Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Jumat, 31 Oktober 2014

Parsial (Analogi Teropong atau Teleskop). Oleh. Obet Y. Agau

Nama                                       : Obet Nego
NIM                                        :11.16.23
Tugas Mid-Test Mata Kuliah  : Teologi Agama-Agama
Dosen Pengampu                    : Pdt. Enta Malasinta, M. Th

Parsial
Analogi Teropong atau Teleskop.


Manusia dianugerahkan macam-macam indera dalam dirinya. Terkhususnya (special) disini akan membahas indra adalah mata. Mata disini saya ibaratkan wahyu Allah atau cahaya Ilahi yang di nyatakan dalam diri masing-masing kepada manusia. Mata diperoleh manusia siapa saja dia tidak memandang agama, ras, dan lain sebagainya. Mata di berikan oleh Allah kepada manusia bukan hanya orang Kristen. Mata adalah karunia Allah yang boleh diterima oleh siapa saja mahluk ciptaan khususnya juga manusia. Teropong atau teleskop disini adalah Kristen. Kita tentu mengetahui Fungsi dari teropong atau teleskop. Yakni benda untuk melihat objek yang jauh agar terlihat tampak menjadi lebih jelas terlihat. Kenapa saya mengambarkan demikian, karena mungkin saja bagi setiap manusia melihat objek yang jauh menggunakan matanya tanpa mengunakan teropong atau teleskop. Namun objek yang dipandangnya mengunakan matanya akan lebih baik atau lebih jelas jika mengunakan teropong atau teleskop. Namun ketika hendak melihat lebih menuju Allah dan bagaimana karyaNya. Tetap saja akan memerlukan alat bantunya adalah Teropong atau Teleskop Yesus Kritus melalui Kristen. Kristen adalah jalan yang akan membawa kejelasan arti kehidupan manusia seperti fungsi dari teropong atau teleskop. Disini yang dimaksud adalah fungsi teropong atau teleskop Yesus Kristus yang adalah penyelamat manusia. Karena dengan mengunakan teropong atau teleskop Yesus Kristus itu kita akan memperoleh kejelasan (keselamatan). Itu sebabnya saya memilih analogi teropong/ teleskop. karena tidak dapat dipungkiri Allah juga mengaruniakan Cahaya Ilahi kepada setiap manusia. Sekalipun cahaya ilahi ada bagi agama lain namun keselamatan dari Allah hanya ada dalam teropong atau teleskop Yesus Kristus melalui Kristen. Karena jelas dalam Alkitab jalan Keselamatan itu diberikan melalui diri Yesus Kristus. Pengenalan akan Yesus hanya ada dan lebih jelas dalam agama Kristen. Itulah sebab saya memilih parsial bukan pemenuhan dan pergantian total. 

STRATEGY KOMUNIKASI KHOTBAH






Nama Penulis                 : Obet Nego
Tugas Mata Kuliah       : Teologi Komunikasi
Dosen Pengampu           : Pbrt. Tulus Tu’u, S.Th, M. Pd

A.     Inti Sari Jurnal Pambelum 
I.              STRATEGY KOMUNIKASI KHOTBAH
Persiapan yang baik merupakan langkah yang baik untuk mencapai khotbah yang berhasil, menyentuh hati dan menarik bagi pendengar. Akan tetapi, kita mengingat kembali kata bijak, “Yang penting bukan isinya, tetapi bagaimana cara menyampaikannya.” Hal itu mau menyadarkan kita bahwa isi khotbah yang kita persiapkan dengan sebaik mungkin,
Untuk mencapai harapan yang baik itu, maka bagian strategy komunikasi khotbah ini membahas 1). Memakai garis besar khotbah, 2).Berdayakan kekuatan suara, 3).Berdayakan kekuatan bahasa tubuh, 4). Monolog tapi dialogis, 5). Pakailah alat bantu, 6).Sekali-sekali selipkan senyum tawa, 7).Menyentuh hati, 8).Personal.
1.      Memakai garis besar khotbah
Cara menyampaikan khotbah umumnya terdiri dari: 1).Membaca teks khotbah secara lengkap. 2). Membaca teks khotbah yang telah digaris bawahnya, yang lainnya disampaikan dengan agak bebas. 3). Menyusun teks lengkap dan menghafalkannya untuk disampaikan. 4).Menyusun kerangka sistematis dan garis-garis besarnya, dan menyampaikannya sesuai uurutan yang ada.[1] 
Cara yang terakhir umumnya cara yang menarik dan berkesan bagi para pendengar. Oleh karena dalam cara ini, pengkhotbah menjadi ia agak bebas bergerak dan tidak kaku, suasana lebih hidup. Matanya dapat memandang hadirin, sehingga terjadi kontak mata antara dirinya dengan para pendengar. Dalam komunikasi, seharusnya terjadi kontak mata antara komunikator dan pendengarnya. [2]
2.      Berdayakan kekuatan suara
Suara adalah sebuah energy, tenaga, kekuatan dan pengaruh. Apabila komunikator mengeluarkan suaranya berupa kalimat-kalimat yang mengandung makna dan pesan. Maka dari dalamnya dapat membawa tenaga, kekuatan, pengaruh bahkan kuasa untuk terjadinya perubahan dalam diri pendengarnya. Sebab komunikasi selalu mempunyai tujuan untuk mencapai terjadinya sebuah perubahan sikap, perubahan pendapat, perubahan perilaku, perubahan sosial, adaptasi diri pada situasi yang diperlukan, serta harmonisasi kehidupan dalam lingkungannya. [3] 
Dalam komunikasi, orang belajar, memahami, mengerti dan menangkapnya dari pemberi pembelajaran dengan pengaruh dari kata-kata = 7 %, pengaruh dari suara = 38 %, pengaruh dari bahasa tubuh, terutama wajah = 55 %. Dengan demikian, suara dan bahasa tubuh membuat 93 % dampaknya dalam komunikasi.[4] Oleh Karena itu, dalam khotbah, kekuatan suara kita sebaiknya dioptimalkan agar ada intonasi, penekanan-penekanan pada hal-hal yang perlu, kecepatan dan tempo diatur dengan baik, volume dan tinggi rendah suara dikontrol dengan baik pula. Sebab, kita bicara selain dengan kata-kata dan bahasa tubuh, kita bicara juga dengan nada suara kita. Perasaan, harapan, keinginan, permintaan, kesungguhan, keprihatinan, kegembiraan dan sukacita kita, selama berkhotbah dapat kita munculkan melalui perubahan-perubahan dan getaran suara kita. Suara kita perlu diberdayakan.[5]
3.      Berdayakan kekuatan bahasa tubuh
Bahasa tubuh (nonverbal) ternyata berpengaruh sangat besar dalam komunikasi, yakni 55 %. Sebab gerakan tubuh, ekspresi wajah, termasuk nada suara, tidak dapat dibuat-buat. Ia selalu menggambarkan keadaan hati dan pikiran seseorang. Bahasa nonverbal dapat berfungsi menguatkan, menekankan, memperteguh, mengulangi dan melengkapi apa yang telah diucapkan (secara verbal). [6] Dengan didayagunakannya bahasa nonverbal ini, maka pemahaman pesan yang disampaikan menjadi lebih cepat, lebih mudah dan lebih jelas.
4.      Monolog sekaligus dialogis
Khotbah sudah umum bila disampaikan dengan cara monolog. Artinya, pengkhotbah menjadi pembicara tunggal, hanya satu arah dari dia kepada para pendengarnya. Sedangkan para pendengar hanya D4 (datang, duduk, diam dan dengar). Kondisi pasif seperti itu tidak selalu menguntung. Terutama bila khotbah yang disampaikan itu kurang menarik dan kurang mengesankannya. Ia dapat menjadi gelisah, bosan, jenuh, tanpa perhatian dan bertanya dalam hatinya, kapan khotbah ini amin tanda selesai. 
Sesungguhnya, khotbah salah satu pengertiannya adalah bercakap-cakap tentang firman Tuhan.[7] Oleh karena itu, meskipun dalam prakteknya khotbah disampaikan secara monolog (satu arah). Perlu juga ia diusahakan agar bernuansa dialogis (dua arah). Artinya, suasana diciptakan seperti orang bercakap-cakap antara dua orang atau lebih tentang Firman Tuhan. Demikian juga dalam khotbah kita. Untuk itu, dalam satu khotbah, kita dapat melakukan berulangkali membuat atau menyampaikan pertanyaan retoris kepada pendengar. Dengan cara menyampaikan pertanyaan retoris, mereka yang D4 tadi kita bawa menjadi terlibat dalam khotbah kita. Mereka yang semula pendengar pasif, pendengar dangkal bahkan mungkin bukan pendengar. Mereka, kita ubah dan kita bawa menjadi pendengar aktif, yang mau mendengar yang verbal dan nonverbal, [8] dan juga menjadi pendengar empati yang berusaha terlibat untuk memahami dan mendengarkan dengan penuh perhatian. [9]
5.      Pakailah alat bantu 
Manusia diberi Tuhan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan hati untuk merasa. Dalam pembelajaran, menurut Vernon A. Magnesen, orang belajar 10 % dari yang dibacanya, 20 % dari yang didengarnya, 30 % dari yang dilihatnya, 50 % dari yang didengar dan dilihatnya, 70 % dari yang dikatakannya, 90 % dari yang dikatakan dan dilakukannya.[10] Berarti, kalau kita menggunakan alat bantu multimedia dalam membelajarkan jemaat, maka kekuatan pengaruhnya dalam pembelajaran itu = 50 %. Kalau hanya dengan cara konvensional/ mendengar, hanya = 20 % saja. Agak kecil, apalagi kalau kurang menarik dan kurang berkesan bagi pendengarnya.
Berkaitan dengan hal itu, simaklah dengan cermat berikut ini, kemanfaatan, dayaguna, kekuatan dan pengaruh alat bantu berupa gambar, barang-barang simbolis, audio visual dan multimedia, a.l, 1). Lebih menarik dan lebih variatif, 2). Menumbuhkan minat dan motivasi , 3). Orang akan lebih aktif dan terlibat dalam pembelajaran, 4). Melibatkan orang ikut berpikir, 5). Dengan media, konsentrasi dan perhatian lebih baik, 6). Hanya secara verbal saja, akan lebih mudah lelah dan jenuh, 7). Mempermudah pengertian dan pemahaman, 8). Orang diajak dari berpikir kongkret menuju berpikir abstrak, ini lebih mudah, 9). Kalau hanya verbal saja, orang diajak berpikir abstrak., 10). Meningkatkan persepsi, imajinasi dan tafsiran yang memperkaya, 11). Menyegarkan karena konsep disampaikan dalam bentuk baru, 12). Menolong menambah daya ingat, 13). Hal yang sukar, dipermudah dan disederhanakan, 14). Lebih mudah untuk diikuti dan dimengerti, 15). Pembelajaran dapat lebih cepat, 16). Mengatasi keterbatasan waktu, tempat dan bahasa.[11]
Sedangkan hasil penelitian Enny Trisnawati di sebuah jemaat GKE, tentang penggunaan multimedia dalam khotbah, dikatakan, a.l,: lebih menarik, lebih bagus, lebih banyak ingat, mudah dipahami dan dimengerti, menjadi lebih jelas, mudah diikuti, membuat ikut berpikir, menambah dan membantu daya tangkap, tidak monoton, mencegah kantuk, lebih konsentrasi. Meski ada yang mengatakan konsentrasi terganggu.[12]
Hasil teknologi yang begitu canggih dan mahal, mestilah digunakan lebih optimal lagi, yakni juga untuk sarana khotbah. Sehingga khotbah anda mempunyai pengaruh dan kekuatan yang lebih luar biasa besarnya. Perhatikan juga, bila memanfaatkan multimedia, seperti LCD, jangan teks khotbah lengkap yang ditayangkan, karena kalau demikian, justeru akan kontra produktif, sebab akan membuyarkan konsentrasi. Cukup hanya garis besar khotbah saja yang dibuat dan ditayangkan di layar. Akan menjadi sangat baik bila disertai gambar-gambar yang cocok dengan isi khotbah, sebab, sebuah gambar selalu punya makna dan pesan yang beragam arti serta menyentuh hati.[13]
6.      Sekali-sekali selipkan senyum tawa
Humor dapat menurunkan ketegangan dan menghilangkan kebosanan dan kejenuhan. Ia mampu menghidupkan suasana yang kaku menjadi lentur dan santai. Orang menjadi segar dan terjaga. Kadang dapat ditarik ke dalam arti dan makna dari baliknya, sama dengan ilustrasi dan kesaksian, yang tidak jarang lebih mampu dan lebih efektif daripada nasihat dan teguran yang keras. Ia dapat masuk menusuk secara positif ke dalam sanubari terdalam, sehingga membuat orang sadar diri lalu berbalik ke dalam pertobatan. [14]
Tony Buzan dalam “Jadi Orang Cerdas Spiritual,” mengutip Elia Wheeler Wilcox, “Tertawalah dan dunia akan ikut tertawa bersamamu.” Lalu Tony Buzan menjawab dan mengatakan, “Benar! Tertawalah dan dunia tertawa bersamamu ! Selera humor merupakan salah satu kualitas utama kecerdasan spiritual. Tawa akan mengurangi perasaan stress, meningkatkan kesehatan secara umum, dan menambah jumlah teman (yang lebih bahagia). Tawa dapat menciptakan kehidupan yang lebih bahagia, ceria, dan bersemangat. Dapat meredakan persoalan, dapat membagi ketegangan dan menyatukan orang dari berbagai profesi. Humor mempertalikan semua umat manusia.” [15] 
J.Oswald Sanders mengatakan, “Oleh karena manusia adalah gambar Allah, maka rasa humor adalah karunia Allah dan mendapatkan kedudukannya di dalam sifat ilahi. Tetapi humor merupakan karunia yang harus dikendalikan dan dipupuk. Humor yang bersih dan sehat akan meredakan ketegangan dan mengobati keadaan sulit, lebih dari pada apapun. Humor sangat besar nilainya bagi seorang pemimpin karena bermanfaat bagi dirinya maupun pekerjaannya.” 
Kata Charles H.Spurgeon, “Lebih baik membiarkan orang tertawa untuk sementara dari pada tertidur dengan pulas selama setengah jam.” dalam ibadah gereja. Humor yang sehat membuat orang terjaga, segar dan membuat mereka mampu mengikuti acara yang diikutinya. Presentasi tanpa humor, yang berlangsung panjang, atau pada jam-jam tertentu, dapat membawa orang pada rasa lelah dan kantuk. Humor akan mampu mencipta kesegaran dan keterjagaan mereka. 
Helmut Thielicke menulis, “Apakah kita tidak boleh memandang garis-garis yang ada di sekeliling mata kita, jika kita tertawa, itu sama seperti tanda iman yang terlihat dari garis-garis wajah yang menunjukkan perhatian dan kesungguhan? Apakah hanya kesungguhan saja yang dibenarkan ? Apakah tertawa itu bersifat kafir? Kita telah membiarkan begitu banyak hal yang baik hilang dari gereja dan membuang banyak mutiara kepada babi. Satu gereja berada dalam keadaan kurang sehat, jika gereja membuang tawa ria dari ruang kebaktian, dan menyerahkannya kepada cabaret, kelab malam dan para pemimpin acara saja,” [16] sungguh menyedihkan. 
Karena itu, kita jangan sampai mengabaikan pendapat-pendapat tersebut. Dayagunakanlah tawa senyum secara hati-hati dan konstruktif, sehingga memberi dampak positif dalam khotbah kita. Bukankah juga di depan dikatakan, salah satu ciri komunikasi yang efektif adalah dapat membuat pendengar senang, gembira, sukacita bahkan bahagia. Demikian juga komunikasi khotbah kita, perlu diupayakan agar ada rasa senang, sukacita, gembira, bahkan bahagia yang dialami para pendengar kita. Kesan yang menarik dan melegakan hati serta membahagiakan. Menurut John Edmund Haggai, komunikasi Injil selain untuk memberitahu, menyentuh hatinya, meyakinkannya, membuatnya gembira sukacita, dan puncaknya ia berbuat sesuai motivasi dan harapan pengkhotbah.[17]
7.      Menyentuh hati 
Pendidikan seseorang kerap kali berpengaruh besar dalam cara berkomunikasi dan mengembangkan komunikasi. Bahasa yang digunakan dapat menjadi lebih tinggi dan ilmiah, tidak lagi sebagaimana bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dalam komunikasi dapat terjadi jurang antara yang berpendidikan tinggi dengan warga masyarakat biasa. Sehingga, terjadi hambatan dan kesulitan memahami, mengerti dan menangkap pesan-pesan dalam komunikasi.
Dalam khotbah dapat terjadi juga hal demikian. Ada kesan sementara, bahasa khotbah kita kerap agak terlalu tinggi, terlalu teologis dan intelektual, bahkan sedikit menjurus filosofis. Hal ini sedikit menjadi hambatan pendengar untuk menyelami dan menyerapnya. Khotbah demikian lebih cenderung banyak mengisi ranah kognitif (intelektual, rasio, akal pikiran). Tentu tidak salah bahwa ia mengisi sisi kognitif. Akan tetapi, bila hanya sampai di situ saja, maka khotbah masih kurang berdayaguna. Seharusnya, capaiannya seimbang antara rasio dengan emosi. Artinya, khotbah perlu mencapai ranah kognitif (intelaktual, rasio), tetapi dilanjutkan sampai menyentuh ranah afekktif (hati, perasaan, emosi). Sebab ranah afektif ini adalah ranah yang terdalam yang mampu membuat orang sadar diri, memperbaiki diri dan bertobat. Sebab itu, khotbah harus diupayakan sekuat-kuat untuk sampai menyentuh ke ranah afektif ini.
Bagaimana caranya agar khotbah mencapai dan menyentuh ranah afektif (hati,emosi)? Ia dapat dilakukan dengan memakai kesaksian, ilustrasi dalam berbagai bentuk, dapat juga memakai alat bantu gambar atau barang simbolis. Dari kesaksian, ilustrasi atau alat bantu itu, lalu ditarik ke aplikasinya. Seperti di depan, “Apa kaitan kisah tadi dengan sdr-sdr? Atau, bagaimana dengan sdr-sdr ?” Dengan cara itu, pesan dapat menukik tajam dan dalam, lalu masuk ke dalam hati, serta menyentuh hati terdalam para pendengar. Di sana dapat terjadi pertobatan (seperti Daud), perubahan hati, sikap, perilaku dan perbuatan hidupnya.
8.      Personal
Kegagalan dan hambatan komunikasi, di bagian depan dikatakan, antara lain disebabkan komunikasi itu kurang personal, terlalu bersifat umum. Oleh karena itu, dalam berkhotbah umumnya dilakukan di depan banyak orang. Tentu dengan hal semacam itu komunikasi menjadi sangat umum dan tidak atau kurang personal. Dapatkah hal umum semacam itu kita ubah dan arahkan menjadi sesuatu yang personal? Bagaimana caranya?
Untuk itu, di bagian aplikasi atau di bagian penutup, kita menarik hal-hal umum menjadi hal-hal khusus. Kita tidak mengakhiri khotbah kita hanya dalam kalimat-kalimat biasa tanpa ajakan, tantangan, seruan, panggilan dan komitmen. Kita mengganti cara itu dengan pola yang baru, agar penutup atau aplikasi kita menukik tajam ke dalam hati para pendengar. Caranya, kita agak mendorong, sedikit agak memotivasidengan kuat, agar pendengar mengambil sikap atau keputusan dalam hati mereka untuk mengikuti pesan Tuhan melalui khotbah yang kita sampaikan. 
Untuk itu, mirip dengan cara untuk menyentuh hati pendengar. Kita bertanya secara retoris berdasarkan uraian atau aplikasi, misalnya, a.l. “Kalau demikian, bagaimana dengan sdr-sdr? Siapa di antara sdr-sdr yang akan berkomitmen untuk setia pada Tuhan? Siapa dari kita yang akan tetap mengikut Tuhan walau jalan kita berat? Siapa yang ingin menemukan kebahagiaan sejati? “ dll. Lalu kita jawab dengan inti pesan akhir, kabar baik., sesuai dengan isi dan pesan khotbah kita. Baru berkata Amin.
Cara demikian, membuat akhir aplikasi atau akhir khotbah berubah dari umum menjadi khusus, dengan tantangan, panggilan, seruan, dan ajakan kepada orang secara pribadi ke pribadi. Khotbah puncaknya menjadi sangat personal dan pribadi. Lebih kuat lagi, apabila diikuti dengan intonasi suara yang meminta dan berharap dengan sangat, lalu diulangi dan ditegaskan dengan bahasa nonverbal, yakni tangan ditunjuk ke pendengar, dll. Maka, akan terasa kita sedang menunjuk mereka untuk menjawab dalam hati mereka agar mengambil keputusan atau sikap, perilaku atau perbuatan. Keputusan atau sikap itu sesuai isi khotbah kita. Sehingga khotbah bukan hanya sekedar menarik dan mengesankan, tetapi juga mengubah kehidupan pendengar. Perubahan itu bukan hasil kerja pengkhotbah, tetapi Tuhan melalui Roh Kudus dapat memakai hasil kerja dan jerih juang pengkhotbah untuk sebuah perubahan..
PENUTUP 
Komunikasi kita efektif kalau para pendengarnya memahami dan mengerti dengan jelas apa yang disampaikan oleh yang berbicara. Isi dan pesan yang disampaikan itu mampu masuk ke dalam batinnya yang paling dalam, sehingga mempengaruhi sikap dan perilakunya. Ia mendorong dan memotivasinya untuk bertindak dan berbuat sesuatu yang baik, yang dapat dan mampu memperbaiki relasi kehidupan yang lebih baik lagi. Kemudian, dalam dan dampak komunikasi itu adalah lahir dan munculnya perasaan senang, gembira sukacita bahkan bahagia. Komunikasi itu menyenangkan hatinya.
Komunikasi yang menghadirkan daya tarik dan rasa senang pada sebuah khotbah, dapat terjadi bila disusun tema dan tujuan khotbah, logis dan sistematis, mudah diingat, variasi dalam model khotbah, menyelami kebutuhan pendengar, mendayagunakan Ilustrasi dan kesaksiaan.  Dengan demikian, khotbah kita, selain menarik dan mengesankan, tetapi juga diberkati dan dipakai oleh Tuhan, sehingga mempunyai kekuatan untuk mengubah kehidupan para pendengarnya.

B.     Tanggapan Jurnal Pambelum

            Tulisan dalam Jurnal Pambelum ini sangat menarik dan memberikan banyak wawasan dalam berkomunikasi. Tulisan dalam Jurnal Pambelum ini memberikan banyak sekali tips atau strategi yang efektif dalam menjalani sebuah komunikasi. Tulisan ini sangat berguna ketika mengunakannya khususnya dalam berkhotbah maka dalam menjalani sebuah strategi komunikasi dengan hasil yang efetif dan tepat pada sasaran. Agar semuanya efektif para pengkhotbah harus pandai membaca strategi komunikasi dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kondisi yang di alami.



[1]S. de Jong, Khotbah, h.83-88
[2]James KVF, Rahasia kekuatan percakapan, h.69.
[3]opcit. Onongh.8.
[4]Rajem Kemraj, Communicating Effectively for Evangelising, paper.
[5]Phillip LH, Seni Komunikasi Pemimpin, h. 59-65.
[6]Opcit, Deddy Mulyana, h.314-315
[7]EP. Ginting, Khotbah dan Pengkhotbah, h. 1.
[8]Opcit. Phillip LH, h. 15-20.
[9]Steward L.Tubbs, Human Communication, h. 172-173.
[10]Bobbi dePorter, Quantum Teaching, h.57.
[11]Tulu Tu’u, Teknik Pembelajaran di SHM, paper ceramah.
[12]Enny Trisnawati, Peranan Media dalam Khotbah, h. 38-46.
[13]Donald Leow, Audio Visual for Evangelisim, paper.
[14]Opcit. Hasan Sutanto, h. 192-193, 196.
[15]Tony Buzan, Jadi Orang Cerdas Spiritual, h. 72.
[16]J. Oswald Sanders, Pemimpin Rohani, h. 65-67.
[17]John Edmund Haggai, Lead On, h. 91-93.