Terima Kasih Anda Telah Berkunjung di Blog Obet Nego Y. Agau

Kamis, 30 Mei 2013

BELAJAR MENGENAL KITAB SUCI DAN SEBUAH TRADISI

  KITAB SUCI DAN TRADISI

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas
Pengantar Teologi
Dosen Pengampu
Pdt. Dr Rama Tulus. P, S.Th



Dibuat Oleh Kelompok VI
ANA ROSALINA
BENYAMIN
CUNCUN AGRIPA
JHON FERNANDO.S
MARK WIRA NGINDRA
MEGAWATI
NANA

Sekolah Tinggi Teologi GKE Banjarmasin
2011




PENDAHULUAN

SYALOM

Salam Sejahtera untuk kitasemua yang hadir pada saat ini,tidak lupa juga kami ucapkan puji dan syukur kepadaTuhan kitaYesus kristus yang mana kita masih diberikan kesempatan untuk bertemu pada hari ini,dan tak lupa juga kami dari kelompok 4 mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada TuhanYesus Kristus karena dalam pembuatan makalah kami ini kami merasa sangat kurang menguasai dalam pembelajaran maupun pengetahuan tapi berkat karunia dan anugerah Allah Bapa yang MahaKuasa kami bisa menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini merupakan tugas kelompok PengantarTheologi yang diberikan kepada kami, Kami tahudidalam makalah ini banyak sekali kekurangan namun meskipun begitu kami kelompok 4 mengerjakan makalah ini dengan maksimal dan dengan kerja keras kelompok kami akhirnya terbentuklah makalah ini.
Didalam makalah ini kita akan membahas tentang “Kitab Suci dan Tradisi Yahudi”, untuk lebih lanjutnya mari kita bahas bersama- sama.


DAFTAR ISI
1.      KITAB SUCI TRADISI YAHUDI
a.       Etimologi
c.       KelompokYahudi
d.      Anti-semitisme
e.       Lihat pula
f.       Pranalaluar
g.      Catatan kaki
2.      PERLUNYA TRADISI
3.      ISI DAN HAKIKAT TRADISI
4.      PERKEMBANGAN TRADISI
5.      NILAI DOGMATIS TRADISI
6.      HUBUNGAN ANTARA TRADISI DAN KITAB SUCI


1.      KITAB SUCI DAN TRADISI YAHUDI
Yahudi adalah istilah yang merujuk kepada sebuah agama atau suku bangsa. Sebagai agama, istilah ini merujuk kepada umat yang beragama Yahudi.
Berdasarkan etnisitas, kata ini merujuk kepada keturunan Eber (Kejadian 10:21) atau Yakub, anak Ishak, anak Abraham (Ibrahim) dan Sarah. Etnis Yahudi juga termasuk Yahudi yang tidak beragama Yahudi tetapi beridentitas Yahudi dari segi tradisi.
Agama Yahudi adalah kombinasi antara agama dan suku bangsa. Agama Yahudi dibahas lebih lanjut dalam artikel agama Yahudi; artikel ini hanya membahas dari segi suku bangsa saja. Kepercayaan semata-mata dalam agama Yahudi tidak menjadikan seseorang menjadi Yahudi. Di samping itu, dengan tidak memegang kepada prinsip-prinsip agama Yahudi tidak menjadikan seorang Yahudi kehilangan status Yahudinya. Tetapi, definisi Yahudi undang-undang kerajaan Israel tidak termasuk Yahudi yang memeluk agama yang lain.

a.      Etimologi
Kata Yahudi diambil menurut salah satu marga dari dua belas leluhur Suku Israel yang paling banyak keturunannya, yakni Yehuda. Yehuda ini adalah salah satu dari 12 putera Yakub, seorang nabi yang hidup sekitar abad 18 SM dan bergelar Israil. Seluruh turunan dari 12 putera Yakub (Israel) itu dikenal dengan sebutan Bani Israil (keturunan langsung Israil) yang kemudian berkembang menjadi besar dinamakan menjadi Suku Israil.
Setelah berabad-abad turunan Yahudi berkembang menjadi bagian yang dominan dan mayoritas dari Bani Israel, sehingga sebutan Yahudi tidak hanya mengacu kepada orang-orang dari turunan Yahuda, tapi mengacu kepada segenap turunan dari Israel (Yakub).
Pada awalnya bangsa Yahudi hanya terdiri dari satu kelompok keluarga di antara banyak kelompok keluarga yang hidup di tanah Kan’an pada abad 18 SM. Ketika terjadi bencana kelaparan di Kan’an, mereka pergi mencari makan ke Mesir, yang memiliki persediaan makanan yang cukup berkat peran serta Yusuf. Karena kedudukan Yusuf yang tinggi di Dinasti Hyksos, Mesir, seluruh anggota keluarga Yaqub diterima dengan baik di Mesir dan bahkan diberi lahan pertanian di bagian timur laut Mesir.
Pada akhirnya keseluruh bangsa Misrael, tanpa memandang warga negara atau tanah airnya, disebut juga sebagai orang-orang Yahudi dan begitupula dengan keseluruh penganut ajarannya disebut dengan nama yang sama pula.




Siapakah orang yang berhak disebut Yahudi?


Halakha(hukum-hukum agama Yahudi) memberikan definisi Yahudi kepada seorang yang: SukuBangsa Yahudi, suku bangsa ini terbagi lagi menjadi dua:[1]
o    Seorang anak yang terlahir dari ayah dan ibu Yahudi disebut Yahudi asli,
o    Seorang anak yang terlahir dari ayah Yahudi dan ibu dari bangsa lain, Yahudi campuran ini termasuk kategori Yahudi Kelas Dua, Seorang yang memeluk agama Yahudi menurut hukum-hukum Yahudi.
Definisi ini diwajibkan oleh Talmud, sumber Hukum-Hukum Tak-tertulis yang menerangkan Taurat, kitab suci asal hukum-hukum Yahudi (lima kitab pertama kitab Tanakh/Perjanjian Lama). Menurut Talmud, definisi ini dipegang semenjak pemberian Sepuluh Perintah Allah di Gunung Sinai kira-kira 3.500 tahun dahulu kepada nabi Musa. Sejarawan Yahudi non-Ortodoks berkeyakinan bahwa definisi ini tidak diikuti sehingga tidak lama berlaku, tetapi ia mengaku bahwa definisi ini digunakan sekurang-kurangnya 2.000 tahun sampai saat ini.
Pada akhir abad ke-20, dua kumpulan Yahudi (terutama di Amerika Serikat) yang liberal dari segi teologi, Yahudi Reformasi dan Yahudi Rekonstruksi telah membenarkan orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut untuk menyebut diri mereka sebagai Yahudi. Mereka tidak lagi mewajibkan orang memeluk agama tersebut demi memenuhi adat istiadat pemelukan tradisional, dan mereka menganggap seseorang sebagai Yahudi jika ibu mereka bukan Yahudi, asalkan berayah Yahudi.
Yahudi adalah agama tertutup.
b.      Kelompok Yahudi
Dewasa ini ada sejumlah kelompok Yahudi utama:
  1. Kaum Ashkenazim
  2. Kaum Sefardim
  3. Kaum Mizrahim atau "Orang dari Timur"
c.       Anti-semitisme
Selama berabad-abad orang Yahudi banyak mengalami Diskriminasi dari kaum Kristen di Eropa. Diskriminasi terhadap orang Yahudi ini secara khusus disebut antisemitisme. Puncak diskriminasi ini terjadi pada Perang Dunia II, yakni ketika Yahudi dibantai di Eropa oleh kaum Nazi Jerman karena mengambil kekayaan secara paksa.
d.      Lihat pula
*       Agama Yahudi
*       Khazaria
*       Misrael
*       Suku Misrael
*       Suku Yehudek
*       Neturei Karta
e.       Pranalar luar

f.       Catatan kaki
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
2.      Perlunya tradisi

Tradisi merupakan kelanjutan pewartaan illahi-rasuli yang asli, wadah dari segalanya yang menyangkut iman dan moral. Para redaksi Konstitusi Dei verbum telah menyepakati bahwa dengan “TRADISI” dimaksudkan segala sesuatu yang memenuhi kedua syarat ini, dan hanya apa yang memenuhinya:
Ø  Mempunyai asal-usul illahi-rasuli;
Ø  Menyangkut iman dan moral.
Perlunya Tradisi itu didasarkan pada dua hal berikut:

a)      Keterbatasan kitab suci dalam meneruskan kitab suci dalam meneruskan pewartaan rasuli menurut kekuatannya yang semula.
Alkitab memiliki kualitas istimewa dan unik, yakni ditulis dengan inspirasi illahi. Alkitab sendiri berasal dari pewartaan rasuli yang hidup. Justru karena Alkitab tidak dapat menggantikan seluruh pewartaan yang hidup itu, demi keutuhan injil perlulah bahwa Rasul tidak hanya meninggalkan kitab-kitab namun harus juga meninggalkan pewartaan yang hidup, pewartaan itu sendiri yang telah mereka lakukan.

b)      Tingkah laku dan pengajaran para Rasul sendiri.
Dengan berbagai cara para Rasul meneruskan apa yang telah mereka terima dari Kristus( dari perkataan-Nya, karya-Nya, maupun dari pergaulan mereka dengan Dia) atau dari ilham Roh Kudus. Mereka meneruskan yang telah mereka terima itu bukan hanya dengan cara meneyrahkan dalam bentuk kitab-kitab suci saja, tetapi melebihi tulisan(tindakan)  dan termuat dalam Kitab Suci yang merupakan bagian dari iman diteruskan sampai selama-lamanya.

3.      Isi dan hakikat Tradisi

a)      Isi Tradisi
Wahyu tidak hanya terdiri dari kata-kata, tetapi terdiri dari seluruh kenyataan kristiani: pengajaran doctrinal, hidup bersama dalam kerukunan cinta kasih, dan perayaan ibadat yang pusatnya adalah sakramen-sakramen. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat diteruskan dengan cara yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan tersebut, baik secara verbal maupun secara trans-verbal. Tradisi bersifat verbal dan trans-verbal. Tradisi bersifat verbal sejauh meneruskan ajaran yang diwahyukan dan yang bila diterima membuat gereja menjadi umat yang beriman. Tradisi juga bersifat trans-verbal sebab tidak hanya meneruskan ajaran tetapi juga segalanya yang membentuk gereja itu dan memungkinkkan gereja memenuhi tugas penyelamatannya.



b)      Hakikat Tradisi
Yang merupakan haikat tradisi yaitu apa yang juga merupakan hakikat wahyu, yang terdiri dari perbuatan (karya) dan perkataan(sabda) secara intinsik terjalin satu sama lain. Jelaslah bahwa “karya” dan “kenyataan-kenyataan” itu menurut sifatnya sendiri tidak dapat diteruskan oleh Kitab Suci(yang bersifat perkataan) melainkan hanya oleh Tradisi. Penting dicatat bahwa Tradisi dan Alkitab tidak boleh dianggap sebagai saingan(hal berbeda) melainkan harus dipandang sebagai 2 hal yang saling melengkapi secara mutlak.
            Kesaksian Kitab Suci menuntut untuk dituangkan kedalam kehidupan gereja. Tradisi mewujudkan tuntutan itu secara keseluruhan bagi gereja yang melaksanakannya. Tradisi terikat dengan Alkitab bukan untuk menggantikan melainkan untuk menghidupkan Kitab Suci.

4.      Perkembangan Tradisi

a)      Tradisi tetap terbuka untuk umum
Keterbukaan Tradisi bagi perkembangan yang terus-menerus itu disebabkan oleh objek dan hakikat Tradisi tersendiri. Tradisi merupakan sesuatu yang hidup.  Dengan masuknya kedalam kenyataan gereja yang hidup pula, Tradisi memberikan suatu dorongan untuk bertumbuh dalam gereja. Tradisi maupun Gereja merupakan kenyataan-kenyataan yang hidup.

b)      Hakikat perkembangan Tradisi
Tradisi yang berasal dari para Rasul dan yang menyangkut wahyu(“iman” dan “moral”). Selain tradisi illahi-rasuli ini ada juga tradisi-tradisi yang tidak bersifat illahi melainkan gerejawi semata-mata. Tradisi rasuli yang menyangkut wahyu itu tidak boleh terkena perubahan yang mengenai intinya. Dibidang wahyu, pewartaan para rasul harus tetap sama. Maka itu perkembangan yang diterima, tetapi sifatnya begitu rupa sehingga identitas asli dipertahankan.
            Demikian halnya Tradisi. Isinya bukan benda mati yang mati yang hanya menanti untuk diketemukan. Sebaliknya isi itu membuat dirinya ditemukan karena kekuatannya sendiri. Maka itu pertumbuhan, walaupun tidak merobah intinya , memberikan kepadanya suatu peyempurnaan yang nyata. Penyempurnaan yang diberikan oleh pertumbuhan itu harus dibayangkan sebagai berikut:

ü  Isi tradisi adalah kenyataan-kenyataan dan kata-kata
ü  Kata dan kenyataan itu mempunyai potensi-potensi yang diletakkan Allah didalamnya, ibarat daya-tumbuh yang terletak dalam benih yang berpotensi menjadi tanaman/hewan/manusia yang utuh dan dewasa;
ü  Potensi kata-kata dan potensi kenyataan-kenyataan itu berkembang menjadi pengungkapan-pengungkapan yang jelas dan terang;
ü  Terbentuknya pengungkapan jelas dan terang itulah penyempurnaan yang dimaksud itu.
c)            Setiap reaksi merupakan faktor aktif dalam kemajuan tradisi, meskipun dengan cara berlainan. Secara umum 3 faktor yang menentukan perkembanga tradisi:

c.1   Pengalaman dibidang ajaran
Pendalaman ini merupakan hal yang biasa untuk orang beriman yang sejati. Seperti bunda maria merenungkan kata-kata dan peristiwa-peristiwa mengenai putra Illahinya(luk 2:51) dan menyelidiki artinya untuk dapat memberikan kesaksian, begitu pula kaum beriman lainnya berusaha melalui perenungan memahami lebih baik kenyataan-kenyataan tradisi yang tak pernah habis sebagai objek pemikiran dan sekaligus sebagai aturan hidup.

c.2   Pengalaman konkret mengenai isi tradisi
Pendalaman intelektual yang disebutkan oleh bagian sub a tadi tidak boleh terpisah dari pengalaman konkret ini pendalaman tersebut mendapat inspirasinya dan menerima peneguhnya. Hal ini berlaku:
ü  Baik untuk gereja sebagai keseluruhan, dimana secara historis kenyataan-kenyataan yang dihayati itu mendahului perumusan apapun.
ü  Masing-masing warga gereja, sebab yang disebab “penghayatan” mereka itu bukanlah semat-mata hanya penerapan yang tepat dari perumusan-perumusan; disamping penerapan itu ada unsure “kebaharuan”, yakni penghayatan selalu mengatakan sesuatu yang baru, juga mengenai perumusan yang sudah terjadi  walau yang dogmatic sekalipun.

c.3   Pewartaan uskup
Dewan para uskup sekarang menggantikan dewan para Rasul dahulu, juga dalam hal pewartaan resmi. Factor ini sering disebut sebagai factor terakhir, bukan karena kurang penting, tetapi karena merupakan factor yang mempunyai wewenang atas sumbangan yang diberikan orang-orang beriman lainnya, termasuk para theolog. Wewenang para uskuplah yang mengesahkan (atau menolak) sumbangan orang beriman lainnya sebagai ungkapan imam katolik.

Berkat tradisi, gereja dapat memiliki wahyu Allah dengan semakin menyeluruh, sebab tradisi mendorong gereja untuk mengungkapkan wahyu yang diteruskannya itu dalam ungkapan yang sesuai dengan zaman dan tempat. Supaya gereja menjadi tempat dan sarana keselamatan bagi semua orang. Gereja harus mempertahankan diri dalam dimensi yang sama menyeluruh dengan dimensi Inkarnasi.

5.      Nilai Dogmatis Tradisi
            Tradisi merupakan pembawaan wahyu. Maka secara potensial nilai dogmatis ada pada setiap pengungkapan tradisi. Akan tetapi ini akan menjadi effektif bila gereja mendasarkan diri atasnya untuk menyajikan suatu kebenaran sebagai kebenaran-kebenaran yang diwahyukan Allah.
a.       Pengesahan kanon kitab suci
Kanon seluruhnya yaitu daftar semua dan masing-masing buku yang harus diterima sebagai tulisan-tulisan Illahi, dikenal oleh gereja bukan berkat Kitab Suci melainkan berkat tradisi rasuli. Norma-norma yang dipakai untuk menetapkan daftar itu adalah:
                    i.            Asal-usul buku itu: Harus berasal dari para Rasul atau disahkan oleh mereka.
                  ii.            Penggunaan buku itu oleh gereja.

Norma-norma ini telah memungkin kan gereja mengakui buku-buku tertentu sebagai buku yang diinspirasikan oleh Allah, dan untuk mewartakan Kanon Kitab Suci sebagai suatu dogma.
            Iman kita juga berkembang didalam gereja menjadi dogma. Perkembangan dogma didahului oleh hal-hal yang berakar dalam wahyu. Misalnya hubungan “BAPA, PUTRA, DAN ROH KUDUS”. Tradisi mempunyai nilai dogmatis.

b.      Penafsiran Kitab Suci
Kitab Suci adalah pewartaan Rasuli yang dibukukan. Alkitab secara mutlak berkaitan dengan pewartaan yang hidup itu sebagai lingkungannya yang wajar.

Tradisi sangat diperlukan untuk secara tepat memahami dan menafsirkan kitab-kitab suci. Jika tradisi tidak ada, kata yang tertulis hanya menunjuk saja kepada tindakan Allah, tetapi tidak dapat menghadirkan tindakan Allah itu sebagai kenyataan yang actual.

6.      Hubungan Antara Tradisi dan Kitab Suci
           
Tradisi dan Kitab Suci adalah dua cara yang digunakan para Rasul untuk menyampaikan/ meneruskan injil.

a.       Kesamaan dalam hal asal dan tujuan
Tradisi dan Kitab Suci bertujuan menyampaikan Kitab Suci meneruskan wahyu, meskipun tujuan ini dicapai dengan cara yang berbeda. Kedua-duanya sama-sama berasal dari Allah. Meski demikian ada juga perbedaan yang real antara dua hal tersebut.

b.      Pebedaan dalam cara pengungkapan
Bapa Konsili Vatikan II akhirnya mendapatkan kesimpulan bahwa keduannya meneruskan sabda Allah yang sama dengan cara yang berbeda. Berdasarkan pernyataan ini kita akan memendang dulu sifat yang membedakan Tradisi dan Kitab Suci, kemudian sifat yang dimiliki bersama, dan akhirnya ialah kesesuaian isi antar Tradisi dan Kitab Suci.

b.1  Sifat yang membedakan Tradisi dan Kitab Suci
Kedua-duanya memiliki cirri khas yang membedakannya dari yang lain. Keistimewaan Kitab Suci yaitu meneruskan sabda Allah bukan saja mengenai isinya tetapi juga mengenai pengungkapan verbalnya. Dei verbum mengatakan bahwa Kitab Suci merupakan “penuturan” (bhsa Latin: Locutio) Allah.

      Berbeda dengan Tradisi, tradisi tidak dijamin pengungkapannya oleh inspirasi illahi. Tradisi tidak dikatakan bahwa tradisi adalah sabda Allah. Hanya dikatakan sebagai menerus kan sabda Allah. Perbedaan ini menempatkan tradisi pada suatu taraf yang lebih rendah dalam hubungannya dengan Kitab Suci. Akan tetapi tradisi pun ada keistimewaannya yaitu meneruskan wahyu secara integral.

b.2  Sifat yang dimiliki oleh Kitab Suci dan Tradisi
Sifat yang dimiliki kedua-keduanya adalah memuat sabda Allah. Ditengah-tengah pengungkapannya tradisi dapat berbeda-beda penyampaiannya, namun Sabda Allah haruslah tetap sama tak berubah. Untuk menghindari hal ini tradisi harus sejalan dengan:
Ø  Pewartaan para uskup, dan
Ø  Pembandingan terus menerus dengan kitab suci.

b.3  Kesesuaian isi antara Tradisi dan Kitab Suci

Terdapat kesesuaian isi antar Tradisi dan Kitab Suci, sebab:
Ø  Kitab Suci merupakan injil yang tertulis, selalu menghadiri pengungkapan-pengungkapan dalam tradisi.
Ø  Tradisi merupakan injil yang dinyatakan dan diaktualkan, selalu member kesaksian yang tak tergantikan mengenai Injil tertulis.
Secara Teoritis, masalah ini dapat dijelaskan dengan dua cara :
ü  Pertama, dapat dianggap sebagai kesesuaian yang ketat antara Alkitab dan tradisi, artinya: keduannya saling bertindak tepat. Apa saja yang diteruskan oleh tradisi, terdapat juga dalam Alkitab, meski dalam bentuk yang khas untuk Alkitab.
ü  Kedua, dapat juga dibayangkan bahwa antar Kitab Suci dan Tradisi ada kesesuaian dalam arti bahwa “tidak ada pertentangan” antara keduannya.

c.       Penghormatan yang sama dari pihak gereja
Tradisi dan Alkitab berjalan bersama dalam memberikan kepastian tentang wahyu. Kedua-duanya bernilai penting dan sama-sama norma untuk iman.


KESIMPULAN

Maka itu penghormatan yang dituntut mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Akan tetapi dilihat dari segi tujuan, yaitu membuat kita mengenal wahyu, keduannya mempunyai nila yang sama. Itulah sebabnya Kitab Suci dan tradisi harus diterima dan dihormati dengan pengabdian, kesalehan dan hormat yang sama.