Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Minggu, 21 April 2013

Agama Kaharingan berasal dari Kalimantan


Nama lengkap             : Obet Nego
NIM                           : 11.16.23
Tugas mata kuliah        : Filsafat Timur
Dosen pengampu        :  RM. Bambang Doso Susanto, Per.Lic.Th

Agama Kaharingan

http://dongengbudaya.files.wordpress.com/2011/09/dayak.jpg?w=194&h=267 
Kaharingan merupakan agama atau kepercayaan suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Orang Dayak Ngaju memang  tidak mempunyai nama khusus yang terberikan (given) untuk  menyebutkan  sistem kepercayaan mereka.  Ketika bertemu dengan  orang-orang non-Dayak,  mereka menyebut agama mereka sebagai Agama Dayak  atau Agama Tempon.  Hans Schärer dalam disertasi doktoralnya menggunakan istilah Agama Ngaju (Ngaju Religion) untuk menyebutkan  sistem  kepercayaan dan praktek keagamaan  asli orang  Dayak Ngaju ini (buku asli 1946, 1963:12).  Pandangan Schärer sangatlah kontras dengan pandangan umum pada waktu itu yang  melihat orang Dayak sebagai orang yang “tanpa agama,” “kafir” atau “heiden”. 
Sekitar pertengahan tahun 1944, kepercayaan  asli orang Dayak ini  telah mempunyai  nama tersendiri yaitu Kaharingan.  Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Nama Kaharingan mulai dipakai ketika   pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju yang bernama Damang Yohanes Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan nama dari  agama suku Dayak Kalimantan, yang pada waktu itu disebut sebagai “Agama Heiden”,  “Agama Kafir” dan “Agama Helo”.   Salilah menjelaskan bahwa  nama agama orang Dayak  adalahKaharingan yang artinya  “kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”. Dalam bahasa Dayak  Ngaju  sehari-hari kata Kaharingan berarti  “hidup” atau “ada dengan sendirinya”sementara dalam basa Sangiang yaitu bahasa para imam ketika menuturkan mitos-mitos suci,  Kaharingan  berarti “hidup atau kehidupan”.

Tuhan,  Kitab Suci dan Ritual
Agama Kaharingan percaya pada satu Tuhan yang disebut dengan nama Ranying Hattalla (Tuhan Yang Maha Esa). Tempat pertemuan atau berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan.
Ibadah rutin Kaharingan yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah :
§  Panaturan, sejenis kitab suci
§  Talatah Basarah, kumpulan doa
§  Tawar, petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras
§  Pemberkatan Perkawinan, dan
§  Buku Penyumpahan/Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sedangkan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah,
Philosophy

http://dongengbudaya.files.wordpress.com/2011/09/pohon.jpg?w=640
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan.
Pohon Batang Garing berbentuk seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.
Buah Batang Garing ini, masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Disinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
http://dongengbudaya.files.wordpress.com/2011/09/aceros-20corrugatus.jpg?w=138&h=157
Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit (Tuhan YME) yang merupakan sumber segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
           
Pada zaman Jepang, agama Kaharingan mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat.  Nama Kaharingan sebagai nama agama mulai dipakai secara luas pada masa pendudukan Jepang. Kepedulian dan perhatian dari pemerintah pendudukan Jepang ini sepertinya disebabkan karena adanya kesamaan dengan kondisi di negara mereka sendiri yaitu memberikan tempat terhormat pada agama lokal. Tentu saja kepedulian mereka juga bisa jadi karena motif politik. Apapun sebab dan alasannya yang jelas keberadaan agama ini diakui secara resmi oleh pemererintahan saat itu. Untuk mencari simpati dan dukungan dari orang-orang Dayak, penguasa militer Jepang menyatakan Agama Kaharingan ada kaitannya dengan Agama Shinto, karena itu   pada zaman Jepang  untuk kali pertama agama suku ini diangkat dan diterima sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan partner serius pemerintah dalam menangani  kebudayaan.
Untuk mengetahui lebih banyak tentang  Kaharingan serta kebudayaan Dayak, pemerintah Jepang menyediakan semacam Pusat Penelitian (Puslit) yang disebut dengan Bagian Penyelidik Adat dan Kebudayaan Kalimantan.  Salah satu kegiatan  Pusat Penelitian yang berkedudukan di Banjarmasin dan di bawah pimpinan Prof. K. Uyehara adalah  melakukan ekspedisi ke daerah pedalaman untuk mengadakan survei dan pendokumentasian adat dan kebudayaan Dayak.   Dalam perjalanan ke pedalaman itu, dibawa serta orang-orang lokal yang dianggap tahu banyak tentang Kaharingan dan kebudayaan Dayak, antara lain  Tjilik Riwut dan Damang Yohanes Salilah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar