Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Senin, 27 Januari 2014

Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)

SEJARAH GKE

Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) dimulai pada abad ke-19 ketika di Eropa terjadi kebangkitan kesadaran untuk mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Abad ini dikenal sebagai “The Great Century” (Abad Agung)untuk Pekabaran Injil (PI). Pada tahun 1830-an tersiar kabar mengenai pulau Kalimantan di tanah Jerman. Dalam cerita-cerita itu digambarkan mengenai ratusan ribu orang Dayak masih tertinggal dalam peradaban: sering terjadi perang antar suku, praktek pengayauan, masyarakatnya tidak mengenal pendidikan dan pelayanan kesehatan. Orang-orang Dayak tersebut tinggal dalam “kegelapan”, karena belum menerima Injil. Karena itu muncul kerinduan, kesadaran dan semangat yang menggebu-begu di kalangan umat Kristen di Jerman untuk memberitakan Injil ke Kalimantan.

1. Periode I, 1835 - 1920 (Periode Perintisan Oleh Misionaris)

Kerinduan, kesadaran dan semangat itu selanjutnya diwujudkan dengan diutusnya dua orang misionaris dari Rheinische Missionsgezelschaft zu Barmen (RMG) untuk berangkat ke Kalimantan, yakni Barnstein dan Heyer.Mereka berdua pertama-tama datang ke Batavia (Jakarta). Namun, Heyer walaupun dengan penyesalan kemudian harus kembali ke Jerman karena sakit. Dan sesudah melalui perundingan sekitar enam bulan dengan pemerintahHindia Belanda, dengan menumpang kapal selama 44 hari, maka pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di Banjarmasin. Selanjutnya, enam bulan kemudian datang lagi menyusul tiga Missionaris dari Jerman, yakni Becker, Hupperts dan Krusmann. Dalam beberapa tahun kemudian berdatangan lagi sejumlah missionaris lainnya dari Jerman untuk memberitakan Injil di Kalimantan.

Pada tahap awal kedatangan Barnstein di Kalimantan, maka sesuai dengan pemberitaan di jerman mengenai Kalimantan, yang pertama-tama dicarinya adalah orang-orang Dayak. Karena itu selama beberapa bulan pertama ia mengadakan sejumlah perjalanan ke pedalaman Kalimantan untuk menjajaki kemungkinan bagi pelaksanaan pemberitaan Injil. Dalam perjalanan tersebut, di Gohong (Kahayan Hilir KalimantanTengah), Barnstein mengadakan upacara“angkat saudara dengan pertukaran darah” (Hangkat hampahari hatunding daha) dengan Temanggung Ambo Nikodemus, Kepala Suku setempat. Sejak itu Barnstein dianggap saudara oleh orang Dayak karena telah bertukar darah dengan kepala suku Dayak.

Sesudah melalui sejumlah perjalanan awal itu, selanjutnya Barnstein bersama dengan beberapa missionaris membuka stasi-stasi pangkalan PI) di beberapa wilayah Kalimantan Tengah.
Dengan adanya stasi-stasi ini, mulailah diadakan usaha-usaha di bidang pendidikan seperti pendirian sekolah-sekolah, pelayanan kesehatan, pemberitaan, perkunjungan dan percakapan langsung dengan orang-orang Dayak. Dengan demikian, beberapa metode yang dipakai oleh para missionaries untuk mencapai orang Dayak dengan Injil adalah : 

(1) memenangkan ikatan persahabatan dan persaudaraan,
(2) Pendekatan kepada golongan atasan/kepala suku,
(3) Perbaikan taraf hidup sosial ekonomi rakyat,
(4) Pendidikan dan
(5) Pelayanan Kesehatan.

Dengan lambat sekali Injil mulai menyelusup dan merintis jalannya sendiri ke celah-celah hati suku Dayak. Periode ini menuntut kesabaran dan keuletan.

Periode pertama PI di Kalimantan mengalami cobaan berat ketika terjadi pemberontakan Hidayat dari Kesultanan Banjarmasin 01 Mei 1859, pemberontakan ini didukung oleh banyak tokoh masyarakat Dayak yang berhasil dihasut. Tujuan pemberontakan adalah mengusir pemerintah Belanda dan semua orang kulit putih dari bumi Kalimantan. Pemberontakan ini memakan korban baik dari pihak pemerintah Belanda maupun para misionaris Jerman. Empat orang missionaris, tiga orang isteri dan dua orang anak mereka mati dibunuh oleh orang Dayak sendiri. Missionaris Roth, Wiegand dan isteri, Misionaris Kind dan isteri beserta dua orang anak mereka mati dibunuh di Tanggohan. Missionaris Hofmeister dan isteri di bunuh di Penda Alai. Sedangkan Missionaris Klammer yang berada di Tamiang layang, yang dalam keputusasaan dan ketakutan berhasil diselamatkan oleh para pemimpin Dayak Maanyan.

Sejak pemberontakan yang memakan korban orang-orang kulit putih tersebut, Pemerintah Hindia Belanda melarang semua orang kulit putih termasuk para missionaris untuk masuk ke pedalaman Kalimantan. Hasil Pekabaran Injil yang sudah berlangsung 25 tahun itu musnah dihapus oleh kegagalan, kekecewaan, air mata dan darah. Baru beberapa tahun kemudian, sesudah pemberontakan Hidayat dapat ditumpas (1866), Pemerintah Hindia Belanda mengijinkan para Missionaris memulai kembali pekerjaan mereka di sekitar “benteng Belanda”. PI dimulai kembali di berbagai kawasan termasuk pembukaan daerah baru. Tahun 1911, tercatat 3.000 orang Dayak sudah dibabtis menjadi Kristen.

Pertobatan di kalangan suku Dayak memang sangat sukar dan lambat. Ini berkaitan dengan kuatnya ikatan orang Dayak terhadap adat dan agama sukunya, termasuk karena keharusan bagi Orang Dayak yang hendak menjadi Kristen untuk meninggalkan kebudayaan Dayaknya oleh para missionaris. Awal abad XX ditandai oleh tragedi dunia dengan pecahnya Perang Dunia I di Eropa. Salah satu akibat nyata yang dialami oleh Badan Zending RMG akibat Perang Dunia I tersebut adalah kesulitan keuangan yang parah. Badan ini tidak mampu lagi membiayai pelaksanaan PI baik di Kalimantan maupun Sumatera. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan kerinduan sebuah Badan Zending di Basel, Swiss yang bernama Basler Misssionsgezellschaft, (BM) maka pada tahun 1920 disepakati bahwa BM mengambil alih pelaksanaan PI di Kalimantan. Sedangkan gambaran hasil PI di Kalimantan pada waktu itu adalah : jumlah orang Kristen 5.000 orang, 14 Pemberita, 39 Penatua, 14 missionaris dan isteri mereka, 11 stasi (pangkalan induk). Langkah-langkah BM adalah menempatkan empat missionaris mereka di pangkalan induk, yakni missionaris Henking di Banjarmasin, Weiler di Tamiang Layang, Kuhnle di Mengkatip, dan Huber di Puruk Cahu.

2. Periode II, 1920 - 1935 (Periode Peralihan Zending)

Mengawali tugasnya di Kalimantan, BM melakukan tugas PI dengan mengandalkan missionaris-missionaris yang datang dari Jerman dan kemudian Swiss. Belum banyak orang Dayak yang dilibatkan dalam berbagai kegiatan PI. Namun, BM memang berminat untuk mendirikan gereja suku. Oleh sebab itu usaha pertama yang dilakukan adalah meneruskan apa yang sudah dirintis oleh RMG, yakni melakukan pelayanan kesehatan, pendidikan, menghidupkan jemaat dan mempersatukannya menjadi satu gereja yang akan berdiri sendiri. Dalan rangka itu dilihat pentingnya melibatkan orang-orang Dayak dalam pelaksanaan PI dan pembinaan jemaat di Kalimantan. Konsolidasi stasi-stasi mulai dilakukan dan dikembangkan menjadi satu lembaga persekutuan orang-orang Kristen yang kemudian akan menjadi jemaat.

Peraturan Gereja untuk orang-orang Kristen di Kalimantan mulai disusun, sejumlah persidangan gerejawi pun dilaksanakan, seperti : diterimanya Peraturan Sidang Jemaat Kristen yang disahkan oleh RMG pada tahun 1912 menjadi dasar hidup berjemaat, pertemuan para missionaris dan sejumlah utusan jemaat/stasi, yang dilaksanakan di Banjarmasin, 03 – 04 Maret 1925, Konferensi Pekerja Zending tahun 1926, 1928 dan 1930. Selanjutnya Sinode Mandomai tahun 1930 memutuskan menerima secara resmi Peraturan Sidang Jemaat Kristen di Borneo Selatan yang sudah diperbarui sebelumnya (1925) dan dipilihnya anggota Majelis Sinode (Synodale Commissie) pertama dengan keanggotaan :
1.            Ketua : Pdt. K. Epple (Zending BM)
2.            Wakil Ketua : August Narang
3.            Anggota : Pdt.C. Weiler (Zending), M. Lampe, E.Tahanan,  A  Kiting dan A. blantan.
4.            Anggota Kehormatan : F. Dingang
Sejak tahun 1930, dilakukan persiapan untuk membentuk jemaat-jemaat yang tersebar di Kalimantan hasil PI RMG dan BM ke dalam satu wadah lembaga Gereja. Dalam rangka persiapan itu pada tahun 1932 didirikan Sekolah Teologia di Banjarmasin. Usaha memperkuat peran orang Dayak pun dilakukan dengan serius oleh pihak Zending BM dan pada tahun 1935 adalah tahun yang paling bersejarah dengan berdirinya Gereja Dayak Evangelis (GDE) secara mandiri.

3. Periode III, 1935 - 1945 (Periode Lahirnya Gereja Dayak)

Proklamasi berdirinya Gereja Dayak Evangelis dilaksanakan pada persidangan Sinode Umum di Kuala kapuas yang berlangsung sejak tanggal 2-6 April 1935. Persidangan tersebut dihadiri oleh 30 orang Kristen Dayak dan 8 orang Penginjil Zending. Dalam persidangan tersebut, pada tanggal 4 April 1935 pukul 12 siang disahkan secara resmi Peraturan Gereja I Gereja Dayak Evangelis. Inilah tanggal yang dinyatakan sebagai berdirinya Gereja Dayak Evangelis disingkat GDE sebagai Gereja yang berdiri sendiri.Kemudian pada tanggal 5 April 1935, bersamaan dengan perayaan genap 100 tahun (SEABAD) pekabaran Injil di Kalimantan, maka kelima pemuda lulusan Sekolah Theologia Banjarmasin yang dianggap memiliki potensi besar telah ditahbiskan di gedung Gereja Hampatung (Kuala Kapuas), sebagai Pendeta-pendeta pertama dari Gereja Dayak Evangelis (GDE). Pengutusan, Berkat dan Pentahbisan Suci 5 (lima) “Pendeta Dayak” pertama yang dilakukan Zending Basel oleh Inspektur Sir H. Witschi. Pada tanggal 5 April 1935, sebagai berikut :
1.
 Pdt. RUDOLF KITING, ditempatkan di Rungan dengan kedudukan di Tumbang Bunut.
2.
 Pdt. EDUARD DOHONG, ditempatkan di Miri dengan kedudukan di Tumbang Sian.
3.
 Pdt. GERSON AKAR, ditempatkan di Hulu Kapuas dengan kedudukan di Sungai Hanyu.
4.
 Pdt. HERNALD DINGANG PATIANOM, ditempatkan di Sungai Tiwei dengan kedudukan di Benangin.
5.
 Pdt. MARDONIUS BLANTAN, ditempatkan di Dusun Timur dengan kedudukan di Tewah Puluh.

Daerah-daerah tempat ke – 5 pendeta pertama itu ditempatkan adalah merupakan daerah-daerah front pekabaran injil. Dari sini sudah tampak karakter Gereja Dayak dengan segala pekerjaannya, selaku gereja yang mengabarkan Injil sesuai dengan nama Gereja tersebut yaitu “Evangelis”. Patut pula dicatat dalam sejarah gereja ini, bahwa kelima Pendeta pertama ini adalah tokoh-tokoh Pionir dan pesuruh-pesuruh Injil yang penuh daya gerak diantara orang sebangsanya dan mereka inilah yang merupakan orang-orang pertama PEKERJA NASIONAL GEREJA dan bukan pekerja suatu lembaga atau badan Zending dari luar negeri. 

Penguatan Peran Orang Dayak Kristen dalam mengelola GDE semakin dimatangkan. Pada tahun 1937 diadakan Konferensi Pengerja Zending yang menegaskan: “Badan Zending patutlah semakin berkurang, dan gereja Dayak makin bertambah. Hendaklah kita semakin mengundurkan diri sampai pada pelayanan persaudaraan dan nasihat”. Pada tahun 1939, keadaan GDE yang dapat dicatat adalah sebagai berikut : Jumlah anggota 15.000, tenaga pengerja Dayak (pribumi) 235, terdiri dari 16 pendeta – 33 pemberita Injil - 158 guru – 26 pembantu perawat – 1 kolportir – 1 dokter diperbantukan. Pengerja Zending 40 tenaga, terdiri dari 14 missioner, 3 dokter, 4 suster, 2 guru, 1 administratur (dengan keluarga masing-masing).

Gereja yang masih sangat muda ini kembali mendapat ujian berat seiring dengan terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1940-an. Kengerian yang pernah terjadi pada masa PD I kembali terulang dengan intensitas yang lebih besar. Para Missionaris dan keluarga yang berasal dari Jerman dan Swiss ada yang ditawan dan diangkut ke Jawa untuk selanjutnya dipulangkan. Dalam penawanan dan pembuangan sejumlah missionaris dan keluarga tersebut, ketika diangkut untuk dibuang ke kamp Interniran di India, kapal yang mereka tumpangi karam dan menewaskan semua penumpang termasuk para missionaris dan keluarga mereka. GDE dengan beberapa pendeta Swiss dan Belanda yang masih ada di Kalimantan ditambah beberapa pendeta Dayak sendiri harus berjuang mempertahankan hidupnya dengan berbagai kekurangan dan kesulitan akibat penguasaan tentara Jepang.

Awal bulan Pebruari 1942, merupakan awal habisnya para pengerja yang berasal dari Badan Zending di Eropa dan hancurnya sejumlah sarana yang didirikan Zending oleh tentara Jepang. Hubungan dengan Zending di Eropa putus sama sekali. Pada masa pendudukan Jepang inilah GDE yang masih muda harus benar-benar mampu berdiri berdasarkan kekuatan sendiri. Pada masa ini pula datang sejumlah Pendeta dari Jepang, seperti: Pdt. Shirato, Pdt. S. Honda, Pdt. K. Kaneda, dan Pdt. Suzuki. Dengan bantuan beberapa pendeta Jepang ini GDE terus berbenah diri. Melalui sejumlah konferensi, GDE semakin memantapkan organisasi dan kehadiran-nya sebagai Gereja Tuhan di Kalimantan. Dan ini terus berlangsung sampai Proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. Pada akhir tahun 1944 terdapat jumlah anggota GDE sebanyak16.671 orang.

4. Periode IV, 1945 – 1960 (Periode Perubahan Nama GDE)

Sejak tahun 1945, GDE mulai membangun wajah baru dengan kehadirannya yang semakin kokoh di bumi Kalimantan. Pada saat yang sama, seiring dengan tumbuhnya kesadaran dan semangat keesaan gereja, GDE semakin terlibat di dalam kegiatan oikumenis Gereja-Gereja di Indonesia. Hal ini selanjutnya ditunjukkan dengan kesadaran bahwa orang-orang yang bisa menjadi anggota gereja ini bukan hanya orang Dayak, melainkan semua orang dari berbagai suku bangsa yang ada di Kalimantan.

Atas dasar kesadaran oikumenis itulah, maka pada Sinode Umum GDE ke-5 Di Banjarmasin pada tahun 1950, seiring dengan masuknya GDE menjadi anggota Dewan gereja-Gereja Di Indonesia (DGI), nama Gereja Dayak Evangelis (GDE) diganti menjadi “GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS” (GKE). Gereja ini tidak lagi membatasi diri sebagai gereja suku tetapi gereja yang terbuka untuk semua orang yang ada di Kalimantan. Mulai pada Tahun 1960 GKE memperluas wilayah pelayanannya ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Dengan demikian sejak itu kawasan pelayanan GKE meliputi seluruh wilayah Kalimantan. Tantangan yang harus dihadapi GKE adalah perkembangan masyarakat dan dunia yang terus berlangsung secara cepat dan berubah-ubah. GKE perlu benar-benar hadir sebagai alat kesaksian di bumi Kalimantan bersama-sama dengan semua umat beragama lainnya dari semua suku bangsa yang ada. GKE-pun terus dipanggil dan ditantang untuk semakin eksis dalam membawa syalom Allah di bumi Kalimantan sampai Ia mengenapkan rencana-Nya secara sempurna.



http://gke-gerejakalimantanevangelis.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar