Nama lengkap :
Obet Nego
NIM :
11.16.23
Tugas mata kuliah :
Filsafat Timur
Dosen
pengampu : RM. Bambang Doso Susanto, Per.Lic.Th
Agama Kaharingan
Kaharingan merupakan agama atau
kepercayaan suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Orang Dayak Ngaju
memang tidak mempunyai nama khusus yang terberikan
(given) untuk menyebutkan sistem kepercayaan
mereka. Ketika bertemu dengan orang-orang
non-Dayak, mereka menyebut agama mereka sebagai Agama
Dayak atau Agama Tempon. Hans Schärer dalam disertasi doktoralnya
menggunakan istilah Agama Ngaju (Ngaju Religion) untuk
menyebutkan sistem kepercayaan dan praktek
keagamaan asli orang Dayak Ngaju ini (buku asli 1946,
1963:12). Pandangan Schärer sangatlah kontras dengan pandangan umum
pada waktu itu yang melihat orang Dayak sebagai orang yang “tanpa
agama,” “kafir” atau “heiden”.
Sekitar pertengahan tahun 1944, kepercayaan asli orang
Dayak ini telah mempunyai nama tersendiri
yaitu Kaharingan. Kaharingan ini
pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik
Riwut tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang
berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945,
pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak.
Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu,
menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena
kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Nama Kaharingan mulai dipakai
ketika pemerintah Jepang memanggil dua orang Dayak Ngaju
yang bernama Damang Yohanes Salilah dan W.A. Samat, untuk mengetahui kejelasan
nama dari agama suku Dayak Kalimantan, yang pada waktu itu disebut
sebagai “Agama Heiden”, “Agama Kafir” dan “Agama
Helo”. Salilah menjelaskan bahwa nama agama orang
Dayak adalahKaharingan yang artinya “kehidupan yang
abadi dari Ranying Mahatala Langit”. Dalam bahasa
Dayak Ngaju sehari-hari kata
Kaharingan berarti “hidup” atau “ada dengan
sendirinya”sementara dalam basa Sangiang yaitu bahasa para imam
ketika menuturkan mitos-mitos suci, Kaharingan berarti
“hidup atau kehidupan”.
Tuhan, Kitab Suci dan
Ritual
Agama Kaharingan percaya pada
satu Tuhan yang disebut dengan nama Ranying Hattalla (Tuhan Yang Maha Esa).
Tempat pertemuan atau berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai
Basarah atau Balai Kaharingan.
Ibadah
rutin Kaharingan yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sejumlah buku
suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah :
§
Panaturan, sejenis kitab suci
§
Talatah Basarah, kumpulan doa
§
Tawar, petunjuk tata cara meminta
pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras
§
Pemberkatan Perkawinan, dan
§
Buku Penyumpahan/Pengukuhan untuk
acara pengambilan sumpah jabatan.
Sedangkan
untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah
yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah,
Philosophy
Kaharingan berasal dari
bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti
ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon
Kehidupan.
Pohon Batang Garing berbentuk
seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon yang ditandai
oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah.
Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua
dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan
saling membutuhkan.
Buah Batang Garing ini,
masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap
ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja
Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Buah garing yang menghadap arah
atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda
secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia
dan akhirat.
Tempat bertumpu Batang Garing
adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama
sebelum manusia diturunkan ke bumi. Disinilah dulunya nenek moyang manusia,
yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka
diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa
dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air
manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan
demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan
segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Pada bagian puncak terdapat
burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini
adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang
lambang-lambang Ranying Mahatala Langit (Tuhan YME) yang merupakan sumber
segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan
atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan
Tuhan.
Pada zaman Jepang, agama Kaharingan
mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat. Nama Kaharingan
sebagai nama agama mulai dipakai secara luas pada masa pendudukan Jepang.
Kepedulian dan perhatian dari pemerintah pendudukan Jepang ini sepertinya
disebabkan karena adanya kesamaan dengan kondisi di negara mereka sendiri yaitu
memberikan tempat terhormat pada agama lokal. Tentu saja kepedulian mereka juga
bisa jadi karena motif politik. Apapun sebab dan alasannya yang jelas
keberadaan agama ini diakui secara resmi oleh pemererintahan saat itu. Untuk
mencari simpati dan dukungan dari orang-orang Dayak, penguasa militer Jepang
menyatakan Agama Kaharingan ada kaitannya dengan Agama Shinto, karena
itu pada zaman Jepang untuk kali pertama agama suku
ini diangkat dan diterima sebagai agama yang terpandang bahkan dijadikan
partner serius pemerintah dalam menangani kebudayaan.
Untuk mengetahui lebih banyak
tentang Kaharingan serta kebudayaan Dayak, pemerintah Jepang
menyediakan semacam Pusat Penelitian (Puslit) yang disebut dengan Bagian
Penyelidik Adat dan Kebudayaan Kalimantan. Salah satu
kegiatan Pusat Penelitian yang berkedudukan di Banjarmasin dan di
bawah pimpinan Prof. K. Uyehara adalah melakukan ekspedisi ke daerah
pedalaman untuk mengadakan survei dan pendokumentasian adat dan kebudayaan
Dayak. Dalam perjalanan ke pedalaman itu, dibawa serta
orang-orang lokal yang dianggap tahu banyak tentang Kaharingan dan kebudayaan
Dayak, antara lain Tjilik Riwut dan Damang Yohanes Salilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar