam Kisah, semua merupakan konfirmasi tentang Roh yang aktif bertindak, sedangkan dalam Korintus, karunia bahasa lidah diberikan sebagai edifikasi (karunia untuk membangun iman). Aktivitas roh dalam peristiwa Pentakosta sering ditafsirkan sebagai penggenapan nubuat Yoel, yang merujuk pada akhir zaman dan kedatangan hari Tuhan.[24] Pencurahan Roh Kudus itu diberikan kepada para rasul sebagai bukti bahwa Yesus sudah ditinggikan.
Roh dikaruniakan, baik kepada individu-individu, maupun kepada jemaat, untuk menumbuhkan kualitas hidup yang berada di luar kemampuan mereka sendiri. Di samping itu, Roh juga dikaruniakan untuk mempersatukan orang-orang beriman ke dalam satu persekutuan yang tidak dapat disamakan dengan kelompok-kelompok lain mana pun. Roh itu dikaruniakan agar orang-orang beriman dapat saling menghibur, sekalipun penghibur yang sejati adalah Roh itu sendiri (Yoh. 16:13), dan dapat memberitakan Kabar Baik (Kis. 1:2, 8),[25] sebagaimana Yesus juga diperlengkapi dengan Roh untuk melakukan pelayanan-Nya (lht. Luk. 1, 2, 4).
Tema sentral dalam peristiwa Pentakosta sesungguhnya bukanlah Roh, melainkan peristiwa Yesus dan peristiwa salib, yang merupakan peristiwa penyelamatan. Pencurahan Roh bukanlah demi pencurahan Roh itu sendiri, melainkan berkenaan dengan penggenapan janji keselamatan secara universal, bagi semua bangsa.[26] Jadi, pencurahan Roh itu berhubungan dengan pengutusan untuk memberitakan Kabar Baik (bersifat misiologis) dan untuk memuliakan Allah (bersifat doksologis).
Menurut laporan Kisah, setelah peristiwa Pentakosta, Roh bekerja aktif dalam banyak aspek kehidupan persekutuan Kristen dan gereja. Roh aktif bekerja dalam pemberitaan, nubuat, kesaksian, kesukacitaan dan dalam pengambilan keputusan. Namun tekanan utama Kisah adalah peran Roh dalam pemberitaan Kabar Baik. Gereja hanya dapat hidup sebagai gereja yang benar jika ia melakukan pemberitaan Injil dan berjalan mengikuti petunjuk Roh. Dalam memberitakan firman Allah, Roh menggunakan bermacam-macam cara dan sarana (mis. Kis. 2:14, 36; 3:12-26; 5:32; 7:2-53; 8:4; 13:16-41; 18:5; 19:10). Roh juga bekerja melalui pikiran (10:9), para nabi (11:28), pelayanan ibadah (13:2), majelis jemaat (15:28) dan pencegahan secara batiniah (16:6-7). Misi rasuli hanya dapat berlangsung karena kuasa Roh. Namun, karya Roh tetap misterius bagi kita, karena semua hanya bersumber pada kedaulatan Allah sendiri.

b. Kristus dan keselamatan

Apakah pesan rasuli itu? Menurut C.H. Dodd, inti pesan rasuli adalah bahwa zaman penggenapan telah menyingsing. Hal tersebut terjadi melalui pelayan, kematian dan kebangkitan Yesus. Setelah bangkit, Yesus ditinggikan oleh Allah sebagai kepala mesianis Israel Allah. Roh Kudus dalam gereja merupakan tanda kehadiran kuasa dan kemuliaan Allah. Zaman mesianis itu akan mencapai puncaknya dalam kedatangan Kristus yang kedua. Para rasul menyerukan agar manusia bertobat, percaya kepada Allah yang telah berkarya dalam diri Yesus, menerima tawaran pengampunan Allah, menerima Roh Kudus dan dibaptiskan sebagai anggota persekutuan orang-orang percaya.[27]
Ketika Injil diberitakan, maka tumbuhlah gereja. Gereja bukan semata-mata suatu sekte Yudaisme, melainkan persekutuan orang percaya yang mengimani Allah, yang telah berkarya keselamatan dalam diri Yesus. Interpretasi Petrus atas nubuat Yoel (Kis. 2), pembelaan Stefanus di depan mahkamah agama (Kis. 7), pengalaman Petrus dengan Kornelius di Yope (Kis. 10) dan keributan Paulus di Tesalonika (Kis. 17), semua itu menunjukkan bahwa kekristenan bukanlah sekte Yahudi, melainkan sebuah gerakan mesianis yang bersifat universal.[28] Kekristenan juga bukan salah satu bentuk agama misteri pada masa itu.[29] Perjumpaan dengan Simon si tukang sihir (8:9-13) dan penolakan para rasul atas penyembahan dirinya oleh orang-orang Listra (14:11-15) meruntuhkan tuduhan bahwa kekris-tenan adalah salah satu bentuk tahyul. Berita keselamatan Kristen semata-mata disandarkan pada Yesus Kristus historis, yang hidup di Palestina, yang disalibkan dan bangkit dari antara orang mati.
Seluruh cerita Lukas dibangun dengan pusat kebangkitan Yesus. Bagi Lukas, di luar keyakinan kepada kebangkitan Yesus bukanlah iman Kristen yang sesungguhnya (bdk. 1Kor. 15:1-20). Dalam hal ini, para rasul adalah saksi-saksi kebangkitan itu. Khotbah-khotbah mereka merupakan pemberitaan yang berpusat pada kebangkitan Kristus sebagai pembalikan total atas kebenaran manusia yang dilakukan oleh Allah sendiri (bdk. Kis. 2:22-24, 36; 3:14-15; 5:30-31; 10:39-42). Kebangkitan Kristus sekaligus menjadi panjar bagi janji kebangkitan untuk orang-orang beriman dan dasar pengharapan mereka (bdk. 4:2; 13:32-33; 17:18,29-32; 23:6; 24:21; 26:23).[30]
Fakta kebangkitan itulah yang memulihkan kehancuran psikhologis para murid Yesus. Mereka percaya bahwa Yesus tetap hidup dan bahwa pesan-pesan-Nya harus diberitakan untuk memperbarui dunia. Sebagaimana dikatakan Guthrie, perubahan yang terjadi atas para murid Yesus sehingga tidak ada lagi ketakutan untuk memberitakan Injil merupakan bukti bahwa Yesus benar-benar bangkit.[31] Mengenai kebangkitan, Wolfhart Pannenberg mengatakan, sejauh historiografi tidak diawali dengan gagasan sempit bahwa orang mati tidak mungkin bangkit, tidak ada alasan untuk tidak membicarakan kebangkitan Yesus sebagai penjelasan atas kubur yang kosong dan penampakan Yesus yang dialami oleh para murid.[32]
Ada yang berpendapat bahwa kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga merupakan inaugurasi ketuhanan Yesus atas gereja dan atas dunia ini. Penggunaan gelar ‘Tuhan’ (kurios) untuk Yesus dalam Kisah ditafsirkan sebagai petunjuk tentang keilahian Yesus. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta juga menunjuk pada Yesus yang telah ditinggikan itu. Ketika Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah ‘Tuhan dari semua orang’ (10:36), ia menunjukkan ketuhanan Yesus atas orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir.[33] Namun sesungguhnya, peninggian Yesus oleh Allah ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi-Nya sebagai penyata Allah dan pelaksana kehendak-Nya. Karena ketaatan Yesus yang demikian mutlak kepada Allah, hingga bersedia mati di kayu salib, maka Ia ditinggikan oleh Allah sedemikian rupa dan diberi gelar kurios.
Kisah menyebut peristiwa Yesus, kematian dan kebangkitan-Nya, sebagai bagian dari maksud dan rencana Allah (2:23). Namun pada pihak lain, dari laporannya mengenai khotbah Petrus, Lukas juga menandaskan bahwa Yesus dibunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka (2:22-23). Hal ini sering menimbulkan pertanyaan, apakah dalam soteriologi Lukas keselamatan melalui kematian Yesus itu ditawarkan oleh Allah, atau terjadi dengan tidak sengaja? Jika khotbah Petrus kita perhatikan dengan seksama, yang hendak ditekankan Lukas adalah bahwa akibat kebenaran Allah yang dinyatakan-Nya, Kristus harus menanggung risiko hingga mati di kayu salib. Namun karena ketaatan-Nya kepada kehendak Allah yang demikian mutlak, Ia telah dibangkitkan oleh Allah (2:24, 3:15, 26; 4:10) dan ditinggikan sebagai Tuhan dan Kristus (2:36; bdk. 3:13). Kebangkitan Mesias menunjukkan bahwa Allah tidak meninggalkan-Nya dalam dunia orang mati (2:31). Dengan fakta ini, Petrus mengimbau, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus” (2:38). Pengampunan dosa atau keselamatan itu tidak terjadi secara otomatis, dengan cara yang mudah dan murah, melainkan harus melalui pertobatan. Iman tidak mungkin tanpa pertobatan.
Lebih lanjut, Kisah menyatakan bahwa peristiwa Yesus adalah penggenapan firman Allah dalam Kitab Suci (3:17-21; 10:42). Berkenaan dengan karya Yesus, Lukas menggambarkan Dia sebagai Hamba Allah (3:13, 26; 4:27, 30) dan Juruselamat yang mendatangkan pengampunan dosa (2:38; 3:19; 5:31; 10:43; 13:23, 38). Rupanya, gelar Hamba Allah dalam Kisah dilatarbelakangi oleh gagasan tentang Hamba Allah yang menderita dalam kitab Yesaya.[34] Namun, batu yang dibuang oleh tukang bangunan itu, kini telah menjadi batu penjuru (4:11). Makna Juruselamat dihubungkan secara langsung dengan pengampunan dosa, yang hanya dapat diperoleh manusia dalam diri Yesus, karena tidak ada keselamatan dalam siapa pun selain di dalam Dia (4:12).[35]
Masalah pengampunan dosa sangat ditekankan, baik dalam Injil Lukas, maupun dalam Kisah. Pengampunan dosa dan pengalaman akan kehadiran Roh Kudus dijanjikan bagi mereka yang bertobat dan memberi diri untuk dibaptis (3:39, 26; 5:31). Lukas juga menghubung-kan pengampunan dosa dengan iman (10:43; 13:38, 39; 15:9).[36] Dalam cerita pembelaan Paulus di depan Agripa, dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengampunan dosa, iman dan pertobatan tidak dapat dipisah-pisahkan (Kis. 26). Bagi Lukas, iman dan pertobatan adalah sinonim. Beriman berarti mempercayakan diri kepada Yesus Kristus dan masuk ke dalam kehidupan baru (16:31). Bertobat juga berarti berpaling ke arah hidup yang baru (5:31). Berdasar iman dan pertobatan itulah orang dibaptis ke dalam komunitas baru, sehingga mengalami realitas pengampunan dosa.[37] Bagi Lukas, gereja adalah persekutuan yang di dalamnya kehadiran Allah yang memperbarui itu dialami.[38]

c. Gereja dan eskhatologi

Seperti telah dibicarakan, Pentakosta dapat dianggap sebagai awal lahirnya gereja.[39] Turunnya Roh telah menyebabkan tumbuhnya anggota persekutuan dengan cara yang mengherankan (2:41). Bentuk dan misi gereja terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Pada mulanya, kekristenan tetap mempertahankan akar keyahudiannya dan memeli-hara hubungannya dengan Yudaisme. Mereka tetap beribadah di Bait Allah (3:1) dan memandang dirinya sebagai Israel baru. [40]
Persekutuan jemaat perdana merupakan contoh persekutuan autentik dan spontan (2:42-47; 4:32). Unsur pokok persekutuan ini adalah hakikat kesukarelaannya, jadi tidak dapat disamakan dengan Komunisme. Di dalamnya dibentuk dana bersama untuk mencukupkan kebutuhan bersama. Pola perhatian suka-rela ini berkembang bersamaan dengan berkembangnya jemaat (bdk. Kis. 6:1; 11:21; 1Kor. 16:1; 2Kor. 8-9).[41] Kehidupan jemaat perdana yang digambarkan dalam Kisah 2:42-47 dicirikan oleh penyembahan, persekutuan, pemberitaan dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan fisik serta sosial. Pertemuan reguler mereka lakukan di Bait Allah dan tampaknya berpusat pada perjamuan (memecahkan roti) dan doa bersama. Dalam cerita Lukas, pentingnya doa, sehubungan dengan pemberitaan Injil, dikembangkan dengan baik (bdk. 1:14; 2:42; 3:1; 4:24; 12:12; dan 13:3).
Persekutuan yang dikuatkan oleh Roh dan menggantungkan hidupnya pada Allah melalui doa ini menyadari tugas utamanya, yaitu melakukan kesaksian dan pemberitaan (1:18). Hal ini diwujudkan dalam cara hidup mereka, pemberitaan, mujizat-mujizat, serta khotbah-khotbah para rasul dan para pemimpin mereka. Orang-orang yang menerima pemberitaan mereka kemudian dimasukkan ke dalam persekutuan melalui baptisan dalam nama Yesus Kristus (2:38-41; 8:12, 36; 16:15; 19:5; 22:16). Lukas ingin menunjukkan perbedaan antara baptisan Kristen dengan baptisan yang dilakukan oleh Yohanes; karena itu, makna dan pengalaman kristologis dalam baptisan ditekankan.[42]
Dalam Kisah ada beberapa contoh mengenai baptisan rumah-tangga (11:14; 16:15, 31; 18:8). Sulit dipahami bahwa ayat-ayat ini bermaksud menyatakan bahwa iman kepala rumah-tangga sudah cukup bagi anak-anaknya, keluarganya atau hamba-hambanya.[43] Rupanya yang dimaksud dengan anggota rumah-tangga hanyalah mereka yang sudah dewasa dan telah mengakui imannya kepada Kristus.[44] Dalam hal ini, baptisan berfungsi sebagai ritus inisiasi untuk memasukkan pengikut-pengikut Kristus ke dalam persekutuan umat Tuhan.
Jemaat segera mengadopsi upacara perjamuan Tuhan. Hal ini berguna untuk memperkukuh ikatan orang-orang beriman, karena, melalui perjamuan Tuhan, jemaat disadarkan akan kesatuan mereka secara esensial dalam Kristus. Memang, hanya sedikit berita mengenai pelaksanaan ibadah ini, namun jelas bahwa perjamuan tersebut diadakan secara reguler. Pada mulanya, jemaat mengadakan perjamuan setiap hari (2:46), namun kemudian dilaksanakan secara mingguan (20:7). Yang jelas, perjamuan itu dilaksanakan sebagai bagian ibadah jemaat.[45]
Pada mulanya, pemimpin jemaat hanyalah para rasul, karena organisasinya relatif kecil. Mereka dipilih oleh Yesus sendiri. Matias dipilih untuk menggantikan Yudas. Namun di samping keduabelas rasul itu, Paulus dan Barnabas juga disebut rasul Yesus (14:4, 14). Setelah jemaat berkembang, kepemimpinan jemaat pun makin berkembang. Di samping jabatan rasul (apostolos) ada pula penatua (presbuteros), nabi (prophētēs), penilik jemaat (episkopos), pemberita Injil (euanggelistos) dan diaken (diakonos). Penatua merupakan jabatan yang dikembangkan dari jabatan di synagoge. Tidak ada penjelasan mengenai tugas-tugas penatua, namun agaknya mereka melaksanakan tugas-tugas administratif. Sekembali dari perjalanan pekabaran Injilnya yang pertama, Paulus dan Barnabas memilih penatua untuk jemaat yang baru didirikannya (14:23). Dalam pidato perpisahannya dengan para penatua dan penilik jemaat di Efesus, Paulus menasihatkan mereka untuk menjaga dan menggembalakan seluruh ‘kawanan’ (Kis. 20:17, 28; bdk. Tit. 1:5-7; 1Ptr. 5:1-5). 
Di samping rasul-rasul dan penatua-penatua, para nabi juga menjalankan peran kepemimpinan, yaitu dengan menyampaikan firman-firman nubuat untuk membangun iman jemaat. Kadang-kadang mereka menubuatkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Nabi-nabi ini tidak memegang peran dalam tugas-tugas administratif. Dalam Kisah, nama nabi Agabus disebut dua kali (11:28 dan 21:10) dan anak-anak perempuan Filipus juga dikaruniai kemampuan untuk bernubuat (21:9). Pemberita Injil mungkin merupakan kelas pemimpin tesendiri (8:4-8; 21:8).
Pemimpin formal dipilih ketika dalam jemaat timbul persoalan. Orang-orang Yahudi berbahasa Yunani yang kembali dari diaspora ke Palestina mulai mengeluh, sebab dalam pembagian makanan sehari-hari, agaknya janda-janda yang berbahasa Ibrani lebih diutamakan. Dengan tuduhan bahwa para pemimpin jemaat kurang sensitif, tugas para rasul bertambah luas. Guna memecahkan masalah ini dipilihlah tujuh orang untuk mengurusi para janda itu. Mungkin ini adalah akar jabatan diaken yang berkembang hampir tiga dekade kemudian (bdk. Flp. 1:1; 1Tim. 3:7). Sebagaimana para rasul memiliki wibawa rohani, yang disimbolkan dengan fungsi mereka untuk memberi makan umat (4:32-37), demikian halnya ketujuh orang tersebut memiliki wibawa rohani bagi misi Hellenis yang ditandai dengan tanggung jawab mereka untuk memberi makan para janda Hellenis.[46]
Dalam jemaat perdana, wanita memiliki peran penting. Rupanya mereka dilibatkan dalam pemilihan Matias (1:15-26). Mereka juga menerima kuasa dan karunia Roh pada hari Pentakosta (2:1-18). Di antara orang-orang beriman yang pertama, terdapat pula para wanita (5:14; 12:12; 16:14-15; 17:4, 34). Dalam Kisah 18, Priskila bersama Akwila, suaminya, mengajar Apolos. Kisah 21:8-9 melaporkan bahwa anak-anak perempuan Filipus beroleh karunia bernubuat.
Pada umumnya, jemaat-jemaat tidak dipersatukan oleh ikatan gerejawi atau oleh suatu autoritas formal, sekalipun kesatuan mereka sangat menonjol. Kata ‘jemaat’ lazimnya digunakan untuk menyebut persekutuan lokal, sedangkan ‘jemaat-jemaat’ (dalam bentuk jamak) menunjuk pada semua jemaat dalam suatu wilayah (15:41; 16:5). Namun, bentuk tunggalnya juga dapat digunakan untuk menyebut seluruh persekutuan orang beriman dalam suatu kota (5:11; 8:1) dan menunjuk pada gereja secara luas (9:31). Tetapi yang jelas, teologi Lukas mengajarkan bahwa persekutuan orang-orang beriman itu adalah ‘jemaat Allah’ (20:28). Kisah menunjukkan bahwa gereja secara bertahap terpisah dengan synagoge dan menjadi suatu gerakan mandiri.[47] Kelahiran jemaat perdana sulit dibedakan dengan lingkungan Yahudinya, sebagaimana terlukis dalam bagian akhir cerita Lukas.[48]
Lukas juga memiliki perspektif mengenai penggenapan zaman baru. Tema parousia sudah diperkenalkan pada awal Kisah (1:6-11). Hal yang penting diperhatikan adalah bahwa Kristus akan datang kembali dengan cara yang sama seperti ketika Ia naik ke surga. Penjelasan ini menyingkirkan anggapan bahwa kedatangan Kristus yang kedua digenapi pada hari Pentakosta, atau pada saat kematian orang percaya.[49] Kata-kata yang digunakan Lukas benar-benar mencerminkan pemahaman futuristis atas parousia.[50] Janji tentang parousia ini jelas tidak sesuai dengan gagasan ‘eskhatologi yang sudah direalisasi.’
Khotbah Petrus pada hari Pentakosta tidak hanya merujuk pada turunnya Roh Kudus sebagaimana dinubuatkan oleh Yoel, namun juga merujuk pada kedatangan Tuhan yang kedua dengan tanda-tanda yang mendahuluinya. Hari Tuhan itu benar-benar terjadi, sekalipun baru akan terjadi nanti di masa depan. Sekarang jemaat sudah berada di zaman akhir (2:17), meskipun mereka masih menantikan saat ketika Allah “mengutus Yesus … karena Ia masih tinggal di surga sampai waktu pemulihan segala sesuatu” (3:20-21). Penopang teologi Kisah adalah gagasan bahwa eskhaton itu sudah diresmikan, sekalipun masih menunggu penggenapannya di masa depan, ketika Yesus yang telah dibangkitkan oleh Allah dari antara orang mati, akan menghakimi seluruh dunia dengan adil (17:31).
Dalam Kisah, berita Injil, keesaan jemaat, panggilan untuk bertobat dan urgensi misi Kristen dipaparkan dalam terang kedatangan Kristus yang kedua, serta kepastian datangnya Hari Penghakiman. Teologi Kisah difokuskan pada karya Roh Kudus dalam persekutuan, yang diteguhkan dengan kematian dan kebangkitan Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan gereja. Persekutuan baru yang dilahirkan di tengah Yudaisme itu, dengan pimpinan Roh Kudus, kemudian melaksanakan perintah misioner untuk memberita-kan Injil di seluruh dunia Laut  Tengah.

d. Universalitas keselamatan dan kekristenan

Salah satu tema utama Kisah Rasul adalah universalitas keselamatan dan kekristenan, bahwa keselamatan adalah untuk semua orang dan ajaran Yesus adalah untuk semua manusia, baik Yahudi maupun bukan Yahudi. Dalam hal ini, kekristenan tidak lagi dilihat sebagai suatu sekte Yudaisme, melainkan sebagai keyakinan mandiri. Memang, pada awalnya sempat terjadi ketegangan antara kekristenan Yahudi dengan kekristenan Paulus. Beberapa orang Kristen Yahudi yang datang dari Yudea ke Antiokhia mengajarkan kepada jemaat di sana, “Jikalau kamu tidak disunat menurut adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan” (15:1). Rupanya mereka adalah para pengikut rasul-rasul Yerusalem di bawah pimpinan Yakobus. Sikap serupa juga ditampilkan oleh orang-orang Kristen Yahudi, terutama dari golongan Farisi yang telah menjadi percaya. Mereka berpegang teguh pada pendapat bahwa orang-orang bukan Yahudi yang menjadi Kristen harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa (15:5). Tetapi, Paulus dan Barnabas dengan keras menentang pendapat mereka (15:2). Menurut Paulus dan Barnabas, orang-orang Kristen bukan Yahudi tidak wajib disunat dan memenuhi hukum Musa.
Untuk menyelesaikan pertentangan tajam yang terjadi dalam gereja perdana ini maka diadakanlah sidang di Yerusalem. Paulus dan Barnabas dihadapkan kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk menjelaskan pendapatnya. Sesudah beberapa waktu lamanya berlangsung tukar pikiran, maka Petrus menyampaikan keputusan sidang, yang intinya adalah: kasih Allah diberikan kepada semua orang. Allah tidak membeda-bedakan antara orang Yahudi dan bukan Yahudi. Bahkan sama seperti kepada orang-orang Yahudi, Allah juga mengaruniakan Roh Kudus kepada orang-orang bukan Yahudi. Karena itu, tidak seharusnya orang-orang Kristen Yahudi membebankan kuk hukum Musa, yang oleh nenek-moyang mereka sendiri pun tidak sanggup ditanggung. Baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi diperkenankan memperoleh kasih karunia Kristus, sehingga diselamatkan. Pada prinsipnya, para rasul sepakat dengan ucapan Petrus; namun rasul Yakobus masih memberikan tambahan bahwa orang-orang Kristen bukan Yahudi di Antiokhia harus dinasihati agar menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan karena dipersembahkan kepada berhala, dari percabulan dan dari daging binatang yang diharamkan (15:19-20). Pemecahan Yakobus yang membebaskan orang-orang Kristen bukan Yahudi dari sebagian besar tuntutan hukum Musa ini bertujuan untuk mempermudah mereka bergabung dalam gerakan baru ini. Selanjutnya, sidang tersebut memutuskan untuk mengutus Yudas yang disebut Barsabas dan Silas agar menyertai Paulus dan Barnabas ke Antiokhia. Mereka ditugaskan untuk menyampaikan keputusan sidang di Yerusalem kepada jemaat di Antiokhia.
Hal yang penting kita catat, persidangan Yerusalem tersebut membuka wawasan, bahwa kasih Allah yang telah dinyatakan dalam Kristus Yesus itu bersifat universal, tidak eksklusif hanya bagi orang Yahudi saja. Lagi pula, karena karya penyelamatan Allah dalam Yesus yang membebaskan itu, orang beriman tidak lagi berada dalam kuk perhambaan terhadap hukum Musa. Maksudnya, keselamatan mereka tidak lagi ditentukan oleh kemampuan menaati hukum Musa. Namun, tidak berarti bahwa mereka boleh hidup sesuka hati dan menganut pandangan antinomistis-libertinistis, sebab, panggilan ke dalam keselamatan juga berarti panggilan untuk hidup kudus. Universalitas keselamatan ditegaskan dengan pernyataan Paulus dalam pasal terakhir Kisah Rasul, “Sebab itu kamu harus tahu, bahwa keselamatan yang dari pada Allah ini disampaikan kepada bangsa-bangsa lain dan mereka akan mendengarnya” (28:28).




[1] Hal ini dapat dilacak dalam W. W. Gasque, A History of the Criticism of the Acts of the Apostles (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1975) dan Werner Georg Kümmel, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problems (London: SCM, 1973); W.G. Kümmel, Introduction to the New Testament (London: SCM, 1975), hlm. 125-88.
[2] Heinrich Julius Holtzmann, Lehrbuch der neutestamentlichen Theologie (Tubingen: Mohr, 1911).
[3] Adolph Schlatter, Neutestamentliche Theologie (Stuttgart: Calwer, 1922-1923).
[4] Lht. James D.G. Dunn, Unity and Diversity in the New Testament (Philadelphia: Westminster, 1977), hlm. 341-67.
[5] Ernst Kasemann, Essays on New Testament Themes (London: SCM, 1960), hlm. 88-94.
[6] Holger Conzelmann, The Theology of St. Luke (London: Faber, 1960), hlm. 14-17.
[7] Oscar Cullmann, Salvation in History (London: SCM, 1967).
[8] William Mitchell Ramsay, berdasar studi geografis dan arkheologis, berpendapat bahwa sejarah Lukas luar biasa akurat. Lht. W.M. Ramsay, The Bearing of Recent Discovery on theTrustworthiness of the New Testament (London: Hodder & Stoughton, 1915).
[9] Adrian Nicholas Sherwin-White, seorang sarjana klasik, berkesimpulan bahwa konfirmasi historis Kisah sangat berlimpah. Lht. Sherwin-White, Roman Society and Roman Lawin the New Testament (London: Oxford, 1963), hlm. 189-200.
[10] I. Howard Marshall, Luke: Historian and Theologian (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1970).
[11] Lht. Mikeal Parsons, "Canonical Criticism," dalam David Alan Black dan David S. Dockery (eds.), New Testament Criticism and Interpretation (Grand Rapids: Zondervan, 1991). Hermeneutika kanonik tidak menolak masalah historisitas Kisah, tetapi menempatkan persoalan ini dalam hubungannya dengan masalah lain; lihat juga Parsons, “The Sense of a Beginning in Acts 1-5,” dalam RevExp 87 (Summer, 1990), hlm. 403-422.
[12] Sebagaimana dikatakan G.E. Ladd, hal ini tidak menuntut kita untuk percaya bahwa khotbah-khotbah yang dilaporkan Lukas adalah berita harfiah; karena khotbah-khotbah itu terlalu pendek. Kita juga tidak berkeberatan bahwa Lukas adalah penyusun khotbah-khotbah tersebut dalam bentuknya yang sekarang ini. Namun, kita dapat menerima kesimpulan bahwa khotbah-khotbah singkat itu merupakan ringkasan akurat dari khotbah-khotbah para rasul yang paling awal. Jelas bahwa Lukas bukanlah seorang sejarawan kritis dalam arti modern. Lukas memilih sumber-sumber yang tersedia, baik lisan maupun tertulis, yang dianggap sebagai peristiwa-peristiwa penting dalam merunut perkembangan jemaat dari sekelompok kecil orang-orang Yahudi di Yerusalem hingga menjadi persekutuan yang terdiri dari orang-orang non-Yahudi di ibukota kekaisaran Romawi. Lht. George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1974), hlm. 314; bdk. Donald Guthrie, New Testament Theology (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1981), hlm. 42-48; lihat juga Douglas Dockery, "Acts 6-12: The Advancement of the Christian Mission Beyond Jerusalem," RevExp 87 (Summer, 1990), hlm. 423-38; John Polhill, "Acts 6-12: The Hellenist Breakthrough," RevExp 71 (1974), hlm. 475-86.
[13] J. C. Beker, Paul the Apostle (Philadelphia: Fortress, 1980), hlm. 162.
[14] Morris, New Testament Theology, hlm. 144-45.
[15] Schnelle, The History and Theology of the NT Writings, hlm. 240-243.
[16] Schnelle, The History and Theology of the NT Writings, hlm. 243, 259-260.
[17] Lht. Michael Green, I Believe in the Holy Spirit (Grand Rapids: Eerdmans, 1975).
[18] I. Howard Marshall, "The Significance of Pentecost" SJT 30 (1977), hlm. 347-69.
[19] Frederick Dale Bruner, A Theology of the Holy Spirit (Grand Rapids: Eerdmans, 1970), hlm. 156-57.
[20] Frederick Fyvie Bruce, “The Holy Spirit in the Acts of the Apostles,” Int 27 (1973), hlm. 172-73. Jika struktur Kisah dibandingkan dengan struktur Injil Lukas, tampak bahwa kisah kelahiran Yesus (Luk. 1:1-2:40) sejajar dengan kisah kelahiran gereja (Kis. 1:1-2:47). Lht. Richard N. Longenecker, “The Acts of the Apostles,” dalam Frank Ely Gaebelin (ed.), Expositor's Bible Commentary, Vol. 9 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1981), hlm. 233-34.
[21] Longenecker, “Acts,” hlm. 271. Pendapat yang berbeda dapat ditemukan dalam Robert John Banks dan Geoffrey Narramore Moon, “Speaking in Tongues: A Survey of the NT Evidence,” Churchman 80 (1966), hlm. 278-94. Mereka menafsirkan glosolalia sebagai kemampuan untuk berbicara dalam bahasa roh, yang mungkin merupakan bahasa malaikat.
[22] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 538-39.
[23]Pembedaan yang cukup menolong dijelaskan oleh Anthony Andrew Hoekema, Holy Spirit Baptism (Grand Rapids: Eerdmans, 1972), hlm. 48-50.
[24]Richard N. Longenecker, Biblical Exegesis in the Apostolic Period (Grand Rapids: Eerdmans, 1975), hlm. 79; bdk. Gerd Luedemann, Early Christianity According to the Tradition in Acts (Philadelphia: Fortress, 1988).
[25] Bdk. John R.W. Stott, The Spirit, the Church, and the World (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1990), hlm. 29-45.
[26] Longenecker, "Acts," hlm. 12-14.
[27] Bandingkan Charles Harold Dodd, The Apostolic Preaching and Its Developments (London: Hodder & Stoughton, 1936).
[28] Leonhard Goppelt, Theology of the New Testament , Vol. 2 (trans. J. Alsup; Grand Rapids: Eerdmans, 1982),  hlm. 14-16.
[29] Charles Randolph Holladay, "Acts," dalam J.L. Mays (ed.), Harper's Bible Commentary (San Francis-co: Harper & Row, 1988), hlm. 1078-1079.
[30] Michael Tenney, The Reality of the Resurrection (Grand Rapids: Eerdmans, 1963), hlm. 49-55.
[31] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 377
[32] Wolfhart Pannenberg, Jesus, God and Man (London: SCM, 1968), hlm. 109.
[33] Ernst Haenchen, The Acts of the Apostles (trans. R. McL. Wilson; Philadelphia: Westminster, 1971), hlm.  352.
[34] Meskipun identifikasi ini tidak selalu diterima. Lht. Morna Dorothy Hooker, Jesus and the Servant (London: SPCK, 1959), hlm. 107-16.
[35] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 462, berpendapat bahwa Lukas memaksudkan tulisannya untuk melengkapi teologinya tentang karya Kristus. Namun, Frank Stagg dalam karyanya New Testament Theology (Nashville: Broadman, 1962), hlm. 146-48, membangun model teologi salib sebagai anugerah dan kebutuhan. Lihat juga Stagg, The Book of Acts (Nashville: Broadman, 1955), hlm. 28-34.
[36] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 462-463.
[37] Dalam kekristenan mula-mula, baptisan dipahami terutama sebagai tindakan inisiasi untuk masuk ke dalam komunitas orang percaya. Frasa "dibaptis untuk pengampunan dosa” (Kis. 2:38) tidak berarti bahwa dalam baptisan air itu terjadi peristiwa magis. Bdk. D. J. Williams, Acts (San Francisco: Harper & Row, 1985), hlm. 37-42. Untuk memahami makna baptisan dalam Kisah secara mendalam, lht. George Raymond Beasley-Murray, Baptism in the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1962), hlm. 93-12.5.
[38] Dalam bahasa Yuinani, panggilan untuk bertobat dan dibaptiskan (metanoēsate kai baptisthetō, Kis. 2:38) dalam bentuk tunggal, namun janji untuk menerima karunia Roh dalam bentuk plural (lēmpsesthe tēn dōrean tou hagiou pneumatos), karena Roh diberikan untuk persekutuan, yang di dalamnya individu-individu merupakan bagiannya. Bdk. Leon Morris, Spirit of the Living God (London: InterVarsity, 1960), hlm. 54-57.
[39] Marshall, “Significance of Pentecost,” hlm. 350-56; bdk. juga James D. G. Dunn, Jesus and the Spirit (Philadelphia: Westminster, 1975), hlm. 144-146.
[40] Hans Küng, The Church (London: Search, 1968), hlm. 115-16, memperingatkan agar kita berhati-hati untuk menyamakan istilah Israel dengan ekklesia dalam PB, meskipun ia sepakat bahwa ada hubungan di antara keduanya. Bdk. Juga dengan B. Reicke, “The Constitution of the Primitive Church in the Light of Jewish Documents,” dalam Krister Stendahl (ed.), Scrolls and the New Testament (London: SCM, 1958), hlm. 143-56.
[41] Lht. K. F. Nickle, The Collection (London: SCM, 1966).
[42]Lht. Lars Hartman, "Baptism into the Name of Jesus and Early Christology: Some Tentative Considerations," ST 28 (1974), hlm. 21-48.
[43] Ladd, A Theology of the New Testament, hlm. 350.
[44] Beasley-Murray, Baptism, hlm. 93-126; 312-20; lihat juga Peter K. Jewett, Infant Baptism and the Covenant of Grace (Grand Rapids: Eerdmans, 1978), hlm. 47-50.
[45] Bdk. Ralph P. Martin, Worship in the Early Church (Grand Rapids: Eerdmans, 1964).
[46] Luke Timothy Johnson, The Writings of the New Testament (Philadelphia: Fortress, 1986), hlm. 227; bdk. juga Martin Hengel, Acts and the History of Earliest Christianity (Philadelphia: Fortress, 1979).
[47] Ladd, A Theology of the New Testament, hlm. 353.
[48] Ladd, A Theology of the New Testament, hlm. 355-356.
[49] Frederick Fyvie Bruce, The Book of Acts (Grand Rapids: Eerdmans, Rev. 1988), hlm. 41.
[50] Guthrie, New Testament Theology, hlm. 802.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar