MENAFSIR ILUSTRASI ATAU PERMISALAN, PERUMPAMAAN DAN
ALLEGORI
Bahan Kuliah VI
A. Pengantar
Perumpamaan
berbeda dengan bentuk sastra yang lain, karena, sekilas berbentuk narasi namun
bermakna figuratif. Dalam membuat analogi, perumpamaan menggunakan baik kiasan
maupun metafora. Maksud retoris perumpamaan adalah untuk memberi informasi,
meyakinkan atau mendesak para pendengarnya. Secara pedagogis, Yesus menggunakan
perumpamaan untuk memotivasi para pendengarnya dalam mengambil keputusan yang
tepat. Perumpamaan digunakan untuk menyatakan dan menyembunyikan
kebenaran-kebenaran baru tentang rencana kerajaan Allah. Mereka yang menanggapi dengan benar disebut murid-murid
Yesus. Kepada mereka diberi karunia untuk mengerti rahasia kerajaan Allah.
Namun bersamaan dengan itu, rahasia tersebut tersembunyi bagi mereka, yang oleh
karena kekerasan hatinya, tidak terbuka untuk menerima pesan Yesus.
Dapat
didefinisikan secara singkat bahwa perumpamaan adalah narasi figuratif yang
digunakan untuk menyampaikan kebenaran melalui analogi antara kenyataan dalam
kehidupan dengan kebenaran spiritual rencana kerajaan Allah. Sebenarnya, pewartaan yang digolongkan sebagai perumpamaan
itu
mencakup ilustrasi (permisalan), perumpamaan yang
sesungguhnya dan allegori.
Ilustrasi atau permisalan dan perumpamaan
Permisalan
atau ilustrasi adalah suatu ceritera yang khusus dikarang untuk menyatakan
suatu kebenaran. Permisalan memiliki kesamaan dengan perumpamaan biasa, yakni
suatu cerita yang diciptakan untuk membentuk suatu argumentasi. Tetapi cara
penyajiannya berbeda
dengan perumpamaan. Perumpamaan memakai ‘analogi,’
sedangkan permisalan memakai ‘contoh.’ Perumpamaan memperoleh kekuatan
argumentasinya dari fakta yang diakui, sedangkan permisalan memiliki kekuatan pada ceritanya itu sendiri.
Beberapa contoh permisalan:
·
Orang Samaria
yang murah hati (Luk. 10:29-37),
·
Orang kaya yang bodoh
(Luk. 12:16-21),
·
Orang kaya dan
Lazarus (Luk. 16:19-31),
·
Orang Farisi dan pemungut
cukai (Luk. 18:9-14)[1].
Beberapa
contoh perumpamaan :
- Perumpamaan tentang biji
sesawi dan ragi (Mat. 13:31-33)
- Perumpamaan
tentang harta yang terpendam dan mutiara yang berharga (Mat. 13:44-46)
- Perumpamaan tentang
pohon ara yang tidak berbuah (Luk. 13:6-9)
- Perumpamaan tentang
domba yang hilang (Luk. 15 :1-7)
Allegori
Allegori
adalah suatu ceritera yang dikarang untuk menyatakan suatu kebenaran dengan
menampilkan sejumlah gambaran, yang detail-detailnya
menunjuk kepada tiap-tiap aspek kebenaran yang hendak disampaikan. Dalam
allegori, setiap segi dari ceritera yang disampaikan memiliki arti
rohani, sehingga masing-masing harus ditafsirkan maknanya. Karena itu, sebuah
allegori tidak dapat dimengerti tanpa mengetahui - tidak hanya ceriteranya - tetapi juga arti
di balik setiap segi dari ceritera itu.
Allegori
menyampaikan suatu informasi dalam bahasa sandi (mirip dengan apokalypsis),
yang hanya dimengerti secara jelas oleh penceritera dan mungkin juga pendengar aslinya. Tanpa pengertian ini, allegori tidak efektif. Namun, mungkin pula pendengar atau penerima aslinya tidak memahami maksud si pencerita. Contoh ideal
tentang allegori dapat kita lihat dalam Yehizkiel 17. Setiap segi dari ceritera
(ayat 3-10), yang berhubungan dengan realitas atau kebenaran yang
dimaksudkan, disebutkan.
Beberapa
contoh allegori :
·
Tuan yang menyelenggarakan
perjamuan kawin (Mat. 22:1-14) Ceritera ini kemudian disajikan dalam bentuk
perumpamaan dalam Luk. 14:15-24.
·
Perumpamaan tentang
penabur (Mrk. 4:3-9)
·
Perumpamaan tentang
pukat (Mat. 13:47-50)
·
Perumpamaan
lalang di antara gandum (Mat. 13:24-29)
·
Perumpamaan
penggarap-penggarap kebun anggur (Mrk.12:1-12)
·
Perumpamaan gadis-gadis
yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh (Mat. 25:1-13).[2]
B. Prinsip-prinsip menafsir permisalan, perumpamaan dan
allegori
Untuk
menafsirkan dengan tepat perumpamaan-perumpamaan Yesus, kita harus memberi
perhatian pada lima langkah berikut:
1. Memahami setting historisnya
Hermeneutika
konservatif berpegang pada premis bahwa bahasa itu mengandung makna dan kata-kata
dalam komunikasi Allah secara Alkitabiah mengandung "makna dan nilai-nilai
historis, kultural, spiritual, dan moral."[3] Kata-kata
dalam Alkitab harus dipahami sepenuhnya dan makna yang hendak disampaikan harus
berusaha ditemukan. Kadang-kadang Yesus sendiri memberi penafsiran atas
perumpamaan yang diberikan (mis. Mat. 22:14; 25:13), namun dalam kesempatan
lain, penulis Injil memberi komentar editorial atas perumpamaan Yesus.
Seringkali kunci penafsiran dapat ditemukan dalam prolog perumpamaan (mis. Luk.
18:1, 9; 19:11). Namun, kadang-kadang petunjuk penafsiran yang tepat terdapat
dalam bagian epilog (Mat. 25:13; Luk. 16:9). Dalam beberapa perumpamaan, prolog
dan epilog merupakan pertanyaan interpretatif sekitar perumpamaan itu (mis.
Mat. 18:23–24, 35; Luk. 12:16–21).
Menurut
Doerksen, metode kritis modern dalam menafsirkan perumpamaan adalah dengan
melepaskan perumpamaan tersebut dari setting aslinya.[4]
Dodd tetap mempertahankan bahwa tugas penafsir perumpamaan adalah menemukan
konteks perumpamaan itu dalam Injil dan penerapannya bagi para pendengar yang
berada dalam kondisi dan situasi waktu itu.[5] Ia
menandaskan bahwa untuk memahami perumpamaan dengan benar pertama-tama kita
harus menafsirkannya dalam Sitz im Leben aslinya, yaitu dalam setting asli dalam kehidupan Yesus dan konteks pelayanan-Nya. Dengan kata lain,
sebelum kita memahami signifikansi perumpamaan-perumpamaan Yesus bagi kita saat
ini, terlebih dulu kita harus memahami makna aslinya bagi para pendengar Yesus
pada abad pertama.[6]
Hunter melihat adanya dua setting historis perumpamaan-perumpamaan, yaitu setting orisinal dalam kehidupan Yesus
dan setting sekunder dalam kehidupan
gereja mula-mula.[7]
Konteksnya meliputi baik peristiwa-peristiwa yang terekam maupun perekaman
peristiwa-peristiwa, atau dengan kata lain, baik setting historis maupun setting
harfiah. Penggunaan perumpamaan dalam perkembangan pelayanan Yesus secara historis
bukanlah suatu kebetulan. Yesus menyampaikan perumpamaan sebagai tanggapan atas
penolakan para pemimpin bangsa terhadap-Nya. Perumpamaan itu digunakan sebagai
senjata untuk membela diri atas kebenaran diri-Nya dan sebagai wahana untuk
memuliakan kerajaan Allah.[8] Namun,
pada kesempatan lain, perumpamaan merupakan alat untuk menyampaikan instruksi
dalam rangka menguatkan hati para murid agar setia. Perumpamaan hanya dapat
dipahami secara tepat dengan terlebih dulu memahami pendengarnya dan kesempatan
ketika perumpamaan tersebut disampaikan. Kebanyakan perumpamaan Yesus
disampaikan untuk para murid di sekitar kontroversi, terutama di tahun-tahun
terakhir pengajaran-Nya, seperti kita temukan dalam pengajaran-Nya dalam
perjalanan sebagaimana dituturkan Lukas (Luk. 9:51–19:27).
2. Memahami setting kulturalnya
Menurut
Ramm, untuk menafsirkan perumpamaan secara tepat, kita perlu memahami latar
belakang kulturalnya.[9]
Tiap perumpamaan Yesus diambil entah dari analogi terhadap alam atau dari
penalaran dan penilaian orang/masyarakat umum yang hidup di Israel. Warna lokal
perumpamaan menyimpan kekayaan informasi. Russell berpendapat bahwa kebanyakan
cerita memuat adat kebiasaan, kondisi, dan gagasan-gagasan yang cukup jelas
bagi orang-orang Yahudi Palestina pada zaman Yesus. Karena itu untuk memahami
perumpamaan hal-hal tersebut perlu dijelaskan.[10]
Untuk
memecahkan persoalan “keasingan kultural,” Bailey mengajukan apa yang disebutnya sebagai "Eksegesis
Oriental."[11]
Kebudayaan yang melingkupi perumpamaan-perumpamaan dalam Injil dapat dijelaskan
secara relatif tepat dengan tiga perangkat secara serempak. Pertama, untuk memahami makna perumpamaan dalam setting-nya, kebudayaan petani
konservatif waktu itu harus diteliti dengan seksama. Kedua, untuk mengetahui
bagaimana jemaat Palestina selama berabad-abad memahami teks, cara berpikir
mereka juga harus dipelajari. Ketiga, sastra kuno yang berhubungan dengan
perumpamaan-perumpamaan Yesus harus dipahami dalam terang dua sumber yang lain,
bukan terpisah darinya.
Jadi,
"Eksegesis Oriental” adalah sebuah metode mempelajari teks yang
terkondisikan secara kultural. Metode ini menggunakan perangkat kritis sarjana
Barat yang dikombinasikan dengan wawasan kultural dalam terang sastra kuno, masyarakat petani sezaman dan cara
berpikir Timur.[12]
Meskipun
Bailey menawarkan wawasan yang segar untuk memahami perumpamaan dengan cara
pendekatan harfiah-kultural, tampaknya untuk merekonstruksi latar belakang
sosial perumpamaan ia telah mengorbankan teks dan konteks. Namun demikian,
penekanannya pada pemahaman kultural merupakan koreksi berharga dalam menangkis
kecenderungan eksistensial beberapa penafsir modern. Kelley dengan keras
mengritik kecenderungan untuk mengabaikan kebudayaan. Menurutnya, adalah sangat
keliru jika kita memahami Yesus sebagai seorang teolog eksistensialis seperti
Bultmann dan Heideger, bukan sebagai seorang rabbi Yahudi yang berkelana
mengajar murid-murid-Nya, menjawab para pelawan-Nya dan memberi dorongan kepada
orang banyak.[13] Awal penafsiran yang tepat atas sebuah perumpamaan
adalah memahami secara tepat konteks historis dan kulturalnya.[14] Yang dimaksud “kultural” dalam hal ini mencakup segala
cara, metode, sarana, adat-istiadat, kelembagaan dsb., yang dengannya sebuah clan, suku atau bangsa melangsungkan eksistensinya.
3. Menemukan perlunya perumpamaan disampaikan
Yesus
sering menuturkan perumpamaan untuk menjawab pertanyaan, menanggapi tantangan,
atau mengundang para pendengarnya untuk mengubah pikiran mereka. Menemukan
tujuan mengapa perumpamaan disampaikan merupakan langkah signifikan untuk
menyingkap maknanya dalam konteks aslinya. Seringkali perumpamaan bukan hanya
berguna bagi para pendengar asli, melainkan bagi juga bagi pendengar saat ini.
Proses interpretatif atas suatu perumpamaan dapat menjadi penunjang bagi
implementasinya pada masa kini. Perlunya perumpamaan disampaikan kadang-kadang
dapat dilihat pada bagian pendahuluan (mis. Luk. 18:1), tetapi mungkin juga
baru dinyatakan di bagian akhir (mis. Luk. 16:8). Menurut Zuck ada delapan macam alasan mengapa Yesus menyampaikan perumpamaan, yaitu: (1)
untuk menjawab pertanyaan, (2) untuk memenuhi permintaan, (3) untuk menanggapi
keluhan, (4)
untuk menyampaikan suatu maksud tertentu yang dinyatakan secara eksplisit, (5) untuk menanggapi penolakan Israel terhadap Yesus sebagai
Mesias
(terutama dalam perumpamaan-perumpamaan tentang kerajaan Allah), (6)
untuk menjelaskan nasihat, (7) sebagai ilustrasi atas situasi yang dihadapi, (8) untuk menyampaikan suatu maksud yang tersirat di dalamnya, namun tidak dinyatakan secara
eksplisit.[15]
4. Menganalisis struktur dan detail perumpamaan
Traina
mengusulkan perangkat analisis struktur wacana naratif yang sangat membantu. Ia
menandaskan pentingnya memahami struktur perikop yang sedang dipelajari. Ada
lima macam struktur narasi: (1) perkembangan
biografis yang menjelaskan perjalanan hidup seseorang[16]; (2) perkembangan historis dari serangkaian peristiwa; (3) perkembangan kronologis, yang membentangkan narasi dengan
indikator-indikator waktu; (4) perkembangan geografis, yang memberikan gambaran tentang perpindahan
tempat; dan (5)
perkembangan ideologis, yang berfokus pada perkembangan
gagasan.
Untuk
memahami narasi secara tepat, seni naratif harus pula diperhitungkan. Sumbangan
setting, sifat-sifat khas dan plot narasi berkaitan erat dengan proses
hermeneutis serta wawasan penyusunnya dalam mempengaruhi
pembacanya untuk suatu maksud tertentu.
Detail
perumpamaan bermanfaat sebagai latar belakang bagi kebenaran inti yang hendak
disampaikan. Ramm menyebut perumpamaan sebagai “kebenaran dalam sebuah wahana.”
Wahana tersebut tentu saja mengandung aksesori. Detail perumpamaan merupakan
aksesori perumpamaan itu, namun bukan bagian dari maknanya.[17] Bermacam-macam
detail sering memiliki peran penting, namun kemungkinan hanya ditambahkan
sebagai latar belakang kisah yang hendak disampaikan.
Penafsir
sering keliru, menganggap detail perumpamaan sebagai bagian yang harus
ditafsirkan seraca alegoris. Meskipun bukan seorang ekseget konservatif, Boucher
membut perbedaan yang sangat menolong. Baginya, lebih tepat kita membicarakan
makna dari keseluruhan perumpamaan daripada membahas satu persatu arti dari
bagian-bagiannya. Memang, sekali waktu, dengan memahami makna keseluruhan,
makna bagian-bagiannya akan jelas dengan sendirinya. Sebaliknya, dengan memahami makna bagian-bagiannya, makna keseluruhan dapat dimengerti.[18] Latar
belakang rinci suatu perumpamaan menolong kita dalam memusatkan perhatian pada
inti pokok pesannya. Perumpamaan itu ibarat sebuah roda, dengan asnya sebagai
inti pesan dan detailnya sebagai jari-jari.[19]
5. Menemukan pesan/inti kebenaran yang hendak disampaikan
Tujuan
setiap perumpamaan adalah menunjukkan analogi antara cerita dengan pengajaran
atau imbauan yang diinginkan. Menurut Trench, sebelum menemukan inti kebenaran
perumpamaan, kita harus menemukan hal yang pokok dan yang kurang pokok, yang esensial dan yang tidak esensial.[20]
Inti
kebenaran dapat diidentifikasi dengan memahami apakah yang menjadi persoalan,
dalam kesempatan apa, apa yang menjadi pertanyaan, atau apa yang ingin
digambarkan dalam setting
historisnya. Biasanya, persoalan yang dibicarakan berkenaan dengan murid-murid
Yesus atau para pelawan-Nya, dan karenanya berhubungan dengan maksud tertentu, baik yang dinyatakan maupun yang tersembunyi. Untuk
mengidentifikasi inti pokok suatu perumpamaan, Stein mengusulkan tujuh
pertanyaan:
- Istilah-istilah apa yang diulang-ulang dalam sebuah perumpamaan
dan istilah-istilah apa yang tidak?
- Di manakah tempat perumpamaan itu, berkenaan dengan persoalan
apa atau dengan siapa?
- Apakah pertentangan utama yang terdapat dalam
perumpamaan itu?
- Apakah yang terjadi pada akhir perumpamaan itu?
- Apakah yang secara langsung dibicarakan di dalamnya?
(Seringkali hal penting yang dibahas terlihat dalam
pembicaraan).
- Kekhasan apa yang terlihat dalam perumpamaan itu? Manakah
dua macam kekhasan yang penting? (Biasanya perumpamaan berpusat pada dua
karakter yang kontradiktif).
- Bagaimana Anda harus menuturkan perumpamaan itu?
Seandainya perumpamaan itu dituturkan oleh Yesus, adakah sesuatu yang
hendak dinyatakan?[21]
Kadang-kadang konteks perumpamaan itu sendiri
menyingkapkan inti pokok yang dibicarakan, seperti perumpamaan dalam Lukas 18:1, 9.
Kebanyakan
penafsir setuju dengan Hunter bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus selalu
berkenaan dengan konsep kerajaan Allah.[22] Hal
ini jelas terlihat dari seringnya formula pengantar “Kerajaan Allah adalah
seumpama ….” digunakan. Sentralitas kerajaan Allah dalam
perumpamaan-perumpamaan yang diberikan-Nya mencerminkan prioritas pelayanan Yesus secara keseluruhan. Kerajaan
Allah merupakan inti pesan Yohanes (Mat. 3:2), Yesus (Mat. 4:17), dan para
murid-Nya (Mat. 10:5–7). Hope menyatakan bahwa semua perumpamaan Yesus
berkenaan dengan satu subjek utama, yaitu kerajaan Allah.[23]
Menurut Ramm, penafsiran yang tepat atas perumpamaan-perumpamaan Yesus haruslah
mengacu kepada pengertian tentang kerajaan Allah dan relasi Yesus dengan Injil
kerajaan Allah.[24]
Definisi
mengenai kerajaan Allah merupakan topik yang banyak diperdebatkan oleh para
sarjana Injil Sinoptik. Namun studi tentang kerajaan Allah dalam hubungannya
dengan perumpamaan-perumpamaan Yesus sering diabaikan. Seharusnya kita memberi ruang
kepada perumpamaan-perumpamaan Yesus untuk berbicara mengenai teologi kerajaan
Allah sebagai inti pesan Yesus.
C. Contoh penafsiran
1. Penafsiran ilustrasi atau permisalan: Lukas 18:9-14.
Analisis sumber
Perumpamaan
ini hanya ada dalam Injil Lukas maka kita bisa mengatakan bahwa sumber
perumpamaan ini adalah Lukas sendiri (sumber L). Tetapi ayat 14 terdapat juga dalam Matius 23 :12 dan Lukas 14 :11. Maka dapat dikatakan bahwa ayat 14 ini
berasal dari sumber
Q.
Analisis eksegetis
Ay. 9-14.
Dalam perumpamaan ini, doa seperti yang diucapkan oleh pemungut cukai itu
merupakan sesuatu yang biasa. Karena di kalangan umat Yahudi, mereka
disetarakan dengan kelompok orang berdosa (bdk. Luk.15:1-2). Dalam pengaturan
perpajakan Romawi untuk Palestina, setiap kampung mempunyai pegawai pajak
sendiri (yang lazim disebut pemungut cukai). Orang senang dengan tugas itu, karena memperoleh pendapatan dari padanya. Para pemungut
cukai tersebut pada umumnya sudah mengetahui berapa banyak pajak yang harus
dibayar oleh setiap kepala keluarga, yang lazimnya cukup berat jika dibandingkan
dengan tingkat penghasilan mereka. Pemungut cukai kemudian mengadakan negosiasi.
Para wajib pajak diperbolehkan mencicil pembayaran pajaknya, namun dengan
bunga. Bunga tersebut menjadi hak pemungut cukai. Karena kebijakan ini,
biasanya para pemungut cukai dibenci oleh masyarakat luas dan dicap sebagai
lintah darat atau penghisap masyarakat. Karena sikap masyarakat itu, dalam
kehidupan keagamaan orang Yahudi mereka terpinggirkan.
Sedangkan
orang Farisi (ay. 11) adalah orang yang sangat taat kepada tradisi dan
aturan-aturan keagamaan orang Yahudi yang diberlakukan secara kaku. Mereka
rajin berbuat amal dengan maksud mendapat pahala dari Allah. Karena ketaatan
dan kerajinan itu maka mereka menganggap diri sebagai kelompok yang saleh dan
lebih suci daripada masyarakat umum.
Pertanyaan
yang timbul adalah: siapakah dari kedua orang ini lebih benar? Menurut
pandangan umum, mestinya orang yang taat beragama atau orang yang saleh itu
yang dianggap lebih benar. Bukankah setiap agama menuntut para pengikutnya agar
selalu taat kepada ajaran dan aturan agamanya? Bukankah umat Israel diajar
untuk taat kepada hukum Taurat Yahudi? Karena itu, seharusnya sikap orang
Farisi itu dapat dibenarkan.
Namun
dalam perumpamaan ini, Yesus, menurut Injil Lukas, menolak dengan tegas
pandangan umum, yang didasarkan pada hukum Taurat dan tradisi Yahudi itu. Dalam
perumpamaan ini dikatakan bahwa pemungut cukai itu kembali dengan dibenarkan
Allah, sedangkan orang Farisi itu, tidak! (18:14). Di sini kita
melihat dua macam kebenaran, yaitu kebenaran menurut ukuran umum, dan kebenaran
yang dilimpahkan berdasarkan pengam-punan dari Allah semata.
Persoalan
yang memang timbul adalah, dalam kebenaran menurut ukuran umum, orang-orang
berdosa dan para pemungut cukai tidak mendapat tempat. Ia dianggap berada di
luar kebenaran, sebab mereka bukanlah orang saleh seperti orang Farisi. Karena
itu, pemungut cukai tersebut membutuhkan pembenaran lain, yaitu pembenaran dari
Allah sendiri. Di hadapan aturan keagamaan orang Yahudi (Taurat) mereka tidak
mendapat tempat. Dalam ukuran Taurat, tidak ada jalan bagi mereka untuk
diselamatkan.
Tetapi
Yesus tidak menghendaki ketaatan terhadap hukum Taurat secara harfiah menjadi kriterium
tertinggi bagi keselamatan manusia. Menurut Yesus, otoritas tertinggi dan
paling puncak yang menentukan kehidupan manusia adalah Allah sendiri. Karena
itu, setiap orang, bahkan orang berdosa sekalipun, yang dengan rendah hati
menyerahkan hidupnya kepada Allah, akan memperoleh pengampuan sebagai suatu anugerah dari Allah.
Dalam
kerangka apakah Lukas menempatkan perumpamaan ini? Jika kita memperhatikan
pengantar yang mendahului perumpamaan ini (18:9), maka jelas bahwa Lukas
menempatkannya dalam kerangka peringatan terhadap orang-orang tertentu dalam
komunitasnya, yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah orang lain. Dengan
kata lain, ada orang-orang tertentu dalam jemaat Lukas yang menyombongkan
kerohanian mereka. Kepada mereka itulah Lukas menyampaikan perumpamaan ini. Hal
ini sesuai dengan ayat 14b, “yang tinggi direndahkan dan yang rendah
ditinggikan”.
Dengan
demikian dari segi konteks historisnya, perumpamaan ini memiliki dua lapis
konteks historis, yaitu konteks historis pada masa Yesus dan konteks historis pada
masa Lukas. Yesus telah menyampaikan perumpamaan ini kepada para pendengarnya
di masa lampau. Lalu Lukas mengangkat perumpamaan ini dan mengenakannya untuk
konteks jemaat pada masanya.
Analisis teologis
·
Yang tinggi direndahkan, yang rendah ditinggikan
Orang Farisi dalam perumpamaan ini membanggakan diri di hadapan Allah
karena ketaatan atau kesetiaannya melakukan hukum Taurat. Pembanggaan akan
jasa-jasa di bidang kerohanian ini telah menempatkan orang Farisi itu sebagai
orang yang benar, orang yang saleh, orang yang tinggi moral dan spiritualnya. Tetapi
kebanggaan ini telah membawa orang Farisi itu kepada sikap yang demikian eksklusif,
sehingga merendahkan atau meremehkan orang lain. Ia merasa bahwa kemampuannya
sendirilah yang memungkinkan dirinya memperoleh tingkat kerohanian yang
demikian. Ia lebih mengandalkan diri sendiri daripada mengandalkan Allah dalam
hidupnya. Tetapi justru sikap seperti ini menjadi batu sandungan bagi dirinya. Ia
ditolak oleh Allah.
Yesus justru mengajarkan sikap yang lain, yakni sikap rendah hati dan
penyerahan diri secara utuh kepada Allah, penyerahan diri secara
sungguh-sungguh. Orang yang demikian akan diterima oleh Allah.
·
Dibenarkan hanya oleh anugerah
Pengalaman pemungut cukai dalam perumpamaan ini sangat menarik untuk
disimak lebih jauh. Ia adalah orang yang dibenci oleh masyarakat luas. Ia
disetarakan dengan orang-orang berdosa. Berbagai caci-maki dan umpat dialamatkan
kepadanya. Ia terpinggirkan dan dianggap ‘orang pinggiran’ oleh orang-orang
saleh Yahudi. Ia dipandang sebagai orang yang tidak layak memperoleh anugerah
pengampunan dan keselamatan dari Allah. Singkatnya, dilihat dari sisi peraturan
agama, ia tidak memiliki harapan masa depan. Namun, Yesus datang ke dunia justru
untuk mencari orang yang berdosa dan terpinggirkan, seperti para pemungut cukai
itu. Mereka disambut oleh Yesus dan bahkan Ia makan bersama mereka (bdk Luk. 7:34; 19:1-10). Bertolak dari pengalaman
pemungut cukai ini, mestinya kehinaan dan dosa tidak menjadi hambatan bagi seseorang
untuk datang kepada Yesus; sebab, dengan tangan terbuka Yesus menyambut orang-orang
yang dengan
rendah hati dan penuh penyerahan diri datang
kepada-Nya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang ditolak oleh
masyarakat.
2. Penafsiran allegori tentang seorang penabur
(Mat. 13 :1-9)
Kita melihat bahwa setiap aspek dalam allegori ini memiliki makna rohani:
·
Ay. 3, penabur =
Yesus, para pemberita Injil.
·
Ay. 4, benih =
firman Tuhan.
·
Ay. 4, tanah di
jalan = orang yang mendengar firman tetapi tidak mengertinya.
·
Ay. 4, burung-burung
yang memakan benih = si jahat yang merampas firman yang ditaburkan itu.
·
Ay. 5-6, tanah
yang berbatu-batu = orang yang mendengar firman, dan segera menerimanya dengan
gembira, tetapi tidak berakar dan hanya tahan sebentar saja. Apabila datang penganiayaan maka orang itu
murtad.
·
Ay. 7, tanah
semak duri = orang yang mendengar dan menerima firman, tetapi firman itu
dihimpit oleh kekuatiran duniawi dan tipu daya kekayaan, sehingga tidak berbuah.
·
Ay. 8, tanah yang
baik = orang yang mendengar firman dan mengerti, karena itu ia berbuah.
Dalam
memahami pesan allegori ini, jelas bahwa setiap unsur dari ceriteranya memiliki
arti rohani, yang secara langsung dapat diterapkan kepada jemaat. Yesus
menyampaikan allegori ini, karena Ia melihat bahwa banyak orang
berbondong-bondong mengikuti-Nya, tetapi motivasi mereka berbeda-beda. Ia membedakan
motivasi mereka ke dalam empat kelompok, yaitu:
1.
Mereka yang
mendengar pengajaran-Nya, tetapi tidak mengerti firman itu, sehingga tidak ada
perubahan dalam diri mereka.
2.
Mereka yang
mendengar firman dan menerimanya dengan gembira, tetapi tidak tabah dalam
menghadapi siksaan dan penganiayaan, sehingga mereka mudah murtad.
3.
Mereka yang
menerima firman itu, tetapi belum bersedia meninggalkan cara hidup yang lama, seperti
tipu daya, ketidakjujuran, korupsi, dsbnya, sehingga firman itu tidak dapat
menghasilkan buah.
4.
Mereka yang
mendengar dan melaksanakan firman itu dengan sungguh-sungguh, sehingga
menghasilkan buah.
Sesudah
memberikan penafsiran terhadap ceritera ini maka kita dapat menerapkannya untuk
kehidupan jemaat. Diharapkan, jemaat termasuk ke dalam kelompok terakhir, yaitu orang-orang yang sungguh-sungguh mendengar
dan melakukan firman Tuhan, serta mengeluarkan buah.
Penerapan
Firman Allah tidak kembali dengan hampa
Dalam
perumpamaan ini kita membaca bahwa benih yang ditabur oleh penabur itu ada yang
tidak sampai berbuah. Benih yang jatuh di jalan dimakan oleh burung-burung
sebelum tumbuh. Benih yang jatuh di tanah yang berbatu sempat tumbuh tetapi
karena tanahnya dangkal dan tandus, maka ketika terbit matahari dan panas terik
datang, ia pun layu dan mati. Benih yang jatuh di tanah berduri memang tumbuh
juga, tetapi ia tidak sempat berbuah karena dihimpit oleh semak duri sampai mati.
Walaupun demikian tidak berarti tidak ada hasil sama sekali. Ternyata
ada juga benih yang jatuh di tanah yang baik, sehingga membuahkan hasil, ada yang seratus, ada yang enam puluh dan ada
yang tiga puluh kali lipat. Dengan kata lain, benih yang ditaburkan tidak
semuanya mati. Demikianlah Injil kerajaan Allah yang diberitakan ke seluruh
dunia. Memang ada yang tidak menghasilkan buah, karena pendengarnya hanya
memuaskan telinganya saja, tetapi tidak memberlakukannya dalam hidupnya. Namun,
tidak dapat disangkal, ada juga pendengar firman yang dengan setia melakukannya
dalam hidupnya, sehingga ia berbuah lebat dalam tugas dan pelayanannya.
Pendengar firman yang berbeda-beda
Tidak semua orang memiliki motivasi dan kesungguhan yang
sama dalam menerima firman Tuhan. Dalam ibadah, ada orang yang mendengar firman
hanya karena harus mendengarnya. Namun, hatinya keras, sehingga firman itu
tidak tertanam dan berlalu begitu saja tanpa bekas. Ada pula orang yang
mendengarkan firman dengan sungguh-sungguh, sehingga firman itu bertumbuh dalam
hatinya, namun ia tidak tahan terhadap pencobaan dan penganiayaan sehingga ia
murtad. Ada orang yang mendengar firman, lalu menyimpan dalam hatinya dan
kehidupannya mulai berubah. Namun, karena berbagai macam nafsu duniawi,
ketamakan akan uang dan harta, maka firman itu menjadi kerdil dalam dirinya dan
mati. Tetapi ada pula orang yang menerima firman atau Injil kerajaan Allah dengan sungguh-sungguh dan mereka
memberlakukan firman itu dalam hidupnya, sehingga firman itu berbuah lebat. Pertanyaan yang timbul adalah: dalam kelompok manakah kita sedang berada? Jawaban atas
pertanyaan ini terpulang pada diri kita masing-masing.
Contoh II
Matius 22: 1-14. Perumpamaan tentang raja yang mengadakan perjamuan kawin.
Analisis sumber dan analisis
redaksi terhadap perikop ini telah kita lakukan di atas, maka kedua analisis
itu tidak kita lakukan lagi di sini. Kita akan langsung kepada
analisis eksegetis dan teologisnya.
Analisis eksegetis
Tipe perumpamaan ini adalah allegori. Karena itu,
pendekatan terhadapnya harus bersifat allegoris juga. Ini berarti bahwa hampir setiap unsur dalam ceritera tersebut memiliki arti rohani yang harus diungkapkan.
Ayat 2 : - Raja
= Allah,
- Undangan
= penawaran anugrah pertama-tama kepada Israel
Ayat 3: - para
hamba = para nabi dan rasul serta pekabar Injil.
- para undangan = Israel.
- penolakan para undangan = penolakan
Israel terhadap tawaran anugerah Allah.
Ay. 4-6:
- Undangan yang ke
2, ditolak juga dengan berbagai alasan = Israel tetap menolak tawaran
anugerah Allah.
- Ada hamba yang disiksa dan dibunuh = para nabi, para rasul disiksa dan dibunuh oleh orang Israel.
Ay. 7 - raja marah = Allah murka karena penolakan dan penyiksaan serta
pembunuhan para nabi dan para
rasul serta para pekabar Injil.
- raja itu menyuruh pasukan tentara membinasakan pembunuh-pembunuh itu
dan membakar kota mereka = penghancuran kota Yerusalem pada tahun 70 M.
Ay. 8,10- raja itu menyuruh lagi para
hambanya pergi ke persimpangan-persimpangan jalan dan mengundang setiap orang
yang dijumpai di jalan-jalan, orang-orang jahat dan orang-orang baik =
pemawaran anugerah Allah kepada dunia bangsa-bangsa.
Ay.11-13 - Ada yang tidak berpakaian
pesta lalu raja marah dan dibuang ke luar = Ini menunjuk kepada penapisan
atau penghakiman pada akhir zaman supaya sesuai dengan ayat 14.
Ay. 14. Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih. Ungkapan ini
merupakan skopus dari perumpamaan ini.
Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa Allah telah
menawarkan anugerah-Nya kepada orang Israel melalui para nabi, rasul, dan
pekabar Injil, tetapi orang Israel menolak tawaran itu. Bukan itu saja.
Orang Israel juga menangkap dan menganiaya bahkan membunuh para nabi dan para rasul. Tindakan Israel itu mengakibatkan murka Allah atas
Israel sendiri sehingga Ia mengizinkan tentara Romawi menghancurkan kota Yerusalem
pada tahun 70 AD dan membinasakan sebagian orang Israel.
Sesudah peristiwa itu maka Injil atau anugerah Allah itu
ditawarkan kepada bangsa-bangsa lain, sehingga banyak orang dimungkinkan untuk
menjadi warga kerajaan Allah. Walau demikian pada hari penghakiman akan ada
penapisan atau penghakiman. Mereka yang tidak percaya akan dihukum sedangkan
mereka yang percaya diberikan hidup yang kekal.
Analisis Teologis
·
Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih.
Dalam zaman PL diceriterakan bahwa Allah telah memilih Israel sebagai umat-Nya, namun umat itu tidak selalu taat kepada Allah. Lalu
Allah menyuruh para nabinya untuk mengajak mereka bertobat dan menyambut
tawaran anugerah keselamatan dari Allah tetapi mereka mengeraskan hati mereka
dan tidak mau berbalik. Pada zaman Perjanjian Baru, banyak rasul dan
hamba-hamba Tuhan diutus untuk memberitakan kabar keselamatan kepada
orang-orang Israel, tetapi mereka menolak tawaran keselamatan itu. Tidak hanya
itu. Para rasul dan hamba-hamba Tuhan itu ada yang ditangkap lalu disikisa,
bahkan ada yang dibunuh sebagai wujud penolakan mereka. Menurut Matius, akibat penolakan itu
Allah menghukum Israel dengan membiarkan musuh menghancurkan kota
Yerusalem.
Karena penolakan Israel akan tawaran keselamatan dari Allah melalui para
nabi dan para
rasul maka tawaran
keselamatan itu ditujukan kepada alamat yang berbeda yaitu kepada dunia
bangsa-bangsa. Injil kerajaan Allah itu diberitakan kepada mereka. Namun yang
menjadi anggota atau warga kerajaan
Allah itu tidak hanya orang yang baik tetapi orang yang jahat juga. Artinya
tidak setiap orang yang menyebut diri sebagai warga kerajaan Allah menerima
tawaran keselamatan itu. Hanya mereka yang sungguh-sungguh telah mengubah hidup
mereka, dan berbalik sungguh-sungguh kepada Allah. Mereka laksana orang yang
berpakaian pesta yang disambut oleh raja dalam perjamuan itu. Sedangkan mereka yang tidak mengubah hidupnya akan
dibuang ke dalam hukuman yang kekal pada hari penghakiman. Jadi setiap orang
yang menjadi warga kerajaan itu akan ditapis (dihakimi). Penapisan atau
penghakiman itu menyebabkan banyak yang dipanggil tetapi hanya sedikit yang
dipilih. Karena itu ubahlah hidup ini supaya kita menjadi salah seorang dari orang-orang yang akan menerima keselamatan itu.
Semoga bermanfaat.
BS
[1] Eta Lindeman, Parable
of Jesus Introduction and Exposition (London: SPCK, 1966) h. 3,4.
[2] Lindeman, Parable of Jesus, 5-8.
[3] A. T. Cadoux, The
Parables of Jesus: Their Art and Use (London: Clarke, 1930), 45.
[4] Vernon D. Doerksen,
"The Interpretation of the Parables," Grace Journal 11 (Spring
1970), 11.
[5] Doerksen, "The
Interpretation of the Parables," 13-14.
[6] Robert H. Stein, An
Introduction to the Parables of Jesus (Philadelphia: Westminster, 1981),
59.
[7] Archibald Hunter, Interpreting
the Parables (Philadelphia: Westminster, 1960), 76.
[8] Peter R. Jones, The
Teaching of the Parables (Nashville: Broadman, 1982), 37; cf. Cadoux, The
Parables of Jesus, 11-13. Rupanya Cadoux-lah yang melontarkan gagasan bahwa
perumpamaan merupakan senjata dalam kontroversi.
[9] Bernard Ramm, Protestant
Biblical Interpretation, 3d ed. (Grand Rapids: Baker, 1970), 282.
[10] Elbert Russell, The
Parables of Jesus (New York: Young Women’s Christian Association, 1912),
10.
[11] Kenneth E. Bailey, Poet
and Peasant: A Literary-Cultural Approach to the Parables (Grand Rapids:
Eerdmans, 1976), 29.
[12] Bailey, Poet and
Peasant, 29-30.
[13] Robert Kelley, "The
Significance of the Parable of the Prodigal Son for Three Major Issues in
Current Synoptic Study" (disertasi Ph.D. , Princeton University, 1971),
132.
[14] Ramm, Protestant
Biblical Interpretation, 152.
[15] Roy B. Zuck, Basic Bible Interpretation
(Wheaton, IL: Victor, 1991), 211-15.
[16] Robert Traina, Methodical
Bible Study (1952; reprint, Grand Rapids: Zondervan, 1980), 51-52.
[17] Traina, Methodical
Bible Study, 283.
[18] Madeleine I. Boucher, The
Parables (Wilmington, DE: Glazier, 1981), 58.
[19] Lht. Zuck, Basic Bible
Interpretation, 215-17.
[20] Richard C. Trench, Notes
on the Parables of Our Lord (Grand Rapids: Baker, 1948), 35.
[21] Stein, An Introduction
to the Parables, 56.
[22] Hunter, Interpreting the Parables, 39.
[23] Norman Hope, "The Interpretation of Christs
Parables," Interpretation 6 (July 1952): 303. Some parables, like
those in Luke 15, are more remotely related than those that explicitly mention
the term or describe the concept.
[24] Ramm, Protestant Biblical Interpretation, 153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar