Nama
lengkap : Obet Nego
NIM : 11.16.23
Tugas
mata kuliah : ETIKA
Dosen
pengampu : Pdt. Idrus
Sasiarais,
M.Th
Bab
pertama
PERKENALAN
MANUSIA
Manusia
adalah mahluk yang bertanya. Bertanya artinya, manusia tidak mau menerima
secara pasif begitu saja, baik keadaan dirinya maupun lingkungannya. Ia ingin
tahu segala sesuatu. Bila yang
diketahuinya itu tidak sesuai dengan keinginannya, ia akan berusaha keras
mengubahnya. Dan kalau itu ternyata tidak mungkin, ialah yang mengubah dirinya
sendiri. Ia menyesuaikan diri.
Inilah kunci peradapan manusia. Peradaban manusia
adalah hasil tranformasi dan adaptasi. Peradaban adalah hasil proses perubahan
dan penyesuaian diri. Sekali lagi manusia adalah mahluk yang bertanya. Begitulah
ia, sejak ia lahir. Ia bertanya dengan
matanya. Kemudian dengan tangannya. Baru terakhir dengan mulutnya. Pertanyaan yang paling awal, ialah what?what is? Tentu
kita masih ingat, betapa seringnya kita tidak sabar menjawab pertanyaan itu.
Yang tak henti-hentinya dari anak-anak atau adik kita pada usia dini mereka.
Mereka ingin tahu apapun benda yang ada disekitar mereka dan tentang dirinya.
Manusia tidak betah hidup dalam setiap rahasia. Sebab itu kita ingat akan
semboyan arif filsuf: gnothi seaton!artinya kenalilah dirimu sendiri. Dan sebab
itu lah kita tidak perlu heran.
Ilmu selalu berusaha untuk mencari dan merumuskan
hukum-hukum yang berlaku yang ada dibalik peristiwa-peristiwa atau
kenyataan-kenyataan tertentu. Toh dipihak lain manusia menyadari bahwa akalnya
tak sesalu berhasil menyingkap semua rahasia dan menjawab semua pertanyaan.
Namun walaupun begitu, manusia harus mempunyai jawaban. Disini kita menjumpai
dengan dimensi supra-rasional dalam kehidupan manusia. Ketika manusia sampai
pada batas kemampuan rasionalnya, ia terbuka untuk hal-hal yang supra-rasional,
yang transenden. Manusia membutuhkan yang lain untuk menjawab berberapa
pertanyaan yang tidak rasional, yang lain itu adalah agama. Untuk menjawab
pertanyaan manusia memerlukan 2 hal yaitu akal dan iman. Selama orang masih
membutuhkan makna bagi hidupnya, selama itu pula ia akan membutuhkan agama.yang
di maksudkan makna adalah segala sesuatu yang memberikan titik-tolak, isi arah
bagi hidup manusia. Kesadaran di dalam diri manusia
tentang apa yang benar dan apa yang salah, tentang apa yang baik dan apa yang
jahat, tentang apa yang tepat dan apa yang tidak tepat, inilah yang disebut
dengan kesadaran etis. Ia merupakan bagian yang intrisinsik di dalam hakekat
kemanusiaan.
Yang
dimaksud dengan kesadaran etis adalah kesadaran
tentang norma-norma yang ada pada diri manusia. Norma-norma inilah yang
mengendalikan tingkah laku manusia. Yang membuatnya tidak sekedar mengikuti
desakkan dan dorongan naluri alamiahnya. Yaitu norma-norma atau ukuran-ukuran
tentang apa yang seharusnya. Norma-norma tentang apa yang benar dan apa yang
salah, apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang tepat dan apa yang tidak
tepat. Manusia akan berusaha untuk melakukan apa yang ia anggap benar, baik dan
tepat. Dan sebaliknya, sedapat mungkin tidak melakukan apa yang menurut
pendapatnya salah, jahat dan tidak tepat.
Toh kesadaran etis belum
dapat disebut sebagai etika.
setiap orang dan semua oarang mempunyai kesadaran etis. Tapi itu tidak berarti
bahwa setiap orang dan semua orang mengetahui apa-apa tentang etika. Kesadaran
etis sering muncul secara spontan tanpa disadari sepenuhnya oleh sang
pemiliknya sendiri. Kebanyakan ia ada dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan yang
sudah tertanam dalam-dalam di alam bawah sadar si pelaku, hasil dari proses
pewarisan dari generasi ke generasi. Ia mempertanyakan, tapi hampir tidak
pernah dipertanyakan. Etika tidak.
Etika
selalu merupakan tindakan yang sadar dan sengaja. Ketika kesadaran etis itu
dimunculkan ke permukaan untuk dirumuskan secara eksplisit, dibahas secara
sadar, dan disusun secara teratur, pada waktu itulah kita berhadapan dengan
etika. Sebab itu, etika adalah ilmu, melakukan etika adalah suatu tindakan ilmiah. Etika
adalah ilmu atau studi mengenai
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia. Secara sederhana dapat
dikatakan, bahwa etika itu berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia, tetapi apa yang benar, baik dan tepat.
Etika
membahas, menganalisa, dan kemudian merumuskan obyek studinya itu secara
rasional dan masuk akal. Ia menempuh prosedur dan memakai metode yang ilmiah.
Itulah sebabnya kita katakan, bahwa etika itu adalah ilmu. Pada hakekatnya, “etika”
mempunyai makna yang sama dengan “moral”. Yang pertama berasal dari bahasa
Yunani, sedangkan yang belakang berasal dari bahasa latin. Cicero
menterjemahkan “ethikos” dengan “moralitas”. Apa yang di kalangan protestan
disebut “etika”, dikalangan Roma Katolik disebut “diciplina moralis”. Etika adalah prinsip-prinsip moral. Dengan mengatakan
bahwa prinsip-prinsip etis itu relatif bersifat langeng dan universal, tidak
berarti bahwa etika lalu merupakan ilmu yang statis. Etika adalah ilmu yang
dinamis. Sebab ia membicarakan tingkah laku manusia yang selalu berinteraksi dalam
dan dengan ruang dan waktu.
Bab
kedua
PERSOALAN
KITA
Harus, bila. Etika berbicara tentang
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Etika berbicara tentang apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia. Tetapi tidak semua yang harus dilakukan oleh
manusia itu adalah persoalan etika.
Contoh: jangan berhubungan
dengan pelacur murahan, bila anda tidak mau terserang penyakit kelamin! Tapi, bila itu saja alasanya, maka kita dapat
bertanya: bagaimana kalau saya segera pergi ke dokter, sehingga saya tidak
mungkin terserang penyakit itu? Atau, bagaimana bila saya tidak peduli akan bahaya penyakit kelamin? Maka dalam hal
ini, jawabnya adalah: anda tidak perlu memperhatikan larangan itu, kalau
begitu. Sebab larangan itu hanya berlaku, bila....
Disini kita berhadapan dengan apa yang seharusnya
,ya, bila… harus bila… . Disini kita berhadapan dengan apa yang wajib kita
lakukan, tetapi itu tergantung. Keseharusan ini disebut
yang hipotetis. Dan yang terpenting ialah, bahwa etika tidak-sekali lagi tidak
lagi tidak-berbicara tentang keharusan yang hipotetis. Harus, titik.
Keharusan yang hipotetis adalah keharusan yang bersifat kondisional. Artinya,
ia hanya berlaku untuk memenuhi kondisi-kondisi atau syarat-syarat tertentu.
Atau, disebabkan oleh karena kondisi-kondisi tertentu. Tidak berlaku setiap
saat. Tidak berlaku untuk semua kondisi. Oleh karena itu, ia tidak merupakan
persoalan etis. Keharusan etis adalah
keharusan yang tidak kondisional. Bukan “harus, bila” tetapi “harus, titik “.
Ia bersifat mutlak, ia harus begitu dalam kondisi apapun juga. Keharusan
seperti ini disebut keharusan kategoris. Di dalam etika ada sesuatu yang lebih
dalam dari sekedar kondisi atau kenyataan. yaitu makna kehidupan kita sebagai
manuia. Cara berpikir deontologis yaitu cara berpikir etis yang mendasarkan
diri kepada prinsip-prinsip, hukum norma objektif yang dianggap harus berlaku
mutlak dalam situasi dan dalam kondisi apapun juga. Etika deontologis, karenanya berbicara tentang apa
yang benar dan apa yang salah. Dan dengan tegasnya.
Didalam etika Kristen, cara
berfikir deontologis adalah cara melakukan penilaian etis yang meletakkan Hukum
Allah sebagai satu-satunya norma yang tidak dapat ditawar-tawar. Suatu tindakan
adalah, benar apabila sesuai dengan Hukum Allah itu. Dan salah, apabila
bertentangan dengannya. Allah berkata, “jangan membunuh”. Itu berarti, di dalam
situasi dan kondisi apapun membunuh adalah salah. Cara berpikir Teleologis yaitu tidak berpikir benar
atau salah tetapi menurut kategori bertujuan baik atau bertujuan jahat.
Betapapun salahnya, tetapi kalau bertujuan dan berakibat baik ia baik. Dan
betapapun benarnya kalau dilakukan dengan jahat maka ia jahat.
James
Gustafson, dalam bukunya yang indah THE PROTESTANT AND ROMAN CATHOLIC ETIHICS,
mengemukakan suatu pengamatan yang menarik untuk kita simak. Ia mengatakan
suatu pengalaman yang menarik untuk disimak. Ia mengatakan, bahwa pada
hakekatnya Etika Protestan adalah deontologis. Etika Protestan bertolak pada
hukum, perintah dan kehendak Allah. Allah dikenal sebagai pemberita Hukum. Di
samping Dasa Tintah, maka Hukum Kasih adalah Hukum yang paling utama. Sedangkan
Etika Roma Katolik, menurut Gustafson, adalah teleologis. Dijiwai oleh
pemikiran teolog raksasaThomas Aquinas, gereja Roma Katolik memahami Allah
terutama sebagai “tujuan” dari pada segala sesuatu. Bahwa segala sesuatu yang
tertuju kepada Allah adalah baik. Segala sesuatu yang tertuju kepada yang lain
dari pada Allah adalah jahat.
Tetapi
menurut Gustafson, di dalam praktek, keadaannya menjadi terbalik. Etika
protestan yang pada hakekatnya deontologis, di dalam prakteknya lebih bersifat
teleologis. Di dalam kenyataan menjadi deontologis. Sebaliknya Etika Roma Katolik yang pada prinsipnya
teleologis, didalam kenyataan menjadi deontologis. Ini dapat dijelaskan sebagai
berikut. Etika Kristen bertitik tolak pada hukum
kasih. Tetapi bagaimana
menjabarkan “Kasih” itu di dalam setiap
situasi? Kasih tidak bisa dijabarkan secara tuntas dalam bentuk hukum-hukum
positif untuk diberlakukan dalam setiap situasi. Etika Roma Katolik yang
teleologis itu, berusaha untuk menjabarkan dan merumuskan apa yang “baik” dan
apa yang “jahat” itu di dalam bentuk norma-norma dan hukum-hukum yang jelas. Yang baik adalah yang tertuju kepada Allah. Harus ada
kriteria yang jelas. Dan dengan begitu, etika yang hakekatnya teteologis, di
dalam kenyataannya berubah menjadi
deontologis. menilaikan berdasarkan norma-norma yang dirumuskan secara jelas
dan berdasarakan masuk akal.
Pada
prinsipnya, etika yang deontologis maupun teleologis tidak terlampau
memperhitungkan situasi dan kondisi. Kita dapat mengatakan bahwa keduanya
bersifat universal. Hukum atau prinsip atau norma yang diperkenalkan oleh Kant adalah
universal. Artinya berlaku dimana saja dan kapan saja. Hukum Allah juga begitu.
Dalil teleologis yang dikemukakan oleh
Mill, “kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”, juga harus begitu dalam
situasi dan kondisi apapun juga. Menurut Aristoteles, di manapun dan kapanpun
juga akan mencari kebahagiaan. Inilah yang saya maksudkan, ketika saya
mengatakan bahwa etika yang deontologis maupun teleologis pada prinsipnya
bersifat universal. Ketika mempertimbangkan keputusan pokok dalam
menentukan keputusan etis, maka itu disebut
dengan berfikir etis yang kontektual.
Richard
H. Niebuhr, dalam bukunya THE RESPONSIBLE SELF memberi nama yang lain, yaitu:
etika tanggung-jawab. Di sini, yang paling penting untuk kita tanyakan sebelum
kita melakukan sesuatu, bukanlah apa yang secara universal “benar”, ataupun apa
yang secara universal “baik”, tetapi apa yang secara kontekstual paling
“bertanggung jawab”. Etika yang baik
adalah etia yang oprasional. Etika yang menolong orang mengambil keputusan
dalam situasi konteks tertentu. Sebab Fungsi etika
adalah untuk memberikan pegangan kepada manusia mengenai apa yang seharusnya. Ketika
etika tidak lagi mempunyai prinsip-prinsip yang jelas, ketika semuanya menjadi
serba relatif, tergantung kepada situasi dan kondisi, pegangan apa yang
diberikan. Yang tejadi ialah kecendrungan kepada apa yang disebut nihilisme yaitu keadaan
tanpa nilai. Menurut Martin Luther,
orang percaya adalah orang yang sekaligus dibenrkan dan sekaligus orang
berdosa; simul et
peccator. Jadi keputusan apapun yang kita lakukan tidak sempurna. Ia harus
melakukan dengan penuh kerendahan hati, bahkan dengan pengakuan dosa. Itu tidak
mengurangi tugas dan tanggung jawab untuk kita sedapat-dapatnya dengan segala
kemampuan kita, mengambil keputusan yang paling benar, paling baik, dan paling
tepat. Pasti tak mungkin sempurna. Namun itu yang memaksimalkan dapat kita
lakukan. Bahkan itu pula yang minimal kita harus dilakukan.
Bab
Ketiga
NILAI-NILAI
ETIS
Manusiawi.
Etika berbicara tentang apa yang seharusnya. Tentang apa yang “benar”, “baik”
dan “tepat”. Tapi supaya anda tidak bingung dikemudian hari, baiklah dari
semula anda ketahui, bahwa tidak semua yang “benar”, “baik” dan “tepat”,
mempunyai sangkut-paut dengan etika.
Filsafat Hidup.
Mengapa untuk hidup orang memerlikan filsafat hidup? Mengapa ilmu-ilmu yang ada
tidak cukup? secara
umum dan sederhana itu dapat di jawab. Karena
ilmu-ilmu itu kita perlukan untuk menjelaskan kenyataan. Mereka menjawab
pertanyaan: apa? What is? Oleh karena
itu, mereka amat berguna. Apalagi, bukan hanya itu. Ilmu-ilmu itu secara ilmiah
juga menjelaskan pertanyaan: mengapa? Why? Menjelaskan hukum-hukum alam tentang
sebab-akibatnya sesuatu gejala. Nilai-nilai.
Etika adalah tentang nilai-nilai. Ia menyangkut keyakinan tentang yang benar,
yang baik dan yang tepat. Setiap orang mempunyai nilai-nilai yang dipeganginya. Tapi
tak semua orang tak tahu persis apa itu.
Nilai
adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan
seseorang. Nilai selalu menyangkut
tindakan. Nilai diukur melalui tindakan. Itulah sebabnya etika menyangkut
nilai. Menurut Steeman, nilai adalah yang memberi makna
kepada hidup ini titik-tolak, isi dan tujuan. Seorang psikolog dalm bukunya VALUE AND TEACHING, menulis bahwa ada 7
hal yang membuat sesuatu itu nilai dalam arti yang sebenarnya. Yaitu yang
pertama nilai adalah sesuatu yang kita hargai dan jujung tinggi, kedua bahwa
kita bersedia mengakui dan menyatakan didepan orang lain, ketiga nilai itu
dipilih secara bebas bukan dengan terpaksa, keempat nilai yang dipilih setelah
mempertimbangannya dengan cara sadar. Kelima nilai dipilih dengan bebas dan
sadar dari banyaknya pilihan yang ada. Enam dan ketujuh nilai itu nyatakan
melalui tindakan kita. Dan bukan tindakan yang sekali-kali saja tetapi secara
berulang-ulang dan terus menerus.
Fungsional dan Ideal.
Apa yang maksimal dapat kita lakukan itu adalah nilai-nilai fungsional.
Nilai-nilai yang fungsional adalah nilai-nilai yang telah kita kompromikan dengan
keadaan. Tetapi
kita juga tahu bahwa ada orang-orang yang tidak bersedia untuk berkompromi.
Orang-orang ini hanya bersedia untuk hidup dengan nilai-nilai mereka yang
murni, apapun konsekwensinya. Nilai-nilai ini di sebut nilai-nilai yang ideal. Persoalan etis adalah persoalan
bagaimana meneliti jalan di antara yang fungsional dan ideal itu. Bagaimana
kita tetap realitas, tetapi tanpa jatuh menjadi konformis (ikit-ikutan). Bagaimana kita tetap
idealis, tanpa menjadi naif dan fanatik. Bagaimana
kita dapat menjadi fungsional didalam tindakan tetapi tetap ideal dan
bersemangat. Bagaimana kita tetap realistis, tetapi sekaligus tetap memelihara
ideal kita selalu menyala. Filsuf Amerika yang besar, John Dewey menunjukan
jalan. Ia mengatakan bahwa fungsi ritual atau upacara-upacara yang terjadi
dalam hidup kita adalah untuk itu. Apa yang kita tidak dapat laksanakan didalam
praktek kehidupan kita laksanakan dalam ritual. Yang jelas ini. Didalam
kehidupan etis kita, kita tak dapat hanya memilih salah satu: yang ideal atau
yang fungsional. Kehidupan etis adalah pergumulan yang dinamis dan kreatif yang
berjalan setiap saat terus-menerus untuk menjembatani keduanya. Agar kita tidak
menjadi idealis-idealis yang picik, atau kompromis-kompromis yang murahan. Etika berbicara tentang nilai-nilai etis. Secara
singkat sebuah tindakan yang disebut etis apabila berakar pada totalitas dari
apa arti menjadi manusia yang penuh itu. Etis bila ia setia pada kemanusian
tetapi tidak etis apabila ia bertentangan dengan kemanusian. Itu yang menjadi
tolak ukur kita.
Bab Keempat
KESADARAN
ETIS ITU BERTUMBUH
Diatas
telah dikemukakan, bahwa ilmu tidak dapat menjawab semua perkara persoalan etis, tetapi bukan tidak bermanfaat. Etika
juga harus memanfaatkan temuan-temuan dari ilmu-ilmu lain. Salah seorang
psikolog yang cukup termashur yaitu Lawrence Kohlberg menjadi terkenal oleh
karena temuannya bahwa kesadaran etis manusia itu bertumbuh menurur enam
jenjang. Dari satu jenjang ke jenjang lain, Kohlberg melihat sikap manusia yang
semakin terbuka kepada sekitarnya. Semakin dewasa pertumbuhan kesadaran etis
seseorang, semakin terbuka ia kepada orang-orang lain. Analisa Kohlberg ini menarik, oleh karena ia dapat
kita pakai untuk mengetahui jenjang kesadaran etis berada. Kohlberg membagi
jenjang kesadaran etis (ia mengunakan istilah moral) seseorang kedalam tiga
tahapan besar. Yang pertama ialah tahapan moralitas pra-konvesional. Dan yang
kedua ialah tahapan konvensional. Dan yang ketiga ialah tahapan
purna-konversional. Setiap tahapan
dibagi menjadi dua jenjang. Sehingga seluruhnya kita memperoleh enam
jenjang.
·
Moralitas
Pra Konvensional: kekanak-kanakan
Pertama,
mengenai istilah konvensional. Hidup bermasyarakat adalah hidup yang diatur
oleh kesepakatan-kesepakatan umum mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Didalam tahapan moral konvensional, biasanya pada orang-orang
dewasa, orang mematuhi kesepakatan-kesepakatan itu dengan rela dan sadar.
Artinya, karena orang menyadari bahwa kesepakatan-kesepakatan itu benar dan
baik. Tetapi tidak begitu pada tahapan moral
pra-konvensional. Mereka belum mempunyai kesadaran tentang benar dan salah,
tentang yang baik dan jahat.
Jenjang pertama.
Kohlberg menamakan jenjang yang paling awal dari kesadaran etis seseorang,
sebagai kesadaran yang berorientasi kepada “hukuman”. Contoh: mengapa si Ujang tidak mencuri kueh?oleh
karena takut hukuman oleh ibu. Itu sebabnya ia patuh. Jadi persoalannya
bukanlah apakah mencuri itu baik atau buruk. Persoalannya ialah pada
hukumannya? Pada anak-anak, pertimbangan ini tentu saja dilakukan secara
mekanis artinya tidak secara sadar.
Jenjang kedua.
Pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi
sudah lebih rasional. Tidak terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang-orang sudah
menghitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang
kedua ini, adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan
mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Tindakan
moral seseorang adalah alat atau instrument untuk mencapai tujuan diatas.
Kohlberg mengatakan bahwa nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat
instrumental. Artinya sebagai alat untuk mencapai kenikmatan yang
sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya.
·
Moralitas
konvensional: Orang tua
Pada moralitas yang
konvensional, titik pusat adalah diri sendiri. Pada moralitas yang
konvensional, cakrawala pemikiran seseorang sudah jauh lebih luas. Orang sudah
benar-benar memperhitungkan orang-orang lain. Berusaha sedapat-dapatnya untuk
memenuhi harapan masyarakat sekitarnya. Dan sedapat-dapat untuk tidak melakukan
apa yang dilarang.
Jenjang ketiga.
Anak-anak telah bertumbuh.
Dengan sadar, mereka berusaha untuk menjadi anak-anak yang “baik” atau menurut
istilah yang lebih lazim: “anak baik-baik”. Mereka berusaha untuk melakukan apa
yang dikatakan kepada mereka. Menjadi anak yang taat dan patuh. “menguyah dengan tutup mulut”,”cuci tangan sebelum
makan”,” berdoa sebelum tidur”,” bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua. Jenjang
ketiga ini jelas terarah kepada bagaimana menyenangkan orang lain. Orang tidak
lagi diperbudak oleh dirinya. Ia mulai bebas ke luar, tidak lagi diliputi oleh
ketakuatan-ketakutan, yang ada ialah, melakukan yang “benar” dan yang “baik”
(walaupun tidak menyenangkan). Dengan menjadi anggota kelompok yang baik. Dalam
hubungan inilah Kohlberg melihat bahwa jenjang selanjutnya merupakan perkembangan yang berati.
Jenjang
keempat. Apabila terjadi konflik
loyalitas. Yang dijadikan dasar untuk memilih dan mengambil keputusan, adalah
kita harus merujuk kepada suatu prinsip atau hukum tertinggi. Yaitu hukum objektif
yang tidak berlaku untuk satu kelompok saja. Tetapi hukum yang mempunyai
keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih berdimensi universal. Inilah orentasi
dari moral pada jenjang keempat. Pada jenjang ini, seseorang sudah berhasil
menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk menengok dan berpegang pada
yang lebih luas lagi.
·
Moralitas
Purna-Konvensional: Dewasa
Menurut
Kholberg, jenjang keempat belumlah merupakan puncak perkembangan moral manusia.
Memang dibandingkan dengan moralitas prakonvensional yang berpusat pada diri
sendiri, moralitas konvensional mempunyai cakrawala yang jauh lebih luas.
Bahkan pada jenjang yang keempat, cakrawla tidak lagi terbatas pada kelompok
yang parokhial, tetapi lebih universal.
Tetapi tetap belum universal dalam arti sesungguhnya.
Ketetapan-ketetapan yang ada bagaimanapun hanya berlaku dalam batas-batas
kelompok tertentu. Moralitas Purna-konvensional atau moralitas
yang dewasa artinya: moralitas yang tidak lagi tergantung kepada faktor dari
luar. Bukan orang lain atau kelompoklah yang harus mengambil keputusan mengenai
apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Melainkan saya sendirilah
yang harus mengambil keputusan itu. Ini berarti fokus kembali pada dari
sendiri, tetapi tidak dalam arti kembali pada tahap pra-konvesional. Sebab
sekalipun diri sendirilah yang harus mengambil keputusan, keputusan-keputusan
yang diambilnya
itu tidak berpusat pada kepentingan diri sendiri. Berpusat pada kepentingan
kelompok pun tidak. Tetapi kepada sesuatu yang universal. Itulah yang akan di
jelaskan di bawah ini.
Jenjang kelima.
pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri tidak
dipertanyakan. Mempertanyakan malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang kelima
ini, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada sebenarnya tidak lain adalah
kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antara manusia yang melahirkan hukum. Oleh
sebab itu kesepakatan antar manusia
pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta merta dianggap kudus
yang tidak dapat diubah. Bila hukum tak
lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah. Kita harus menciptakan hukum yang
lebih benar dan lebih baik. Manusia memiliki akal yang mempunyai fungsi kritis,
mempunyai akal yang kreatif. Pada jenjang kelima akal mampunyai fungsi yang
sentral.
Jenjang keenam.
Pada jenjang keenam inilah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai
puncaknya. Yaitu moralitas yang pantang menghianati suara hati nurani dan
keyakinan tentang yang benar dan baik.
Manusia melakukan tindakan-tindakan yang seringkali tidak tercena akal sehat
menusia biasa. Moralitas manusia bukan irasional tetapi melampaui di luar
rasio. Moralitas yang trans-rasional. Teori Kohlberg justru sangat bermanfaat
untuk kita menilai diri kita sendiri. Kohlberg
berbicara tentang sebuah sikap etis yang amat penting, tapi yang sering
terlupakan. Yaitu pertama, kita harus terlebih dahulu berusaha memahami sesuatu
sedalam-dalamnya, sebelum menilai. Dan kedua prinsip-prinsip etis yang kita
yakini itu pertama-tama harus berlaku untuk kita, sebelum kita terapkan kepada
orang lain. Kesadaran moral seseorang
itu bertumbuh tetapi pertumbuhan tidak selalu berlaku merata dan sekaligus bagi
seluruh sektor kehidupan manusia.
Bab
Kelima
ETIKA
ITU PENJARA
Kohlberg
di dalam bab terdahulu ingin mengatakan
bahwa moralitas yang dewasa
adalah moralitas yang di dalamnya manusia mengambil keputusan-keputusan sendiri
sebebas-bebasnya. Persoalannya ialah: bebaskanlah manusia itu? Atau sebenarnya,
ia terpenjara? Itulah pokok masalah yang akan dibicarakan di dalam bagian ini.
Penjara
sosial. “seluruh dunia adalah panggung sandiwara” begitu kata William Shakespeare,
sang pujangga setiap kita adalah pelakon-pelakonnya. Tetapi tidak ada seorangpun yang menceritakan naskahnya
sendiri. Naskah skenarionya sudah ada. Kemudian kita tinggal melakoninya bahkan
kita bisa berimprovisasi. Tapi kita tidak bisa melawan naskah. “manusia
itu dilahirkan bebas.tapi dimanapun ia berbelenggu. Ia berpikir bahwa ia adalah
tuan atas yang lain. Sesungguhnyalah, ia lebih budak dari mereka”. Yang
mengatakan ini Jean Jacques Rousseau, pemikir Prancis yang yang sangat besar. Ia benar. Kita dipenjara oleh
nilai-nilai etis kita sendiri. Kadang-kadang kita menyadarinya. Lebih sering
kita tidak menginsyafinya. Bagaikan budak yang merasa bebas. Kata-kata arif
pujanga Jawa, Ronggo Warsito. Ia mengatakan, bahwa sebaik-baiknya orang yang
tidak sadar, masih lebih baik dari orang eling, orang yang sadar. Sebab itu marilah kita menyadari penjara-penjara kita.
Marilah kita menyadari penjara-penjara sosial kita. Bahwa masyarakat kita hidup
sebenarnya terbelengu. Edward Stevens, dalam bukunya THE
MORALIS GAME, mengatakan bahwa setiap orang termakan oleh propaganda masyarakat
di mana mereka hidup. Tapi propaganda yang baik adalah yang diterima tanpa tahu
bahwa itu adalah propaganda. Sebab itu, orang jarang menyadari penjara
sosialnya. Menganggap dengan sepenug hati bahwa apa yang biasa dilakukannya itu
adalah satu-satunua yang baik dan benar. Menjadikkannya ukuran untuk menilai
yang lain. Penjara Ekonomi. Yang pertama-tama dengan amat jelas dan terperinci
menunjukkan betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi itu atas seluruh segi
kehidupan manusia, adalah Karl Marx. Ia
mengatakan
bahwa siapa yang menguasai ekonomi, ialah yang menguasai manusia. Seluruh
tindak-tanduk manusia dikendalikan oleh motif-motif ekonomi. Di dalam
masyarakat, ekonomi adalah struktur-bawah yang memberi bentuk dan corak pada
semua yang ada pada struktur-atas. Oleh karena itu ajaran agama, sistem
politik, corak budaya bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tak lain adalah pencerminan belaka
dari sistim ekonomi yang ada di baliknya. Tidak ada satu peristiwa sejarah
sejarahpun di dalam dunia inin yang tidak dapat dijelaskan dengan
karegori-kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan, bahkan
penjajahan selalu mempunyai motif-motif ekonomi.
Agama
pun tak terlepas dari ekonomi. Menurut Marx, agama adalah alat legitimasi (alat
untuk mengesahkan) dari kelas ekonomi tertentu. Mengapa kekristenan yang pada awalnya bersifat revolusioner,
kemudian berubah corak menjadi anti revolusi? Menurut Marx, karena agama
kristen telah dikuasai oleh kelas kapitalis dan borjuis. Ajaran “kasih” yang
mula-mula bersifat revolusioner, sebab mengangkat harkat dan martabat kelas
bawah, telah berkembang menjadi anti revolusioner, sebab diartikan sebagai
larangan untuk membrontak bagi golongan yang tertindas. Mengapa gologan elit cenderung untuk bersikap
konservatif dan anti perubahan? Sebab perubahan berarti membahayakan
privilese-privilese(hak-hak istimewa)yang menguntungkan ekonominya. Ekonomi
kita kadang-kadang menentukan
nilai-nilai etis kita. Ekonomi memenjarakan nilai-nilai etis kita.
Keterpenjaraan
manusia oleh struktur-struktur yang ada di dalam masyarakat dijelaskan lebih
lanjut oleh Mary Douglas di dalam
bukunya NATURAL SYMBOLS. Douglas mengatakan bahwa masyarakat manusia itu pada
hakekatnya dapat dibagi menjadi empat tipe. Tipe-tipe itu tetgantung dari
struktur atau susunannya. Dan susunan suatu masyarakat itu dapat dijelaskan
berdasarkan dua faktor utama. Faktor yang pertama adalah kelompok. Sedangkan
faktor yang kedua adalah faktor individu. Struktur suatu masyarakat ditentukan
oleh bentuk hubungan antara kedua faktor utama tadi. Dan ini pula yang
menentukan nilai-nilai etis seseorang, nilai-nila etis seseorang ditentukan
oleh tipe masyarakat dimana ia hidup.
Begitulah menurut Douglas. Marilah kita mengikuti teorinya dalam bentuk yang
sudah disederhanakan. Demikian.
Tipe
yang pertama, adalah tipe bagi masyarakat yang amat menonjolkan faktor
kelompok. Kelompok adalah segala-galanya. Tanpa kelompok, individu tidak mempunyai
arti apa-apa. Sebab itu yang paling terpenting bagi individu di dalam
masyarakat itu adalah, bagaimana untuk tetap
berada di dalam kelompok. Ada batasan yang jelas antara “orang dalam” dan
“orang luar”. Dikeluarkan dari kelompok, atau dijadikan “orang luar”, adalah
nasif yang lebih buruk dari pada mati.
Ia tidak mempunyai arti apa-apa lagi.
Tipe
yang kedua adalah yang sepenuhnya bertolak belakang dari tipe yang pertama. Di
sini faktor individu amat ditonjolkan, apa yang dikutuk pada tipe pertama, justru
disanjung pada tipe kedua. Si pendosa
pada tipe pertama, menjadi orang suci pada tipe yang kedua. Yang penting adalah
bagaimana kita hidup. Tentang nilai etis apa yang lahir
dari tipe masyarakat seperti ini, juga tidak sulit kita bayangkan. Kerja keras
dan prestasi adalah nomor satu, sukses pribadi sangat terpuji. Gagal atau tak
mampu berkembang adalah cela terbesar, kemalasan dan kebidohan merupakan dosa
tak berampun. Tipe yang ketiga menurut Douglas adalah, tipe masyarakat dimana
baik faktor kelompok maupun faktor individu sama-sama mendapat penekanan. Pada
satu pihak kelompok penting. Sebagai kelompok, ia tersusun rapi. Apa yang
diharapkan dan ditetapkan oleh kelompok amat jelas dan terperinci. Yang penting kita tetap dalam kelompok. Sebab itu
siapa orang dalam dan orang yang diluar juga jelas batas-batasnya. Tapi
pada pihak lain,
prestasi, kerja keras dan prakasa pribadi juga sama pentingnya. Tiap-tiap
individu mempunya fungsinya sendiri-sendiri. Hanya saja apa bila individu
melaksanakan fungsinya sekreatif mungkin dan semaksimal mungkin, kelompok dapat
berjalan baik.
Sebab itu kelompok memberi kesempatan dan dorongan kepada individu-individu
untuk berfungsi sebaik mungkin. Pada tipe yang ketiga ini, ketidaksetiaan
kepada kelompok dan ketidak disiplinan melaksanakan tugas merupakan cela.
Prakarsa pribadi memang didorong
tetapi tidak ditekankan. Yang penting adalah disiplin dan efisiensi
melaksanakan fungsi masing-masing.
Akhirnya ada tipe yang
keempat, yaitu tipe masyarakat yang tidak menekankan baik faktor kelompok
maupun faktor individu. Sebagai contoh baiklah
kita ambil kelompok-kelompok heppie yang ramai pada tahun enam puluhan. Disini
keanggotaan dalam kelompok tidak penting. Siapa di dalam dan siapa di luar juga
tidaklah penting. Tidak diperdulikan. Tidak ada syarat-syarat keanggotaan yang
ketat. Sebagai pribadi juga, tidak ada semacam kewajiban yang dipenuhi.
masing-masing bebas melakukan apa yang ia kehendaki dan senangi. Nilai-nilai
etis yang terpenting didalam tipe keempat ini adalah kesungguhan otentisitas
pribadi dan kejujuran pada diri sendiri. Dosa
yang paling tercela adalah: kemunafikan, keewenang-wenagan terhadap orang lain,
dan membiarkan diri dalam mandeg dan frustasi. Setiap orang berada dalam
penjara sosial-ekonomi-budayanya masing-masing. Disadari maupun tidak disadari.
Reihold Niebuhr, dalam bukunya THE RESPONSIBLE MAN IN THE IRRESPONSIBLE
SOCIETY(manusia bertanggung jawab didalam masyarakat yang tidak bertanggung
jawab). Masyarakat yang mulanya diciptakan oleh manusia, kini menjadi suatu
kenyataan yang objektif yang berada diluar kendali si penciptanya. Bila
masyarakat adalah penjara , maka penjara itu memang pada awalnya di ciptakan
sendiri.
Bab
Keenam
ETIKA
ADALAH PERAN
Ini adalah wilayah ketiga. Dan ketika berbicaran
tentang kebebasan kita akan teringat yag dikatakan oleh Jean-Paul Sarte, filsuf
eksistensialisme yang besar di Prancis.ia berkata” manusia dikutuk untuk merdeka,
memikul beban seluruh dunia di atas pundaknya; untuk di pertanggung jawabkan
sendiri. Bebas.
Gambaran sebuah panggung pertunjukan tentu amat berbeda dengan sebuah penjara.
Penjara membuat kita merasa sumpek dan pengap. Panggung pertunjukan membawa
rasa kebebasan. Etika penjara melihat hidup ini serius dan tidak dapat diubah.
Hidup yang keras dan berat. Di sana orang hidup dalam penindasan determinisme
masyarakat atau ekonomi. Etika panggung pertunjukan samasekali berbeda. Di atas
panggung itu saya adalah pemain. Tapi juga penulis lakon, dan sutradara
sekaligus pengharapan serta kebebasan menggantikan
keputusasaan dan keterbelengguan. Tom Stoppard menulis
begini” pasti ada suatu ketika, pada awal sekali, takkalanya kita dapat
mengatakan tidak! Namun itu biar
kita lewat”. Bila hidup di pandang atau digambarkan
sebagai penjara, ia memang akan merasa tidak berdaya. Dan oleh sebab itu tidak
berupaya apa-apa. Tapi bayangkanlah, bila ia yakin dapat menulis lakon hidupnya
dan memilih perannya sendiri dengan bebas. Ia akan berusaha, mungkin gagal,
pasti amat sulit. Tapi bisa saja berhasil. Seorang psikiater Amerika Thomas
Szasz, mengatakan bahwa keberhasilan untuk mengatasi ketergantungan atau
kecendrungan sesuatu, amat tergantung kepada pandangan hidup orang yang
bersangkutan. Bila kita melihat
hidup ini sebagai sepenjara
ia akan gagal. Bila ia melihat hidup ini pilihan yang perannya bebas, ada
kemungkinan ia akan berhasil. Demikianlah, hidup
ini mungkin memang sebuah penjara. Tetapi kalaupun ia benar-benar sebuah
penjara, maka penjara itu adalah ciptaan kita sendiri. Kitalah sendiri yang
memutuskan untuk berada di dalamnya. Atau paling sedikit, kitalah yang
memutuskan untuk tidak mau keluar dari situ. Kita tidak mau mengganti peran
kita.
Memilih.
Kebebasan bukanlah cita-cita. Kebebasan adalah kenyataan yang ada pada setiap
kita. Bila kemungkinan kita tidak bebas, itu adalah karena di dalam kebebasan
kita, kita memilih untuk tidak bebas. Juga ketidakbebasan adalah tanda
kebebasan manusia. Kebebasan itu bukanlah sebuah konsep abstrak yang ada di
luar manusia. Ia merupakan kenyataan yang ada di dalam diri setiap orang, tidak
diluarnya. Kebebasan itu begitu kongkret, begitu nyata sebab kebebasan itu
adalah tindakan manusia atau lebih tepat, tindakan manusia itu adalah bentuk
kebebasan manusia. Allen
Wheelis, dalam bukunya HOW PEOPLE CHANGE, pada pokoknya mengatakan dua hal.
Pertama, siapa kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan dan kedua, kita bebas
memilih apa yang kita lakukan.
Tindakan kita=kita kita,
ini bukan sesuatu yang baru. Tindakan itu berbicara lebih keras dari pada
kata-kata. Seorang dapat mengatakan bahwa ia adalah seorang kristen yang taat. Contohnya:Saya mempercayainya. Tapi hanya sampai saya
melihatnya sendiri tindakan-tindakanya.
Tindakan kita, pilihan
kita. Saya sudah berusaha untuk tidak
merokok. Tapi saya gagal. Saya tidak melakukuan apa-apa tanpa rokok. Rupanya
saya akhirnya harus menyerah kepada kenyataan, bahwa saya ini memang perokok.
Apa boleh buat hidup kita tidak ditentukan oleh nasib. Bila tindakan yang
melahirkan sebab, maka tindakan pula yang dapat memperbaiki akibat. Bukan
keputusan dewa-dewi manapun juga. Tetapi siapa kita sekarang ini adalah buah
dari tindakan-tindakan yang kita ambil secara bebas pada waktu lalu. Tindakan
itulah yang menentukan identitas kita sekarang. Memang sulit diubah, tapi bukan tidak mungkin untuk kita ubah. Yang
perlu dilakukan hanyalah kemauan dan keberanian untuk merubah arah. perubahan
acap kali berjalan terambat lambat, menyakitkan dan sangat sulit. Ya, namun
bila terjadi, hasilnyapun akan mantap dan dapat bertahan lama. Inilah kekuatan
manusia.
Mengubah satu dimensi kita
dengan ulet dan tekun. Maka seluruh diri kita akan di ubahkan. Pola tindakan
kita menentukan diri kita. Harus,
sudah barang tentu, ada hal-hal yang tak dapat kita ubah. Kita misalnya tidak
dapat mengubah hukum gaya berat atau tinggi badan kita atau cuaca di sekitar
kita. Tapi jangan katakan bahwa tak ada dapat kita ubah. Kita sering
memenjarakan diri kita sendiri. Sering kita telah menyerah kalah sebelum
bertempur. Apa yang kita katakan tentang diri kita sendiri itulah yang
membelenggu kita, sehingga kita tidak berdaya. Ketidakberdayaan kita itu tidak
ditentukan oleh tegarnya kenyataan yang ada diluar kita. Tapi oleh sikap kita
sendiri yang membutakan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tersedia.
Apa yang mungkin kita anggap
tidak mungkin.
Memang
ada dua pilihan bagi kita, yang pertama ialah kita selalu mengatakan harus.
Saya harus bangun pukul 5.00 pagi, walaupun sebenarnya saya masih ingin tidur
lebih lama. Harus, golongan kedua pantang mengatakan harus. Saya melakukan
sesuatu, bukan karena saya harus, tetapi karena saya mau. Saya memang mau
bangun pukul 5.00 pagi, karena saya tidak mau terlambat. Saya memang mau
makan dengan teratur, karena saya tidak mau diganggu oleh penyakit. Tetapi
bukan harus. Saya bisa berbuat lain, kalau memang saya mau, dan itu risiko saya. Keadaan kadang-kadang membatasi kemungkinan kita
untuk memilih.
Sartre. Berbicara tentang kebebasan, tidak mungkin
kita lakukan dengan menyinggung filsuf besar Prancis, Jean-Paul Sartre.
Terlepas dari setuju atau tidak setuju. Menurut
Sartre, seperti
halnya Wheelis, ada sebuah dimensi di dalam kehidupan manusia, di mana
seseorang sekedar adalah obyek permainan keadaan disekitarnya, tanpa dapat
berbuat apa-apa. Dimana orang di perhadapkan kepada suatu keharusan yang hanya
harus diterima. Suatu “faktualitas” begitu Sartre menyebutnya. Manusia hadir dan lahir dulu. Eksis dulu barulah
kemudian didalam kehadiran itu menciptakan esensinya. Maka hidupnya siapa dia
yang sebenarnya. Sartre memahami manusia sebagai kebebasan. Sartre
akan mengatakan, sikap etis yang terburuk adalah menggantungkan diri kepada
norma-norma etis kita yang sudah di tentukan. Buruk dan jahat, sebab itu
berarti manusia menyangkal dan mengkianati hakekatnya sendiri. Menurur Sartre
tidak ada norma-norma etis yang sudah jadi dan tinggal kita ikuti. Tidak
seorangpun dapat dan berhak untuk mengambil keputusan atau nama dan untuk kita.
Kitalah yang harus mengambil keputusan sendiri, dan karena itu seluruh resiko
atas keputusan itu adalah tanggungjawab kita sendiri.
Manusia
tidak mungkin mengelakkan diri dari kebebasannya untuk mengambil keputusan.
Bahkan ketika ia tidak mau memutuskan apa-apa, inipun adalah keputusannya. Kita
dikutuk mereka. Pandangan etis bukanlah hal “semau gue/sembarangan”Suatu
tindakan dapat disebut tindakan etis, bukan hanya oleh karena tindakan itu
sendiri, tetapi juga oleh apa yang mendorong dan menjadi motivasi tindakan
tersebut. Bukankah inti dari etika Yesus di dalam khotbah di bukit (Matius 5
dan 6) adalah bahwakita tidak bersalah bukan hanya karena kita tidak melakukan
apa-apa yang terlarang? Bahwa apa yang ada di dala pikiran dan hati kita,
sekalipun belum terungkap di dalam tindakan, dapat membuat kita bersalah? Bahwa
orang-orang farisi dikecam oleh Yesus, bukan karena ajaran atau kesalehan mereka,
tetapi oleh karena cara berpikir mereka. Sartre benar, keputusan yang otentik itu
amatlah menentukan di dalam etika. Seperti yang dikatakan oleh Dietrich
Bonhoeffer: kebebasan tanpa ketaatan adalah perbudakan hawa nafsu, sedangkan
ketaatan tanpa kebebasan adalah penindasan. Tanggungjawab adalah kedua-duanya.
Ketaatan di dalam kebebasan, dan kebebasan di dalam ketaatan. Itulah manusia
yang sebenarnya.
Bab
Ketujuh
ETIKA
ADALAH RASA
Rasa.
Ada orang yang membagi manusia menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, adalah
mereka yang lebih memakai rasio. Kelompok kedua, adalah mereka yang lebih
mengutamakan rasa, yang satu dikendalikan oleh otak. Yang lain dikendalikan
oleh hati. Etikapun demikian, kelompok yang pertama cenderung kepada etika yang kognitif.
Kelompok kedua terarah kepada etika yang emotif, yang satu mengatakan,
segala sesuatu mesti masuk akal. Yang lain mengatakan, percayailah perasaanmu. “le coeur a ses
raisons que la rasion ne connait point,” kata Blaise Pascal, artinya: hati
mempunyai rasionya sendiri, yang rasio tak dapat mengerti. Bab ini akan membahas tentang pemikiran (atau,perasaan
?) etis yang emotif.
Kasih itu cukup. Inilah sikap etis yang menggemparkan yang
pernah di perkenalkan oleh Joseph Fletcher, dengan apa yang di sebutnya Etika
Situasi. Pada dasarnya pemikiran Fletcher ini tidak berbeda dari Sartre. Bagi
Sartre dan juga Fletcher, tidak ada norma-norma etis yang bersifat obyektif dan
berlaku universal. Setiap keputusan etis selalu unik. Artinya, tak pernah dan
tak akan mungkin diulang . sebab setiap keputasan etis harus diambil di dalam
situasi tertentu, dan satu situasi hanya ada untuk sekali. Pemahaman seperti ini diberi julukan antinomian. Paham
yang tidak mengakui bahwa ada hukum di luar manusia yang secara sah dapat
mengendalikan tingkah laku manusia. Fletcher menolak julukan antinomian untuk
pemahaman etikanya. Sebab ia mengakui bahwa ada satu(dan satu-satunya) hukum
yang berlaku universal yaitu hukum kasih. Dan justru karena hukum kasih ini
bersifat universal, maka setiap keputusan etis adalah situasional.
Flecher tidak mengatakan (seperti Sertre), bahwa
setiap orang dapat secara bebas mengambil keputusan dan menentukan pilihan
etis. Manusia tidak bebas tanpa batas. Suatu keputusan dapat disebut etis
hanya apabila ia dapat mempertanggung jawabkan di
dalam terang satu hukum itu, yaitu hukum kasih. Kasih
adalah nilai etis yang utama dan pokok, bahkan satu-satunya norma etis. Setiap
tindakan, dan itu berarti tindakan apapun, yamg lahir dari kasih, adalah benar
dan baik dan tepat. Seperti kata Augustinus. “milikilah kasih, dan anda boleh
berbuat apa saja.” Toh yang dimaksudkan Fletcher bukanlah kasih sembarang
kasih. Bahasa Yunani mempunyai tiga ungkapan untuk kasih. Yamg pertama, adalah
philia. Philia adalah kasih persahabatan. Yang kedua, adalah kasih eros. Eros
adalah kasih asmara. Yang ketiga adalah kasih agape. Agape adalah kasih yang
sejati, yang universal.
Kasih philia. Mengasihi, supaya. Memberi dan menerima.
Take dan give. Kasih persahabatan. Mutualis. Bukan kasih yang dimaksudkan oleh
Flecher. Kasih eros. Kasih. Karena, kasih karena menerima. Romantis,
sentimental, emosioanal. Bila philia selalu mutualis, sebab persahabatan selalu
bersifat timbal-balik, eros tidak. Kasih eros bisa satu arah saja.
Seperti eros, agape juga bisa satu arah. Tapi dalam arah yang berlawanan. Eros
ingin menerima. Agape ingin memberi, agape hanya menginginkan yang terbaik bagi
yang dikasihi. Berbeda pula dengan eros, agape tidak romantis, tidak
sentimental, tidak emosional. Bila eros dan philia selalu bersifat terbatas, hanya mengenai satu
orang atau beberapa orang tertentu, agape bersifat universal. Ia menyangkut
semua orang lain. Ia tertuju
baik untuk mengasihi maupun yang membenci, ia tertuju baik untuk yang mengasihi
maupun yang membenci. Ia terarah bagi yang pantas maupun yang tidak pantas
untuk dikasihi. Ia tidak mengajukan syarat. Mengasihi, meskipun. . . kasih dalam arti agape inilah
yang dimaksudkan oleh
Fletcher.
Moralitas baru.
Pandangan Joseph Fletcher juga dikenal orang dengan sebutan moralitas baru.
Disebut baru, oleh karena berbeda dengan moralitas yang lama, ia tidak
menggantungkan diri kepada hukum-hukum yang eksternal dan obyektif. Disebut
baru, oleh karena berbeda deng moralitas yang lama, ia tidak secara hantam
kromo mau menerapkan satu norma untuk manusia situasi. Kasih itulah yang
menuntut agar setiap situasi dihormati keunikannya. Apa yang di sebut kasih
pada situasi, bisa saja bukan kasih pada situasi yang lain. Yang ingin di
tekankan oleh Flectcher adalah, bahwa setiap tindakan manusia hendaknya selalu
berorientasi pada kasih terhadap sesama di dalam situasi yang unik dari orang
yang kita kasihi itu. Nilai etis tidak terletak pada suatu tindakan obyektif
tetapi pada kasih yang subjektif yang diterjemahkan melalui tindakan tertentu.
Tindakan apapun saja bisa dibenarkan sebgai tindakan
etis, asal saja di lakukan oleh karena kasih. Tidak ada larangan atau perintah
yang bersifat mutlak. Segala sesuatu itu tergantung kepada situasi dan kepada
motivasi.
Kasih itu irasional?
Benarkah bahwa Fletcher mengatakan kasih itu buta? Benarkah bahwa pandangan
etika Flecther adalah sepenuhnya irasional? Apakah ia ingin mengatakn,
seperti Sartre, bahwa hidup ini begitu
absutdnya sehingga tidak ada petunjuk-petunjuk obyektif yang dapat menuntun
kita? Jawabnya adalah: tidak mungkin Flecther, kasih itu tidak buta. Kasih yang
benar selalu menuntut perhitungan-perhitungan rasional. Orang harus memikirkan
secara seksama konsekwensi-konsekwensi setiap tindakkanya. Situasi itulah yang
menuntun orang untuk sampai pada pengertian tentang apa kasih itu.
Kasih saja tidak cukup.
Fletcher tidak seluruhnya salah, melalui etika
situasinya, ia memberi peringatan yang amat penting kepada kita. Yaitu bahwa
hendaknya kita tidak tergesa-gesa dan dengan semena-mena menghakimi tindakan
orang lain hanya berdasarkan hukum-hukum yang obyektif. Yaitu, bahwa hendaknya
kita dengan penuh pengertian menilai seorang tanpa terlepas dari situasi yang
unik di mana orang itu berada.
Etika Emotif, suatu pendekatan filsafati yang disebut
analisa lunguistik. Yang dipelopori kedua tokohnya, yaitu masing-masing
A.J.Ayer dengan bukunya LANGUAGE, TRUTH AND LOGIC, serta Charles Stevenson
dengan karangan karyanya ETHNICS AND LANGUAGE. Ini penting untuk kita ketahui,
sebab tanpa sadar tentang apa sebabnya banyak orang tiba pada kesimpulan yang
dengan Ayer dan Stevenson. Menurut para pemikir analisa linguistic,
pertengkaran yang tanpa akhir tentang persoalan-persoalan etis, sesungguhnya
berpangkal pada kesalahkaprahan bahasa. Orang mengunakan bahasa yang salah.
Ibarat orang memasuki lapangan golf dengan perlengkapan untuk bermain bola, dan
mencari dimana letak gawang. Terjadi kekacauan di sini.
Soal
keyakinan? Muara dari pandangan etis seperti yang dikemukakan di atas, adalah
kita tidak dapat mengatakan apakah suatu pandangan eis tertentu itu benar atau
salah. Persoalan di dalam etika, bukanlah soal benar atau salah. Tetapi,
persoalan cita rasa siapa yang menang. Sebab itu, tanpa kita sadari, pernyataan-pernyataan etis
yang sering kita ucapkan itulah yang benar. Para filsuf profesional hanya mengenal dua kebenaran,
yang pertama ialah kebenaran yang dihasilkan oleh hukum-hukum logika. Lalu yang
kedua, ialah kebenaran yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian ilmiah. Namun
orang-orang biasa tahu lebih banyak dan lebih baik dari mereka. Mereka tahu
bahwa keyakinan etis adalah masalah kebenaran dan bukan sekedar soal cita rasa.
Tentu keyakinan ini tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara matematis atau
secara ilmiah di laboratorium. Tetapi bukan berarti tidak benar. Etika adalah soal sikap(yang lahir dari
perasaan)tetapi juga soal keyakinan(tentang yang benar dan yan salah). Etika
adalah sikap dan keyakinan yang jalin-menjalin menjadi satu. Sikap mempengaruhi
keyakinan. Ini membentuk dimensi emotif dan irasional etika.
Bab
Kedelapan
ETIKA
ADALAH AKAL
Pertama-tama,
etika harus belajar dari ilmu psikologi. Lawrence Kohlberg mengingatkan bahwa
etika bukanlah sesuatu yang statis. Bahwa kesadaran moral itu berkembang dan
bertumbuh. Bahwa yang benar dan yang baik itu relatif. Relatif dalam arti dan
hubungan dengan jenjang perkembangan moral seseorang. Namun demikian, Kohlberg
sebenarnya juga hendak mengatakan, bahwa kesadaran moral seseorang itu mencapai
puncak perkembangannya, ketika seseorang berani dengan dirinya sendiri dan
mengambil keputusan sebebas-bebasnya. Ketika orang yang benar mandiri dalam
arti seluas-luasnya.Tapi yang kedua etika juga mesti belajar dari ilmu
sosiologi. Maksudnya ialah,
agar kita tidak terlalu cepat bermimpi seolah-olah mengambil keputusan etis
dengan bebas adalh pekara gampang. Peter Berger, misalnya dengan tepatnya
mengingatkan bahwa norma-norma tentang apa yang benar dan baik itu
hampir-hampir tidak pernah terlepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Bahwa
pada hakekatnya tak ada seorangpun yang sungguh-sungguh bebas dari penjara sosialnya.
Faktor-faktor ekonomi juga sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mengambil
keputusan-keputusan etis. Dan kemungkinan Mary Dounglas menambahkan, bahwa tipe
masyarakat di mana seseorang hidup akan amat menentukan norma-norma tentang apa yang benar dan yang baik.
Manusia
itu sesungguhnya bebas, kata Sartre. Tapi kebebasan itu sering terasa sebagai
beban dan kutuk. Sadar atau tidak sadar, manusia tidak mau dan tidak berani
bebas. Ia menciptakan penjaranya sendiri untuk memperoleh rasa aman. Inilah
kendala mental yang pertama-tama harus di pecahkan. Tanpa ini, tak mungkin
terjadi pengambilan keputusan etis dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Joseph Flecher, dengan
etika situasai yang sempat menghebohkan, mengatakan bahwa patokan universal itu
ada, yaitu hukum kasih. Tapi justru oleh karena kasih merupakan patokan etis
universal yang satu-satunya, maka selain kasih tidak ada lagi patokan-patokan
etis yang lain bersifat mutlak
dan universal. Tindakan etis mempunyai satu arti saja: melakukan tindakan
kasih, apa tindakan kasih itu, sepenuhnya tergantung dari situasi. Setiap orang
harus mengambil keputusan tentang bagaimana menerjemahkan kasih itu di dalam
situasi tertentu. Dan ini harus dilakukan setiap kali, berdasarkan apa?berdasarkan“rasa”
artinya, berdasarkan apa pertimbangan-pertimbangan
subyektifnya. Sebab hanya dialah dan tak seorangpun yang lain yang berada di
dalam situasi itu.
Dia sendirilah yang harus mengambil keputusan, dan dia sendirilah
satu-satunya yang dapat memberi penilaian etis mengenai keputusan itu.
Kognitif bukan emotif.
Mengambil penilaian etis, adalah tindakan kognitif bukan emotif. Menyangkut
otak bukan hati. Apa yang benar
dan apa yang baik adalah apa yang serasi dan tidak bertentangan dengan hukum
kodrat. Yang dilakukan oleh akal ialah: menyingkapkannya, mengenalkanya,
merumuskannya.
Hukum kodrat. Alam
semesta mempunyai hukum-hukumya. Ini dapat diketahui melalui akal. Tidak secara
sekaligus tetapi lambat-lambat laun secara akumulatif. Tugas etika adalah
merumuskan kaidah-kaidah bagi tindakan agar sesuai dengan tata kodrati yang
berlaku.
Objektivisme.
Secara sadar hanya memilih akal. Akal memilih manusia untuk memilih
niali-nilai. Nilai-nilai mana yang kemungkinannya untuk bertahan hidup. Dan
nilai-nilai mana yang akan membuat kita lenyap. Tugas yang paling mulia dari
manusia ialah berpikir.berpikir bertindak dan memilih nilai-nilai yang
diperlukanuntuk bertahan hidup”survive”
Pragmatisme. “perubahan” adalah kata kunci untuk
pragmatism, seperti “survival” adalah kata kunci yang
objektivisme.”pragma”didalam bahasa Yunani, artinya ialah: tindakan. Sebab itu
pragmatime adalah filsafat yang menekankan tindakan. Tindakan etis adalah
tindakan yang menfaatkan akal semaksimal-semaksimalnya agar dapat mengatasi
lingkungan yang terus berubah.
Kemajuan tidak dapat diukur oleh tingkat teknologi.
Kemajuan manusia diukur apakah hidupnya lebih damai, lebih adil,dan seluruh
alam semesta lebih sejahtera.
Bab Sembilan
ETIKA KRISTEN
Etika Kristen, pertama-tama adalah etika. Ia tidak
unik. Ia bukan semacam bintang langka yang aneh dan ajaib. Ia biasa-biasa saja.
Sama seperti etika-etika yang lain pada umumnya. Salah satu bukan satu-satunya,
dari etika yang ada dari sejarah umat manusia. Jelas bukan yang tertua. Etika
Aristoteles dan Etika Konfusius jauh lebih tertua dari pada Etika Kriten. Oleh
karena etika Kristen itu salah satu saja, dan bukan satu-satunya dari etika
yang ada. Maka kita hanya dapat memahami Etika Kristen setelah kita memahami
apa sebenarnya etika itu secara umum. Ada persamaan-persamaan hakiki antara
Etika Kristen dan yang lain-lain yang menyebut diri mereka etika. Sama seperti
soto. Ada soto bandung, ada soto Madura, atau makasar. Satu dengan yang lain ada
perbedaannya,tentu. Tetapi jauh lebih banyak persamaannya. Bila sebab terlalu
banyak perbedaannya itu tidak di sebut soto. Itulah sebabnya kita terlabih
dahulu apa itu etika. Baru pada tahap yang terakhir kita belajar tentang
kekhasan Etika Kristen. Perjalanan wisata kita secara tersirat mau mengajarkan
kepada kita apa yang harus kita lakukan bila kita mau berbicara dan melakukan
Etika Kristen. Yaitu, harus ada kerendahaan hati. Harus ada ketebukaan. Harus
ada kesediaan belajar dari orang lain. Memanfaatkan apa yang dapat di
manfaakan.
Etika hanya memberikan kepada kita
pertimbangan-pertimbangan pokok sebagai bahan bagi kita mengambil keputusan.
Etika tidak menyajikan keputusan-keputusan. Etika memberikan
pertimbangan-pertimbangan untuk mengambilkan keputusan. Etika Kristen , oleh
karena ia pertama-tama etika, harus merupakan sesuatu yang terbuka dan dinamis
bergerak di dalam ruangan dan waktu. Analisa etis harus merupakan antar
interaksi yang disiplin ilmu, dengan konteks budaya sekitar, bereontasi pada masalah-masalah
kongkret. Dan peka tehadap perkembangan serta kencendurungan-kecendrungan
mutahir. Ini harus kita lakukan bila mau belajar Etika Kristen. Etika adalah
ilmu yang membahas mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang atau
kelompok tertentu. Persoalannya sekarang adalah apakah yang seharusnya itu? mengapa
dan dari sudut apa orang dapat mengatakan bahwa ini adalah yang seharusnya dan
bukan itu ? langkah yang pertama dalam metode etis, seperti yang telah
dikemukakan diatas, adalah untuk mendapatkan fakta dan objektif
selengkapnya(what is). Tapi data dan fakta hanya mengungkapkan apa yang ada dan
bukan seharusnya. Apa yang ada itu harus kita nilai menurut apa yang
seharusnya. Apa yang seharusnya itu mempunyai asumsi dasar untuk menilai apa yang
ada. Etika Kristen juga menilai apa yang ada berdasarkan kepercayaan pokok iman
kristiani. Yang membedakan Etika Kristen dengan etika lain ialah iman kristiani
yang dipakai untuk menjadi asumsi dasar didalam melakukan penilaiaan etis.
Gustafson mengatakan bahwa Etika Kristen itu tidak
hanya boleh hanya asal mengutip ayat-ayat Alkitab lalu beranggapan bahwa dengan
berbuat itu secara otomatis telah menjadi Etika Kristen .”Kristen” barangkali
ya tetapi apakah pantas di sebut “Etika”, belum tentu. Kasih terhadap sesama.
Ia menjadi prinsip di dalam Etika Kristen bukan oleh karena ia merupakan
prinsip yang universal, prinsip yang pada hakekatnya dapat secara rasional di
terima oleh semua orang yang waras. Yang terpenting ketika kita berbicara Etika
Kristen bukanlah bahwa ia begitu berbeda dengan etika-etika yang lainnya tetapi
justru sumbangan khas apa yang diberikan bagi semua orang. Etika Kristen tidak
mengandung kebenaran yang hanya berlaku dapat diketahui kelompok orang saja,
untuk dapat disebut”Etika”, ia harus mengandung kebenaraan yang berlaku bagi
setiap orang, yang dapat di terima semua orang. Ia dapat diterima oleh semua
orang, bukan terutama kebenaran yang universal yang dapat dipahami secara
rasional oleh semua orang. Etika Kristen
ternyata bukanlah etika untuk orang Kristen. Etika oleh orng Kristen
,ya. Sebab ia di pahami oleh asumsi-asumsi dasar iman Kristen. Tapi ia untuk
semua orang(universal). Etika Kristen harus bertitik tolak pertama-tama
kebaikan dan keistimewaan manusia sebai gambar Allah. Setiap keputusan dan
penilaian etis secara kristiani harus bersifat manghargai dan menghormati
hakekat manusia yang istimewa ini. Implikasi Etis. Apakah artinya secara etis
bila kita memahami manusia sebagai mahluk ciptaan bahkan sebagai gambar dan
rupa Allah yan baik, tetapi yang jatuh kedalam dosa, yang telah dibenarkan di
dalam diri Yesus Kristus dan dikuduskan melalui karya Roh Kudus?
Pertama mengatakan bahwa manusia adalah mahluk ciptaan
gambar Allah yang baik berarti, bahwa kebaikan eksistensi manusia bahkan
seluruh alam ciptaan harus menjadi asumsi dasar positif dalam setiap
pertimbangan dan penilaian etis kita. Asumsi dasar positif haruslah mengandung
pengertian-pengertian pokok iman yang digali dari iman Kristiani dan dapat
menjadi penuntun di dalam pertimbangan dan penilaian kita mengenai apa yang
seharusnya kita lakukan didalam dunia kebeberadaan kita. Ia bersifat afirmatif
dan imperative. Afimative artinya, ia menegaskan apa yang dapat menjadi
kenyataan asasi dibalik semua kenyataan(the really real). Dan imperative
artinya, ia kita sebagai kenyataan yang harus dan wajib yang menuntun tindakan
kita. Setiap tindakan etis haruslah dimulai dengan asumsi dasar positif ini.
Asumsi dasar positif inilah yang harus kita wujudkan di dalam setiap keputusan
kita. Kedua mengatakan bahwa manusia adalah mahluk ciptaan yang teah jatuh
kedalam dosa berarti, bahwa kedosaan manusia dan rusaknya seluruh alam semesta
harus menjadi asumsi dasar negatif dalam setiap pertimbangan etis kita. Asumsi
dasar menunjukan keterbatasaan manusia dan alam ciptaan yang membuat asumsi
dasar positif acap kali tidak mungkin terwujud sepenuhnya dan seutuhnya.
Sekiranya pertimbangan dan penilaian etis kita hanya
memperhitungkan asums dasar yang positif saja, maka yang terjad ialah kita
mamperjuangkn nilai-nilai yang indah tetapi yang tidak pernah mungkin terwujud
didalam kenyataan. Etika yang dipakai adalah etika yang idealistis yang
kehilangan relevansinya, oleh karena tidak memperhitungkan kenyataan
keterbataan manusia. Etika seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya akan
menghasilkan pemimpi-pemimpi yang hidup di awan-awan. Atau orang-orang yang
sinis dan frustasi oleh karena tak sanggup menerima sepenuhnya baik
keterbatasan dirinya maupu kerasnya
hidup ini. Asumsi dasar negative inilah yang membawa kita mendarat di bumi.
Pihak lain kalau kita memperhitugkan asumsi dasar yang negatif saja, dan
mengabaikan asumsi dasar yang positif, maka yang terjadi ialah kita akan hanya
terbenam dan tengelam didalam apa yang ada(what this), tanpa berdaya apa-apa
untuk memperjuangkan apa yang seharusnya(what ought).ini bukan sikap etis.
Setiap pertimbangan keputusan etis seharusnyalah merupakan proses pergumulan
yang intens dan sungguh-sungguh untuk secara dinamis dan kreatif
mengkonfrontasikan antara yang ideal dan yang fungsional. Sehingga kita tetap
setia kepada idealism kita, tanpa terhanyut-hanyut impian. Kemudian yang ketiga.
Mengatakan bahwa manusia yang pendosa itu telah dibenarkan dan dikuduskan
berarti, bahwa pergumulan etis kita selalu bergerak diantar kemungkinan dan
keterbatasaan.
Bab sepuluh
ASUMSI DASAR POSITIF
Setiap orang
boleh menentukan asumsi dasar positifnya sendiri-sendiri. Bahkan bukan saja
boleh tetapi perlu dan harus. Sebab inilah langkah pokok yang pertama, sebelum
seseorang dapat melakukan penilaian etis. Asumsi dasar positif ini janganlah
dia anggap sesuatu yang subjektif saja, yang setiap orang dengan sesuka hati
dapat menentukannya. Iaharus memenuhi kriteria yang objektif. Pertama, asumsi
dasar positif harus dapat dipertangung jawabka secara teologis alkitabiah. Ia
merupakan kritaslisasi dari asumsi-asumsi teologis yang paling pokok, dan
digali dari kesaksian Alkitab secara menyeluruh. Yang terkhir ini artinya: ia
tidak mewakili secara fragmentaris beberapa ayat yang secara acak di ambil dari
Alkitab. Melainkan harus konsisten dengan berita Alkitab secara menyeluruh,
dengan inti kesaksian Alkitab sebagai salah satu kesatuan. Kedua asumsi dasar
positif ini harus dapat dipertanggung jawabkan menurut penalaran yang umum,
sehingga paling sedikit secara hipotetis ia dapat dipahami dan diterima secara
universal. Asumsi dasar positif tidak boleh merupakan konsep-konsep yang
parochial, yang hanya berlaku dan dapat dipahami sebagai kelompok kecil orang.
Benar, asumsi dasar positif lahir dari rahim iman Kristiani. Tetapi
kebenarannya tidak hanya terbatas orang Kristen saja. Menentukan asumsi dasar
positif merupakan salah satu langkah penting dalam etika. Sebab inilah yang
menjadi tolak ukur segal sesuatu.
Di dalam bahasa Inggris, beban untuk mempertanggung
jawabkan tindakan yang berlawanan dengan asumsi dasar positif itu
disebut”burden of proof”. Ada 4 hal sebagai unsur sebagai Asumsi Dasar Positif
:
1.
Eksistensi semua ciptaan itu baik. Banyak hal yang telah
dikemukakan mengenai asumsi dasar positif yang pertama ini. bahwa Allah yang
Maha Baik adalah Pencipta segala sesuatu. Oleh karena itu, semua diciptakanNya
pada hakekatnya baik. Dan seluruh tujuannya dari penciptaan Allah tersebut
adalah untuk kebaikan ciptaanNya.
2.
Hidup setiap individu harus dihormati. Mengapa kita mengatakan
bahwa hidup setiap individu itu harus dihormati?bukan terutama dan pertama-tama
oleh karena setiap indvidu itu sendiri, setiap orang pasti mempunyai kekurangan
dan kelemahan. Seorang lebih layak untuk dihormati dari pada yang lain. Tentu
merupakan sesuatu yang tidak masuk akal apabila kita hormati sama besarnya
dengan seseorang yang justru berjuang keras dengan penuh pengorbanan diri untuk
membela hidup sesamanya. Ya. Titik tolak dari asumsi dasar positif kita yang
kedua ini, memang sekali lagi tidak terletak pada individu yang bersangkutan
itu sendiri. Melaikan pada nilai hakiki setiap manusia di tinjau dari sudut
hubungannya dengan Allah. Yaitu hubungan yang diciptakan dan anugerah oleh
Allah sendiri.
3.
Seluruh umat manusia itu satu. Mengatakan bahwa
kehidupan individual itu harus dihormati, sama sekali tidak berarti bahwa
manusia hidup dalam isolasi. Manusia diciptaan sebagai pribadi. Namun demikian , segera setelah itu adalah
Allah sendiri yang mengatakan” tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.
. .”(Kej 2:18), hubungan pribadi antara seseorang dengan penciptannya,
sebenarnya adalah dasar bagi hubungannya dengan sesame, di dalam satu keluarga
besat umat manusia. Nasionalisme hanya dapat dibenarkan secara etis, selama ia
bermanfaat untuk meruntuhkan tembok-tembok penghalang kesatuan manusia, dan
bukan sebaliknya mengukuhkannya.
4.
Semua orang itu sederajat.Tentu saja, tidak semua itu
sama. Ada orang yang berbakat, adapula orang yang kurang berbakat. Ada secara
fisik lengkap, ada pula yang cacat tubuh. Tetapi didalam rangka hubungan dengan
Allah, seperti apa yang pernah di uraikan , kita harus mengatakan bahwa semua
orang itu sederajat. Bahwa melampaui semua perbedaan-perbedaan individual itu,
setiap orang dan semua orang diciptakan dan dikasihi Allah. Kesederajatan semua
orang juga dapat kita simpulkan dari asumsi dasar positif kita tentang kesatuan
seluruh umat. Sebab tidak ada kesatuan dan persekutuan dalam arti yang
sesungguhnya, tanpa ada kesamaan dan kesederajatan semua orang. Kesatuan antara
atasan dan bawahan bukanlah kesatuan yang sebenarnya.
Bab sebelas
ASUMSI DASAR NEGATIF
Implikasi etis.
pertama-tama ia mengpertanyakan bahkan mengugat semua tindakan dan
kebijaksanaan manusia. Yang sadar maupun tidak disadarkan ats sesuatu asumsi
seolah-olah ada orang atau orang-orang yang bebas kemungkinan berbuat salah.
Sebaliknya setiap tindakan dan kebijaksaanan harus berdasarkan asumsi bahwa
semua orang dan setiap orang bisa berbuat salah. Bukan saja bisa, tetapi selalu
cenderung untuk berbuat salah, sebab semua orang mahluk yang fana dan berdosa
belaka. Kebebasan untuk berbeda pendapat bukan saja harus dilindungi tetapi
juga harus dirangsang dan didorong, oleh karena dari kekayaan pendapat itulah
setiap kali seluruh manusia memperoleh kemungkinan untuk mencari dan menemukan
yang ebih benar dan tepat. Bahkan suara dan pendapat mayoritas tidak pernah
boleh di anggap sebagai kebenaraan mutlak. Koreksi dari kelompok kecil
bagaimanapun selalu cukup berharga untuk mencari kebenaran dan kebaikan yang
lebih tinggi. Oleh karena itu, perdebatan umum tidak boleh semerta-merta di
anggap negatif. Demokrasi selalu mendorong dialog nasional untuk setiap
kebijakan yang akan di ambil. Sebab melalui inilah setiap keputusan diambil
secara partisipatif, artinya dengan mengikut sertakan sebanyak mungkin orang.
Memperhitungkan asumsi
dasar negative tidak berarti mengurangi kadar etis dari keputusan kita. Ia
tidak akan menjadi keputusan yang kurang etis. Potensi manusia pada mencari
yang paling benar dan paling baik. Tetapi kefanaan dan kedosaannya yang sering
kali menghalangi manusia untuk mewujudkan potensi itu sepenuh-penuhnya,
memperhadapkan kita kepada masalah”necessary evil”. Yaitu ketika kenyataan
manusia memaksa manusia untuk memilih antara yang jahat dan yang jahat. Ia
terpaksa memilih yang jahat-tetapi apa boleh buat.
Bab keduabelas
JAHAT-TETAPI-APA-BOLEH-BUAT
Masalah keharusan untuk
menerima pengecualian etis dan kebutuhan untuk berkompromi dengan yang jahat
dan yang salah, tenyata bukanlah cumin masalah modern saja. ia hadir sejak awal
sejarah manusia. Orang Kristen juga tidak bebas dari dilema ini. peperangan.
Menurut Agustinus. Adalah kejahatan yang teragis. Kita harus mengindarkannya
seberapa mungkin. Tetapi oleh kejatuhan manusia ke dosa, ia kadang-kadang
dibutuhkan untuk menghindarkan manusia jatuh dari kejahatan yang lebih besar.
Pemikir-pemikir kemudian, termasuk Thomas Aquinas dan Martin Luther. Leo
Tolstoy, dalam bukunya MY REGION, misalnnya mengatakan bahwa lebih baik kita
menderita oleh karena dosa, dari pada berusaha melawannya tetapi dengan akibat
kita terpaksa berkompromi dengannya. Menurut pendapatnya, inilah ingin yang di
ajarkan Yesus melalui khotbah di bukit. Bukunya yang lain, terutama THE KINGDOM
OF GOD IS WITHIN YOU, ia menulis bahwa justru oleh karena apa kita untuk
melawan kejahatan itulah, maka kita semakin tergantung kepada tentara, polisi
dan penjara. Prinsip kasih adalah prinsip yang tidak menyerah tetapi juga tidak
melawan(non-resistance).
Kasih adalah aktif. Kasih
adalah memilih. Menurut Luther, kasih malah berarti membenci dan melawan. Yaitu
membenci dan melawan segala sesuatu yang bertentangan dengan kasih. Kita tidak
menyangkal bahwa melawan kejahatan kadang-kadang justru berakibat pada
kejahatan. Tetapi membiarkan kejahatan adalah juga kejahatan. Jucques Ellul,
bukunya VIOLENCE: REFLECTIONS FROM A CHRISTIAN PERSPECTIVE,mengekaui bahwa
didalam hidup yang tidak bebas dari kuasa dosa, kekerasan sulit bahkan mustahil
dihindarkan.prinsip tanpa kekerasan(non-violence) tidak akan merupakan
pendekatan yang efektif untuk melawan kejahatan.kekerasan sering kali hanya
dapat dipatahkan oleh kekerasan pula.Ellul mengatakan bahwa kekerasan tidak
pernah menghasilkan kebaikan.dari perspektif Kristen,tidak berbuat
kekerasan selalu lebih baik dari pada
berbuat kekerasan sebab menurut pendapatnya satu tindak kekerasan akan
merupakan awal dari suatu lingkaran setan yang hanya melahirkan
kekerasan-kekerasan lain tanpa akhir. Etika fungsional dan oprasioanal harus
mempunyai ruang perbatasan manusia. Betapapun ia mau, ia tak pernah mampu untuk
melakukan yang benar, yang baik dan yang tepat.