MENAFSIR TEKS-TEKS PARANESIS DALAM PB
Bahan Kuliah VIII
Pengertian
paranesis
Dalam Perjanjian Baru terdapat
cukup banyak bentuk sastra yang digunakan sebagai wahana pemberitaan. Untuk
memahami pesan-pesan asli penyusun teks-teks PB sedekat mungkin, penafsir perlu
merekonstruksi teks-teks tersebut dan meletakkan dalam jalinan kontekstualnya
secara teliti. Di antara bentuk-bentuk sastra teks-teks PB, salah satu di
antaranya adalah paranesis. Paranesis adalah istilah Yunani untuk bagian-bagian
surat atau kitab yang berisi nasihat-nasihat praktis atau nasihat-nasihat
terapan (misalnya: Matius 22:37-40; Matius 23:1-12; 1 Yohanes 3:1-6; Filipi
1:27-2:18; Yakobus 1:19-27; 2 Timotius 2:4-6; 2 Timotius 2:15-18 dsb.).
Perlu diingat, bahwa tidak
semua teks PB berupa paranesis. Karena itu, penafsir tidak boleh dengan
semena-mena mengutip ayat-ayat PB untuk kemudian diterapkan sebagai “hukum”
praktis bagi kondisi dan situasi kini dan di sini! Kita harus hati-hati dalam
menjajarkan teks-teks PB dari bagian yang satu dengan bagian yang lain, sebab
masing-masing teks memiliki konteksnya sendiri, yang kemungkinan satu sama lain
sangat berbeda dan maksud atau pesan yang hendak disampaikan pun dapat berbeda.
Langkah-langkah menafsirkan paranesis
Teks-teks paranesis seakan-akan
“barang jadi” yang siap untuk diterapkan secara langsung bagi kondisi dan
situasi kekinian penafsir. Mungkin sebagian memang demikian adanya, namun tidak
selalu begitu. Belum tentu nasihat-nasihat yang diberikan langsung dapat
diterapkan secara harfiah. Oleh sebab itu, sebagai langkah pertama, penafsir
perlu merekonstruksi teks yang ditafsirkan, dengan terlebih dulu menempatkan
teks tersebut dalam konteksnya. Rekonstruksi ini meliputi penelitian atas
penulis, alamat penerima, maksud penulisan, masalah-masalah yang dihadapi, jalinan
historisnya dan bermacam-macam konteks lain yang ikut mempengaruhinya. Namun
prinsip-prinsip ini bukan aturan mati, sebab usaha merekonstruksi teks akan
sangat ditentukan oleh “watak” dan “warna” teks itu sendiri. Yang dimaksud
“watak” di sini adalah karakter teks, sedangkan “warna” adalah faktor-faktor
yang ikut mempengaruhi terciptanya teks.
Baru kemudian langkah kedua, secara
analitis penafsir berusaha mengeksegesis (menarik keluar pesan atau pesan-pesan
yang hendak disampaikan), bukan malah memasukkan gagasan sendiri ke dalamnya.
Tiap-tiap teks hendaknya diberi kebebasan untuk berbicara kepada kita. Meskipun
demikian, tidak dapat diingkari bahwa subjektivitas penafsir dalam memahami
pesan-pesan tersebut ikut menentukan. Subjektivitas penafsir tersebut
dipengaruhi oleh alam berpikirnya, kondisi dan situasi yang sedang dihadapinya,
serta seberapa jauh ia berhasil merekonstruksi teks sesuai dengan maksud
penyusun aslinya (the original author).
Secara imaniah, kita tidak boleh pesimis atas kemungkinan terjadinya perbedaan
penafsiran, sebab Tuhan berkenan berfirman kepada kita, juga dalam segala
kelemahan kita sekalipun. Lagi pula, perbedaan-perbedaan penafsiran justru
mencerminkan kekayaan firman itu sendiri. Perbedaan tidak harus bertentangan,
bahkan seandainya bertentangan sekalipun, satu sama lain akan saling memperkaya
dan saling melengkapi pemahaman kita atas teks yang ditafsirkan. Hal ini hanya
dapat terjadi jika para penafsir mendekati teks dengan langkah-langkah hermeneutis
yang bertanggung jawab.
Pesan-pesan inilah yang
kemudian, dalam langkah ketiga, diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah
kini dan di sini penafsir. Inilah prinsip dasar hermeneutika yang tidak boleh kita
lupakan. Dengan langkah hermeneutis yang benar dan cermat, penafsir akan membuat
firman yang telah difirmankan pada masa lampau menjadi firman yang sedang
difirmankan pada masa kini. Sama seperti dalam melakukan analisis eksegestis,
usaha untuk menerapkan pesan bagi kekinian penafsir pun dapat saja
berbeda-beda, tergantung latar belakang dan konteks hidup masing-masing
penafsir. Di sinilah kita sadari luasnya spektrum hermeneutis atas suatu teks
dalam PB. Sekali lagi, secara imaniah kita tetap yakin bahwa Tuhan berkenan
memakai kemanusiaan kita untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran-Nya.
Contoh penafsiran:
1. Yakobus 1:19-27
Pendengar atau pelaku firman?
(Yakobus 1:19-27)
“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar
saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (ayat 22).
Latar belakang teks
Surat Yakobus termasuk salah satu
dari ketujuh surat am (surat katolik), yaitu surat untuk jemaat-jemaat secara
umum. Surat ini mengalami banyak masalah dalam sejarah gereja. Gereja Ortodoks
Timur menempatkannya sesudah Kisah Para Rasul, karena mereka menganggap surat
ini termasuk salah satu tulisan Perjanjian Baru yang tua, yang diperkirakan
berasal dari rasul Yakobus sendiri. Namun, banyak pula yang meragukan keaslian
surat ini. Martin Luther menilai surat ini bertentangan dengan ajaran Paulus.
Jika Paulus mengajarkan pembenaran oleh iman, maka surat Yakobus dianggap
mengajarkan pembenaran oleh perbuatan. Di samping itu, Luther juga menilai
surat ini tidak memberitakan Kristus, melainkan hukum Taurat dan keperyacaan
umum tentang Allah. Karena itu, Luther menganggap surat ini tidak berasal dari
salah seorang rasul dan tidak termasuk kitab-kitab utama dalam Perjanjian Baru,
walaupun ia mengakui bahwa di dalamnya terdapat pula nasihat-nasihat yang baik.
Hampir tidak mungkin bahwa penulis surat ini adalah Yakobus, salah seorang
di antara keduabelas rasul Yesus (lht. Mat. 10:2-3; Mk. 3:17-18; Luk. 6:14-15),
karena ia tidak disebut sebagai ‘rasul,’ melainkan hanya ‘hamba Allah dan hamba
Yesus Kristus’ (Yak. 1:1). Mungkin sapaan ini merujuk kepada Yakobus saudara
Yesus, yang biasa disebut ‘saudara Tuhan’ (lht. Mat. 13:55; Mk. 6:3). Ia adalah
pemimpin komunitas Yahudi Kristen di Yerusalem, yang dikenal Paulus sebagai
salah seorang ‘soko guru’ jemaat (Gal. 2:9). Dalam Kisah Para Rasul, ia tampil
sebagai juru bicara umat Kristen Yahudi dalam gereja mula-mula (Kis. 12:17;
15:13-21). Menurut sejarawan Yahudi, Yosephus, ia dirajam hingga mati oleh
orang-orang Yahudi di bawah pimpinan imam besar Ananus II, pada 63 Masehi (Antiquities 20, 9, 1 ¶201-203).
Surat ini ditujukan untuk ‘keduabelas suku di perantauan.’ Bertolak dari
penggunaannya dalam PL, istilah ‘duabelas suku’ rupanya menunjuk pada umat
Israel; sedangkan ‘perantauan’ atau ‘diaspora’ agaknya menunjuk kepada orang-orang Yahudi non-Palestina, yang tinggal di seluruh dunia
Romawi-Yunani (lht. Yoh. 7:35). Dalam pemikiran Kristen,
gereja adalah Israel baru, karena itu, surat ini kemungkinan dialamatkan kepada umat Kristen Yahudi yang berada di Palestina,
Siria atau di tempat lain. Atau mungkin pula surat ini dimaksudkan sebagai surat umum untuk semua
komunitas Kristen. Kata ‘perantauan,’ dapat juga digunakan dalam arti kias,
yaitu dunia ini sebagai ‘tempat pembuangan’ orang beriman dari tempat
tinggalnya yang sejati, seperti alamat surat 1 Petrus (1Ptr. 1:1). Surat ini
sangat bersifat Yahudi. Para ahli biblika menganggapnya sebagai dokumen Yahudi
yang ‘dibaptiskan’ dengan beberapa sisipan Kristen. Namun pendapat ini hampir
tidak dapat dipertahankan, karena terlihat demikian banyak hubungan antara
surat Yakobus dengan literatur PB yang lain.
Dari bentuk sastranya, kita tidak menemukan ciri-ciri sebuah surat dalam
surat Yakobus, kecuali karena alamatnya. Lebih tepat surat ini digolongkan
dalam kelompok paranesis atau
nasihat, yang hampir-hampir hanya berkenaan dengan perilaku etis. Karena itu, surat Yakobus lazimnya dianggap sebagai salah satu sastra hikmat Yahudi,
sama seperti yang kita temukan dalam PL (misalnya, Amsal Salomo dan Yesus ben
Sirakh) dan dalam literatur Yahudi ekstra kanonik (misalnya, Wasiat Keduabelas
Tua-tua, Kitab Henokh dan Petunjuk Disiplin yang ditemukan di Qumran). Lebih
khas lagi, surat ini terdiri dari bagian-bagian amsal pengajaran yang dapat
dibandingkan dengan Tobit 4:5-19, dan banyak bagian dari Kitab Yesus ben Sirakh,
serta perkataan-perkataan Yesus dalam Injil-injil Sinoptik, terutama dalam Khotbah di Bukit. Yakobus
menampilkan tipe kekristenan perdana, yang menekankan ajaran sehat serta
perliaku moral yang bertanggung jawab. Norma-norma etisnya terutama tidak berasal
dari gagasan kristologi seperti yang terjadi dalam surat-surat Paulus,
melainkan dari konsepsi keselamatan, yang meliputi pertobatan, baptisan,
pengampunan dosa dan pengharapan akan penghakiman terakhir (Yak. 1:17; 4:12).
Secara paradoks, karya yang bersifat sangat Yahudi ini ditulis dalam gaya
bahasa Yunani yang amat baik, bahkan termasuk salah satu yang terbaik dalam PB.
Karena itu, diduga surat ini merupakan hasil karya seorang penulis Hellenis
yang terlatih. Mereka yang menganggap bahwa penulisnya adalah Yakobus dari
Yerusalem berpendapat bahwa seorang sekretaris telah meredaksikannya, hingga
mencapai bentuknya seperti sekarang ini. Namun, dalam terang kebiasaan purba,
asumsi ini tidak masuk akal. Sementara orang menganggap surat ini sebagai salah
satu tulisan paling awal dalam PB, dan secara akurat isinya mencerminkan
pikiran seorang pemimpin jemaat Kristen Yahudi. Lebih dari itu, mereka
mengatakan bahwa secara historis, tipe kekristenan Yahudi yang tercermin dalam
surat ini tidak mungkin berasal dari masa sesudah kejatuhan Yerusalem pada 70
M.
Namun, sebagian orang yang lain meyakini bahwa surat Yakobus merupakan
sebuah karya pseudonim dari periode kemudian. Kecuali gaya bahasa Yunaninya,
mereka mencermati lebih lanjut bahwa: (a) wibawa yang diasumsikan oleh penulis
menunjuk kepada reputasi legendaris Yakobus di kemudian hari; (b) pembahasan
tentang pentingnya perbuatan baik (di samping iman) agaknya terjadi setelah
masa hidup Paulus, sebab pada zaman Paulus, yang ditekankan adalah keselamatan
karena iman; (c) gagasan moral-etis penulis tidak didasarkan pada
ketentuan-ketentuan Taurat Musa; (d) surat ini tidak memuat sejarah Yakobus
sendiri dan hubungan dia dengan Yesus, atau dengan persekutuan perdana di
Yerusalem. Karena alasan-alasan tersebut, sangat masuk akal jika banyak
penafsir mutakhir berpendapat bahwa surat ini merupakan karya pseudonim yang
ditulis dalam periode 90-100 M.
Analisis eksegetis dan penerapan
Apabila kita menyimak dengan
seksama, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara Paulus dengan penulis surat
Yakobus. Jika Paulus mengatakan bahwa manusia hanya dibenarkan karena iman,
tidak berarti bahwa ia mengabaikan perbuatan. Sebab iman yang benar tidak
mungkin tanpa terwujud dalam perbuatan. Yang ingin ditekankan oleh Paulus adalah
bahwa pertama-tama bukanlah perbuatan manusia yang menjadi dasar pembenaran
dirinya oleh Allah, melainkan karena iman terhadap anugerah Allah. Sementara
itu, surat Yakobus sebenarnya hanya ingin menekankan bahwa pembenaran itu tidak
hanya karena iman saja, jika iman itu tidak dibuktikan dalam perbuatan. Sebab
iman tanpa perbuatan adalah mati. Dalam hal ini, Yakobus tidak mengabaikan
iman, tetapi yang ditentang adalah iman tanpa perbuatan. Dalam perikop kita,
Yakobus ingin menunjukkan bagaimana iman yang hidup itu telahir dalam pembaruan
sikap dan perilaku. Ada beberapa hal yang sangat penting kita perhatikan.
Pertama, iman yang benar
itu lebih cepat mendengar daripada berkata-kata. Maksudnya, daripada
mengutamakan pikirannya sendiri, lebih baik orang mendahulukan mendengar
pengajaran. Orang yang mengutamakan pikirannya sendiri, biasanya sulit
mendengar pendapat atau kebenaran orang lain, termasuk mendengar pengajaran
firman Allah. Di samping itu, iman yang benar juga terlahir dalam sikap yang
sabar, menahan amarah. Tidak ada hal yang positif dari amarah, karena itu
dikatakan bahwa amarah tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Dengan
kesediaan mendengar dan membuang amarah, maka setahap demi setahap orang
beriman akan terlatih membuang segala kejahatan dan selanjutnya membuka diri
terhadap firman Allah hingga firman itu tertanam dalam hatinya, serta
membiarkan firman itu menguasai hatinya.
Kedua, firman Allah tidak
cukup didengar, tetapi dilakukan dalam kehidupan. Mendengar tanpa melakukan itu
menipu diri sendiri. Dalam hal ini surat Yakobus mengumpamakannya seperti orang
yang berdiri di depan cermin untuk melihat wajahnya. Begitu beranjak
meninggalkan cermin, ia telah melupakan rupanya. Berbeda dengan orang yang
mendengar firman dan melakukan, firman itu bukan saja diingat, melainkan
menjadi milik, bahkan menguasai hidupnya. Akibatnya, seantero kehidupan akan
ditentukan oleh firman Allah itu. Mengingat bahwa firman Allah adalah “dunia”
orang beriman, maka sejauh berada dalam firman itu, kita akan merasakan
kesukacitaan dan kebahagiaan yang mendalam. Itulah damai sejahtera (syalom)
Allah. Dalam ketaatan terhadap firman Allah, kita akan merasakan syalom yang
sesungguhnya. Tentu hal ini sulit diukur dengan ukuran kesenangan lahiriah.
Kebahagiaan para pelaku firman adalah kebahagiaan surgawi. Oleh sebab itu,
penulis surat ini menandaskan hendaklah orang beriman menjadi pelaku firman,
bukan hanya pendengar saja.
Ketiga, iman yang benar
juga terwujud dalam kemampuan mengendalikan lidah. Yang dimaksud mengendalikan
lidah adalah mengendalikan perkataan. Setiap perkataan yang diucapkan haruslah
diperhitungkan dengan cermat, sehingga memiliki daya membangun. Perkataan dapat
lebih tajam daripada mata pisau. Perkataan dapat menyulut perselisihan, tetapi
dapat juga menyejukkan. Perkataan dapat mendatangkan sakit hati, tetapi dapat
juga membangun dan menghibur. Perkataan dapat menjatuhkan orang lain, tetapi
dapat pula menguntungkan. Percideraan dan fitnah, kebohongan dan penipuan,
semua bertentangan dengan pengendalian lidah. Oleh sebab itu, orang beriman
tidak boleh berkata-kata dengan sembarangan. Mengaku beriman tetapi tidak
mengendalikan lidah, itu menipu diri sendiri. Mengaku beribadah tetapi tidak
mengendalikan perkataan, itu sia-sia, sebab hanya perkataan yang baik mendatangkan
kemuliaan bagi Allah.
Keempat, iman yang benar,
yang terlahir dalam ibadah yang benar, akan terjabar pula dalam kepedulian
terhadap penderitaan sesama manusia. Ketekunan beribadah tanpa kepedulian
terhadap kesusahan orang lain, tidak ada gunanya, karena ibadah yang dilakukan
hanyalah basa-basi. Kristus sendiri mengatakan bahwa iman yang benar kepada
Allah terwujud dalam perhatian dan kepedulian terhadap mereka yang tersisih dan
membutuhkan pertolongan (bandingkan Matius 25:45). Di sinilah orang beriman
diajar untuk tidak egois. Ibadah yang sejati bukan hanya memikirkan diri
sendiri, melainkan juga memikirkan orang lain. Sayang sekali, kita sering
terlena, beribadah hanya untuk kepuasan batin kita sendiri, namun tidak dengan
melakukan firman-Nya dalam kehidupan, dengan memberi perhatian kepada orang
yang membutuhkan uluran tangan.
Kelima, iman yang benar
harus tampak pula dalam sikap memelihara diri dari segala kecemaran dunia.
Mengaku beriman, tetapi hidup penuh kecemaran, itu tidak ada artinya. Sebab
iman yang benar berarti pula menjaga kekudusan hidup. Sebagaimana Yesus sendiri
mengingatkan, hendaklah kamu kudus, seperti Bapamu juga kudus.
Sekarang silakan putuskan,
akankah kita menjadi hanya pendengar firman, atau sekaligus pelaku firman?
Catatan:
Karena teks-teks paranesis
berisi nasihat-nasihat praktis, maka antara analisis eksegetis dan penerapannya
tidak selalu harus dipisahkan. Keduanya dapat saling terjalin satu sama lain.
2. 2 Timotius 2:4-6
Menjadi Kristen yang konsekuen dan konsisten
(2 Timotius 2:4-6)
“Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak
memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia
berkenan kepada komandannya” (ayat 4).
Latar belakang teks
Menurut bentuknya, surat 2 Timotius merupakan surat
pribadi, artinya, surat dari seorang pribadi kepada seorang pribadi lainnya.
Menurut para ahli, surat ini termasuk kelompok surat-surat deutero Paulin.
Maksudnya, tidak dapat dipastikan bahwa surat itu berasal dari tangan Paulus
pribadi, namun pasti berasal dari orang-orang di sekitar Paulus. Pada waktu
itu, menulis pesan yang penting, termasuk surat, dengan meminjam otoritas
seseorang yang mempunyai nama dan pengaruh, merupakan hal yang lazim.
Para ahli PB (misalnya F.D.E. Schliermacher, J.G. Eichhorn, F.C. Baur, H.J.
Holtzmann) lazimnya meragukan kepenulisan Paulus atas ketiga surat ini dan
menganggap Surat-surat Pastoral sebagai pseudopigraf. Beberapa keberatan atas
kepenulisan Paulus:
(1)
Situasi
historis yang digambarkan di dalamnya tidak sesuai, baik dengan data Kisah
Rasul maupun dengan situasi yang melatarbelakangi surat-surat Paulus yang asli.
Menurut 1 Timotius 1:3, Timotius ditinggalkan di Efesus, sementara Paulus
melanjutkan perjalanan ke Makedonia. Paulus bermaksud segera kembali ke Efesus
(1Tim. 3:14; 4:13). Seakan-akan Paulus bebas untuk melakukan apa yang
dikehendakinya, sehingga tidak tercermin bahwa ia sedang dipenjarakan. Menurut
Kisah 19:22, yang terjadi sebaliknya, Timotius diutus ke Makedonia, sedangkan
Paulus tetap tinggal di Efesus. Jadi Timotius adalah co-author surat 2 Korintus yang ditulis dari Makedonia. Dalam Kisah
20:4, nama Timotius disebut sebagai salah seorang anggota delegasi yang diutus
dengan kumpulan tulisan, ketika Paulus pergi ke Yerusalem. Jika Paulus menulis
1 Timotius dan Titus ketika ia aktif mengabarkan Injil, maka hal ini tidak
sesuai dengan kesaksian 2 Timotius yang menggambarkan bahwa dia sedang
menderita dalam penjara (2Tim. 1:8, 12, 16; 2:9) yang sudah dekat dengan
kematiannya (2Tim. 4:6, 8). Dalam situasi demikian, bagaimana mungkin Paulus
minta agar Timotius membawakan jubah dan buku-bukunya yang tertinggal di Troas
(bdk. 2Tim. 4:13)? Menurut 2 Timotius 1:15; 4:10-11,16, semua kawan sekerja
Paulus telah meninggalkannya, sedangkan dalam 2 Timotius 4:21 dikatakan bahwa
Paulus mengirim salam dari keempat kawan sekerjanya dan dari ‘semua saudara.’
(2)
Surat-surat
Pastoral mencerminkan masalah-masalah yang dihadapi oleh generasi Kristen
ketiga. Jadi organisasi gereja waktu itu sudah lebih berkembang ketimbang pada
zaman Paulus. Gereja-gereja rumah seperti pada zaman Paulus tidak lagi menjadi
model struktur organisasi, melainkan menjadi dasar berdirinya jemaat setempat
(bdk. 1Tim. 3:15; 2Tim. 2:20-21; Tit.1:7). Jabatan-jabatan gerejawi seperti
penilik jemaat (episkopos), penatua (presbuteros) dan diaken (diakonos) dikukuhkan dengan penumpangan
tangan oleh pejabat-pejabat gerejawi yang lain, dan mereka berhak untuk
memperoleh topangan dari jemaat (bdk. 1Tim. 1:18; 3:1-7, 8-13; 4:14; 5:17-22;
2Tim. 1:6; 2:1-2; Tit. 1:5-9). Struktur kharismatik-fungsional jemaat pada
zaman Paulus telah digantikan dengan struktur organisasi yang dipimpin oleh
pejabat-pejabat gerejawi. Perdebatan dengan Yudaisme tidak lagi penting, namun
perhatian lebih dipusatkan pada kedudukan umat Kristen di tengah lingkungan
paganisme dan lingkungan masyarakat non-Kristen. Hal yang ditekankan adalah
bahwa umat Kristen harus menghormati penguasa dan hidup saleh serta sopan,
sehingga menarik bagi orang lain.
(3)
Surat-surat
Pastoral menggunakan gaya bahasa yang khas. Jika dibandingkan dengan
surat-surat Paulus yang asli, Surat-surat Pastoral memiliki kosakata yang
berbeda. Istilah-istilah teologis yang khas Surat-surat Pastoral antara lain: agapē (kasih), agnos (suci), aiōn
(zaman), alētheia (truth, kebenaran), didaskalia (pengajaran), didaskō
(mengajar), dikaiosunē (righteousness, kebenaran), doksa (kemuliaan), eirēnē (perdamaian), epignōsis
(pengetahuan), epifaneia (epifani), eusebeia (kesalehan), katharos (murni), kakos (buruk), kalos
(baik), logos (firman), manthanō (belajar), muthos (mitos), pistis
(iman), pneuma (roh), suneidēsis (hati nurani), sōzō (menyelamatkan), sōtēr (Juruselamat), dan hugiainō (sehat).
(4)
Ada
perbedaan gagasan teologis dengan surat-surat Paulus yang asli, antara lain
tidak adanya gagasan tentang kebenaran Allah, kemerdekaan, salib, Anak Allah
dan tubuh Kristus. Doktrin Paulus tentang pembenaran hanya tercermin dalam
Titus 3:4-7. Sedangkan antitesis daging-roh tidak tampak sama sekali. Ada
sedikit pergeseran gagasan mengenai ‘iman.’ Jika dalam doktrin Paulus iman
adalah sarana untuk memperoleh keselamatan, maka dalam Surat-surat Pastoral
iman adalah isi kepercayaan sebagai doktrin yang harus dipercayai. Jadi, iman
adalah “mempercayai hal yang benar untuk melawan bidat” (bdk. 1Tim. 1:19; 4:1,
6; 6:21; 2Tim. 2:18; 3:8) dan dianggap sebagai ciri khas pendirian umat
Kristen. Dalam arti demikian, iman sering disamakan dengan ‘hati nurani yang
baik’ (1Tim. 1:5, 19; 3:9), ‘kasih, kekudusan dan kerendahan hati’ (1Tim.
2:15), ‘kesucian’ (1Tim. 4:12), ‘kebenaran, kesalehan, ketekunan dan
kelemah-lembutan’ (1Tim. 6:11). Pandangannya terhadap perempuan berbeda dengan
Paulus. Dalam surat-surat Paulus, perempuan diperkenankan berpartisipasi dalam
jemaat, sedangkan dalam Surat-surat Pastoral, perempuan
dinasihatkan untuk tunduk (bdk. 1Tim. 2:9-15; 5:14).[1]
Berdasar alasan-alasan di atas, lazimnya
disepakati bahwa penulis Surat-surat Pastoral adalah seseorang dari aliran
Paulus yang tak dikenal, yang menulis surat-surat edaran seakan-akan sebagai
edisi baru kumpulan surat-surat Paulus. Kemungkinan ia adalah seorang Yahudi
Hellenis yang terdidik dengan baik, hidup di Asia Kecil dan memiliki
pemahamannya sendiri tentang gereja.
Surat-surat
Timotius menggambarkan situasi di Efesus. Karena itu, surat-surat tersebut
kemungkinan ditulis di Efesus, kira-kira tahun 100-an, karena:
1)
Tradisi
tentang kehidupan Paulus dan pribadinya masih tercermin dalam kehidupan jemaat.
2)
Struktur
jabatan gerejawi dalam Surat-surat Pastoral berbeda dengan struktur gerejawi
sebagaimana digambarkan oleh Ignatius dan Polycarpus di sekitar 110 – 130.
3)
Surat-surat
Pastoral ditulis dalam proses terbentuknya korpus Paulus.
4)
Tipe
ajaran sesat yang dilawan oleh Surat-surat Pastoral adalah bentuk awal
Gnostikisme di sekitar tahun 100.
Sekalipun ditujukan kepada kawan-kawan sekerja
Paulus yang paling dekat (yaitu Timotius dan Titus), kemungkinan besar
alamat-alamat tersebut fiktif. Rupanya, surat-surat ini ditujukan untuk suatu
persekutuan Kristen campuran, yang terdiri dari orang-orang Kristen bukan
Yahudi dan sebagian yang lain orang-orang Kristen Yahudi. Karena itu, di
dalamnya ditemukan bentuk-bentuk liturgis kekristenan Yahudi Hellenistis (lht.
1Tim. 1:17; 6:15-16). Guru-guru palsu yang disebut dalam 2 Timotius 3:8, Yanes
dan Yambres, menunjukkan bahwa yang dilawan surat-surat ini adalah suatu bentuk
Gnostikisme dengan latar belakang legenda-legenda Yahudi. “Dongeng dan silsilah
yang tiada putus-putusnya” dalam 1 Timotius 1:4 sesuai dengan kecenderungan
Gnostik tentang hirarkhi makhluk surgawi, dan petunjuk tentang hukum Taurat
dalam 1 Timotius 1:8-9 mengindikasikan unsur-unsur Yahudi.[2]
Analisis eksegetis
Berdasar isinya, surat ini sering digolongkan ke dalam kelompok surat-surat
pastoral, atau surat-surat penggembalaan (yang lazim disebut Surat-surat
Pastoral adalah 1 dan 2 Timotius dan Titus), yang bermanfaat bagi pembangunan
iman jemaat secara keseluruhan.
Perikop yang kita baca berisi nasihat dan panggilan untuk
menjadi Kristen secara benar. Atau, kalau saya boleh menyebutnya secara bebas,
menjadi Kristen yang konsekuen dan konsisten. Penulis surat ini mengambil tiga
macam ilustrasi, yang akrab bagi jemaat-jemaat muda (yang diperkirakan) di
wilayah Asia Kecil, kemungkinan di sekitar Kolose atau Efesus.
Ilustrasi pertama diambil dari dunia kemiliteran. Menjadi
Kristen yang konsekuen dan konsisten ibarat seorang prajurit sejati, yang harus
maju ke tengah perjuangan. Ada tiga syarat utama bagi seorang prajurit agar
perjuangannya berhasil, yaitu:
-
Menjadi
prajurit yang baik menuntut konsentrasi. Ia harus memperhatikan tugasnya secara
penuh, tidak boleh bercabang-cabang pikiran untuk tugas-tugas atau
pekerjaan-pekerjaan lainnya.
-
Menjadi
prajurit yang baik membutuhkan ketaatan terhadap pimpinannya. Ia harus taat
kepada komandannya tanpa bertanya dan tanpa syarat. Ketaatannya kepada komandan
bersifat mutlak.
-
Prajurit
yang baik memiliki kerelaan untuk berkurban. Dalam rangka menjalankan tugas
perjuangannya, seorang prajurit harus rela mengurbankan apa yang ada pada
dirinya, bahkan, jika perlu, hidupnya.
-
Prajurit
yang baik harus setia terhadap tugas dan tanggung jawabnya, serta kepada
pimpinannya. Kebajikan tertinggi bagi seorang prajurit adalah setia sampai
mati.
Ilustrasi kedua diambil dari dunia olahraga. Menjadi Kristen secara
konsekuen dan konsisten ibarat seorang atlet. Atlet yang berhasil adalah atlet
yang mampu meraih prestasi. Ungkapan “bertanding menurut peraturan-peraturan”
merupakan terjemahan dari frasa athlein nominōs dalam bahasa Yunani,
yang dapat diterjemahkan dengan atlet profesional, untuk membedakannya
dengan atlet amatir. Menjadi Kristen hendaklah menjadi seperti atlet
profesional, bukan atlet amatir. Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh
seorang atlet profesional, yaitu:
-
Disiplin dan berani menyangkal diri. Kata disiplin
memiliki keterkaitan dengan kata murid, atau disciple dalam
bahasa Inggris, atau discipulus dalam bahasa Latin. Untuk menjadi murid
yang benar tidak mungkin tanpa kedisiplinan. Atlet yang baik harus disiplin
dengan latihannya. Di samping itu, ia harus ketat untuk tidak mengikuti
keinginannya, sehingga melanggar pantangan yang tidak boleh dilakukannya.
Itulah hakikat menyangkal diri.
-
Bertanding
menurut peraturan-peraturan. Seorang atlet tidak mungkin menang kecuali ia bermain menurut aturan
pertandingan.
Ilustrasi ketiga diambil dari dunia pertanian. Menjadi Kristen secara
konsekuen dan konsisten adalah ibarat seorang petani yang selalu bekerja keras.
-
Petani
harus bekerja keras dengan kesabaran menunggu hasilnya. Seorang petani yang
tekun adalah seorang pekerja keras. Seluruh waktunya dipergunakan demi
pekerjaannya. Sementara itu, hasil kerjanya tidak dapat dipetik segera. Ia
harus menunggu hingga musim panen tiba.
-
Seorang
petani selalu siap bekerja keras di setiap waktu. Seorang petani yang baik,
tidak pernah memilih-milih waktu untuk bekerja. Setiap waktu, hujan maupun
panas, ia tetap bekerja demi cocok-tanamnya.
-
Namun
seorang petani juga berhak menjadi orang pertama yang menikmati hasil kerja kerasnya. Kerja
keras yang dilakukannya tidak menjadi sia-sia, sebab seorang petani layak
menikmati hasil yang diperolehnya. Pada saat itulah sukacita mendalam dapat
dirasakannya.
Penerapan:
Coba terapkan secara singkat masing-masing ilustrasi tersebut dalam
kehidupan iman seorang Kristen! Menurut pendapat anda, apakah ‘aturan
permainan’ bagi kehidupan orang Kristen itu? Bagaimanakah kesimpulan anda
mengenai kehidupan Kristen yang seharusnya itu?
Catatan:
Dalam pelayanan firman (bukan
karya ilmiah hermeneutis PB), latar belakang teks cukup disajikan secara singkat,
seperlunya saja. Meskipun demikian, di balik itu semua, penafsir harus terlebih
dulu mempelajari dan mengkajinya dengan seksama.
3. 2 Timotius 2:15-18
Hiduplah layak dan teruji
(2 Timotius 2:15-18)
“Usahakanlah supaya engkau
layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tak usah malu, yang
berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (ayat 15).
Pengantar
Surat Timotius termasuk dalam kelompok surat-surat
pastoral. Sekalipun ditulis sebagai surat pribadi (kepada Timotius dan Titus),
surat-surat pastoral berisi penggembalaan yang relevan untuk mengatasi
masalah-masalah kejemaatan, yaitu untuk menggiring orang-orang percaya agar
hidup sebagai keluarga Allah dengan disiplin yang tinggi. Jemaat yang menjadi
konteks surat-surat pastoral adalah jemaat yang sedang bertumbuh dan secara
organisatoris telah mulai tertata rapi. Dari sisi iman, anggota-anggota jemaat
sudah mulai beranjak dari kehidupan lama, namun masih relatif muda dan rentan
terhadap godaan. Arah pandang jemaat agak bergeser dengan arah pandang jemaat
mula-mula. Jika perhatian jemaat mula-mula tertuju secara langsung kepada
pribadi Yesus, maka kini perhatian mereka tertuju pada pengakuan Kristen yang
disebut sebagai “kebenaran yang telah dipercayakan kepadamu” (2Tim. 1:14).
Sehubungan dengan itu, dalam bahasa Yunani digunakan istilah paratēkhē, yang secara harfiah berarti
“titipan yang dipercayakan untuk disimpan dengan aman.”
Rupanya pada waktu itu jemaat sedang menghadapi
ajaran sesat, yang dicirikan dengan intelektualisme spekulatif. Para pengajar
sesat suka menimbulkan persoalan dan mencari-cari persoalan dengan mengandalkan
rasio mereka yang bersifat spekulatif. Akibatnya timbul perdebatan. Orang-orang
yang merasa lebih intelek menjadi sombong, karena menganggap diri telah
mencapai kesempurnaan keselamatan. Gaya hidup mereka sebagian asketis, dan
sebagian lain amoral. Ciri-ciri lain ajaran sesat ini adalah: mengutamakan
silsilah dan dongeng-dongeng yang bersifat mitis, terarah pada legalisme
Yahudi, serta menolak kebangkitan tubuh.
Analisis eksegetis
Di
tengah-tengah merebaknya guru-guru palsu, Paulus mendorong Timotius agar
memperlihatkan diri sebagai pengajar kebenaran. Ada tiga sikap yang harus
diperlihatkan oleh Timotius, yaitu:
-
layak; sebagai terjemahan kata Yunani parastēsai, yang secara harfiah berarti “tampil”, maksudnya, Timotius didorong agar
“menampilkan diri sebagai pelayan kebenaran.”
-
tidak usah malu; sebagai terjemahan kata Yunani dokimos, yang berarti “orang yang telah
teruji.” Kata dokimos digunakan untuk
melukiskan sesuatu yang telah teruji kemurniannya. Dalam bangunan, batu-batu
yang telah diteliti/diuji dan ternyata tidak layak untuk dipasang diberi notasi
A, yang merupakan singkatan dari adokimos,
yang berarti “sudah diuji dan ternyata cacat.” Kata dokimos memiliki arti sebaliknya, yaitu “sudah teruji
kelayakannya.”
-
berterusterang; sebagai terjemahan kata Yunani orthotomein, yang secara harfiah berarti
“memotong dengan benar.” Kata ini dapat pula berarti “menyusur jalan lurus”
atau “meniti jalan benar”, “membajak dengan alur yang lurus di ladang
kebenaran”, “memilih hal yang benar dan mendudukkannya dalam posisi yang
benar.”
Ketiga sikap tersebut dipertentangkan dengan sikap guru-guru palsu seperti
Himeneus dan Filetus yang tidak percaya kepada kebangkitan tubuh dan
mengartikan kata ‘kebangkitan’ sebagai kelanjutan hidup melalui keturunan.
Penerapan
Pada hakikatnya, setiap orang percaya terhisab dalam panggilan yang sama
seperti panggilan kepada Timotius.
·
Hendaklah
kita tampil sebagai pelayan kebenaran Allah. Berarti, dengan
sadar kita menunjukkan jati diri sebagai orang percaya. Hal ini kita
wujudnyatakan dalam seluruh kehidupan, yang meliputi: pikiran, sikap,
tutur-kata dan tingkah-laku.
·
Hendaklah
kita menjadi pekerja yang teruji
kemurniannya, yang meliputi: kemurnian motivasi, ketulusan hati, teruji
pekerjaannya, teruji maksud utamanya, yaitu untuk melayani Allah dan menjadi
berkat bagi sesama. Jangan sampai kita tergolong adokimos, sudah diuji dan kedapatan cacat, sehingga tidak layak
ditempatkan dalam struktur bangunan keluarga Allah.
·
Hendaklah
kita benar-benar menyusur jalan yang
benar, berpegang kepada firman Allah yang benar, memberitakan berita yang
benar, membawa kebenaran, bertindak dengan cara-cara yang benar, menempatkan
kebenaran secara proporsional dan tidak membuat kesalahan seakan-akan benar,
seperti permainan palsu orang-orang yang sesat. Kita perlu menghindarkan diri
dari omong kosong yang tidak suci dan hanya menambah kefasikan.
Barang siapa
bertelinga hendaklah ia mendengar! Bukankah begitu firman Tuhan?
15 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar