Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Jumat, 14 Juni 2013

BELAJAR CARA MENAFSIR ILUSTRASI ATAU PERMISALAN, PERUMPAMAAN DAN ALLEGORI. OLEH Bpk.Bambang Subandrijo

MENAFSIR ILUSTRASI ATAU PERMISALAN, PERUMPAMAAN DAN ALLEGORI
Bahan Kuliah VI

A. Pengantar

Perumpamaan berbeda dengan bentuk sastra yang lain, karena, sekilas berbentuk narasi namun bermakna figuratif. Dalam membuat analogi, perumpamaan menggunakan baik kiasan maupun metafora. Maksud retoris perumpamaan adalah untuk memberi informasi, meyakinkan atau mendesak para pendengarnya. Secara pedagogis, Yesus menggunakan perumpamaan untuk memotivasi para pendengarnya dalam mengambil keputusan yang tepat. Perumpamaan digunakan untuk menyatakan dan menyembunyikan kebenaran-kebenaran baru tentang rencana kerajaan Allah. Mereka yang menanggapi dengan benar disebut murid-murid Yesus. Kepada mereka diberi karunia untuk mengerti rahasia kerajaan Allah. Namun bersamaan dengan itu, rahasia tersebut tersembunyi bagi mereka, yang oleh karena kekerasan hatinya, tidak terbuka untuk menerima pesan Yesus.

Dapat didefinisikan secara singkat bahwa perumpamaan adalah narasi figuratif yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran melalui analogi antara kenyataan dalam kehidupan dengan kebenaran spiritual rencana kerajaan Allah. Sebenarnya, pewartaan yang digolongkan sebagai perumpamaan itu mencakup ilustrasi (permisalan), perumpamaan yang sesungguhnya dan allegori.

Ilustrasi atau permisalan dan perumpamaan

Permisalan atau ilustrasi adalah suatu ceritera yang khusus dikarang untuk menyatakan suatu kebenaran. Permisalan memiliki kesamaan dengan perumpamaan biasa, yakni suatu cerita yang diciptakan untuk membentuk suatu argumentasi. Tetapi cara penyajiannya berbeda dengan perumpamaan. Perumpamaan memakai ‘analogi,’ sedangkan permisalan memakai ‘contoh.’ Perumpamaan memperoleh kekuatan argumentasinya dari fakta yang diakui, sedangkan permisalan memiliki kekuatan pada ceritanya itu sendiri.

Beberapa contoh permisalan:
·         Orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:29-37),
·         Orang kaya yang bodoh (Luk. 12:16-21),
·         Orang kaya dan Lazarus (Luk. 16:19-31),
·         Orang Farisi dan pemungut cukai (Luk. 18:9-14)[1].

Beberapa contoh perumpamaan :
  • Perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi (Mat. 13:31-33)
  • Perumpamaan tentang harta yang terpendam dan mutiara yang berharga (Mat. 13:44-46)
  • Perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah (Luk. 13:6-9)
  • Perumpamaan tentang domba yang hilang (Luk. 15 :1-7)

Allegori

Allegori adalah suatu ceritera yang dikarang untuk menyatakan suatu kebenaran dengan menampilkan sejumlah gambaran, yang detail-detailnya menunjuk kepada tiap-tiap aspek kebenaran yang hendak disampaikan. Dalam allegori, setiap segi dari ceritera yang disampaikan memiliki arti rohani, sehingga masing-masing harus ditafsirkan maknanya. Karena itu, sebuah allegori tidak dapat dimengerti tanpa mengetahui - tidak hanya ceriteranya - tetapi juga arti di balik setiap segi dari ceritera itu.

Allegori menyampaikan suatu informasi dalam bahasa sandi (mirip dengan apokalypsis), yang hanya dimengerti secara jelas oleh penceritera dan mungkin juga pendengar aslinya. Tanpa pengertian ini, allegori tidak efektif. Namun, mungkin pula pendengar atau penerima aslinya tidak memahami maksud si pencerita. Contoh ideal tentang allegori dapat kita lihat dalam Yehizkiel 17. Setiap segi dari ceritera (ayat 3-10), yang berhubungan dengan realitas atau kebenaran yang dimaksudkan, disebutkan.



Beberapa contoh allegori :
·         Tuan yang menyelenggarakan perjamuan kawin (Mat. 22:1-14) Ceritera ini kemudian disajikan dalam bentuk perumpamaan dalam Luk. 14:15-24.
·         Perumpamaan tentang penabur (Mrk. 4:3-9)
·         Perumpamaan tentang pukat (Mat. 13:47-50)
·         Perumpamaan lalang di antara gandum (Mat. 13:24-29)
·         Perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur (Mrk.12:1-12)
·         Perumpamaan gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh (Mat. 25:1-13).[2]

B. Prinsip-prinsip menafsir permisalan, perumpamaan dan allegori

Untuk menafsirkan dengan tepat perumpamaan-perumpamaan Yesus, kita harus memberi perhatian pada lima langkah berikut:

1. Memahami setting historisnya

Hermeneutika konservatif berpegang pada premis bahwa bahasa itu mengandung makna dan kata-kata dalam komunikasi Allah secara Alkitabiah mengandung "makna dan nilai-nilai historis, kultural, spiritual, dan moral."[3] Kata-kata dalam Alkitab harus dipahami sepenuhnya dan makna yang hendak disampaikan harus berusaha ditemukan. Kadang-kadang Yesus sendiri memberi penafsiran atas perumpamaan yang diberikan (mis. Mat. 22:14; 25:13), namun dalam kesempatan lain, penulis Injil memberi komentar editorial atas perumpamaan Yesus. Seringkali kunci penafsiran dapat ditemukan dalam prolog perumpamaan (mis. Luk. 18:1, 9; 19:11). Namun, kadang-kadang petunjuk penafsiran yang tepat terdapat dalam bagian epilog (Mat. 25:13; Luk. 16:9). Dalam beberapa perumpamaan, prolog dan epilog merupakan pertanyaan interpretatif sekitar perumpamaan itu (mis. Mat. 18:23–24, 35; Luk. 12:16–21).

Menurut Doerksen, metode kritis modern dalam menafsirkan perumpamaan adalah dengan melepaskan perumpamaan tersebut dari setting aslinya.[4] Dodd tetap mempertahankan bahwa tugas penafsir perumpamaan adalah menemukan konteks perumpamaan itu dalam Injil dan penerapannya bagi para pendengar yang berada dalam kondisi dan situasi waktu itu.[5] Ia menandaskan bahwa untuk memahami perumpamaan dengan benar pertama-tama kita harus menafsirkannya dalam Sitz im Leben aslinya, yaitu dalam setting asli dalam kehidupan Yesus dan konteks pelayanan-Nya. Dengan kata lain, sebelum kita memahami signifikansi perumpamaan-perumpamaan Yesus bagi kita saat ini, terlebih dulu kita harus memahami makna aslinya bagi para pendengar Yesus pada abad pertama.[6]

Hunter melihat adanya dua setting historis perumpamaan-perumpamaan, yaitu setting orisinal dalam kehidupan Yesus dan setting sekunder dalam kehidupan gereja mula-mula.[7] Konteksnya meliputi baik peristiwa-peristiwa yang terekam maupun perekaman peristiwa-peristiwa, atau dengan kata lain, baik setting historis maupun setting harfiah. Penggunaan perumpamaan dalam perkembangan pelayanan Yesus secara historis bukanlah suatu kebetulan. Yesus menyampaikan perumpamaan sebagai tanggapan atas penolakan para pemimpin bangsa terhadap-Nya. Perumpamaan itu digunakan sebagai senjata untuk membela diri atas kebenaran diri-Nya dan sebagai wahana untuk memuliakan kerajaan Allah.[8] Namun, pada kesempatan lain, perumpamaan merupakan alat untuk menyampaikan instruksi dalam rangka menguatkan hati para murid agar setia. Perumpamaan hanya dapat dipahami secara tepat dengan terlebih dulu memahami pendengarnya dan kesempatan ketika perumpamaan tersebut disampaikan. Kebanyakan perumpamaan Yesus disampaikan untuk para murid di sekitar kontroversi, terutama di tahun-tahun terakhir pengajaran-Nya, seperti kita temukan dalam pengajaran-Nya dalam perjalanan sebagaimana dituturkan Lukas (Luk. 9:51–19:27).


2. Memahami setting kulturalnya

Menurut Ramm, untuk menafsirkan perumpamaan secara tepat, kita perlu memahami latar belakang kulturalnya.[9] Tiap perumpamaan Yesus diambil entah dari analogi terhadap alam atau dari penalaran dan penilaian orang/masyarakat umum yang hidup di Israel. Warna lokal perumpamaan menyimpan kekayaan informasi. Russell berpendapat bahwa kebanyakan cerita memuat adat kebiasaan, kondisi, dan gagasan-gagasan yang cukup jelas bagi orang-orang Yahudi Palestina pada zaman Yesus. Karena itu untuk memahami perumpamaan hal-hal tersebut perlu dijelaskan.[10]

Untuk memecahkan persoalan “keasingan kultural,” Bailey mengajukan apa yang disebutnya sebagai "Eksegesis Oriental."[11] Kebudayaan yang melingkupi perumpamaan-perumpamaan dalam Injil dapat dijelaskan secara relatif tepat dengan tiga perangkat secara serempak. Pertama, untuk memahami makna perumpamaan dalam setting-nya, kebudayaan petani konservatif waktu itu harus diteliti dengan seksama. Kedua, untuk mengetahui bagaimana jemaat Palestina selama berabad-abad memahami teks, cara berpikir mereka juga harus dipelajari. Ketiga, sastra kuno yang berhubungan dengan perumpamaan-perumpamaan Yesus harus dipahami dalam terang dua sumber yang lain, bukan terpisah darinya.

Jadi, "Eksegesis Oriental” adalah sebuah metode mempelajari teks yang terkondisikan secara kultural. Metode ini menggunakan perangkat kritis sarjana Barat yang dikombinasikan dengan wawasan kultural dalam terang sastra kuno, masyarakat petani sezaman dan cara berpikir Timur.[12]

Meskipun Bailey menawarkan wawasan yang segar untuk memahami perumpamaan dengan cara pendekatan harfiah-kultural, tampaknya untuk merekonstruksi latar belakang sosial perumpamaan ia telah mengorbankan teks dan konteks. Namun demikian, penekanannya pada pemahaman kultural merupakan koreksi berharga dalam menangkis kecenderungan eksistensial beberapa penafsir modern. Kelley dengan keras mengritik kecenderungan untuk mengabaikan kebudayaan. Menurutnya, adalah sangat keliru jika kita memahami Yesus sebagai seorang teolog eksistensialis seperti Bultmann dan Heideger, bukan sebagai seorang rabbi Yahudi yang berkelana mengajar murid-murid-Nya, menjawab para pelawan-Nya dan memberi dorongan kepada orang banyak.[13] Awal penafsiran yang tepat atas sebuah perumpamaan adalah memahami secara tepat konteks historis dan kulturalnya.[14] Yang dimaksud “kultural” dalam hal ini mencakup segala cara, metode, sarana, adat-istiadat, kelembagaan dsb., yang dengannya sebuah clan, suku atau bangsa melangsungkan eksistensinya.

3. Menemukan perlunya perumpamaan disampaikan

Yesus sering menuturkan perumpamaan untuk menjawab pertanyaan, menanggapi tantangan, atau mengundang para pendengarnya untuk mengubah pikiran mereka. Menemukan tujuan mengapa perumpamaan disampaikan merupakan langkah signifikan untuk menyingkap maknanya dalam konteks aslinya. Seringkali perumpamaan bukan hanya berguna bagi para pendengar asli, melainkan bagi juga bagi pendengar saat ini. Proses interpretatif atas suatu perumpamaan dapat menjadi penunjang bagi implementasinya pada masa kini. Perlunya perumpamaan disampaikan kadang-kadang dapat dilihat pada bagian pendahuluan (mis. Luk. 18:1), tetapi mungkin juga baru dinyatakan di bagian akhir (mis. Luk. 16:8). Menurut Zuck ada delapan macam alasan mengapa Yesus menyampaikan perumpamaan, yaitu: (1) untuk menjawab pertanyaan, (2) untuk memenuhi permintaan, (3) untuk menanggapi keluhan, (4) untuk menyampaikan suatu maksud tertentu yang dinyatakan secara eksplisit, (5) untuk menanggapi penolakan Israel terhadap Yesus sebagai Mesias (terutama dalam perumpamaan-perumpamaan tentang kerajaan Allah), (6) untuk menjelaskan nasihat, (7) sebagai ilustrasi atas situasi yang dihadapi, (8) untuk menyampaikan suatu maksud yang tersirat di dalamnya, namun tidak dinyatakan secara eksplisit.[15]



4. Menganalisis struktur dan detail perumpamaan

Traina mengusulkan perangkat analisis struktur wacana naratif yang sangat membantu. Ia menandaskan pentingnya memahami struktur perikop yang sedang dipelajari. Ada lima macam struktur narasi: (1) perkembangan biografis yang menjelaskan perjalanan hidup seseorang[16]; (2) perkembangan historis dari serangkaian peristiwa; (3) perkembangan kronologis, yang membentangkan narasi dengan indikator-indikator waktu; (4) perkembangan geografis, yang memberikan gambaran tentang perpindahan tempat; dan (5) perkembangan ideologis, yang berfokus pada perkembangan gagasan.

Untuk memahami narasi secara tepat, seni naratif harus pula diperhitungkan. Sumbangan setting, sifat-sifat khas dan plot narasi berkaitan erat dengan proses hermeneutis serta wawasan penyusunnya dalam mempengaruhi pembacanya untuk suatu maksud tertentu.

Detail perumpamaan bermanfaat sebagai latar belakang bagi kebenaran inti yang hendak disampaikan. Ramm menyebut perumpamaan sebagai “kebenaran dalam sebuah wahana.” Wahana tersebut tentu saja mengandung aksesori. Detail perumpamaan merupakan aksesori perumpamaan itu, namun bukan bagian dari maknanya.[17] Bermacam-macam detail sering memiliki peran penting, namun kemungkinan hanya ditambahkan sebagai latar belakang kisah yang hendak disampaikan.

Penafsir sering keliru, menganggap detail perumpamaan sebagai bagian yang harus ditafsirkan seraca alegoris. Meskipun bukan seorang ekseget konservatif, Boucher membut perbedaan yang sangat menolong. Baginya, lebih tepat kita membicarakan makna dari keseluruhan perumpamaan daripada membahas satu persatu arti dari bagian-bagiannya. Memang, sekali waktu, dengan memahami makna keseluruhan, makna bagian-bagiannya akan jelas dengan sendirinya. Sebaliknya, dengan memahami makna bagian-bagiannya, makna keseluruhan dapat dimengerti.[18] Latar belakang rinci suatu perumpamaan menolong kita dalam memusatkan perhatian pada inti pokok pesannya. Perumpamaan itu ibarat sebuah roda, dengan asnya sebagai inti pesan dan detailnya sebagai jari-jari.[19]

5. Menemukan pesan/inti kebenaran yang hendak disampaikan

Tujuan setiap perumpamaan adalah menunjukkan analogi antara cerita dengan pengajaran atau imbauan yang diinginkan. Menurut Trench, sebelum menemukan inti kebenaran perumpamaan, kita harus menemukan hal yang pokok dan yang kurang pokok, yang esensial dan yang tidak esensial.[20]  

Inti kebenaran dapat diidentifikasi dengan memahami apakah yang menjadi persoalan, dalam kesempatan apa, apa yang menjadi pertanyaan, atau apa yang ingin digambarkan dalam setting historisnya. Biasanya, persoalan yang dibicarakan berkenaan dengan murid-murid Yesus atau para pelawan-Nya, dan karenanya berhubungan dengan maksud tertentu, baik yang dinyatakan maupun yang tersembunyi. Untuk mengidentifikasi inti pokok suatu perumpamaan, Stein mengusulkan tujuh pertanyaan:

  1. Istilah-istilah apa yang diulang-ulang dalam sebuah perumpamaan dan istilah-istilah apa yang tidak?
  2. Di manakah tempat perumpamaan itu, berkenaan dengan persoalan apa atau dengan siapa?
  3. Apakah pertentangan utama yang terdapat dalam perumpamaan itu?
  4. Apakah yang terjadi pada akhir perumpamaan itu?
  5. Apakah yang secara langsung dibicarakan di dalamnya? (Seringkali hal penting yang dibahas terlihat dalam pembicaraan).
  6. Kekhasan apa yang terlihat dalam perumpamaan itu? Manakah dua macam kekhasan yang penting? (Biasanya perumpamaan berpusat pada dua karakter yang kontradiktif).
  7. Bagaimana Anda harus menuturkan perumpamaan itu? Seandainya perumpamaan itu dituturkan oleh Yesus, adakah sesuatu yang hendak dinyatakan?[21]

Kadang-kadang konteks perumpamaan itu sendiri menyingkapkan inti pokok yang dibicarakan, seperti perumpamaan dalam Lukas 18:1, 9.

Kebanyakan penafsir setuju dengan Hunter bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus selalu berkenaan dengan konsep kerajaan Allah.[22] Hal ini jelas terlihat dari seringnya formula pengantar “Kerajaan Allah adalah seumpama ….” digunakan. Sentralitas kerajaan Allah dalam perumpamaan-perumpamaan yang diberikan-Nya mencerminkan prioritas pelayanan Yesus secara keseluruhan. Kerajaan Allah merupakan inti pesan Yohanes (Mat. 3:2), Yesus (Mat. 4:17), dan para murid-Nya (Mat. 10:5–7). Hope menyatakan bahwa semua perumpamaan Yesus berkenaan dengan satu subjek utama, yaitu kerajaan Allah.[23] Menurut Ramm, penafsiran yang tepat atas perumpamaan-perumpamaan Yesus haruslah mengacu kepada pengertian tentang kerajaan Allah dan relasi Yesus dengan Injil kerajaan Allah.[24]

Definisi mengenai kerajaan Allah merupakan topik yang banyak diperdebatkan oleh para sarjana Injil Sinoptik. Namun studi tentang kerajaan Allah dalam hubungannya dengan perumpamaan-perumpamaan Yesus sering diabaikan. Seharusnya kita memberi ruang kepada perumpamaan-perumpamaan Yesus untuk berbicara mengenai teologi kerajaan Allah sebagai inti pesan Yesus.

C. Contoh penafsiran

1. Penafsiran ilustrasi atau permisalan: Lukas 18:9-14.

Analisis sumber

Perumpamaan ini hanya ada dalam Injil Lukas maka kita bisa mengatakan bahwa sumber perumpamaan ini adalah Lukas sendiri (sumber L). Tetapi ayat 14 terdapat juga dalam Matius 23 :12 dan Lukas 14 :11. Maka dapat dikatakan bahwa ayat 14 ini berasal dari sumber Q.

Analisis eksegetis

Ay. 9-14. Dalam perumpamaan ini, doa seperti yang diucapkan oleh pemungut cukai itu merupakan sesuatu yang biasa. Karena di kalangan umat Yahudi, mereka disetarakan dengan kelompok orang berdosa (bdk. Luk.15:1-2). Dalam pengaturan perpajakan Romawi untuk Palestina, setiap kampung mempunyai pegawai pajak sendiri (yang lazim disebut pemungut cukai). Orang senang dengan tugas itu, karena memperoleh pendapatan dari padanya. Para pemungut cukai tersebut pada umumnya sudah mengetahui berapa banyak pajak yang harus dibayar oleh setiap kepala keluarga, yang lazimnya cukup berat jika dibandingkan dengan tingkat penghasilan mereka. Pemungut cukai kemudian mengadakan negosiasi. Para wajib pajak diperbolehkan mencicil pembayaran pajaknya, namun dengan bunga. Bunga tersebut menjadi hak pemungut cukai. Karena kebijakan ini, biasanya para pemungut cukai dibenci oleh masyarakat luas dan dicap sebagai lintah darat atau penghisap masyarakat. Karena sikap masyarakat itu, dalam kehidupan keagamaan orang Yahudi mereka terpinggirkan.

Sedangkan orang Farisi (ay. 11) adalah orang yang sangat taat kepada tradisi dan aturan-aturan keagamaan orang Yahudi yang diberlakukan secara kaku. Mereka rajin berbuat amal dengan maksud mendapat pahala dari Allah. Karena ketaatan dan kerajinan itu maka mereka menganggap diri sebagai kelompok yang saleh dan lebih suci daripada masyarakat umum.

Pertanyaan yang timbul adalah: siapakah dari kedua orang ini lebih benar? Menurut pandangan umum, mestinya orang yang taat beragama atau orang yang saleh itu yang dianggap lebih benar. Bukankah setiap agama menuntut para pengikutnya agar selalu taat kepada ajaran dan aturan agamanya? Bukankah umat Israel diajar untuk taat kepada hukum Taurat Yahudi? Karena itu, seharusnya sikap orang Farisi itu dapat dibenarkan.

Namun dalam perumpamaan ini, Yesus, menurut Injil Lukas, menolak dengan tegas pandangan umum, yang didasarkan pada hukum Taurat dan tradisi Yahudi itu. Dalam perumpamaan ini dikatakan bahwa pemungut cukai itu kembali dengan dibenarkan Allah, sedangkan orang Farisi itu, tidak! (18:14). Di sini kita melihat dua macam kebenaran, yaitu kebenaran menurut ukuran umum, dan kebenaran yang dilimpahkan berdasarkan pengam-punan dari Allah semata.

Persoalan yang memang timbul adalah, dalam kebenaran menurut ukuran umum, orang-orang berdosa dan para pemungut cukai tidak mendapat tempat. Ia dianggap berada di luar kebenaran, sebab mereka bukanlah orang saleh seperti orang Farisi. Karena itu, pemungut cukai tersebut membutuhkan pembenaran lain, yaitu pembenaran dari Allah sendiri. Di hadapan aturan keagamaan orang Yahudi (Taurat) mereka tidak mendapat tempat. Dalam ukuran Taurat, tidak ada jalan bagi mereka untuk diselamatkan.

Tetapi Yesus tidak menghendaki ketaatan terhadap hukum Taurat secara harfiah menjadi kriterium tertinggi bagi keselamatan manusia. Menurut Yesus, otoritas tertinggi dan paling puncak yang menentukan kehidupan manusia adalah Allah sendiri. Karena itu, setiap orang, bahkan orang berdosa sekalipun, yang dengan rendah hati menyerahkan hidupnya kepada Allah, akan memperoleh pengampuan sebagai suatu anugerah dari Allah.

Dalam kerangka apakah Lukas menempatkan perumpamaan ini? Jika kita memperhatikan pengantar yang mendahului perumpamaan ini (18:9), maka jelas bahwa Lukas menempatkannya dalam kerangka peringatan terhadap orang-orang tertentu dalam komunitasnya, yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah orang lain. Dengan kata lain, ada orang-orang tertentu dalam jemaat Lukas yang menyombongkan kerohanian mereka. Kepada mereka itulah Lukas menyampaikan perumpamaan ini. Hal ini sesuai dengan ayat 14b, “yang tinggi direndahkan dan yang rendah ditinggikan”.

Dengan demikian dari segi konteks historisnya, perumpamaan ini memiliki dua lapis konteks historis, yaitu konteks historis pada masa Yesus dan konteks historis pada masa Lukas. Yesus telah menyampaikan perumpamaan ini kepada para pendengarnya di masa lampau. Lalu Lukas mengangkat perumpamaan ini dan mengenakannya untuk konteks jemaat pada masanya.

Analisis teologis

·         Yang tinggi direndahkan, yang rendah ditinggikan
Orang Farisi dalam perumpamaan ini membanggakan diri di hadapan Allah karena ketaatan atau kesetiaannya melakukan hukum Taurat. Pembanggaan akan jasa-jasa di bidang kerohanian ini telah menempatkan orang Farisi itu sebagai orang yang benar, orang yang saleh, orang yang tinggi moral dan spiritualnya. Tetapi kebanggaan ini telah membawa orang Farisi itu kepada sikap yang demikian eksklusif, sehingga merendahkan atau meremehkan orang lain. Ia merasa bahwa kemampuannya sendirilah yang memungkinkan dirinya memperoleh tingkat kerohanian yang demikian. Ia lebih mengandalkan diri sendiri daripada mengandalkan Allah dalam hidupnya. Tetapi justru sikap seperti ini menjadi batu sandungan bagi dirinya. Ia ditolak oleh Allah.

Yesus justru mengajarkan sikap yang lain, yakni sikap rendah hati dan penyerahan diri secara utuh kepada Allah, penyerahan diri secara sungguh-sungguh. Orang yang demikian akan diterima oleh Allah.

·         Dibenarkan hanya oleh anugerah
Pengalaman pemungut cukai dalam perumpamaan ini sangat menarik untuk disimak lebih jauh. Ia adalah orang yang dibenci oleh masyarakat luas. Ia disetarakan dengan orang-orang berdosa. Berbagai caci-maki dan umpat dialamatkan kepadanya. Ia terpinggirkan dan dianggap ‘orang pinggiran’ oleh orang-orang saleh Yahudi. Ia dipandang sebagai orang yang tidak layak memperoleh anugerah pengampunan dan keselamatan dari Allah. Singkatnya, dilihat dari sisi peraturan agama, ia tidak memiliki harapan masa depan. Namun, Yesus datang ke dunia justru untuk mencari orang yang berdosa dan terpinggirkan, seperti para pemungut cukai itu. Mereka disambut oleh Yesus dan bahkan Ia makan bersama mereka (bdk  Luk. 7:34; 19:1-10). Bertolak dari pengalaman pemungut cukai ini, mestinya kehinaan dan dosa tidak menjadi hambatan bagi seseorang untuk datang kepada Yesus; sebab, dengan tangan terbuka Yesus menyambut orang-orang yang dengan rendah hati dan penuh penyerahan diri datang kepada-Nya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang ditolak oleh masyarakat.



2.     Penafsiran allegori tentang seorang penabur (Mat. 13 :1-9)

Kita melihat bahwa setiap aspek dalam allegori ini memiliki makna rohani:

·         Ay. 3, penabur = Yesus, para pemberita Injil.
·         Ay. 4, benih = firman Tuhan.
·         Ay. 4, tanah di jalan = orang yang mendengar firman tetapi tidak mengertinya.
·                                 Ay. 4, burung-burung yang memakan benih = si jahat yang merampas firman yang ditaburkan itu.
·                                 Ay. 5-6, tanah yang berbatu-batu = orang yang mendengar firman, dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi tidak berakar dan hanya tahan sebentar saja. Apabila datang penganiayaan maka orang itu murtad. 
·                                 Ay. 7, tanah semak duri = orang yang mendengar dan menerima firman, tetapi firman itu dihimpit oleh kekuatiran duniawi dan tipu daya kekayaan, sehingga tidak berbuah.
·                                 Ay. 8, tanah yang baik = orang yang mendengar firman dan mengerti, karena itu ia berbuah.

Dalam memahami pesan allegori ini, jelas bahwa setiap unsur dari ceriteranya memiliki arti rohani, yang secara langsung dapat diterapkan kepada jemaat. Yesus menyampaikan allegori ini, karena Ia melihat bahwa banyak orang berbondong-bondong mengikuti-Nya, tetapi motivasi mereka berbeda-beda. Ia membedakan motivasi mereka ke dalam empat kelompok, yaitu:

1.       Mereka yang mendengar pengajaran-Nya, tetapi tidak mengerti firman itu, sehingga tidak ada perubahan dalam diri mereka.
2.       Mereka yang mendengar firman dan menerimanya dengan gembira, tetapi tidak tabah dalam menghadapi siksaan dan penganiayaan, sehingga mereka mudah murtad.
3.       Mereka yang menerima firman itu, tetapi belum bersedia meninggalkan cara hidup yang lama, seperti tipu daya, ketidakjujuran, korupsi, dsbnya, sehingga firman itu tidak dapat menghasilkan buah.
4.       Mereka yang mendengar dan melaksanakan firman itu dengan sungguh-sungguh, sehingga menghasilkan buah. 

Sesudah memberikan penafsiran terhadap ceritera ini maka kita dapat menerapkannya untuk kehidupan jemaat. Diharapkan, jemaat termasuk ke dalam kelompok terakhir, yaitu orang-orang yang sungguh-sungguh mendengar dan melakukan firman Tuhan, serta mengeluarkan buah.

Penerapan

Firman Allah tidak kembali dengan hampa
               
Dalam perumpamaan ini kita membaca bahwa benih yang ditabur oleh penabur itu ada yang tidak sampai berbuah. Benih yang jatuh di jalan dimakan oleh burung-burung sebelum tumbuh. Benih yang jatuh di tanah yang berbatu sempat tumbuh tetapi karena tanahnya dangkal dan tandus, maka ketika terbit matahari dan panas terik datang, ia pun layu dan mati. Benih yang jatuh di tanah berduri memang tumbuh juga, tetapi ia tidak sempat berbuah karena dihimpit oleh semak duri sampai mati.

Walaupun demikian tidak berarti tidak ada hasil sama sekali. Ternyata ada juga benih yang jatuh di tanah yang baik, sehingga membuahkan hasil, ada yang seratus, ada yang enam puluh dan ada yang tiga puluh kali lipat. Dengan kata lain, benih yang ditaburkan tidak semuanya mati. Demikianlah Injil kerajaan Allah yang diberitakan ke seluruh dunia. Memang ada yang tidak menghasilkan buah, karena pendengarnya hanya memuaskan telinganya saja, tetapi tidak memberlakukannya dalam hidupnya. Namun, tidak dapat disangkal, ada juga pendengar firman yang dengan setia melakukannya dalam hidupnya, sehingga ia berbuah lebat dalam tugas dan pelayanannya.

Pendengar firman yang berbeda-beda

Tidak semua orang memiliki motivasi dan kesungguhan yang sama dalam menerima firman Tuhan. Dalam ibadah, ada orang yang mendengar firman hanya karena harus mendengarnya. Namun, hatinya keras, sehingga firman itu tidak tertanam dan berlalu begitu saja tanpa bekas. Ada pula orang yang mendengarkan firman dengan sungguh-sungguh, sehingga firman itu bertumbuh dalam hatinya, namun ia tidak tahan terhadap pencobaan dan penganiayaan sehingga ia murtad. Ada orang yang mendengar firman, lalu menyimpan dalam hatinya dan kehidupannya mulai berubah. Namun, karena berbagai macam nafsu duniawi, ketamakan akan uang dan harta, maka firman itu menjadi kerdil dalam dirinya dan mati. Tetapi ada pula orang yang menerima firman atau Injil kerajaan Allah dengan sungguh-sungguh dan mereka memberlakukan firman itu dalam hidupnya, sehingga firman itu berbuah lebat. Pertanyaan yang timbul adalah: dalam kelompok manakah kita sedang berada? Jawaban atas pertanyaan ini terpulang pada diri kita masing-masing.


Contoh II

Matius 22: 1-14. Perumpamaan tentang raja yang mengadakan perjamuan kawin.

Analisis sumber dan analisis redaksi terhadap perikop ini telah kita lakukan di atas, maka kedua analisis itu tidak kita lakukan lagi di sini. Kita akan langsung kepada analisis eksegetis dan teologisnya.

Analisis eksegetis

Tipe perumpamaan ini adalah allegori. Karena itu, pendekatan terhadapnya harus bersifat allegoris juga. Ini berarti bahwa hampir setiap unsur dalam ceritera tersebut memiliki arti rohani yang harus diungkapkan.

Ayat 2 : - Raja = Allah,
- Undangan  = penawaran anugrah pertama-tama kepada Israel
Ayat 3: - para hamba = para nabi dan rasul serta pekabar Injil.
                - para undangan = Israel.
                - penolakan para undangan = penolakan Israel terhadap tawaran anugerah Allah.
Ay. 4-6: - Undangan yang ke 2, ditolak juga dengan berbagai alasan = Israel tetap menolak tawaran anugerah  Allah.
                - Ada hamba yang disiksa dan dibunuh = para nabi, para rasul disiksa dan dibunuh oleh orang Israel.
Ay. 7       - raja marah = Allah murka karena penolakan dan penyiksaan serta pembunuhan para nabi dan para rasul serta para pekabar Injil.
                - raja itu menyuruh pasukan tentara membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota mereka = penghancuran kota Yerusalem pada tahun 70 M.
Ay. 8,10- raja itu menyuruh lagi para hambanya pergi ke persimpangan-persimpangan jalan dan mengundang setiap orang yang dijumpai di jalan-jalan, orang-orang jahat dan orang-orang baik = pemawaran anugerah Allah kepada dunia bangsa-bangsa.
Ay.11-13 - Ada yang tidak berpakaian pesta lalu raja marah dan dibuang ke luar = Ini menunjuk kepada penapisan atau penghakiman pada akhir zaman supaya sesuai dengan ayat 14.
Ay. 14. Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih. Ungkapan ini merupakan skopus dari perumpamaan ini.

Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa Allah telah menawarkan anugerah-Nya kepada orang Israel melalui para nabi, rasul, dan pekabar Injil, tetapi orang Israel menolak tawaran itu. Bukan itu saja. Orang Israel juga menangkap dan menganiaya bahkan membunuh para nabi dan para rasul. Tindakan Israel itu mengakibatkan murka Allah atas Israel sendiri sehingga Ia mengizinkan tentara Romawi menghancurkan kota Yerusalem pada tahun 70 AD dan membinasakan sebagian orang Israel.

Sesudah peristiwa itu maka Injil atau anugerah Allah itu ditawarkan kepada bangsa-bangsa lain, sehingga banyak orang dimungkinkan untuk menjadi warga kerajaan Allah. Walau demikian pada hari penghakiman akan ada penapisan atau penghakiman. Mereka yang tidak percaya akan dihukum sedangkan mereka yang percaya diberikan hidup yang kekal. 

Analisis Teologis

·         Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih.

Dalam zaman PL diceriterakan bahwa Allah telah memilih Israel sebagai umat-Nya, namun umat itu tidak selalu taat kepada Allah. Lalu Allah menyuruh para nabinya untuk mengajak mereka bertobat dan menyambut tawaran anugerah keselamatan dari Allah tetapi mereka mengeraskan hati mereka dan tidak mau berbalik. Pada zaman Perjanjian Baru, banyak rasul dan hamba-hamba Tuhan diutus untuk memberitakan kabar keselamatan kepada orang-orang Israel, tetapi mereka menolak tawaran keselamatan itu. Tidak hanya itu. Para rasul dan hamba-hamba Tuhan itu ada yang ditangkap lalu disikisa, bahkan ada yang dibunuh sebagai wujud penolakan mereka. Menurut Matius, akibat penolakan itu  Allah menghukum Israel dengan membiarkan musuh menghancurkan kota Yerusalem.

Karena penolakan Israel akan tawaran keselamatan dari Allah melalui para nabi dan para rasul maka  tawaran keselamatan itu ditujukan kepada alamat yang berbeda yaitu kepada dunia bangsa-bangsa. Injil kerajaan Allah itu diberitakan kepada mereka. Namun yang menjadi anggota atau warga  kerajaan Allah itu tidak hanya orang yang baik tetapi orang yang jahat juga. Artinya tidak setiap orang yang menyebut diri sebagai warga kerajaan Allah menerima tawaran keselamatan itu. Hanya mereka yang sungguh-sungguh telah mengubah hidup mereka, dan berbalik sungguh-sungguh kepada Allah. Mereka laksana orang yang berpakaian pesta yang disambut oleh raja dalam perjamuan itu. Sedangkan mereka yang tidak mengubah hidupnya akan dibuang ke dalam hukuman yang kekal pada hari penghakiman. Jadi setiap orang yang menjadi warga kerajaan itu akan ditapis (dihakimi). Penapisan atau penghakiman itu menyebabkan banyak yang dipanggil tetapi hanya sedikit yang dipilih. Karena itu ubahlah hidup ini supaya kita menjadi salah seorang dari orang-orang yang akan menerima keselamatan itu.

Semoga bermanfaat.
BS







[1] Eta Lindeman, Parable of Jesus Introduction and Exposition (London: SPCK, 1966) h. 3,4.
[2] Lindeman, Parable of Jesus, 5-8.
[3] A. T. Cadoux, The Parables of Jesus: Their Art and Use (London: Clarke, 1930), 45.
[4] Vernon D. Doerksen, "The Interpretation of the Parables," Grace Journal 11 (Spring 1970), 11.
[5] Doerksen, "The Interpretation of the Parables," 13-14.
[6] Robert H. Stein, An Introduction to the Parables of Jesus (Philadelphia: Westminster, 1981), 59.
[7] Archibald Hunter, Interpreting the Parables (Philadelphia: Westminster, 1960), 76.
[8] Peter R. Jones, The Teaching of the Parables (Nashville: Broadman, 1982), 37; cf. Cadoux, The Parables of Jesus, 11-13. Rupanya Cadoux-lah yang melontarkan gagasan bahwa perumpamaan merupakan senjata dalam kontroversi.
[9] Bernard Ramm, Protestant Biblical Interpretation, 3d ed. (Grand Rapids: Baker, 1970), 282.
[10] Elbert Russell, The Parables of Jesus (New York: Young Women’s Christian Association, 1912), 10.
[11] Kenneth E. Bailey, Poet and Peasant: A Literary-Cultural Approach to the Parables (Grand Rapids: Eerdmans, 1976), 29.
[12] Bailey, Poet and Peasant, 29-30.
[13] Robert Kelley, "The Significance of the Parable of the Prodigal Son for Three Major Issues in Current Synoptic Study" (disertasi Ph.D. , Princeton University, 1971), 132.
[14] Ramm, Protestant Biblical Interpretation, 152.
[15] Roy B. Zuck, Basic Bible Interpretation (Wheaton, IL: Victor, 1991), 211-15.
[16] Robert Traina, Methodical Bible Study (1952; reprint, Grand Rapids: Zondervan, 1980), 51-52.
[17] Traina, Methodical Bible Study, 283.
[18] Madeleine I. Boucher, The Parables (Wilmington, DE: Glazier, 1981), 58.
[19] Lht. Zuck, Basic Bible Interpretation, 215-17.
[20] Richard C. Trench, Notes on the Parables of Our Lord (Grand Rapids: Baker, 1948), 35.
[21] Stein, An Introduction to the Parables, 56.
[22] Hunter, Interpreting the Parables, 39.
[23] Norman Hope, "The Interpretation of Christs Parables," Interpretation 6 (July 1952): 303. Some parables, like those in Luke 15, are more remotely related than those that explicitly mention the term or describe the concept.
[24] Ramm, Protestant Biblical Interpretation, 153.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar