HERMENEUTIKA
LINTAS-KULTURAL
Bahan Kuliah IV HPB II
1. Pengertian
istilah, inter-kultural atau lintas-kultural?
Dalam
bahasa Inggris ada beberapa istilah yang digunakan terkait dengan masalah yang
hendak kita bicarakan, antara lain “intercultural”, “multicultural”,
“crosscultural,” dan “transcultural.” Manakah sesungguhnya istilah yang paling
tepat untuk dipakai jika dihubungkan dengan hermeneutika? Cobalah kita analisis
arti peristilahannya. Kata “inter” dalam bahasa Inggris berarti “between” atau
“from one to another.” Istilah “intercultural hermeneutics” merujuk pada
pengertian hermeneutika di antara dua kultur (budaya) yang berbeda. Istilah
“crosscultural”, bertolak dari kata “cross”, yang sedikit banyak memiliki arti
sama dengan “inter.” Namun dalam hubungannya dengan hermeneutika,
“crosscultural hermeneutics” lebih dekat artinya dengan “transcultural
hermeneutics.” Kata “trans” berarti “across” atau “beyond”. Jadi,
“transcultural hermeneutics” adalah hermeneutika yang bergeser dari
hermeneutika yang telah ada dalam kultur tertentu. Di antara sekian macam
istilah, istilah yang lazim diperbincangkan adalah “intercultural
hermeneutics,” yang secara harfiah dapat diterjemahkan “hermeneutika
antarbudaya.” Menurut hemat saya, lebih tepat jika kita membicarakan
hermeneutika lintas-budaya atau lintas-kultural, artinya suatu proses
hermeneutis yang kita lakukan beranjak dari suatu kultur tertentu kepada kultur
tertentu yang lain.
Haruslah
diakui bahwa sesungguhnya “intercultural hermeneutics” sesungguhnya belum ada.
Gagasan ini baru dikembangkan (bahkan baru tahap awal) sebagai respons terhadap
perlunya pemahaman dan komunikasi lintas-budaya di era post-modern ini.
Hermeneutika lintas-budaya adalah sebuah teori dan metode interpretasi atau
pemahaman lintas batas kultural. Metode ini berkenaan dengan pertanyaan sejauh
mana “orang lain” benar-benar berbeda pemahaman dengan “kita”? Apakah yang
menyebabkan “orang lain” sungguh-sungguh kita mengerti sebagai “orang lain”?
Singkatnya, hermeneutika lintas-budaya adalah hermeneutika yang terjadi dalam
perjumpaan lintas-budaya.
Dengan
kata lain, hermeneutika lintas-budaya adalah suatu cara untuk menggambarkan
proses bereksegesis dan berteologi secara kontekstual bagi masyarakat intelektual.
Pemikiran ini dilandasi pra-anggapan bahwa sesungguhnya tidak ada hermeneutika
universal yang siap pakai dan dapat diterapkan di mana pun dan dalam situasi
apa pun di dunia ini. Sebaliknya, secara konkret hermeneutika berakar dan
dipengaruhi oleh konteks tertentu.
2. Situasi kekristenan dari sudut pandang
oikumenis
Gerakan
oikumenis telah timbul beberapa ratus tahun lalu dengan visi antusiastik untuk
“menginjili seluruh dunia dalam satu generasi.” Konferensi misi sedunia yang
diselenggarakan di Edinburgh
pada 1910 dihadiri oleh 1200 wakil organisasi-organisasi misi dan utusan
gereja-gereja. Namun di antara sekian banyak peserta, hanya 18 orang saja
utusan gereja-gereja muda dari belahan bumi bagian selatan. Disepakati bahwa
untuk mencapai tujuan itu hal yang sangat penting dilakukan adalah
menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lokal, terutama di Asia dan
Afrika. Beberapa dekade menjelang akhir abad XX, organisasi-organisasi misi
Protestan telah mendistribusikan ratusan ribu Alkitab khusu untuk negara-negara
di belahan bumi bagian selatan.
Akibat
usaha ini, maka pasca era kolonialisme, jumlah anggota DGD meningkat tajam. Hal
ini antara lain disebabkan karena kepemimpinan gereja-gereja di bekas negara-negara
jajahan diserahkan kepada teolog-teolog pribumi. Sekalipun terdidik dalam
teologi Eropa, mereka segera berpikir dan berteologi dalam kerangka budaya dan
konteks masing-masing, serta berusaha melakukan inkulturasi dan
kontekstualisasi Injil. Di samping itu, gereja-gereja lokal, yang dalam
berbagai hal secara teologis sangat berbeda satu sama lain, mulai banyak
didirikan. Teolog-teolog Afrika, Asia dan
Amerika Latin mulai mengorganisasi diri ke dalam berbagai wadah, baik secara
nasional maupun regional (mis. Konferensi Gereja-gereja Seluruh
Afrika/All-African Churches Conference, AACC; Asosiasi Oikumenis Teolog-teolog Dunia Ketiga/Ecumenical
Association of Third World Theologians, EATWOT, dll.). Dalam wadah-wadah itu
dengan percaya diri gereja-gereja dunia ketiga mulai mempergumulkan pandangan
teologis masing-masing ke dalam perdebatan oikumenis.
Pada
akhir abad XX, gereja-gereja dunia ketiga mulai membicarakan “pergeseran pusat
gravitasi kekristenan” dari belahan bumi utara ke negara-negara selatan, yang
secara ekonomis mulai mandiri. Penafsiran-penafsiran Alkitab di negara-negara
belahan selatan bumi, perkembangan bentuk-bentuk peribadahannya, pengajaran dan
kehidupan imannya menunjukkan adanya reorientasi kekristenan secara ekstensif.
Di tengah perbedaan-perbedaan konfesional, kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan
keterbelakangan telah menjadi faktor pemersatu (common denominator) bagi gereja-gereja dunia Selatan. Mereka
mempergumulkan kenyataan-kenyataan yang mereka hadapi dengan pengalaman akan
kehadiran Allah, yang tidak selalu dapat disepadankan.
3. Peluang dan tantangan
Selama
hampir 200 tahun, National dan International Bible Societies telah berhasil
menerjemahkan Alkitab, baik sebagian maupun seluruhnya, ke dalam hampir semua
bahasa besar yang ada. Terjemahan-terjemahan tersebut menampilkan interpretasi
(penafsiran) yang merupakan hasil proses pemahaman yang terjadi dalam konteks
sosio-linguistik tertentu. Dalam kepelbagaian proses inkulturasi kontemporer,
pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana umat Kristen saling berkomunikasi di
antara mereka sendiri? Sekalipun kekristenan secara oikumenis seluruhnya
merupakan representasi persekutuan orang-orang yang berusaha memahami Alkitab,
namun tidak berarti bahwa umat Kristen seluruh dunia merupakan satu komunitas
seragam dengan pemahaman yang sama atas Alkitab itu. Sebaliknya, haruslah kita
sadari bahwa komunitas oikumenis itu terdiri dari banyak komunitas
interpretasi, masing-masing dengan karakteristik (kekhasan) kultural dan
kontekstualnya sendiri. Dapat dikatakan bahwa kekristenan memiliki satu iman
dengan banyak wajah. Namun tetap menjadi pergumulan, dapatkah dalam keluarga
Kristen oikumenis itu masing-masing anggota melihat anggota yang lain dengan
mata dan cara pandang pihak lain, entah hitam, putih atau cokelat, dan menerima
mereka sebagai saudara seiman yang setara?
Dalam
era berkembangnya komunikasi lintas-kultural dan perjumpaan antarbangsa
sedunia, orang mungkin bertanya: adakah peluang bagi terjadinya diskusi bersama
mengenai pesan-pesan Alkitabiah yang bermanfaat bagi keesaan oikumenis di
antara umat Kristen? Adalah tugas hermeneutika lintas-kultural-oikumenis untuk menentukan
tujuan dan syarat-syarat filosofis dan teologis bagi terjadinya dialog seperti
itu. Hermeneutika seperti itu tidak boleh menafikan metode-metode eksegesis dan
mengesampingkan kriteria untuk mengevaluasi interpretasi-interpretasi Alkitabiah.
Hermeneutika lintas-kultural haruslah berusaha mencari hubungan antarberbagai
interpretasi, yang tidak hanya didasarkan pada budaya atau kultur, konteks dan
situasi tertentu saja, melainkan juga mempertimbangkan berbagai cara atau
metode penafsiran.
4. Eksegesis historis kritis sebagai eksegesis
kultural
Hermeneutika
klasik di Barat didasarkan pada eksegesis historis-kritis, sedangkan
hermeneutika lintas-kultural lebih didasarkan pada eksegesis kultural. Eksegesis
kultural sering dianggap sebagai paradigma baru dalam menafsirkan Alkitab.
Metode ini mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh wawasan linguistik
post-modern bahwa setiap pendekatan terhadap Alkitab selalu dipengaruhi kultur
atau kebudayaan tertentu. Dari sudut pandang epistemologis, eksegesis
historis-kritis bukanlah ilmu pengetahuan (sains) yang bersifat mutlak, tetapi
sering dianggap mutlak. Dalam hal ini ada dua hal harus diperhatikan. Pertama, eksegesis historis-kritis sebagai metode ilmiah
kini sangat diragukan, baik berkenaan dengan proses metodologisnya maupun
hasilnya (sedikitnya keseragaman
merupakan indikator bahwa kesahihan metode tersebut perlu dipertanyakan). Kedua,
sifat self-overestimation dan
universalisme berakar kuat dalam sejarah intelektualitas Eropa bersamaan dengan
perendahan terhadap kebudayaan-kebudayaan dan pandangan-pandangan lain. Dengan
demikian, metode eksegesis historis-kritis hanyalah merupakan salah satu
eksegesis kultural; dalam hal ini kultur Eropa.
a. Dalam hermeneutika klasik tujuan akhirnya adalah
pemahaman personal, sedangkan dalam hermeneutika lintas-budaya, yang ditekankan
adalah pendekatan komunitarian.
b. Hermeneutika klasik memusatkan perhatian pada
harmonisasi. Hermeneutika lintas-budaya mengakui perbedaan. Orang lain yang
adalah orang asing haruslah memperoleh perlakuan yang adil.
c. Hermeneutika klasik berfungsi instrumental: pembaca
menganggap diri sebagai pemilik teks dan memperlakukan teks sebagai kekayaannya
sendiri. Hermeneutika lintas-budaya bersifat relasional.
d. Hermeneutika klasik didasarkan pada pengertian
proporsional mengenai kebenaran; hermeneutika lintas-budaya didasarkan pada
pemahaman eksistensial mengenai kebenaran.
5. Melakukan
hermeneutika lintas-budaya
a. Apa itu teks?
·
Teks adalah dunia
tersendiri, bukan dunia asali, tetapi juga bukan dunia kita sekarang ini.
·
Teks adalah
produk kultural tertentu (dengan penulis, pembaca, kompleksitas konteks dan harapan
yang berbeda dengan konteks pembaca masa kini).
·
Teks itu “mati”
dan harus “dihidupkan” kembali dengan interpretasi dan diskursus dialektik.
·
Menafsir bukan
sekadar mengetahui maksud penulis, melainkan ikut merasakan kompleksitas
peristiwa yang menjadi konteks dari teks.
b. Penafsiran tak pernah tidak bersalah
·
Menafsir berarti
berani masuk ke ruang kesalahan, karena menafsir berarti menciptakan kesalahan.
·
Penafsiran
tidaklah mutlak, sekalipun penafsir harus berusaha mendekati peristiwa dan
makna teks orisinal.
·
Terbuka
dipertemukan dengan tafsiran yang lain.
·
Tiap penafsir
leluasa mengamati hal yang berbeda.
c. Hermeneutika lintas-budaya
·
Bukan sekadar
menyingkap sesuatu (peristiwa atau pesan) di balik teks.
·
Persoalan
pokoknya: memahami kompleksitas dan kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitar
teks.
·
Mencari makna
(yang tidak selalu tunggal) di balik teks.
·
Mengakui bahwa
kebenaran merupakan sebuah kompleksitas.
·
Teks tidak dapat
menampilkan kebenaran, melainkan mengundang pembacanya untuk merasakan sensasi
atas kebenaran itu, sehingga kebenaran menjadi semakin terasa dan semakin
dekat.
·
Menjadikan “kebenaran”
itu nyata dalam konteks kekinian.
d. Terbuka
·
Membiarkan teks
berbicara.
·
Memberi ruang
bagi pemahaman lintas-budaya.
·
Memberi ruang
bagi perbedaan pemahaman.
·
Menolak
“kolonisasi” pihak yang satu terhadap pihak yang lain, baik bertolak dari
presuposisi religius maupun preposisi kultural.
Bahan Bacaan
Ariarajah, S. Wesley, “Intercultural Hermeneutics — a
Promise for the Future?”
Exchange, Journal of Missiological and
Ecumenical Research, Volume 34, Number 2, 2005, p. 89-101
Riches, J.K.
(2004) “Intercultural
hermeneutics. Conversations across cultural divides” in de Wit, H. (ed.) Through
the Eyes of Another: Intercultural Reading of the Bible. Amsterdam
Institute of Mennonite Studies, pp. 460-476. ISBN 0936273364
R. Schreiter, The New Catholicity. Theology between the
Global and the Local, New York 1998, 32.
Th Sundermeier, W. Ustorf (Ed.), Die Begegnung mit dem
Anderen. Pllidoyers fir eine interkulturelle Hermeneutik, Gütersloh 1991; Th.
Sundermeier, Can Foreign Cultures be Understood?, in: Studies in Interreligious
Dialogue 4 (1994/1) 32-41.
Bénézet Bujo, The Ethical Dimension of Community. The
African Model and the Dialogue between North and South, Nairobi 1997; Heinz
Kimmerle, Mazungumzo. Dialogen tussen Afrikaanse en Westerse filosofieën,
Amsterdam/Meppel 1995.
Th. Sundermeier, Den Fremden Verstehen. Eine praktische
Hermeneutik, Göttingen 1996, 13, 154.
F. Wilfred, Towards a Subaltern Hermeneutics. Beyond the
Contemporary Polarities in the Interpretation of Religious Traditions, in:
Jeevadhara 26 (1996) 21, 45-62.
Raymond
Panikkar, Myth, Faith and Hermeneutics (New York: Paulist Press, 1979).
_______, "The Invisible Harmony: A Universal Theory
of Religion of a Cosmic Confidence in Reality?" in Toward a Universal
Theology of Religion, ed. L. Swidler (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1987),
125.
Gadamer, H.G. Truth
and Method. 2nd Edition. New York: Continuum Publishing Company,
2003.
Mall, A.R. Intercultural
Philosophy. Lanham: Rowan and Littlefield Publishing Incorporation, 2000.
McLean, F.G. Hermeneutics
for a Global Age. Washington D.C.: The Council for Research in Value and
Philosophy, 2003.
______, dalam Gyekye K. Beyond Cultures – Perceiving a Common Humanity. Wahington D.C.: The
Council for Research in Value and Philosophy, 2003.
Mueller, K. ed. The
Hermeneutic Reader. New York: Continuum Publishing Company, 1985.
11
September 2012
B.
Subandrijo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar