Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Jumat, 14 Juni 2013

BELAJAR CARA MENAFSIR TEKS-TEKS PARANESIS DIDALAM ALKITAB PADA PERJANJIAN BARU

MENAFSIR TEKS-TEKS PARANESIS DALAM PB
Bahan Kuliah VIII

Pengertian paranesis

Dalam Perjanjian Baru terdapat cukup banyak bentuk sastra yang digunakan sebagai wahana pemberitaan. Untuk memahami pesan-pesan asli penyusun teks-teks PB sedekat mungkin, penafsir perlu merekonstruksi teks-teks tersebut dan meletakkan dalam jalinan kontekstualnya secara teliti. Di antara bentuk-bentuk sastra teks-teks PB, salah satu di antaranya adalah paranesis. Paranesis adalah istilah Yunani untuk bagian-bagian surat atau kitab yang berisi nasihat-nasihat praktis atau nasihat-nasihat terapan (misalnya: Matius 22:37-40; Matius 23:1-12; 1 Yohanes 3:1-6; Filipi 1:27-2:18; Yakobus 1:19-27; 2 Timotius 2:4-6; 2 Timotius 2:15-18 dsb.).

Perlu diingat, bahwa tidak semua teks PB berupa paranesis. Karena itu, penafsir tidak boleh dengan semena-mena mengutip ayat-ayat PB untuk kemudian diterapkan sebagai “hukum” praktis bagi kondisi dan situasi kini dan di sini! Kita harus hati-hati dalam menjajarkan teks-teks PB dari bagian yang satu dengan bagian yang lain, sebab masing-masing teks memiliki konteksnya sendiri, yang kemungkinan satu sama lain sangat berbeda dan maksud atau pesan yang hendak disampaikan pun dapat berbeda.

Langkah-langkah menafsirkan paranesis

Teks-teks paranesis seakan-akan “barang jadi” yang siap untuk diterapkan secara langsung bagi kondisi dan situasi kekinian penafsir. Mungkin sebagian memang demikian adanya, namun tidak selalu begitu. Belum tentu nasihat-nasihat yang diberikan langsung dapat diterapkan secara harfiah. Oleh sebab itu, sebagai langkah pertama, penafsir perlu merekonstruksi teks yang ditafsirkan, dengan terlebih dulu menempatkan teks tersebut dalam konteksnya. Rekonstruksi ini meliputi penelitian atas penulis, alamat penerima, maksud penulisan, masalah-masalah yang dihadapi, jalinan historisnya dan bermacam-macam konteks lain yang ikut mempengaruhinya. Namun prinsip-prinsip ini bukan aturan mati, sebab usaha merekonstruksi teks akan sangat ditentukan oleh “watak” dan “warna” teks itu sendiri. Yang dimaksud “watak” di sini adalah karakter teks, sedangkan “warna” adalah faktor-faktor yang ikut mempengaruhi terciptanya teks.

Baru kemudian langkah kedua, secara analitis penafsir berusaha mengeksegesis (menarik keluar pesan atau pesan-pesan yang hendak disampaikan), bukan malah memasukkan gagasan sendiri ke dalamnya. Tiap-tiap teks hendaknya diberi kebebasan untuk berbicara kepada kita. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa subjektivitas penafsir dalam memahami pesan-pesan tersebut ikut menentukan. Subjektivitas penafsir tersebut dipengaruhi oleh alam berpikirnya, kondisi dan situasi yang sedang dihadapinya, serta seberapa jauh ia berhasil merekonstruksi teks sesuai dengan maksud penyusun aslinya (the original author). Secara imaniah, kita tidak boleh pesimis atas kemungkinan terjadinya perbedaan penafsiran, sebab Tuhan berkenan berfirman kepada kita, juga dalam segala kelemahan kita sekalipun. Lagi pula, perbedaan-perbedaan penafsiran justru mencerminkan kekayaan firman itu sendiri. Perbedaan tidak harus bertentangan, bahkan seandainya bertentangan sekalipun, satu sama lain akan saling memperkaya dan saling melengkapi pemahaman kita atas teks yang ditafsirkan. Hal ini hanya dapat terjadi jika para penafsir mendekati teks dengan langkah-langkah hermeneutis yang bertanggung jawab.

Pesan-pesan inilah yang kemudian, dalam langkah ketiga, diterapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kini dan di sini penafsir. Inilah prinsip dasar hermeneutika yang tidak boleh kita lupakan. Dengan langkah hermeneutis yang benar dan cermat, penafsir akan membuat firman yang telah difirmankan pada masa lampau menjadi firman yang sedang difirmankan pada masa kini. Sama seperti dalam melakukan analisis eksegestis, usaha untuk menerapkan pesan bagi kekinian penafsir pun dapat saja berbeda-beda, tergantung latar belakang dan konteks hidup masing-masing penafsir. Di sinilah kita sadari luasnya spektrum hermeneutis atas suatu teks dalam PB. Sekali lagi, secara imaniah kita tetap yakin bahwa Tuhan berkenan memakai kemanusiaan kita untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran-Nya.

Contoh penafsiran:

1.       Yakobus 1:19-27

Pendengar atau pelaku firman?
(Yakobus 1:19-27)
“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (ayat 22).
Latar belakang teks
Surat Yakobus termasuk salah satu dari ketujuh surat am (surat katolik), yaitu surat untuk jemaat-jemaat secara umum. Surat ini mengalami banyak masalah dalam sejarah gereja. Gereja Ortodoks Timur menempatkannya sesudah Kisah Para Rasul, karena mereka menganggap surat ini termasuk salah satu tulisan Perjanjian Baru yang tua, yang diperkirakan berasal dari rasul Yakobus sendiri. Namun, banyak pula yang meragukan keaslian surat ini. Martin Luther menilai surat ini bertentangan dengan ajaran Paulus. Jika Paulus mengajarkan pembenaran oleh iman, maka surat Yakobus dianggap mengajarkan pembenaran oleh perbuatan. Di samping itu, Luther juga menilai surat ini tidak memberitakan Kristus, melainkan hukum Taurat dan keperyacaan umum tentang Allah. Karena itu, Luther menganggap surat ini tidak berasal dari salah seorang rasul dan tidak termasuk kitab-kitab utama dalam Perjanjian Baru, walaupun ia mengakui bahwa di dalamnya terdapat pula nasihat-nasihat yang baik.
Hampir tidak mungkin bahwa penulis surat ini adalah Yakobus, salah seorang di antara keduabelas rasul Yesus (lht. Mat. 10:2-3; Mk. 3:17-18; Luk. 6:14-15), karena ia tidak disebut sebagai ‘rasul,’ melainkan hanya ‘hamba Allah dan hamba Yesus Kristus’ (Yak. 1:1). Mungkin sapaan ini merujuk kepada Yakobus saudara Yesus, yang biasa disebut ‘saudara Tuhan’ (lht. Mat. 13:55; Mk. 6:3). Ia adalah pemimpin komunitas Yahudi Kristen di Yerusalem, yang dikenal Paulus sebagai salah seorang ‘soko guru’ jemaat (Gal. 2:9). Dalam Kisah Para Rasul, ia tampil sebagai juru bicara umat Kristen Yahudi dalam gereja mula-mula (Kis. 12:17; 15:13-21). Menurut sejarawan Yahudi, Yosephus, ia dirajam hingga mati oleh orang-orang Yahudi di bawah pimpinan imam besar Ananus II, pada 63 Masehi (Antiquities 20, 9, 1 ¶201-203).
Surat ini ditujukan untuk ‘keduabelas suku di perantauan.’ Bertolak dari penggunaannya dalam PL, istilah ‘duabelas suku’ rupanya menunjuk pada umat Israel; sedangkan ‘perantauan’ atau ‘diaspora’ agaknya menunjuk kepada orang-orang Yahudi non-Palestina, yang tinggal di seluruh dunia Romawi-Yunani (lht. Yoh. 7:35). Dalam pemikiran Kristen, gereja adalah Israel baru, karena itu, surat ini kemungkinan dialamatkan kepada umat Kristen Yahudi yang berada di Palestina, Siria atau di tempat lain. Atau mungkin pula surat ini dimaksudkan sebagai surat umum untuk semua komunitas Kristen. Kata ‘perantauan,’ dapat juga digunakan dalam arti kias, yaitu dunia ini sebagai ‘tempat pembuangan’ orang beriman dari tempat tinggalnya yang sejati, seperti alamat surat 1 Petrus (1Ptr. 1:1). Surat ini sangat bersifat Yahudi. Para ahli biblika menganggapnya sebagai dokumen Yahudi yang ‘dibaptiskan’ dengan beberapa sisipan Kristen. Namun pendapat ini hampir tidak dapat dipertahankan, karena terlihat demikian banyak hubungan antara surat Yakobus dengan literatur PB yang lain.
Dari bentuk sastranya, kita tidak menemukan ciri-ciri sebuah surat dalam surat Yakobus, kecuali karena alamatnya. Lebih tepat surat ini digolongkan dalam kelompok paranesis atau nasihat, yang hampir-hampir hanya berkenaan dengan perilaku etis. Karena itu, surat Yakobus lazimnya dianggap sebagai salah satu sastra hikmat Yahudi, sama seperti yang kita temukan dalam PL (misalnya, Amsal Salomo dan Yesus ben Sirakh) dan dalam literatur Yahudi ekstra kanonik (misalnya, Wasiat Keduabelas Tua-tua, Kitab Henokh dan Petunjuk Disiplin yang ditemukan di Qumran). Lebih khas lagi, surat ini terdiri dari bagian-bagian amsal pengajaran yang dapat dibandingkan dengan Tobit 4:5-19, dan banyak bagian dari Kitab Yesus ben Sirakh, serta perkataan-perkataan Yesus dalam Injil-injil Sinoptik, terutama dalam Khotbah di Bukit. Yakobus menampilkan tipe kekristenan perdana, yang menekankan ajaran sehat serta perliaku moral yang bertanggung jawab. Norma-norma etisnya terutama tidak berasal dari gagasan kristologi seperti yang terjadi dalam surat-surat Paulus, melainkan dari konsepsi keselamatan, yang meliputi pertobatan, baptisan, pengampunan dosa dan pengharapan akan penghakiman terakhir (Yak. 1:17; 4:12).
Secara paradoks, karya yang bersifat sangat Yahudi ini ditulis dalam gaya bahasa Yunani yang amat baik, bahkan termasuk salah satu yang terbaik dalam PB. Karena itu, diduga surat ini merupakan hasil karya seorang penulis Hellenis yang terlatih. Mereka yang menganggap bahwa penulisnya adalah Yakobus dari Yerusalem berpendapat bahwa seorang sekretaris telah meredaksikannya, hingga mencapai bentuknya seperti sekarang ini. Namun, dalam terang kebiasaan purba, asumsi ini tidak masuk akal. Sementara orang menganggap surat ini sebagai salah satu tulisan paling awal dalam PB, dan secara akurat isinya mencerminkan pikiran seorang pemimpin jemaat Kristen Yahudi. Lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa secara historis, tipe kekristenan Yahudi yang tercermin dalam surat ini tidak mungkin berasal dari masa sesudah kejatuhan Yerusalem pada 70 M.
Namun, sebagian orang yang lain meyakini bahwa surat Yakobus merupakan sebuah karya pseudonim dari periode kemudian. Kecuali gaya bahasa Yunaninya, mereka mencermati lebih lanjut bahwa: (a) wibawa yang diasumsikan oleh penulis menunjuk kepada reputasi legendaris Yakobus di kemudian hari; (b) pembahasan tentang pentingnya perbuatan baik (di samping iman) agaknya terjadi setelah masa hidup Paulus, sebab pada zaman Paulus, yang ditekankan adalah keselamatan karena iman; (c) gagasan moral-etis penulis tidak didasarkan pada ketentuan-ketentuan Taurat Musa; (d) surat ini tidak memuat sejarah Yakobus sendiri dan hubungan dia dengan Yesus, atau dengan persekutuan perdana di Yerusalem. Karena alasan-alasan tersebut, sangat masuk akal jika banyak penafsir mutakhir berpendapat bahwa surat ini merupakan karya pseudonim yang ditulis dalam periode 90-100 M.
Analisis eksegetis dan penerapan
Apabila kita menyimak dengan seksama, sesungguhnya tidak ada pertentangan antara Paulus dengan penulis surat Yakobus. Jika Paulus mengatakan bahwa manusia hanya dibenarkan karena iman, tidak berarti bahwa ia mengabaikan perbuatan. Sebab iman yang benar tidak mungkin tanpa terwujud dalam perbuatan. Yang ingin ditekankan oleh Paulus adalah bahwa pertama-tama bukanlah perbuatan manusia yang menjadi dasar pembenaran dirinya oleh Allah, melainkan karena iman terhadap anugerah Allah. Sementara itu, surat Yakobus sebenarnya hanya ingin menekankan bahwa pembenaran itu tidak hanya karena iman saja, jika iman itu tidak dibuktikan dalam perbuatan. Sebab iman tanpa perbuatan adalah mati. Dalam hal ini, Yakobus tidak mengabaikan iman, tetapi yang ditentang adalah iman tanpa perbuatan. Dalam perikop kita, Yakobus ingin menunjukkan bagaimana iman yang hidup itu telahir dalam pembaruan sikap dan perilaku. Ada beberapa hal yang sangat penting kita perhatikan.
Pertama, iman yang benar itu lebih cepat mendengar daripada berkata-kata. Maksudnya, daripada mengutamakan pikirannya sendiri, lebih baik orang mendahulukan mendengar pengajaran. Orang yang mengutamakan pikirannya sendiri, biasanya sulit mendengar pendapat atau kebenaran orang lain, termasuk mendengar pengajaran firman Allah. Di samping itu, iman yang benar juga terlahir dalam sikap yang sabar, menahan amarah. Tidak ada hal yang positif dari amarah, karena itu dikatakan bahwa amarah tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Dengan kesediaan mendengar dan membuang amarah, maka setahap demi setahap orang beriman akan terlatih membuang segala kejahatan dan selanjutnya membuka diri terhadap firman Allah hingga firman itu tertanam dalam hatinya, serta membiarkan firman itu menguasai hatinya.
Kedua, firman Allah tidak cukup didengar, tetapi dilakukan dalam kehidupan. Mendengar tanpa melakukan itu menipu diri sendiri. Dalam hal ini surat Yakobus mengumpamakannya seperti orang yang berdiri di depan cermin untuk melihat wajahnya. Begitu beranjak meninggalkan cermin, ia telah melupakan rupanya. Berbeda dengan orang yang mendengar firman dan melakukan, firman itu bukan saja diingat, melainkan menjadi milik, bahkan menguasai hidupnya. Akibatnya, seantero kehidupan akan ditentukan oleh firman Allah itu. Mengingat bahwa firman Allah adalah “dunia” orang beriman, maka sejauh berada dalam firman itu, kita akan merasakan kesukacitaan dan kebahagiaan yang mendalam. Itulah damai sejahtera (syalom) Allah. Dalam ketaatan terhadap firman Allah, kita akan merasakan syalom yang sesungguhnya. Tentu hal ini sulit diukur dengan ukuran kesenangan lahiriah. Kebahagiaan para pelaku firman adalah kebahagiaan surgawi. Oleh sebab itu, penulis surat ini menandaskan hendaklah orang beriman menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar saja.
Ketiga, iman yang benar juga terwujud dalam kemampuan mengendalikan lidah. Yang dimaksud mengendalikan lidah adalah mengendalikan perkataan. Setiap perkataan yang diucapkan haruslah diperhitungkan dengan cermat, sehingga memiliki daya membangun. Perkataan dapat lebih tajam daripada mata pisau. Perkataan dapat menyulut perselisihan, tetapi dapat juga menyejukkan. Perkataan dapat mendatangkan sakit hati, tetapi dapat juga membangun dan menghibur. Perkataan dapat menjatuhkan orang lain, tetapi dapat pula menguntungkan. Percideraan dan fitnah, kebohongan dan penipuan, semua bertentangan dengan pengendalian lidah. Oleh sebab itu, orang beriman tidak boleh berkata-kata dengan sembarangan. Mengaku beriman tetapi tidak mengendalikan lidah, itu menipu diri sendiri. Mengaku beribadah tetapi tidak mengendalikan perkataan, itu sia-sia, sebab hanya perkataan yang baik mendatangkan kemuliaan bagi Allah.
Keempat, iman yang benar, yang terlahir dalam ibadah yang benar, akan terjabar pula dalam kepedulian terhadap penderitaan sesama manusia. Ketekunan beribadah tanpa kepedulian terhadap kesusahan orang lain, tidak ada gunanya, karena ibadah yang dilakukan hanyalah basa-basi. Kristus sendiri mengatakan bahwa iman yang benar kepada Allah terwujud dalam perhatian dan kepedulian terhadap mereka yang tersisih dan membutuhkan pertolongan (bandingkan Matius 25:45). Di sinilah orang beriman diajar untuk tidak egois. Ibadah yang sejati bukan hanya memikirkan diri sendiri, melainkan juga memikirkan orang lain. Sayang sekali, kita sering terlena, beribadah hanya untuk kepuasan batin kita sendiri, namun tidak dengan melakukan firman-Nya dalam kehidupan, dengan memberi perhatian kepada orang yang membutuhkan uluran tangan.
Kelima, iman yang benar harus tampak pula dalam sikap memelihara diri dari segala kecemaran dunia. Mengaku beriman, tetapi hidup penuh kecemaran, itu tidak ada artinya. Sebab iman yang benar berarti pula menjaga kekudusan hidup. Sebagaimana Yesus sendiri mengingatkan, hendaklah kamu kudus, seperti Bapamu juga kudus.
Sekarang silakan putuskan, akankah kita menjadi hanya pendengar firman, atau sekaligus pelaku firman?             
Catatan:

Karena teks-teks paranesis berisi nasihat-nasihat praktis, maka antara analisis eksegetis dan penerapannya tidak selalu harus dipisahkan. Keduanya dapat saling terjalin satu sama lain.

2.       2 Timotius 2:4-6

Menjadi Kristen yang konsekuen dan konsisten

(2 Timotius 2:4-6)
“Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya” (ayat 4).

Latar belakang teks

Menurut bentuknya, surat 2 Timotius merupakan surat pribadi, artinya, surat dari seorang pribadi kepada seorang pribadi lainnya. Menurut para ahli, surat ini termasuk kelompok surat-surat deutero Paulin. Maksudnya, tidak dapat dipastikan bahwa surat itu berasal dari tangan Paulus pribadi, namun pasti berasal dari orang-orang di sekitar Paulus. Pada waktu itu, menulis pesan yang penting, termasuk surat, dengan meminjam otoritas seseorang yang mempunyai nama dan pengaruh, merupakan hal yang lazim.

Para ahli PB (misalnya F.D.E. Schliermacher, J.G. Eichhorn, F.C. Baur, H.J. Holtzmann) lazimnya meragukan kepenulisan Paulus atas ketiga surat ini dan menganggap Surat-surat Pastoral sebagai pseudopigraf. Beberapa keberatan atas kepenulisan Paulus:
(1)    Situasi historis yang digambarkan di dalamnya tidak sesuai, baik dengan data Kisah Rasul maupun dengan situasi yang melatarbelakangi surat-surat Paulus yang asli. Menurut 1 Timotius 1:3, Timotius ditinggalkan di Efesus, sementara Paulus melanjutkan perjalanan ke Makedonia. Paulus bermaksud segera kembali ke Efesus (1Tim. 3:14; 4:13). Seakan-akan Paulus bebas untuk melakukan apa yang dikehendakinya, sehingga tidak tercermin bahwa ia sedang dipenjarakan. Menurut Kisah 19:22, yang terjadi sebaliknya, Timotius diutus ke Makedonia, sedangkan Paulus tetap tinggal di Efesus. Jadi Timotius adalah co-author surat 2 Korintus yang ditulis dari Makedonia. Dalam Kisah 20:4, nama Timotius disebut sebagai salah seorang anggota delegasi yang diutus dengan kumpulan tulisan, ketika Paulus pergi ke Yerusalem. Jika Paulus menulis 1 Timotius dan Titus ketika ia aktif mengabarkan Injil, maka hal ini tidak sesuai dengan kesaksian 2 Timotius yang menggambarkan bahwa dia sedang menderita dalam penjara (2Tim. 1:8, 12, 16; 2:9) yang sudah dekat dengan kematiannya (2Tim. 4:6, 8). Dalam situasi demikian, bagaimana mungkin Paulus minta agar Timotius membawakan jubah dan buku-bukunya yang tertinggal di Troas (bdk. 2Tim. 4:13)? Menurut 2 Timotius 1:15; 4:10-11,16, semua kawan sekerja Paulus telah meninggalkannya, sedangkan dalam 2 Timotius 4:21 dikatakan bahwa Paulus mengirim salam dari keempat kawan sekerjanya dan dari ‘semua saudara.’
(2)    Surat-surat Pastoral mencerminkan masalah-masalah yang dihadapi oleh generasi Kristen ketiga. Jadi organisasi gereja waktu itu sudah lebih berkembang ketimbang pada zaman Paulus. Gereja-gereja rumah seperti pada zaman Paulus tidak lagi menjadi model struktur organisasi, melainkan menjadi dasar berdirinya jemaat setempat (bdk. 1Tim. 3:15; 2Tim. 2:20-21; Tit.1:7). Jabatan-jabatan gerejawi seperti penilik jemaat (episkopos), penatua (presbuteros) dan diaken (diakonos) dikukuhkan dengan penumpangan tangan oleh pejabat-pejabat gerejawi yang lain, dan mereka berhak untuk memperoleh topangan dari jemaat (bdk. 1Tim. 1:18; 3:1-7, 8-13; 4:14; 5:17-22; 2Tim. 1:6; 2:1-2; Tit. 1:5-9). Struktur kharismatik-fungsional jemaat pada zaman Paulus telah digantikan dengan struktur organisasi yang dipimpin oleh pejabat-pejabat gerejawi. Perdebatan dengan Yudaisme tidak lagi penting, namun perhatian lebih dipusatkan pada kedudukan umat Kristen di tengah lingkungan paganisme dan lingkungan masyarakat non-Kristen. Hal yang ditekankan adalah bahwa umat Kristen harus menghormati penguasa dan hidup saleh serta sopan, sehingga menarik bagi orang lain.
(3)    Surat-surat Pastoral menggunakan gaya bahasa yang khas. Jika dibandingkan dengan surat-surat Paulus yang asli, Surat-surat Pastoral memiliki kosakata yang berbeda. Istilah-istilah teologis yang khas Surat-surat Pastoral antara lain: agapē (kasih), agnos (suci), aiōn (zaman), alētheia (truth, kebenaran), didaskalia (pengajaran), didaskō (mengajar), dikaiosunē (righteousness, kebenaran), doksa (kemuliaan), eirēnē (perdamaian), epignōsis (pengetahuan), epifaneia (epifani), eusebeia (kesalehan), katharos (murni), kakos (buruk), kalos (baik), logos (firman), manthanō (belajar), muthos (mitos), pistis (iman), pneuma (roh), suneidēsis (hati nurani), sōzō (menyelamatkan), sōtēr (Juruselamat), dan hugiainō (sehat).
(4)    Ada perbedaan gagasan teologis dengan surat-surat Paulus yang asli, antara lain tidak adanya gagasan tentang kebenaran Allah, kemerdekaan, salib, Anak Allah dan tubuh Kristus. Doktrin Paulus tentang pembenaran hanya tercermin dalam Titus 3:4-7. Sedangkan antitesis daging-roh tidak tampak sama sekali. Ada sedikit pergeseran gagasan mengenai ‘iman.’ Jika dalam doktrin Paulus iman adalah sarana untuk memperoleh keselamatan, maka dalam Surat-surat Pastoral iman adalah isi kepercayaan sebagai doktrin yang harus dipercayai. Jadi, iman adalah “mempercayai hal yang benar untuk melawan bidat” (bdk. 1Tim. 1:19; 4:1, 6; 6:21; 2Tim. 2:18; 3:8) dan dianggap sebagai ciri khas pendirian umat Kristen. Dalam arti demikian, iman sering disamakan dengan ‘hati nurani yang baik’ (1Tim. 1:5, 19; 3:9), ‘kasih, kekudusan dan kerendahan hati’ (1Tim. 2:15), ‘kesucian’ (1Tim. 4:12), ‘kebenaran, kesalehan, ketekunan dan kelemah-lembutan’ (1Tim. 6:11). Pandangannya terhadap perempuan berbeda dengan Paulus. Dalam surat-surat Paulus, perempuan diperkenankan berpartisipasi dalam jemaat, sedangkan dalam Surat-surat Pastoral, perempuan dinasihatkan untuk tunduk (bdk. 1Tim. 2:9-15; 5:14).[1]

Berdasar alasan-alasan di atas, lazimnya disepakati bahwa penulis Surat-surat Pastoral adalah seseorang dari aliran Paulus yang tak dikenal, yang menulis surat-surat edaran seakan-akan sebagai edisi baru kumpulan surat-surat Paulus. Kemungkinan ia adalah seorang Yahudi Hellenis yang terdidik dengan baik, hidup di Asia Kecil dan memiliki pemahamannya sendiri tentang gereja.

Surat-surat Timotius menggambarkan situasi di Efesus. Karena itu, surat-surat tersebut kemungkinan ditulis di Efesus, kira-kira tahun 100-an, karena:
1)      Tradisi tentang kehidupan Paulus dan pribadinya masih tercermin dalam kehidupan jemaat.
2)      Struktur jabatan gerejawi dalam Surat-surat Pastoral berbeda dengan struktur gerejawi sebagaimana digambarkan oleh Ignatius dan Polycarpus di sekitar 110 – 130.
3)      Surat-surat Pastoral ditulis dalam proses terbentuknya korpus Paulus.
4)      Tipe ajaran sesat yang dilawan oleh Surat-surat Pastoral adalah bentuk awal Gnostikisme di sekitar tahun 100.
           
Sekalipun ditujukan kepada kawan-kawan sekerja Paulus yang paling dekat (yaitu Timotius dan Titus), kemungkinan besar alamat-alamat tersebut fiktif. Rupanya, surat-surat ini ditujukan untuk suatu persekutuan Kristen campuran, yang terdiri dari orang-orang Kristen bukan Yahudi dan sebagian yang lain orang-orang Kristen Yahudi. Karena itu, di dalamnya ditemukan bentuk-bentuk liturgis kekristenan Yahudi Hellenistis (lht. 1Tim. 1:17; 6:15-16). Guru-guru palsu yang disebut dalam 2 Timotius 3:8, Yanes dan Yambres, menunjukkan bahwa yang dilawan surat-surat ini adalah suatu bentuk Gnostikisme dengan latar belakang legenda-legenda Yahudi. “Dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya” dalam 1 Timotius 1:4 sesuai dengan kecenderungan Gnostik tentang hirarkhi makhluk surgawi, dan petunjuk tentang hukum Taurat dalam 1 Timotius 1:8-9 mengindikasikan unsur-unsur Yahudi.[2]

Analisis eksegetis

Berdasar isinya, surat ini sering digolongkan ke dalam kelompok surat-surat pastoral, atau surat-surat penggembalaan (yang lazim disebut Surat-surat Pastoral adalah 1 dan 2 Timotius dan Titus), yang bermanfaat bagi pembangunan iman jemaat secara keseluruhan.

Perikop yang kita baca berisi nasihat dan panggilan untuk menjadi Kristen secara benar. Atau, kalau saya boleh menyebutnya secara bebas, menjadi Kristen yang konsekuen dan konsisten. Penulis surat ini mengambil tiga macam ilustrasi, yang akrab bagi jemaat-jemaat muda (yang diperkirakan) di wilayah Asia Kecil, kemungkinan di sekitar Kolose atau Efesus.

Ilustrasi pertama diambil dari dunia kemiliteran. Menjadi Kristen yang konsekuen dan konsisten ibarat seorang prajurit sejati, yang harus maju ke tengah perjuangan. Ada tiga syarat utama bagi seorang prajurit agar perjuangannya berhasil, yaitu:

-          Menjadi prajurit yang baik menuntut konsentrasi. Ia harus memperhatikan tugasnya secara penuh, tidak boleh bercabang-cabang pikiran untuk tugas-tugas atau pekerjaan-pekerjaan lainnya.
-          Menjadi prajurit yang baik membutuhkan ketaatan terhadap pimpinannya. Ia harus taat kepada komandannya tanpa bertanya dan tanpa syarat. Ketaatannya kepada komandan bersifat mutlak.
-          Prajurit yang baik memiliki kerelaan untuk berkurban. Dalam rangka menjalankan tugas perjuangannya, seorang prajurit harus rela mengurbankan apa yang ada pada dirinya, bahkan, jika perlu, hidupnya.
-          Prajurit yang baik harus setia terhadap tugas dan tanggung jawabnya, serta kepada pimpinannya. Kebajikan tertinggi bagi seorang prajurit adalah setia sampai mati.

Ilustrasi kedua diambil dari dunia olahraga. Menjadi Kristen secara konsekuen dan konsisten ibarat seorang atlet. Atlet yang berhasil adalah atlet yang mampu meraih prestasi. Ungkapan “bertanding menurut peraturan-peraturan” merupakan terjemahan dari frasa athlein nominōs dalam bahasa Yunani, yang dapat diterjemahkan dengan atlet profesional, untuk membedakannya dengan atlet amatir. Menjadi Kristen hendaklah menjadi seperti atlet profesional, bukan atlet amatir. Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang atlet profesional, yaitu:
-          Disiplin dan berani menyangkal diri. Kata disiplin memiliki keterkaitan dengan kata murid, atau disciple dalam bahasa Inggris, atau discipulus dalam bahasa Latin. Untuk menjadi murid yang benar tidak mungkin tanpa kedisiplinan. Atlet yang baik harus disiplin dengan latihannya. Di samping itu, ia harus ketat untuk tidak mengikuti keinginannya, sehingga melanggar pantangan yang tidak boleh dilakukannya. Itulah hakikat menyangkal diri.
-          Bertanding menurut peraturan-peraturan. Seorang atlet tidak mungkin menang kecuali ia bermain menurut aturan pertandingan.

Ilustrasi ketiga diambil dari dunia pertanian. Menjadi Kristen secara konsekuen dan konsisten adalah ibarat seorang petani yang selalu bekerja keras.
-          Petani harus bekerja keras dengan kesabaran menunggu hasilnya. Seorang petani yang tekun adalah seorang pekerja keras. Seluruh waktunya dipergunakan demi pekerjaannya. Sementara itu, hasil kerjanya tidak dapat dipetik segera. Ia harus menunggu hingga musim panen tiba.
-          Seorang petani selalu siap bekerja keras di setiap waktu. Seorang petani yang baik, tidak pernah memilih-milih waktu untuk bekerja. Setiap waktu, hujan maupun panas, ia tetap bekerja demi cocok-tanamnya. 
-          Namun seorang petani juga berhak menjadi orang pertama yang menikmati hasil kerja kerasnya. Kerja keras yang dilakukannya tidak menjadi sia-sia, sebab seorang petani layak menikmati hasil yang diperolehnya. Pada saat itulah sukacita mendalam dapat dirasakannya.

Penerapan:

Coba terapkan secara singkat masing-masing ilustrasi tersebut dalam kehidupan iman seorang Kristen! Menurut pendapat anda, apakah ‘aturan permainan’ bagi kehidupan orang Kristen itu? Bagaimanakah kesimpulan anda mengenai kehidupan Kristen yang seharusnya itu?
Catatan:
Dalam pelayanan firman (bukan karya ilmiah hermeneutis PB), latar belakang teks cukup disajikan secara singkat, seperlunya saja. Meskipun demikian, di balik itu semua, penafsir harus terlebih dulu mempelajari dan mengkajinya dengan seksama.
3.       2 Timotius 2:15-18

Hiduplah layak dan teruji
(2 Timotius 2:15-18)
“Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (ayat 15).
Pengantar
Surat Timotius termasuk dalam kelompok surat-surat pastoral. Sekalipun ditulis sebagai surat pribadi (kepada Timotius dan Titus), surat-surat pastoral berisi penggembalaan yang relevan untuk mengatasi masalah-masalah kejemaatan, yaitu untuk menggiring orang-orang percaya agar hidup sebagai keluarga Allah dengan disiplin yang tinggi. Jemaat yang menjadi konteks surat-surat pastoral adalah jemaat yang sedang bertumbuh dan secara organisatoris telah mulai tertata rapi. Dari sisi iman, anggota-anggota jemaat sudah mulai beranjak dari kehidupan lama, namun masih relatif muda dan rentan terhadap godaan. Arah pandang jemaat agak bergeser dengan arah pandang jemaat mula-mula. Jika perhatian jemaat mula-mula tertuju secara langsung kepada pribadi Yesus, maka kini perhatian mereka tertuju pada pengakuan Kristen yang disebut sebagai “kebenaran yang telah dipercayakan kepadamu” (2Tim. 1:14). Sehubungan dengan itu, dalam bahasa Yunani digunakan istilah paratēkhē, yang secara harfiah berarti “titipan yang dipercayakan untuk disimpan dengan aman.”  

Rupanya pada waktu itu jemaat sedang menghadapi ajaran sesat, yang dicirikan dengan intelektualisme spekulatif. Para pengajar sesat suka menimbulkan persoalan dan mencari-cari persoalan dengan mengandalkan rasio mereka yang bersifat spekulatif. Akibatnya timbul perdebatan. Orang-orang yang merasa lebih intelek menjadi sombong, karena menganggap diri telah mencapai kesempurnaan keselamatan. Gaya hidup mereka sebagian asketis, dan sebagian lain amoral. Ciri-ciri lain ajaran sesat ini adalah: mengutamakan silsilah dan dongeng-dongeng yang bersifat mitis, terarah pada legalisme Yahudi, serta menolak kebangkitan tubuh.

Analisis eksegetis
Di tengah-tengah merebaknya guru-guru palsu, Paulus mendorong Timotius agar memperlihatkan diri sebagai pengajar kebenaran. Ada tiga sikap yang harus diperlihatkan oleh Timotius, yaitu:
-          layak; sebagai terjemahan kata Yunani parastēsai, yang secara harfiah berarti “tampil”, maksudnya, Timotius didorong agar “menampilkan diri sebagai pelayan kebenaran.”
-          tidak usah malu; sebagai terjemahan kata Yunani dokimos, yang berarti “orang yang telah teruji.” Kata dokimos digunakan untuk melukiskan sesuatu yang telah teruji kemurniannya. Dalam bangunan, batu-batu yang telah diteliti/diuji dan ternyata tidak layak untuk dipasang diberi notasi A, yang merupakan singkatan dari adokimos, yang berarti “sudah diuji dan ternyata cacat.” Kata dokimos memiliki arti sebaliknya, yaitu “sudah teruji kelayakannya.” 
-          berterusterang; sebagai terjemahan kata Yunani orthotomein, yang secara harfiah berarti “memotong dengan benar.” Kata ini dapat pula berarti “menyusur jalan lurus” atau “meniti jalan benar”, “membajak dengan alur yang lurus di ladang kebenaran”, “memilih hal yang benar dan mendudukkannya dalam posisi yang benar.”
Ketiga sikap tersebut dipertentangkan dengan sikap guru-guru palsu seperti Himeneus dan Filetus yang tidak percaya kepada kebangkitan tubuh dan mengartikan kata ‘kebangkitan’ sebagai kelanjutan hidup melalui keturunan.
Penerapan
Pada hakikatnya, setiap orang percaya terhisab dalam panggilan yang sama seperti panggilan kepada Timotius.
·         Hendaklah kita tampil sebagai pelayan kebenaran Allah. Berarti, dengan sadar kita menunjukkan jati diri sebagai orang percaya. Hal ini kita wujudnyatakan dalam seluruh kehidupan, yang meliputi: pikiran, sikap, tutur-kata dan tingkah-laku.
·         Hendaklah kita menjadi pekerja yang teruji kemurniannya, yang meliputi: kemurnian motivasi, ketulusan hati, teruji pekerjaannya, teruji maksud utamanya, yaitu untuk melayani Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Jangan sampai kita tergolong adokimos, sudah diuji dan kedapatan cacat, sehingga tidak layak ditempatkan dalam struktur bangunan keluarga Allah.
·         Hendaklah kita benar-benar menyusur jalan yang benar, berpegang kepada firman Allah yang benar, memberitakan berita yang benar, membawa kebenaran, bertindak dengan cara-cara yang benar, menempatkan kebenaran secara proporsional dan tidak membuat kesalahan seakan-akan benar, seperti permainan palsu orang-orang yang sesat. Kita perlu menghindarkan diri dari omong kosong yang tidak suci dan hanya menambah kefasikan.

Barang siapa bertelinga hendaklah ia mendengar! Bukankah begitu firman Tuhan?

15 November 2011



[1] Schnelle, The History and Theology of the NT, hlm. 328-331.
[2] Perrin and Dulling, The New Testament, hlm. 385.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar