Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Minggu, 30 Juni 2013

Inti Teori Dari James Fowler, Lawrence Kohlberg, dan Albert Bandura Serta Manfaatnya Bagi Pelayanan Seorang Pendeta


Inti Teori Dari James Fowler, Lawrence Kohlberg, dan Albert Bandura Serta Manfaatnya Bagi Pelayanan Seorang Pendeta
           
1.      James Fowler
James Fowler ialah seorang yang meneliti tentang perkembangan iman dan tahapan-tahapannya, ia juga mengemukakan pendapat bahwa iman adalah suatu cara manusia untuk bersandar dan berserah diri serta memberikan dan juga memberi makna terhadap berbagai kondisi dan keadaan hidupnya.[1]
            Teori Fowler ini sangat membantu kita untuk memahami tahapan-tahapan maupun perkembangan iman pada seseorang, dalam teorinya ia membuat tahapan-tahapan tersebut menjadi tujuh tahap yakni sebagai berikut :

N0
Tingkatan / Tahapan
Perilaku Iman Dan Peran Seorang Pendeta
1.
0-3 tahun
Belum dapat membedakan
Tahap ini penting bagi seorang pendeta untuk memberikan dorongan kepada orang tua agar anak diperkenalkan dengan makna kasih, dan dasar-dasar yang baik agar kelak iman bertumbuh dengan baik.
2.
4-6 tahun
Proyeksi & Intuitif
Gabungan imajinasi, pengalaman serta belief (cerita-cerita dari orang tua membentuk gambaran tentang Tuhan ) dalam hal ini ia masih berfikir irasional atau berupa gambaran saja.

Pendeta dalam tahap ini bisa memberikan cerita-cerita yang menarik tentang ajaran Alkitab, sehingga imannya bisa tumbuh berdasarkan ajaran yang ia terima melalui pengajaran yang menarik tersebut. Ini bisa diterapkan melalui cerita-cerita menarik dari Alkitab yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan si anak yang bisa diperagakan dalam bentuk gambar-gambar peristiwa yang terjadi dalam Alkitab.

3.
7 – 12 tahun
Mistik, harafiah
Cerita-cerita ajaib digunakan untuk menyampaikan makna-makna sfiritual, ( rasional ) kisah-kisah agama ditafsir secara harafiah, simbol-simbol agama mempunyai arti yang khusus, misalnya salib, gambar-gambar  tentang agama.

Seorang Pendeta pada tahap ini harus bisa melihat peluang, bahwa cerita-cerita yang tentang seuatu yang ajaib dalam Alkitab akan sangat membantu memberikan suatu dorongan untuk membentuk karakter iman seorang anak, sehingga dalam hati si anak akan merasa percaya akan kuasa Tuhan, seperti yang ia dengar dari cerita yang disampaikan, kendatipun cerita tersebut masih ditafsirkan secara harafiah saja. Seorang pendeta harus bisa memanfaatkan periode ini untuk membentuk iman seorang anak, menumbuhkan kepercayaannya terhadap kuasa Tuhan dengan media cerita-cerita ajaib yang ada dalam Alkitab.
4.
13 – 17 tahun
Tiruan & Konvensional
Tahapan ini sudah mulai berfikir abstrak, iman seseorang menyesuaikan diri dengan iman orang lain, penyesuaian tersebut membentuk perilaku. Fokus masa ini ialah relasi dengan orang lain.

Seorang anak atau remaja pada tahap ini akan mulai membandingkan imannya dengan iman orang lain. Disini seorang pendeta harus benar-benar bisa untuk membimbing serta mengarahkan agar iman sianak harus benar-benar tumbuh dalam pertumbuhan yang benar, atau tidak keliru. Jangan sampai seorang anak terpengaruh pada iman seseorang yang ternyata bukan kepada Yesus Kristus
.
5.
18 – 29 tahun
Refleksi & Individu
Kesadaran diri sudah cukup tinggi, memiliki sistem dan konsep berfikir yang jelas, ini memberikan kemampun kepada seseorang untuk memeriksa kembali imannya secara kritis. Imannya ditata ulang setelah ia meninjau secara kritis tersebut.

 Bimbingan, pengarahan serta motivasi, harus selalu diberikan pada tahap ini oleh seorang pendeta. Agar remaja atau pemuda tersebut bisa bertumbuh menjadi seorang remaja atau pemuda yang memiliki iman yang tak tergoyahkan ketika ia nantinya menginjak masa dewasa.
6.
30 – 45 tahun
Konsolidasi dan Paradoks

Seseorang pada tahap ini sadar akan batas akalnya, ia juga melihat bahwa didunia ini ada hala yang paradoks ( bertentangan ). Ia memiliki kemampuan untuk memikirkan :
1.      Berfikir benar itu apa ?
2.      Benar itu bisa didapat dari mana
3.      Dan menyimpulkan bahwa iman yang benar ialah iman yang memiliki toleransi.

Tugas seorang pendeta pada tahap ini ialah meluruskan pandangan itu untuk mengarahkannya agar tetap bersandar pada ajaran Alkitab, sehingga imannya pada tahap ini mampu ia salurkan lagi bagi generasi yang dibawahnya. Asas-asas kekristenan yang ada didalam Alkitab diterapkan oleh seorang pendeta untuk membimbing orang pada tahap ini untuk menjaga imannya.

7
45 tahun sampai akhir hidup
Universal
Ia tinggal hidup berdasarkan prinsip kasih dan keadilan. Dalam tahap ini iman sudah merupkan hasil yang dicapai dari tahap-tahap sebelumnya.

Seorang pendeta dalam tahap ini memiliki sebuah tugas penting, yaitu membangun hubungan dengan orang tersebut, kemudian mengarahkannya untuk bisa ikut berperan serta bagi pembentukan iman orang yang lain, ini dilakukan oleh seorang pendeta agar iman orang tersebut tetap terjaga dan bertahan pada prinsip yang benar.



            Demikian uraian James Fowler tentang tahapan-tahapan iman secara sistematis, ini dibuat untuk memudahkan kita mengenali dan juga memahami tahapan-tahapan yang terjadi pada seseorang dan kita sendiri tentang perkembangan iman saat melihat suatu rentang usia. Dari melihat tahapan yang ada pada tabel diatas, seorang pendeta diharapkan bisa memakai suatu metode yang tepat dalam pelayanannya, sesuai dengan kebutuhan dan juga rentang usia tertentu pada jemaatnya, agar penyampaiannya tepat guna, dan menjawab kebutuhan bagi perkembangan iman jemaat.
           
            Manfaat Teori Fowler Bagi Pelayanan Seorang Pendeta 
Setelah kita melihat, ternyata dalam teori Fowler ini puncaknya ialah perkembangan iman pada masa memasuki dewasa ( mulai 45 tahun), dimana pada saat itu manusia sudah mampu untuk melepaskan diri dari ego pribadinya dan dari pusat-pusat nilai dan kekuasaan yang fana, untuk kemudian berserah diri pada kekuasaan yang tunggal dan mutlak yaitu Allah.[2]
            Teori yang dipaparkan oleh Fowler seharusnya menjadi ransangan bagi seorang pendeta atau pemimpin jemaat untuk melihat perkembangan iman dari jemaat yang dipimpinnya. Dimana kita, sebagai seorang pendeta harus mampu melihat bagaimana iman itu merupakan suatu proses yang terus-menerus berlangsung sebagai cara kita berada didunia dan melihat dunia tempat kita berada, terbentuk dan terus dibentuk kembali. Setidaknya penulis mau menyampaikan disini ada beberapa manfaat penting dari teori James Fowler ini bagi seorang Pendeta, diantaranya :

a)      Seorang pendeta melalui teori ini bisa memahami bahwa proses mengenal itu sangat penting, bahkan sampai akhir hayat, sehingga masih tumbuh harapan akan kehidupan selanjutnya yang hanya bisa muncul karena iman. Disini iman ialah upaya pengenalan.
Bdk.  Filifi 3:10 “ Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya”.[3]

b)      Dalam mendukung dan memperhatikan perkembangan iman jemaat, seorang pendeta bisa untuk mendorong agar iman jemaatnya bisa mencapai tahap iman berikutnya yang lebih dewasa. Sehingga iman jemaat terus bertumbuh dan maju.

c)      Melalui teori ini, seorang pendeta bisa melihat dimana tingkat iman jemaatnya dengan melihat rentang usianya, sehingga mampu memberikan sebuah jawaban yang tepat dari pertanyaan jemaat, ini membantu seorang pendeta untuk memahami kekuatan dari konflik-konflik yang akan dialami ditengah-tengah pengalihan pada sebuah tahap tertentu.


d)     Teori perkembangan iman yang dikemukakan Fowler membantu seorang pendeta untuk mengatasi cara berfikir bahwa iman sebagai suatu yang terpisah dari hidup sehari-hari. Tujuh aspek tahapan perkembangan yang dikemukakan oleh Fowler, membantu seorang pendeta untuk membantu jemaatnya untuk mengenal secara seksama, bahwa iman bermanfaat untuk mengorganisasikan seluruh kehidupan kita.[4]
            Seorang pendeta bisa menggunakan teori ini untuk melihat perkembangan iman dalam lingkungan jemaatnya, yang berarti akan memudahkan dia utuk mencari metode apa yang tepat ketika ia akan melaksanakan pelayanannya, sesuai dengan perkembangan, atau situasi juga kondisi yang ada pada saat itu.

2.      Lawerence Kohlberg
Ia adalah seorang peneliti tentang perkembangan mora pada anak, ia melakukan penelitian berdasarkan teori perkembangan kognitif yang sebelumnya dikemukan oleh Piaget.[5]
            Dalam penyelidikan yang Kohlberg lakukan, ia menemukan ada tiga tingkat yang nantinya terbagi lagi menjadi enam tahap dalam perkembangan moral yakni :
1.      Pra Konvensional
2.      Konvensional
3.      Post/ Anu konvensional
Dari ketiga tingkat tesebut, ada lagi tahapan-tahapannya yang akan penulis uraikan dalam tabel berikut :
No
Tingkat & Tahap
Ciri khusus masing-masing tingkat dan tahap
1.
Tingkat  I. Pra-konvensional ( usia 0- 9 tahun)
Tahap 1 : Orientasi terhadap  
                 kepatuhan dan hukuman

Tahap    :  Relatifistik hedonis

·      Harus patuh agar tidak dihukum.
·      Kalau baik dan benar, tidak akan dihukum.
·      Ada faktor pribadi yang relative dan juga ada prinsip kesenangan/menyenangkan orang lain
·      Memenuhi kebutuhan orang lain

Pendeta dalam tahap ini harus membimbing, mengarahkan dan memiliki kemampuan untuk mengerti kapan saat harus memuji, dan memberi penghargaan kepada si anak sembagai sumber motivasinya. Pendeta juga harus memiliki metode yang tepat untuk menasihati si anak jika ia berbuat salah, dengan tidak menggunakan kata-kata yang bias menjatuhkan mental dari anak tersebut.
2.
Tingkat II. Konvensional ( usia 9-15 tahun )
Tahap 3 : harmoni & interpersonal          
         

Tahap 4:  Mempertahankan norma-
                 norma sosial dan otoritas

·         Agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus dietrima dimasyarakat. Dan mendapatkan penghargaan dari orang lain.

·         Menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya da norma-norma

Pendeta bias member bimbingan dan juga nasihat agar si anak pada tahapan ini tidak mudah larut oleh pujian dan penghargaan, tetapi juga memberikan suatu dorongan motivasi yang lebih lagi untuk membentuk kepribadian si anak. Agar moral yang baik tetap terjaga dan terus berkembang.
3.
Tingkat III. Post  Konvensional ( usia 16 tahun ke atas )
Tahap5 : kontak sosial & legalistik
                ( Orientasi terhadap
                perjanjian antara dirinya  
                dengan lingkungan social )

Tahap 6 : Prinsip etis universal


·         Perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Harus berbuat baik agar diperlakukan dengan baik. Untuk menjaga hak dan kesejahteraan orang lain

·         Berkembangnya norma etik ( kata hati ) untuk menentukan perbuatan moral dengan prinsip universal

·         Moral universal terwujud dalam tingkah laku.

·         Menghargai orang lain

·         Relasi saling percaya dengan orang lain


Ketika seserang sudah bisa memahami, menjaga, serta menghargai hak orang lain, tentu ia sudah bias memupuk relasi yang baik pula dengan orang lain. Keadaan itulah yang terjadi pada tahap ini. Nah ! tugas seorang pendeta ialah membantu ia membina morl tersebut dan tetap melaksanakannya, sehingga mampu berperan serta dalam pembentukan moral yang baik pula pada orang lain.

Inti Teori Kohlberg Dan Manfaatnya Bagi Pelayanan Seorang Pendeta
Teori yang diungkapkan Kohlberg diatas menunjukan bahwa sikap moral tidak hanya terjadi dari hasil-hasil sosialisasi ataupun pelajaran yang diperoleh yang diperoleh dari kebiasaan, tetapi tahap-tahap perkembangan moral anak sepertinya juga terjadi dari aktivitas spontan yang dilakukan si anak dalam lingkungannya.[6] Menurut Kohlberg anak memang berkembang dari interaksi sosial, tetapi berupa interaksi yang memiliki corak dimana faktor si anak dalam bentuk aktivitas-aktivitasnya ikut berperan dalam tahap perkembangan moralnya.
            Dalam hal perkembangan moral tersebut Kohlberg juga menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada tiap tahapan, dimana penahapan yang dilakukan bukan didasari pada sikap moral yang khusus, tetapi juga berlaku pada setiap proses yang mendasari hal itu.
            Teori Kohlberg ini bermanfaat bagi seorang pendeta dalam pelayanannya, agar ia mampu mengenali dan membentuk moral yang baik dilingkungan jemaatnya. Melihat dari hasil teori Kohlberg ini, sebagai seorang calon pendeta atau pemimpin jemaat kita seharusnya bisa melihat begitu pentingnya lingkungan, aktivitas dan interaksi sosial yang baik membentuk moral anak menjadi baik pula. Dengan demikian peran seorang pendeta dalam pelayanan terhadap jemaatnya ialah, membeir dorongan motivasi terhadap orang tua agar berperilaku yang tepat dalam kehidupannya, baik dimasyarakat maupun dikeluarga, tentu saja dengan dimulai contohnya dengan perilaku yang baik pula dari pendeta yang melayani, karena hal itu akan turut membantu merangsang si anak untuk bertingkah laku yang baik pula. Dalam teorinya ini sesungguhnya Kohlberg sudah menunjukan tingkat-tingkat, serta proses-proses yang dilalui untuk mencapai tingkat tertinggi dalam perkembangan moral seorang anak. Ini bisa dimanfaatkan oleh seorang pendeta untuk membentuk moral yang baik di jemaatnya.
Amsal 22 : 6 Mengatakan “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya ia tidak akan menyimpang dari jalan itu” peran pendeta sangat besar dalam memberikan dasar bagi orang tua untuk mendidik anaknya, agar mengalami pertumbuhan dan perkembangan moral yang baik, sebagaimana bimbingan yang diberikan. Teori Kohlberg sangat membantu untuk mewujudkan hal ini jika seorang pendeta bisa mendalaminya dengan seksama.

3.      Tanggapan Tentang Albert Bandura

Ia adalah seorang tokoh yang terkenal dengan teorinya, yaitu sosial-belajar.  Dalam teori ini Bandura mengikut sertakan bahwa adanya unsur kognitif yang menyertainya ketika melakukan pengamatan, hal itu terlihat ketika dalam sebuah contoh objek penelitiannya, yaitu mengamati tentang beberapa wanita yang belajar merajut hanya dengan memperhatikan saja dan melihat bagaimana gurunya member contoh mengerjakan rajutan tersebut. ketika para wanita itu merasa bisa melakukannya, maka ternyata mereka tidak mengalami kesulitan, dan segera bisa melakukan hal itu dengan baik. Hal itu terlihat bahwa unsure kognitif sangat berperan baginya untuk menerangkan teori sosial-belajarnya.[7]
            Dalam pengamatannya ia mengemukakan empat komponen dalam proses belajar yakni :

No
Nama komponen belajar
Aplikasi atau hasil yang dibuat setelah melakukan salah satu komponen proses belajar tersebut.

1
Memperhatikan, seseorang menaruh perhatian terhadap sesuatu/model yang akan ditiru.
Contoh : pengaruh tv, dengan model-modelnya terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam dunia anak-anak.

·         Keinginan memperhatikan yang dipengaruhi suatu minat pribadi akan semakin menarik minat seseorang, semakin besar minat yang didapati dari memperhatikan, semakin mudah tertarik perhatian seseorang terhadapnya.
2
Mencamkan, ada sesuatu yang disimpan, serta dicamkan seorang anak ketika memperhatikan suatu model tertentu.

·         Setelah memperhatikan, mengamati suatu model, maka pada saat lain anak akan memperlihatkan tingkah laku yang sama dengan model itu.
3
Mereproduksikan gerak motorik.
Supaya bisa mereproduksikan sesuatu secara tepat seseorang harus sudah bisa memperlihatkan kemampuan-kemampuan motorik, yang juga meliputi kekuatan fisik seseorang.
·         Seorang anak yang memperhatikan ayahnya mencangkul diladang, harus meliki kekuatan yang cukup ketika ia akan meniru gerakan ayahnya dengan tepat.
4
Ulangan-penguatan dan motivasi
Setelah seseorang melakukan pengamatan terhadap suatu model, ia mencamkannya. Apakah ia akan mereproduksikan hal itu, semua tergantung dari seberapa besar motivasi yang ada pada dirinya dan juga minatnya tentang model tersebut.

Apabila motivasinya kuat untuk mereproduksikannya, misalkan karena ada hadiah atau keuntungan, maka ia akan melakukan hal itu. Jika tidak, maka lanbat laun motivasinya akan hilang.


Teori Albert Bandura memperlihatkan bahwa proses peniruan sangat penting bagi kehidupan anak-anak. Dengan pengamatan yang menggunakan model-model tertentu sebagai objeknya Albert Bandura memperkuat pandangan itu. Anak-anak akan bertindak sesuai dengan model yang menarik minatnya lebih daripada hal-hal lain. Seorang anak memiliki kecenderungan meniru berbagai tokoh disekitarnya, baik yang dilihat melalui televisi, dibaca melalui koran, majalah dan sebagainya. Anak hidup tidak bisa lepas dari orang lain, hidup dalam lingkungan bersama dengan orang lain, ia terbentuk dari lingkungan sosial. Dalam lingkungan inilah kemudian ia akan mempelajari banyak hal.
            Bagi seorang pendeta, teori sosial belajar ini kiranya mampu menyadarkan akan pentingnya lingkungan jemaat yang bisa diatur, yang nantinya akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung perkembangan anak jemaatnya.
            Menyadari bahwa kebutuhan yang membentuk karakter seorang anak adalah meniru, maka seorang pendeta diharapkan mampu menjadi motivator yang baik untuk jemaatnya yang menjadi orang tua. Ini dilakukan agar orang tua dan pendeta menjadi tokoh yang paling pantas untuk ditiru, agar keinginan dari si anak untuk meniru tokoh-tokoh yang dia lihat dari tv atau media maupun lingkungan sekitar yang kemungkinan “kurang baik” akan berkurang.
             Seorang pendeta bisa menggunakan dasar teori ini untuk melakukan perubahan terhadap tingkah laku si anak. Seorang pendeta dapat memberikan dorongan penting pada setiap orang tua untuk menjadi tokoh yang ideal untuk ditiru anaknya, agar anaknya tidak mengalami peniruan terhadap sebuah kesalahan. Seorang pendeta juga bisa memberikan gambaran kepada jemaatnya, bahwa penghargaan yang berupa pujian maupun hadiah akan sangat berperan penting dalam pembentukan sosial-belajar si anak. Dorongan orang tua maupun pendeta yang mampu menciptakan lingkungan sosial yang baik akan sangat menolong pembentukan diri si anak.
            Seorang pendeta juga harus membuat dirinya bias menjadi model yang layak ditiru oleh anak-anak, pemuda, maupun kalangan social dimana ia berada. Ini bisa ditunjukkan dengan tutur kata, kerendahan hati dan juga sikap dan pola hidupnya ditengah-tengah jemaat yang kiranya bias menjadi contoh dan teladan bagi masyrakat. Pola hidup yang baik, hendaknya mampu membentuk suatu lingkungan social yang baik pula.

            KESIMPULAN
Ketiga tokoh diatas bersama dengan teori mereka sangat berperan penting bagi kehidupan kita, terutama bagi seorang pendeta. Dari teori-teori yang mereka sampaikan kita bisa mempelajari dan kemudian memiliki pengetahuan yang besar tentang bagaimana membentuk suatu tatanan hidup manusia. Belajar ketiga teori tersebut akan sangat berguna bagi kita untuk membentuk suatu lingkungan sosial yang baik dan sesuai dengan kehendak Allah.
            Sebagai seorang pemimpin jemaat, tentu kita meliki keinginan agar jemaat yang kita pimpin bisa menjadi contoh bagi orang lain. Dengan memahami teori-teori diatas, sedikitnya kita akan memiliki sedikit pengetahuan bagaimana cara membentuk sebuah karakter manusia sejak dini, supaya lingkungan kita benar-benar lingkungan yang sesuai dengan firman Allah, yaitu sebagai umat yang dipilih. Sebab orang-orang Kristen adalah orang-orang yang harus memiliki karakter kristiani, memiliki karakter sebagai umat pilihan. Bdk . 1 PTR 9 : 2 “Tetapi Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan hal-hal yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan menuju terangnya yang ajaib.”
            Untuk membentuk sebuah karakter sebagai umat pilihan kita perlu melakukannya sejak dini, dengan menjadi teladan serta contoh yang baik bagi anak-anak, agar mereka bisa bertumbuh sebagaimana yang kita harapkan. Ketiga teori dari tokoh-tokoh diatas akan sangat membantu kita.
           

Bahan Bacaan :

Gunarsa, Singggih D. dan Gunarsa, Ny. Y Singgih. (1991) Psikologis Praktis Anak Remaja dan Keluarga. Jakarta . BPK Gunung Mulia.
Fowler, James., KANISIUS Jakarta 1995.,
Mata Kuliah Tulus Tu’u (Psikokogi Perkembangan)
Makalah kelompMakalah kelompok



                [1] James W. Fowler, Teori Perkembangan Kepercayaan ( Yogyakarta : KANISIUS 1995) hal 8 .
                [2] Ibid, hal 9.
                [3] Bdk . Perkuliahan oleh Bpk Tulus Tu’u, Rabu 15 November 2011
                [4] Bdk. Ibid hal, 274.
                [5] Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak ( Jakarta : Gunung Mulia 1990 ), 196.
                [6]Bdk. Ibid, hal 202.
                [7]Ibid, hal 186 

Senin, 17 Juni 2013

SEJARAH PENDIDIKAN AGAMA PADA MASA KUNO/ZAMAN PERJANJIAN LAMA Based on: Robert Boehlke

SEJARAH PENDIDIKAN AGAMA PADA MASA KUNO/ZAMAN PERJANJIAN LAMA
Based on: Robert Boehlke

1. PENDIDIKAN YUNANI-ROMAWI

       Pendekatan Sokrates, para pendidik kristen belajar bagaimana menjernihkan pemikiran melalui seri pertanyaan yang semakin mendalam.
       Pendekatan Plato (428-348s.M), para pendidik Kristen menyoroti intisari pendidikan sebagai proses mengantar orang agar dapat bertindak sesuai dengan dunia nyata. Proses pendidikan berarti meneliti kembali pandangan yang sudah ada dan menolaknya jika memang data baru harus menuntut demikian.
       Pendekatan Aristoteles (384-322 M), ia mengajar akal manusia untuk mempertimbangkan bobot dari tujuan usaha insani termasuk pendidikannya sebagai sesuatu yang dianggap paling kuat.
       Pendekatan Quintilianes (35-95 M), ia menjunjung tinggi kemampuan bertindak semaksimal mungkin, menjadi sumber yang dimanfaatkan untuk menyoroti cara mendidik secara praktis dan manusiawi.

2. PENDIDIKAN AGAMA DARI BAPA LELUHUR SAMPAI DENGAN PEMBUANGAN

Ada 4 pokok pendidikan utama yang ditekankan pada agama Yahudi:
1. Dasar Teologi Pendidikan agama Yahudi
2. Tujuan pendidikan
3. Pengajar-pengajar
4. Kurikulum


1. Dasar Teologi Pendidikan agama Yahudi:
       Bangsa yang terpilih: berdasarkan panggilan Allah kepada Abram dan ia menjawab dengan imannya, maka keturunannya dinamakan bangsa yang terpilih. Dipilih karena anugerah Tuhan semata bukan karena hasil perbuatannya. Dipilih untuk melayani dan menjadi berkat bagi semua bangsa.
       Penyataan: Allah dengan kehendakNya menyatakan diri kepada manusia pada saat2 tertentu. Orang yahudi cenderung bersandar pada Tuhan yang menyatakan diriNya melalui Firmannya, peristiwa2 sejarah, dan perbuatan2 yang ajaib.
       Ajaran tentang manusia: manusia diciptakan menurut gambar Allah, utk memelihara lingkungan hidup, menaati perintah penciptanya dan hidup dengan setia sebagai anggota umat terpilih/kawan sekerja perjanjian. Manusia adalah mahkluk khusus yang mampu untuk mengambil keputusan dalam hidupnya. 

2. Tujuan Pendidikan
       Tujuan pendidikan Yahudi: melibatkan angkatan muda dan dewasa dalam sejumlah pengalaman belajar yang menolong mereka mengingat perbuatan-perbuatan ajaib yang dilaksanakan Allah pada masa lampau, serta membimbing mereka mengharapkan terjadinya perbuatan sama dengan penyataan di tengah2 kehidupan mereka guna memenuhi syarat2 perjanjian, baik yang berkaitan dengan kebaktian keluarga dan seluruh persekutuan maupun yang mencakup perilaku yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagaimana diejawantahkan dalam urusan sosial dan pemeliharaan ciptaan yang dinamakan baik oleh Tuhan.

3. Pengajar-pengajar
        Allah adalah pengajar utama Israel, Dia lah yang mempercayakan pelayanan pengajaran kepada umatNya secara umum dan khusus.
       Secara umum pengajar Israel adalah: Imam, Nabi, Penyair dan Orang Bijak
       Secara khusus pengajar Israel dipercayakan kepada para orangtua, yang bertugas untuk mengajar anak2nya.

4. Kurikulum
Kurikulum yang diterapkan dalam beberapa tema,sbb:
  • Pemilihan Abraham dgn keturunannya
  • Penciptaan langit dan bumi
  • Pelepasan dari perbudakkan di Mesir
  • Pemberian perjanjian/Hk.Taurat
  • Pendudukan Tanah Perjanjian
  • Permulaan Kerajaan Israel
  • Kesaksian para Nabi tentang penyelewengan umat Israel terhadap perjanjian mereka dengan Tuhan Allah.
3. PENDIDIKAN AGAMA DARI ZAMAN PEMBUANGAN SAMPAI DENGAN PERMULAAN MASEHI

Pembuangan ke Babel berdampak luar biasa pada umat Israel. Mereka mengalami krisis kebangsaan dan iman. Perasaan bangga menjadi bangsa yang terpilih mulai direnungkan lagi setelah terjadi peristiwa pembuangan.
Kejadian tersebut menimbulkan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan bangsa Israel.
Empat pokok pendidikan agama Yahudi:
       Dasar Teologi Baru
       Pembangunan rumah ibadat dan sekolah
       Metode mengajar
       Para pelajar

1. Dasar Teologi Baru

Dua hal yang ditinjau ulang sebagai dasar teologi baru pasca pembuangan sbb:
a.Bangsa yang terpilih
       Nabi2 di Israel (kerajaan Utara) dan Yehuda (kerajaan Selatan) menyampaikan hukuman yang akan datang jika mereka tdk berbuat adil.
       Tapi mereka tdk memperdulikannya karena merasa mereka ad bangsa yang terpilih, tdk mgkn dihukum. Pembuangan ke Babel mengejutkan mereka, pandangan mereka salah.
       Bangsa Israel memahami sebagai bangsa terpilih mereka harus mengikuti Hk.Taurat dan jika melanggarnya mereka akan dihukum. Itulah mengapa mereka menitikberatkan pada peraturan yang berhub. Dg kebaktian di Bait Allah, gaya hidup lahiriah, sementara itu melalaikan inti sarinya.
       b.Penyataan
       Dulu Penyataan itu merupak Firman hidup yg dimuarakan Tuhan melalui peristiwa2 alamiah atau sejarah yang ditafsirkan oleh org2 yang setia sebagai amanat dari Tuhan. Isi Firman disampaikan scr lisan.
       Kemudian di Babel penyataan itu cenderung dibekukan dalam bentuk tertulis yang perlu dihapal, tanpa mengharapkan terjadinya penyataan yang serupa pada masa kini. Juga dalam bentuk Hukum Taurat sbg penyataan yg condong diutamakan, misalnya huruf2nya dan kalimat2nya.
       Bagi pendidikan penyataan yang dulunya bersifat dinamis sekarang menjadi kaku. Jika salah satu bagian dari Hk.Taurat itu sdh dihapal, maka penyataan abadi telah diterima oleh org yang menghapalnya.
       Selanjutnya selain Hk.Taurat mereka mulai menghapal penafsiran Hk. Taurat (Mysina), yg dipandang sama berlaku seperti Hk. Taurat. Dalam Mysina ada petunjuk2 mengajar anak, juga mysina mengusulkan agar org2 mempelajari isi Taurat dg jalan mengamalkan atau menaati isinya.

2.Pembangunan rumah ibadat
dan sekolah
       Masalah yang terjadi terhadap bangsa Israel mengakibatkan para orang tua tdk mampu lagi mengajar anak2 mereka secara baik karena suasana yang tdk lg kondusif utk mengajar
       Bangsa yang dibuang itu mulai memikirkan tempat2 pertemuan utk ibadah, rumah ibadat mereka disebut Synagoge (suatu kumpulan org2). Di tempat ini pengajaran disampaikan.
       Dalam synagoge dilaksanakan ibadah dan pengajaran, ibadah berporos pada pengajaran bukan lagi pada pemberian kurban. Di sini terjadi pendidikan agamawi. 
       Dgn adanya rumah ibadat utk mengajar org dewasa, maka muncul pula sekolah rumah ibadat utk mendidik angkatan muda secara tertib.
       Tahun 75 sM, Rabi simson Ben Syatakh mendirikan sebuah sekolah dasar/Beth-Hasepher, rumah buku di Yerusalem. Anak2 laki2 masuk sekolah ini umur 6 tahun. Isi pelajaran mereka: bhs.Ibrani, Taurat, Nubuat dan tulisan2 lainnya, stlh lulus mereka diharapkan mampu membaca seluruh PL dalam bhs.Ibr.
       Umur 10-11, mereka masuk sekolah Beth-Talmud/rumah Talmud. Mempelajari Mysina yaitu suatu tafsiran tentang Taurat, Talmud, dan Haggadah, ilmu hitung, ilmu bintang, ilmu bumi, ilmu hayat.

3. Metode mengajar
       Metode menghapal
       Meminta murid yang pintar utk mengajar yg kurang pintar
       Mengajar dengan metode menyanyi

4. Para pelajar
       Perempuan tdk mendapat tempat dlm pola pendidikan formal Yahudi. Perempuan hanya diajarkan keterampilan oleh ibunya untuk dapat melaksanakan tugas2 khusus perempuan.
       Tapi mungkin saja ada beberapa perempuan yang mempelajari Taurat dari ayahnya di rumah sendiri
       Anak laki2 miskin dan kaya dapat belajar bersama-sama dalam sistem pendidikan Yahudi yang berakar pada agama.