Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Jumat, 14 Juni 2013

BELAJAR MEMAHAMI TEKS-TEKS APOKALIPTIK DIDALAM ALKITAB PADA PERJANJIAN BARU

MEMAHAMI TEKS-TEKS APOKALIPTIK DALAM PB
Bahan Kuliah VII

1.      Beberapa karakteristik apokaliptik-eskhatologis Kristen-Yahudi

Kata eskhatologi berasal dari kata benda neutru (Yunani) to eskhaton, yang berarti akhir dan ho logos, yang berarti perkataan atau pengajaran. Karena itu eskhatologi berarti “pengajaran mengenai akhir dari segala sesuatu.” Sedangkan kata apokalupsis berarti penyingkapan atau penyataan. Pandangan keagamaan apokaliptik-eskhatologis terungkap dalam gerakan apokaliptik (apokaliptikisme) yang tersebar luas di kalangan umat Yahudi, mengatasi perbedaan kelompok dan partai, sejak zaman pembangunan Bait Allah kedua hingga awal abad Masehi.

Sastra apokaliptik dicirikan oleh visi pelihat tentang rahasia akhir dunia yang jahat ini. Isinya merupakan pesan agamawi tentang pengharapan ke masa depan ketika umat sedang mengalami keterasingan dan kesulitan hidup akibat penindasan politis. Sastra apokalipitik yang merebak ketika umat Yahudi berada di bawah penjajahan Romawi memiliki beberapa ciri utama:
1)      Perasaan terasing dan putus asa akibat tekanan budaya penjajah yang menimbulkan keyakinan bahwa dunia ini sedang menuju kehancuran dan segera akan berakhir, karena berada dalam genggaman kuasa jahat.
2)      Adanya pengharapan bahwa pada saat dunia dibinasakan, Allah akan bercampur-tangan menyelamatkan mereka yang setia, orang-orang yang terpilih, dan akan menghadirkan Firdaus baru, seperti mitos tentang Firdaus dalam Perjanjian Lama.   
3)      Percaya bahwa tanda-tanda kedatangan akhir zaman itu dapat diketahui dari peristiwa-peristiwa historis.

Secara umum corak sastra apokaliptik adalah:
1)      Menampilkan gambaran tentang sejarah masa kini dan alam surgawi di masa yang akan datang dengan simbol-simbol esoterik (sesuatu yang hanya dipahami oleh orang-orang tertentu) yang aneh mengenai kehancuran kosmis dan hadirnya dunia baru.
2)      Menggunakan gambaran-gambaran simbolik tradisional dari berbagai sumber, yang mencakup mitos, hikmat, astrologi, sejarah, dan karya-karya nubuatan.
3)      Lazimnya merupakan sastra pseudonim, menggunakan nama tokoh otoritatif masa lalu yang dianggap memiliki kemampuan melihat perjalanan dan akhir sejarah secara akurat.

Apokaliptikisme Yahudi dan apokaliptikisme Kristen awal memiliki banyak kesamaan. Komunitas Qumran dan komunitas Kristen di Palestina dapat disebut sebagai sekte apokaliptik dalam Yudaisme. Berakhirnya sekte Qumran dalam pemberontakan Yahudi (66-70) diikuti dengan berkembangnya kekristenan. Perbedaan antara komunitas Qumran dengan jemaat Kristen awal antara lain:
1)      Komunitas Qumran adalah kelompok biarawan yang masih menunggu dunia baru yang akan datang, sedangkan kekristenan adalah komunitas misioner yang terpanggil masuk ke dalam dunia ini.
2)      Komunitas Qumran sangat keras menolak kaum Hellenis, sedangkan kekristenan terbuka terhadap mereka, minimal terbuka terhadap pengaruh Hellenisme.
3)      Komunitas Qumran mengharapkan kedatangan dua sosok Mesias, yaitu Mesias dari keturunan Harun, seorang imam yang akan menyucikan Israel, dan Mesias Israel, seorang pahlawan yang akan memimpin Israel dalam peperangan melawan orang-orang kafir, yang kedatangannya akan menandai hadirnya akhir zaman. Sementara itu, kekristenan mengharapkan kedatangan kembali Mesias Yesus sebagai hakim dan penebus akhir zaman. Namun, kedua komunitas ini sama-sama menolak perang suci (perang dengan landasan agama). Kemungkinan sikap ini karena pengaruh ajaran Yesus.

2.   Beberapa teks apokaliptik dalam PB

a.      Skenario apokaliptik dalam tulisan-tulisan Paulus dan pengikut-pengikutnya

Ciri apokaliptik terdapat dalam beberapa surat Proto Paulus dan Deutero Paulus, antara lain: 1Tesalonika 4:13-5:11; 1Korintus 15:20-28; 2 Tesalonika 2:1-12.

1 Tesalonika 4:13-5:11. Surat 1 Tesalonika merupakan surat Paulus tertua, yang ditulis dari kota pelabuhan, Korintus di Yunani, kira-kira tahun 51. Paulus memuji kesetiaan jemaat, sekalipun mereka berada dalam penganiayaan oleh sesama orang Tesalonika yang menolak kekristenan, sama seperti yang dialami oleh jemaat Yahudi yang dianiaya oleh orang-orang Yahudi. Pasal 4:13-5:11 mencerminkan kepercayaan Paulus mula-mula bahwa parousia (kedatangan Kristus yang kedua) akan segera terjadi. Pengharapan seperti ini tersebar luas dalam kekristenan mula-mula (lht. Mat. 24:43; Luk. 12:39; 2Petr. 3:10; Why. 3:3; 16:15). Bahasa yang digunakan untuk menggambarkan parousia seperti: suara yang berseru-seru, panggilan penghulu malaikat dan suara sangkakala Allah berasal dari Perjanjian Lama dan Sastra Yahudi (bdk. Why. 1:10, 4:11, 8:7-11:19). Gambaran tentang kedatangan Tuhan di antara awan mengingatkan kita pada gambaran apokaliptik kitab Daniel tentang kedatangan Anak Manusia (Dan. 7:13).

1 Korintus 15:20-28; 50-57. Paulus mendirikan jemaat Korintus kira-kira tahun 50. Ia beberapa kali mengunjungi dan menulis surat bagi mereka. Surat 1 Korintus ditulis dari Efesus sekitar tahun 55, berkenaan dengan beberapa persoalan iman dalam jemaat. Persoalan itu antara lain adanya penyangkalan mengenai kebangkitan orang mati di akhir zaman. Dalam pasal 15 Paulus menanggapinya dengan memberi penjelasan tentang kebangkitan (15:1-11). Jika tidak ada kebangkitan orang mati maka Kristus tidak dibangkitkan, dan bila Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman mereka, sebab mereka yang telah mati berarti binasa (15:12-19). Dalam pasal 15: 20-28, Paulus menyatakan bahwa Kristus, sebagai buah sulung kebangkitan, benar-benar telah bangkit. Paulus menggunakan gambaran dua sosok mitis, yaitu Adam, yang di dalam dia semua manusia mati (bdk. Rm. 5:12-21), dan Kristus, yang di dalam Dia semua manusia memperoleh kehidupan. Pada saat kedatangan-Nya yang kedua kali, semua musuh akan dibinasakan, termasuk musuh yang paling utama, yaitu kematian. Dalam pasal 15:50-57, dikatakan bahwa ketika sangkakala Allah terdengar, orang-orang mati akan dibangkitkan, dan semua akan berubah dalam sekejap mata. Kematian dikalahkan.

2 Tesalonika 2:1-12. Diperkirakan surat ini ditulis oleh salah seorang murid Paulus. Yang menarik, skema apokaliptik sehubungan dengan parousia dalam surat ini berbeda dengan 1 Tesalonika. Penulis 2 Tesalonika menyatakan bahwa (1) parousia baru akan terjadi jika telah terjadi pemberontakan (politis atau religius?), (2) orang-orang murtad dan manusia durhaka (kemungkinan yang dimaksud adalah sosok antikris) akan dinyatakan lebih dulu. Antikris akan bangkit melawan segala dewa, ia akan duduk di Bait Allah dan menyatakan diri sebagai Allah [hal ini mengingatkan kita pada raja Siria, Antiokhus Epiphanes IV, yang pada 167 SM menodai kesucian Bait Allah di Yerusalem dengan mempersembahkan babi di altar Bait Suci sebagai korban sembahan bagi Zeus (bdk. Dan. 12:11; Mk. 13:14); atau Gayus Caligula yang pada tahun 40 menempatkan patungnya sendiri di sana]. Surat 2 Tesalonika menekankan bahwa sekalipun orang-orang murtad telah mulai bekerja, tetapi sekarang masih ada yang menahan (ayat 6). Secara diam-diam kedurhakaan telah mulai bekerja, namun masih ada yang menahan. Jika yang menahan itu telah disingkirkan, barulah si pendurhaka akan menyatakan diri (ayat 7-8). Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, yang akan disertai dengan berbagai perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mujizat-mujizat palsu. Namun Yesus akan membunuhnya dengan nafas mulut-Nya.

Di samping perikop-perikop di atas, kita juga dapat melihat perikop-perikop apokaliptik dalam surat-surat Paulus lainnya, seperti 1 Korintus 7:25-31, yang mempengaruhi pandangannya terhadap pernikahan dan perceraian; dan Filipi 4:4-5, yang menekankan kesukacitaan.

b. Wacana apokaliptik Markus 13 dan perikop-perikop paralelnya

Kita menemukan bentuk apokaliptik yang lebih nyata dalam Markus 13 dan pasal paralelnya, yaitu Matius 24 dan Lukas 21. Dalam pasal-pasal ini dibicarakan mengenai peristiwa-peristiwa yang diharapkan akan terjadi ketika akhir zaman tiba, dengan menggunakan gambaran-gambaran apokaliptik pada umumnya. Di dalamnya terdapat  deskripsi mengenai mereka yang termasuk dalam kriteria “celakalah,” serta bencana yang akan terjadi  di akhir zaman. Kemudian disusul dengan berita tentang campur-tangan eskhatologis Allah, entah secara langsung atau melalui sosok penebus eskhatologis; dan penghakiman terakhir bagi orang-orang jahat serta berkat abadi bagi umat Allah yang setia.

c. Kitab Wahyu

Sementara orang menyebut kitab Wahyu sebagai surat apokaliptik-profetis, surat nubuatan apokaliptik. Seakan-akan surat ini merupakan nubuat mengenai apa yang akan terjadi di akhir zaman, dengan menggunakan gambaran-gambaran apokaliptik. Surat ini ditulis untuk ketujuh jemaat di Asia Kecil (Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikia).

Dari gaya bahasanya, kitab Wahyu merupakan campuran unsur-unsur sastra apokaliptik, profetik, mitis, liturgis, dan bahan-bahan serta bentuk-bentuk paranetik. Di dalamnya ada hymne (4:1-11; 5:9-12, dsb.), trishagion (Suci, Suci, Suci; 4:8c), doksologi (1:6; 4:9; 5:13-14; 7:12), ucapan syukur (11:17-18), tanggapan ‘amin’ dan ‘halleluyah’ (22:20;19:1), ratapan (18:1-24), kutukan (22:18-20) dan sebagainya. Di dalamnya juga digunakan bahasa mitis, yang membayangkan alam semesta ini terdiri dari tiga tingkatan, surga berada di atas, bumi di tengah, dan neraka berada di bawah bumi. Surga dihiasai dengan ribuan bintang dan dihuni oleh malaikat, iblis, serta binatang-binatang yang dapat berbicara dan bertindak. Semua itu dikemas dalam bentuk surat, yang ditujukan kepada tujuh jemaat di Asia Kecil (Turki dewasa ini), sebagaimana telah dikatakan di atas.

Penulis yang menamakan diri Yohanes itu juga menyebut dirinya sebagai ‘hamba’ (1:1) dan ‘saudara’ bagi jemaat yang sedang teraniaya, terutama oleh penguasa Romawi, yang menuntut penyembahan kepada kaisar sebagai dewa. Sebenarnya pemerintah Romawi toleran terhadap agama-agama setempat, yang kebanyakan politeis itu, asalkan para pengikutnya setia terhadap pemerintah Romawi. Mereka juga dituntut untuk menyembah kaisar sebagai dewa. Orang-orang Yahudi yang monoteis, tidak dapat mengakui kaisar Romawi sebagai dewa. Namun mereka diistimewakan oleh pemerintah, tidak diharuskan memenuhi tuntutan penguasa, dan agama mereka diakui sebagai agama yang sah. Berbeda dengan umat Kristen. Sekalipun sama-sama menolak menyembah kaisar, mereka tidak lagi termasuk penganut agama Yahudi, karena itu, mereka tidak dilindungi oleh hukum, boleh dikejar-kejar, dianiaya dan bahkan dibunuh karena imannya.

Bukti-bukti internal menunjukkan bahwa kitab ini ditulis pada masa penganiayaan jemaat di Asia Kecil, dan dimaksudkan sebagai penghiburan untuk menghadapi penganiayaan yang sedang terjadi, serta mengantisipasi penganiayaan yang akan datang. Penganiayaan hebat terutama terjadi pada masa pemerintahan tujuh kaisar, yaitu Nero di masa lalu (sebelum penulisnya menulis kitab Wahyu), Julius Caesar, Agustus, Claudius, Vespasianus, Titus, dan yang terakhir adalah Domitianus, yang dianggap sebagai penjelmaan kembali Nero. Memang penganiayaan yang dilakukan Nero (yang namanya secara gematria disimbolkan dengan 666) bukan karena tuntutan menyembah kaisar, melainkan karena pengkambinghitaman orang-orang Kristen yang dituduh telah membakar kota Roma. Domitianuslah yang paling getol menuntut penyembahan dirinya sebagai keturunan ilahi. Seperti Nero, ia arogan dan megalomaniak (gila kebesaran), sehingga menganggap diri ilahi dan menuntut pemujaan terhadap dirinya.

Sebagai sastra apokalips (apokalipsis), Wahyu menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang tidak gampang dipahami terlepas dari konteks historisnya. Misalnya tentang monster berkepala tujuh, yang dimaksud adalah ketujuh kaisar antikris penganiaya jemaat, yang lima di antaranya sudah jatuh (17:7-11). Ketujuh kepala itu melambangkan kekaisaran dari dinasti Flavianus secara keseluruhan (antara lain Vespasianus dan anak-anaknya, Titus, dan Domitianus), sedangkan binatang yang akan naik dari dasar jurang adalah yang kedelapan, namun merupakan salah satu dari antara yang ketujuh itu. Dinasti ini sangat terkenal, dan sebuah inskripsi menyebut mereka sebagai ‘juruselamat’ dan ‘anak Allah.’ Akan tiba saatnya, antikris semakin menjadi-jadi. Tetapi mereka akan dibinasakan. Dalam surat Pliny kepada kaisar Trajan (112) disebutkan bahwa di provinsi Bithinia, orang-orang dapat dihukum karena mereka Kristen. Mereka harus memilih: mengutuk Kristus atau menyembah dewa-dewa.

Simbolisme yang digunakan dalam kitab Wahyu bersifat kaleidoskopis dan multivalen, gambaran yang satu melebur dalam gambaran yang lain. Umat Allah dilukiskan sebagai seorang perempuan (dapat sebagai seorang gadis, seorang ibu, atau seorang isteri), atau sebuah kota. Ada pula gambaran spiritual bahwa mereka akan menjadi sebuah kota seperti Sodom dan Mesir, tempat Tuhan mereka disalibkan (11:8). Setan dilukiskan sebagai musuh purba Allah, yang memiliki tempat di surga (12:7-9). Seperti halnya laut merupakan hiasan surga (4:6), maka setan-setan yang dilukiskan seperti monster itu ada pula di sana. Monster-monster ini melambangkan kuasa kekacauan (13:1). Secara implisit di sini ada kepercayaan bahwa Iblis merupakan penyimpangan dari apa yang telah diciptakan Tuhan dengan baik.

Kitab ini juga menggunakan simbolisme bilangan. Ada bilangan dua belas untuk bulan, zodiak, suku Israel, rasul dan domba (21:12-14). Ada bilangan tujuh untuk bintang, hari dalam satu minggu, dan warna pelangi. Bilangan 12 dan 7 merupakan simbol keseluruhan atau keutuhan atau totalitas. Bilangan-bilangan juga sering digunakan untuk menyimbolkan nama-nama tertentu dengan cara menjumlahkan nomor alfabetik huruf-huruf dalam nama-nama itu (gematria). Iblis disimbolkan dengan bilangan 666, nama Yesus dalam abjad Yunani membentuk simbol 888, dan sebagainya.

Dengan memahami corak apokaliptik kitab atau surat Wahyu, maka kita akan terhindar dari praduga bahwa surat ini merupakan penyataan tentang apa yang akan terjadi pada akhir zaman. Terlebih lagi, kita tidak akan terjebak dalam pengertian ‘wisik’ dalam bahasa Jawa, mengenai peristiwa-peristiwa mengerikan yang akan terjadi, sehingga menimbulkan ketakutan. Banyak orang masih beranggapan seperti itu, sehingga takut memahami surat Wahyu, bahkan dikhotbahkan pun sangat jarang. Memang harus diakui bahwa di dalamnya ada perspektif eskhatologis, namun tidak berarti bahwa sepenuhnya surat ini berkisah secara harfiah tentang apa yang akan terjadi pada akhir zaman. Sesungguhnya surat ini lebih berbicara kepada jemaat Asia Kecil untuk situasi konkret yang sedang mereka hadapi, dengan tujuan menghibur dan menguatkan mereka dalam menghadapi penganiayaan akibat iman mereka. Tentu saja, tetap banyak pesan aktual yang relevan bagi kehidupan jemaat sepanjang masa, bukan hanya untuk jemaat Asia Kecil pada waktu itu, sebab firman Tuhan memiliki pesan yang bersifat senantiasa.


BS, 01 November 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar