MEMAHAMI TEKS-TEKS APOKALIPTIK DALAM PB
Bahan Kuliah VII
1.
Beberapa karakteristik apokaliptik-eskhatologis
Kristen-Yahudi
Kata eskhatologi berasal dari
kata benda neutru (Yunani) to eskhaton, yang berarti akhir
dan ho logos, yang berarti perkataan atau pengajaran. Karena itu eskhatologi
berarti “pengajaran mengenai akhir dari segala sesuatu.” Sedangkan kata apokalupsis berarti penyingkapan atau penyataan.
Pandangan keagamaan apokaliptik-eskhatologis terungkap dalam gerakan
apokaliptik (apokaliptikisme) yang tersebar luas di kalangan umat Yahudi,
mengatasi perbedaan kelompok dan partai, sejak zaman pembangunan Bait Allah
kedua hingga awal abad Masehi.
Sastra apokaliptik dicirikan oleh visi pelihat tentang rahasia akhir dunia
yang jahat ini. Isinya merupakan pesan agamawi tentang pengharapan ke masa
depan ketika umat sedang mengalami keterasingan dan kesulitan hidup akibat
penindasan politis. Sastra apokalipitik yang merebak ketika umat Yahudi berada
di bawah penjajahan Romawi memiliki beberapa ciri utama:
1) Perasaan terasing dan putus asa akibat
tekanan budaya penjajah yang menimbulkan keyakinan bahwa dunia ini sedang
menuju kehancuran dan segera akan berakhir, karena berada dalam genggaman kuasa
jahat.
2) Adanya pengharapan bahwa pada saat dunia
dibinasakan, Allah akan bercampur-tangan menyelamatkan mereka yang setia,
orang-orang yang terpilih, dan akan menghadirkan Firdaus baru, seperti mitos
tentang Firdaus dalam Perjanjian Lama.
3) Percaya bahwa tanda-tanda kedatangan akhir
zaman itu dapat diketahui dari peristiwa-peristiwa historis.
Secara umum corak sastra apokaliptik adalah:
1) Menampilkan gambaran tentang sejarah masa
kini dan alam surgawi di masa yang akan datang dengan simbol-simbol esoterik
(sesuatu yang hanya dipahami oleh orang-orang tertentu) yang aneh mengenai
kehancuran kosmis dan hadirnya dunia baru.
2) Menggunakan gambaran-gambaran simbolik
tradisional dari berbagai sumber, yang mencakup mitos, hikmat, astrologi,
sejarah, dan karya-karya nubuatan.
3) Lazimnya merupakan sastra pseudonim,
menggunakan nama tokoh otoritatif masa lalu yang dianggap memiliki kemampuan
melihat perjalanan dan akhir sejarah secara akurat.
Apokaliptikisme Yahudi dan apokaliptikisme Kristen awal memiliki banyak
kesamaan. Komunitas Qumran dan komunitas Kristen di Palestina dapat disebut
sebagai sekte apokaliptik dalam Yudaisme. Berakhirnya sekte Qumran dalam
pemberontakan Yahudi (66-70) diikuti dengan berkembangnya kekristenan.
Perbedaan antara komunitas Qumran dengan jemaat Kristen awal antara lain:
1) Komunitas Qumran adalah kelompok biarawan
yang masih menunggu dunia baru yang akan datang, sedangkan kekristenan adalah
komunitas misioner yang terpanggil masuk ke dalam dunia ini.
2) Komunitas Qumran sangat keras menolak kaum
Hellenis, sedangkan kekristenan terbuka terhadap mereka, minimal terbuka
terhadap pengaruh Hellenisme.
3) Komunitas Qumran mengharapkan kedatangan
dua sosok Mesias, yaitu Mesias dari keturunan Harun, seorang imam yang akan
menyucikan Israel, dan Mesias Israel, seorang pahlawan yang akan memimpin
Israel dalam peperangan melawan orang-orang kafir, yang kedatangannya akan
menandai hadirnya akhir zaman. Sementara itu, kekristenan mengharapkan
kedatangan kembali Mesias Yesus sebagai hakim dan penebus akhir zaman. Namun,
kedua komunitas ini sama-sama menolak perang suci (perang dengan landasan
agama). Kemungkinan sikap ini karena pengaruh ajaran Yesus.
2. Beberapa teks apokaliptik
dalam PB
a. Skenario apokaliptik dalam tulisan-tulisan Paulus dan pengikut-pengikutnya
Ciri apokaliptik terdapat dalam beberapa surat Proto Paulus dan Deutero Paulus, antara
lain: 1Tesalonika 4:13-5:11; 1Korintus 15:20-28; 2 Tesalonika 2:1-12.
1 Tesalonika 4:13-5:11. Surat 1 Tesalonika merupakan surat Paulus tertua, yang ditulis dari kota pelabuhan, Korintus di Yunani, kira-kira tahun 51. Paulus
memuji kesetiaan jemaat, sekalipun mereka berada dalam penganiayaan oleh sesama
orang Tesalonika yang menolak kekristenan, sama seperti yang dialami oleh
jemaat Yahudi yang dianiaya oleh orang-orang Yahudi. Pasal 4:13-5:11
mencerminkan kepercayaan Paulus mula-mula bahwa parousia (kedatangan Kristus yang kedua) akan segera terjadi. Pengharapan
seperti ini tersebar luas dalam kekristenan mula-mula (lht. Mat. 24:43; Luk.
12:39; 2Petr. 3:10; Why. 3:3; 16:15). Bahasa yang digunakan untuk menggambarkan
parousia seperti: suara yang berseru-seru, panggilan penghulu malaikat dan
suara sangkakala Allah berasal dari Perjanjian Lama dan Sastra Yahudi (bdk.
Why. 1:10, 4:11, 8:7-11:19). Gambaran tentang kedatangan Tuhan di antara awan
mengingatkan kita pada gambaran apokaliptik kitab Daniel tentang kedatangan
Anak Manusia (Dan. 7:13).
1 Korintus 15:20-28; 50-57. Paulus mendirikan jemaat Korintus kira-kira tahun 50. Ia beberapa kali
mengunjungi dan menulis surat bagi mereka. Surat 1 Korintus ditulis dari Efesus sekitar tahun 55,
berkenaan dengan beberapa persoalan iman dalam jemaat. Persoalan itu antara
lain adanya penyangkalan mengenai kebangkitan orang mati di akhir zaman. Dalam
pasal 15 Paulus menanggapinya dengan memberi penjelasan tentang kebangkitan
(15:1-11). Jika tidak ada kebangkitan orang mati maka Kristus tidak
dibangkitkan, dan bila Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman mereka,
sebab mereka yang telah mati berarti binasa (15:12-19). Dalam pasal 15: 20-28,
Paulus menyatakan bahwa Kristus, sebagai buah sulung kebangkitan, benar-benar
telah bangkit. Paulus menggunakan gambaran dua sosok mitis, yaitu Adam, yang di
dalam dia semua manusia mati (bdk. Rm. 5:12-21), dan Kristus, yang di dalam Dia
semua manusia memperoleh kehidupan. Pada saat kedatangan-Nya yang kedua kali,
semua musuh akan dibinasakan, termasuk musuh yang paling utama, yaitu kematian.
Dalam pasal 15:50-57, dikatakan bahwa ketika sangkakala Allah terdengar,
orang-orang mati akan dibangkitkan, dan semua akan berubah dalam sekejap mata.
Kematian dikalahkan.
2 Tesalonika 2:1-12. Diperkirakan surat ini ditulis oleh salah seorang murid Paulus. Yang
menarik, skema apokaliptik sehubungan dengan parousia dalam surat ini berbeda dengan 1 Tesalonika. Penulis 2 Tesalonika
menyatakan bahwa (1) parousia baru
akan terjadi jika telah terjadi pemberontakan (politis atau religius?), (2)
orang-orang murtad dan manusia durhaka (kemungkinan yang dimaksud adalah sosok
antikris) akan dinyatakan lebih dulu. Antikris akan bangkit melawan segala
dewa, ia akan duduk di Bait Allah dan menyatakan diri sebagai Allah [hal ini
mengingatkan kita pada raja Siria, Antiokhus Epiphanes IV, yang pada 167 SM
menodai kesucian Bait Allah di Yerusalem dengan mempersembahkan babi di altar
Bait Suci sebagai korban sembahan bagi Zeus (bdk. Dan. 12:11; Mk. 13:14); atau
Gayus Caligula yang pada tahun 40 menempatkan patungnya sendiri di sana]. Surat
2 Tesalonika menekankan bahwa
sekalipun orang-orang murtad telah mulai bekerja, tetapi sekarang masih ada
yang menahan (ayat 6). Secara diam-diam kedurhakaan telah mulai bekerja, namun
masih ada yang menahan. Jika yang menahan itu telah disingkirkan, barulah
si pendurhaka akan menyatakan diri
(ayat 7-8). Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, yang akan
disertai dengan berbagai perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mujizat-mujizat
palsu. Namun Yesus akan membunuhnya dengan nafas mulut-Nya.
Di samping perikop-perikop di atas, kita juga dapat melihat perikop-perikop
apokaliptik dalam surat-surat Paulus lainnya, seperti 1 Korintus 7:25-31, yang
mempengaruhi pandangannya terhadap pernikahan dan perceraian; dan Filipi 4:4-5,
yang menekankan kesukacitaan.
b. Wacana apokaliptik Markus 13 dan perikop-perikop
paralelnya
Kita menemukan bentuk apokaliptik yang lebih nyata dalam Markus 13 dan
pasal paralelnya, yaitu Matius 24 dan Lukas 21. Dalam pasal-pasal ini
dibicarakan mengenai peristiwa-peristiwa yang diharapkan akan terjadi ketika
akhir zaman tiba, dengan menggunakan gambaran-gambaran apokaliptik pada
umumnya. Di dalamnya terdapat deskripsi
mengenai mereka yang termasuk dalam kriteria “celakalah,” serta bencana yang
akan terjadi di akhir zaman. Kemudian
disusul dengan berita tentang campur-tangan eskhatologis Allah, entah secara
langsung atau melalui sosok penebus eskhatologis; dan penghakiman terakhir bagi
orang-orang jahat serta berkat abadi bagi umat Allah yang setia.
c. Kitab Wahyu
Sementara orang menyebut kitab Wahyu sebagai surat apokaliptik-profetis,
surat nubuatan apokaliptik. Seakan-akan surat ini merupakan nubuat mengenai apa
yang akan terjadi di akhir zaman, dengan menggunakan gambaran-gambaran
apokaliptik. Surat ini ditulis untuk ketujuh jemaat di Asia Kecil (Efesus,
Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikia).
Dari gaya bahasanya, kitab Wahyu merupakan campuran unsur-unsur sastra
apokaliptik, profetik, mitis, liturgis, dan bahan-bahan serta bentuk-bentuk
paranetik. Di dalamnya ada hymne (4:1-11; 5:9-12, dsb.), trishagion
(Suci, Suci, Suci; 4:8c), doksologi (1:6; 4:9; 5:13-14; 7:12), ucapan syukur
(11:17-18), tanggapan ‘amin’ dan ‘halleluyah’ (22:20;19:1), ratapan (18:1-24),
kutukan (22:18-20) dan sebagainya. Di dalamnya juga digunakan bahasa mitis,
yang membayangkan alam semesta ini terdiri dari tiga tingkatan, surga berada di
atas, bumi di tengah, dan neraka berada di bawah bumi. Surga dihiasai dengan
ribuan bintang dan dihuni oleh malaikat, iblis, serta binatang-binatang yang
dapat berbicara dan bertindak. Semua itu dikemas dalam bentuk surat, yang
ditujukan kepada tujuh jemaat di Asia Kecil (Turki dewasa ini), sebagaimana
telah dikatakan di atas.
Penulis yang menamakan diri Yohanes itu juga menyebut dirinya sebagai
‘hamba’ (1:1) dan ‘saudara’ bagi jemaat yang sedang teraniaya, terutama oleh
penguasa Romawi, yang menuntut penyembahan kepada kaisar sebagai dewa.
Sebenarnya pemerintah Romawi toleran terhadap agama-agama setempat, yang
kebanyakan politeis itu, asalkan para pengikutnya setia terhadap pemerintah
Romawi. Mereka juga dituntut untuk menyembah kaisar sebagai dewa. Orang-orang
Yahudi yang monoteis, tidak dapat mengakui kaisar Romawi sebagai dewa. Namun
mereka diistimewakan oleh pemerintah, tidak diharuskan memenuhi tuntutan
penguasa, dan agama mereka diakui sebagai agama yang sah. Berbeda dengan umat
Kristen. Sekalipun sama-sama menolak menyembah kaisar, mereka tidak lagi termasuk
penganut agama Yahudi, karena itu, mereka tidak dilindungi oleh hukum, boleh
dikejar-kejar, dianiaya dan bahkan dibunuh karena imannya.
Bukti-bukti internal menunjukkan bahwa kitab ini ditulis pada masa
penganiayaan jemaat di Asia Kecil, dan dimaksudkan sebagai penghiburan untuk
menghadapi penganiayaan yang sedang terjadi, serta mengantisipasi penganiayaan
yang akan datang. Penganiayaan hebat terutama terjadi pada masa pemerintahan
tujuh kaisar, yaitu Nero di masa lalu (sebelum penulisnya menulis kitab Wahyu),
Julius Caesar, Agustus, Claudius, Vespasianus, Titus, dan yang terakhir adalah
Domitianus, yang dianggap sebagai penjelmaan kembali Nero. Memang penganiayaan
yang dilakukan Nero (yang namanya secara gematria
disimbolkan dengan 666) bukan karena tuntutan menyembah kaisar, melainkan
karena pengkambinghitaman orang-orang Kristen yang dituduh telah membakar kota
Roma. Domitianuslah yang paling getol menuntut penyembahan dirinya sebagai
keturunan ilahi. Seperti Nero, ia arogan dan megalomaniak (gila kebesaran),
sehingga menganggap diri ilahi dan menuntut pemujaan terhadap dirinya.
Sebagai sastra apokalips (apokalipsis), Wahyu menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang
tidak gampang dipahami terlepas dari konteks historisnya. Misalnya tentang
monster berkepala tujuh, yang dimaksud adalah ketujuh kaisar antikris
penganiaya jemaat, yang lima di antaranya sudah jatuh (17:7-11). Ketujuh kepala
itu melambangkan kekaisaran dari dinasti Flavianus secara keseluruhan (antara
lain Vespasianus dan anak-anaknya, Titus, dan Domitianus), sedangkan binatang
yang akan naik dari dasar jurang adalah yang kedelapan, namun merupakan salah
satu dari antara yang ketujuh itu. Dinasti ini sangat terkenal, dan sebuah
inskripsi menyebut mereka sebagai ‘juruselamat’ dan ‘anak Allah.’ Akan tiba saatnya, antikris semakin menjadi-jadi. Tetapi mereka akan dibinasakan. Dalam surat Pliny kepada kaisar Trajan (112)
disebutkan bahwa di provinsi Bithinia, orang-orang dapat dihukum karena mereka
Kristen. Mereka harus memilih: mengutuk Kristus atau menyembah dewa-dewa.
Simbolisme yang digunakan dalam kitab Wahyu bersifat kaleidoskopis dan
multivalen, gambaran yang satu melebur dalam gambaran yang lain. Umat Allah
dilukiskan sebagai seorang perempuan (dapat sebagai seorang gadis, seorang ibu,
atau seorang isteri), atau sebuah kota. Ada pula gambaran spiritual bahwa mereka akan menjadi sebuah kota seperti Sodom dan Mesir, tempat
Tuhan mereka disalibkan (11:8). Setan dilukiskan sebagai musuh purba Allah,
yang memiliki tempat di surga (12:7-9). Seperti halnya laut merupakan hiasan
surga (4:6), maka setan-setan yang dilukiskan seperti monster itu ada pula di
sana. Monster-monster ini melambangkan kuasa kekacauan (13:1). Secara implisit
di sini ada kepercayaan bahwa Iblis merupakan penyimpangan dari apa yang telah
diciptakan Tuhan dengan baik.
Kitab ini juga menggunakan simbolisme bilangan. Ada bilangan dua belas
untuk bulan, zodiak, suku Israel, rasul dan domba (21:12-14). Ada bilangan
tujuh untuk bintang, hari dalam satu minggu, dan warna pelangi. Bilangan 12 dan
7 merupakan simbol keseluruhan atau keutuhan atau totalitas. Bilangan-bilangan
juga sering digunakan untuk menyimbolkan nama-nama tertentu dengan cara
menjumlahkan nomor alfabetik huruf-huruf dalam nama-nama itu (gematria). Iblis
disimbolkan dengan bilangan 666, nama Yesus dalam abjad Yunani membentuk simbol
888, dan sebagainya.
Dengan memahami corak apokaliptik kitab atau surat Wahyu, maka kita akan
terhindar dari praduga bahwa surat ini merupakan penyataan tentang apa yang
akan terjadi pada akhir zaman. Terlebih lagi, kita tidak akan terjebak dalam
pengertian ‘wisik’ dalam bahasa Jawa,
mengenai peristiwa-peristiwa mengerikan yang akan terjadi, sehingga menimbulkan
ketakutan. Banyak orang masih beranggapan seperti itu, sehingga takut memahami
surat Wahyu, bahkan dikhotbahkan
pun sangat jarang. Memang harus diakui bahwa di dalamnya ada perspektif
eskhatologis, namun tidak berarti bahwa sepenuhnya surat ini berkisah secara
harfiah tentang apa yang akan terjadi pada akhir zaman. Sesungguhnya surat ini
lebih berbicara kepada jemaat Asia Kecil untuk situasi konkret yang sedang
mereka hadapi, dengan tujuan menghibur dan menguatkan mereka dalam menghadapi
penganiayaan akibat iman mereka. Tentu saja, tetap banyak pesan aktual yang
relevan bagi kehidupan jemaat sepanjang masa, bukan hanya untuk jemaat Asia
Kecil pada waktu itu, sebab firman Tuhan memiliki pesan yang bersifat
senantiasa.
BS, 01 November 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar