KITAB
SUCI DAN TRADISI
Dibuat
Untuk Memenuhi Tugas
Pengantar
Teologi
Dosen
Pengampu
Pdt.
Dr Rama Tulus. P, S.Th
Dibuat
Oleh Kelompok VI
ANA
ROSALINA
BENYAMIN
CUNCUN
AGRIPA
JHON
FERNANDO.S
MARK
WIRA NGINDRA
MEGAWATI
NANA
Sekolah
Tinggi Teologi GKE Banjarmasin
2011
PENDAHULUAN
SYALOM
Salam
Sejahtera untuk kitasemua yang hadir pada saat ini,tidak lupa juga kami ucapkan
puji dan syukur kepadaTuhan kitaYesus kristus yang mana kita masih diberikan kesempatan
untuk bertemu pada hari ini,dan tak lupa juga kami dari kelompok 4 mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada TuhanYesus Kristus karena dalam pembuatan makalah
kami ini kami merasa sangat kurang menguasai dalam pembelajaran maupun pengetahuan
tapi berkat karunia dan anugerah Allah Bapa yang MahaKuasa kami bisa menyelesaikan
makalah ini.
Makalah
ini merupakan tugas kelompok PengantarTheologi yang diberikan kepada kami, Kami
tahudidalam makalah ini banyak sekali kekurangan namun meskipun begitu kami
kelompok 4 mengerjakan makalah ini dengan maksimal dan dengan kerja keras kelompok
kami akhirnya terbentuklah makalah ini.
Didalam
makalah ini kita akan membahas tentang “Kitab Suci dan Tradisi Yahudi”, untuk lebih
lanjutnya mari kita bahas bersama- sama.
DAFTAR ISI
1.
KITAB
SUCI TRADISI YAHUDI
2.
PERLUNYA TRADISI
3.
ISI DAN HAKIKAT TRADISI
4.
PERKEMBANGAN TRADISI
5.
NILAI DOGMATIS TRADISI
6.
HUBUNGAN ANTARA TRADISI DAN KITAB
SUCI
1.
KITAB
SUCI DAN TRADISI YAHUDI
Yahudi adalah istilah
yang merujuk kepada sebuah agama atau suku bangsa. Sebagai
agama, istilah ini merujuk kepada umat yang beragama Yahudi.
Berdasarkan etnisitas, kata ini merujuk kepada keturunan Eber (Kejadian 10:21) atau Yakub, anak Ishak, anak Abraham (Ibrahim) dan Sarah. Etnis Yahudi juga termasuk
Yahudi yang tidak beragama Yahudi tetapi beridentitas Yahudi dari segi tradisi.
Agama Yahudi adalah kombinasi antara
agama dan suku bangsa. Agama Yahudi dibahas lebih lanjut dalam artikel agama Yahudi; artikel ini
hanya membahas dari segi suku bangsa saja. Kepercayaan semata-mata dalam agama
Yahudi tidak menjadikan seseorang menjadi Yahudi. Di samping itu, dengan tidak
memegang kepada prinsip-prinsip agama Yahudi tidak menjadikan seorang Yahudi
kehilangan status Yahudinya. Tetapi, definisi Yahudi undang-undang kerajaan
Israel tidak termasuk Yahudi yang memeluk agama yang lain.
a.
Etimologi
Kata Yahudi diambil menurut salah satu marga dari dua
belas leluhur Suku Israel yang paling
banyak keturunannya, yakni Yehuda. Yehuda ini adalah salah satu dari 12 putera Yakub, seorang nabi yang hidup sekitar abad 18 SM dan bergelar
Israil. Seluruh turunan dari 12 putera Yakub (Israel) itu dikenal dengan sebutan Bani Israil
(keturunan langsung Israil) yang kemudian berkembang menjadi besar dinamakan
menjadi Suku Israil.
Setelah berabad-abad turunan Yahudi berkembang menjadi
bagian yang dominan dan mayoritas dari Bani Israel, sehingga sebutan Yahudi tidak hanya mengacu kepada
orang-orang dari turunan Yahuda, tapi mengacu kepada segenap turunan dari Israel (Yakub).
Pada awalnya bangsa Yahudi hanya terdiri dari satu
kelompok keluarga di antara banyak kelompok keluarga yang hidup di tanah Kan’an
pada abad 18 SM. Ketika terjadi bencana kelaparan di Kan’an, mereka pergi
mencari makan ke Mesir, yang memiliki persediaan makanan yang
cukup berkat peran serta Yusuf. Karena kedudukan Yusuf yang tinggi di Dinasti Hyksos, Mesir, seluruh anggota keluarga Yaqub diterima dengan
baik di Mesir dan bahkan diberi lahan pertanian di bagian timur laut Mesir.
Pada akhirnya keseluruh bangsa
Misrael, tanpa
memandang warga negara atau tanah airnya, disebut juga sebagai orang-orang
Yahudi dan begitupula dengan keseluruh penganut ajarannya disebut dengan nama
yang sama pula.
Siapakah orang yang berhak disebut
Yahudi?
Halakha(hukum-hukum
agama Yahudi) memberikan definisi Yahudi kepada
seorang yang: SukuBangsa Yahudi, suku bangsa ini terbagi lagi menjadi dua:[1]
o
Seorang anak yang terlahir dari ayah dan ibu Yahudi
disebut Yahudi asli,
o
Seorang anak yang terlahir dari ayah Yahudi dan ibu dari
bangsa lain, Yahudi campuran ini termasuk kategori Yahudi Kelas Dua, Seorang yang memeluk agama Yahudi menurut hukum-hukum Yahudi.
Definisi ini diwajibkan oleh Talmud, sumber Hukum-Hukum Tak-tertulis yang menerangkan Taurat, kitab suci asal hukum-hukum Yahudi (lima kitab pertama
kitab Tanakh/Perjanjian Lama). Menurut
Talmud, definisi ini dipegang semenjak pemberian Sepuluh
Perintah Allah di Gunung Sinai kira-kira 3.500 tahun dahulu kepada nabi Musa. Sejarawan Yahudi non-Ortodoks berkeyakinan bahwa
definisi ini tidak diikuti sehingga tidak lama berlaku, tetapi ia mengaku bahwa
definisi ini digunakan sekurang-kurangnya 2.000 tahun sampai saat ini.
Pada akhir abad ke-20, dua kumpulan
Yahudi (terutama di Amerika Serikat) yang liberal
dari segi teologi, Yahudi Reformasi dan Yahudi Rekonstruksi telah membenarkan
orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut untuk menyebut diri mereka sebagai
Yahudi. Mereka tidak lagi mewajibkan orang memeluk agama tersebut demi memenuhi
adat istiadat pemelukan tradisional, dan mereka menganggap seseorang sebagai
Yahudi jika ibu mereka bukan Yahudi, asalkan berayah Yahudi.
Yahudi adalah agama tertutup.
b.
Kelompok Yahudi
Dewasa ini ada sejumlah kelompok Yahudi utama:
- Kaum Ashkenazim
- Kaum Sefardim
- Kaum Mizrahim atau "Orang dari Timur"
c.
Anti-semitisme
Selama
berabad-abad orang Yahudi banyak mengalami Diskriminasi dari kaum Kristen di Eropa. Diskriminasi terhadap orang Yahudi
ini secara khusus disebut antisemitisme. Puncak
diskriminasi ini terjadi pada Perang Dunia II, yakni ketika
Yahudi dibantai di Eropa oleh kaum Nazi Jerman karena mengambil kekayaan secara paksa.
d.
Lihat pula
e.
Pranalar luar
f.
Catatan kaki
1.
Suku Bangsa Yahudi terbagi dua:
Yahudi asli yang terlahir dari ayah ibu Yahudi dan Yahudi campuran yang
terlahir, dari ayah Yahudi dan ibu dari bangsa lain. Yahudi campuran termasuk Yahudi Kelas Dua.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
2.
Perlunya tradisi
Tradisi
merupakan kelanjutan pewartaan illahi-rasuli yang asli, wadah dari segalanya
yang menyangkut iman dan moral. Para redaksi Konstitusi Dei verbum telah menyepakati bahwa dengan “TRADISI” dimaksudkan
segala sesuatu yang memenuhi kedua syarat ini, dan hanya apa yang memenuhinya:
Ø
Mempunyai asal-usul illahi-rasuli;
Ø
Menyangkut iman dan moral.
Perlunya Tradisi itu didasarkan pada
dua hal berikut:
a)
Keterbatasan kitab suci dalam
meneruskan kitab suci dalam meneruskan pewartaan rasuli menurut kekuatannya
yang semula.
Alkitab memiliki kualitas istimewa
dan unik, yakni ditulis dengan inspirasi illahi. Alkitab sendiri berasal dari
pewartaan rasuli yang hidup. Justru karena Alkitab tidak dapat menggantikan
seluruh pewartaan yang hidup itu, demi keutuhan injil perlulah bahwa Rasul
tidak hanya meninggalkan kitab-kitab namun harus juga meninggalkan pewartaan
yang hidup, pewartaan itu sendiri yang telah mereka lakukan.
b)
Tingkah laku dan pengajaran para
Rasul sendiri.
Dengan berbagai cara para Rasul meneruskan apa yang telah mereka
terima dari Kristus( dari perkataan-Nya, karya-Nya, maupun dari pergaulan
mereka dengan Dia) atau dari ilham Roh Kudus. Mereka meneruskan yang telah
mereka terima itu bukan hanya dengan cara meneyrahkan dalam bentuk kitab-kitab
suci saja, tetapi melebihi tulisan(tindakan)
dan termuat dalam Kitab Suci yang merupakan bagian dari iman diteruskan
sampai selama-lamanya.
3.
Isi dan hakikat Tradisi
a)
Isi Tradisi
Wahyu tidak hanya terdiri dari
kata-kata, tetapi terdiri dari seluruh kenyataan kristiani: pengajaran
doctrinal, hidup bersama dalam kerukunan cinta kasih, dan perayaan ibadat yang
pusatnya adalah sakramen-sakramen. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat
diteruskan dengan cara yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan tersebut, baik
secara verbal maupun secara trans-verbal. Tradisi bersifat verbal dan
trans-verbal. Tradisi bersifat verbal sejauh meneruskan ajaran yang diwahyukan
dan yang bila diterima membuat gereja menjadi umat yang beriman. Tradisi juga
bersifat trans-verbal sebab tidak hanya meneruskan ajaran tetapi juga segalanya
yang membentuk gereja itu dan memungkinkkan gereja memenuhi tugas
penyelamatannya.
b)
Hakikat Tradisi
Yang merupakan haikat tradisi yaitu
apa yang juga merupakan hakikat wahyu, yang terdiri dari perbuatan (karya) dan
perkataan(sabda) secara intinsik terjalin satu sama lain. Jelaslah bahwa
“karya” dan “kenyataan-kenyataan” itu menurut sifatnya sendiri tidak dapat
diteruskan oleh Kitab Suci(yang bersifat perkataan) melainkan hanya oleh
Tradisi. Penting dicatat bahwa Tradisi dan Alkitab tidak boleh dianggap sebagai
saingan(hal berbeda) melainkan harus dipandang sebagai 2 hal yang saling
melengkapi secara mutlak.
Kesaksian
Kitab Suci menuntut untuk dituangkan kedalam kehidupan gereja. Tradisi mewujudkan tuntutan itu secara keseluruhan bagi
gereja yang melaksanakannya. Tradisi terikat dengan Alkitab bukan untuk
menggantikan melainkan untuk menghidupkan Kitab Suci.
4.
Perkembangan Tradisi
a)
Tradisi tetap terbuka untuk umum
Keterbukaan Tradisi bagi perkembangan
yang terus-menerus itu disebabkan oleh objek dan hakikat Tradisi tersendiri.
Tradisi merupakan sesuatu yang hidup.
Dengan masuknya kedalam kenyataan gereja yang hidup pula, Tradisi
memberikan suatu dorongan untuk bertumbuh dalam gereja. Tradisi maupun Gereja
merupakan kenyataan-kenyataan yang hidup.
b)
Hakikat perkembangan Tradisi
Tradisi yang berasal dari para Rasul
dan yang menyangkut wahyu(“iman” dan “moral”). Selain tradisi illahi-rasuli ini
ada juga tradisi-tradisi yang tidak bersifat illahi melainkan gerejawi
semata-mata. Tradisi rasuli yang menyangkut wahyu itu tidak boleh terkena
perubahan yang mengenai intinya. Dibidang wahyu, pewartaan para rasul harus
tetap sama. Maka itu perkembangan yang diterima, tetapi sifatnya begitu rupa
sehingga identitas asli dipertahankan.
Demikian
halnya Tradisi. Isinya bukan benda mati yang mati yang hanya menanti untuk
diketemukan. Sebaliknya isi itu membuat dirinya ditemukan karena kekuatannya
sendiri. Maka itu pertumbuhan, walaupun tidak merobah intinya , memberikan
kepadanya suatu peyempurnaan yang nyata. Penyempurnaan yang diberikan oleh
pertumbuhan itu harus dibayangkan sebagai berikut:
ü Isi tradisi adalah kenyataan-kenyataan dan kata-kata
ü Kata dan kenyataan itu mempunyai potensi-potensi yang
diletakkan Allah didalamnya, ibarat daya-tumbuh yang terletak dalam benih yang
berpotensi menjadi tanaman/hewan/manusia yang utuh dan dewasa;
ü Potensi kata-kata dan potensi kenyataan-kenyataan itu
berkembang menjadi pengungkapan-pengungkapan yang jelas dan terang;
ü Terbentuknya pengungkapan jelas dan terang itulah
penyempurnaan yang dimaksud itu.
c)
Setiap reaksi merupakan faktor aktif
dalam kemajuan tradisi, meskipun dengan cara berlainan. Secara umum 3 faktor
yang menentukan perkembanga tradisi:
c.1
Pengalaman dibidang ajaran
Pendalaman
ini merupakan hal yang biasa untuk orang beriman yang sejati. Seperti bunda
maria merenungkan kata-kata dan peristiwa-peristiwa mengenai putra
Illahinya(luk 2:51) dan menyelidiki artinya untuk dapat memberikan kesaksian,
begitu pula kaum beriman lainnya berusaha melalui perenungan memahami lebih
baik kenyataan-kenyataan tradisi yang tak pernah habis sebagai objek pemikiran
dan sekaligus sebagai aturan hidup.
c.2
Pengalaman konkret mengenai isi
tradisi
Pendalaman intelektual yang
disebutkan oleh bagian sub a tadi
tidak boleh terpisah dari pengalaman konkret ini pendalaman tersebut mendapat
inspirasinya dan menerima peneguhnya. Hal ini berlaku:
ü Baik untuk gereja sebagai keseluruhan, dimana secara
historis kenyataan-kenyataan yang dihayati itu mendahului perumusan apapun.
ü Masing-masing warga gereja, sebab yang disebab “penghayatan”
mereka itu bukanlah semat-mata hanya penerapan yang tepat dari
perumusan-perumusan; disamping penerapan itu ada unsure “kebaharuan”, yakni
penghayatan selalu mengatakan sesuatu yang baru, juga mengenai perumusan yang
sudah terjadi walau yang dogmatic
sekalipun.
c.3
Pewartaan uskup
Dewan
para uskup sekarang menggantikan dewan para Rasul dahulu, juga dalam hal
pewartaan resmi. Factor ini sering disebut sebagai factor terakhir, bukan
karena kurang penting, tetapi karena merupakan factor yang mempunyai wewenang
atas sumbangan yang diberikan orang-orang beriman lainnya, termasuk para
theolog. Wewenang para uskuplah yang mengesahkan (atau menolak) sumbangan orang
beriman lainnya sebagai ungkapan imam katolik.
Berkat
tradisi, gereja dapat memiliki wahyu Allah dengan semakin menyeluruh, sebab
tradisi mendorong gereja untuk mengungkapkan wahyu yang diteruskannya itu dalam
ungkapan yang sesuai dengan zaman dan tempat. Supaya gereja menjadi tempat dan
sarana keselamatan bagi semua orang. Gereja harus mempertahankan diri dalam
dimensi yang sama menyeluruh dengan dimensi Inkarnasi.
5.
Nilai Dogmatis Tradisi
Tradisi
merupakan pembawaan wahyu. Maka secara potensial nilai dogmatis ada pada setiap
pengungkapan tradisi. Akan tetapi ini akan menjadi effektif bila gereja
mendasarkan diri atasnya untuk menyajikan suatu kebenaran sebagai
kebenaran-kebenaran yang diwahyukan Allah.
a.
Pengesahan kanon kitab suci
Kanon seluruhnya yaitu daftar semua dan masing-masing buku
yang harus diterima sebagai tulisan-tulisan Illahi, dikenal oleh gereja bukan
berkat Kitab Suci melainkan berkat tradisi rasuli. Norma-norma yang dipakai
untuk menetapkan daftar itu adalah:
i.
Asal-usul buku itu: Harus berasal
dari para Rasul atau disahkan oleh mereka.
ii.
Penggunaan buku itu oleh gereja.
Norma-norma ini telah memungkin kan gereja mengakui
buku-buku tertentu sebagai buku yang diinspirasikan oleh Allah, dan untuk
mewartakan Kanon Kitab Suci sebagai suatu dogma.
Iman kita
juga berkembang didalam gereja menjadi dogma. Perkembangan dogma didahului oleh
hal-hal yang berakar dalam wahyu. Misalnya hubungan “BAPA, PUTRA, DAN ROH
KUDUS”. Tradisi mempunyai nilai dogmatis.
b.
Penafsiran Kitab Suci
Kitab Suci adalah pewartaan Rasuli yang dibukukan. Alkitab
secara mutlak berkaitan dengan pewartaan yang hidup itu sebagai lingkungannya
yang wajar.
Tradisi sangat diperlukan untuk secara tepat memahami dan
menafsirkan kitab-kitab suci. Jika tradisi tidak ada, kata yang tertulis hanya
menunjuk saja kepada tindakan Allah, tetapi tidak dapat menghadirkan tindakan
Allah itu sebagai kenyataan yang actual.
6.
Hubungan Antara Tradisi dan Kitab Suci
Tradisi dan Kitab Suci adalah dua cara yang digunakan para
Rasul untuk menyampaikan/ meneruskan injil.
a.
Kesamaan dalam hal asal dan tujuan
Tradisi dan Kitab Suci bertujuan
menyampaikan Kitab Suci meneruskan wahyu, meskipun tujuan ini dicapai dengan
cara yang berbeda. Kedua-duanya sama-sama berasal dari Allah. Meski demikian
ada juga perbedaan yang real antara dua hal tersebut.
b.
Pebedaan dalam cara pengungkapan
Bapa Konsili Vatikan II akhirnya mendapatkan kesimpulan
bahwa keduannya meneruskan sabda Allah yang sama dengan cara yang berbeda.
Berdasarkan pernyataan ini kita akan memendang dulu sifat yang membedakan
Tradisi dan Kitab Suci, kemudian sifat yang dimiliki bersama, dan akhirnya
ialah kesesuaian isi antar Tradisi dan Kitab Suci.
b.1
Sifat yang membedakan Tradisi dan
Kitab Suci
Kedua-duanya memiliki cirri khas yang membedakannya dari
yang lain. Keistimewaan Kitab Suci yaitu meneruskan sabda Allah bukan saja
mengenai isinya tetapi juga mengenai pengungkapan verbalnya. Dei verbum
mengatakan bahwa Kitab Suci merupakan “penuturan” (bhsa Latin: Locutio) Allah.
Berbeda dengan Tradisi, tradisi tidak
dijamin pengungkapannya oleh inspirasi illahi. Tradisi tidak dikatakan bahwa
tradisi adalah sabda Allah. Hanya dikatakan sebagai menerus kan sabda Allah.
Perbedaan ini menempatkan tradisi pada suatu taraf yang lebih rendah dalam
hubungannya dengan Kitab Suci. Akan tetapi tradisi pun ada keistimewaannya
yaitu meneruskan wahyu secara integral.
b.2
Sifat yang dimiliki oleh Kitab Suci
dan Tradisi
Sifat
yang dimiliki kedua-keduanya adalah memuat sabda Allah. Ditengah-tengah
pengungkapannya tradisi dapat berbeda-beda penyampaiannya, namun Sabda Allah
haruslah tetap sama tak berubah. Untuk menghindari hal ini tradisi harus
sejalan dengan:
Ø Pewartaan para uskup, dan
Ø Pembandingan terus menerus dengan kitab suci.
b.3
Kesesuaian isi antara Tradisi dan
Kitab Suci
Terdapat kesesuaian isi antar
Tradisi dan Kitab Suci, sebab:
Ø Kitab Suci merupakan injil yang tertulis, selalu menghadiri
pengungkapan-pengungkapan dalam tradisi.
Ø Tradisi merupakan injil yang dinyatakan dan diaktualkan,
selalu member kesaksian yang tak tergantikan mengenai Injil tertulis.
Secara Teoritis, masalah ini dapat dijelaskan dengan dua
cara :
ü Pertama, dapat dianggap sebagai kesesuaian yang ketat antara
Alkitab dan tradisi, artinya: keduannya saling bertindak tepat. Apa saja yang
diteruskan oleh tradisi, terdapat juga dalam Alkitab, meski dalam bentuk yang
khas untuk Alkitab.
ü Kedua, dapat juga dibayangkan bahwa antar Kitab Suci dan
Tradisi ada kesesuaian dalam arti bahwa “tidak ada pertentangan” antara
keduannya.
c.
Penghormatan yang sama dari pihak
gereja
Tradisi dan Alkitab berjalan bersama dalam memberikan
kepastian tentang wahyu. Kedua-duanya bernilai penting dan sama-sama norma
untuk iman.
KESIMPULAN
Maka itu penghormatan yang dituntut mempunyai motivasi yang
berbeda-beda. Akan tetapi dilihat dari segi tujuan, yaitu membuat kita mengenal
wahyu, keduannya mempunyai nila yang sama. Itulah sebabnya Kitab Suci dan
tradisi harus diterima dan dihormati dengan pengabdian, kesalehan dan hormat
yang sama.