SEJARAH DAN PENGERTIAN KANONISASI SECARA UMUM
Oleh: Pdt. Yusak Tridarmanto, M.Th.
Sekilas Tentang Pengertian Kanonisasi
Sebenarnya, istilah kanon yang dikenakan untuk menyebut daftar kitab-kitab yang
dianggap mempunyai otoritas untuk dijadikan dasar kehidupan rohani sehari-hari,
diambil dari perbendaharaan kata pada masa kekristenan. Namun ini tidak berarti
bahwa ide dasar pemikiran yang terkandung di dalam kata tersebut baru muncul
pada masa kekristenan. Sebelum masa kekristenan pun, ide dasar pemikiran
seperti itu telah lama ada dan dipakai juga di kalangan orang-orang Yahudi.1)
Istilah itu sendiri, dalam bahasa Yunani berarti tongkat yang lurus. Dari arti
dasar seperti ini maka berkembanglah berbagai macam penggunaan dengan berbagai
macam artinya. Namun dalam banyak pemakaiannya, ide tentang kelurusan (hal yang
serba lurus) senantiasa nampak nyata.2)
Dari arti yang demikian, maka kata kanon sering pula dipakai untuk menunjuk
tali sipat, yaitu sebuah alat yang biasa dipakai oleh seorang tukang kayu
ataupun tukang bangunan untuk menetapkan bahwa sepotong kayu ataupun batu merah
telah dipasang pada tempat dan arah yang benar.
Secara metaforik, kata kanon juga
dapat dipakai dalam beberapa arti. Misalnya, kata kanon dapat dimengerti secara
metaforik sebagai ukuran atau standard. Demikianlah maka seorang yang baik,
yang sikap dan perbuatannya dapat dijadikan teladan bagi banyak orang, dapat
disebut sebagai kanon kebaikan. Bahkan Aristoteles dapat menyebut orang
seperti itu sebagai kanon atau ukuran kebenaran.3) Di bidang kesusasteraan, para ahli bahasa sering menggunakan kata kanon
untuk menunjuk kepada kumpulan-kumpulan tulisan yang dianggap baik untuk
dijadikan contoh karena keaslian bahasanya.
Di dalam Perjanjian Baru,
kita semua menemukan penggunaan kata kanon di dalam tulisan Rasul Paulus saja.
Itupun tidak terlalu banyak, yaitu empat kali saja yaitu tiga kali di dalam
surat 2Kor. 10:13-16, dan sekali di dalam surat Gal. 6:16. Di dalam Gal. 6:16,
Paulus menggunakan kata kanon untuk menunjuk kepada arti ukuran atau standard.
Dan dalam hubungan ini yang dijadikan ukuran atau standard tidak ada lain
kecuali keadaan hidup-baru di dalam Kristus. Dengan demikian, maka hidup baru
di dalam Kristus oleh Paulus dijadikan kanon bagi orang-orang percaya dalam
bertindak di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan di dalam surat 2Kor.
10:13-16, kata kanon diulang sebanyak tiga kali, dan dihubungkan dengan ladang
pelayanan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi rasul Paulus. Di sini kata
kanon digunakan dalam arti batas kerja daerah pelayanan. Dikatakan di dalam
ayat ini bahwa rasul Paulus tidak keluar dari daerah pelayanan yang telah
ditetapkan oleh Allah baginya, melainkan tetap berada di dalam batas-batas
(kanon) daerah kerja yang dipatok Allah bagi dia.
Kanon dalam arti aturan dan norma juga dipakai oleh para bapa Gereja. Misalnya
Clement dari Alexandria memberikan nasehat kepada orang-orang Kristen dari
Korintus untuk melakukan hal-hal yang dapat memuliakan Allah. Hidup dengan
senantiasa memuliakan Allah ini oleh Clement disebut sebagai hidup
menurut aturan (kanon) iman. Di bagian lain Clement juga menggunakan kata kanon
untuk menunjuk kepada pola hidup menurut aturan kebenaran. Bahkan Porphyry,4) seorang anti Kristen yang menulis sekitar tahun 270 sM mengetahui
bahwa Gereja-gereja pada waktu itu tetap berpegang kepada ajaran-ajaran yang
diberikan oleh Tuhan Yesus sebagai kanon kebenaran. Semua pemakaian kata
kanon pada masa kekristenan awal itu pada akhirnya menunjuk kepada norma atau
aturan ideal yang di atasnya kehidupan dan pengajaran Kristen hendaknya
dialaskan.
Lama kelamaan, kata kanon digunakan di dalam kehidupan Gereja untuk hal-hal
yang konkrit, keputusan-keputusan yang jelas, dan bahkan untuk seseorang.
Misalnya saja, ketetapan-ketetapan atau keputusan-keputusan yang dihasilkan
oleh persidangan sinode juga disebut sebagai kanon bagi perbuatan-perbuatan
orang-orang Kristen. Persidangan pertama yang memberikan nama kanon kepada
keputusan-keputusan mengenai doktrin dan disiplin Gereja ialah persidangan yang
diselenggarakan di Antiokhia pada tahun 341 M.
Perkembangan lain tentang penggunaan kata kanon ialah pemakaiannya untuk
menyebut nama daftar, indeks atau bahkan tabel. Ide dasar pemikirannya ialah
menunjuk kepada sesuatu yang telah pasti, yang tidak diragukan lagi, dan
yang selanjutnya dijadikan sebagai patokan.5)
Sebagai contoh misalnya Eusebius, yang juga menyebut daftar beberapa kitab
Perjanjian Baru yang ia kumpulkan sebagai kanon. Demikian pula Claudius
Ptolemaeus juga menggunakan kata kanon untuk menyebut tabel astronominya, yang
secara jelas menunjukkan saat-saat pergantian musim, serta Priscillian yang
menggunakan kata kanon untuk menyebut beberapa surat Paulus yang ia kumpulkan.
Selanjutnya kata kanon juga dipakai untuk konsili Nicea, dan di sana dipakai
untuk menyebut daftar para rohaniawan.
Dari
penggunaan kata kanon dengan arti yang bervariasi tersebut, maka juga tidak
mengherankan apabila akhirnya kata kanon juga dipakai untuk menyebut daftar
kitab-kitab yang dianggap otoritatif oleh orang-orang Kristen. Sedangkan
penerapan kata kanon kepada Kitab Suci seperti yang kita miliki sekarang ini
yang tidak terbatas hanya pada pengertian daftar kitab-kitab saja, melainkan
juga sekaligus mengakui dan mempercayai daftar kitab-kitab tersebut sebagai
yang berwibawa untuk diberlakukan sebagai patokan kehidupan religius, baru
terjadi pada waktu yang kemudian, yaitu kira-kira pada abad keempat.
Penggunaannya yang pertama ditemukan di dalam keputusan Athanasius dalam
konsili di Nicea di mana ia menyatakan bahwa kitab Gembala Hermas tidak
termasuk kanon. Dalam konsili Laodicea yang diselenggarakan di Phirygia pada
tahun 363, ditandaskan bahwa hanya kitab-kitab yang kanonik sajalah yang boleh
dibacakan di dalam Gereja. Athanasius pulalah yang pertama kali pada tahun 367
mengidentifikasikan kedua puluh tujuh kitab Perjanjian Baru seperti yang kita
miliki sekarang ini sebagai kitab yang kanonik. Sedangkan sebutan kanon
Perjanjian Baru untuk pertama kali ditemukan di dalam kitab Apokrif Macarius
Magnes 4:10, yang ditulis kira-kira tahun 400 M.
Penggunaan kata kanon untuk menyebut seluruh kumpulan kitab termasuk di
dalamnya kitab Perjanjian Lama, terjadi masih dalam waktu yang lebih kemudian
lagi. Penggunaannya yang paling jelas ditemukan di dalam sebuah puisi yang
dikarang pada tahun 380 oleh seorang Bishop Ikonium bernama Amphilochius. Pada
bagian akhir sesudah ia menyebut daftar kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian
Baru, ia berkata: "Kitab-kitab inilah yang mungkin paling dapat dipercaya
sebagai kanon Alkitab yang diwahyukan oleh Allah".6)
Dalam hubungan ini penggunaan kata kanon untuk Alkitab lebih diartikan sebagai
yang menunjuk kepada kitab-kitab yang tidak diragukan lagi keabsahannya, serta
dianggap berwibawa untuk diberlakukan sebagai patokan di dalam kehidupan
religius.
Di samping kata kanon beberapa Bapa Gereja juga menggunakan kata sifat endiathekos
yang berarti ‘terdapat di dalam perjanjian'. Penggunaan kata sifat endiathekos
di samping kata kanon ini dimaksudkan untuk melukiskan hakekat khusus dari
Alkitab itu sendiri, artinya bahwa Alkitab itu tidak harus dianggap sama dengan
kitab-kitab lain pada umumnya. Origenes dan Eusebius misalnya menggunakan kata endiathekos
untuk membedakan Alkitab dari tulisan-tulisan kitab Apokrif pada waktu
itu. Origenes, Basil dan beberapa penulis yang lebih kemudian juga menyebut
kitab-kitab kanonik itu dengan sebutan lain, yaitu ‘tulisan-tulisan yang telah
dipublikasikan secara umum'. Sebutan ini juga dimaksudkan untuk membedakan
kitab-kitab kanonik dari kitab Apokrif, di mana kitab-kitab Apokrif hanya boleh
dibacakan kepada orang secara pribadi saja, sedangkan kitab-kitab kanonik boleh
dibacakan secara terbuka kepada banyak orang di dalam suatu pelayanan kepada
Tuhan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para penulis Gerejawi pada tiga
abad pertama menggunakan kata kanon untuk menunjuk kepada apa yang bagi
orang-orang Kristen pada waktu itu dianggap sebagai norma kehidupan iman, dan
norma kebenaran. Selanjutnya dari pertengahan abad keempat dan seterusnya, kata
kanon dengan pengertian seperti itu diterapkan juga bagi kitab-kitab Perjanjian
Lama dan Baru, dan ini berarti bahwa Alkitab yang terdiri dari Perjanjian Lama
dan Baru itu juga diakui sebagai kitab suci yang mengandung nilai-nilai
kebenaran dan berwibawa untuk dijadikan pedoman kehidupan iman. Terjadinya
Alkitab dengan pemahaman seperti itu tentu tidak begitu saja datang
dengan sendirinya, melainkan melalui proses yang panjang. Proses terbentuknya
kumpulan-kumpulan kitab yang diakui sebagai kanon itulah yang selanjutnya
disebut dengan kanonisasi. Dengan demikian, maka secara pendek dapat dikatakan
bahwa kanonisasi adalah proses terjadinya himpunan kitab-kitab Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru, yang diakui sebagai kitab suci yang mengandung
nilai-nilai kebenaran dan berwibawa untuk dijadikan pedoman kehidupan iman.
Latar Belakang Munculnya Kanonisasi
Kalau dilihat dari sisi latar belakang penulisan setiap kitab di dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tentu akan segera disadari bahwa para
penulisnya sama sekali tidak bermaksud ataupun menyadari bahwa akhirnya
tulisan-tulisan mereka itu terhimpun di dalam sebuah kitab yang diakui sebagai
kitab kanonik, dan yang berwibawa untuk dijadikan pedoman hidup beriman
sehari-hari.7)
Tulisan-tulisan mereka semata-mata dimaksudkan sebagai konsumsi kehidupan
beriman pada waktu itu, dan bahkan juga berusaha menjawab persoalan-persoalan
pada waktu itu. Dalam arti yang demikian, maka kitab-kitab tersebut
sesungguhnya merupakan kitab-kitab yang berdiri sendiri-sendiri. Bahkan pada
saat masing-masing kitab itu selesai ditulis, maka kitab-kitab tersebut tidak
atau belum juga disebut sebagai Kitab Suci seperti orang-orang Kristen sekarang
menyebutnya. Terjadinya kumpulan kitab yang disebut kanonik dan diakui sebagai
Kitab Suci benar-benar merupakan proses perjalanan yang panjang. Semua ini
menimbulkan pertanyaan bagaimana sejarah terjadinya Kitab Suci seperti yang
sekarang kita miliki, latar belakang apakah yang melandasi ditetapkannya
sejumlah kitab tertentu dan dijadikan apa yang disebut dengan kitab kanonik?
Pertanyaan seperti ini akan secara khusus digumuli lebih mendalam dan
diupayakan jawabnya di dalam pembicaraan tentang kanonisasi kitab-kitab
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Walaupun demikian, bermanfaat kiranya
sebelum secara khusus mendalami persoalan proses kanonisasi tersebut, kita
secara umum membahas latar belakang proses kanonisasi tersebut.
Seperti telah disinggung sebelumnya, terjadinya kitab suci seperti dalam
bentuknya yang sekarang ini memang benar-benar memakan waktu yang sangat
panjang. H.E.Ryle8)
berpendapat bahwa kitab Perjanjian Lama sendiri diakui sebagai kitab yang
autoritatif oleh orang-orang Yahudi paling tidak di dalam tiga tahap. Tahap
pertama ialah diakuinya kitab Pentateuch pada abad ke-5 sM, tahap kedua kitab
para nabi yang diakui pada abad ke-3 sM, dan tahap ketiga Surat-surat
yang baru diakui pada sinode Yamnia yang diselenggarakan pada tahun 90 M.
Demikian pula kitab Perjanjian Baru, baru diakui autoritasnya paling tidak pada
tahun 367 M. Melihat dari proses yang panjang itu maka akan nampak jelas sisi
manusiawi dari kitab suci itu sendiri. Dari sisi manusiawi ini maka jelas bahwa
apa yang disebut dengan kitab suci itu bukanlah sesuatu yang turun secara
langsung dari surga, ataupun yang didiktekan secara langsung dari Allah,
melainkan sebaliknya kitab suci itu terjadi melalui proses manusiawi yang
panjang. Namun ini tidak berarti bahwa wibawa kitab suci sebagai Firman Allah
bagi orang-orang percaya itu menjadi berkurang ataupun bahkan hilang hanya oleh
karena proses manusiawi yang panjang tersebut. Justru melalui proses manusiawi
itu nampak secara jelas bahwa Allah memberikan firman-Nya juga melalui
cara-cara manusiawi.9)
Di sinilah terlihat adanya kehendak Allah untuk menempatkan manusia di dalam
hakekat yang sebenarnya sebagai mahluk yang kepadanya Ia telah memberikan
potensi-potensi untuk merealisasikan hidup konkritnya. Semakin
manusia bergumul dengan Firman Allah yang disampaikan secara manusiawi melalui
manusia itu, maka semakin ia mengenal kekayaan dan hikmat Allah yang tak
terduga dalamnya.
Proses
ditetapkannya sejumlah kitab-kitab menjadi kitab kanonik dan diakui sebagai
Kitab Suci tidak pernah lepas dari kehidupan beriman dari orang-orang Yahudi di
satu pihak dan orang-orang Kristen awal di pihak lain. Sebagai orang yang telah
dibebaskan dari perbudakan Mesir, dan dijadikan umat pilihan Allah, maka
orang-orang Yahudi berupaya menghayati statusnya itu di dalam kehidupan
konkrit sehari-hari, tidak hanya untuk sementara melainkan untuk
selama-lamanya. Kehendak ini menimbulkan kebutuhan untuk mewariskan kehidupan
berimannya kepada generasi-generasi berikutnya. Oleh sebab itu apa yang mereka
percayai sebagai Firman Allah yang semula disampaikan secara lisan melalui para
nabi, dirasakan perlu untuk diabadikan tidak hanya di dalam tradisi lisan
saja, melainkan juga di dalam bentuk tulisan-tulisan. Dengan tulisan-tulisan
ini maka proses pewarisan kehidupan beriman kepada generasi berikutnya akan
menjadi lebih mudah, demikian pula dengan tulisan-tulisan itu daya jangkau
pemberitaan juga akan semakin luas. Seiring dengan ini, juga orang-orang
Kristen awal yang telah menerima Perjanjian Lama sebagai Kitab Suci (walaupun
jumlah kitabnya masih belum pasti), di satu pihak, dan pengakuannya terhadap
Yesus sebagai penggenap seluruh injil Allah di dalam Perjanjian Lama di
pihak lain, juga terdorong untuk mengabadikan pengajaran-pengajaran Tuhan Yesus
dan para rasul-Nya di dalam bentuk-bentuk tulisan. Bahkan lebih dari itu mereka
juga percaya bahwa pengajaran-pengajaran Tuhan Yesus beserta para rasul-Nya itu
juga mempunyai kewibawaan yang sama dengan Kitab Suci Perjanjian Lama
yang mereka percayai sebagai Firman Tuhan itu. Demikianlah maka muncullah apa yang
disebut dengan naskah-naskah tertulis baik yang tergolong di dalam Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru.
Penulisan naskah-naskah itu tidak semata-mata dimaksudkan hanya sekedar
upaya untuk mewariskan kehidupan beriman kepada generasi penerus saja,
melainkan juga dihayati sebagai yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri. Beberapa
indikasi untuk hal ini dapat dilihat misalnya di dalam Kel. 17:14 di mana
dikatakan bahwa Musa diperintahkan oleh Allah untuk menulis apa yang telah
dikerjakan oleh Allah di dalam peperangan antara Israel dan bangsa Amalek
sebagai suatu peringatan bagi bangsa Israel. Demikian juga di dalam Ul. 31:26
dikatakan ketika penulisan perkataan Hukum Taurat itu selesai maka Allah
menghendaki agar kitab yang tertulis itu diletakkan di samping Tabut
Perjanjian Tuhan agar menjadi saksi terhadap bangsa Israel. Yeremia juga
diperintahkan oleh Allah untuk menuliskan segala perkataan yang telah
difirmankan oleh Tuhan kepadanya dalam sebuah kitab (Yer. 30:1-3).
Di dalam Perjanjian Baru indikasi-indikasi serupa juga dapat ditemukan misalnya
dalam hal Tuhan Yesus sendiri yang mengakui keberadaan kitab Perjanjian Lama
(tidak jelas apakah sudah merupakan kanon yang tertutup atau belum) sebagai
Firman yang tertulis dengan seringkali memulai pengajaran-Nya dengan perkataan:
"Ada tertulis", atau "Alkitab berkata" (lihat misalnya Mat.
4:4; Yoh. 7:38; Ibr. 3:7). Walaupun memang Tuhan Yesus sendiri banyak mengajar,
namun ia sendiri tidak pernah meninggalkan tulisan-Nya. Namun Ia menghendaki
agar apa yang Ia kerjakan dan ajarkan itu diberitakan tidak hanya kepada
orang-orang Yahudi di sekitar Yerusalem saja, melainkan juga kepada orang-orang
lain di dunia ini. Ia menghendaki agar para murid-Nya menjadi saksi-saksi yang
hidup bagi dunia tentang Dirinya dan apa yang telah Ia kerjakan bagi dunia ini.
Untuk itu maka apa yang telah mereka ketahui dan alami tentang Yesus Kristus
itu perlu diabadikan dalam bentuk tulisan, agar melaluinya banyak orang
yang mendengarnya.
Seiring dengan sejarah perkembangan kehidupan religius orang-orang Yahudi
maupun juga orang-orang Kristen awal, maka berkembang pulalah banyak
tulisan-tulisan dengan berbagai macam versinya. Walaupun memang tulisan-tulisan
itu semula berdiri sendiri-sendiri dan juga untuk kepentingan hidup rohani bagi
kalangan tertentu yang terbatas, namun lama kelamaan timbullah kebutuhan untuk
mengumpulkan dan menjadikan satu tulisan tersebut untuk digunakan bersama
sebagai patokan kehidupan beriman. Walaupun demikian tidak berarti bahwa semua
tulisan yang beredar pada waktu itu selalu dapat dipakai sebagai patokan
kehidupan beriman bagi semua orang percaya di berbagai tempat pada waktu itu.
Oleh sebab itu tulisan-tulisan yang telah terhimpun itu juga masih harus
diseleksi. Hal seperti inilah yang telah mendorong terjadinya proses
kanonisasi. Proses ini sendiri oleh Ryle10)
diklasifikasikan menjadi tiga tahap yaitu tahap formasi, tahap redaksi dan
tahap seleksi. Sedangkan beberapa ahli lain menambahkan dua tahap yang lain
yaitu tahap sirkulasi dan tahap pengumpulan. Dengan demikian maka seluruhnya
mencakup lima tahap yaitu tahap formasi,, tahap sirkulasi, tahap koleksi, tahap
redaksi dan tahap seleksi yang terarah kepada pengakuan sebagai kitab
kanonik.
Persoalan-persoalan Yang Muncul
Sebagian besar materi yang sekarang yang terdapat dalam kitab khususnya
Perjanjian Lama, semula ada dalam bentuk tradisi lisan.11)
Bahkan pengajaran-pengajaran Tuhan Yesus pun yang menjadi sumber dan dasar
bagi penulisan kitab-kitab Perjanjian Baru juga semula ada dan tersimpan dalam
bentuk tradisi lisan. Lihat saja misalnya kitab-kitab Injil yang banyak
memaparkan ceritera tentang Yesus dan pengajaran-Nya, baru ditulis puluhan
tahun kemudian setelah kematian Tuhan Yesus Kristus. Segera sesudah kematian
dan kebangkitan Tuhan Yesus, tidak seorang pun dari murid Yesus yang menulis
tentang apa yang telah dilakukan dan diajarkan oleh Tuhan Yersus.12))
Rasul Paulus sendiri yang menjadi Kristen kira-kira tahun 36 M. belum menulis
suratnya yang paling awal sampai tahun 50 M. Oleh sebab itu maka dapat dipahami
apabila dalam waktu yang cukup lama berita-berita Alkitab itu beredar tidak
dalam bentuk tulisan melainkan dalam bentuk tradisi lisan. Tidak mengherankan
apabila dalam proses transmisi ini dapat terjadi beberapa modifikasi dari
berita itu sendiri. Semakin lama proses transmisi ini berlangsung, maka semakin
besar kemungkinan terjadinya modifikasi dari berita itu sendiri bahkan tidak
mustahil apabila terjadi adanya dua versi atau lebih dari satu pokok berita
tertentu. Kenyataan ini tentu akan menimbulkan kesulitan tertentu pada saat
dibutuhkan adanya bentuk tulisan dari tradisi lisan tersebut.13)
Dari sini bisa terjadi muncul dua versi atau lebih bentuk tulisan yang tidak
persis sama satu dengan yang lain.
Tradisi-tradisi lisan yang pada akhirnya ditulis, tidak selalu ditulis oleh
sumber pertama berita itu sendiri. Bahkan nama-nama yang pada akhirnya dipakai
untuk menyebut naskah kitab tertentu tidak selalu merupakan jaminan bahwa
naskah tersebut benar-benar ditulis oleh nama tersebut. Misalnya saja apabila
dikatakan bahwa kitab Pentateuch (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan
Ulangan) disebut sebagai yang berasal dari Musa, maka itu tidak berarti bahwa
seluruh kitab itu ditulis sendiri oleh Musa. Bahkan tidak mustahil bahwa pada
akhirnya juga ditemukan naskah-naskah yang tetap tidak diketahui sama sekali
siapa penulisnya, begitu pula tulisan-tulisan yang ditulis oleh penulis
tertentu, tetapi diatasnamakan orang yang dianggap terkenal dengan maksud
memperoleh kewibawaan yang tinggi. Ini tentu saja dapat menimbulkan kesulitan
tertentu pada saat harus ditetapkan autentisitasnya. Semakin autentisitasnya
tidak jelas maka semakin sulit dan panjang proses pengakuannya di dalam kanon.
Semula naskah-naskah Alkitab itu tentunya hanya satu saja, namun selagi
kebutuhan dirasakan semakin besar, maka diperlukan juga adanya salinan-salinan
naskah-naskah tersebut. Bukan barang mustahil bahwa di dalam proses
penyalinan ini juga akan terdapat kekeliruan-kekeliruan yang sifatnya
manusiawi. Ini akan sangat tergantung kepada cara penyalinan dan oleh siapa penyalinan
itu dikerjakan. Cara penyalinan melalui dikte yang terlalu cepat dan penyalinan
yang belum atau tidak terlatih, tentu saja dapat menimbulkan
kekhilafan-kekhilafan tertentu.14)
Apabila ini terjadi tentu saja juga akan menimbulkan kesulitan tertentu dalam
proses seleksi untuk menentukan apakah suatu naskah tertentu kanonik atau
tidak.
Kesulitan yang juga tidak sederhana terjadi pula dalam proses seleksi dari
antara sekian banyak naskah Alkitab. Kesulitan yang paling besar adalah
menentukan apakah kitab tertentu akan diakui sebagai yang kanonik atau tidak.
Untuk hal ini tentu dibutuhkan adanya criteria-kriteria tertentu yang dapat
dipakai sebagai pedoman untuk mengukur bahwa suatu tulisan adalah kanonik atau
tidak. Memang benar bahwa orang-orang percaya sampai saat ini mempercayai bahwa
terjadinya Kitab Suci seperti yang kita miliki sekarang ini tidak pernah
terlepas dari apa yang oleh para teolog disebut sebagai inspirasi. Namun
seiring dengan itu disadari pula bahwa inspirasi itu sendiri tidak pernah
terlepas dari kehidupan religius yang konkrit dari para pejabat keagamaan pada
waktu itu. Sedangkan para pejabat keagamaan dari jemaat yang satu dengan jemaat
yang lain pada waktu itu tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam
menetapkan ukuran untuk menentukan apakah naskah tertentu diakui sebagai
kanonik atau tidak. Oleh sebab itu maka dapat dipahami apabila proses
kanonisasi itu benar-benar memakan waktu yang sangat lama. Bahkan faktapun juga
menunjukkan bahwa pada masa yang awal dapat ditemukan adanya kumpulan-kumpulan
kitab kanonik yang berbeda dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Sebagai contoh misalnya orang-orang Samaria yang tidak mau mengakui dan
menerima kitab-kitab Perjanjian Lama selain kitab-kitab Musa sebagai kitab
kanonik. Sehingga bagi orang-orang Samaria, yang disebut dengan kitab kanonik
hanyalah terdiri dari kitab Musa saja. Demikian juga bagi Marcion misalnya,
mengakui hanya kitab-kitab Perjanjian Baru dan menolak seluruh kitab Perjanjian
Lama sebagai kitab kanonik.15)
Dari perjalanan yang panjang tentang proses kanonisasi ini, maka dapat dipahami
apabila akhirnya kitab kanonik yang kita miliki sekarang ini diakui dan
dipercayai di samping sebagai buah pekerjaan manusia, maka serentak
dengan itu juga diakui dan dipercayai sebagai buah pekerjaan Allah sendiri,
karena tanpa campur tangan pekerjaan-Nya, maka hampir mustahil dapat disepakati
adanya jumlah kitab tertentu yang diakui dan dipercaya sebagai yang berwibawa
untuk dijadikan pedoman kehidupan beriman.
Penutup
Apa yang terpapar di atas masih merupakan gambaran umum di sekitar masalah
kanonisasi. Sebagai gambaran umum, maka ia tidak dimaksudkan untuk menjawab
segala persoalan yang muncul dari persoalan kanonisasi tersebut. Oleh sebab itu
maka diharapkan segala persoalan yang muncul akan dapat diupayakan jawabnya
melalui tulisan-tulisan penunjang lainnya, sehingga dengan demikian, maka para
pembaca akan memiliki pemahaman yang lebih lengkap tentang kanonisasi tersebut.
Buku-buku Acuan
1. Metzger, Bruce
M., The Canon Of The New Testament. (New York Oxford University Press,
1989).
2. Jeffery Arthur,
"The Canon Of The Old Testament", The Interpreter's Bible Vol. I.
(Nashville: Abingdon, 1978).
3. __________ ,
"The Text And Ancient Versions Of The Old Testament", The
Interpreter's Bible Vol. I. (Nashville: Abingdon, 1978).
4. Kelly Joseph F., Why
Is There A New Testament? (Wilmington: Glazier, 1986).
5. Beckwith Roger,
The Old Testament Canon Of The New Testament
Church . (London: SPCK,
1985).
6. Kummel W. G., Introduction
to the New Testament. (London: SCM Press, 1978).
7. Tenney Merrill
C., New Testament Survey. (London: Inter-Varsity Press, 1961).
2) Bruce M. Metzger, The Canon of The New Testament. (New York: The University Press, 1989), 29.
3) Bruce M. Metzger, Ibid, 289 - 190.
4) Bruce M. Metzger, Ibid, 290.
5) Bandingkan misalnya dengan Merrill C. Tenney, New Testament Survey. (London: The Intervarsity Press, 1951), 402.
6) Bruce M. Metzger, The Canon, 291 - 293.
7) Bandingkan dengan W.G. Kummel, Introduction to the New Testament. (London: SCM Press, 1978), 476 - 477.
8) R. Beckwith, The Old Testament Canon Of The New
9) Untuk sisi manusiawi Alkitab ini selanjutnya para pembaca disarankan untuk membaca bukunya Charles H. Kraft, Christianity in Culture. (New York: Orbis Books, 1988), 202 - 205.
10) R. Beckwith, The Old Testament, 66.
11) A. Jeffery, "Text And Ancient Versions Of The Old Testament". Interpreters I, 46.
12) Joseph F. Kelly, Why is There A New Testament. (Wilmington: Glazier, 1986), 21 - 31.
14) Untuk masalah ini lihat pokok masalah transmisi Teks Alkitab dalam Forum Biblika 1.
15) R. Beckwith, The Old Testament, 1 - 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar