Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Rabu, 05 Juni 2013

belajar mengenal tentang HERMENEUTIKA LINTAS-KULTURAL

HERMENEUTIKA LINTAS-KULTURAL
Bahan Kuliah IV HPB II


1.   Pengertian istilah, inter-kultural atau lintas-kultural?

Dalam bahasa Inggris ada beberapa istilah yang digunakan terkait dengan masalah yang hendak kita bicarakan, antara lain “intercultural”, “multicultural”, “crosscultural,” dan “transcultural.” Manakah sesungguhnya istilah yang paling tepat untuk dipakai jika dihubungkan dengan hermeneutika? Cobalah kita analisis arti peristilahannya. Kata “inter” dalam bahasa Inggris berarti “between” atau “from one to another.” Istilah “intercultural hermeneutics” merujuk pada pengertian hermeneutika di antara dua kultur (budaya) yang berbeda. Istilah “crosscultural”, bertolak dari kata “cross”, yang sedikit banyak memiliki arti sama dengan “inter.” Namun dalam hubungannya dengan hermeneutika, “crosscultural hermeneutics” lebih dekat artinya dengan “transcultural hermeneutics.” Kata “trans” berarti “across” atau “beyond”. Jadi, “transcultural hermeneutics” adalah hermeneutika yang bergeser dari hermeneutika yang telah ada dalam kultur tertentu. Di antara sekian macam istilah, istilah yang lazim diperbincangkan adalah “intercultural hermeneutics,” yang secara harfiah dapat diterjemahkan “hermeneutika antarbudaya.” Menurut hemat saya, lebih tepat jika kita membicarakan hermeneutika lintas-budaya atau lintas-kultural, artinya suatu proses hermeneutis yang kita lakukan beranjak dari suatu kultur tertentu kepada kultur tertentu yang lain.

Haruslah diakui bahwa sesungguhnya “intercultural hermeneutics” sesungguhnya belum ada. Gagasan ini baru dikembangkan (bahkan baru tahap awal) sebagai respons terhadap perlunya pemahaman dan komunikasi lintas-budaya di era post-modern ini. Hermeneutika lintas-budaya adalah sebuah teori dan metode interpretasi atau pemahaman lintas batas kultural. Metode ini berkenaan dengan pertanyaan sejauh mana “orang lain” benar-benar berbeda pemahaman dengan “kita”? Apakah yang menyebabkan “orang lain” sungguh-sungguh kita mengerti sebagai “orang lain”? Singkatnya, hermeneutika lintas-budaya adalah hermeneutika yang terjadi dalam perjumpaan lintas-budaya.

Dengan kata lain, hermeneutika lintas-budaya adalah suatu cara untuk menggambarkan proses bereksegesis dan berteologi secara kontekstual bagi masyarakat intelektual. Pemikiran ini dilandasi pra-anggapan bahwa sesungguhnya tidak ada hermeneutika universal yang siap pakai dan dapat diterapkan di mana pun dan dalam situasi apa pun di dunia ini. Sebaliknya, secara konkret hermeneutika berakar dan dipengaruhi oleh konteks tertentu. 

2.   Situasi kekristenan dari sudut pandang oikumenis

Gerakan oikumenis telah timbul beberapa ratus tahun lalu dengan visi antusiastik untuk “menginjili seluruh dunia dalam satu generasi.” Konferensi misi sedunia yang diselenggarakan di Edinburgh pada 1910 dihadiri oleh 1200 wakil organisasi-organisasi misi dan utusan gereja-gereja. Namun di antara sekian banyak peserta, hanya 18 orang saja utusan gereja-gereja muda dari belahan bumi bagian selatan. Disepakati bahwa untuk mencapai tujuan itu hal yang sangat penting dilakukan adalah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa lokal, terutama di Asia dan Afrika. Beberapa dekade menjelang akhir abad XX, organisasi-organisasi misi Protestan telah mendistribusikan ratusan ribu Alkitab khusu untuk negara-negara di belahan bumi bagian selatan.  

Akibat usaha ini, maka pasca era kolonialisme, jumlah anggota DGD meningkat tajam. Hal ini antara lain disebabkan karena kepemimpinan gereja-gereja di bekas negara-negara jajahan diserahkan kepada teolog-teolog pribumi. Sekalipun terdidik dalam teologi Eropa, mereka segera berpikir dan berteologi dalam kerangka budaya dan konteks masing-masing, serta berusaha melakukan inkulturasi dan kontekstualisasi Injil. Di samping itu, gereja-gereja lokal, yang dalam berbagai hal secara teologis sangat berbeda satu sama lain, mulai banyak didirikan. Teolog-teolog Afrika, Asia dan Amerika Latin mulai mengorganisasi diri ke dalam berbagai wadah, baik secara nasional maupun regional (mis. Konferensi Gereja-gereja Seluruh Afrika/All-African Churches Conference, AACC;  Asosiasi Oikumenis Teolog-teolog Dunia Ketiga/Ecumenical Association of Third World Theologians, EATWOT, dll.). Dalam wadah-wadah itu dengan percaya diri gereja-gereja dunia ketiga mulai mempergumulkan pandangan teologis masing-masing ke dalam perdebatan oikumenis.  

Pada akhir abad XX, gereja-gereja dunia ketiga mulai membicarakan “pergeseran pusat gravitasi kekristenan” dari belahan bumi utara ke negara-negara selatan, yang secara ekonomis mulai mandiri. Penafsiran-penafsiran Alkitab di negara-negara belahan selatan bumi, perkembangan bentuk-bentuk peribadahannya, pengajaran dan kehidupan imannya menunjukkan adanya reorientasi kekristenan secara ekstensif. Di tengah perbedaan-perbedaan konfesional, kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan keterbelakangan telah menjadi faktor pemersatu (common denominator) bagi gereja-gereja dunia Selatan. Mereka mempergumulkan kenyataan-kenyataan yang mereka hadapi dengan pengalaman akan kehadiran Allah, yang tidak selalu dapat disepadankan.   

3.   Peluang dan tantangan

Selama hampir 200 tahun, National dan International Bible Societies telah berhasil menerjemahkan Alkitab, baik sebagian maupun seluruhnya, ke dalam hampir semua bahasa besar yang ada. Terjemahan-terjemahan tersebut menampilkan interpretasi (penafsiran) yang merupakan hasil proses pemahaman yang terjadi dalam konteks sosio-linguistik tertentu. Dalam kepelbagaian proses inkulturasi kontemporer, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana umat Kristen saling berkomunikasi di antara mereka sendiri? Sekalipun kekristenan secara oikumenis seluruhnya merupakan representasi persekutuan orang-orang yang berusaha memahami Alkitab, namun tidak berarti bahwa umat Kristen seluruh dunia merupakan satu komunitas seragam dengan pemahaman yang sama atas Alkitab itu. Sebaliknya, haruslah kita sadari bahwa komunitas oikumenis itu terdiri dari banyak komunitas interpretasi, masing-masing dengan karakteristik (kekhasan) kultural dan kontekstualnya sendiri. Dapat dikatakan bahwa kekristenan memiliki satu iman dengan banyak wajah. Namun tetap menjadi pergumulan, dapatkah dalam keluarga Kristen oikumenis itu masing-masing anggota melihat anggota yang lain dengan mata dan cara pandang pihak lain, entah hitam, putih atau cokelat, dan menerima mereka sebagai saudara seiman yang setara?

Dalam era berkembangnya komunikasi lintas-kultural dan perjumpaan antarbangsa sedunia, orang mungkin bertanya: adakah peluang bagi terjadinya diskusi bersama mengenai pesan-pesan Alkitabiah yang bermanfaat bagi keesaan oikumenis di antara umat Kristen? Adalah tugas hermeneutika lintas-kultural-oikumenis untuk menentukan tujuan dan syarat-syarat filosofis dan teologis bagi terjadinya dialog seperti itu. Hermeneutika seperti itu tidak boleh menafikan metode-metode eksegesis dan mengesampingkan kriteria untuk mengevaluasi interpretasi-interpretasi Alkitabiah. Hermeneutika lintas-kultural haruslah berusaha mencari hubungan antarberbagai interpretasi, yang tidak hanya didasarkan pada budaya atau kultur, konteks dan situasi tertentu saja, melainkan juga mempertimbangkan berbagai cara atau metode penafsiran.

4.   Eksegesis historis kritis sebagai eksegesis kultural

Hermeneutika klasik di Barat didasarkan pada eksegesis historis-kritis, sedangkan hermeneutika lintas-kultural lebih didasarkan pada eksegesis kultural. Eksegesis kultural sering dianggap sebagai paradigma baru dalam menafsirkan Alkitab. Metode ini mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh wawasan linguistik post-modern bahwa setiap pendekatan terhadap Alkitab selalu dipengaruhi kultur atau kebudayaan tertentu. Dari sudut pandang epistemologis, eksegesis historis-kritis bukanlah ilmu pengetahuan (sains) yang bersifat mutlak, tetapi sering dianggap mutlak. Dalam hal ini ada dua hal harus diperhatikan. Pertama,  eksegesis historis-kritis sebagai metode ilmiah kini sangat diragukan, baik berkenaan dengan proses metodologisnya maupun hasilnya  (sedikitnya keseragaman merupakan indikator bahwa kesahihan metode tersebut perlu dipertanyakan). Kedua, sifat self-overestimation dan universalisme berakar kuat dalam sejarah intelektualitas Eropa bersamaan dengan perendahan terhadap kebudayaan-kebudayaan dan pandangan-pandangan lain. Dengan demikian, metode eksegesis historis-kritis hanyalah merupakan salah satu eksegesis kultural; dalam hal ini kultur Eropa.

Ada empat perbedaan menonjol antara hermeneutika klasik dengan hermeneutika lintas-budaya:

a.      Dalam hermeneutika klasik tujuan akhirnya adalah pemahaman personal, sedangkan dalam hermeneutika lintas-budaya, yang ditekankan adalah pendekatan komunitarian.
b.      Hermeneutika klasik memusatkan perhatian pada harmonisasi. Hermeneutika lintas-budaya mengakui perbedaan. Orang lain yang adalah orang asing haruslah memperoleh perlakuan yang adil.
c.       Hermeneutika klasik berfungsi instrumental: pembaca menganggap diri sebagai pemilik teks dan memperlakukan teks sebagai kekayaannya sendiri. Hermeneutika lintas-budaya bersifat relasional.
d.      Hermeneutika klasik didasarkan pada pengertian proporsional mengenai kebenaran; hermeneutika lintas-budaya didasarkan pada pemahaman eksistensial mengenai kebenaran.

5.   Melakukan hermeneutika lintas-budaya

a.      Apa itu teks?

·         Teks adalah dunia tersendiri, bukan dunia asali, tetapi juga bukan dunia kita sekarang ini.
·         Teks adalah produk kultural tertentu (dengan penulis, pembaca, kompleksitas konteks dan harapan yang berbeda dengan konteks pembaca masa kini).
·         Teks itu “mati” dan harus “dihidupkan” kembali dengan interpretasi dan diskursus dialektik.
·         Menafsir bukan sekadar mengetahui maksud penulis, melainkan ikut merasakan kompleksitas peristiwa yang menjadi konteks dari teks.

b.      Penafsiran tak pernah tidak bersalah

·         Menafsir berarti berani masuk ke ruang kesalahan, karena menafsir berarti menciptakan kesalahan.
·         Penafsiran tidaklah mutlak, sekalipun penafsir harus berusaha mendekati peristiwa dan makna teks orisinal.
·         Terbuka dipertemukan dengan tafsiran yang lain.
·         Tiap penafsir leluasa mengamati hal yang berbeda.

c.       Hermeneutika lintas-budaya

·         Bukan sekadar menyingkap sesuatu (peristiwa atau pesan) di balik teks.
·         Persoalan pokoknya: memahami kompleksitas dan kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitar teks.
·         Mencari makna (yang tidak selalu tunggal) di balik teks.
·         Mengakui bahwa kebenaran merupakan sebuah kompleksitas.
·         Teks tidak dapat menampilkan kebenaran, melainkan mengundang pembacanya untuk merasakan sensasi atas kebenaran itu, sehingga kebenaran menjadi semakin terasa dan semakin dekat.
·         Menjadikan “kebenaran” itu nyata dalam konteks kekinian.

d.      Terbuka

·         Membiarkan teks berbicara.
·         Memberi ruang bagi pemahaman lintas-budaya.
·         Memberi ruang bagi perbedaan pemahaman.
·         Menolak “kolonisasi” pihak yang satu terhadap pihak yang lain, baik bertolak dari presuposisi religius maupun preposisi kultural.

Bahan Bacaan

Ariarajah, S. Wesley, “Intercultural Hermeneutics — a Promise for the Future?”
 Exchange, Journal of Missiological and Ecumenical Research, Volume 34, Number 2, 2005, p. 89-101

Riches, J.K. (2004) Intercultural hermeneutics. Conversations across cultural divides” in de Wit, H. (ed.) Through the Eyes of Another: Intercultural Reading of the Bible. Amsterdam Institute of Mennonite Studies, pp. 460-476. ISBN 0936273364

R. Schreiter, The New Catholicity. Theology between the Global and the Local, New York 1998, 32.

Th Sundermeier, W. Ustorf (Ed.), Die Begegnung mit dem Anderen. Pllidoyers fir eine interkulturelle Hermeneutik, Gütersloh 1991; Th. Sundermeier, Can Foreign Cultures be Understood?, in: Studies in Interreligious Dialogue 4 (1994/1) 32-41.

Bénézet Bujo, The Ethical Dimension of Community. The African Model and the Dialogue between North and South, Nairobi 1997; Heinz Kimmerle, Mazungumzo. Dialogen tussen Afrikaanse en Westerse filosofieën, Amsterdam/Meppel 1995.

Th. Sundermeier, Den Fremden Verstehen. Eine praktische Hermeneutik, Göttingen 1996, 13, 154.

F. Wilfred, Towards a Subaltern Hermeneutics. Beyond the Contemporary Polarities in the Interpretation of Religious Traditions, in: Jeevadhara 26 (1996) 21, 45-62.

Raymond Panikkar, Myth, Faith and Hermeneutics (New York: Paulist Press, 1979).

_______, "The Invisible Harmony: A Universal Theory of Religion of a Cosmic Confidence in Reality?" in Toward a Universal Theology of Religion, ed. L. Swidler (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1987), 125.

Gadamer, H.G. Truth and Method. 2nd Edition. New York: Continuum Publishing Company, 2003.
Mall, A.R. Intercultural Philosophy. Lanham: Rowan and Littlefield Publishing Incorporation, 2000.

McLean, F.G. Hermeneutics for a Global Age. Washington D.C.: The Council for Research in Value and Philosophy, 2003.

______, dalam Gyekye K. Beyond Cultures – Perceiving a Common Humanity. Wahington D.C.: The Council for Research in Value and Philosophy, 2003.

Mueller, K. ed. The Hermeneutic Reader. New York: Continuum Publishing Company, 1985.


11 September 2012

B. Subandrijo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar