MENAFSIR HYMNE
DALAM PB
Bahan Kuliah IX
1. Prinsip-prinsip
menafsir hymne atau madah pujian
Dalam teks-teks PB, kadang-kadang kita menemukan bagian yang berbentuk
hymne atau madah pujian. Ciri-cirinya antara lain: bentuk sastranya, ritmenya,
kosa katanya yang tidak lugas, tata bahasa dan susunannya. Disadari sepenuhnya
bahwa membedakan hymne dengan narasi biasa tidak selalu mudah. Hymne tersebut
mungkin digubah langsung oleh penulis/penyusun kitab-kitab atau surat-surat
dalam PB, namun mungkin pula merupakan kutipan sebagian atau bahkan keseluruhan
hymne yang sudah ada sebelumnya.
Bahasa sebuah hymne tentu saja tidak sama dengan prosa, melainkan lebih
dekat dengan puisi; atau lebih tepatnya, merupakan kidung pujian. Makna
kata-katanya dapat lugas, namun dapat pula simbolik. Dalam hymne tentu terdapat
pribadi atau sesuatu yang menjadi subjek pujian. Tentu saja, di balik sebuah
hymne terkandung pula alasan mengapa pribadi atau subjek itu dipuji.
Lazimnya alasan pujian tersebut berkenaan dengan posisi, peran atau fungsi
subjek yang dipuji. Oleh sebab itu, lazimnya hymne bernada positif: berupa
pujian dan pengagungan. Tidak dapat diingkari bahwa dalam sebuah hymne
terkandung pula pemikiran teologis dan gagasan-gagasan religius penggubah atau
orang yang mengutipnya. Dalam rangka menangkap pesan atau pesan-pesan yang
hendak disampaikan, hal ini amat penting dicermati oleh penafsir.
Sama seperti langkah-langkah hermeneutis dalam memahami teks-teks PB pada
umumnya, dalam menafsirkan hymne pun kita perlu terlebih dulu merekonstruksi
teks ke dalam jalinan kontekstualnya secermat mungkin. Sehubungan dengan itu,
ada baiknya kita perhatikan pendapat Howard W. Norton dalam artikelnya “The New
Hermeneutic: A Sign of Apostasy?” (1992):
“Two important steps are involved in Bible study.
The first step is to discover what the original author actually intended to say
to the readers of his day. The process is called ‘exegesis’ and is fundamental
to the task of effective Bible study. A second step in good Bible study is to apply
the original message to our day. This step is called ‘hermeneutics’ a word
which comes from the Greek language and means ‘interpretation’ or
‘explanation’.”
Sekalipun
demikian, presuposisi (pre-understanding)
penafsir tidak mungkin pula diabaikan, sebagaimana ditandaskan oleh Bultmann:
“… it is not possible to have an exegesis of a
biblical text without presuppositions which guide comprehension.
“Pre-understanding” (Vorvërstandnis)
is founded upon the life-relationship (Lebensverhältnis)
of the interpreter to the reality of which the text speaks. To avoid
subjectivism, however, one must allow pre-understanding to be deepened and
enriched – even to be modified and corrected – by the reality of the text.”
Untuk
menghindarkan diri dari prasangka subjektif atas teks, ada beberapa hal yang
mungkin perlu kita perhatikan dan kita teliti dengan seksama:
-
Di
manakah tempat hymne itu dalam struktur keseluruhan surat/kitab yang ditafsirkan?
-
Dari manakah asal-usul hymne tersebut?
-
Apakah maksud semula hymne tersebut digubah?
-
Untuk siapakah hymne tersebut dimaksudkan?
-
Adakah masalah utama yang hendak dipecahkan melalui
hymne itu?
-
Bagaimanakah makna terminologi-terminologi atau
perkataan-perkataan yang digunakan?
-
Apakah inti pesan atau pesan-pesan yang hendak disampaikan
oleh penggubah atau orang yang mengambil-alihnya?
Pada 23 April 1993, Komisi Biblika Kepausan mempresentasikan sebuah paper
tentang hermeneutika gereja di depan Paus Yohanes Paulus II, dengan judul “The
Interpretation of the Bible in the Church.” Paper ini pernah dimuat dalam
majalah Origins, 6 Januari 1994.
Dalam paper tersebut ada tiga hal yang ditandaskan untuk menafsirkan teks
Alkitab, yaitu: pertama, menemukan makna literal (dalam hal ini, ‘literal’
dibedakan dengan ‘literalis’). Kedua, menemukan makna spiritual
(berusaha memahami pesan teks di bawah pimpinan Roh Kudus). Ketiga, menemukan
makna ‘yang lebih penuh,’ yaitu makna yang dimaksudkan
Allah, makna yang lebih dalam di balik teks, namun tidak diungkapkan secara
jelas oleh penyusun manusiawinya. Tentu saja di kalangan gereja Katolik,
prinsip penafsiran ini juga dikenakan dalam menafsirkan sebuah hymne.
2. Contoh
analisis hermeneutis atas hymne 1 Korintus 1:22-24, 30-31
a. Latar belakang teks
Ada indikasi
bahwa Paulus mengidentifikasi Yesus sebagai Hikmat. Di awal surat 1 Korintus
(1:18-31), Paulus menyinggung pemahamannya terhadap Yesus sebagai
Hikmat. Dapat dikatakan bahwa
ayat-ayat tersebut merupakan dasar utama bagi kristologi hikmatnya. Para ahli
memang berbeda-beda pendapat mengenai hikmat yang dimaksudkan Paulus dalam teks
tersebut. Ada yang berpendapat bahwa Paulus mengambil-alih pengertian hikmat lawan-lawannya (Ulrich Wilckens), sementara yang
lain berpendapat bahwa secara independen Paulus menyifatkan Yesus sebagai
Taurat Baru (Martin Hengel, W.D. Davies). Ada pula yang berpendapat bahwa
secara eksplisit Paulus mengidentifikasi Yesus sebagai personifikasi Hikmat (A.
Feulillet), sementara yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud hikmat di sini
adalah rencana penyelamatan Allah (James Dunn).[1] Sekalipun ada bermacam-macam pendapat,
yang jelas adalah bahwa: (a) Paulus mengidentifikasi Yesus sebagai Hikmat, (b) Paulus
secara bebas menggunakan hymne pra Kristen yang sudah ada untuk mengungkapkan
pemahamannya terhadap diri Yesus dan (c) Paulus menggunakan secara bebas bahasa
yang memiliki konteks luas dalam sastra hikmat untuk mengungkapkan pemahamannya
terhadap diri Yesus.
Sebagai seorang
Farisi yang terpelajar, Paulus sadar penuh akan latar belakang pemikiran
teologisnya dan konsep-konsep agamawi yang dimilikinya. Karena itu, wajar jika
ia mengidentifikasi Hikmat, yang aktif dalam penciptaan itu, dengan Yesus yang
disalibkan dan yang telah bangkit itu. Hal ini menjadi lebih jelas ketika dalam
surat ini Paulus memaparkan ‘peranan’ Yesus dalam penciptaan, “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu
Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup,
dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah
dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1 Kor. 8:6).
Jelas ada
paralelisme antara ayat tersebut dengan teks hikmat (Amsal 3:19). Secara
implisit, Paulus mengidentifikasi Yesus dengan Hikmat yang dipersonifikasi.
Namun menurut James Dunn, berdasar teks tersebut tidak dapat disimpulkan bahwa
hikmat itu ilahi, atau bahwa Yesus dipahami sebagai yang pra-eksisten, ada
bersama Allah sejak purbakala. Yang dapat dikatakan hanyalah bahwa Yesus
merupakan pengejawantahan Hikmat Ilahi, sebagai puncak pengejawantahan kuasa
kreatif Allah dan rencana penyelamatan-Nya atas manusia yang paling nyata. Dunn
berpendapat bahwa dalam teks ini terlihat perubahan pemikiran Paulus ke arah
trinitarian. Ia mengatakan bahwa di sinilah kita melihat asal-usul doktrin
inkarnasi.[2] Namun, menurut hemat saya, mengingat
latar belakang keyahudian Paulus yang keras, yang tetap setia pada iman
monoteismenya, sulit untuk mengatakan bahwa Paulus telah memperkenalkan
pemikiran trinitarian.
b. Analisis
eksegetis atas teks 1 Korintus 1:22-24, 30-31
22. Orang-orang
Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani menghendaki hikmat,
23. tetapi
kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu
sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan,
24. tetapi
untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi,
Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.
30. Tetapi
oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat
bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.
31. Karena
itu seperti ada tertulis: “Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di
dalam Tuhan.”
Pernyataan
‘Sebab perkataan tentang salib’ pada awal perikop 1 Korintus 1:18-31 tidak dapat dipahami secara tepat terlepas dari apa yang telah
terjadi sebelumnya. Baru saja Paulus berbicara bahwa ia diutus bukan untuk
membaptiskan, melainkan untuk memberitakan Injil. Itupun harus ia lakukan “bukan dengan hikmat perkataan,
supaya salib Kristus tidak menjadi sia-sia” (ayat 17). Dalam hal ini, hikmat
perkataan dipertentangkan dengan salib Kristus. Menarik untuk
diperhatikan, bahwa ‘hikmat perkataan’ dalam teks aslinya berbentuk jamak,
sedangkan ‘salib Kristus’ dalam bentuk tunggal. Bentuk jamak ‘hikmat perkataan’
mengindikasikan adanya keragaman, sedangkan bentuk tunggal ‘salib Kristus’
mengindikasikan ketunggalan (sebagai yang satu-satunya) dan kesempurnaannya.[3]
Pokok masalah
yang dibicarakan Paulus dalam perikop ini adalah hikmat (sofia). Dari
pasal 1 hingga pasal 3, kata sofia
digunakan tidak kurang dari 16 kali. Sekalipun kata Yunani sofia akrab dengan pemikiran Hellenistik, rupanya gagasan hikmat
yang dipaparkan Paulus bukanlah hikmat dalam pengertian Hellenis, melainkan
Hebrais, seperti dalam kitab-kitab hikmat PL.
Pada satu
pihak, Paulus berhadapan dengan hikmat perkataan, dan pada pihak lain,
ia berada dalam gagasan mengenai hikmat sebagai penyataan Allah.
Perbedaan keduanya didasarkan pada penyataan ilahi. Hikmat perkataan tidak
berasal dari penyataan ilahi, sedangkan hikmat Paulus adalah Hikmat Allah.
Keduanya sama sekali bertentangan. Dalam ayat 18, Paulus mengatakan bahwa
pemberitaan tentang salib merupakan kebodohan bagi orang-orang yang berpegang
pada hikmat manusia. Namun dalam ayat 19-20, ia menunjukkan kesia-siaan hikmat
manusia. Kutipan Yesaya 29:14 dalam ayat 19 dan pencerminan Yesaya 19:11-12;
33:18; 44:25; Ayub 12:17 dalam ayat 20, menunjukkan bahwa Paulus berpijak pada
PL.[4] Dalam ayat 21-24, Paulus menunjukkan
bahwa Allah justru akan menyelamatkan mereka yang menerima apa yang dianggap
kebodohan oleh dunia. Bahkan ia menandaskan bahwa, baik bagi orang Yahudi,
maupun orang bukan Yahudi, Kristus akan menjadi kekuatan mereka, karena Ia
Hikmat Allah.
Logos (pemberitaan) tentang salib adalah
totalitas kebenaran yang ada di dalam dan dinyatakan melalui salib Kristus. Logos itu kebenaran, bahkan bukan hanya
kebenaran, melainkan kebenaran yang dinyatakan atau kebenaran yang
dimanifestasikan. Dalam ho logos ho tou staurou (pemberitaan tentang
salib) kebenaran yang sesungguhnya diejawantahkan dan dilekatkan. Namun,
menurut Paulus, ‘bagi mereka yang akan binasa’, itu merupakan ‘kebodohan’. Yang
dianggap kebodohan bukanlah tindakan memberitakan, melainkan isi yang
diberitakan. Kata Yunani untuk ‘kebodohan’, mōria, lebih tepat
diterjemahkan dengan ketololan atau absurditas.[5] Bagi orang-orang itu, mempercayai
berita tentang Kristus yang disalibkan sebagai jalan keselamatan manusia,
merupakan suatu ketololan. Mengapa mereka akan binasa? Ya, karena mereka
menganggap salib sebagai suatu ketololan. Alasan pembinasaan itu adalah sikap
mereka terhadap salib.
Dari sikap
mereka, yang menganggap salib sebagai kebodohan, tampak bahwa sesungguhnya
mereka tidak mengenal Allah (ayat 21). Semua hikmat dan filsafat -dalam ukuran
Hikmat Allah- gagal untuk mengenal Allah. Mereka yang berpegang pada hikmat itu
tidak pernah menemukan Allah. Tetapi, justru mereka yang menerima kebodohan
dunia, akan melihat dan mengenal Hikmat Allah, sehingga Allah menyelamatkannya.
Paulus
mempersalahkan, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani (ayat 22). Orang Yahudi
hanya menyukai tanda-tanda mujizat. Hal ini jelas dari tanggapan orang banyak
ketika mereka menyaksikan pelayanan Yesus. Bagi mereka, salib bukanlah tanda
mujizat, melainkan batu sandungan (ayat 23). Tanda-tanda mujizat yang mereka
harapkan adalah keajaiban-keajaiban material yang spektakuler. Ketika mendengar bahwa salib merupakan
jalan keselamatan, mereka tersandung karenanya. Bagi Orang Yunani, salib
merupakan kebodohan (ayat 23). Gagasan bahwa Yesus adalah penyataan diri Allah,
merupakan sesuatu yang absurd bagi mereka. Apa lagi jika dikatakan bahwa
kematian-Nya di kayu salib merupakan jalan untuk mencapai pembaruan moral dan
sebagai kekuatan hidup manusia, hal itu sungguh-sungguh tidak masuk akal.[6]
Namun Paulus
menandaskan bahwa yang diberitakannya adalah Kristus yang disalibkan, sebab Dia
itulah Kekuatan dan Hikmat Allah (ayat 24). Pernyataan Paulus di sini tentu
dalam pengertian Yudais, bahwa Hikmat Allah adalah penyataan diri Allah atau
ungkapan kehadiran Allah. Jika Kristus yang disalibkan itu disebut sebagai Kekuatan dan Hikmat Allah, berarti di dalam diri-Nya, Allah menghadirkan
diri, terutama dalam karya penyelamatan-Nya bagi manusia. Hal ini dipertegas
dalam ayat 30 dan 31, bahwa di dalam Kristus, yang karena kehendak Allah telah
menjadi hikmat bagi kita, kita dibenarkan, dikuduskan dan ditebus. Hanya di
dalam dan melalui penyataan diri Allah manusia dapat berelasi dengan Allah
secara benar. Itulah sebabnya orang yang menaruh kepercayaan kepada-Nya boleh
bermegah di dalam Tuhan.
Sofia dalam ayat 17, 19, 21 dan 24, kini
menemukan maknanya. Dalam pemikiran spekulatif Yahudi (lihat. Ams. 8:22-31,
Keb. 7:22-8:1), Hikmat yang dipersonifikasi merupakan sosok yang memiliki peran
penting dalam peranannya sebagai mediator antara Allah dengan
manusia, baik dalam penciptaan, dalam penyataan pengertian, maupun dalam
penyelamatan. Paulus menggunakan terminologi Hikmat ini untuk maksud
kristologisnya. Hikmat yang benar tidak didapatkan dalam kefasihan berbicara
atau dalam spekulasi gnostis mengenai
hakikat Allah, melainkan dalam pewujudnyataan rencana Allah untuk menebus dunia
ini. Dalam terang rencana penyelamatan Allah ini, semua hikmat dunia menjadi
kesia-siaan dan kebodohan.[7]
c. Simpul-simpul
eksegetis
1) Dalam
perikop 1 Korintus 1:18-31, Paulus demikian mendasar membicarakan hikmat,
sehingga kata ‘hikmat’ (sofia)
disebutkan sebanyak 16 kali. Dalam hal ini Paulus banyak bertolak dari
konsepsi-konsepsi PL (Yes. 29:11-12, 14; 33:18; 44:25; Ayb. 12:17, Ams.
8:22-31; Keb. 7:22-8:1, dsb.) dan dapat diduga bahwa ia telah mengutip rumusan
madah-madah hikmat jemaat mula-mula. Hal yang menarik, pembahasan tentang
hikmat tersebut dihubungkan dengan pribadi Kristus, terutama
Kristus yang disalibkan. Makna salib Kristus tidak dapat dipahami semata-mata
dari pemikiran manusia, baik dari gagasan Yahudi, yang menitikberatkan
mujizat-mujizat, maupun dari gagasan Yunani, yang menekankan pemahaman
spekulatif tentang keberadaan (being) Allah. Salib hanya dapat
dimengerti secara penuh jika diletakkan dalam terang penyataan Allah. Dengan
cara ini, Yesus dipahami sebagai penyataan kehadiran Allah. Peristiwa salib
Kristus dimengerti sebagai pewujudnyataan rencana penyelamatan Allah.
2) Sekalipun sepintas kemasan bahasanya terasa
Hellenistik, namun gagasan yang hendak diungkapkannya bertolak dari cara
berpikir Yudais. Memang, dalam dunia Hellenisme, sofia
sudah sangat dikenal, karena ia merupakan salah satu aeon hasil emanasi Propator
(Bapa Yang Pertama) yang sangat berhasrat mengenal kepenuhan (plēroma)
Bapa. Namun, sofia bagi Paulus bukanlah aeon
Propator, melainkan sosok yang dipersonifikasi sebagai yang mengejawantahkan
kehadiran Allah. Gagasan seperti ini sudah ada dalam kehidupan orang-orang
Yahudi, terutama setelah berkembangnya sastra hikmat. Di sini Paulus tidak
bermaksud membicarakan hakikat pribadi Yesus, melainkan peranan dan fungsi-Nya
sebagai revealer (penyata) kehadiran
Allah, yang bertindak menyelamatkan manusia.
3) Dalam terang pemikiran di atas, segala hikmat
manusia, yang menganggap isi pewartaan Paulus (yaitu Yesus yang disalibkan)
sebagai batu sandungan atau kebodohan, menjadi sia-sia. Kriterium untuk
menentukan kebenaran hikmat adalah penyataan Allah, karena pada hakikatnya
hikmat adalah kebenaran Allah, sekaligus sebagai kebenaran yang dinyatakan.
Itulah sebabnya, penerimaan terhadap Hikmat memungkinkan manusia memperoleh
pembenaran, pengudusan dan penebusan.
d. Penerapan/aplikasi
Berdasar
konteks kekiniannya dengan segala permasalahan yang sedang dihadapi, seorang
penafsir diberi kebebasan untuk menerapkan hasil analisis eksegetis di atas.
Namun inti pokoknya adalah membuat firman yang sudah difirmankan di masa lalu
menjadi firman yang sedang difirmankan saat ini.
Semoga
bermanfaat.
BS
[1]
Dennis Edwards, Jesus The Wisdom of God,
An Introduction to The Wisdom of The Bible, (London: Lutterworth Press,
1963), hlm. 38-39.
[2] Ibid. hlm. 38-39.
[3] G.
Campbell Morgan, The Corinthian
Letters of Paul (New
Jersey : Fleming H. Revell Company, tt.), hlm. 29-30
[4]
C.K. Barrett, The First Epistle to
the Corinthians (London: A & C Black, 2nd ed., 1992), hlm. 52;
bnd. Warren W. Wiersbe, Hikmat di
dalam Kristus (Bandung: Kalam Hidup, 1983), hlm. 22.
[5] William
F. Arndt & F. Wilbur Gingrich, A
Greek Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literatures
(Chicago & London: The University of Chicago Press, 2nd Ed., 1979), hlm. 531.
[6]
Morgan, The Corinthians Letter,
hlm. 31-32, bnd. Barrett, The First
Epistle to the Corinthians, hlm. 54-55.
[7] Lht.
Barrett, The First Epistle
to the Corinthians, hlm. 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar